Anda di halaman 1dari 10

JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

VOLUME 06 No. 02 Juni ● 2017 Halaman 73 - 82


Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
Artikel Penelitian

EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM JAMINAN KESEHATAN


NASIONAL TERHADAP PASIEN STROKE DI RSUP Dr. SARDJITO
EVALUATION RESEARCH OF UNIVERSAL HEALTH COVERAGE
FOR STROKE CARE IN THE SARDJITO GENERAL HOSPITAL

Muhammad Dahlan1, Ismail Setyopranoto2, Laksono Trisnantoro3


1
Mahasiswa Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
2
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
3
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

telah menjadi peserta BPJS pada tahun 2019. Apresiasi


ABSTRACT diberikan kepada pemerintah atas usahanya melaksanakan
Background: Since 2014, Indonesia has implemented universal JKN. Dalam pelaksanaannya, evaluasi perlu dilakukan terhadap
health coverage. In Indonesia, it was named as Jaminan program ini. Stroke sebagai salah satu penyakit mematikan
Kesehatan Nasional or JKN. “Quality control and cost control” dan perlu manajemen yang menyeluruh patut untuk dievaluasi.
is the tagline of these program. Health provider such as doctors, Penerimaan penyedia pelayanan kesehatan dalam hal ini dokter
nurses and the others health provider must control the quality perlu diidentifikasi.
and the cost of the patient’s treatment. Stroke, as one of the Tujuan: 1) Mengukur kinerja pelayanan; 2) Mengukur kinerja
disease which needed such a complex treatment, must be keuangan; 3) mengetahui penerimaan dan ketaatan pemberi
treated as effective as possible. pelayanan terhadap aturan
Aim: The aim of this study is evaluating the implementation of the Metode: mixed method dengan desain sekuensial ekplanasi.
JKN in stroke care especially in Central hospital. Measuring the Penelitian kualitatif merupakan cross sectional dimulai 15 Juni
quality of the care in stroke unit is compulsory in implementation – 31 Juli. Interview dengan tiga dokter di Unit Stroke Rumah
research. Knowing acceptability and fidelity of the rules from Sakit Umum Pusat Sardjito dilakukan untuk menggambarkan
JKN by the doctors must be described. penerimaan.
Method: This study is mixed method with sequential explanatory Hasil: Mutu pelayanan penyakit stroke sudah sesuai dengan
design. The qualitative research was a cross sectional research mutu standar. Rasionalisasi obat, maupun pemulangan pasien
which began in June 15th- July 31st. Interview from three doctors tetap sesuai standar. Performa keuangan dari Unit Stroke
in stroke unit Sardjito General Hospital were performed to know mengalami kerugian. Penerimaan dari para dokteer terkait
the acceptability of the program. beberapa aturan seperti sistem rujukan dan standar tarif belum
Result: The quality of care in Unit Stroke RSUP Dr. Sardjito diterima sepenuhnya
from the doctors are good. Rationalization of the drugs and Kesimpulan: Permasalahan program Jaminan Kesehatan
safety of the patients were prioritized. From that conditions the Nasional masih terjadi. Perbedaan persepsi antara pembuat
unit got a debt condition. The financial performance from one aturan dengan pemberi pelayanan masih menonjol. Performa
patient could get debt up to eleven million rupiahs. From the keuangan dari unit stroke mengalami kerugian walaupun mutu
qualitative research, the acceptability of the national formulation pelayanan sudah dilakukan secara optimal. Sistem rujukan
slightly didn’t accept by the doctors. Neuro protector and another terutama rujuk balik belum dapat dirasa layak oleh para dokter
kind of drugs isn’t on the list. rtPA which can be found in the karena keterbatasan di PPK I. Pelayanan home care yang
list is too expensive. Reimbursement from the BPJS was too biasa digunakan tidak dapat optimal karena peserta asuransi
low. Homecare as one the rehabilitation isn’t covered by BPJS. belum mendapatkan jaminan untuk memperoleh pelayanan
Back referral system to general practitioner isn’t accepted by home care.
the neurologist because of the lack of the facility in puskesmas
or PPK I. Research and education in academic hospital didn’t Kata Kunci: jaminan kesehatan nasional, stroke, quality care,
do well because of the lack of patients. implementation research
Conclusion: National formularies are needed to revised based
on the patients need. Reimbursement from BPJS should be
PENGANTAR
higher than before. Homecare patients should be guaranteed
by BPJS. Sejak tanggal 1 Januari 2014, pelayanan
kesehatan untuk Warga Negara Indonesia
Keywords: Universal health coverage, stroke, quality care, mengalami perubahan signifikan dengan adanya
implementation research program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Jaminan Kesehatan Nasional merupakan bagian
ABSTRAK dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
Latar Belakang: Era baru program asuransi kesehatan
nasional mulai 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh BPJS diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme
Kesehatan yang mempunyai target bahwa seluruh masyarakat asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017 ● 73


Muhammad Dahlan, dkk.: Evaluasi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

(mandatory) berdasarkan Undang- Undang No. terstandarisasi dengan Deklarasi Helsingborg


