Anda di halaman 1dari 10

TERAPI ANTIRETROVIRAL UNTUK PENGOBATAN

HIV/AIDS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Biotekologi

Dosen Pengampu: AzmiAzhari, S.Si, M.Si

Oleh Kelompok 5:

Annisa Aulia Ruhimat (1608106091)

Friska Chairunnisa (1608106128)

Ika Munfaizah (1608106104)

Muhammad Gholib (1608106122)

Resy Kusuma Wardani (1608106120)

Viina Mir’atun Nisa (1608106090)

Waryati (1608106121)

TADRIS IPA BIOLOGI C/6

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SYEKH NURJATI CIREBON


A. PENDAHULUAN

Dewasa kini, HIV merupakan salah satu kasus yang masih marak dikarenakan
hilangnya moral dan budaya yang kian tergerus jaman. Menurut Augatha (2018: 2),
Indonesia merupakan salah satu dari 5 negara dengan kasus HIV terbanyak yakni 22.869
kasus baru HIV pada tahun 2014 dan 9.032 kasus baru HIV di Jawa Tengah. Hal tersebut
membuat para peneliti mencoba untuk menemukan suatu strategi untuk penanganan HIV
karena kasus HIV masih menjadi permasalahan yang cukup besar serta jumlah kasus HIV
yang terus meningkat setiap tahunnya meskipun telah dilakukan tindakan preventif dan
kuratif dalam penanganan HIV.
HIV/AIDS merupakan hal yang berbeda tetapi saling berhubungan. Human
Immunodeficiency Virus atau biasa disingkat HIV adalah virus yang menyebabkan penyakit
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV secara drastis dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh, sehingga memungkinkan penyakit, bakteri, virus, dan infeksi lainnya
menyerang tubuh Anda. HIV menyerang dan menghancurkan sel CD4 yang seharusnya
melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, tubuh jadi kesulitan melawan
infeksi dan kanker terkait HIV tertentu.
Terapi antiretroviral (ART) adalah kombinasi dari beberapa obat antiretroviral yang
digunakan untuk memperlambat HIV berkembang biak dan menyebar di dalam tubuh. Obat
antiretroviral sendiri adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus, terutama
HIV. Kombinasi tiga atau lebih obat antiretroviral lebih efektif, daripada hanya menggunakan
satu obat (monoterapi) untuk mengobati HIV.

B. PEMBAHASAN
1. Jurnal 1: Perubahan kadar hemoglobin dan nilai enzim aminotransferase pada terapi
antiretroviral lini pertama

Pemberian Terapi Anti Retroviral (ARV) lini pertama Human


Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu terapi yang masih digunakan
sebagai pilihan utama dalam pengobatan HIV. Terapi ARV yang dilakukan oleh para
peneliti bertujuan untuk mencari informasi mengenai efek samping terapi ARV dan
mengetahui jumlah penurunan kadar hemoglobin serta peningkatan enzim amino
transferase pada pasien HIV. ARV lini pertama terhadap pasien HIV memiliki peranan
penting terhadap penurunan angka mortalitas dan meningkatkan harapan hidup
penderita HIV.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross sectional dan
teknik concecutive sampling yang dilakukan di RSUD Ambarawa Kabupaten
Semarang. penelitian menunjujjan bahwa dari 37 sampel yang dianalisis yang
sebagian besar pasien berusia 26-45 tahun (45,9%), berjenis kelamin perempuan
sebanyak 21 orang (56,8%), berada pada stadium III sebanyak 24 orang (64,9%),
terinfeksi TBC sebanyak 30 orang (81,1%). hasil penelitian menunjukkan bahwa 23
pasien diantaranya yang memiliki nilai hemoglobin normal sebalum terapi ARV lini
pertama mengalami perubahan setelah terapi yakni penurunan kadar hemoglobin
setelah pemberian duviral pada terapi anti retroviral dengan nilai rata-rata penurunan
mencapai 3,29 mg/dl. Duviral merupakan obat anti retrovirat yang berisi kombinasi
regimen zidovudin dan lamivudin.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai enzim
aminotransferase diakibatkan oleh pemberian terapi ARV regimen nevirapin pada
terapi ARV lini pertama dengan rata-rata peningkatan 14,08 IU pada SGPT dan 11,40
IU pada SGOT. Peningkatan nilai enzim tersebut disebabkan oleh reaksi hiperpeka
dimana muncul kekebalan yang melibatkan pembentukan neoantigen, yang terbentuk
dari pengikatan kovalen antara protein hati dan metabolit obat reaktif. Mekanisme
lain terjadi karena efek toksisitas idiosinkrasi terkait obat.
2. Jurnal 2: Profil efek samping antiretrovirus pada pasien HIV/AIDS di RSPI Prof. Dr. Sulianti
Sarowo Jakarta

