Anda di halaman 1dari 23

STUDI BIOFARMASETIKA SEDIAAN OBAT MELALUI KULIT

NAMA KELOMPOK I A2C :

1. A.A Ayu Nintya Divacahya (171200195)


2. Cening Intan Sri Delvy (171200196)
3. Dewa Ayu Pradnya Dewi (171200197)
4. Gede Agus Erawan (171200198)
5. Gusti Ayu Agung Delia Paramitha W (171200199)
6. I Gusti Ngurah Adi Prayoga (171200200)
7. 7. I Kadek Surya Pradnya Putra (171200201)
8. I Komang Darma Santikayana (171200202)
9. I Made Putra Gangga (171200203)
10. I Nyoman Angga Wisnu Wardhana (171200204)
11. I Wayan Gede Indiarta (171200205)
12. Ida Bagus Made Ray Kayana (171200206)
13. Kadek Santi Dwi Paramita (171200207)
14. Kadek Widya Yundari (171200208)
15. Krismadani (171200209)
16. Made Indah Pradnya Sriani (171200210)
17. Muhammad Nanda Aprilianto (171200211)
18. Ni Kadek Ria Anjani (171200212)
19. Ni Kadek Rina Yulinda Dewi (171200213)
20. Ni Kadek Sulistya Dewi (171200214)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN

MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang
Widhi Wasa karena atas karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Studi Biofarmasetika Sediaan Obat Melalui Kulit” selesai tepat pada
waktunya.

Makalah ini disusun dalam rangka memberikan pengetahuan kepada para


pembaca mengenai Studi Biofarmasetika Sediaan Obat Melalui Kulit.
Pembahasan makalah ini disusun secara sederhana sehingga pembaca mudah
memahami konsep dan materi dari makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengalami berbagai tantangan


dan hambatan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus – tulusnya
kepada keluarga dan teman – teman yang telah memberi dukungan serta semangat
sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belum ideal dan perlu


penyempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan demi perbaikan isi makalah ini. Semoga makalah ini ada
manfaatnya.

Om Santih, Santih, Santih, Om.

Denpasar, Juni 2019

Penulis,

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk
di gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau
kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk
memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).
Menurut Katzung (2007), setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing
agar dapat bekerja dengan baik. Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat
pada temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam
penanganannya berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi
obat tersebut. Ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar
(BM 59.050) sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi
obat tersebut dalam kompartemen tubuh.
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia
yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini
menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam
waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat.
Untuk mendapatkan efektivitas yang maksimal, pemberian obat ditentukan
juga berdasarkan rute pemberiannya, unutk memilih rute pemberian yang tepat
dilihat dari tujuan terapi, sifat obat serta kondisi klinis pasien. Ada berbagai
macam rute pemberian obat diantaranya ialah pemberin secr oral, inhalasi,
subcutan, topical, intramuscular dan masih banyak lagi.
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat
fisikokimia formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas
menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik
(Shargel dan Yu, 2005). Pemberian obat melalui kulit dapat dilakukan dengan
berbagai cara dana sediaan obat, seperti obat cream yang diberikan secar
topical, obat injeksi yang disuntikan mellalui kulit dengan bebagai metode
seperti subcutan,intramuscular. Karena banyaknya jenis pemberian obat yang
dapat dilakukan melalui kulit sesuai dengan kebutuhan dan tujuan terapinya
maka pada makalah ini akan dijelaskan bagaimana studi terkait pemberian
obat melalui kulit.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kulit manusia?
2. Apa keuntungan dan kekurangan sediaan obat yang diberikan melaui
kulit?
3. Bagaimana rute penghantaran obat melalui kulit?
4. Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat
melalui kulit?
5. Bagaimana strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui
kulit?
6. Bagaimana evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan melalui
kulit?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiolgi kulit manusia
2. Untuk mengethaui keuntungan dan kekurangan sediaan obat yang
diberikan melaui kulit
3. Untuk mengetahui rute penghantaran obat melalui kulit
4. Untuk mengethaui factor-faktor yang mempengaruhi proses penghantaran
obat melalui kulit
5. Untuk mengetahui strategi apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
bioavailabilitas obat melalui kulit
6. Dapat melakukan evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan
melalui kulit
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Kulit


Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti
perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik
maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari
tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis
yang menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total
berat badan orang dewasa. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh
dari kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan radiasi ultraviolet,
sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen, merespon rangsangan
sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat banyak ujung saraf, tempat
penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan apabila terjadi
penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme vitamin D
(Richardson, 2006).
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis
yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel
berlapis bertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel.
Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling
tebal terdapat pada telapak 6 tangan dan kaki. Ketebalan epidermis
hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas
lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu
stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma,
2007).
b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan,
dermis terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut
kolagen menebal dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali
dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling bersilang
dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak
berkeriput (Perdanakusuma, 2007). Di dalam dermis terdapat folikel
rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar
sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf
dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah
kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
c. Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang
menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Jumlah dan ukurannya berbeda-beda 7 menurut daerah tubuh dan
keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis
untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).

Gambar 2.1 Struktur Kulit Manusia

2.2 Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Obat Melalui Kulit


2.2.1 Keuntungan
 Obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat.
 Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
 Biovaibilitas sempurna atau hampir sempurna
 Kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindarkan
 Obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau
yang sedang koma
(Lukas,2006)
2.2.2 Kerugian
 Dapat menimbulkan rasa nyeri atau sakit pada saat disuntik,
apalagi pemberiaannya berulang
 Memberikan efek psikologis pada pasien yang takut disuntik
 Bila terjadi kekeliruan pada saat pemberian, maka hampir tidak
dapat diperbaiki
 Bila obat sudah masuk kedalam tubuh pasien, maka sulit untuk
ditarik kembali atau dikeluarkan
 Obat hanya dapat diberikan kepada pasien di rumah sakit,atau
di tempat praktek dokter dan hanya dapat dilakukan oleh
perawat yang berpengalaman
(Rahman & djide, 2009)

2.3 Rute penghantaran obat melalui kulit

2.3.1 Penetrasi obat melalui kulit

Obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian

topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat atau kelenjar

lemak atau antara sel-sel dari selaput tanduk. Sebenarnya bahan obat

yang dipakai mudah memasuki kulit yang rusak atau pecah-pecah,

akan tetapi penetrasi semacam itu bukan absorbsi perkutan yang benar.

Apabila kulit utuh, maka cara utama untuk penetrasi obat umumnya

melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut

atau kelenjar keringat (Ansel, 2008).

Sediaan topikal digunakan untuk mendapatkan efek lokal di

lokasi aplikasi berdasarkan penetrasi obat ke dalam lapisan yang

mendasari kulit atau mukosa membran. Keuntungan utama sistem

pelepasan topikal adalah untuk menghindari first pass effect,

menghindari resiko ketidaknyamanan terapi intravena, perubahan pH,

dan waktu pengosongan lambung. Dalam segala keanekaragamannya

formulasi semi-solid mendominasi sediaan sistem pelepasan topikal

(Sharma, et al., 2012).Untuk mengurangi resistensi stratum corneum

dan variabilitas biologinya, peningkat penetrasi (promotor untuk


mempercepat absorpsi) digabungkan ke dalam sediaan kulit (Jadhav

dan Sreenivas, 2012).

Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum

korneum, yaitu:jalur transepidermal dan jalur pori.

Gambar Jalur penetrasi obat melalui stratum korneum (Trommer dan


Neubert, 2006)

Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan

jalur interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan

menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan

sitoplasma dari keratinosit yang mati. Jalur ini merupakan jalur

terpendek, tetapi obat mengalami resistensi yang signifikan karena

harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang lebih

umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur

interselular. Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar

korneosit (Trommer dan Neubert, 2006).

Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan

transglandular. Kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar


0,1% dari total luas tubuh manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini

terhadap penetrasi dianggap kecil. Tetapi, jalur transfolikular dapat

menjadi jalur yang penting bagi penetrasi obat yang diberikan secara

topikal. Hal ini karena folikel rambut menyediakan suatu reservoir

yang efisien bagi zat yang berpenetrasi melalui kulit. Pada jalur

transfolikular, zat hanya dapat berpenetrasi melalui folikel rambut

yang terbuka. Untuk membuka folikel rambut yang tertutup dapat

dilakukan pemijatan ringan (Lademann, et al., 2004).