40/2004. UU No. 40/2004 tentang SJSN bertujuan 2006 dengan lima tujuan pelayanan stroke yaitu,
untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan organisasi pelayanan stroke, manajemen akut
masyarakat yang layak diberikan kepada setiap stroke, prevensi, rehabilitasi dan evaluasi penilaian
orang yang telah membayar iuran atau iurannya hasil perawatan2. Membandingkan dengan kondisi
dibayar oleh pemerintah. tersebut, mutu dari sumber daya manusia dalam
Penyelenggaraan program JKN diampu oleh pelayanan penyakit stroke di Indonesia selaiknya
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). dapat mengikuti kebutuhan.
BPJS, selaku badan hukum yang mengatur sistem Sesuai uraian tersebut, perubahan di era
pelayanan dari program JKN, membuat alur JKN ini selaiknya membawa perbaikan dalam
pelayanan yang berubah dari sistem pelayanan pelayanan. Sehingga penulis melihat perlunya
yang lama. Proses pelayanan kepada pasien dilakukan evaluasi lebih lanjut dari program JKN
dari penyedia jasa layanan banyak mengalami terhadap pelayanan penyakit stroke. Penggunaan
perubahan. Perubahan yang dialami oleh penyedia penelitian implementasi sebagai cara evaluasi
jasa layanan kesehatan antara lain: 1) sistem pelaksanaan JKN dalam pelayanan penyakit
pembayaran yang dahulunya out of pocket menjadi stroke di Unit Stroke RSUP Dr. Sardjito dapat
sistem paket diagnosis, 2) peresepan oleh dokter digunakan.
yang sebelumnya berdasarkan kompetensi dokter
menjadi sistem peresepan mengikuti formularium BAHAN DAN CARA PENELITIAN
nasional, dan 3) sistem rujukan dimana pasien Penelitian ini menggunakan jenis rancangan
harus mendaftar dulu di pelayanan tingkat pertama/ mixed method. Rancangan mixed method
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) untuk merupakan gabungan dari kualitatif dan kuantitatif.
mendapatkan pelayanan kesehatan. Penelitian kuantitatif deskriptif dalam penelitian ini
Dengan adanya implementasi Program JKN, digunakan untuk menggambarkan ketaatan dokter
maka implementasi program layanan yang diberikan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
juga tetap harus terjaga. Beberapa berita tentang Penelitian kualitatif digunakan untuk melingkupi
implementasi program JKN menandakan adanya luasnya area penelitian baik dari pendekatannya
kesenjangan terhadap pelayanan kesehatan. maupun metodenya. Penelitian kualitatif mampu
Sistem rujukan yang dirasa oleh pengguna layanan menyediakan informasi secara kontekstual,
kesehatan terlalu menyita waktu sampai reimburse menyediakan penjelasan dari berbagai alasan
dari BPJS yang dirasa kecil oleh penyedia layanan dan hubungan, mengevaluasi keefektifan serta
kesehatan merupakan beberapa kendala dalam membantu mengembangkan teori.
implementasi program JKN. Hasil pelayanan Studi kuantitatif dilakukan pada kurun waktu
yang diharapkan lebih baik menjadi berpotensi 15 Juni 2016- 31 Juli 2016. Data berupa data
berubah lebih buruk dengan adanya permasalahan- deskriptif yang menggambarkan mutu pelayanan
permasalahan. Dengan terdapatnya beberapa berdasarkan JKN dalam kurun waktu penelitian.
permasalahan tersebut maka perlu pengembangan Studi kualitatif dilakukan untuk mendapatkan
kebijakan dari BPJS maupun revisi dari prosedur. penjelasan tentang kondisi dari data kuantitatif.
Permasalahan yang timbul mampu mengurangi Aspek lain yang tidak dapat tergambarkan dalam
mutu pelayanan. Semakin berat suatu penyakit studi kuantitatif juga menjadi data dalam studi
jika mutunya terkurangi maka akan memperburuk kualitatif.
kondisi akhirnya.
Stroke selaku penyakit yang berisiko tinggi HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
sebagai salah satu contoh dari efek perubahan Periode penelitian kuantitatif adalah 15 Juni
dari aturan JKN ini. Penyakit stroke sendiri 2016 sampai 31 Juli 2016. Dari rentang waktu
membutuhkan koordinasi antar multidisiplin tersebut, peneliti mengobservasi pelayanan di
keilmuan1. Hal tersebut dikarenakan pada penyakit Unit Stroke. Sesuai kategori, stroke secara umum
stroke ada masalah internal yang saling terkait dibedakan menjadi stroke hemorrhage dan stroke
yaitu; faktor resiko, perburukan, komplikasi, infarct. Pada periode penelitian tersebut peneliti
rehabilitasi medik dan homecare atau perawatan mengobservasi 22 pasien yang terbagi menjadi
di rumah. Sebagai konsekuensinya, peresepan pasien kelas III, kelas II, kelas I dan kelas VIP.
obat dan dokter yang mengelola harus benar-benar Data pasien yang dirawat di Unit Stroke RSUP Dr
kompeten. Di Benua Eropa, pelayanan stroke telah Sardjito periode 15 Juni – 30 Juli 2016 digambarkan