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang


disebabkan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh atau imunitas yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi untuk mengobati
AIDS adalah Antriretroviral. Namun penggunaan terapi ini muncul reaksi bat yang
tidak dikehendaki atau efek samping. Penelitaian ini menganalaisis apa saja efek
samping yang disebabkan dari terapi Antiretroviral pada penderita AIDS.
Berdasarkan survey para penderita HIV/AIDS adalah usia 15-49. Hal ini
dikarenakan usia tersebut merupakan usia yang produktif dan sedang aktif
melakukan hubungan seksual, narkoba serta penggunaan obat terlarang, sehingga
resiko tertularnya HIV tinggi. Pada tahun 2015, berdasarkan laporan survei yang
dilakukan oleh Kmenetrian Kersehatan RI bahwa DKI Jakarta menempati peringkat
pertama kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Terapi Antiretroviral (ARV) merupakan terapi yang yang diperuntuk bagi
penderita HIV. Terapi Antiretroviral ini diperlukan untuk menurunkan jumlah virus
HIV dalam tubuh agar tidak masuk ke stadium AIDS. Berdasarkan penelitan yang
dilakukan di RSPI Dr Suliant Saroso menunjukan bahwa 94,73% pasien mengalami
efek samping dari terapi Antiretroviral (ARV0 tersebut.
Berdasarkan data penelitian, terapi Antiretroviral (ARV) yang dilakukan pada
95 pasien. Pasien tersebut mengalami efek samping ringan dan berat. 90 pasien
mengalami efek samping ringan menyebabkan perasaan penderita tidak enak, tidak
ada keterbatasan gerak. Sedangkan efek samping berat yaitu penderita tidak bisa lagi
bergerak. 90 pasien yang mengalami efek samping ringan mengalami gangguan
sistem saraf pusat, saluran cerna, alergi, demam, dan anemia.
Regimen atau obat antiretroviral yang paling banyak digunakan adalah
TDF=3TC=Neviral. Pengguaan regimen ini banyak digunakan karena pemberian
regimen ini satu kali sehari sehingga lebih mudah diterima oleh pasien. Meskipun
satu kali sehari, penderita dengan menggunakan terapi ARV ini harus selama seumur
hidup dijalankan terpai ARV. Efek samping dari Regimen TDF+3tc+efavirenz yaitu
menyebabkan sakit kepala, sukar tidur, mual/muntah. Hal ini disebabkan karena obat
efavirenz ini menyerang gangguan sistem saraf pusat. Jadi setiap obat pastinya
memiliki efek samping. Namun selagi obat tersebut masih bisa ditoleransi efek
sampingnya maka tidak terlalu bahaya.
3. Jurnal 3: The combination of antiretroviral and Phyllanthus niruri extract is more effective to
increase CD4 cells count on HIV patients: a pilot study/ Kombinasi Antiretroviral dan
ekstrak Phyllanthus niruri Lebih Efektif untuk Meningkatkan Jumlah CD4 pada
Pasien HIV
Infeksi HIV dan AIDS adalah masalah global. Indonesia adalah salah satu dari
lima negara di Wilayah Asia Tenggara, yang merupakan mayoritas dari beban HIV.
Prevalensi orang dewasa HIV-positif di Indonesia stabil pada 0,3% secara regional,
tetapi epidemi sub-regional masih meningkat. Dari 1987 hingga akhir Desember
2015, ada sekitar 191.073 kasus infeksi HIV yang dilaporkan tersebar di 407 (80%)
dari 507 kabupaten / kota di Indonesia. Sekitar 66,7% dari infeksi HIV di Indonesia
ditularkan melalui kontak heteroseksual, 11,4% dengan berbagi jarum yang
terkontaminasi, 2,9% oleh kontak homoseksual, 0,3% oleh infeksi perinatal, dan
sisanya dengan cara infeksi lain. Mayoritas orang HIV-positif adalah laki-laki (55%),
tetapi persentase ibu rumah tangga yang HIV-positif meningkat.
Dari 1987 hingga Desember 2015 ada sekitar 77.112 kasus AIDS yang
dilaporkan di Indonesia. AIDS kebanyakan menyerang mereka yang berusia 20-29
tahun (31,8%), 30-39 tahun (29,9%), dan 40-49 tahun (12,1%). Lima provinsi dengan
tingkat kasus AIDS tertinggi adalah Papua (416,7), Barat Papua (216,5), Bali (140,4),
Wilayah Ibu Kota Jakarta (65,2), dan Kalimantan Barat (45,9).
Dari banyak spesies Phyllanthus dari keluarga Euphorbiaceae yang tersebar
luas di sebagian besar negara tropis, hanya sedikit yang telah dipelajari dan
diindikasikan memiliki potensi manfaat dalam praktik klinis. Studi praklinis pertama
Phyllanthus niruri sebagai imunostimulator pada tikus dilakukan oleh Ma’at Pada
usia 26 tahun. Dalam disertasinya, Ma'at menunjukkan bahwa Phyllanthus niruri
meningkatkan aktivitas kekebalan humoral dan seluler. Studi ilmiah telah
menunjukkan bahwa ekstrak dan senyawa terisolasi Phyllanthus niruri yang
