Anti Fungi
Anti Fungi
1. NUCLEIC ACID
a. Flucytosine (5-fluorocytosine)
adalah primidin sintetis yang telah kemajuan dalam bidang biologi molekular dan
fungsional genomik mulai menyorot perbedaan penting antara sel mamalia dan jamur yang
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan terapi anti jamur baru. Untuk saat ini, hanya satu
kelas agen di klinis menggunakan target sintesis DNA / RNA yaitu golongan antimetabolit
misalnya flucytosine atau 5-fluorocytosine (5-FC). Flusitosin awalnya dikembangkan di
tahun 1950 sebagai agen antineoplastik potensial. Meskipun tidak efektif terhadap tumor itu
kemudian ditemukan memiliki aktivitas anti jamur. metabolit digunakan sebagai kemoterapi
untuk berbagai jenis kanker. Senyawa 5- FU ini akan mempengaruhi sel melalui dua jalur.
Jalur pertama adalah inhibisi sintesis protein/terganggunya translasi RNA, dimana diawali
dari senyawa 5-FU mengalami tiga kali proses fosforilasi yaitu membentuk 5 fluorouridine
monophosphate (FUMP) yang kemudian membentuk 5-fluorouridine diphosphate (FUDP)
dan 5-fluorouridine triphosphate (FUTP). FUTP ini kemudian masuk ke dalam RNA yaitu
menggantikan molekul urasil sedikit. Proses replikasi DNA yang gagal mengakibatkan sel
tidak dapat berkembang sehingga akan mati. Senyawa flucytosine memiliki pengaruh yang
spesifik pada DNA dan RNA sehingga sel eukariotik yang terkena paparan antibiotik ini akan
mengalami kondisi statis, terhambat karena protein yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya tidak terbentuk/gagal, yang pada akhirnya akan mati.
2. TRIAZOLE
a. Flukonazole
Farmakologi : Flukonazol merupakan inhibitor cytochrome P-450 sterol C-14 alpha-
demethylation (biosintesis ergosterol) jamur yang sangat selektif. Pengurangan ergosterol,
yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam membran sel-sel jamur, dan akumulasi
sterol-sterol yang mengalami metilase menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi
sel yang berhubungan dengan membran. Secara in vitro flukonazol memperlihatkan aktivitas
fungistatik terhadap Cryptococcus neoformans dan Candida spp.
Farmakokinetik : Flukonazol larut air dan cepat diabsorpsi sesudah pemberian oral, dengan
90% bioavailabilitas, 12% terikat pada protein. Obat ini mencapai konsentrasi tinggi dalam
LCS, paru dan humor aquosus, dan menjadi obat pilihan pertama untuk meningitis karena
jamur. Konsentrasi fungisidanya juga meningkat dalam vagina, saliva, kulit dan kuku.
– Pengobatan secara oral dengan fluconazole mengakibatkan terjadinya absorpsi obat
secara cepat dan hampir sempurna. Konsentrasi serum identik diperoleh setelah
pengobatan secara oral dan secara parenteral yang menunjukkan bahwa metabolisme
tahap awal (first-pass metabolism) obat tidak terjadi. Konsentrasi darah naik sesuai
dengan dosis dengan tingkat dosis yang bermacam-macam. Dua jam setelah
pemberian obat secara oral dengan dosis 50 mg, konsentrasi serum dengan kisaran 1,0
mg/l dapat diantisipasi, namun hal ini terjadi hanya setelah dosis ditambah secara
berulang-ulang hingga mencapai 2,0 sampai dengan 3,0 mg/l.
– Pengobatan fluconazole secara oral atau secara parenteral menyebabkan percepatan
dan penyebaran distribusi obat. Tidak seperti obat antifungal azol jenis lainnya,
protein yang mengikat fluconazole memiliki kadar yang rendah (sekitar 12%). Hal ini
menyebabkan tingginya tingkat sirkulasi obat yang tidak terikat. Tingkat sirkulasi
obat yang tidak terikat pada sebagian besar kelencar dan cairan tubuh biasanya
melampaui 50% dari konsentrasi darah simultan.
– Tidak seperti obat anti jamur azole jenis lain, fluconazole tidak dapat dimetabolisme
secara ekstensif oleh manusia. Lebih dari 90% dari dosis yang diberikan tereliminasi
ke dalam urin: sekitar 80% dalam bentuk obat-obatan asli (tidak berubah
komposisinya) dan 10% dalam bentuk metabolit. Tidak ada indikasi induksi atau
inhibit yang signifikan pada metabolisme fluconazole yang diberikan secara berulang-
ulang.
