Anda di halaman 1dari 68

SARI PUSTAKA

INDUKSI OVULASI PADA PASIEN SINDROMA

OVARIUM POLIKISTIK (SOPK)

OLEH :

dr. Mervinna Giovanni

PEMBIMBING :

dr. Putu Doster Mahayasa, SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……….…………………………………..………..................... ii

DAFTAR GAMBAR……….…………………...……………..………........... iv

DAFTAR SINGKATAN……….………………………………….………...... v

BAB I LATAR BELAKANG ……….…………………..……………..…….. 1

BAB II PEMBAHASAN……….……………………………...…..………...... 3

2.1 DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS

SOPK……….………...………………………..…………………………….... 3

2.1.1 Definisi SOPK……….………...………………………..………. 3

2.1.2 Epidemiologi SOPK………………..…………………………… 4

2.1.3 Patofisiologi SOPK ………………………..…………………… 4

2.1.4 Diagnosis SOPK ………………………….…………………… 10

2.2 SOPK SEBAGAI PENYEBAB INFERTILITAS ………………………. 16

2.3 INDUKSI OVULASI PADA SOPK ……………………………………. 17

2.3.1 Penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup …..……….. 18

2.3.1.1 Perubahan gaya hidup ………………….…………… 18

2.3.1.2 Perubahan diet …………………..…………………... 20

2.3.1.3 Olah Raga ……………………………..…………….. 21

2.3.1.4 Perubahan perilaku ……………………..…………… 21

2.3.1.5 Operasi Bariatik ……………………..………………. 23

2.3.2 Medikamentosa …………………………..……………………. 24

2.3.2.1 Klomifen Sitrat …………………………...………….. 24

ii
2.3.2.2 Insulin Sensitisasi ……………………………...…….. 33

2.3.2.3 Aromatase Inhibitor ……………………………….….. 38

2.3.2.4 Tamoxifen ……………………………………………. 43

2.3.2.5 Gonadotropin ………………………………………… 44

2.3.3 PEMBEDAHAN LAPAROSKOPI OVARIUM ………….…… 47

2.3.4 FERTILISASI IN VITRO PADA SOPK ……………..……….. 50

2.3.5 TERAPI ALTERNATIF…………………………………..…… 51

2.3.5.1 Karnitin………………………………………………. 51

2.3.5.2 Herbal…………………………………………...…… 52

BAB III KESIMPULAN …………………………………….………………. 53

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………….. 54

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 SKEMA HUBUNGAN ESTROGEN DENGAN ANDROGEN .................6

2.2 PERBANDINGAN GAMBARAN KADAR HORMON WANITA

OVULASI DENGAN WANITA SOPK ANOVULASI ............................ 8

2.3 HUBUNGAN RESISTENSI INSULIN DENGAN HIPERANDROGEN ..9

2.4 DAMPAK RESISTENSI INSULIN PADA WANITA SOPK ....................9

2.5 SKOR FERRIMAN-GALEWAY YANG DIMODIFIKASI................... 12

2.6 GAMBARAN USG SOPK ........................................................................13

2.7 BAGAN PENATALAKSAAN TERAPI INFERTILITAS PADA SOPK

MENURUT KONSENSUS HIFERI, 2010………………...…………… 17

2.8 KLOMIFEN SITRAT ................................................................................24

2.9 SKEMA KADAR HORMON PADA PEMBERIAN KLOMIFEN

SITRAT......................................................................................................27

2.10 KOMPOSISI TESTO................................................................................53

iv
DAFTAR SINGKATAN

17-OHP : 17-hidroksiprogesteron

AES : Androgen Excess Society

AMH : Anti Mullerian Hormon

ASRM : American Society for Reproductive Medicine

cAMP : cyclic Adenosine Monophosphate

CRP : C-Reaktif Protein

DHEA : Dehidroepiandosteron

DHEA-S : Dehidroepiandosteron Sulfat

DHT : Dihidro Testosteron

DM : Diabetes Melitus

E2 : Estrogen

FAI : free androgen index

FET : Freezing Embrio Transfer

FIV : Fertilisasi In Vitro

FSH : Follicle Stimulating Hormone

GnRH : Gonadotropine Releasing Hormone

hCG : Human Chorionic Gonadotropin

hMG : Human Menopausal Gonadotropin

v
HOMA IR : homeostatic model assessment of insulin resistance

HPO : Hipotalamus-Pituatari-Ovari

IL-6 : Interleukin - 6

IMT : Indeks Massa Tubuh

IU : Internasional Unit

LDL : Low Density Lipoprotein

LH : Luteinizing Hormone

LOD : Laparoscopic Ovarian Drilling

mFG : skor Ferriman-Galwey

NIH : National Institutes of Health

OHSS : Ovarian Hyper stimulating Syndrome

PAI-1 : Serin Protease Inhibitor

RE : Reseptor Estrogen

r-FSH : rekombinan Follicle Stimulating Hormone

RMN : Nichd Reproductive Medicine Network

SERM : Selective Estrogen Receptor Modulator

SHBG : Sex Hormone Binding Globulin

SOPK : Sindroma Ovarium Polikistik

TMX : Tamoxifen

TNF-α : Tumor Nectroting Factor - α

TRB : Terapi Reproduksi Terbantu

TSH : Thyroid Stimulating Hormone

TTGO : Tes Toleresi Glukosa Oral

u-FSH : Urinary – Follicle Stimulating Hormone

vi
USG : Ultrasonografi

WHO : World Health Organization

vii
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala dan tanda dari

kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan sistem

endokrin.1 Sekarang ini SOPK semakin meningkat angka kejadiannya, terutama

pada wanita usia reproduktif, dimana menimbulkan keluhan atau masalah yang

berkaitan dengan fertilitas. Masalah infertilitas yang sering terjadi pada pasien

SOPK adalah oligo ataupun anovulasi. Gangguan ovulasi ini disebabkan

hiperadrogen dan resistensi insulin.2,3,4 Diperkirakan 20% wanita memiliki

gabaran polikistik ovarian yang dideteksi ketika dilakukan USG, dan 10% dari

seluruh wanita mengalami gejala SOPK.2

Wanita dengan SOPK sering datang ke dokter dikarenakan masalah

infertilitas , jika fertilitas adalah tujuan yang ingin dicapai, maka sangat penting

untuk mengoptimalisasi kondisi kesehatan yang mempengaruhi fertilitas dan

kehamilan. Perubahan pada gaya hidup, termasuk konseling nutrisi dan penurunan

berat badan harus menjadi bagian penting dari keseluruhan terapi. Penurunan

berat badan minimal (5% dari berat badan) pada wanita obesitas dengan SOPK

memperbaiki baik angka kejadian ovulasi maupun angka kehamilan.4,5

Untuk terapi medikamentosa, terapi lini pertama untuk induksi ovulasi

adalah modulator selektif reseptor estrogen (klomifen sitrat) yang berkerja

menstimulasi produksi dan sekresi FSH untuk pertumbuhan folikel. Namun jika

terjadi resistensi klomifen sitrat maka akan dilakukan pemberian medikamentosa

yang lain atau pemberian kombinasi.4,5

1
2

Peran obat sensitisasi insulin, seperti metformin juga membantu

meningkatkan angka ovulasi, khususnya pada wanita yang resisten terhadap

klomifen sitrat. Dapat juga digunakan glukortikoid sebagai terapi adjuvant

bersamaan dengan pemberian klomifen sitrat, ini dapat meningkatkan angka

keberhasilan ovulasi mencapai 74%.6,7

Aromatase inhibitor juga dapat digunakan untuk medikamentosa alternatif

induksi ovulasi pada wanita dengan SOPK. Jenis aromatase inhibitor yang paling

banyak digunakan adalah letrozole. Letrozole memiliki angka kehamilan yang

setara dengan gonadotropin dengan biaya dan efek samping yang lebih sedikit.7,8

Tamoxifen yang merupakan estrogen reseptor modulator juga dapat digunakan

sebagi medikamentosa untuk induksi ovulasi.6 Laparoskopi ovarian drilling

(LOD) merupakan indikasi pada pasien SOPK yang mengalami siklus anovulasi

yang resisten klomifen sitrat dan menurunkan kadar LH yang tinggi. 4,6 Jika terapi

medikamentosa dianggap tidak berhasil maka pilihan berikutnya adalah FIV

(Fertilisasi In Vitro).4

Masalah infertilitas pada wanita dengan SOPK semakin hari semakin

tinggi angka kejadiannya, namun risiko terjadinya OHSS (Ovarian Hiperstimulasi

Sindrom) sangatlah tinggi. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan tentang

patofisiologi dan etiologi infertilitas pada SOPK maka pilihan terapi yang

digunakan pada SOPK menjadi semakin beragam.4,5 Oleh sebab itu Sari Pustaka

ini akan membahas tatalaksana induksi ovulasi pada pasien SOPK sesuai dengan

penelitian terbaru, agar penatalaksaan menjadi lebih efektif dan pada akhirnya

dapat meninggatkan angka ovulasi maupun angka kelahiran pada wanita dengan

SOPK.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi, Epidemiologi, Patofisiologi dan Diagnosis SOPK

2.1.1 Definisi SOPK

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala dan

tanda dari kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan

sistem endokrin. Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan umur

reproduksi tanpa disertai adanya penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau

kelenjar adrenal yang mendasari ataupun sindroma cushing.1

SOPK merupakan suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses

inflamasi kronik, ditandai dengan adanya peningkatan C-reaktif protein (CRP),

TNF-α dan reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya

penderita SOPK memiliki timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini

berhubungan dengan mekanisme terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak

viseral memberikan efek parakrin dan endokrin berupa peningkatan sekresi

beberapa marker inflamasi.2

Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindroma ini

datang ke dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi, infertilitas, dan

masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti hirsutisme dan akne.1, 2

3
4

2.1.2 Epidemiologi SOPK

SOPK merupakan kondisi kelainan endokrin yang menyerang sekitar 5-

10% wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian ini bergantung pada populasi

yang diteliti, prevalensi teritinggi yang pernah dilaporkan adalah 26%.2

Meskipun masih diperdebatkan konsensus mana yang digunakan untuk

menegakkan diagnosis SOPK, namun angka kejadiannya dipastikan meningkat

dari waktu ke waktu.2,3

2.1.3 Patofisiologi SOPK

Hingga saat ini, penyebab SOPK masih belum diketahui sepenuhnya.

Berbagai sumber menjelaskan bahwa SOPK terjadi akibat interaksi kompleks

antara faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi, fokus

penelitian untuk mencari penyebab SOPK terus berubah, dari faktor ovarium,

poros hipotalamus-hipofisis-ovarium, hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga

faktor ini saling berinteraksi dalam mengatur fungsi ovarium.3

Faktor genetik pada pasien SOPK diperkirakan terjadi penurunan

autosomal dominan atau terpaut-X. Selain itu, juga dilaporkan adanya penetrasi

inkomplit, penurunan poligenik, dan faktor epigenetik, mutasi tungal juga dapat

menghasilkan fenotip SOPK. Salah satunya adalah polimorfisme pada gen 17-

hidroksilase atau enzim CYP 17 yang berperan dalam produksi androgen.

Lingkungan endokrin pada perempuan dengan anovulasi kronik cenderung

berada pada tahap stabil, yang berarti konsentrasi gonadotropin dan steroid seks

cenderung stabil. Hal ini berbeda dengan konsentrasi siklik pada perempuan

normal.3
5

Kelainan Androgen

Hiperandrogenisme adalah salah satu tanda pasien dengan SOPK, ini

diakibatkan produksi berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar 60-

80% pasien dengan SOPK memiliki konsentrasi Testosteron yang tinggi di

sirkulasi. Androgen yang meningkat pada SOPK mencakup Testosteron,

androstenedion, dehidroepiandosteron (DHEA), dehidroepiandosteron sulfat

(DHEA-S), dan 17-hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi

androgen ovarium disebabkan oleh peningkatan stimulasi bioaktivasi LH oleh

insulin. Belum ada penjelasan mengapa produksi androgen oleh kelenjar

suprarenal juga meningkat pada SOPK.2

Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in vitro,

ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah besar pada keadaan

basal maupun terhadap stimulasi LH. Belum diketahui penyebab pasti

hiperaktivitas ini, tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal intrasel.3

Gangguan Folikulogenesis

Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium polikistik

adalah 2-6 kali lebih banyak dibandingkan ovarium normal. Mekanisme yang

mendasari hal ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi tampaknya berhubungan

dengan gangguan signaling androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya

korelasi positif antara jumlah folikel dengan kadar Testosteron dan androstenedion

serum. Penyuntikan dihidroTestosteron pada monyet juga menghasilkan

morfologi serupa SOPK, yaitu peningkatan volume ovarium dan jumlah folikel.2
6

Gambar 2.1 Skema Hubungan Estrogen dengan Androgen4

Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang berlebih juga

mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada SOPK, folikel berkembang

dengan lambat, yang mungkin disebabkan defisiensi sinyal pertumbuhan dari

oosit atau efek inhibisi AMH (Anti Mullerian Hormon) yang berlebih.2

Folikel yang berlebih pada SOPK berhenti berkembang ketika

diameternya kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum munculnya folikel

dominan. Berhentinya perkembangan folikel ( follicular arrest ) ini berhubungan

dengan stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan, lingkungan

hiperandrogen, yang menyebakan tingginya konsentrasi cAMP di dalam sel

granulosa. Kadar cAMP intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi

terminal sel granulosa sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini menyebabkan

sel granulosa bereaksi terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan

progesteron ketika ukuran folikel ≤ 8 mm.2

Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang

ditunjukkan oleh adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien SOPK dengan

hiperinsulinemia. Sel granulosa pada SOPK menunjukkan adanya resistensi

insulin selektif dimana terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa, tetapi
7

tidak pada jalur steroidogenesis. Gangguan metabolisme glukosa ini juga tampak

berhubungan dengan anovulasi pada SOPK.2

Pada SOPK yang berovulasi, hanya terjadi hipersekresi androgen oleh

folikel sedangkan SOPK anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen.

