Anda di halaman 1dari 5

CERPEN "PENGORBANAN TIADA HENTI SEORANG IBU"

Imam Kholyubi 03.32

Begitu besar pengorbanan Ibu untuk anaknya. Jiwa raga dipertaruhkan, mulai dari anak itu masih
berupa janin hingga menyerupai manusia dalam kandungan. Betapa sengsaranya seorang Ibu selama
Sembilan bulan lamanya terbebani sosok yang menyerupai manusia dirahimnya. Namun, keiklasan
yang dimiliki Ibu mampu mengubah beban yang begitu berat menjadi seringan kapas.

Seorang Ibu tak pernah mengeluh dan tak pernah merasa nyenyak disetiap posisi tidurnya.
Terpenting dalam diri seorang Ibu adalah, bagaimana anak yang dikandungnya merasa senyaman
mungkin. Subhanallah, entah seberapa kekuatan seorang Ibu ketika dianugrahi anak yang dikandung.

Setiap hari setiap saat, dalam hati maupun mulut seorang Ibu tak pernah lepas mendoakan
sibuah hatinya agar kelak jadi anak sholeh atau sholehah. Doa, doa, doa, dan terus berdoa tak pernah
lepas diucap oleh Ibu. Sangat beruntung anak yang mempunyai Ibu yang selalu mendoakannya.

Ketika anak ingin berpindah ke dunia baru, yakni dari dunia rahim ke dunia nyata, seorang Ibu
merasakan sakit yang luar biasa saat melahirkan. Hanya hidup dan mati yang jadi pilihan terakhirnya.
Ketika anak berhasil keluar “Oek, oek, oek…!”kebahagiaan tak terhingga bagi seorang Ibu mendengar
suara pertama anaknya. Letih, lesu, senyum, bahagia, dan tangis melebur disatu raut muka seorang Ibu
saat melihat anaknya lahir sehat.

Tak selesai sampai disitu, seorang Ibu masih memiliki tanggungan untuk membesarkan sibuah
hatinya. Seorang Ibu masih sibuk mengurusi masa-masa bayi anaknya. Ibu harus menyusui ketika
anak sedang lapar dan haus. Ibu harus menimang ketika anak sedang menangis. dan Ibu selalu
menjadi penghibur setia anaknya setiap saat. Begitu besar kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya.

Ketika anak sudah mulai besar dan mulai bisa bicara, sudah dipastikan kebutuhan semakin
tambah banyak. Tiada lain hanya seorang Ibulah yang akan menanggung itu semua. Hal terpenting bagi
seorang Ibu adalah bagaimana kebutuhan anak bisa tercukupi dengan baik.

“Bu, Ibu, Aku lapar! Ibu dimana?”dengan nada teriak manja.

“Iya, Nak…! Sebentar..! Ibu lagi nyuci piring.”

“Cepetlah, Bu..! lapar nih.”

Sesibuk apapun seorang Ibu rela meninggalkan hanya untuk anaknya. Tonggak utama kehidupan
seorang Ibu tiada lain adalah anaknya. Karenanya segala kehidupan Ibu direlakan untuk anaknya.
Senakal apapun anak, Ibu selalu sabar, iklas, dan tersenyum menghadapinya.
Ketika mulai masuk SD, kebutuhan anak lebih banyak dari sebelumnya. Seragam sekolah, buku,
sepatu, tas, dan sebagainya harus disiapkan oleh Ibu. Meskipun Ibu tidak memiliki cukup uang untuk
membeli itu semua, Ibu tetap mengusahakan agar semua peralatan sekolah anaknya terlengkapi.

Seorang Ibu rela hutang kesana kemari, menjual peralatan berharganya, bekerja apapun asal
mendapat uang, semata-mata hanya untuk anaknya. Meskipun banyak fikiran, badan terasa sakit,
namun seorang Ibu tetap menjaga senyum manis didepan anaknya.

“Hore…! Aku mempunyai seragam baru, dan besok bisa sekolah dengan seragam baru ini. Makasih
Ibu…!”

Ibu merasa bahagia melihat anaknya bahagia, meski dibalik seragam baru anaknya terhiasi hutang
dari tetangganya.

Esok harinya ketika Ibu lagi sakit, dan anaknya minta diantar kesekolah, Ibu tak bisa menolak
meskipun keadaannya sakit. Ibu tak ingin mengecewakan anaknya pada awal masuk sekolah. Dengan
manja anak meminta kepada Ibu untuk mengantarkan kesekolah.

“Bu, Aku ganteng kan pakai baju baru ini,” sambil menujukan penampilan dengan baju barunya.

“Iya, Nak. Kamu ganteng banget pakai baju itu,” senyum kecil.

“Ayo, Bu. Antarkan ke sekolahan.”

“Iya, Nak sebentar. Ibu masih minum obat dulu.”

“Cepat Ibu…!”

“Iya sebentar.”