74 ● Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017


Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

Gambar 1. JKN Umum Stroke Hemorrhage

Gambar 2. JKN Umum Stroke Infarct

sebagai berikut pasien meninggal (20%). Ketiga pasien tersebut


telah dirawat selama 3, 4 dan 7 hari. Pasien yang
Dari pasien peserta JKN yang dirawat dengan dirawat 3 hari tersebut merupakan pasien kelas III
kondisi stroke hemorrhage 4 pasien dirawat di dan dua pasien lainnya merupakan pasien kelas
kelas II dan 1 pasien di kelas I. Pada pasien stroke II. Sedangkan, 2 pasien lainnya satu pasien umum
infarct 3 pasien di kelas III, 9 pasien di kelas II dan dirawat selama dua hari dan meninggal.
1 pasien di kelas I. Dua orang lagi adalah peserta
JKN untuk kelas I dan menggunakan fasilitas untuk Mutu Pelayanan Pasien Stroke
naik kelas menjadi VIP sehingga nantinya akan Sebagai peserta JKN, para pasien oleh
dikenakan tambah bayar. pemberi pelayanan selaiknya diberi obat yang
Pada pasien stroke hemorrhage dari lima mengikuti formularium nasional. Peneliti melakukan
pasien peserta JKN semua dapat pulang dan pengecekan apakah obat-obat yang diberikan
satu pasien umum yang dirawat selama dua hari sudah sesuai formularium nasional. Dari hasil
meninggal. Varian lama rawat inap pada pasien pengamatan didapatkan bahwa mutu pelayanan
stroke hemorrhage sangat bervariasi. Lama rawat di Unit Stroke berdasarkan petunjuk dari ASA
inap tersingkat delapan hari dan lama rawat inap dan ketaatan pada formularium nasional sudah
terlama 15 hari. banyak yang ditaati. Pasien yang mendapatkan
Dari data pada pasien stroke infarct, dari 15 obat diluar formularium nasional yaitu ceremax
pasien, peserta JKN 12 pasien dipulangkan dan 3 dan acetylcoline. Ceremax merupakan nama

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017 ● 75


Muhammad Dahlan, dkk.: Evaluasi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

dagang dari nimodipin. Nimodipin merupakan stroke infarct terhadap 15 pasien JKN dan 1 pasien
obat anti hipertensi juga dapat berpotensi menjadi umum tidak ada perbedaan. Dalam pemilihan obat
neuroprotektan. Oleh dokter obat tersebut diberikan baik untuk kontrol tensi, kontrol hyperlipidemia
selama 4 hari dari masa rawat inap yang 14 hari. dengan statin maupun antiplatelet tidak ada obat
Dalam aturan formularium nasional, nimdodipin yang diluar formularium nasional. Dari data tersebut
hanya diperuntukan untuk pendarahan sub dapat disimpulkan bahwa ketaatan terhadap
arachnoid. Bentukan obat yang dapat diberikan formularium nasional maupun mutu pelayanan
adalah bentuk sal selaput 30 mg atau inf 0.2mg/mL. untuk pasien stroke infarct dapat dikategorikan
Kesimpulan lain dari data tersebut, beberapa pasien baik. Pemberian obat sesuai kondisi pasien dapat
yang di kelas II maupun kelas I tidak mengalami disimpulkan telah sesuai praktek berbasis bukti.
perbedaan perlakuan dalam pengobatan. Hal ini dapat menjadi dasar kesimpulan terhadap
Sedangkan mutu pelayanan pada pasien

Gambar 3. Diagnosis INA-CBG Pasien Stroke


Periode 15 Juni -31 Juli 2016

Gambar 4. Finansial Pelayanan Pasien Stroke Hemorrhage Periode 15 Juni – 31 Juli 2016

76 ● Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017


Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

rasionalisasi pemberian obat yang dilakukan oleh pelayanan dan standar tarif dari BPJS. Keuntungan
dokter didapat oleh pasien yang didiagnosis INA-CBG
Diagnosis Pasien INA-CBG sebagai pasien dengan prosedur kraniotomi
Dalam era JKN yang menggunakan INA- sedang. Sedangkan, pasien yang tidak mengalami
CBG, para pasien yang dirawat di Unit Stroke pembedahan secara finansial masih terdapat selisih
RSUP Dr. Sardjito akan digolongkan system negatif. Kerugian terbesar tercatat Rp18.959.797,00
pembayarannya berdasar diagnosisnya atau dan keuntungan Rp4.018.422,00.
tindakan yang dilakukan oleh pasien tersebut. Pada pelayanan pasien stroke infarct 6 pasien
Dari populasi penelitian ini dimana ada 5 pasien secara finansial menyebabkan selisih positif antara
stroke hemorrhage dan 15 pasien stroke infarct. biaya pelayanan dan standar tarif unit, sedangkan 6
Dikategorikan oleh penjaminan seperti pada lainnya masih mengalami selisish negative, 3 pasien
gambar 3. lainnya impas karena 2 pasien tersebut adalah pasien
Untuk pasien stroke hemorrhage, 2 orang VIP yang berkewajiban harus membayar biaya naik
pasien dikategorikan pendarahan intra kranial bukan kelas yaitu Rp7.670.567,00 dan Rp8.107.960,00.
traumatic sedang, 2 orang pasien dikategorikan Keuntungan terbesar Rp6.238.009,00 sedangkan
pendarahan intra kranial bukan traumatik berat selisih negatif terbesar tercatat Rp11.336.163,00.
dan 1 orang dikategorikan pasien dengan prosedur Selisih yang tinggi ini dikarenakan pasien juga
kraniotomi sedang. Dari 15 pasien stroke infarct, 9 mendapat pengobatan untuk systematic lupus
pasien dikategorikan kecederaan pembuluh darah erythematosus yang memang membutuhkan
otak infarct sedang dan 6 orang dikategorikan pengobatan yang cukup mahal.
kecederaan pembuluh darah otak infarct berat
Salah satu pasien stroke yang dikategorikan Kesimpulan Data Kuantitatif
kecederaan pembuluh darah otak infarct berat Data kualitatif tersebut dapat disimpulkan
tersebut menderita komplikasi penyakit yaitu bahwa: 1) Secara umum, penggunaan obat
systematic lupus erythematosus. Dari ke-20 pasien untuk pelayanan di Unit Stroke sudah sesuai
tersebut dana pelayanan akan diganti oleh BPJS mutu pelayanan pengobatan berbasis bukti dan
selaku pemegang kewajiban bayar untuk peserta mengikuti aturan formularium nasional, 2) Lama
BPJS. Sedang tagihan dari penyedia pelayanan rawat inap sangat bervariasi baik pasien stroke
juga sudah dipastikan. Dari hasil tagihan dan hemorrhage maupun stroke infarct, 3) Pelayanan
penggantian dana pelayanan oleh BPJS akan untuk pasien JKN dengan komplikasi akan rentan
terdeskripsikan finansial pelayanan. terhadap perbedaan kualitas baik finansial maupun
Dapat disimpulkan dari gambar 4 bahwa mutu pelayanan, 4) Untuk mencapai pelayanan
pelayanan untuk pasien stroke hemorrhage secara paripurna pasien post stroke mendapatkan
total terjadi selisih negative antara total biaya rehabilitasi dan rekoveri, dan 5) Secara umum,