Estrogen dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut

memberikan umpan balik negatif terhadap FSH.2

Gangguan Sekresi Gonadotropin

Pada SOPK terjadi hipersekresi LH dengan kadar FSH yang normal atau

cenderung rendah sehingga rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH

disebabkan karena perubahan pola sekresi, terutama peningkatan frekuensi

pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kada FSH yang lebih rendah disebabkan

oleh peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B.3

Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan gangguan

perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkatkan produksi androgen

pada ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada SOPK menyebabkan

desensitisasi hipotalamus terhadap umpan balik negatif progesteron, yang bersifat

reversibel bila diberikan obat anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa

gangguan sekresi gonadotropin pada SOPK merupakan dampak sekunder dari

gangguan sekresi steroid pada ovarium atau kelenjar suprarenal.3,4


8

Gambar 2.2 Perbandingan Gambaran kadar Hormon wanita ovulasi dengan

wanita SOPK anovulasi4

Gangguan kerja Insulin

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terjadi pada 50-75% penderita

SOPK. Penderita SOPK menunjukkan resistensi insulin perifer yang serupa

dengan diabetes tipe 2 dimana terjadi penurunan ambilan glukosa yang dimediasi

insulin sebesar 35-40%. Resistensi insulin yang terjadi pada SOPK bersifat

selektif, artinya resiten pada beberapa jaringan (seperti pada jaringan otot), tetapi

sensitif pada jaringan lain (seperti suprarenal dan ovarium).2

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia berperan terhadap terjadinya

hiperandrogenisme dan gangguan sekresi gonadotropin dengan cara.3

1. Menurunkan kadar sex-Hormon binding globulin (SHBG) sehingga

meningkatkan biovailabilitas Testosteron

2. Sebagai kofaktor stimulasi biosintesis androgen pada ovarium dan

kelenjar suprarenal.
9

3. Meningkatkan potensi kerja LH sehingga bekerja secara sinergis untuk

meningkatkan produksi androgen.

4. Efek langsung pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk mengatur

pelepasan gonadotropin, mekanismenya belum jelas.

Gambar 2.3 Hubungan Resistensi Insulin dan Hiperandrogen 11

Gambar 2.4 Dampak Resistensi insulin pada wanita SOPK4


10

Sekitar 10-65% perempuan dengan SOPK mengalami kegemukan dan

obesitas sentral yang berdampak pada metabolisme insulin. Akan tetapi, resitensi

insulin bukan merupakan gambaran umum dari SOPK. Berdasarkan data RSCM,

75% pasien dengan SOPK mengalami resistensi insulin dengan rata-rata indeks

massa tubuh (IMT) mencapai 28,6 kg/m2.3

2.1.4 Diagnosis SOPK

SOPK adalah sindroma klinis yang hingga saat ini belum ada kriteria

tunggal yang cukup untuk mendiagnosis penyakit ini. Saat ini, kriteria diagnosis

SOPK yang digunakan secara luas adalah kriteria Rotterdam 2003.2

Kriteria Rotterdam :

1.Oligo atau anovulasi

2. Hiperandrogenisme, baik secara klinis maupun biokimiawi

3. Gambaran polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi

Untuk mendiagnosis SOPK dibutuhkan minimal 2 dari 3 kriteria tersebut dan

tidak ditemukan kelainan – kelainan endokrin lainnya, seperti Congenital

andrenal hyperplasia (CAH), hiperprolaktinemia, kelainan tiroid, ataupun tumor

yang menghasilkan hormon androgen.2,4

Oligo atau anovulasi

Siklus menstruasi normal mencerminkan fungsi ovulasi yang normal.

Sekitar 60-85% pasien SOPK memiliki gangguan menstruasi dan jenis yang

paling sering adalah oligomenorea dan amenore. Pemeriksaan awal pada

perempuan dengan gejala ini adalah kadar FSH dan E2 serum untuk mengeksklusi

hipoginadisme hipogonadotropik (gangguan sentral) dan premature ovarian


11

failure. SOPK termasuk pada kategori anovulasi normogonadotropik

normoestrogenik (Kelas 2 WHO). Meskipun demikian perlu diingat bahwa kadar

LH serum pasien SOPK seringkali meningkat.4,5

Hiperandrogenisme

Hiperandrogenisme pada kriteria Rotterdam 2003 mencakup tanda-tanda

klinis dan atau biokimiawi, yang dijelaskan sebagai berikut.2,4

1. Hiperandrogenisme biokimiawi

Tanda biokimiawi hiperandrogenisme adalah peningkatan kadar androgen

di sirkulasi. Androgen terpenting yang biasanya digunakan untuk diagnosis adalah

Testosteron. Androgen lain yang meningkat mencakup androstenedion, DHEA,

dan DHEA-S. Diantara androgen tersebut, yang lebih sensitif untuk mendiagnosis

hiperandrogenisme adalah Testosteron bebas (free T) atau free androgen index

(FAI). Metode yang dianjurkan adalah dengan dialisis ekuilibrium, pemeriksaan

free Testosteron dari SHBG dan total Testosteron tidak akurat. Pemeriksaan total

Testosterone tidak sensitif untuk menilai kelebihan androgen karena sebagian

Testosteron akan diubah menjadi DHT yang lebih poten.

Untuk kepentingan klinis, biasanya hirsutisme sudah merupakan tanda

hiperandrogenisme yang jelas dan pemeriksaan Testosteron bebas biasanya

digunakan untuk penelitian klinis.

2. Hiperandrogenisme klinis

Mencakup hirsutisme, akne, alopesia androgenik, dan tanda-tanda lain

yang tidak terbatas pada gejala yang disebutkan sebelumnya. Hirsutisme adalah

tanda kelebihan androgen yang paling jelas dan merupakan gejala yang penting

pada SOPK. Penilaian hirsutisme dilakukan dengan menggunakan skor Ferriman-


12

Galwey yang dimodifikasi (mFG). Setiap area diberikan skor 0-4 dan penilaian 9

area tersebut dijumlahkan. Skor ≤15 : hirsutisme ringan, skor 16-25 : hirsutisme

sedang, dan skor ≥25 : hirsutisme berat.2,4

Gambar 2.5 Skor Ferriman-Galwey yang dimodifikasi (mFG)2,4

Gambaran Ovarium Polikistik

Definisi gambaran ovarium polikistik kriteria Rotterdam 2003 adalah

adanya 12 folikel atau lebih yang memiliki diameter 2-9 mm pada masing-masing

ovarium dan/ atau peningkatan volume ovarium ( > 10ml). Distribusi folikel dan

peningkatan ekogenisitas stroma tidak termasuk dalam kriteria penilainan ini.4,5


13

Syarat pemeriksaan ultrasonografi untuk menilai gambaran ovarium

polikistik adalah :2,4

1. Dilakukan oleh operator berpengalaman.

2. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara transvaginal

terutama pada pasien obesitas.

3. Pada perempuan dengan menstruasi teratur, pemeriksaan dilakukan

pada fase folikuler awal (3-5 hari). Pada perempuan dengan

oligo/amenorea, pemeriksaan dapat dilakukan pada hari manapun atau

diantara hari 3-5 setelah progestin-induce withdrawal bleeding.

4. Perhitungan volume ovarium dilakukan dengan rumus 0,5 x panjang x

lebar x tebal

5. Jumlah folikel dihitung pada potongan longitudinal dan

anteroposterior. Ukuran folikel dinyatakan sebagi rata-rata diameter

kedua potongan tersebut.

Gambar 2.6 Gambaran USG SOPK11

Definisi di atas tidak mencakup perempuan yang menggunakan pil

kontrasepsi oral karena akan mempengaruhi morfologi ovarium. Pada kelompok

perempuan ini, hanya dibutuhkan satu ovarium yang memenuhi definisi di atas.
14

Jika ditemukan folikel dominan atau korpus luteum, pemeriksaan diulang pada

siklus berikutnya.4,5

Perempuan dengan gambaran ovarium polikistik tanpa gangguan ovulasi

atau hiperandrogenisme tidak didiagnosis SOPK hingga didapatkan informasi atau

tanda klinis yang lain.5

Sebelum kriteria Rotterdam 2003, kriteria yang digunakan untuk

mendiagnosis SOPK adalah kriteria National Institutes of Health (NIH) 1990.

Kriteria NIH 1900 mencakup hiperandrogenisme/hiperandrogenemia, oligo-

ovulasi, dan eksklusi penyakit lain. Diagnosis SOPK ditegakkan apabila ketiga

komponen tersebut terpenuhi. Kriteria Rotterdam 2003 mencakup kriteria NIH

1990, tetapi kriteria tersebut diperluas dengan menambahkan fenotip SOPK

berovulasi dan SOPK normogenik.6

Dasar perdebatan terhadap kriteria diagnosis SOPK adalah apakah kriteria

hiperandrogenisme harus dipenuhi atau tidak. Kriteria Rotterdam 2003 mencakup

fenotip SOPK normoandrogenik. Sebaliknya, Androgen Excess Society (AES)

2006, menyebutkan bahwa dasar dari SOPK adalah hiperandrogenisme sehingga

merupakan kriteria yang harus dipenuhi. AES melakukan revisi terhadap kriteria

NIH 1990 dan Rotterdam 2003.6

Delwailly menemukan bahwa gambaran ovarium polikistik sendiri

merupakan tanda dari hiperandrogenism. Selain itu, ditemukan bahwa kadar AMH

serum juga berhubungan dengan jumlah folikel dan secara tidak langsung juga

merupakan tanda dari hiperandrogenisme. Mereka menyimpulkan bahwa untuk

mendiagnosis SOPK, awalnya harus ditemukan oligoanovulasi dan

hiperandrogenisme. Bila tidak ditemukan salah satu diantara kedua kriteria


15

tersebut, perhitungan jumlah folikel atau pengukuran kadar AMH dapat

digunakan untuk menggantikan oligoanovulasi atau hiperandrogenisme. Nilai

ambang jumlah folikel yang mereka dapatkan adalah > 19 folikel dengan

sensitivitas 81% dan spesitifitas 92%. Temuan dan klasifikasi Dwailly dkk,

menjembatani perdebatan megenai kriteria Rotterdam 2003 dan kriteria lain,

termasuk AES 2006.6

Selain ketiga kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya, SOPK memilki

fitur lain yang tidak termasuk kriteria diagnosis, seperti gangguan pola sekresi

gonadotropin, resistensi insulin, dan gangguan metabolik lain, seperti

dislipidemia.7

Pada SOPK seringkali ditemukan peningkatan konsentrasi LH serum,

kadar FSH yang normal atau cenderung rendah, serta peningkatan rasio LH dan

FSH. Keadaan tersebut lebih sering ditemukan pada pasien SOPK non obesitas

dibandingkan SOPK obesitas.7

Penelitian Lergo menemukan resistensi insulin ditemukan pada 64%

penderita obesitas SOPK dan 20% nir obesitas SOPK. Hingga saat ini, skiring

rutin untuk memeriksa resitensi insulin, seperti pemeriksaan homeostatic model

assessment of insulin resistance (HOMA-IR) dan pengukuran kadar insulin puasa

masih tidak dianjurkan karena belum ada kesepakatan mengenai metode

pemeriksaan yang standar. Banyak peneliti menganjurkan untuk pemeriksaan

TTGO 2 jam untuk mencari gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus.

Pada studi terbaru oleh Veltman-Verhults dilaporkan bahwa pada tahap awal

cukup dilakukan pemeriksaan kadar glukosa puasa. Pemeriksaan TTGO dilakukan

bila kadar glukosa puasa 110-126 mg/dl.8


16

2.2 SOPK sebagai penyebab infertilitas

Infertilitas pada pasien dengan SOPK diakibatkan oleh oligo ataupun

anovulasi. SOPK lebih sering menyebabkan oligoovulasi dari pada anovulasi.

Kejadian ovulasi yang jarang ini, tingkat infertilitas pada pasien dengan SOPK

tanpa terapi tidak lah nol, meskipun lebih rendah daripada wanita yang ovulasi

regular. Sebagai tambahan beberapa pasien dengan SOPK memiliki ovulasi yang

regular dan normal, infertilitas terjadi karena adanya hiperandrogen secara

biokimia atau dengan manifestasi klinis hiperandrogenemia.2,9

Lima teori telah dtemukan untuk mejelaskan terjadinya anovulasi pada SOPK

: (a) Teori efek auto inhibitor dikarenakan jumlah folikel pilihan yang berlebihan.