Anak tidak peduli pada keadaan Ibunya, karena memang anak tidak tahu kalau Ibunya lagi sakit.
Ibu memaksakan diri untuk mengantar anak meski keadaan lagi sakit. Dengan tertatih-tatih Ibu berjalan
mengantar anaknya kesekolah. Sampai ditengah perjalanan, Ibu merasa pusing, pandanganya kabur,
dan akhirnya jatuh. Anak kaget melihat Ibunya yang tiba-tiba jatuh.

“Braakk, aduh.”

“Bu, Ibu kenapa?”

“Ibu tidak apa-apa kok, Nak. Ayo lanjut jalan lagi. Hampir sampai sekolahmu itu.”

Separah apapun keadaan, Ibu tetap saja menguatkan dirinya untuk berdiri dan mengabaikan rasa
sakitnya. Ibu tidak berani berkata kepada anak kalau dirinya sedang sakit, karena Ibu tidak ingin
kebahagiaan anaknya berkurang ketika mengetahui keadaan sebenarnya.

Ketika dewasa, anak mulai sulit diatur, nakal, sering membuat resah Ibunya. Anak itu mulai
mengenal pergaulan. Ia sering berkumpul dengan anak tak berpendidikan yang suka mabuk, berkelahi,
dan balapan liar. Keresahan Ibu semakin menjadi-jadi ketika anaknya menjadi anak yang nakal tak ber-
etika.

Dengan tubuh yang semakin menua, seorang Ibu masih bersemangat menyekolahkan anaknya kejenjang
yang lebih tinggi yaitu SMA. Pergaulan anak ternyata mempengaruhi kepribaiannya. Anak semakin nakal
dan suka marah-marah ketika keinginannya tak terpenuhi. Sesekali Ibu meminta tolong anaknya untuk
membelikan beras, namun anak tidak mau dan malah marah-marah.

“Nak, Ibu minta tolong belikan beras kewarung sebelah.”

“Gak mau, Bu. Beli sendiri saja, aku lagi asyik main game ini.”

“Sebentar saja, Nak. Ibu lagi sibuk masak air.”

“Gak mau ya gak mau Bu. Ngerti gak sih !”

Mendengar anaknya marah-marah karena tidak mau membelikan beras, Ibu merasa tersentak dan sakit
hati. Namun Ibu tetap diam dan sabar menghadapinya. Akhirnya Ibu berangkat sendiri . Sesakit-sakitnya
perasaan Ibu kepada tingkah laku anak, tak pernah meluapkan kemarahannya.

Lain waktu Ibu sedang mencuci baju, dan anaknya menghampiri untuk minta belikan sepeda motor
sama seperti punya teman-temannya. Ibu hanya bisa menasehati tidak menolak langsung permintaan
anaknya. Karena pada waktu itu Ibu sedang tidak memiliki uang cukup untuk membeli motor. Ketika
dinasehati, anak malah murka dan menendang cucian Ibunya.

“Bu, belikan motor kayak punya temen-temenku.”

“Apa, motor Nak. Saat ini Ibu tidak memiliki uang, Nak.”

“Gak mau tahu. .! Pokoknya segera belikan motor.” Sambil menendang cucian lalu pergi. Ibu hanya bisa
mengelus dada dan menangis.

“ Astagfirullah…Kuatkanlah hambamu ini ya Allah, dan maafkanlah segala kelakuannya.”

Kesana kemari Ibu mencari hutangan tidak ketemu-ketemu, karena hutang Ibu sudah menyebar banyak.
Ada satu tokoh disatu desanya yang biasa memberi jasa hutangan, namun terkenal mengenakan bunga
yang besar. Tanpa berfikir panjang, Ibu langsung menghampiri tokoh tersebut dan berhutang sebanyak
harga motor yang diminta anaknya.

Keesokan harinya datanglah sebuah motor persis sesuai permintaan si anak. Anak langsung mencoba

membunyikan motor barunya didepan rumah, kemudian langsung menancap gas, lalu pergi entah
kemana. Ibu hanya bisa tersenyum melihat anaknya bahagia meskipun terbebani hutang.

Rupanya anak itu sudah tidak mempunyai etika lagi terhadap Ibunya. Ia tega kasar dan keterlaluan
kepada Ibunya yang susah payah membesarkan dan memenuhi segala kebutuhanya. Semenjak dibelikan
motor, anak itu selalu membuat khawatir Ibunya. karena hampir setiap hari pulang larut malam. Anak
itu juga mulai suka minuman keras dan tidak bisa dinasehati lagi.

Suatu ketika anak pulang tengah malam, sesampainya dirumah dihadang Ibunya untuk dinasihati. Ibu
mencium bau alkohol ketika bicara dengannya dan Ibu sedikit murka. Namun anak itu malah marah-
marah kepada Ibunya saat dinasihati.