dimurnikan memiliki efek antivirus terhadap virus herpes simpleks (HSV), virus
dengue (DENV), hepatitis B dan enzim reverse transcriptase HIV. Selain itu,
Phyllanthus niruri menunjukkan immunostimulator, dan efek hepatoprotektor.
Studi percontohan ini menggunakan desain kuasi-eksperimental, pasien
pengobatan HIV di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan, Surabaya dan Rumah
Sakit Umum Sidoarjo, Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Tahap klinis AIDS
didasarkan pada pedoman WHO. Ukuran sampel asli terdiri dari 32 pasien HIV yang
belum pernah diobati. Perhitungan didasarkan pada estimasi ukuran sampel untuk uji
klinis dengan 10% estimasi tingkat putus sekolah. Namun, salah satu peserta dari
tahap 4 AIDS pada kelompok intervensi dan satu pada kelompok kontrol telah
meninggal pada minggu pertama. studi, sebelum mereka diberi ART atau ekstrak
Phyllanthus niruri. Dua peserta studi dalam kelompok kontrol mangkir pada bulan
pertama studi, karena mereka telah pindah ke kota lain dan mereka tidak dapat
dihubungi. Oleh karena itu, analisis terdiri dari 15 peserta dalam kelompok intervensi
dan 13 peserta dalam kelompok kontrol. Penelitian dilakukan dari September 2013
hingga Maret 2015.
Kriteria inklusi untuk peserta adalah: pasien AIDS yang belum pernah diobati
yang berusia 17 tahun ke atas, bersedia untuk berpartisipasi secara sukarela dalam
penelitian dengan menandatangani persetujuan, dan memenuhi syarat untuk terapi
antiretroviral lini pertama sesuai dengan pedoman nasional untuk manajemen klinis
HIV. infeksi dan terapi antiretroviral pada orang dewasa. Kriteria eksklusi adalah:
memiliki gejala gagal jantung, gejala gangguan mental atau keganasan. Peserta
dikeluarkan dari penelitian jika ART dihentikan lebih dari seminggu karena sebab apa
pun, meninggal, tidak dapat dihubungi, atau diminta untuk menarik diri dari
penelitian. Co-trimoxazole diberikan kepada semua peserta selama dua minggu
sebelum mulai ART untuk memeriksa kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan
sebagai profilaksis utama terhadap toksoplasmosis dan pneumonia pneumocystis
jirovecii.
Kelompok intervensi diberikan dengan kombinasi ART lini pertama dan
kapsul ekstrak Phyllanthus niruri selama enam bulan, sementara kelompok kontrol
diberikan ART lini pertama selama enam bulan. Kelompok intervensi mengambil dua
kapsul ekstrak Phyllanthus niruri (masing-masing mengandung 50 mg ekstrak
Phyllanthus niruri) tiga kali sehari, 15 - 30 menit setelah makan, sebelum memakai
ART. Kelompok kontrol mengambil kombinasi ART lini pertama dan dua kapsul
plasebo yang mengandung 50 mg Amylum manihot tiga kali sehari. Namun, plasebo
hanya diberikan selama seminggu.
Dua puluh delapan pasien HIV berpartisipasi dalam penelitian ini. Rerata usia
pada kelompok kontrol secara signifikan lebih tua dari pada kelompok perlakuan.
Tidak ada perbedaan signifikan lainnya dalam karakteristik demografi, klinis,
kepatuhan terhadap terapi, dan hasil tes laboratorium sebelum pengobatan antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Kelompok intervensi secara signifikan memiliki rata-rata jumlah CD4 absolut
yang lebih tinggi (315,9 sel/μL) dibandingkan dengan kelompok kontrol (241,7
sel/μL), dan memiliki CD 4% lebih tinggi (19,5%) dibandingkan dengan kelompok
kontrol (12,7%) setelah enam terapi berbulan-bulan. Sebaliknya, kelompok intervensi
memiliki tes fungsi hati yang lebih rendah (SGOT dan SGPT) dibandingkan dengan
kelompok kontrol setelah enam bulan terapi.
Hasil dari GLM menunjukkan bahwa berada dalam kelompok intervensi
secara signifikan meningkatkan kemungkinan memiliki jumlah CD4 absolut yang
lebih tinggi sebesar 62.365 sel/μL setelah enam bulan terapi (95% CI, 35.732 -
88.998) dibandingkan dengan jumlah CD4 absolut dari peserta penelitian dalam
kelompok kontrol, disesuaikan dengan jumlah CD4 absolut sebelum terapi, usia,
tahap AIDS dan kepatuhan terhadap terapi. Selain itu, setiap satu unit peningkatan
jumlah CD4 absolut sebelum terapi secara signifikan meningkatkan jumlah CD4
absolut setelah enam bulan terapi dengan 1,190 sel/μL (95% CI, 0,965 - 1,415),
disesuaikan dengan jumlah CD4 absolut. sebelum terapi, usia, tahap AIDS dan
kepatuhan terhadap terapi.
4. Jurnal 4: Risiko Malnutrisi terhadap Jumlah CD4 ⁺ Orang dengan HIV/AIDS yang Menjalani
Terapi Antiretroviral di Mimika