– Sarana eliminasi utama dalam hal ini adalah ekskresi renal obat-obatan yang tidak
dapat dirubah komposisinya. Pada pasien yang memiliki fungsi renal normal, terdapat
sekitar 80% dari jumlah dosis yang diberikan tercampur dengan urin dengan bentuk
yang tidak berubah dan konsentrasi > 100 mg/l. obat jenis ini dibersihkan melalui
filtrasi glomerular, namun secara bersamaan terjadi reabsorpsi tubular. Fluconazole
memiliki paruh hidup serum selama 20-30 jam, tetapi dapat diperpanjang waktunya
jika terjadi gangguan pada fungsi renal, dengan pemberian dosis terhadap pasien yang
memiliki tingkat filtrasi di bawah 50 ml/menit. Fluconazole akan hilang selama
haemodialysis dan pada sejumlah kasus terjadi selama dialysis peritoneal. Sessi
haemodialysis selama 3 jam dapat mengurangi konsentrasi darah hingga sekitar 50%.
Kegunaan Terapi : Fluconazole dapat digunakan untuk mengobati candidosis mukosa dan
candidosis cutaneous. Selain itu, obat ini juga efektif untuk perawatan berbagai jenis
gangguan dermatophytosis dan pityriasis versicolor.
Fluconazole adalah jenis ramuan obat yang menjanjikan bagi perawatan penyakit candidosis
stadium lanjut/berat pada pasien yang tidak menderita neutropenia, namun sebaiknya tidak
digunakan sebagai pilihan utama pada pasien neutropenia kecuali jika terdapat alasan-alasan
tertentu. Fluconazole telah terbukti bermanfaat untuk perawatan prophylaktat terhadap
penyakit candidosis yang diderita oleh pasien pengidap neutropenik. Fluconazole tidak tidak
efektif untuk mengobati aspergillosis dan mucormycosis.
Fluconazole merupakan jenis obat-obatan yang ampuh untuk mengatasi meningitis
cryptococcal, tetapi tidak boleh dijadikan prioritas utama untuk pasien pengidap AIDS
kecuali jika terdapat alasan-alasan tertentu. Fluconazole terbukti lebih efektif dan lebih dapat
ditoleransi dibandingkan amphotericin B untuk mengobati atau mencegah terjadinya
cryptococcosis pada pasien penderita AIDS.
Fluconazole saat ini menjadi jenis obat yang menjadi pilihan banyak dokter untuk mengobati
pasien penderita meningitis coccidioidal. Syaratnya, pasien tersebut harus tetap
mengkonsumsi fluconazole selama hidupnya agar mencegah munculnya kembali penyakit
yang sama.
Dosis & Cara Pemberian : Flukonazol tersedia dalam bentuk kapsul 50 dan 150 mg dan
infus 2 mg/ml. Dosis tunggal 150 mg. Modifikasi dosis perlu dilakukan pada pasien dengan
gangguan ginjal..
Fluconazole merangsang terjadinya absorpsi secara sempurna pada saat dilakukan
pengobatan secara oral, sehingga jenis pengobatan oral menjadi prioritas utama. Flukonazol
dapat dipakai dengan atau tanpa makanan Jika pemberian obat pada pasien tidak
memungkinkan untuk diberikan lewat mulut, maka fluconazole diberikan dalam bentuk
larutan intravena, atau melalui infus dengan kadar infus 5-10 ml/menit.
– Vaginal candidosis dapat diobati dengan fluconazole oral dengan dosis 150 mg.
Sedangkan Oropharyngeal candidosis diobati dengan dosis 50-200 mg/hari selama 1-
2 pekan. Candidosis jenis Oesophageal dan mucocutaneus serta candidosis saluran
kencing bagian bawah memerlukan fluconazole dengan dosis 100-200 mg/hari yang
diberikan selama 2-4 pekan.
– Dosis yang disarankan untuk pasien penderita cryptococcosis atau candidosis
stadium lanjut adalah 400 mg/hari. Namun demikian, sejumlah praktisi klinik telah
menggunakan dosis yang lebih tinggi lagi untuk mengatasi infeksi-infeksi yang
membahayakan nyawa pasien. Lama waktu atau durasi perawatan akan berbeda
sesuai dengan kondisi pasien itu sendiri, bergantung pada sifat dan jangkauan infeksi
serta penyakit yang mendahuluinya. Diperlukan sekurang-kurangnya 6-8 pekan
lamanya untuk mengobati pasien penderita cryptococcosis yang tidak mengidap
AIDS. Dosis yang disarankan untuk anak-anak adalah 1-2 mg/kg untuk jenis
candidosis superficial dan 5 mg/kg untuk cryptococcosis atau candidosis stadium
lanjut.