Gambar 5. Finansial Pelayanan Pasien Stroke Infarct


Periode 15 Juni -31 Juli 2016

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017 ● 77


Muhammad Dahlan, dkk.: Evaluasi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

finansial Unit Stroke mengalami selisih negatif resiko.”


dalam penggantian dana. “…Khususnya obat-obat neuroprotektan” (S2)
“Post-stroke kan, tinggal, tinggal ngawasi faktor-
Penerimaan Formularium Nasional faktor resiko-nya. Itu tampaknya sudah, sudah
Pemberian obat sebagai salah satu indicator tercakup. Sudah ada semua.” (S3)
mutu pelayanan dalam rumah sakit dibuktikan
dalam penelitian ini telah sesuai mutu yang Dari data ini dapat disimpulkan bahwa
ditentukan. Selain menjaga mutu, para dokter juga belum semua obat dalam formularium nasional
harus mengikuti aturan-aturan terkait formularium untuk perawatan selama di Unit Stroke tercakup
obat nasional. Dalam peraturan fornas yang semua. Obat neuroprotektan tidak tercakup
dijalankan oleh para dokter tersebut, para dokter dalam formularium. Adapun, obat yang sudah
berpendapat: masuk dalam formularium seperti rTPA akan
“…untuk obatnya sendiri, biasanya yang pasien- terasa memberatkan karena obat tersebut mahal
pasien dengan JKN itu pedomannya kan pertama,
adalah Standar Pelayanan Medis kan di Sardjito. sehingga penggantian oleh BPJS tidak menutup
Kemudian yang kedua, kita juga tidak lepas dari biaya perawatan. Sedangkan, untuk obat-obat post
Formularium Nasional, Fornas.” “…Cuman ada stroke yang digunakan untuk manajemen faktor
beberapa kendala yang mungkin terjadi adalah, ada resiko dianggap sudah memenuhi.
sebagian obat yang dibutuhkan tapi tidak masuk
formularium.”
Kepuasan penggantian finansial
“…sudah masuk di guideline-nya bahkan untuk Dengan kondisi finansial yang tidak
penanganan stroke pada fase akut. Juga, acetylcholine. menguntungkan para narasumber berpendapat:
Kemudian untuk piracetam itu sudah terbukti pada ” Revisi pola tarif yang fase akut kurang dari 3 jam
kasus-kasus yang, e..., untuk gangguan fungsi sama yang lain. Kemudian, untuk dengan yang
bahasa. Itu sudah terbukti. Tapi kenyataannya di banyaknya penyakit yang menyertai itu juga...”
Fornas belum, belum masuk. (S2) (S1)

Hal ini sejalan dengan narasumber 3: “kapitasinya rendah sekali. Stroke pendarahannya
itu perawatan 2 minggu 14 hari. Tapi justru
kapitasinya lebih kecil dari yang strok infak yang
“…seperti pemberian acethylcolin, dan untuk yang lama perawatan 1 minggu.” (S2)
nganu, itu tidak masuk dalam BPJS. Apa perlu
penelitian lebih lanjut, atau gimana, kenapa itu
tidak masuk. Kondisi agar tidak terjadi selisih negatif dalam
Untuk..., yang..., kan ada yang stroke pendarahan, finansial inipun membuat dokter untuk mampu
a..., apakah sudah masuk atau belum itu, pakai melakukan efisiensi biaya:
Nimotop, Syringepump, itu sudah masuk atau “Makanya pandai-pandai kita untuk menggunakan
belum, saya belum tahu. khususnya untuk pemeriksaan penunjang. Kalau
Kalau yang invak, e..., yang ada hanya, apa, e..., cukup di-scan ya cukup kita scan. Cuma kan
Antiplatlet. Yang untuk, untuk apa, untuk otaknya, persoalannya kan kadang-kadang ada kasus yang
belum, belum, masuk di situ… (S3) tidak cukup dengan scan dan harus dengan MRI,
“…menyulitkan. Kita bingung jadi, mau terapinya itu yang kadang-kadang mengalami suatu kendala.”
apa ini. Paling-paling nanti kita kasih vitamin aja (S2)
nanti ya. Hehe.” (S3)