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem


imunitas. HIV dapat berkembang menjad AIDS yaitu sindrom penyakit yang muncul
karena lemahnya sistem ekebalan tubuh. Pngobatan HIV saat ini menggunakan obat
antiretroviral (ARV) yang berfungsi untuk menekan jumlah virus dalam tubuh
ODHA. Terapi ARV dengan kepatuhan baik berdasarkan studi berbagai penelitian
dapat membantu ODHA untuk memperlambat progresivitas HIV menjadi baik dan
juga menurunkan jumlah kematian AIDS. Keberhasilan terapi ARV dapat ditandai
dengan peningkatan jumlah CD4+, jumlah virus sedikit atau tidak terdeteksi di dalam
darah (Adiningsih, 2018).
CD4+ (Cluster of Differentiation) merupakan molekul protein yang berada di
permukaan sel T-Limfosit. CD4+ berperan sebagai reseptor HIV yang membantu
virus masuk dalam sel. Virus dalam sel T-Limfosit kemudian memperbanyak materi
genetik dan juga partikel virus, yang akhirnya merusak sel T-Limfosit dengan
memproduksi banyak virus HIV baru dalam tubuh. CD4+ digunakan juga sebagai
penanda status imunologis ODHA dan keberhasilan terapi antiretroviral beserta
dengan status virologis ODHA (Adiningsih, 2018).
Menurut Adiningsih (2018), HIV/AIDS menginfeksi kelompok usia yang
produktif. Mayoritas penderita HIV yakni berumur 15-35 tahun. Dalam penelitian ini,
mayoritas subjek penelitian telah menjalani ARV paling lama 60 bulan dan memiliki
Indeks Massa Tubuh diatas 18,5. Mayoritas subjek penelitian menderita anemia yaitu
sebanyak 73,4% memiliki kadar Hb dibawah 13g/dL. Faktor penyebab anemia pada
penderita HIV/AIDS adalah Indeks Massa Tubuh rendah, efek samping ARV yaitu
Zidovudin, terapi ARV dengan kepatuhan rendah, kondisi imunologis rendah dengan
jumlah CD4+ dibawah 200sel/ul, dan adanya infeksi oportunistik. Indeks Massa
Tubuh kurang dari 18,5 berisiko 13,867 kali untuk memiliki jumlah CD4 + kurang dari
200 sel/ul dibandingkan dengan subjek Indeks Massa Tubuh diatas 18,5. Kondisi
malnutrisi cenderung mempercepat status HIV menjadi AIDS.
Kondisi malnutrisi atau IMT rendah dapat menyebabkan adanya gangguan
aktivasi dan juga proliferasi sel T-Limfosit, ekspresi sitokinin dan juga pengaturan
adipokin. Asupan energi dan protein yang rendah menyebabkan berkurangnya
ketersediaan glukosa sebagai sumber energi metabolisme sel T-Limfosit yang dapat
menghambat proliferasi sel T-Limfosit yang dapat turun. Intervensi terhadap status
gizi pasien HIV/AIDS dapat mendukung keberhasilan terapi ARV dengan kepatuhan
tinggi. Intervensi dapat dilakukan dengan pemberian suplemen makanan dengan
tujuan untuk meningkatkan fungsi imun selama menjalani terapi ARV. Pemberian
suplemen mikronutrien berupa multivitamin dan selenium selama 24 bulan pada
pasien HIV yang menjalani terapi ARV dapat menunda progresivitas HIV menjadi
AIDS dan aman bagi pasien (Adiningsih, 2018).
5. Jurnal 5: Analisis dan Kontrol Optimal pada Model Penyebaran Virus HIV dengan Peran
Respon Imun dan Terapi Antiretroviral