(b) teori efek prematur dari LH pada sel granulosa terhadap seleksi folikel. (c)

teori tidak responsifnya folikel dikarenakan adanya resistensi insulin akibat

hiperinsulinemia. (d) teori peningkatan aktivitas dari c-AMP pada sel granulosa

dari folikel. (e) Teori abnormalitas oosit dan teori peningkatan AMH (Anti

Mullerian Hormon) menginduksi pertumbuhan folikel dengan umpan balik

negatif terhadap FSH (Follicle Stimulating Hormon).2,9

Selain oligo ataupun anovulasi, faktor lain juga berperan menyebabkan

infertilitas pada pasien SOPK. Telah lama diketahui bahwa pada pasien SOPK

selama induksi ovulasi multipel saat proses FIV (Fertilisasi In Vitro), didapatkan

oosit dalam jumlah banyak saat pengambilaan oosit. Namun oosit tersebut

memiliki kualitas yang kurang baik, nantinya angka kejadian fertilisasi,

pembelahan dan implantasi juga rendah dan tinggi kemungkinan terjadinya

keguguran, namun tidak berhubungan dengan tingginya anapleudi pada janin.

Kegagalan pematangan oosit dan perkembangan janin pada pasien SOPK ini
17

dikarenakan abnormalitas endokrin dan parakrin, gangguan metabolik dan

perubahan pada lingkungan di dalam maupun diluar rahim selama folikologenesis

dan pematangan folikel. Lebih jauh lagi, pengetahuan kita mengenai hubungan

antara SOPK dan abnormalitas yang terjadi di dalam maupun sekitar rahim dan

efek dari faktor penghubung antara sel granulosa dan oosit, maturasi oosit dan

perkembangan embrio masih perlu ditingkatkan. Dengan pemahaman yang lebih

mengenai faktor-faktor tersebut diatas kita dapat meningkatkan fertilitas dan

angka kelahiran pada pasien SOPK.

2.3 Induksi ovulasi pada SOPK

Gambar 2.7 Bagan penatalaksaan terapi infertilitas pada SOPK menurut

Konsensus HIFERI, 201018,26


18

2.3.1 Peranan Penurunan Berat Badan dan Perubahan Gaya Hidup

Sebagian besar pasien SOPK mengalami obesitas dan memiliki gangguan

sindroma metabolik. Dua kelainan ini menurunkan fungsi reproduksi.

Patofisiologi secara jelas mengenai terjadinya penurunan reproduksi akibat dari

obesitas belum diketahui. Namun baik pada hewan percobaan dan penelitian klinis

menunjukan obesitas memberi efek negatif pada tingkat axis HPO (Hipotalamus-

Pituatari-Ovari). Obesitas mempengaruhi ovulasi, maturasi oosit, perkembangan

endometrium, respon rahim dan implantasi janin serta keguguran.7 Diperkirakan

dengan menurunnya berat badan dan perbaikan gaya hidup akan memperbaiki

metabolisme dan oksigenasi tubuh, maka resistensi insulin yang terjadi pada sel-

sel perifer khususnya di otot dan lemak akan berkurang, ini akan mengakibatkan

penurunan hiperinsulinemia, kadar insulin yang menurun akan mengurangi

rangsangan terhadap pembentukan androgen, dan juga mengurangi efek

menekanan terhadap pembentuhan SHBG di hepar.4 Oleh sebab itu penurunan

berat badan merupakan pilihan terapi utama pada pasien infertilitas dengan

obesitas.4,7

2.3.1.1 Perubahan Gaya Hidup

Program perubahan gaya hidup, yang mana ditekankan pada pengontrolan

prilaku dan intervensi pada diet dan olah raga, menunjukkan hasil yang sangat

efektif dalam memperbaiki reproduksi dan juga gangguan metabolik yang terjadi

pada pasien berat badan berlebih ataupun obesitas dengan atau tanpa SOPK.

Penelitian awal pada 33 wanita berat badan lebih dengan SOPK, penurunan berat

badan dicapai dengan diet rendah kalori dibarengi dengan olah raga menghasilkan
19

siklus menstruasi yang regular pada 18 pasien, ovulasi spontan pada 15 pasien dan

kehamilan spontan pada 10 pasien. Pada penelitian yang lebih besar pada 143

pasien obesitas dengan SOPK, penurunan berat badan melalui perubahan gaya

hidup memperbaiki frekuensi menstruasi. Tidak ada data spesifik mengenai jenis

diet dan olah raga yang dilakukan, lebih ditekankan pada perubahan gaya hidup

dan koreksi terhadap asupan makanan yang tidak proporsional. Olah raga

merupakan bagian intergral dari setiap program pengontrolan berat badan.

Meskipun pembatasan konsumsi energi dengan diet adalah yang utama saat awal

penurunan berat badan, tapi olah raga teratur berkontribusi untuk menjaga

penurunan berat badan dan mengurangi risiko peningkatan berat badan

kembali.7,13

Penurunan berat badan dibagi menjadi 2 fase. Penurunan berat badan

substansial biasanya terjadi pada 6 bulan pertama, diikuti fase kedua dimana pada

fase ini sulit untuk mencapai penuruan berat badan lebih lanjut. Hal ini

dikarenakan penurunan dari pengeluaran energi (fenomena plateu) yang menyertai

penurunan berat badan sesuai dengan adaptasi fisologis. Fase kedua dari

penurunan berat badan lebih diutamakan untuk menjaga penurunan berat badan

yang sudah terjadi. Semakin lama periode penurunan berat badan yang

berkelanjutan, semakin efektif perbaikan reproduksi yang dicapai.14

Target awal pada pasien obesitas harus menurunkan berat badan 5-10%

dari berat badan awal. Rekomendasi ini berdasarkan beberapa penelitian, dimana

penurunan berat badan secara signifikan menurunkan risiko penyakit terkait

obesitas, temasuk penyakit cardiovaskular, DM tipe 2, hipertensi, dyslipidemia,


20

osteoarthiritis dan sindroma sleep apnea, dan juga dapat meningkatkan angka

kehamilan.13

2.3.1.2 Perubahan Diet

Diet pada pasein obesitas harus seimbang, komposis yang ideal adalah

50% karbohidrat, 20% protein, dan 30% lemak. Asupan lemak 10% harus

merupakan lemak jenuh, 10% lemak tak jenuh ganda, 10% lemak tak jenuh.

Secara umum penurunan berat badan 0,5-1 kg per minggunya, dengan cara

pengurangan kalori 3.500-7.000 kalori per minggunya. Pembatasan konsumsi

karbohidrat tidak boleh dibatasi secara berlebihan karena akan mengakibatkan

asidosis, dehidrasi, kolelitiasis dan gangguan elektrolit, yang mana dapat

menyebabkan aritmia jantung dan kematian mendadak.7,13

Diet rendah kalori tidak boleh kurang dari 1.200 kalori per hari, karena

pembatasan konsumsi kalori berlebihan mungkin akan menyebabkan penurunan

berat badan secara cepat, namun pengurangan berat badan ini hanya bersifat

sementara dan akan terjadi lagi peningkatan berat badan setelahnya. Metode diet

sangat rendah kalori, yaitu konsumsi 0,8-1 g protein per kilogram berat badan, 45-

50 g karbohidrat dan sedikit asam lemak esensial. Meskipun diet sangat rendah

kalori ini efektif, tapi ini tidak dapat diterapkan karena angka kepatuhan yang

rendah, penambahan berat badan setalah diet juga terjadi secara cepat, dan karena

pengeluaran energi berkurang secara substansial, tidak ada penurunan berat badan

lanjut setelah penurunan berat badan yang cepat di awal.14

Prinsip dasar diet, harus bisa diikuti. Konsumsi kalori harus dibagi

menjadi beberapa porsi kecil, sarapan pagi, makan siang, makan malam dan dua
21

atau tiga porsi kecil makan kecil diantara makan utama. Sebagai tambahan menu

makanan yang dibuat harus seimbang antara macam makanan yang berbeda-beda,

karbohidrat, protein, lemak dan mineral harus dikomsumsi dalam proporsi yang

tepat.13

Secara pribadi perlu untuk menentukan metabolisme basal kalori

bedasarkan usia, tinggi badan dan berat badan, menggunakan perhitungan tingkat

metabolisme dasar. Setelah itu diet rendah kalori harus dilakukan, berdasarkan

perhitungan tingkat metabolisme dasar, dengan pengurangan 500-1000 kalori per

hari. Untuk menghitung konsumsi kalori per harinya, harus dipertimbangkan

konsumsi energi, bedasarkan aktifitas fisik perharinya.7

2.3.1.3 Olah Raga

Olah raga didefinisikan sebagai aktifitas regular yang meningkatkan detak

jantung diatas tingkat istirahat. Olah raga menghasilkan peningkatan konsumsi

energi, yang diperlukan untuk mengkompensasi meningkatnya jumlah kalori yang

dipakai sehingga bisa menghasilkan penurunan berat badan dan yang lebih

penting lagi sangat berguna dalam menjaga penurunan berat badan. 7

Olah raga yang disarankan berdasarkan The American Collage of sport

Medicine dan The American Heart Association 2007 merekomendasikan aerobik

intensitas sedang untuk sekurang - kurangnya 30 menit, 5 kali seminggu, atau

intensitas berat minimum selama 20 menit 3 kali perminggu atau gabungan

keduannya untuk meningkatkan aktifitas dan guna peningkatan dan untuk

menjaga kesehaan.14 WHO merekomendasikan untuk penurunan berat badan olah

raga 3-5 kali perminggu dan lebih ideal jika setiap hari, pilihan olah raganya
22

adalah berjalan, berenang, pekerjaan rumah tangga dan berkebun. Durasi olah

raga setidak-tidaknya 30-45 menit setiap hari atau lebih dari 150 menit per

minggu.13

2.3.1.4 Terapi Farmakologis Untuk Menurunkan Berat Badan

Perubahan gaya hidup tidak efektif karena pasien obesitas yang kehilangan

berat badan sering pasien kembali ke gaya hidup yang lama, sehingga berat badan

kembali naik selama 2-5 tahun setelahnya. Oleh karena itu, tambahan pengobatan

farmakologis untuk obesitas diperlukan, dan telah terbukti dapat mempertahankan

lebih dari 50% penurunan berat badan awal untuk 2-4 tahun. Namun setelah

penghentian pengobatan farmakologis, berat badan akan bertambah secara

bertahap kembali ke berat badan semula.7

Terapi farmakologis ini dianjurkan untuk pasien dengan BMI >30 atau

>27 dengan penyakit metabolik, termasuk DM tipe II, yang juga biasanya

bersamaan dengan dislipidemia atau hipertensi. Tujuan pengobatan adalah

penurunan berat badan 5-10% dari berat badan awal, karena ini terbukti

memperbaiki kesuburan dan faktor-faktor risiko metabolik yang terkait.7,14

Agen antiobesitas tergantung pada mekanisme kerja, berdasarkan

keseimbangan energi dibagi menjadi 2 kategori, pertama yang bekerja di pusat,

dengan mengurangi nafsu makan dan merangsang rasa kenyang atau dengan

meningkatkan pengeluaran energi. Sirbutamine adalah salah satunya, namun

ditarik dari peredaran dikarenakan efek kardiovaskular yang merugikan,

menurunkan berat badan 4,3% lebih baik dari hanya dengan diet saja dan

meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi tingkat sirkulasi androgen.