2.3.2 Difusi melalui membran

Difusi merupakan suatu proses ketika obat melewati membran

agar molekul-molekul menurunkan gradien konsentrasinya.

Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi tanpa

memerlukan energi, sehingga mencapai kesetimbangan dikedua

membran. Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik,

maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk

terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Hanya fraksi zat

aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui

membran dengan cara difusi pasif (Aiache, dkk., 1993).


Gambar Multilayer kulit yang memperlihatkan permeasi obat

transdermal untuk pelepasan sistemik (Jadhav dan Sreenivas, 2012).

Ketika obat digunakan secara topikal maka obat akan

mengalami difusi pasif menuju permukaan jaringan kulit selanjutnya.

Perpindahan massa melewati stratum corneum menuju ke bagian

lapisan epidermis selanjutnya dan kemudian ke dalam lapisan dermis

hingga ke sirkulasi darah.

2.4 factor-faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat melalui kulit

2.4.1 Faktor biologis


Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor biologis yang
mempengaruhi penyampaian obat melalui kulit, yaitu meliputi (Barry,
1983) :

a. Kondisi dan umur kulit


Kulit utuh merupakan suatu sawar (barrier) difusi yang efektif dan
efektivitasnya berkurang bila terjadi perubahan dan kerusakan pada
sel-sel lapisan tanduk. Difusi obat melalui kulit juga tergantung
pada umur subyek, di mana kulit bayi dan anak anak lebih
permeabel dibandingkan kulit orang dewasa (Barry, 1983).

b. Aliran darah
Secara teoritis, perubahan sirkulasi pada daerah perifer, atau
perubahan aliran darah pada kulit (jaringan dermis), dapat
mempengaruhi absorbsi perkutan. Di mana dengan meningkatnya
aliran darah, maka waktu yang dimiliki zat aktif untuk berada pada
jaringan dermis akan berkurang, dengan demikian gradien konsentrasi
zat aktif yang berpenetrasi melalui kulit akan meningkat (Barry, 1983).
c. Tempat pemakaian
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama akan berbeda dan
hal ini tergantungpada ketebalan stratum korneum dan kerapatan
folikel rambut, maupun kelenjar keringat yang terdapat di kulit (Barry,
1983).
d. Perbedaan spesies
Kulit mamalia dari spesies yang berbeda akan menunjukkan beberapa
perbedaan karakteristik dari segi anatomi (Barry, 1983).

2.4.2 Faktor fisikokimia


Hal-hal yang termasuk ke dalam faktor fisikokimia yang
mempengaruhi penyampaian obat melalui kulit, yaitu:
a. Hidrasi kulit
Peningkatan hidrasi kulit bisa membuka struktur stratum korneum
sehingga penetrasi meningkat (Benson, 2005).
b. Temperatur
Secara klinis, temperatur kulit akan meningkat dengan digunakannya
suatu pembawa yang bersifat oklusif, seperti vaselin. Pada penggunaan
suatu pembawa yang bersifat oklusif, kelenjar keringat tidak dapat
mengeluarkan air maupun panas sehingga menyebabkan
meningkatnya suhu sekitar kulit. Jika suhu meningkat, maka
kelembaban (hidrasi) pun akan meningkat. Dalam keadaan terhidrasi
permeabilitas kulit akan meningkat, sehingga memudahkan absorbsi
zat aktif melalui kulit (Barry, 1983).
c. Bobot molekul dan polaritas senyawa
Dipandang dari segi bobot molekulnya, senyawa dengan bobot
molekul yangrendah akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan
senyawa denganbobot molekul tinggi (Barry, 1983).
d. Konsentrasi zat aktif
Berdasarkan hukum Fick, jumlah zat aktif yang diserap pada setiap
satuan luas permukaan dan satuan waktu adalah sebanding dengan
konsentrasi senyawa dalam media pembawa (Barry, 1983).
e. Koefisien partisi
Koefisien partisi didefenisikan sebagai pembagian konsentrasi dalam
lemakdengan konsentrasi dalam fase air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi
transmembran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa
organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien
partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut
merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Aiache, dkk.,
1993).
f. Lipofilisitas
Peningkatan lipofilisitas obat menyebabkan berkurangnya permeasi.
Sebuah studi serupa dengan nalbuphine dan prodrugnya yang
menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas menyebabkan rasio
peningkat penetrasi menurun (Sung, et al., 2003).
g. Formulasi
Faktor lain yang mempengaruhi penetrasi senyawa bioaktif melalui
kulit adalah jenis formulasi yang dirancang untuk masuknya obat.
Konsentrasi obat mempengaruhi penghantaran topikal. Selanjutnya,
peningkatan viskositas pada formulasi menurunkan penetrasi obat ke
dalam kulit yang mungkin disebabkan oleh penurunan difusi (Aiache,
dkk., 1993).
h. Tempat pengolesan
Jumlah yang diserap oleh molekul yang sama, akan berbeda
tergantung pada anatomi tempat pengolesan. Perbedaan ketebalan
kulit terutama disebabkan oleh perbedaan ketebalan lapisan tanduk
(stratum corneum) pada setiap bagian tubuh (Aiache, dkk., 1993).