Terdengar bunyi sepeda motor, kemudian masuklah anak kerumah dan langsung dihadang ibunya.

“Dari mana kamu, Nak. Larut malam gini kok baru pulang?”

Badan sempoyongan disertai raut muka suram, si anak menjawab pertanyaan ibunya,“Dari rumah
teman, Bu.”

Ibunya mencium bau alkohol dari mulut anaknya, dan Ibu sedikit murka.

“Ngapain saja kamu dirumah temenmu, Nak..!”

“Gak ngapa-ngapain, Bu.”sambil garuk-garuk pantat.

“Kamu mabuk ya, jawab Nak…! Apa benar kamu mabuk ha…!”

“Akhhh, minggir…!”mendorong Ibunya sampai jatuh . anak itu pergi kekamarnya dan langsung
terkapar tidur diranjang.

Ibunya menangis dibawah kursi tempat jatuhnya ketika didorong anak. Ibu menangis tersedu-
sedu sambil mendoakan anaknya.

“Ya Allah…! Lindungilah anakku. Jauhkanlah dia dari godaan syetan. Ampunilah dosanya Ya Allah.”

Ibu mencoba berdiri kemudian berjalan kearah kamar anaknya. Ibu mengintip anaknya yang tidur
pulas dari pintu kamar yang sedikit terbuka disertai mengusap airmata dengan tangannya.

Setelah bangun tidur, pagi harinya anak berteriak-teriak kelaparan, meminta segera ada makanan
yang disantap. Sedangkan Ibu masih proses memasak. Rupanya anak itu tidak sabar menunggu Ibu
memasakanya. Anak itu marah-marah minta uang lalu pergi untuk makan ke warung makan.

“Bu..! lapar. Mana makananya?”

“Iya, Nak. Sebentar lagi. Ibu masih memasak.”

“Ahh, kelamaan…! Minta uangnya saja, aku makan diluar.”

“Tunggu sebentar lah, Nak. Hampir matang ini masakannya.”

“Gak mau lama.”


Anak melihat sejumlah uang yang ada disebelah tempat masakan Ibunya, tanpa izin, si anak
langsung mengambilnya lalu pergi. Ibu tidak merelakan uang diambil anak, karena uang itu untuk
belanja selanjutnya. Ketika anak dicegah malah marah-marah kepada ibunya.

“Jangan, Nak. Uang itu untuk belanja nanti.”

“Biar , gak peduli…!

“Tunggu sebentar, Nak. Masakannya hampir matang. Kamu makan dirumah saja.” Sambil
memegang tangan si anak.

“Akh, gak mau.” Mengibaskan tangan yang dipegangi Ibunya lalu pergi. Ibu hanya bisa
merenungkan diri dan sedih melihat tingkah anaknya saat ini.

“Astagfirullah, apa salah hamba ya allah sampai engkau menjadikan anakku seperti itu.”

Siang itu si anak mengalami kecelakaan dijalan raya dengan sepeda motornya rusak parah. Diduga
anak itu ngebut disaat mengendarai motornya. Karena tak terkendali, motornya menabrak pohon besar
dipinggir jalan. Seketika anak itu meninggal ditempat dan langsung diangkut ambulan. Datanglah
ambulan yang membawa mayat sianak ke rumah Ibu. Betapa terkejutnya Ibu melihat ambulan datang
dirumahnya yang ternyata berisi mayat anaknya. Seketika Ibu pinsan tak sadarkan diri berjam-jam.

Ketika Ibu sadar, mayat anaknya sudah bersih dimandikan. Ibu mendekati mayat anaknya sembari
menangis merasakan kesedihan yang mendalam.

“Kenapa kau jadi seperti ini, Nak. Kau satu-satunya anak Ibu yang berharga didunia ini, Nak.
Mengapa kau tinggalkan Ibu?” sedih, menangis tersedu-sedu sambil memeluk mayat anak.”Maafkanlan
segala dosa anakku ya Allah. Biarkanlah dosanya hamba tanggung ya Allah. Segala kesalahan yang
dilakukan adalah kesalahanku yang gagal mendidiknya agar menjadi anak soleh Ya Allah. Biarlah hamba
yang menanggung dosa-dosanya Ya Allah.” Tangisan Ibu semakin deras, kemudian pinsan.

Besarnya kasih sayang Ibu untuk anak tak dapat diukur dengan apapun. Meskipun anak selalu
menyakitinya, tetapi Ibu tidak membalas dengan kemurkaan. Setiap tingkah laku anaknya di hadapi
dengan senyuman. Kehidupan anak dari kecil sampai dewasa, bahkan sampai mati dilayani dengan baik
oleh seorang Ibu. Sampai Ibu lupa bagaimana untuk mengurusi dirinya sendiri. Segala hidupnya
dipertaruhkan untuk seorang anak. Ibu hanya menginginkan anak menjadi anak baik, anak sholeh yang
berbakti.

Anda mungkin juga menyukai