Anda di halaman 1dari 4

Modus

1. Kepala Sekolah diminta menyetor sejumlah uang tertentu kepada pengelola dana BOS
di Diknas dengan dalih mempercepat proses pencairan dana BOS (kasus di hampir
semua daerah)

2. Kepala Sekolah menyetor sejumlah uang tertentu kepada oknum pejabat Diknas dengan
dalih untuk uang administrasi (kasus di Bandarlampung 2011, kasus Medan 2011).
Oknum Diknas Bandarlampung diduga mendapat setoran dana BOS 2009 dan 2010
sebesar Rp 250 juta. Oknum tsb mendapatkan dana BOS dengan memotong dana BOS
pada setiap sekolah sebesar Rp1,5 juta. Di Provinsi Sumatera Utara, oknum Kepala
Diknas minta setoran 17 persen kepada sekolah penerima dana BOS tahun 2006 dan
2007. Total dana yg dihimpun oknum kepala diknas kab/kota tsb mencapai Rp 3 miliar.

3. Para Kepala Sekolah menghimpun dana BOS untuk menyuap pegawai BPKP (kasus di
Cianjur).

4. Pengelolaan dana BOS tidak sesuai dengan petunjuk teknis (Juknis). Kasus terbesar
yang pernah diungkap ICW dan BPK adalah yg terjadi di DKI Jakarta. Di Jakarta,
penyaluran dan penggunaan bantuan operasional pendidikan (BOP) dan BOS melalui
SMP Induk Kepada Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) dan SDN 12
Rawamangun tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009 menyalahi juknis sehingga
merugikan negara miliaran rupiah.

BPK menemukan indikasi dan potensi kerugian negara dalam pengelolaan dana BOS,
BOP, dan Block Grant RSBI di tujuh sekolah SMPN 30, SMPN 84, SMPN 95, SMPN
28, SMPN 190, SMPN 67 dan SDN 012 RSBI Rawamangun Jakarta Timur.

Kerugian negara dalam pengelolaan dana BOS dan BOP di SMPN Induk ditaksir
mencapai Rp1,2 miliar. Sementara di SDN 012 RSBI Rawamangun sebesar Rp4,5
miliar. Kerugian negara terjadi karena dana BOS dan BOP tidak disalurkan oleh SMP
Induk pada pengelola TKBM. Selain itu, Pembayaran honorarium tidak didasari pada
suatu kegiatan. Menurut BPK, pemeliharaan tidak sesuai juknis (petunjuk teknis).
Bahkan penggunaan dana tidak didukung bukti memadai serta pembelian kebutuhan
sekolah tidak diyakini kebenarannya. Kerugian negara terjadi akibat dari kelebihan
pembayaran honorarium dan banyaknya duplikasi pembayaran atas pengeluaran makan
dan minum.

5. Sekolah memandulkan peran Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan dengan tujuan
mempermudah ‘mengolah dana BOS sendiri’ (kasus SDN 1 Rajabasa, Kota
Bandarlampung dan banyak sekolah lain di Lampung). Di SDN Rajabasa 1
Bandarlamping, dana BOS tahun 2007 dan 2008 tidak pernah diketahui oleh seluruh
dewan guru sekolah itu.

Sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah ini banyak
kekurangannya padahal dana BOS telah cair. Pada 2008 dana BOS di sekolah tersebut
sekitar Rp 60 juta.Kasus serupa kemungkinan besar terjadi di banyak sekolah di
Lampung.

6. Sekolah sengaja tidak membentuk Komite Sekolah (kasus ini pernah terjadi SMA
Negeri 2 Bandarlampung).

7. Dana BOS hanya dikelola oleh Kepala Sekolah dan Bendahara. Bendahara sering
dirangkap oleh Kepala Sekolah. (Kasus di SD Negeri 1 Kalauli Kecamatan Leihitu
Kabupaten Maluku Tengah. Kepsek SD tsb, Patisila Talla, mengambil alih peran
komite sekolah yang bersama-sama dengan penanggung jawab dana BOS untuk
menyusun perencanaan penggunan dana BOS. Kepsek membuat Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), menggunakan, dan
mempertanggungjawabkannya tanpa sepengetahuan komite sekolah. Seluruh dana BOS
tahun 2006-tahun 2008 digunakan untuk kepentingan Kepsek. Total dana BOS yang
dipakai Kepsek Rp 35.850.000.Semua dan keterangan yang tercantum di dalam buku
kas umum dana BOS dibuat oleh Kepsek.