23

Kategori yang kedua adalah agen yang berkerja secara perifer, bekerja dengan

mengurangi penyerapan lemak, yang paling sering digunakan adalah Orilistat,

yang terbukti mengurangi berat badan dan juga mengurangi resistensi insulin dan

hiperandrogen pada pasien dengan SOPK. 7

2.3.1.5 Operasi Bariatrik

Belakangan ini operasi bariatrik dianjurkan sebagai strategi untuk

menurunkan berat badan pada obesitas. Dua pendekatan utama terapi ini adalah

kombinasi pembatasan dan malabsorbsi, dua metode yang paling sering

digunakan adalah pengikatan lambung yang disesuaikan dan Roux-en-Y gastric

bypass.6,7,13

Dari penelitian 17 wanita SOPK dengan IMT 50,7 setelah dilakukan

operasi bariatrik bisa menurunkan berat badan 41-50 kg dalam 12 bulan, dan

mengalami perbaikan dalam ovulasi, resistensi insulin dan hiperandrogen,

hirsutisme, tapi pada penelitian lain mengatakan meski dapat menurunkan berat

pada pada berat ideal namun operasi bariatrik ini tidak dapat menormalisasi secara

menyeluruh defek luteal LH dan progesteron 6 bulan setelah operasi.6,7

Sebagai catatan wanita yang menjalani operasi bariatrik memiliki risiko

tinggi kekurangan gizi, termasuk protein, zat besi, vitamin B12, asam folat,

Vitamin D dan kalsium. Namun konsensus gizi menanganinya dengan

suplementasi yang opitimal dan skrining gizi.6


24

2.3.2 Medikamentosa

2.3.2.1 Klomifen Sitrat

Klomifen sitrat telah menjadi agen lini pertama pada induksi ovulasi lebih

dari 40 tahun. Klomifen sitrat merupakan reseptor modulator selektif dari estrogen

yang menstimulasi produksi dan sekresi FSH endogen dengan menginterupsi

umpan balik estrogen ke hipotalamus dan hipofisis.15 Pasien SOPK lebih sensitif

terhadap induksi ovulasi dikarenakan terdapat folikel antral dalam jumlah besar,

ini menjadikan wanita dengan SOPK memiliki risiko respon pertumbuhan folikel

berlebihan dan hipestimulasi ovarium, disisi lain ada juga yang memiliki respon

yang buruk dengan tidak adanya pertumbuhan folikel dominan meskipun sudah

mendapatkan Klomifen sitrat dalam dosis tinggi. 16,17

Klomifen sitrat merupakan turunan trifenil-etilen yang paling sering

dimanfaatkan sebagai obat induksi ovulasi/stimulasi ovarium. Kurang lebih sejak

40 tahun yang lalu Klomifen sitrat digunakan sebagi induksi ovulasi sebelum

kemudian dikembangkan pula sebagai obat stimulasi ovarium.18 Waktu paruh

klomifen cukup panjang kurang lebih 5 hari sampai dengan 3 minggu, bergantung

pada isomernya, dan klomifen sitrat dapat ditimbun dalam lemak.16,17,18

Gambar 2.8 Klomifen Sitrat12


25

Klomifen sitrat merupakan campuran dari 2 stereo isomen, enklomifen dan

zuklomifen yang memiliki perbedaan fungsi antara keduanya.15,18,19 Dari

penelitian yang ada bahwa enklomifen merupakan unsur yang lebih poten sebagai

pemicu ovulasi, sehingga saat ini mulai banyak diciptakan obat yang lebih banyak

mengandung unsur enklomifen.18,19,20 Kadar enklomifen akan meningkat dengan

cepat setelah obat ini diminum dan akan menghilang dari sirkulasi darah setelah

beberapa hari. Berbeda dengan enklomofen, zuklomifen akan bertahan lebih lama

dalam sirkulasi pembuluh darah, bahkan isomer aktifnya masih dapat dideteksi

dalam darah sampai kurang lebih satu bulan setelah terapi dan dapat terakumulasi

lebih banyak setelah beberapa kali terapi.18,20 Saat ini klomifen sitrat yang

diproduksi adalah campuran dengan rasio 3:2 dari 2 isomerik geometrik,

enklomifen dan zuklomifen.20

Secara kimia, klomifen sitrat mempunyai sifat agonis estrogenik dan

antagonis secara bersamaan.21,22 Sifat estrogenik agonis muncul saat tingkat

estrogen androgen sangat rendah. Klomifen sitrat bertindak sebagai antagonis

estrogen kompetitif. Klomifen sitrat diekskresikan di hati dan kemudian

dikeluarkan melalui tinja. Sekitar 85% dari dosis yang diberikan akan tereliminasi

dalam waktu 6 hari.21

Klomifen sitrat mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang berada

diseluruh tubuh manusia, mirip dengan estrogen. Klomifen sitrat akan berikatan

dengan reseptor estrogen untuk waktu yang lebih panjang jika dibandingkan

dengan estrogen alamiah.2,18 Ikatan klomifen sitrat dengan reseptor estrogen dapat

berlangsung selama berminggu-minggu sedangkan estrogen alamiah hanya

berikatan dalam hitungan jam saja. Efek antiestrogenik dari klomifen sitrat
26

terhadap reseptor estrogen di hipotalamus dan hipofisis yang dimanfaatkan untuk

induksi ovulasi/stimulasi ovarium.18,22,23 Pada induksi ovulasi/stimulasi ovarium,

klomifen sitrat dapat menempati reseptor estrogen yang terletak di hipotalamus

dan hipofisis akan menerima persepsi yang salah, sehingga berespon seolah telah

terjadi penurunan kadar estrogen di dalam sirkulasi perifer. Pada wanita dengan

ovulasi normal, pemberian klomifen sitrat akan menyebabkan terjadinya

peningkatan frekuensi sekresi GnRH. Pada wanita dengan SOPK, klomifen sitrat

akan mempengaruhi peningkatan amplitudo sekresi FSH. Pada keadaan sekresi

GnRH yang mempunyai frekuensi yang abnormal tinggi, maka sekresi LH yang

akan menjadi lebih banyak.18,23,24

Kesamaan struktur dengan estrogen memungkinkan klomifen sitrat untuk

mengikat reseptor estrogen (RE) di seluruh sistem reproduksi. Namun berbeda

dengan estrogen, klomifen sitrat mengikat RE dalam jangka waktu yang lebih

lama dan akhirnya mengurangi bahkan menguras konsentrasi RE dengan

menggangu proses pengisisan RE. Efektifitas obat pada induksi ovulasi ini

berkaitan dengan aktifitas di tingkat hipotalamus. Menipisnya RE hipotalamus

mencegah interpretasi dari estrogen dalam sirkulasi pada kadar yang rendah.20,23

Menurunnya kadar umpan balik estrogen memicu mekanisme kompensasi

yaitu pelepasan denyut Gonadotropin Relasing Hormone (GnRH) untuk

merangsang sekresi godatropin hipofisis, yang pada akhirnya meningkatan

aktivitas folikel di ovarium. Pada wanita yang berovulasi, pemberian klomifen

sitrat meningkatkan frekuensi denyut GnRh.20,26 Pada wanita anovulasi dengan

SOPK yang memiliki frekuensi denyut GnRH sudah tinggi, pemberian klomifen

sitrat meningkatkan amplitudo denyut namun tidak meningkatkan frekuensi.


27

Selama pemberian klomifen sitrat tingkat kedua Hormon ovarium LH dan FSH

naik, dan kembali turun pada hari ke 5 setelah pemberian terkahir. Pada siklus

pengobatan yang berhasil satu atau lebih folikel dominan muncul dan matang.

Pada umumnya lonjakan LH terjadi 5-12 hari setelah pemberian dosis terkahir

klomifen sitrat.20,21,27

Gambar 2.9 Skema kadar hormon pada pemberian Klomifen Sitrat4

Klomifen sitrat diberikan secara oral selama 5 hari pemberian. Dosis awal

klomifen sitrat adalah 50mg per hari selama 5 hari, mulai diberikan antara hari ke

2 sampai ke 5 menstruasi. Jika perlu menstruasi dapat di induksi dengan

progestin. Jika dengan dosis ini terdapat pertumbuhan folikel multipel, dosis dapat

diturunkan menjadi 25 mg. jika ovulasi belum terjadi dosis dapat ditingkatkan.

Pabrik pembuat obat menyarankan dosis pemakaian tidak lebih dari 100 mg

perhari, namun banyak klinisi yang memberikan hingga dosis 150 mg dan bahkan

250 mg perhari selama 5 hari, dikarenakan alternatif lainnya seperti gonadotropin

sangatlah mahal dan memiliki risiko yang lebih besar.20,23,26


28

Sebagian besar wanita akan ovulasi pada pemberian dosis 50 mg. Wanita

yang tidak ovulasi dengan pemberian dosis 50 mg klomifen sitrat mungkin dapat

berovulasi dengan pemberian dosis yang lebih tinggi secara bertahap setiap

didapatkan dengan siklus anovulasi, 22% akan ovulasi dengan pemberian dosis

100 mg, 12 % dengan dosis 150 mg, dan 7% dengan dosis 200 mg dan 5% dengan

dosis 250 mg). Dosis yang lebih tinggi biasanya dibutuhkan pada pasien dengan

IMT yang lebih tinggi (>27). Diantara wanita anovulasi yang mengalami ovulasi

dengan peningkatan dosis selama 3 bulan untuk 50 mg, 100 mg, dan 150 mg

masing-masing adalah 50%, 45%, 33%, dan pada pemberian 6 bulan adalah 62%,

66% dan 38%.20 Pada umumnya wanita yang diterapi mengunakan terapi

konvensional klomifen sitrat dan dengan peningatan dosisnya sekitar 55-73%

mendapatkan kehamilan.18,20,26 Bertambahnya umur dan lamanya infertilitas

berhubungan dengan kegagalan terapi.21,26

Pada wanita obesitas, yang mengalami anovulasi minimal 2 tahun,

umumnya tingkat keberhasilannya lebih rendah, hanya sekitar 16% yang

mendapatkan kelahiran hidup pada wanita dengan IMT >35 dibandingkan 28%

angka keberhasilan pada wanita dengan IMT < 30.20

Pemantauan siklus harus dilakukan secara ketat khususnya siklus pertama

dan ketika memberikan peningkatan dosis dikarenakan kegagalan ovulasi.15,18,20

Secara umum dikatakan respon terhadap ovulasi adalah jika terjadi pola bifasik

pada grafik suhu basal tubuh dan serum progesteron > 10nmol/L pada hari ke 6-8

dari sebelum terjadinya menstruasi.15 Namun pada beberapa keadaan,

pendeteksian lonjakan LH preovulasi dalam urin dan penilaian diameter folikel


29

dan ketebalan endometrium melalui USG transvaginal selama akhir fase folikular

lebih berguna.15,18,23

Jika menggunakan klomifen sitrat untuk menginduksi ovulasi,

kemungkinan besar kehamilan akan terjadi pada 3 sampai 6 siklus, dan terapi

diluar 6 siklus umumnya tidak dianjurkan.20,18,23,24,26

Pada wanita yang gagal untuk ovulasi dengan regimen klomifen sitrat

secara konvensional, ada beberapa protokol alternatif. Beberpa penelitian

menunjukkan bahwa wanita anovulasi yang resisten klomifen sitrat dapat

berespon lebih baik dengan pemberian yang lebih panjang (7-8 hari pemberian)

dibandingkan dengan 5 hari pemberian pada regimen konvensional.2,15,22 Bagi

yang gagal berespon pada pemberian dosis awal klomifen sitrat, progestin

diberikan untuk menginduksi menstruasi, diikuti dengan pemberian dosis

klomifen sitrat yang lebih tinggi.15

Protokol yang baru-baru ini lebih banyak dipakai adalah protokol “stair-

step”, dimana jika sekali gagal untuk ovulasi, selanjutnya diberikan dengan dosis

yang lebih tinggi pada hari ke 14-21 menstruasi tanpa terlebih dahulu

menginduksi menstruasi dengan progestin. Keuntungan dari protokol ini waktu

untuk mencapai ovulasi lebih pendek pada pasien yang memang memerlukan

dosis klomifen sitrat yang lebih tinggi.18 Selain itu menginduksi perdarahan

dengan progestin sebelum pemberian klomifen sitrat telah dikatakan berkaitan

dengan angka konsepsi dan angka kelahiran hidup yang lebih rendah

dibandingkan dengan yang mendapatkan klomifen sitrat pada fase folikular yang

tidak didahului menstruasi baik spontan maupun yang diinduksi oleh

progestin.15,18,20
30

Berdasarkan ASRM jika dalam 6 siklus pemberian klomifen sitrat tidak

terjadi ovulasi setelah pemberian titrasi 150 mg ditambah dengan pemberian

progestin 10 mg pada hari ke 5 sampai 7 mestruasi (Progrstin Induce Withdrawl

Bleeding), maka dapat dikatakan resisten klomifen sitrat.18,20

Regimen Pengobatan Adjuvan

Wanita yang terbukti atau gagal terhadap pengobatan klomifen sitrat

mungkin dapat ovulasi atau berespon terhadap pengobatan regimen kombinasi.

Pilihan tidak dilakukan secara sembarang tetapi berdasarkan riwayat pasien, hasil

laboratorium dan evaluasi klinis dari kegagalan klomifen sitrat sebelumnya.

Regimen ini juga dapat sebagai syarat awal untuk terapi selanjutnya yang lebih

agresif (seperti pemberian gonadotropin eksogen, Fertilisasi In Vitro).10,15,18,20

Klomifen Sitrat Dan Metformin

Beberapa wanita yang anovulasi/oligoovulasi dengan SOPK berespon

terhadap kombinasi klomifen sitrat dengan metformin. Pada sebuah penelitian,

angka kelahiran hidup antara wanita yang mendapatkan klomifen sitrat saja

dibandingkan wanita yang mendapatkan klomifen sitrat dengan metformin tidak

memiliki angka kelahiran hidup yang berbeda bermakna.20

Namun pada wanita yang gagal ovulasi dengan klomifen sitrat, pemberian

metformin diajurkan untuk meningkatkan ovulasi dan angka kehamilan. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwan pemberian metformin 1500 sampai 1700 mg

sebelum terapi klomifen sitrat secara bermakna meningkatkan kejadian ovulasi

dan angka kehamilan pada wanita yang sebelumnya gagal berovulasi dengan

pemberian klomifen sitrat saja.20,25 Pemberian metformin pada wanita yang respon
31

terhadap Klomifen sitrat, sebelum terapi tidak meningkatkan ovulasi dan juga

tidak dapat menggurangi dosis klomifen sitrat yang dibutuhkan untuk induksi

ovulasi.20 Pada wanita obesitas yang telah gagal dengan terapi klomifen sitrat atau

pada pasangan yang tidak terburu-buru menginginkan kehamilan, metformin

dibarengi dengan diet dan olah raga untuk menurunkan berat badan merupakan

terapi yang lebih menjanjikan.20,27,28

Pengunaan metformin berhubungan dengan efek samping pada pencernaan

dan mungkin dapat menyebabkan toksisitas di hati yang diperberat dengan

asidosis laktat, namun angka kejadiannya sangat kecil. Fungsi hati dan ginjal

harus dievaluasi sbelum pemberian metformin, setelah itu dilanjutkan secara

berkala.20,27,28

Klomifen Sitrat Dan Glukokortikoid

Pada beberapa wanita yang tidak berovulasi, penambahan glukokortikoid

pada pegobatan dengan klomifen sitrat dapat berhasil menginduksi ovulasi.