2.5 Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat


melalui kulit

Pada sistem penghantaran transdermal dan topikal untuk menaikkan


penetrasi atau bioavailabilitas dari obat dapat digunakan Transfersome. Istilah
Transfersome merupakan konsep yang dikenalkan tahun 1991 oeh Gregor
Cevs. Setelah itu bermunculan penelitian di bidang ini dengan nama fleksibel
vesikel, etosom dan lain-lain. Istilah transfersome didaftarkan namanya oleh
perusahaan Jerman IDEA AG dan digunakan untuk obat yang
penghantarannya menggunakan teknologi tersebut. Transfersome artinya
membawa berasal dari bahasa latin trasferre yang artinya membawa
menembus dan Yunani a soma yang artinya tubuh. Transfersome adalah
vesikel buatan dan mirip dengan vesikel sel alami. Sehingga cocok untuk
penghantaran obat terkontrol dan tertarget. (Prajapati et al, 2011)

Transfersome artinya adalah tetesan lipid bilayer yang memiliki


kemampuan deformabiliti dimana mampu membuat penetrasi yang mudah
melalui pori yang lebih kecil dibandingkan ukuran droplet itu sendiri. Ketika
diaplikasikan ke dalam kulit, pembawa mencari dan mengeksploitasi jalur
hidrofilik atau pori diantara sel di dalam kulit, dimana cukup terbuka dan
membiarkan vesikel masuk bersama muatan obatnya, mengubah bentuk
dirinya dengan ekstrim tanpa kehilang integritas bentuk vesikularnya.
Transersome berpeneterasi ke dalam SC baik dengan intraseluler atau
transeluler. Fleksibilitas dari membran transfersom diperoleh karena
pencampuran yang sesuai atara komponen aktif dalam ratio yang tepat.
Fleksibilatas dari transfersome meminimalkan resio vesikel pecah di dalam
kulit dan membiarkan transfersome mengikuti gradien air alami melewati
epidermis ketika diaplikasikan kondisi nonoklusif. Dosis Transfersome
diaplikasikan perunit area, dibandingkan jumlah total obat yang
digunakan.Transfersome melindungi obat dari degradasi metabolisme dan
bertindak sebagai depot melepaskan isinya perlahan lahan. (Prajapati et al,
2011)

Transfersome dapat menekan melalui pori kecil di dalam subkutan yang


lebih kecil dibanding ukuran vesikelnya. Transfersome dapat digunakan pada
penghantaran obat dengan bobot molekul rendah atau tinggi. Jumlah dan
kedalaman vesikel elastik tergantung pada tipe pembawa, total masssa yang
diaplikasikan, efisiensi penyerapan dan kondisi aplikasi seperti pretreatment
oklusif dari vesikel dan durasi serta jumlah aplikasi. Transfersome
memperpanjang pelepasan dan menunjukkan aktivitas biologi yang lebih baik
dibanding dengan liposom konvensional dan ointment.4Kulit memiliki pori
kecil sekitar (20-40 nm) sehingga membatasi molekul untuk melewati
interselular. Untuk mengatasi masalah ini, Cevc mengembangkan sistem
liposom dengan agregat deformabel yang disebut Transfersomes® . Karena
deformabiliti tinggi (fleksibiliti), Transfersomes® menekan pori di dalam SC
kurang lebih satu sepersepuluh dari diameter liposom. Sehingga, kenaikan
ukuran sampai 200-300 nm dapat berpenetrasi ke kulit. Studi menunjukkan
bahwa Transfersomes® lebih efektif dibandingakan liposom konvensional
atau ointment dalam berpenetrasi ke dalam kulit. (Cevc, 2002 ; Choi, 2015)

Persyaratan bahan yang digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain (Williams
dan Barry, 2004) :

1) Tidak toksis, tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan alergi.