– Pengobatan jangka panjang menggunakan fluconazole dengan tujuan
menyembuhkan pasien cryptococcosis yang juga menderita AIDS harus dilakukan
pada dosis 200 mg/hari. Untuk mencegah candidosis pada pasien penderita
neutropenik, maka dosis yang diberikan adalah 100-400 mg/hari. Pasien-pasien yang
memiliki resiko tinggi terhadap serangan infeksi stadium lanjut harus diobati dengan
dosis 400 mg/hari dan hal ini harus dimulai beberapa hari menjelang munculnya
gejala neotropenia dan berlangsung selama 1 pekan setelah jumlah neutrofil kembali
pada kisaran 1 x 109/l.
– Pasien yang menderita gangguan renal harus diberi dosis normal selama 48 hari
pertama pengobatan. Segera setelah itu, interval dosis harus dilipatgandakan sampai
dengan 48 jam (dengan kata lain, dosis dikurangi setengahnya). Hal ini berlaku bagi
pasien yang memiliki tingkat pembersihan kreatinin 21-40 ml/menit. Sedangkan
pasien yang memiliki tingkat pembersihan kreatinin 10-20 ml/menit interval dosis
adalah 72 jam.
– Pasien yang menderita haemodialysis secara reguler memerlukan dosis yang biasa
yang diberikan setelah masing-masing tahap atau sesi dialysis.
Kehamilan dan menyusui : Penggunaan pada masa kehamilan dan menyusui tidak
direkomendasikan.
Efek samping : Sakit kepala, nyeri abdominal, diare, dan pusing. Ruam pada kulit bisa
terjadi tapi jarang. Flukonazol bisa menyebabkan kerusakan hati pada kasus jarang. Fungsi
hati harus dimonitor setelah beberapa hari penggunaan obat.
Fluconazole adalah jenis obat yang dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling
umum terjadi adalah gastrointestinal seperti nausea (mual) dan nyeri pada bagian perut,
namun jarang yang memerlukan diskontinuasi perawatan, khususnya pada pasien yang
menerima dosis hingga 400 mg/hari. Elevasi asimptomatik transient tingkat transaminase
serum relatif biasa terjadi pada pasien penderita AIDS, dan pengobatan harus dihentikan pada
pasien penderita hepatitis simptomatik atau penderita gangguan fungsi hati.
Pasien penderita kanker atau AIDS memiliki kemungkinan untuk mengidap sindrom Stevens-
Johnson (fatal exfoliative skin rashes), namun hubungan sebab akibat penyakit ini dengan
fluconazole belumlah jelas, terutama jika penanganan dilakukan secara terus-menerus dengan
obat-obatan jenis lain. Ada baiknya untuk menghentikan konsumsi fluconazole pada pasien
penderita infeksi jamur superficial, di mana pasien tersebut mengalami pengelupasan kulit.
Pasien penderita infeksi jamur stadium lanjut/berat yang juga mengalami pengelupasan kulit
harus diawasi terus perkembangannya dan pemberian obat harus dihentikan jika terjadi luka
yang serius atau erythrema multiforme.
Berbeda dengan ketoconazole, fluconazole tidak menghambat metabolisme adrenal maupun
steroid testicular manusia. Syaratnya, obat ini dikonsumsi dengan dosis yang tepat.
b. Itraconazole
Itraconazole adalah obat untuk mengatasi infeksi jamur dengan cara membunuh jamur
dan ragi penyebab infeksi. Infeksi akibat jamur atau fungi bisa menjangkiti mulut, kulit, dan
vagina. Penderita HIV/AIDS, orang yang sedang dalam pengobatan penyakit rematik, dan pasien
yang menjalani kemoterapi lebih rentan terkena infeksi jamur internal karena sistem kekebalan
tubuh yang lemah atau tidak berfungsi dengan baik.
Mekanisme kerja
Seperti halnya azole yang lain, itraconazole berinterferensi dengan enzim yang
dipengaruhi oleh cytochrome P-450, 14(-demethylase. Interferensi ini menyebabkan
akumulasi 14-methylsterol dan menguraikan ergosterol di dalam sel-sel jamur dan
kemudian mengganti sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan membran
Farmakokinetik
Itrakonazol akan diserap lebih sempurna melalui saluran cerna, bila diberikan
bersama dengan makanan. Dosis 100 mg/hari selama 15 hari akan menghasilkan
kadar puncak sebesar 0,5 µg/ml.