Sebuah penelitian pada wanita yang sebelumnya belum pernah mendapatkan

klomifen sitrat, satu kelompok diberikan klomifen sitrat 50 mg per hari,

ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan hingga 150 mg pada hari ke 5-9, sedangkan

kelompok yang lain diberikan klomifen sitrat ditambah dengan dexamethason 0,5

mg setiap hari. Pada mereka yang menerima hanya klomifen sitrat 14 dari 22

orang mengalami ovulasi dan 8 dari 14 orang tersebut berhasil hamil, sedangkan

pada yang diberikan klomifen sitrat ditambah dengan dexamethasone 23 dari 23

orang mengalami ovulasi dan 17 dari 23 orang berhasil hamil.20

Keuntungan yang paling menonjol adalah pada wanita dengan konsentrasi

serum DHEA-S > 200 mg/dl. Dua penelitian besar mengevaluasi klomifen sitrat
32

resisten pada wanita anovulasi dengan DHEA-S normal. Mereka yang

mendapatkan klomifen sitrat dan dexamethasone pada hari ke 3-12, 75 - 88%

mengalami ovulasi, 40% berhasil hamil, sedangkan yang hanya diterapi dengan

klomifen sitrat 15 - 20% mengalami ovulasi dan 55 berhasil hamil.20 Ketika terapi

ini berhasil menghasilkan ovulasi namun belum terjadi kehamilan terapi ini dapat

dilanjutkan sampai 3-6 siklus, ketika terapi ini tidak menghasilkan ovulasi maka

harus dihentikan. Glukokortikoid memiliki efek samping yang signifikan dan

risiko pada penggunaannya.8,15,20

Klomifen dan Gonadotropin

Wanita anovulasi yang resisten terhadap klomifen sitrat dan wanita dengan

infertilitas yang tak terjelaskan mungkin mendapatkan manfaat dari terapi

kombinasi klomifen sitrat dan gonadotropin. Mengingat biaya dan risiko dari

gonadotropin eksogen, penggunaanya harus dilakukan oleh dokter terlatih yang

kompeten. Pada terapi kombinasi ini diawali dengan pemberian klomifen sitrat

dosis awal 50 mg, dilanjutkan dengan dosis rendah hMG (Human Menopausal

Gonadotropin) atau FSH (Follicle Stimulating Hormon) (75-150 IU/ hari selama 3

hari). Dosis dan panjangannya terapi dilakukan secara individual berdasarkan

hasil pemeriksaan USG dengan atau tanpa pemeriksaan serum estradiol.20,21,26

Siklus kesuburan pada wanita yang mendapat terapi kombinasi ini hampir sama

dengan terapi hanya dengan gonadotropin.20

Keuntungan dari terapi kombinasi ini adalah pengurangan dosis

gonadotropin dan pengurangan biaya yang dibutuhkan untuk pemantauan. Wanita

anovulasi yang resisten terhadap klomifen sitrat biasanya sensitif terhadap


33

gonadotropin dosis rendah, dan pengobatan sebisa mungkin mencapai ovulasi

folikel tunggal yang matang.15,20

Risiko dan Komplikasi Klomifen Sitrat

Perkembangan folikel multipel sering terjadi pada pemberian klomifen

sitrat, risiko terjadinya kehamilan multipel meningkat hingga 8% pada wanita

anovulasi dan 2,6-7,4% pada wanita dengan infertilitas yang tak terjelaskan.20

Terapi klomifen sitrat bisa menyebabkan kehamilan kembar, kehamilan triplet

atau lebih sangat jarang terjadi.20,23

Tidak ada bukti bahwa pemberian klomifen sitrat berisiko terjadinya

kelainan kongenital. Terapi awal menunjukkan bahwa angka keguguran pada

terapi dengan klomifen sitrat meningkat dari kehamilan spontan. Namun pada

penelitian lebih lanjut disimpulkan tingkat keguguran pada pemberian klomifen

sitrat hampir sama dengan angka kejadian keguguran spontan.15,20

Insiden sindroma hiperstimulasi ovarium (OHSS) pada wanita dengan

terapi klomifen sitrat sulit ditentukan, karena definisi OHSS belum jelas dan

beragam diantara penelitian. OHSS ringan adalah pembesaran ovarium sedang.

OHSS berat ditandai pembesaran masif ovarium, peningkatan berat badan secara

signifikan, nyeri perut hebat, mual dan muntah, hipovolemia, asites dan

oliguria.20,21,26 Kanker ovarium pada pasien dengan induksi ovulasi tidak terbukti

meningkat. 20,21,22,26

2.3.2.2 Insulin Sentisisasi

Hubungan antara SOPK dan hiperinsulinemia pada pasien anovulasi,

akibat terjadinya hiperandrogen dan gangguan folikulogenesis, maka pengunaan


34

insulin sentisasi dapat digunakan sebagai agen induksi ovulasi dengan mengatasi
21,26,27
gangguan endokrin yang timbul pada SOPK. Insulin sensitisasi yang

digunakan adalah biguanid (Metformin), thiazolidinediones (troglitazone,

pioglitazone dan rosiglitazone), dan D-chiro-inositol (masih dalam penelitian).26,28

Saat ini yang paling banyak digunakan adalah metformin yang merupakan

agen sentisisasi insulin biguanida yang menghambat produksi glukosa hepatik dan

meningkatkan pemakainan glukosa perifer. Metformin tidak merangsang sekresi

insulin atau menyebabkan hipoglikemia.6,8,29

Struktur kimia metformin adalah berupa dimetilbiguanid. Dua gugus metil

menyebabkan metformin bersifat larut air, sedangkan gugus amin menyebabkan

metformin bersifat basa lemah. Metformin diabsorbsi di usus kecil. Obat ini

bersifat stabil tidak berikatan dengan protein plasma, dan diekskresi melalui

urin.27,29 Obat ini mencapai konsentasi maksimal pada sirkulasi darah vena dalam

2 jam setelah pemberian per oral, dengan waktu paruh 2 jam.29

Mekanisme kerja metformin adalah menghambat produksi glukosa di

hepar dan memperbaiki sensitifitas jaringan terhadap insulin. Selain itu metformin

juga dihubungkan dengan efek penurunan berat badan dengan cara menurunkan

nafsu makan.19,28,29 Tetapi metformin pada pasien SOPK akan menyebabkan

penurunan kadar insulin dalam sirkulasi, sehingga secara tidak langsung akan

menurunkan produksi androgen ovarium. Selain itu metformin juga memberikan

efek langsung terhadap sel teka dalam menurunkan produksi androgen, sehingga

secara kumulatif akan terjadi penurunan kadar androgen total dan androgen bebas

dalam sirkulasi.29,30
35

Metformin bersifat antihiperglikemia dan dapat menurunkan kadar insulin

puasa pada individu dengan resistensi insulin tanpa menyebabkan terjadinya

hipoglikemia pada pasien normogenik. Metformin menurunkan produksi glukosa

basal di hepar secara signifikan sampai 30%. Tetapi metformin juga menurunkan

kadar asam lemak bebas dengan menurunkan metabolisme jaringan adipose,

metformin biasanya ditujukan untuk menurunkan berat badan, kadar trigliserida

dan kolesterol LDL.29,30 Efek metformin terhadap pembuluh darah juga banyak

diteliti. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan efek vasodilatasi

melalui peningkatan kadar nitrit oksida dengan pemberian metformin. Resistensi

insulin dilaporkan berhubungan dengan peningkatan kadar PAI-1 yang berdampak

pada kejadian abortus, penyakit kardivaskular, dan sindroma metabolik.15,19,29

Walaupun klomifen sitrat masih merupakan terapi lini pertama untuk

penangan anovulasi dengan angka keberhasilan mencapai 85%, namun sekitar

15% wanita akan tetap anovulasi dengan klomifen sitrat. Karena diduga resistensi

klomifen sitrat terjadi akibat adanya resistesi insulin pada pasien SOPK, maka

pemberian metformin dapat membantu meningkatkan angka ovulasi terutama

pada wanita dengan reistensi klomifen sitrat.29

Secara garis besar tujuan pemberian metformin untuk penanganan SOPK

untuk jangka pendek adalah penanganan anovulasi, infertilitas, hiperandrogen,

dan reistensi insulin, sedangkan tujuan jangka panjang adalah mencegah

keganasan endometrium, sindroma metabolik, dan komplikasi

kardiovaskular.15,29,30

Pada wanita dengan SOPK pemberian metformin mengurangi

hiperinsulinesmia, sebagian besar dapat mengatasi gangguan siklus menstruasi,


36

sehingga meningkatkan angka ovulasi dan mengurangi angka keguguran. Pasien

SOPK cenderung mengalami kenaikan berat badan dan lemak yang berakibat

buruk pada keseimbangan hormon yang berkaitan dengan masalah-masalah

tersebut diatas. Obesitas mengurangi kemungkinan hamil dan meningkatkan

risiko komplikasi kehamilan termasuk keguguran, tekanan darah tinggi dan

tromboemboli.29

Banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan metformin maupun

metformin dikombinasi dengan klomifen sitrat, dan menunjukkan hasil yang

menjanjikan. Sebuah meta-analisis dari 13 uji coba terkontrol yang dilakukan

secara acak oleh Lord dkk pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa metformin

efektif dalam mencapai ovulasi pada wanita dengan SOPK, dengan rasio odds dari

3,88 (95% CI 2,25-6,69) untuk metformin dibandingkan dengan plasebo dan 4,41

(95% CI 2,37-8,22) untuk metformin dan klomifen sitrat dibandingkan dengan

hanya pemberian klomifen sitrat.15

Tingkat kehamilan yang tidak signifikan lebih baik antara metformin

dibandingkan dengan plasebo (OR 2,76; 95% CI 0,85 untuk 8.98), namun

peningkatan itu terlihat dengan metformin ditambah klomifen sitrat dibandingkan

klomifen sitrat saja (OR 4,4; CI 1,96-9,85).15

Sebuah meta-analisis yang lebih baru yang diterbitkan pada bulan April

2008 membandingkan klomifen sitrat dan metformin, baik sendiri maupun dalam

kombinasi, menemukan bahwa metformin saja meningkatkan kemungkinan

ovulasi dibandingkan dengan plasebo (OR 2,94; 95% CI 1,43-6,02) tapi tidak

menghasilkan perbedaan yang signifikan pada angka kehamilan (OR 1,56; 95%

CI 0,74-3,33). Ketika klomifen sitrat dan metformin dibandingkan dengan


37

klomifen sitrat saja, baik ovulasi dan tingkat kehamilan secara statistik meningkat

masing-masing 4,39 (95% CI 1,94-9,96) dan 2,67 (95% CI 1,45-4,94).19

Pada studi meta analisis ini juga dilaporkan angka kelahiran hidup, Ng dkk

pada 2001 membandingkan metformin dan plasebo pada 20 wanita dan

menemukan bahwa wanita yang menerima metformin sedikit yang mencapai

kelahiran hidup, meskipun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (OR

0,44; 95% CI 0,03-5,88). Pada empat percobaan diperiksa tingkat kelahiran hidup

dengan klomifen sitrat dan metformin dibandingkan klomifen sitrat saja, pada

kombinasi klomifen sitrat dan metformin didapatkan peningkatan angka kelahiran

hidup lebih tinggi dibandingkan klomifen sitrat saja, tetapi kenaikan ini tidak

signifikan secara statistik (OR1,74; 95% CI 0,79-3,86).15,19 Satu-satunya

penelitian yang cukup besar yang dilakukan untuk menilai angka kelahiran hidup

dilakukan oleh Legro dkk pada 2007, penelitian ini melibatkan 626 pasien dan

didapatkan angka kelahiran hidup hingga 6 bulan pengobatan kombinasi

metformin dan klomifen sitrat meningkat (26,8%), namun tidak signifikan

dibandingkan dengan pemberian klomifen sitrat saja (22,5%).29,30

Dari bukti penelitian pada wanita dengan SOPK penggunaan klomifen

sitrat lebih baik dari metformin sebagai terapi lini pertama bersamaan dengan

perubahan gaya hidup. Namun pada wanita dengan dengan resisten klomifen sitrat

ada tempatnya kita diberikan tambahan metformin pada pemberian klomifen

sitrat.15

Metformin tidak hanya digunakan untuk pengobatan SOPK namun juga

digunakan sebagai profilaksis terjadinya SOPK. Metformin dapat memperbaiki

gangguan menstruasi, infertilitas berkaitan dengan anovulasi, abortus,


38

hiperandrogen, gangguan endometrial, kelainan kardivaskular dan metabolik.