2) Inert, tidak memiliki sifat farmakologi.
3) Dapat mencegah hilangnya substansi endogen dari dalam tubuh
4) Dapat bercampur dengan bahan aktif dan bahan pembawa dalam sediaan.
5) Dapat diterima oleh tubuh dan dengan segera dapat mengembalikan fungsi kulit ketika
dihilangkan dari sediaan.
6) Tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan relatif murah.

Peningkat penetrasi yang digunakan pada formulasi obat transdermal bertujuan


untuk memperbaiki fluks obat yang melewati membran. Fluks obat yang melewati
membran dapat dipengaruhi oleh koefisien difusi membran melalui stratum corneum,
konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antar obat dengan
stratum corneum dan tebal lapisan membran. Peningkat penetrasi yang efektif dapat
meningkatkan koefisien difusi obat ke dalam stratum corneum dengan cara
mengganggu sifat penghalangan stratum corneum (Williams dan Barry, 2004).
Peningkat penetrasi dapat bekerja melalui tiga mekanisme, yaitu dengan cara
merusak struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein intraseluler dan
memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent kedalam stratum
corneum (Swarbrick dan Boylan, 1995). Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai
peningkat penetrasi antara lain air, sulfoksida, senyawa-senyawa azone, pyrollidones,
asam-asam lemak, alkohol dan glikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid
(Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry, 2004).
Air dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi karena air akan meningkatkan
hidrasi pada jaringan kulit sehingga akan meningkatkan penghantaran obat baik untuk
obat-obat yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Adanya air juga akan mempengaruhi
kelarutan obat dalam stratum corneum dan mempengaruhi partisi pembawa ke dalam
membran (Williams dan Barry, 2004).
Pada asam lemak, semakin panjangnya rantai pada asam lemak maka akan
meningkatan penetrasi perkutan. Asam lemak yang biasa digunakan adalah asam oleat,
asam linoleat, dan asam laurat. Asam laurat dapat meningkatkan penetrasi senyawa yang
bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Mekanismenya dengan cara berinteraksi dengan lipid
pada stratum corneum menggunakan konfigurasi cis (Swarbrick dan Boylan, 1995;
Williams dan Barry, 2004).
Etanol dapat meningkatkan penetrasi dari levonorgestrel, estradiol, dan
hidrokortison. Efek peningkatan penetrasi etanol tergantung dari konsentrasi yang
digunakan. Fatty alcohol seperti propilen glikol dapat digunakan sebagai peningkat
penetrasi pada konsentrasi 1-10% (Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry,
2004).

2.6. Evaluasi Bioavailabilitas Obat Yang Diberikan Melalui Kulit


Jumlah senyawa yang diserap melalui jalur perkutan sangat sedikit dan
pada umumnya sulit diketahui, bahkan kadang tidak mungkin, hal ini karena
sensitivitas dari metode penentuan kadar berdasarkan sifat fisika kimia yang
dgunakan sering tidak memadai. Pemakaian molekul berlabel dilakukan untuk
mengatasi masalah analitik yaitu metode dengan berbagai teknik yang digunakan
mempunyai sensitivitas tinggi dan spesifitas yang mutlak (Robert L, dkk.1989).

Jika senyawa yang diteliti merupakan senyawa yang umum terdapat di


dalam tubuh misalnya vitamin dan hormone, maka tidak mungkin untuk dapat
ditentukan secara langsung dan tentunya memerlukan penggunaanrunutan
radioaktif. Dalam hal-hal tertentu, senyawa yang tidak berubah dapat ditentukan
kadarnya secara radioimunologi (Robert L, dkk.1989) yang selalu harus
dilaksanakan dengan sangat hati-hati untuk menjaga terjadinya reaksi samping,
dan hanya dapat diterapkan untuk molekul-molekul tertentuyang pekaterhadap
pembentukan antibody spesifik. Selain itu kromatografi gas dan imunoenzimologi
juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah analisis.