Waktu paruh eliminasi obat ini 36 jam (setelah 15 hari pemakaian).
Efek samping
Kemerahan,
pruritus,
lesu,
pusing,
edema,
parestesia
10-15% penderita mengeluh mual atau muntah tapi pengobatan tidak perlu dihentikan
Indikasi
c. Voriconazole
Voriconazole adalah jenis obat oral yang digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi
yang disebabkan oleh jamur .
Indikasi
Obat untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh jamur.
Dosis
Minum Voriconazole setidaknya 1 jam setelah atau sebelum makan, biasanya setiap 12 jam
sekali atau seperti yang disarankan oleh dokter. Dosis didasarkan pada kondisi medis, respon
terhadap pengobatan dan penggunaan obat-obatan lain. Obat ini akan bekerja dengan baik
jika digunakan dalam waktu yang sama setiap hari. Jangan menghentikan pengobatan
sebelum Voriconazole yang diresepkan oleh dokter habis, hal ini akan menyebabkan infeksi
bertambah buruk. Segera periksa ke dokter jika kondisi Anda tidak kunjung membaik atau
malah memburuk.
d. Pasoconazole
Farmakokinetik
3. CELL WALL
Jamur yang menyerang dinding sell adalah Obat jamur golongan Echinocandins, bekerja
dengan menghambat sistesa glukan dalam dinding sel. contoh obat jamur golongan
echinocandins adalah caspofugin.
Ekinokandin
Ini merupakan kelas antijamur teranyar. Cara kerjanya dengan menghambat sintesis (1,3)-B-
d-glucan, yang merupakan komponen penting di dinding sel berbagai macam jamur.
Akibatnya terjadi instabilitas osmosis dan jamur akan mati. Mekanisme kerja golongan ini
amat berbeda dengan golongan antifungal lainnya.
Glukan tidak ada pada membran sel mamalia, itulah mengapa ekinokandin memberikan
aktivitas antijamur yang luar biasa dengan efek samping hampir tidak ada pada manusia.
Secara umum, tambah Anna, ekinokandin sangat aktif melawan infeksi Candida spp. The
IDSA Clinical Practice Guideline untuk manajemen kandidiasis merekomendasikan
ekinokandin untuk terapi awal kandidemia skala sedang hingga berat pada pasien yang
sebelumnya sudah mendapatkan terapi azol, atau pasien yang berisiko tinggi terinfeksi C.
glabrata yaitu pasien usia lanjut, pasien kanker, dan pasien diabetes.
4. CELL MEMBRAN
Pengertian Amfoterisin B
Amfoterisin adalah salah satu obat anti jamur yang termasuk kedalam golongan polyene.
Obat ini biasa digunakan untuk membantu tubuh mengatasi infeksi jamur serius.
Amfoterisin A dan B adalah hasil fermentasi Streptomyces nodosus, actinomyces
yang ditemukan di tanah.98 % campuran ini terdiri dari amfoterisin B yang mempunyai
aktivitas anti jamur. Kristal seperti jarum atau prisma berwarna kuning jingga, tidak berbau
dan tidak berasa. Amfoterisin merupakan antibiotik polien yang bersifat basa amfoter lemah,
tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu diatas 370C. Tetapi dapat bertahan sampai
berminggu-minggu pada suhu 40C. Amfoterisin bekerja dengan menyerang sel yang sedang
tumbuh dan sel matang. Aktifitas anti jamur nyata pada pH 6,0 – 7,5. Aktifitas anti jamur
akan berkurang pada Ph yang lebih rendah. Amfoterisin bersifat fungistatik atau fungisidal
tergantung dengan dosis yang diberikan dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi.
a. Koksidiodomikosis
b. Parakoksidioidomikosis
c. Aspergilosis
d. Kromoblastomikosis
e. Kandidiosis
f. Maduromikosis (misetoma)
g. Mukormikosis (fikomikosis)
Organisme lain yang telah dilaporkan sensitif terhadap amfoterisin B termasuk alga
Prototheca spp. dan Leishmania protozoa dan Naegleria spp. Hal ini tidak aktif terhadap
bakteri (termasuk rickettsia) dan virus.Beberapa strain yang resisten terhadap Candida telah
diisolasi dan diberikan pengobatan jangka panjang dengan amfoterisin B. Amfoterisin B
hanya tersedia dengan resep dokter.