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu virus yang


menyebabkan penyakit AIDS, suatu kondisi pada manusia dimana sistem kekebalan
tubuh mulai menurun dan menyebabkan infeksi oportunistik. Virus ini menyerang sel
𝑪𝑫�+� dalam tubuh, semakin berkurangnya jumlah sel 𝑪𝑫�+� dalam tubuh maka
akan semakin cepat virus ini berkembang menjadi penyakit AIDS. Sampai saat ini,
belum ada pengobatan yang benar-benar dapat menyembuhkan atau menghilangkan
virus HIV, namun ada langkah-langkah preventif yang dapat membantu dalam
mengendalikan infeksi dan meningkatkan masa hidup orang yang terinfeksi yaitu
dengan memanfaatkan peran respon imun dan melakukan terapi antiretroviral. Terapi
ini berupa pemberian obat antiretroviral yang dapat mengendalikan infeksi dan
bekerja berdasarkan tahapan siklus hidup virus dengan cara yang berbeda.
Langkah-langkah analisis yang dilakukan berdasarkan tujuan dalam penelitian
dalam jurnal ini yaitu model penyebaran virus HIV, analisis sistem model penyebaran
virus HIV, menyusun fungsi tujuan dan memperoleh kendali optimal menggunakan
Prinsip Maksimum Pontryagi, melakukan simulasi menggunakan MATLAB 2013a,
dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah diperoleh.
a. Model Penyebaran Virus HIV

Model matematika dikonstruksi berdasarkan pada interaksi antara sel 𝐶�4+�


yang tidak terinfeksi �(�), sel 𝐶�4+� yang terinfeksi �(�), virus �(�) dan kedua
komponen dari respon imun yang diperoleh yaitu sel sitotoksik (CTL) 𝐶(�) dan
antibodi �(�). Dengan mengasumsikan bahwa penyebaran virus terjadi dalam
tubuh, sel sitotoksik terstimulasi karena adanya sel yang terinfeksi virus pada
tingkat �1 serta respon dalam menghadapi sel terinfeksi pada tingkat �1 dan
antibodi terstimulasi karena adanya virus bebas pada tingkat �2. Dalam model
penyebaran virus HIV tersebut terdapat beberapa hal yang dapat menambah
jumlah sel 𝐶�4+� tidak terinfeksi yaitu masuknya sel 𝐶�4+� pada tingkat � dan
perkembangbiakan sel pada tingkat 𝑟� (1 − � �� ). Dan jumlah sel 𝐶�4+� tidak
terinfeksi dapat berkurang karena kematian pada tingkat �0 dan terinfeksi virus
(𝛽��) dengan tingkat infeksi 𝛽 adalah konstan, sehingga dapat menambah jumlah
sel 𝐶�4+� tidak terinfeksi. Jumlah sel 𝐶�4+� terinfeksi dapat berkurang karena
keefektifan sel sitotoksik dalam membunuh sel 𝐶�4+� terinfeksi pada tingkat �1
dan matinya sel pada tingkat �0, yang akan menghasilkan virus baru pada tingkat
𝑁�0� melalui proses lisis. Jumlah virus bebas dapat berkurang karena keefektifan
antibodi dalam membunuh virus pada tingkat �2 dan kematian pada tingkat �1.
Jumlah sel sitotoksik dan antibodi dapat berkurang karena habisnya sel sitotoksik
pada tingkat �10 dan habisnya antibodi pada tingkat �20. Dengan
menggabungkan semua permasalahan yang dapat menyebabkan penyebaran virus
HIV terjadi, didapatkan hasil persamaan yang disebut dengan model Preety
Dubey.