2.6.1 Studi Difusi In Vitro

Berdasarkan dari penilaian biofarmasetik obat-obatan yang diberikan melalui


kulit, maka sesudah dilakukan uji kekentalan bentuk sediaan, ketercampuran,
pengawetan, selanjutnya dilakukan uji pelepasan zat aktif in-vitro dengan maksud
agar dapat ditentukan bahan pembawa yang paling sesuai digunakan untuk dapat
melepaskan zat aktif ditempat pengolesan.ada beberapa metode, yang dapat
dilakukan diantaranya adalah difusi sederhana dalam air ,difusi dalam gel, dyalisis
melalui membrane kolodion atau selofan.

2.6.2 Studi Penyerapan (Absorbsi)

Penyerapan perkutan dapat diteliti berdasarkan dua aspek utama yaitu penyerapan
sistemik dan lokalisasi senyawa dalam struktur kulit. Dengan cara in vitro dan in
vivo dapat dipastikan intasan penembusan dan tetapan permeabilitas, serta
membandingkan efektivitas dan berbagai bahan pembawa (Robert L, dkk.1989)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan isi makalah yang telah dipaparkan maka kesimpulan yang


diperoleh terkait dengan tujuan pembuatan makalah ini yaitu :

3.1.1 Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti
perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik
maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari
tubuh dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit terdiri dari dua lapisan
yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel
dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan suatu lapisan jaringan
ikat.

3.1.2 Ada beberapa keuntungan dan kerugian sediaan obat melalui kulit,
keuntungan nya : obat memiliki onset (mula kerja) yang cepat, efek obat
dapat diramalkan dengan pasti, biovaibilitas sempurna atau hampir
sempurna, kerusakan obat dalam saluran pencernaan dapat dihindarkan,
obat dapat diberikan kepada penderita yang sakit keras atau yang sedang
koma. Sedangkan kerugian sediaan obat melalui kulit yitu : dapat
menimbulkan rasa nyeri atau sakit pada saat disuntik, apalagi
pemberiaannya berulang, memberikan efek psikologis pada pasien yang
takut disuntik, bila terjadi kekeliruan pada saat pemberian, maka hampir
tidak dapat diperbaiki, bila obat sudah masuk kedalam tubuh pasien, maka
sulit untuk ditarik kembali atau dikeluarkan, obat hanya dapat diberikan
kepada pasien di rumah sakit,atau di tempat praktek dokter dan hanya
dapat dilakukan oleh perawat yang berpengalaman.

3.1.3 Rute penghantaran obat melalui kulit ada dua cara, yang pertama yaitu
penetrasi obat melalui kulit, obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh
setelah pemakaian topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar
keringat atau kelenjar lemak atau antara sel-sel dari selaput tanduk. Yang
kedua yaitu difusi melalui membrane, difusi merupakan suatu proses
ketika obat melewati membran agar molekul-molekul menurunkan gradien
konsentrasinya. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi
tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai kesetimbangan dikedua
membran.

3.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat melalui kulit


ada dua yaitu faktor biologis (kondisi dan umur kulit, aliran darah, tempat
pemakaian, perbedaan spesies). Faktor fisikokimia (hidrasi kulit,
temperature, bobot molekul dan polaritas senyawa, konsentrasi zat aktif,
koefisien partisi, lipofilisitas, formulasi, tempat pengolesan).

3.1.5 Transfersome artinya adalah tetesan lipid bilayer yang memiliki


kemampuan deformabiliti dimana mampu membuat penetrasi yang mudah
melalui pori yang lebih kecil dibandingkan ukuran droplet itu sendiri.
Ketika diaplikasikan ke dalam kulit, pembawa mencari dan
mengeksploitasi jalur hidrofilik atau pori diantara sel di dalam kulit,
dimana cukup terbuka dan membiarkan vesikel masuk bersama muatan
obatnya, mengubah bentuk dirinya dengan ekstrim tanpa kehilang
integritas bentuk vesikularnya.