Indikasi
Kontra Indikasi
Infus amfoterisin B seringkali meninbulkan beberapa efek samping seperti kulit panas,
keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, hipotensi, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis,
kejang dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara iv akan
mengalami demam dan menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan
amfoterisin B tapi akan berkurang pada pemberian berikutnya. Reaksi ini dapat ditekan
dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg dan dengan antipiretik serta antihistamin
sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan menambahkan heparin 1000 unit kedalam
infuse.
Farmakodinamik
Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan ergosterol (sterol dominan pada
fungi) yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel
bocor dan membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel-sel jamur
merembas keluar sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan
kerusakan yang tetap pada sel. Efek lain pada membran sel jamur yaitu dapat menimbulkan
kerusakan oksidatif pada sel jamur.
Farmakokinetik
Amfoterisin sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai dengan
dosis 1,5 mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap sampai dosis 0,4-0,6 mg/kgBB/hari akan
memberikan kadar puncak antara 0,5-2 µg/mL pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-
kira 24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasifase kedua dengan waktu paruh
kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai setelah beberapa bulan
pemakaian. Obat ini didistribusikan luas ke seluruh jaringan. Kira-kira 95% obat beredar
dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar amfoterisin B dalam cairan pleura, peritoneal,
sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-kira2/3 dari kadar terendah
dalam plasma. Amfoterisin b juga dapat menembus sawar uri, sebagian kecil mencapai CSS,
humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi melalui ginjal sangat lambat, hanya 3% dari
jumlah yang diberikan selam 24 jam sebelumnya ditemukan dalam urine.
Dosis
* Dosis awal 1 mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mikrogram/kg perhari,
dinaikan perlahan sampai 1 mg/kg perhari, pada infeksi berat dapat dinaikan sampai 1.5
mg/kg perhari.
Catatan: terapi diberikan dalam waktu yang cukup lama. Jika terapi sempat terhenti lebih dari
7 hari maka dosis lanjutan diberikan mulai dari 250 mikrogram/kg perhari kemudian dinaikan
secara bertahap.
Sediaan: Sediaan – Serbuk lofilik mgn 50 mg, dilartkan dg aquadest 10 ml lalu ditmbh ke lar
dextroa 5% = kadar 0,1 mg/ml.Lar elektrolit, asam/ mgdg pengawet tdk boleh digunakan sbg
pelarut mengendapkan amfoterisin B. Untuk injeksi selalu dibuat baru
Interaksi Obat
1. Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine, Streptomycin,
Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal.
2. Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Prednisolone,
Meningkatkan risiko hipokalemia.
3. Digoxin : amphoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin.
4. Fluconazole : melawan kerja amphoterisin B.
Aktivitas Obat
Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dansel matang. Aktivitas anti jamur
nyata pada pH 6,0-7,5: berkurang pada pH yang lebihrendah. Antibiotik ini bersifat
fungistatik atau fungisidal tergantung pada dosis dansensitivitas jamur yang dipengaruhi.
Dengan kadar 0,3-1,0 µg/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma
capsulaium, Cryptococcus neoformans,Coccidioides immitis, dan beberapa spesies Candida,
Tondopsis glabrata,Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides
braziliensis, Beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum
audiouini dan spesiesTrichophyton. Secara in vitrobila rifampisin atau minosiklin diberikan
bersamaamfoterisin B terjadi sinergisme terhadap beberapa jamur tertentu.
Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur
sehingga membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan
kerusakan yang tetap pada sel. Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan
oleh pengikatan kolesterol pada membran sel hewan dan manusia. Resistensi terhadap
amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan reseptor sterol pada membran
sel.
Efek Samping
Demam, sakit kepala, mual, turun berat badan, muntah, lemas, diare, nyeri otot dan sendi,
kembung, nyeri ulu hati, gangguan ginjal (termasuk hipokalemia, hipomagnesemia,
kerusakan ginjal), kelainan darah, gangguan irama jantung, gangguan saraf tepi, gangguan
fungsi hati, nyeri dan memar pada tempat suntikan.
Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri
otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal.
50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan
menggigil.
Flebitis (-) à menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai à pemberian kalium.
Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama
flusitosin.
MAKALAH MIKROBIOLOGI
GOLONGAN ANTI JAMUR
Disusun oleh :
NIM : 201451481