b. Analisis Sistem Model Penyebaran Virus HIV

Dicari titik setimbangn terlebih dahulu, setelah diperoleh titik setimbang dari
sistem dinamik model penyebaran virus HIV, langkah selanjutnya adalah
menganalisis kestabilan dari sistem tersebut. Berdasarkan persamaan (10) – (14)
terlihat bahwa model matematika penyebaran virus HIV merupakan sistem PD
autonomous yang tak linear, maka untuk mendapatkan kestabilan akan dilakukan
linierisasi dengan menggunakan matriks Jacobi.

c. Kontrol Optimal Penyebaran Virus HIV

Teori kontrol optimal akan digunakan untuk menganalisis perilaku model


penyebaran virus HIV setelah diberi kontrol (terapi antiretroviral). Masalah
kontrol optimal untuk penyebaran virus HIV adalah menentukan fungsi kontrol
yang optimal sedemikian sehingga jumlah sel 𝐶�4+� meningkat.

d. Hasil Simulasi
Pada sub bab ini akan dianalisis mengenai hasil simulasi yang
membandingkan dinamika masing masing populasi sebelum dan setelah
pemberian kendali optimal ke dalam sistem dengan model penyebaran virus HIV
yang ditunjukkan melalui grafik, dengan menginputkan nilai nilai parameter yang
disajikan dalam tabel.

C. KESIMPULAN
1. Pemberian Terapi Anti Retroviral (ARV) lini pertama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) merupakan salah satu terapi yang masih digunakan sebagai pilihan utama
dalam pengobatan HIV
2. Efek samping ringan menyebabkan perasaan penderita tidak enak, tidak ada
keterbatasan gerak, sedangkan efek samping ringan mengalami gangguan sistem saraf
pusat, saluran cerna, alergi, demam, dan anemia
3. Kombinasi ART pertama dan ekstrak Phyllanthus niruri lebih efektif dalam
meningkatkan jumlah CD4 absolut dibandingkan dengan pemberian ART saja pada
pasien HIV.
4. CD4+ (Cluster of Differentiation) merupakan molekul protein yang berada di
permukaan sel T-Limfosit. CD4+ berperan sebagai reseptor HIV yang membantu
virus masuk dalam sel
5. Sistem dinamik pada model penyebaran virus HIV diperoleh 3 titik kesetimbangan.
Kendali optimal yang diperoleh pada upaya pemaksimalan atau peningkatan jumlah
sel 𝐶�4+� dengan menerapkan Prinsip Maksimum Pontryagin didapat pengendali
berupa obat antiretroviral yaitu RTI (𝜂𝑟) yang akan optimal jika nilai 𝜂𝑟 =
𝛽��(�1−�2) �1 dan PI (𝜂�) yang akan optimal jika nilai 𝜂� = −𝑁�0��3 �2 .

DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, S., & Widiyanti, M. (2018). Risiko Malnutrisi terhadap Jumlah CD4⁺ Orang dengan
HIV/AIDS yang Menjalani Terapi Antiretroviral di Mimika. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, 30(1), 41-46.
Anwar, Y., Nugroho, S. A., & Wulandari, S. D. (2018). Profile Of Antiretroviral Side Effects On
Hiv In Rspi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta. JURNAL ILMU KEFARMASIAN
INDONESIA, 16(1), 49-55.
Augatha, A. B., Wahab, Z., Ratnaningrum, K. (2018). Perubahan Kadar Hemoglobin dan Nilai
Enzim Aminotransferase pada Terapi Antiretroviral Lini Pertama. Ibnu Sina
Biomedika. 2(1): 1-6.
Diarsvitri, W., Budiarti, R., Adiwinoto, B., Setiawan, V. E., & Ma’at, S. (2018). The combination
of antiretroviral and Phyllanthus niruri extract is more effective to increase CD4
cells count on HIV patients: a pilot study.
Putri, S. A., Hariyanto, H., & Asiyah, N. (2019). Analisis dan Kontrol Optimal pada Model
Penyebaran Virus HIV dengan peran Respon Imun dan Terapi
Antiretroviral. Jurnal Sains dan Seni ITS, 7(2), 37-45.

Anda mungkin juga menyukai