Oleh karenan efek baiknya ini banyak praktisi yang melanjutkan pemakain

metformin bahkan sampai masa kehamilan.15,30

Metformin efektif dalam mencapai target ovulasi pada wanita dengan

SOPK. Metformin memiliki efek menurunkan konsentrasi insulin puasa, tekanan

darah, dan kolesterol jahat (LDL). 27,29

Sebuah penelitian kohort prospektif dilakukan untuk menentukan efek

menguntungkan dari metformin pada SOPK selama kehamilan. Dari penelitian

pada 200 orang pasien SOPK non diabetes yang menjalani terapi reproduksi

terbantu, 120 pasien hamil dan diberikan metformin dengan dosis 1000-2000 mg

setiap hari selama kehamilan, 80 pasien sisanya dihentikan pengunaan metformin

pada saat konsepsi dan dijadikan kelompok kontrol. Kedua kelompok disamakan

latar belakang dan karakteristiknya (usia, IMT, rasio pinggang/pinggul, kadar

FSH, LH, Estradiol dan Dehidroepiandrosteron sulfat/DHEAS). Angka spontan

abortus trimester pertama pada kelompok kasus awal 11,6%, 36,6% pada

kelompok kontrol.27

2.3.2.3 Aromatase Inhibitor

Aromatase inhibitor adalah enzim mikrosom sitokrom P450 (dikode oleh

gen CPY19) yang berperan untuk katalisasi produksi estrogen dari androgen.

Aromatase bertanggung jawab untuk mengubah androestenedion menjadi estron

dan Testosteron menjadi estradiol. Aktifitas enzim aromatase ini dapat dijumpai

pada jaringan ovarium, otak lemak, otot, hati, payudara dan tumor payudara.
39

Aromatase inhibitor adalah preparat yang dapat dimnfaatkan untuk menghambat

aktivitas enzim aromatase secara spesifik.11,12,18

Sudah lebih dari satu dekade aromatase inhibitor diperkenalkan sebagai

pengobatan alternatif untuk induksi ovulasi pada wanita dengan SOPK. Dari

penelitian terbukti wanita dengan anovulasi WHO kelas 2 yang resisten terhadap

klomifen sitrat atau didapatkan dengan lapisan endometrium yang tipis

dikarenakan berkurangnya reseptor estrogen akibat terapi klomifen sitrat,

mendapatkan manfaat dari pemberian aromatase inhibitor. Pada penelitian awal

didapatkan hasil yang menjanjikan sebagai alternatif terapi untuk induksi ovulasi,

khususnya pada wanita anovulasi WHO tipe II.11,12,31

Saat ini yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan klinis adalah

generasi ketiga aromatase inhibitor, yaitu yang bersifat non steroid ( Anastrozole

dan Letrozole), serta yang bersifat steroid (Exemestane).31

Anastrozole dan Letrozole dapat diserap dengan baik pada penggunaan

oral, dengan waktu paruh 45 jam (30-60 jam), dan dibersihkan terutama oleh

liver.18Aromatase inhibitor merupakan sitokrom P450 hemoprotein yang

mengandung enzim yang mengkatalisis konversi androstenedion dan Testosteron

menjadi estron dan estradiol melalui hidroksilase.32

Mekanisme aromatase inhibitor sangat berbeda dengan klomifen sitrat.

Perbedaan yang utama adalah aromatase inhibitor sama sekali tidak menempati

reseptor estrogen. Aromatase inhibitor akan menyebabkan produksi estrogen

ovarium menurun dalam waktu yang singkat, 45 jam. Hal ini menyebabkan

hilangnya umpan balik negatif estrogen ke hipotalamus dan hipofisis untuk jangka

waktu pendek pula.11,31 Hipofisis akan menghasilkan FSH yang lebih banyak
40

untuk waktu yang pendek dan akan kembali normal setelah kadar aromatase

inhibitor menurun. Berbeda dengan klomifen sitrat yang dapat menimbulkan

reaksi berupa pertumbuhan folikel dominan yang lebih dari satu, maka aromatase

inhibitor hanya akan menstimulasi pertumbuhan satu folikel dominan saja. Hal ini

terjadi akibat jendela FSH yang terbuka lebih pendek jika dibandingkan dengan

klomifen sitrat.18,32

Akibat lebar jendela FSH yang lebih kecil pada aromatase inhibitor

dibandingkan klomifen sitrat, maka hanya satu folikel yang akan berkembang

menjadi folikel dominan pada aromatase inhibitor. Disamping terjadi penurunan

kadar estrogen untuk waktu yang pendek, maka penggunaan aromatase inhibitor

pada induksi ovulasi / stimulasi ovarium juga terkait dengan peningkatan

androgen sesaat pada fase folikular awal yang tentunya justru akan meningkatkan

reseptor FSH di folikel ovarium.18

Pada hari kesepuluh stimulasi, klomifen sitrat akan menghasilkan lebih

banyak folikel dominan, sedangkan aromatase inhibitor hanya menghasilkan 1

folikel dominan saja. Reaksi ini tentu akan sangat bermanfaat sekali dalam

tatalaksana induksi ovulasi karena dapat mencegah sindroma hiperstimulasi

ovarium dan terjadinya kehamilan ganda.32

Beberapa kelebihan aromatase inhibitor dibandingkan klomifen sitrat,

membuat preparat ini dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kegagalan ovulasi pada

pemberian klomifen sitrat (resisten klomifen sitrat). Aromatase inhibitor dapat

memperbaiki ovulasi sebesar 60-90% dengan angka kehamilan sekitar 9-42%.

Kelebihan lain dari aromatase inhibitor dibandingkan dengan klomifen sitrat


41

adalah tidak adanya penekanan terhadap peetumbuhan endometrium dan tidak

mempengaruhi kekentalan lendir serviks.18

Letrozole telah digunakan sebagai obat pilihan baru untuk induksi ovulasi,

khususnya pada pasien SOPK yang resisten terhadap klomifen sitrat. Letrozole

sangat memiliki angka kehamilan yang setara dengan injeksi gonadotropin dengan

biaya dan efek samping yang lebih sedikit.33

Pengunaan letrozole sekarang ini sudah dapat dijadikan sebagai terapi lini

pertama dikarenakna keuntungannya yang tidak memilik efek anti estrogenik

negatif pada endometrium dan lendir serviks, sehingga lebih rendah risiko

terjadinya OHSS (Ovarian Hyperstimulation Syndrome), dan lebih sedikit

membutuhkan monitoring. Efek baik lain dalam terapi infertilitas seperti untuk

persiapan lapisan endometrium untuk pasien Freezing Embrio Transfer (FET),

dan sebagai terapi adjuvant pada protokol stimulasi ovarium untuk preservasi

fertilitas untuk pasien keganasan.31,33

Pada pasien dengan kanker payudara, maka induksi ovulasi/ stimulasi

ovarium dengan klomifen sitrat tentu bukanlah pilihan yang baik akibar kadar

estradiol yang meningkat lebih tinggi setelah pemberian klomifen sitrat. Pilihan

pada pasien kanker payudara tentunya adalah aromatase inhibitor. Letrozole dan

anastrozole dapat menekan kadar estradiol lebih rendah dibandingkan dengan

Anastrozole.33

Pemberian letrozole untuk induksi ovarium dimulai dengan dosis awal 2,5

mg selama 5 hari dimulai pada menstruasi hari ke 3. Terbukti dari penelitian

Nichd Reproductive Medicine Network (RMN) dan data meta analisis Cochrane

menunjukkan penggunaan Letrozole sebagai agen induksi ovulasi menghasilkan


42

angka ovulasi, kehamilan maupun kelahiran yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pemberian klomifen sitrat dan meniliki angka kejadian OHSS yang lebih

rendah, namun tidak berbeda bermakna pada angka komplikasi abortus dan

kehamilan ganda.31

Holzer dkk menemukan bahwa letrozole meningkatkan ovulasi 70-84%

dan angka kehamilan 20-27% per siklusnya pada wanita dengan SOPK yang

resisten terhadap klomifen sitrat. Baik dosis tunggal maupun dosis terbagi

mencapai angka kehamilan yang hampir sama. Perkembangan folikel yang lebih

dan angka kehamilan tinggi dilaporkan pada pemberian letrozole 2,5 mg selama

10 hari dibandingkan dengan pemberian selama 5 hari.32

Dosis yang biasa digunakan untuk Letrozole adalah 2,5 dan 5 mg, dosis

yang lebih tinggi dari 5 mg per hari selama 5 hari dapat mengakibatkan resisten

aromatase inhibitor, diikuti rendahnya kadar estrogen untuk pertumbuhan

endometrium pada saat ovulasi. Dosis yang disarankan pada beberapa penelitian

adalah dosis tunggal 20 mg diberikan pada hari ke-3 siklus menstruasi,

perpanjangan dosis 2,5 atau 5 mg hingga 7-10 hari, dan peningkatan dosis

berjenjang dimulai 2,5 mg pada hari ke-3 hingga 10 mg pada hari ke-6.33

Beberapa penelitian melaporkan sedikit peningkatan angka kejadian

kelainan anomali kongenital pada pengunaan antiestrogen sebagi obat induksi

ovulasi. Kelainan anomali kongenital yang mungkin ditemukan adalah kelainan

jantung kongenital. Angka kejadian kelainan anomali kongenital pada penggunaan

klomifen sitrat sekitar 1,8% dan sekitar 0,4% pada aromatase inhibitor.18 Induksi

ovulasi dengan klomifen sitrat dan aromatase inhibitor, angka kehamilan dapat

ditingkatkan bila dikombinasikan dengan gonadotropin.15,18,33


43

2.3.2.4 Tamoxifen

Tamoxifen sitrat (TMX) adalah derivate etilena trifenil dengan struktur

yang mirip dengan klomifen sitrat. Pada penelitian meta analisis yang dilakukan

Steiner dkk membandingkan efektifitas tamoxifen dengan klomifen sitrat untuk

mencapai kehamilan, didapatkan kesimpulan efektifitas klomifen sitrat dan

tamoxifen adalah sama.18,32

Tamoxifen juga menunjukkan hasil yang baik pada pasien yang resisten

terhadap klomifen sitrat.34,35 Angka ovulasi dan kehamilan yang tinggi ini

disebabkan mukosa servik yang lebih banyak dan corpus luteum yang dapat

berfungsi lebih baik. Dan tamoxifen tidak menyebabkan hiperstimulasi dan

kehamilan ganda, dan lebih murah.34,36

Tamoxifen menjadi pilihan yang baik pada pasien yang gagal ovulasi

dengan pemberian klomifen sitrat dikarenakan efek samping pada mukus servikal

dan penipisan dinding endometrium. Tamoxifen dapat menurunkan kadar

prolaktin dan memberikan dampak positif kepada lendir serviks. 18,32

Dosis yang dianjurkan untuk induksi ovulasi adalah 20-40 mg per hari,

dimulai pada hari ke 3 menstruasi dan dilanjutkan hingga hari ke-5.32 Pengunaan

tamoxifen ini masih jarang digunakan, penggunaan klinis hanya diresepkan pada

wanita yang mengalami efek samping hebat dari klomifen sitrat, atau yang

mengalami resisten pada pemberian klomifen sitrat. Dari penelitian meta analisis

perbandingan angka ovulasi dan kehamilan antara tamoxifen dan klomifen sitrat

adalah sama.32,36
44

Dhaliwal dkk melaporkan dosis efektif tamoxifen pada wanita anovulasi,

didapatkan 20 dari 70 (28,5%) wanita berhasil hamil dengan dosis 80 mg

tamoxifen per hari dimulai hari ke-5 hingga hari ke-9 menstruasi.32,35

2.3.2.5 Gonadotropin

Jika seorang wanita dengan SOPK gagal mendapatkan kehamilan setelah

terapi penurunan berat badan dan 6 siklus pemberian klomifen sitrat, maka

gonadotropin eksogen dengan atau tanpa inseminasi menjadi pilihan

selanjutnya.30,37

Pada siklus alamiah, terdapat konsep batas ambang minimal kadar FSH

yang menyebabkan tumbuhnya satu folikel dominan, sementara folikel lainnya

mengalami atresia. Konsep ini dikenal sebagai FSH window concept.37 Pemberian

FSH eksogen dimaksudkan untuk memodifikasi prinsip dasar tersebut, yaitu

dengan memperpanjang lama window FSH dan kadar diatas batas ambang

minimal, sehingga folikel yang akan mengalami perkembangan menjadi lebih

banyak dibandingkan dengan siklus alami.12,37

Terdapat banyak macam gonadotropin yang pernah diproduksi dari awal

hingga saat ini, namun tiga yang sering dipakai adalah Human Menopausal

gonadotropin (hMG), u-FSH, r-FSH.11,12,37

hMG dikembangkan dengan melakukan ekstrak gonadotropin dari urin

wanita menopause. Gonadotropin yang diproduksi memiliki 5% aktivitas biologi

dan 95% kontaminasi protein urin. Sediaan hMG yang tersedia mengandung

aktivitas 75 IU LH dan 75 IU FSH.37


45

Selama lebih dari 30 tahun, hMG adalah satu-satunya sediaan

gonadotropin yang tersedia. u-FSH diperoleh dari perbaikan proses produksinya,

sehingga diperoleh sediaan yang memiliki kemurnian tinggi. Pada u-FSH

kandungan LH secara dramatis menurun sehingga dapat mengurangi efek negative

dari peningkatan LH.2,12,37

Wanita dengan SOPK folikel ovariumnya lebih sensitif terhadap FSH,

sehingga rentan terjadi perkembangan folikel yang berlebihan dan besar risiko

terjadi OHSS. Oleh karena itu American Society for Reproductive Medicine

(ASRM) merekomendasikan gonadotropin dosis rendah dengan metode “ step-

up”, “step-down” ataupun kombinasi.6,9,13

Metode “step-up” dasarnya adalah untuk menentukan ambang dosis untuk

pertumbuhan dan maturasi folikel. Metode “step-up” dimulai dengan pemberian

FSH dosis rendah (37,5-50 IU/hari) pada hari pertama atau kedua siklus

menstruasi dan secara bertahap dosis ditingkatkan selama 14 hari sampai dosis

ambang FSH yang dibutuhkan untuk folikulogenesis terlampaui, yang dilihat dari
7
diameter folikel pada USG dan kadar estradiol. Atau dapat diberikan dengan