Kapitasi yang menurut para dokter terlalu


Adapun menurut narasumber pertama, yang
rendah memang membutuhkan revisi. Revisi
lebih menyoroti pada perhitungan biaya yang tidak
khususnya ditujukan untuk kondisi pasien fase akut,
bisa tercakup terutama pada pengobatan fase
kondisi perburukan dan stroke hemorrhage yang
akut:
“Tetapi, itu harga obat yang sepertinya tidak justru kapitasinya lebih rendah daripada stroke
mempengaruhi plafond yang dijamin oleh BPJS. infarct. Kondisi kapitasi yang rendah memaksa
Jika pasien itu misalnya harus ditangani dengan para dokter untuk mengurangi mutu pelayanan
pemberian Trombolisis rtPA, pasien itu dengan dengan menurunkan kualitas seperti menggunakan
jaminan BPJS melebihi plafond…” (S1)
alat diagnosis yang lebih murah (CT Scan)
Adapun obat-obat dalam fase akut serta post stroke dibandingkan yang lebih mahal (MRI)
yang tidak dapat digambarkan dalam penelitian
kuantitatif juga diutarakan oleh narasumber Kondisi perburukan, komplikasi dan faktor
“Kalau di Unit Stroke kan, obat-obat yang fase akut resiko
kan? Fase akut. Kalau yang rawat jalan ya obat-obat Sesuai data dalam penelitian kuantitatif
untuk yang pencegahan dan penghindaran faktor dimana ditemukan pasien dengan komplikasi
penyakit systemic lupus erythematosus, dimana

78 ● Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017


Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

kondisi tersebut membuat pasien meninggal Ah, kalo homecare mungkin lain lagi, hitungannya
dan membuat rumah sakit mengalami kerugian hitungan, mungkin BPH, apa, BPJS ada sendiri
paketnya untuk homecare di luar ini.” (S2)
finansial terbesar. Adapun kerentanan pasien
Keterjaminan pasien stroke untuk
dengan komplikasi maupun perburukan oleh para
mendapatkan jaminan pelayanan sampai paripurna
narasumber dijelaskan:
“…Sistem kapitasi yang dibuat oleh BPJS dalam hal ini rawat rumah /home care dimana
saya nggak paham ya. Karena dia menghitung belum terjamin oleh BPJS menjadi pertimbangan
berdasarkan diagnosis utama kemudian ada tersendiri. Sedangkan aturan untuk mengembalikan
diagnosis tambahan. Tapi diagnosis tambahan itu pasien ke PPK I oleh para narasumber direspon:
kan, perhitungan seperti apa juga kita enggak tahu. “kondisinya memang... moderat sama berat
Karena ada, ada, ada obat-obat yang kalau menurut kan harusnya di..., dikembalikan toh..., tidak
saya yang... Kalau misalnya, misalnya ini ada suatu dikembalikan ke PPK I dulu harusnya. Kalo kondisi
komplikasi pnemoni, kemudian harus menggunakan sudah memungkinkan. Kan kita lihat keterbatasan
obat yang, karena untuk pasien yang sudah sampai sarana dan tenaga ahli yang di PPK I.” (S1)
di PPK III, itu biasanya sudah complicated kemudian “Contoh misalnya pasien dengan gangguan fungsi
sudah terjadi banyak resistensi antibiotik sehingga bahasa misalnya. Apakah di PPK I sudah ada speech
sebagian besar pasien-pasien yang dirawat di sini therapy? Ya kan?
dengan komplikasi, infeksi, itu biasanya antibiotik Kemudian pasien-pasien dengan resiko jantung
menggunakan generasi terakhir. Meropenem apakah di PPK I sudah ada? Kemudian pasien-
misalnya.” (S2) pasien dengan gangguan kognitif apakah di
PPK I juga sudah ada klinik memori yang bisa
“…Kemudian di perjalanan mungkin terjadi meningkatkan fungsi kognitifnya? Jadi, e...,
komplikasi ya, mungkin saja, mungkin karena tidak hanya sekedar dia terbebas dari kematian.
infeksi atau ada perluasan, perluasan kerusakannya. Tetapi kan, kita kan mengharapkan ada perbaikan
Atau yang tadinya infak terjadi perdarahan, itu ya fungsional.” (S2)
memang kemungkinan ada, ya, itu ya, harus diatasi “…post-stroke sudah stabil tinggal kontrol faktor
semuanya. Nah itu mungkin gak tercakup BPJS itu. resiko ya, bisa aja.” (S3)
Mungkin.” (S3)
Pengembalian pasien untuk mendapatkan
Jawaban lebih ringkas ditegaskan oleh pelayanan di PPK I khususnya untuk pasien
narasumber 1 dengan sekuensial yang masih moderat maupun
“Akomodasi harusnya ada revisi pola tarif.” (S1) berat menurut para dokter harusnya tidak
dikembalikan. Keterbatasan sarana dan tenaga
Pencakupan JKN yang hanya membagi ahli seperti untuk pelayanan gangguan kognitif
tiga diagnosis INA-CBG yaitu ringan, sedang, maupun terapi wicara menjadi pertimbangan.
berat untuk masing-masing kondisi stroke dirasa Pengembalian pasien ke PPK I dapat dilakukan
belum cukup. Komplikasi pasien yang berat yang hanya jika pasien sudah stabil dan untuk
diterima oleh rumah sakit PPK III dimana harus pengendalian faktor resiko saja.
membutuhkan obat-obat yang mahal masih
menjadi kendala. Komplikasi dari pasien stroke bisa Kedudukan Sebagai Rumah Sakit Pendidikan
bermacam-macam antara lain infeksi pneumonia, Aturan tentang sistem perujukan dan
lupus ataupun penyakit lain. Para dokter yang tidak keterbatasan pemberian obat pada era JKN ini
mengetahui bagaimana penyusunan aturan JKN ini menjadi bahan pertimbangan untuk terciptanya
juga menjadi kendala tersendiri. pendidikan dan penelitian:

“Kita terimbas juga karena kasusnya jadi sedikit.


Penerimaan aturan post stroke Kalau sistem pendidikannya, sama, saya anggap
Sesuai guideline dari ASA (American Stroke tetap sama, iya.
Association), supaya pelayanan dapat paripurna Ya, paling-paling kita nanti memperbanyak rumah
pasien post stroke mendapatkan rehabilitasi dan sakit jejaring. Ya memang masuknya di banyak
di PPK II. Cuma persoalannya kan di jejaring itu
rekoveri: kan pengawasannya jadi kurang kan. Artinya
“… Medical rehabilitation bisa ter-cover juga kan. kan, transfer of knowledge-nya kan. Ya kita bisa
Tapi homecare tidak.” “…Orang yang dengan membayangkan kalau misalnya yang seniornya
ketergantungan sedang sampai berat, sampai total cuma satu atau dua gimana dia juga harus melayani
kan perlu homecare.” (S1) pasien yang banyak sehingga dia juga tidak punya
kesempatan untuk melakukan pembibingan.
“…Nggih, setelah perawatan kalo memang perlu Transfer of konwledege dan skillnya kan berbeda
rehab kita konsulkan ke rehab untuk perbaikan. Lah, kalo itu bisa dilakukan di centre-nya.” (S2)
mudah-mudahan udah tercakup, mudah-mudahan. “…Akan mengalami kesulitan karena pasiennya

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017 ● 79


Muhammad Dahlan, dkk.: Evaluasi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

itukan banyak di rumah sakit, e.., apa, PPK I sampai rawat inap dengan clinical pathway stroke iskemik
PPK II.” (S1) akut membagi menjadi biaya obat, biaya jasa dan
biaya pemeriksaan. Dari pembagian menjadi tiga
“Mestinya ada, kalau pasiennya kurang kan, pen,
mahasiswanya kurang.... Tapi selama ini nampaknya bagian tersebut didapatkan data bahwa biaya
ndak masalah kok” (S3) obat Rp4.646.912,67 ± Rp5848244,41 sedangkan
biaya jasa Rp3.858.727,18 ± Rp4848798,87
Pengurangan jumlah pasien dan variasi dan biaya pemeriksaan Rp1.828.006,87 ±
kondisi pasien membuat proses pembelajaran Rp2.403.790,35. Sehingga dari penelitian tersebut
menjadi kurang optimal. Penambahan rumah sakit dapat disimpulkan bahwa akumulasi dari biaya
jejaring dirasa belum dapat menjadi solusi karena obat, biaya jasa dan biaya pemeriksaan menjadi
proses perpindahan keilmuan bisa terkendala oleh Rp10.333.646,72 ± Rp13.100.833,636. Sedangkan
berbagai hal misalnya jumlah dokter di rumah sakit penelitian di Afrika Selatan biaya dari diagnosis,
jejaring. perawatan jalan dan perawatan inap mencapai
US$ 283,500 (Rp3.685.500.000,00) sampai US$
PEMBAHASAN 485,000. (Rp6.305.000.000,00). Penelitian ini
Penerimaan tentang formularium nasional juga menghitung biaya untuk rehabilitasi medik,
Dalam formularium nasional 2015, rt-PA home-care maupun biaya hilang untuk perawatan.
(recombinant Tissue Plasminogen Activator) Rinciannya adalah biaya diagnosis sebesar $4967,
merupakan obat yang dapat diadministrasikan dalam biaya perawatan rawat inap $248736 dan biaya
pelayanan fase akut penyakit stroke. Namun, harga untuk perawatan rawat jalan 297647.
mahal dari obat tersebut menjadi pertimbangan Pada penelitian ini, di Unit Stroke RSUP Dr.
para dokter untuk mengadministrasikan obat Sardjito untuk stroke infarct sendiri biaya terendah
tersebut dalam pelayanan fase akut. Resiko yang dibutuhkan Rp5.271.801,00. Sedangkan,
akan kerugian finansial dalam penggantian biaya untuk biaya terendah stroke hemorrhage
perawatan menjadi pertimbangan dokter dalam Rp11.762.305,00. Kisaran dana yang tinggi antar
pemberian obat tersebut. Pemberian obat tersebut pasien terkait dengan komplikasi, perburukan
dalam fase akut mampu meningkatkan kecepatan maupun faktor resiko tiap individu pasien. Dana
kesembuhan pasien3. yang sedemikian itu digunakan untuk diagnosis,
Nimotop yang merupakan merk dagang dari pemberian obat dan aspek-aspek lainnya terkait
obat nimodipin berfungsi sebagai neuroprotektan. kondisi pasien. Lama rawat inap seorang pasien
Pemberian oral nimodipin berperan dalam stroke dipengaruhi oleh keparahan seperti status
keluaran pasien stroke4. Sedangkan, manajemen kognitif, co-morbiditas, dan status prestroke.
nimodipin dengan administrasi intrevena tidak Resiko terjadinya perpanjangan masa lama rawat
signifikan. Dalam formularium nasional 2015 inap pasien stroke sudah dapat ditentukan dengan
sendiri manajemen pemberian nimodipin tersedia manajemen pada masa awal pengobatan8.
hanya dapat diresepkan selama 3 hari. Obat- Persepsi tentang penggunaan dana
obat neuroprotektan dalam petunjuk terbaru tarif standar dari BPJS oleh dokter boleh dibilang
dari ASA menjadi metode yang baru untuk rendah. Menghemat dana untuk penegakan
pengobatan prehospitalisasi. Piracetam sendiri diagnosis ataupun pemberian obat menjadi
dalam manfaatnya bisa digunakan untuk perbaikan perhatian para dokter dalam penelitian ini. Seperti
Bahasa tulis. Efek pada tingkatan perbaikan diungkapkan seorang responden yang menyatakan
linguistic pada penggunaan neuroprotektan secara akan kesulitan jika akan menegakan diagnosis
keseluruhan cenderung menaik selama periode dengan alat yang lebih baik. Penggunaan MRI
yang pendek kemudian menurun. sebagai alat diagnosis yang lebih baik daripada
Acetylcholine menurut petunjuk klinis ESO CT-Scan menjadi terhambat.
mempunyai keuntungan yang ringan dalam studi Sedangkan, berdasar standar tarif dari
metanalisisnya. Penelitian pada tingkat molekuler BPJS membagi menjadi enam standar diagnosis
menunjukan bahwa kerusakan sel otak dapat yaitu: stroke infarct ringan, sedang, berat dan
terkurangi dengan aktifasi reseptor acetylcholine stroke pendarahan ringan, sedang, dan berat. Hal
pada sel5. tersebut masih belum dapat diterima oleh pemberi
pelayanan karena varian kondisi dari pasien masih
Penggantian Finansial sangat tinggi. Kondisi dimana dalam pembuatan
Penelitian di Yogyakarta terkait pelayanan standar tarif tidak melibatkan pemberi pelayanan