3.1.6 Jumlah senyawa yang diserap melalui jalur perkutan sangat sedikit dan
pada umumnya sulit diketahui, bahkan kadang tidak mungkin, hal ini
karena sensitivitas dari metode penentuan kadar berdasarkan sifat fisika
kimia yang dgunakan sering tidak memadai. Pemakaian molekul berlabel
dilakukan untuk mengatasi masalah analitik yaitu metode dengan berbagai
teknik yang digunakan mempunyai sensitivitas tinggi dan spesifitas yang
mutlak.

3.2 Saran

Dalam memberikan sediaan obat melalui kulit harus memperhatikan


beberapa hal yaitu, anatomi dan fisiologi kulit, keuntungan dan kerugian sediaan
obat melalui kulit, rute/jalur penghantaran obat melalui kulit,dan faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pengahantaran sediaan obat melalui kulit. Ini
bertujuan untuk memaksimalkan efek dari pemberian obat melalui kulit dan
mengurangi resiko yang mungkin terjadi akibat pemberian obat melalui kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J. M., dan Devissaguet, J. Ph., 1993, Farmasetika 2 Biofarmasi


diterjemahkan oleh Dr. Widji Soeratri, Edisi kedua, Hal 405-433,
Airlangga University Press, Surabaya

Anief M. 1991. Apa Yang Perlu Diketahui tentang Obat. Yogyakarta: UGM

Ansel, H. C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ed IV, Alih bahasa
Ibrahim, F. Jakarta : UI Press.

Barry B.W., 1983, Dermatological Formulation, Marcell Dekker Inc., New York.

Benson, Harold J. 2005. Micrpbiological Apllications Laboratory Manual in


General Microbiology. New York: CRC press.

Cevc G., Transfersomes : Innovative Transdermal Drug Carriers in Modified


Release Drug Delivery Technology , Ratbone M (editor).
2002.Marcel Dekker,New York

Choi M.J, Maibach H.I, (2005). Elastic vesicles as topical/transderma drug


delivery systems.International Journal of Cosmetic Science,
27,211-221)

Faulkner. 2008. Journal of Nursing Management. Vol 16;214-217

Katzung B. G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Boston: McGraw
Jadhav, K.J., dan Sreenivas S.A. (2012). Riview On Chemical Permeation
Enhancer Used Transdermal Drug Delivery System. International
Journal Of Science Innovations And Discoveries. (6): 204-217.

Latifah R., Djide M.N., Sediaan Farmasi Steril. Lembaga Penerbit Universitas
Hasanuddin (Lephas). Makassar. 2009.

Lukas S., Formulasi steril. Penerbit Andi. Yogyakarta. 2006.

Perdanakusuma, D.S. (2007).Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka.


Surabaya: Airlangga University School Of Medicine–Dr. Soetomo
General Hospital. Hal.1-8.

Prajapati TS, Patel CG., Patel CN.. Transfersomes: A Vesicular Carrier System for
Transderma Drug Delivery. Asian Journal of Biochemical and
Pharmaceutical Research Issue 2 (Vol 1) 2011

Richardson, Grant. 2006. The Impact of Tax Fairness Dimensions on Tax


Compliance Behavior in an Asian Jurisdiction: The Case of Hong Kong.
International Tax Journal, p 29-42

Robert L, Bronaugh Et Al, 1989, Percutaneous Absorbtion, Zed Edition, Marck


Dekker Inc, New York

Shargel, L., Yu, A., and Wu, S., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika

Terapan, Edisi kedua.Surabaya: Airlangga University Press

Sung, K. T. & Kim, H. S. (2003). Elder Respect Among Young Adults :

Exploration of Behavioral Forms in Korea. International Journal of

Ageing. Vol 28 (3), 279-294.

Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, inEncyclopedia of


PharmaceuticalTechnology, Volume 11, Marcel Dekker Inc.,
NewYork, 413-445
Tranggono, R.I. dan Latifah, F., 2007, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik, 6, 90-93, 100, P.T Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Trommer, H., dan Neubert, R.H.H. (2006). Overcoming The Stratum Corneum:
The Modulation of Skin Penetration. Skin Pharmacology and
Physiology. 19: 106-121.

Williams, A. C., dan Barry, 2004, Penetration Enhancer, Advanced Drug Delivery
Review, No.56, 603-618.

Anda mungkin juga menyukai