dosis 75 IU perhari pada hari pertama atau kedua siklus haid , jika tidak

ditemukan pertumbuhan folikel setelah diterapi selama 14 hari, maka dosis

dinaikan bertahap ( 37,5 IU) selama 7 hari, dosis dapat dinaikan lagi jika tidak ada

respon.6,37

Dalam “step-up” protokol diupayakan untuk mencari dosis FSH yang

setepat mungkin guna memperbaiki ketidak seimbangan hormonal yang terjadi

pada pasien SOPK, protokol ini dianggap lebih sesuai untuk SOPK, karena

berusaha untuk mencapai pertumbuhan folikel yang lebih sedikit. Pada protokol
46

ini dengan skema tersebut, pertumbuhan monofolikular dilaporkan mencapai 50-

70%. Pada 11 penelitian dengan dosis awal 75 IU didapatkan angka kehamilan per

siklus mencapai 20% dengan angka kehamilan ganda yang rendah (5,7%) dan

angka kejadian OHSS 0,14%.13,36,37

Protokol “step-down” dimulai dengan dosis awal FSH yang lebih tinggi,

bertujuan untuk melampaui ambang batas FSH untuk folikulogenesis baru

kemudian dosis FSH dikurangi hingga dibawah ambang batas produksi

folikel.6,13,26

Beberapa penelitian berpendapat bahwa protokol “step-down” lebih mirip

keadaan fisiologis (kadar FSH lebih tinggi pada fase folikular awal dan lebih

rendah pada fase folikular akhir. Tujuan dari protokol “step-down” adalah

mencapai ambang FSH secara cepat untuk merangsang perkembangan folikel.37

Pemberian FSH dimulai dengan dosis 150 IU/ hari, dosis dilanjutkan

sampai folikel dominan (≥ 10mm) tampak pada TVS, dosis kemudian diturunkan

menjadi 75 IU/ 3 hari. Dosis ini terus dipertahankan sampai diberikan hCG untuk

maturasi oosit dan induksi ovulasi, jika respon ovarium tidak terlihat setelah 3-5

hari, dosis FSH dapat dinaikan.36,37

Dari penelitian yang dilakukan metode “step-up” terbukti lebih aman

berkaitan dengan perkembangan folikel dominan tunggal dan lebih mudah untuk

memantau perkembangan folikel.6,8,28

Selain itu kedua protokol ini dapat dikombinasi dengan secara bertahap

dosis FSH ditingkatkan sampai terdapat respon dari perkembangan folikel,

kemudian secara bertahap dosis dikurangi setelah munculnya folikel dominan.

Setelah folikel mencapai tahap matang, sel granulosa dan apparatus folikel
47

menjadi tergantung pada FSH dan LH. Sullivan dkk membuktikan pada stimulasi

ovarium terkontrol pergantian FSH ke LH terjadi ketika folikel telah mencapai 14

mm, hanya folikel besar yang terus berlanjut perkembangannya.6,9,37

Metode “ step-down “ risiko OHSS lebih kecil, dikarenakan penurunan

pemberian FSH hanya menghalangi perkembangan folikel kecil, sedangkan

folikel yang besar terus berkembang ke tahap preovulasi, dan ovulasi dapat

diinisiasi oleh pemberian LH, GnRH agonis atau hCG.6,8

Tidak seperti pemberian klomifen sitrat, pada pemberian gonadotropin

eksogen memerlukan pemantauan yang ketat mengunakan USG untuk melihat

perkembangan folikel, minimalisasi risiko OHSS dan kehamilan ganda.

Rekomendasi untuk penghentian perkembangan folikel dengan pemberian hCG

dilakukan jika didapatkan lebih dari 2 folikel > 16 mm atau lebih dari satu folikel

>16 mm dengan dua folikel tambahan >14 mm atau jika serum estradion antara

1000 – 2500 pg/ml, terutama pada wanita < 38 tahun tanpa faktor infertilitas

lainnya.6,12

Secara keseluruhan dengan pemberian gonadotropin eksogen dosis rendah

tingkat ovulasi mencapai 70%, kehamilan 20% dan angka kelahiran hidup 5,7%,

dengan insiden kehamilan ganda yang cukup rendah (<6%) dan OHSS (<1%)

dibandingkan klomifen sitrat dengan tingkat ovulasi 80%, kehamilan 30-43% dan

kehamilan ganda 5-10%.6,36

2.3.3 Pembedahan Laparoskopi ovarium

Laparoskopi ovarium merupakan indikasi utama pada pasien SOPK yang

mengalami siklus anovulasi dan resisten setelah pemberian terapi dengan


48

klomifen sitrat. Karena dengan pembedahan pada ovarium dapat menurunkan

sekresi LH, terapi laparoskopi juga diindikasikan pada pasien yang tetap

mengalami hipersekresi LH secara persisten, baik pada siklus alami maupun

sebagai respon terhadap pemberian klomifen sitrat.6,12,38

Mekanisme Laparoskopik Ovarian Drilling (LOD) masih belun jelas,

diduga LOD merusak stroma ovarium sebagai penghasil androgen, sehingga kadar

androgen menurun. Hal ini menyebabkan hormon androgen ovarium baik

produksi, sekrsi dan kadarnya dalam sirkulasi menurun.39,40

Kadar Testosteron bebas dan Testosteron total menurun kira-kira 40-50%

dibawah kadar sebelum LOD.39 Paska LOD volumee ovarium meningkat

sementara, kemudian mengecil kembali, demikian pula kadar serum LH

meningkat segera paska tindakan dan kemudian menurun kembali. Meskipun

pulsasi LH frekuensinya tidak berubah, amplitudonya mengecil. Respon lobus

hipofisis anterior terhadap GnRH juga menurun selaras dengan turunnya kadar

Testosteron. Hal ini menunjukkan bahwa destruksi pada stroma ovarium

mempunyai dampak modulasi yang tidak langsung pada sumbu Hipotalamus-

hipofisis-ovari.6,39

Kadar LH terbukti menurun paska LOD, tetapi dampak LOD pada kadar

FSH sangat tidak menonjol. Kadar FSH umumnya meningkat dengan cepat dan

kemudian menunjukkan kenaikan secara siklik, sesuai dengan siklus ovulasi.

Pulsasi inhibin B normal sesuai dengan awal siklus ovulasi yang teratur. Hal ini

menunjukkan bahwa fungsi parakrin intra ovarium tetap normal. Sekresi FSH

yang meningkat diduga menyebabkan rangsangan LH/FSH menjadi normal,

dengan dampak recruitment folikel primordial dan proses folikulogenesis juga


49

menjadi normal kembali.6,20,40 Kadar LH serum nampaknya merupakan petanda

paling baik untuk respon LOD. LOD pada wanita dengan LH serum awal > 10

IU/L mempunyai respon lebih baik secara bermakna dibanding pada wanita

dengan LH serum awal lebih rendah. Pada wanita dengan LH serum awal tinggi,

pasca LOD akan mengalami penurunan kadar LH serum dan Testosteron serum

secara bermakna.39

Indeks masa tubuh (IMT) tampaknya mempengaruhi hasil terapi LOD,

secara garis besar wanita gemuk cenderung memberikan respon lebih rendah

dibandingkan dengan wanita yang tidak gemuk. Namun demikian oleh karena

populasi penelitian sangat heterogen, pengaruh kegemukan terhadap respon

ovarium dan angka kehamilan belum jelas.38,39

Selain itu, prosedur laparoskopi ovarium dapat dilakukan pada perempuan

SOPK yang memerlukan pemeriksaan laparoskopi guna mengetahui kondisi

rongga pelvik atau pasien SOPK yang sulit melakukan pemantauan intensif

setelah pemberian gonadotropin.12,38

Pada kasus non fertilitas seperti pasien SOPK yang ingin mengatasi

masalah gangguan haid dan hiperandrogen ataupun untuk mencegah terjadinya

sindroma hiperstimulasi ovarium, terapi laparoskopi ini tidak direkomendasikan

akibat masih sedikitnya data-data penelitian dalam jangka waktu yang

panjang.38,40

Secara umum, terdapat dua metode pada laparoskopi ovarium, yakni

melalui elektrokauterisasi monopolar/bipolar (diatermi) dan laser. Kedua teknik

ini tidak memberikan perbedaan pada hasil yang diperoleh. Respon terhadap

tindakan laparoskopi ovarium lebih ditentukan dari karakteristik pasien dan juga
50

gambaran morfologi ovarium. Derajat kerusakan stroma ovarium akibat tindakan

ini diduga ditentukan dari ukuran ovarium.39,40 Efektifitas dari tindakan

laparoskopi ovarium akan menjadi baik jika dilakukan tusukan sebanyak 4 hingga

10 tusukan pada ovarium. Bila lebih dari 10 tusukan, maka risiko terjadinya

kegagalan ovarium dini akan semakin meningkat.40

Efektifitas dari laparoskopi ovarium umunya baru akan tampak setelah

beberapa bulan setelah pembedahan. Sebanyak 50% perempuan SOPK akan

melahirkan bayi hidup paska terapi. Namun, terapi lanjutan masih dibutuhkan

setelah laparoskopi ovarium. Terapi lanjutan yang diberikan adalah klomifen sitrat

ataupun pemberian gonadotropin. Pemberian klomifen sitrat dapat

dipertimbangkan bila tidak diperoleh ovulasi selama 12 minggu sedangkan

pemberian FSH dapat diberikan setelah 6 bulan.6,40

Komplikasi yang bersifat akut jarang sekali terjadi pada pembedahan. Dari

778 kasus laparoskopi ovarium, ditemukan dua kasus dengan pendarahan yang

membutuhkan laparotmi dan satu kasus dengan perforasi usus. Efek samping

jangka panjang yang dapat ditemukan adalah perlenketan dengan organ obdomen

dan menopause dini, terutama bila dilakukan jumlah tusukan yang banyak.38,40

2.3.4 Fertilisasi In Vitro pada SOPK

Fertilisasi In Vitro (FIV) dengan atau tanpa injeksi sperma intrasitoplasma

adalah pilihan terapi untuk wanita dengan SOPK yang gagal hamil setelah

mendapatkan terapi gonadotropin atau dengan indikasi untuk terapi TRB

(Terapi Reproduksi Berbantu).12,15


51

Pada FIV gonadotropin diberikan untuk mencapai terjadinya

perkembangan folikel multipel untuk kembali mendapatkan oosit dan

mengembang embrio untuk kemudian ditrasfer kedalam rahim. Angka

kehamilan pada FIV bisa mencapai 40-50% per siklus FIV, namun angka ini

bergantung pada usia wanita. Pasien dengan SOPK yang diterapi FIV

memiliki angka kehamilan dan kelahiran yang hampir sama dengan wanita

tanpa SOPK selama siklus FIV.2,15

Dikarenakan meningkatnya risiko kehamilan ganda (hingga 10%) saat

induksi ovulasi mengunakan gonadotropin pada wanita dengan SOPK yang

mendambakan kehamilan, alternatif yang paling rasional adalah Fertilisasi In

Vitro (FIV). FIV dengan transfer satu embrio secara bermakna menurunkan

risiko kehamilan ganda. FIV memungkinkan untuk menempatkan hanya satu

embrio atau untuk menyimpan bekukan (cryopreservation) semua embrio dan

mentrasfer satu embrio saja pada siklus berikutnya, kemudian dilanjutkan

dengan stimulasi endometrium saja tanpa stimulasi ovulasi.5,15 Beberapa

protokol stimulasi telah dipublikasikan untuk terapi pasien SOPK yang

menjalankan FIV, termasuk kombinasi maupun penggunaan tunggal dari

klomifen sitrat, hMG, r-FSH, GnRH agonis dan GnRH antagonis.

Berdasarkan konsensus ASRM 2008, protokol yang paling disarankan adalah

desentisisasi FSH dengan GnRH agonis protokol panjang, dimana GnRH

agonis dimulai biasa pada awal, pertengahan ataupun akhir dari fase luteal

siklus sebelumnya atau pada fase folikular sampai pemberian hCG. Stimulasi

dengan gonadotropin dimulai ketika supresi hipofisis dan ovarium sudah

terjadi.6,13,15
52

2.3.5 Terapi Alternatif

2.3.5.1 Karnitin

Karnitin merupakan senyawa ammonium kuartener yang dapat disintesis

dari dua asam amino lisin dan metionin. Pada sel berfungsi untuk membantu

transportasi asam lemak dari sitosol ke dalam mitokondria selama pemecahan

lipid dalam proses pembentukan energi. Bentuk aktif dari karnitin pada

sirkuler tubuh manusia adalah L-Karnitin. L-Karnitin memiliki peran penting

dalam menstabilkan membrane mitokondria, meningkatkan pasokan energy ke

organel, dan melindungi sel dari kematian apoptosis. Pengunaan karnitin

dalam pengobatan resistensi insulin telah lama digunakan keadaan stress

metabolic seperti diabetes tipe 2 dan obesitas, pada wanita dengan SOPK

diketahui L-karnitin didapatkan dalam kadar rendah pada serum, dimana ini

mengakibatkan hiperinsulinemia dan akhirnya akan berakhir dengan

hiperandrogen.