8. Pihak sekolah menarik sumbangan kepada para orang tua siswa dengan dalih dana
operasional sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan kurang (kasus di semua
sekolah RSBI di Bandarlampung). Dengan alasan untuk menggaji guru, menambah
prasana sekolah, membangun ruang kelas baru, memperbaiki toilet, dan pagar, pihak
sekolah meminta sumbangan kepada para orang tua siswa. Mis: SDN 2 Teladan
Rawalaut, SMPN 25 Bandarlampung, dan banyak sekolah lainnya. Di SMPN 25
Bandarlampung, jumlah sumbangan sudah ditetapkan pihak sekolah.

9. Dana BOS sengaja dikelola secara tidak transparan. Indikasinya hampir tidak ada
sekolah yang memasang papan informasi tentang dana BOS. Dana BOS juga rata-rata
hanya diketahui kepala sekolah. Pengelolaannya tanpa melibatkan guru. Karena tidak
transparan, peluang penyelewengan dana BOS menjadi sangat terbuka. Hampir semua
kasus penyelewengan dana BOS disebabkan oleh pengelolaan BOS yang tidak
transparan.

10. Pihak sekolah (Kepala Sekolah) hampir selalu berdalih bahwa dana BOS kurang.
Kurangnya dana BOS itulah yang dijadikan dalih bagi pihak sekolah untuk menarik
dana sumbangan dari para orang tua siswa.

11. Penyusunan RAPBS yang bermasalah (sering dimarkup/markup jumlah siswa). Kepala
Sekolah melakukan mark-up jumlah siswa penerima dana BOS. (Kasus SMP PGRI 4
Bandarlampung dan SMP Negeri 27 Makkasar, Sulsel. [kemungkinan besar juga di
banyak sekolah lain]).

12. Kepala Sekolah membuat laporan palsu. Honor para guru yang dibayar dengan dana
BOS diambil Kepala Sekolah dengan tanda tangan palsu. (Kasus SMP Negeri 2 Jabung,
Malang, Jatim).

Selain memalsukan tanda tangan para guru, Imam Sahroni juga memalsukan kwitansi
pembelian alat tulis kantor (ATK) dan meminjam kas (dana BOS) dari bendahara BOS.
Pada tahun 2007 Imam meminjam dan BOS untuk kepentingan pribadi sebesar Rp23
juta. Bahkan, mulai tahun 2009 hingga 2010 Imam Sahroni juga meminjam dana BOS
sebesar Rp17 juta setiap bulan. Sehingga total penyelewengan dana BOS yang
dilakukan Imam sebesar Rp408 juta.

13. Pembelian alat/prasarana sekolah dengan kuitansi palsu/pengadaan alat fiktif. (Kasus di
sejumlah SD di DKI Jakarta). Beberapa tahun lalu Retno Listyarti, FMGJ (Forum
Musyawarah Guru Jakarta) mengungkap penyelewengan dana BOS di beberapa SD di
Jakarta. Menurut FMGJ banyak SD di Jakarta yang memakai dana BOS untuk
pengadaan alat peraga fiktif.

Alat peraga tidak dibeli oleh sekolah, tetapi di SPJ-nya ada. Begitu juga pengadaan
buku perpustakaan. SPJ-nya ada tapi tidak ada penambahan buku baru. Modus lainnya
terjadi pada pengadaan kertas yang biasanya untuk satu bulan. Anggarannya tidak
hanya dari satu pos tapi juga ada di pos lain. Artiya dobel anggaran.

14. Kepala Sekolah memakai dana BOS untuk kepentingan pribadi. Hal ini misalnya terjadi
di SMP Yos Sudarso Kota Metro. Mantan kepala SMP Yos Sudarso Metro (sudah
ditahan polisi), diduga kuat menyalahgunakan dana BOS 2005-2006 sebesar Rp152 juta
untuk kepentingan pribadinya.

Solusi yang bisa ditawarkan pada masa mendatang:

Ada audit independen thd laporan pemakaian dana BOS


Ada pengawasan dari DPRD—karena meskipun dana bersumber dari pemerintah pusat,
mekanisme penganggaran tetap melalui APBD.
Adanya peningkatan peran orang tua siswa (anggota Komite Sekolah) untuk terlibat
mengawasi dana BOS.
Perlu adanya intervensi KPK dengan mengambil alih semua kasus BOS
Perlu adanya penghargaan bagi sekolah yang mengelola BOS dengan baik dan hukuman bagi
kepala sekolah yang menyelewengkan dana BOS. Di Sulses, hukuman kepada kepala sekolah
yang menyelewengkan dana BOS dilakukan dengan menurunkan pangkat/golongan
kepsek.Perlu adanya penegakan hukum secara tegas sehingga menimbulkan efek jera bagi
para kepala sekolah yang menyelewengkan dana BOS.

Anda mungkin juga menyukai