80 ● Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017


Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

dalam menentukan standar tarif menjadi keluhan spesialis syaraf menjadi keharusan. Dalam rangka
narasumber. pelaksanaan JKN dimana terdapat sistem rujukan
Rehabilitasi Medis, Home Care & Sistem menjadi pasien lebih sedikit sehingga pembelajaran
Rujukan menjadi kurang dan penelitian menjadi rendah.
Pada era jaminan kesehatan nasional, Penambahan rumah sakit satelit dirasa
rehabilitasi medis sudah terjamin oleh BPJS. oleh narasumber belum menjadi solusi karena
Sehingga dapat dilakukan pada pasien. Namun, pembimbingan yang dilakukan di rumah sakit satelit
kelengkapan rumah sakit akan kemampuan untuk tidak bisa menjadi intense karena kesibukan dari
melakukan maupun mengukur perbaikan dari dokter di rumah sakit satelit.
pasien sangat berbeda. Ketersediaan peralatan,
ahli rehab medis maupun fisioterapis masih KESIMPULAN DAN SARAN
terbatas. Peraturan dalam era Jaminan Kesehatan Kesimpulan
Nasional untuk melaksanakan rujuk balik ke PPK Formularium nasional menjadi acuan dalam
I menjadi penghalang tersendiri untuk dilakukan peresepan masih belum sepenuhnya diterima oleh
rehabilitasi. Seorang responden dalam wawancara para pemberi pelayanan. Harga obat bisa menjadi
ini berpendapat bahwa paripurnanya pelayanan beban pelayanan jika terkait dengan penggantian
dengan dilakukan rehabilitasi mengharuskan dari tarif pelayanan. Penggantian finansial dalam
adanya tempat untuk terapi wicara, terapi kognitif JKN masih dirasa belum mencukupi. Selisih negatif
dan terapi untuk perbaikan lainnya akan sangat antara biaya pelayanan dan penggantian biaya oleh
sulit dilakukan di PPK I. Keterbatasan alat dan ahli BPJS masih terjadi dalam lingkup penelitian.
di PPK I maupun PPK II menjadi perhatian para Komplikasi, perburukan serta faktor resiko
koresponden dalam melakukan rujuk balik. selaiknya menjadi pertimbangan dalam pembuatan
Stroke merupakan penyakit yang standar tarif. Rehabilitasi medis sudah terjamin oleh
menyebabkan kelumpuhan paling tinggi di USA dan BPJS. Namun, home care belum dapat sepenuhnya
pembunuh nomor tiga. Menurut data dari National dijamin. Peranan home care sendiri penting dalam
Institute of Neurological Disorders and Stroke di perbaikan pasien paska stroke. Rujuk balik belum
Amerika Serikat sekitar 4 juta hidup dengan efek dapat sepenuhnya akan memperbaiki kondisi pasien.
dari penyakit stroke. Sehingga akan ada jutaan Kelengkapan alat di PPK I menjadi pertimbangan.
suami, istri, anak dan teman yang menjaga korban Rujuk balik hanya dapat digunakan untuk manajemen
penyakit stroke. Pemulangan pasien stroke oleh factor resiko saja. Kebutuhan akan pendidikan dan
dokter biasanya belum dapat dikatakan dalam penelitian di Unit Stroke RSUP Dr. Sardjito menjadi
perbaikan yang hampir sempurna atau seperti tidak maksimal karena terjadinya rujukan yang
sediakala. Pelayanan suportif di rumah oleh tenaga menyebabkan kurangnya pasien di Unit Stroke.
ahli atau yang biasa disebut home care mampu
menjadi solusi agar pasien maupun lingkungan Saran
pasien dapat tereduksi efeknya dalam menghadapi Keterlibatan pemberi pelayanan untuk
kondisi keterbatasan. dilibatkan sebagai policy maker baik dalam
Pada era Jaminan Kesehatan Nasional home formularium maupun standar tarif menjadi
care belum ditanggung oleh BPJS. Para dokter di kebutuhan. Rekomendasi untuk penelitian lanjutan
Unit Stroke RSUP Dr. Sardjito mengharapkan agar dari penelitian ini antara lain studi kuantitatif untuk
pelayanan paripurna yang diberikan oleh dokter mengukur perbaikan dari pasien untuk rujuk balik.
dapat dilanjutkan dengan home care. activity of Home care selaiknya juga menjadi jaminan dalam
daily living pasien stroke dapat membaik dengan pelaksanaan JKN untuk optimalisasi pelayanan.
dilakukan home care 9. Penelitian melakukan
modifikasi home care mampu menunjukkan bahwa REFERENSI
ketergantungan pasien paska stroke mampu 1. Cadilhac, D.A., Purvis, T., Kilkenny, M.F.,
menurun. Adapun modifikasi yang dilakukan adalah Longworth, W., Mohr, K., Pollack, M., Levi, C.R.,
persiapan pra pemulangan dan follow-up paska 2013. Evaluation of Rural Stroke Services:
pemulangan10. Does Implementation of Coordinators and
Pathways Improve Care in Rural Hospitals?
Kedudukan Sebagai Rumah Sakit Pendidikan Stroke, 44(10), pp.2848–2853. Available at:
Tuntutan sebagai rumah sakit pendidikan http://stroke.ahajournals.org/cgi/doi/10.1161/
untuk melakukan penelitian dan mendidik calon STROKEAHA.113.001258.

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017 ● 81


Muhammad Dahlan, dkk.: Evaluasi Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional

2. Kjellström, T., Norrving, B. & Shatchkute, Stress. PLoS ONE, 9(8), e105711. https://doi.
A., 2007. Helsingborg Declaration org/10.1371/journal.pone.0105711
2006 on European Stroke Strategies. 6. Alexandra, F. D., Dwiprahasto, I., & Pinzon, R.
Cerebrovascular Diseases, 23(2-3), pp.229– (2013). The role of clinical pathway on the outcomes
241. Available at: http://www.karger.com/ of ischemic stroke patients at Bethesda Hospital
doi/10.1159/000097646. Yogyakarta. Journal of Thee Medical Sciences
3. Levine, S.R., Khatri, P.,Broderick, J. P., (Berkala Ilmu Kedokteran), 45(2), 61–70. https://
Grotta, J. C., Kasner, S. E., Kim, D., Meyer, doi.org/10.19106/JMedScie004502201302
B. C.,Panagos, P., Romano, J., Scott, P. 2013. 7. Maredza, M., & Chola, L. (2016). Economic
Review, Historical Context, and Clarifications burden of stroke in a rural South African
of the NINDS rt-PA Stroke Trials Exclusion setting. eNeurologicalSci, 3, 26–32. https://doi.
Criteria: Part 1: Rapidly Improving Stroke org/10.1016/j.ensci.2016.01.001
Symptoms. Stroke, 44(9), pp.2500–2505. 8. Sudlow, C., & Warlow, C. (2009). Getting the
Available at: http://stroke.ahajournals.org/cgi/ priorities right for stroke care. BMJ, 338(jun04
doi/10.1161/STROKEAHA.113.000878. 1), b2083–b2083. https://doi.org/10.1136/bmj.
4. Zhang, J., Wei, R., Chen, Z., & Luo, B. b2083
(2016). Piracetam for Aphasia in Post-stroke 9. Lee, K., & Cho, E. (2016). Activities of daily living
Patients: A Systematic Review and Meta- and rehabilitation needs for older adults with a
analysis of Randomized Controlled Trials. stroke: A comparison of home care and nursing
CNS Drugs, 30(7), 575–587. https://doi. home care. Japan Journal of Nursing Science.
org/10.1007/s40263-016-0348-1 https://doi.org/10.1111/jjns.12139
5. Han, Z., Shen, F., He, Y., Degos, V., Camus, 10. Chen, L., Sit, J. W.-H., & Shen, X. (2016). Quasi-
M., Maze, M., … Su, H. (2014). Activation of experimental evaluation of a home care model
α-7 Nicotinic Acetylcholine Receptor Reduces for patients with stroke in China. Disability and
Ischemic Stroke Injury through Reduction of Rehabilitation, 38(23), 2271–2276. https://doi.or
Pro-Inflammatory Macrophages and Oxidative g/10.3109/09638288.2015.1123305

82 ● Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 6, No. 2 Juni 2017

Anda mungkin juga menyukai