Ide pemberian l-karnitin dalam fase folikular adalah untuk mengkatifkan

oksigen reaktif dan juga mengurangi zat oksidatif berbahaya yang biasanya

terjadi pada siklus anovulasi, ataupun penuaan ovarium hiperglikemia dan

hiperandrogen. Pada penelitian oleh Kuscu dan Var menunjukkan peningkatan

aktivasi superoxide dismutase dn pembentukan glutation antioksidase.41

Kombinasi suplementasi L-karnitin 3g intraoral perhari dari hari ke tiga

menstruasi sampai didapatkan hasil tes kehamilan positif dengan 250 mg per

hari KS secara signifikan meningkatkan ovulasi dan angka kehamilan pada


53

pasien dengan SOPK (64,4%). Pembentukan follikel matur pun dapat terjadi

lebih cepat.41

2.3.5.2 Herbal

Testo merupakan produk herbal yang telah berabad-abad

digunakan di India selatan untuk menangani infertilitas, induksi ovulasi

dan gangguan haid. Keuntungan dengan produk ini juga memiliki efek

memperbaiki keluhan mestruasi yang tidak teratur dan gejala lain yang

terkait.42

Gambar 2.10 Komposisi Testo 42

Kandungan dari Testo seperti Alchemilla merupakan progesteronik

herbal, Glycryyhiza glabra memiliki beberapa sifat farmakologis seperti

estrogenic, anti tesosteron, antiinflamasi. Ini dapat menyeimbangakan

kadar estrogen dalam tubuh. Pada model tikus, Mucuna pruriens

meningkatkan FSH dan LH hingga ke ambang batas ovulasi, juga

didapatkan peningkatan folikulogeneis dan ovulasi, mempersiapkan rahin

untuk pembuahan, mencegah keguguran. Merangsang sekresi progesteron

dan kadar estrogen yang seimbang, dan mengurangin sekresi insulin. Hal
54

ini menyebakan ovulasi yang teratur dan mengurangi penyakit

metabolik.42

Tingkat ovulasi pada Testo adalah 81,81% lebih tinggi dari

pengunaan klomifen maupun kombinasi klomifen dengan metformin. Pada

siklus pertama penggunaan Testo angka ovulasi 45,45%, sedangkan pada

siklus kedua 81,81%.42


BAB III

KESIMPULAN

SOPK (Sindroma Ovari Polikistik) adalah kumpulan gejala dan tanda dari

kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan sistem

endokrin. Gejala dan manifestasi klinik termasuk tampilan biokimiawi yang

bervariasi, membuat etiologi dan patofisiologi SOPK belum semuanya

terjelaskan.1 Pasien datang ke dokter mengeluhkan gangguan pada siklus

menstruasi, infertilitas, dan masalah obesitas serta kelainan lainnya seperti

hirsutisme dan akne.1,2 Infertilitas pada pasien dengan SOPK diakibatkan oleh

oligo ataupun anovulasi.2

Dikarenakan kumpulan gangguan diatas induksi ovulasi pada SOPK berbeda

dengan induksi pada pasien infertil lainnya. Pada SOPK induksi ovulasi yang

pertama kali dilakukan adalah dengan mengurangi berat badan dan mengubah

gaya hidup yang menyebabkan kegemukan. Jika langkah ini kurang atau tidak

berhasil maka dilakukan pemberian medikamentosa.

Pilihan medikamentosa utama adalah klomifen sitrat, jika pada pemberian

dosis maksimal dan pengulangan lebih dari 6 siklus tidak menghasilkan ovulasi

terdapat alternatif induksi lainnya yang bisa digunakan atau digabungkan dengan

pemberian klomifen sitrat. Medikamentosa lainnya adalah agen sensitisasi insulin,

aromatase inhibitor, tamoxifen, gonadotropin ataupun dengan cara operatif

Laparoskopi ovarium, langkah akhir yang dapat ditempuh adalah Fertilisasi In

Vitro.

55
56

DAFTAR PUSTAKA

1. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S., 2014. Metformin and


gonadotropins for ovulation induction in patiens with polycystic ovary
syndrome : a systematic review with meta-analysis of randomized
controlled trials. Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial
online), [cited 2015 oktober 21]. Available from : URL :
http://www.rbej.com/content/12/1/3.

2. Andon, H., dkk., 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates


in Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon,
H., dkk. Sagung Seto, Jakarta. P 1-52
3. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary
Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical
Guideline Endocrine Society’s.
4. Fritz, M.A, Speroff, L., 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility
8th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529
5. Jeffrey R.C., 2014. Polycystic Ovary Syndrome and Hyperandrogenic
States. Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s Reproductive
Endocrinology. 7th Edition.Elsevier Sandera P 485- 511

6. Jennifer, F.K., Tammy, L.L, Sarah, L.B., 2010. An algorithm for


treatment of infertile women with polycystic ovary syndrome. Middle
East Fertility Society Journal. (serial online), [cited 2015 oktober 21].
Available from : URL : www.mefsjournal.com.
7. Dimitrios, P., et al. 2013. Infertilty treatment in Polycystic Ovary
Syndrome : Lifestyle intervention, medication and surgery. Polycystic
syndrome, Novel Insight into Causes and Therapy. Horn Res. Basel,
Karger, vol 40, p 128-141.
8. Lavanya, R., et al. 2012. Polycystic ovaries and infertility : Our
Experience. J Human Reproductive Society Vol 1. P 65-72.
57

9. Theresa, L.M., Adi, E.M., 2014. Polycystic ovary syndrome :


Pathogenesis and treatment over the short and long term. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. (serial online), [cited 2015 oktober 21].
Available from : URL : http://www.ccjm.org.

10. Abdoulaye, d., et al. 2014. Prior caloric restriction increase survival of
prepubertal obese- and PCOS-prone rats exposed to a challenge of
time limited feeding and physical activity. serial online), [cited 2015
oktober 29]. Available from : http://www.the-aps.org/publications/jappl

11. Robert, L.B., 2014. Female Infertility. Jerome, F.S., Robert L.B. Yen
& Jaffe’s Reproductive Endocrinology. 7th Edition.Elsevier Sandera P
485- 520-531.
12. Fritz, M.A, Speroff, L., 2011. Induction of Ovulation. Clinical
Gynecologic Endocrinology and Infertility 8th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. P 495-529
13. American Society for Reproductive Medicine. 2012. Medication For
inducing Ovulation. A Guide for Patients. (serial online), [cited 2015
oktober 29]. Available from : URL : http://www.ReproductiveFacts.org

14. Bulent, O.Y., Ricardo, A., 2010. Polycystic Ovary Syndrome and
Ovulation Induction. Contemporary Endocrinology : Androgen
Disorder in Women : Polycystic Ovary Syndrome and Other Disorder,
2nd Edition. Azziz, R., et al. Humana Press Inc, Totowa, NJ. P 389-
404.
15. Tanny, D.R.V., et al. 2010. Ovulation Induction in Polycystic Ovary
Syndrome. SOGC Clinical Practice Guideline No. 242, May 2010.
Journal Obstetric and Gynecology. P 495-502.

16. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary
Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical
Guideline Endocrine Society’s.
17. Michael, T.S., 2010. Polycystic Ovarian Syndrome : Diagnosis and
Management. Clinical Medicine & Research, Vol 2 No 1 : 13-27.
58

18. Andon, H., 2009. Antiestrogen. Aplikasi klinis Induksi Ovulasi dan
Stimulasi Ovarium Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi
Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H., Hendy, H.,
Sagung Seto, Jakarta. P 37-48

19. Marie, L.M., et al. 2013. Metformin versus clomiphene citrate for
infertility in non-obese women with polycystic ovary syndrome : a
systematic review and meta-analysis. Human Reproduction Update,
Vol 19, No.1. p 2-11. (serial online), [cited 2015 oktober 20].
Available from : URL : http://humupd.oxfordjournals.org.

20. Samantha, P., et al. 2013. Use of clomiphene citrate in infertile women
: a committee opinion. American Society for Reproductive Medicine. .
(serial online), [cited 2015 oktober 23]. Available from : URL :
http://fertstertforum.com/goldsteinj-clomiphene-citrate-infertility-pcos/
21. Helena, T., et al., 2011. Evidence based Guideline for the assessment
and management of polycystic ovary syndrome. PCOS Australian
Alliance.
22. Lobke, M.M., et al. 2014. Cost effectiveness of treatment strategies in
women with PCOS who do not conceive after six cycle of clomiphene
citrate. Reproductive Biomedicine online. Elsevier. (serial online),
[cited 2015 oktober 23]. Available from : URL :
http://dx.doi.org/10.1016/j.rbmo.2014.01.014.
23. Hatem, A.H., 2010. Management of Women with Clomifene Citrate
Resistant Polycystic Ovary Syndrome- An Evidence Based Approach.
Polycystic Ovary Syndrome. (serial online), [cited 2015 oktober 23].
Available from : URL : http://www.intechopen.com .

24. Farzana, A., Nesreen, A., Hafeez, H., 2015. Frequency and outcome of
treatment in polycystic ovaries related infertility. Pak Journal Medicine
Science. (serial online), [cited 2015 oktober 23]. Available from : URL
: http://dx.doi.org/10.12669/pjms.313.8003.
25. Zhyan, B.H., 2015. Comparisson between tamoxifen and clomifen
citrate for induction ovulation and successful conception in polycystic
59

ovarian syndrome. International Journal of Reproduction,


Contraception, Obstetric and Gynecology. (serial online), [cited 2015
oktober 23]. Available from : URL : http://dx.doi.org/10.18203/2320-
1770.ijrcog20150709.

26. Andon, H., Putri, D.K., 2012. Sindroma Ovarian Polikistik. Best
Practices on IMPERIAL. Andon, H., dkk. Sagung Seto, Jakarta. P 43-
61

27. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S., 2014. Metformin and
gonadotropins for ovulation induction in patiens with polycystic ovary
syndrome : a systematic review with meta-analysis of randomized
controlled trials. Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial
online), [cited 2015 oktober 20]. Available from : URL :
http://www.rbej.com/content/12/1/3.
28. Johnny, A., et al. 2013. Guideline for the use of Insulin Sensitizing
Drugs in the management of PCOS-associated Infertilty. Clinical
Practice Guidelines Middle East Fertility Society.

29. Nusrattudin, A., 2009. Insulin Sensitizing Agents. Aplikasi klinis


Induksi Ovulasi dan Stimulasi Ovarium Himpunan Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi Perkumpulan Obstetri & Ginekologi
Indonesia. Samsul, H., Hendy, H., Sagung Seto, Jakarta. P 65-81

30. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S., 2014. Metformin and
gonadotropins for ovulation induction in patiens with polycystic ovary
syndrome : a systematic review with meta-analysis of randomized
controlled trials. Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial
online), [cited 2015 oktober 21]. Available from : URL :
http://www.rbej.com/content/12/1/3.
31. Anat, H.K., Robert, F.C., 2015. The use of aromatase inhibitors for
ovulation induction. Fertilty, in-vitro fertilization and reproductive
genetics. Wolters Kluwer Health, Ontario, Canada. P 1-4.
60

32. Mohamed, N.E.G., Amal, E.M., Manal, A.F., 2015. Comparison of


Letrozole Versus Tamoxifen Effects in Clomiphene Citrate Resistant
women with Polycystic Ovarian Syndrome. J Reprod Infertil. (serial
online), [cited 2015 oktober 19]. Available from : URL :
http://www.jri.lir.
33. Nayereh, G., Ashraf, K., Nezhat, M., 2015. A Randomized Clinical
Trial on Comparing The Cycle Characteristics of Two Different
Initiation Days of Letrozole Treatment in Clomiphene Citrate Resistant
PCOS Patient in IUI Cycle. International Journal of Fertility and
Sterility. Vol 9, No.1. p 17-28.
34. Lakhibir, D., et al. 2011. Tamoxifen: An alternative to clomophene in
women with polycystic ovary syndrome. Journal of Human
Reproduvtive Sciences. (serial online), [cited 2015 oktober 19].
Available from : URL : http://www.jhrsonline.org.
35. Mohamed, N.E.G., Amal, E.M., Manal, A.F., 2015. Comparison of
Letrozole Versus Tamoxifen Effects in Clomiphene Citrate Resistant
women with Polycystic Ovarian Syndrome. J Reprod Infertil. (serial
online), [cited 2015 oktober 19]. Available from : URL :
http://www.jri.lir.
36. Fariba, S., Farna, Z., Shole, S., 2012. Comparison of the effectiveness
of clomiphene citrate, tamoxifen and letrozole in ovulation induction
in infertility due to isolated unovulation. Iran J Reproductive Med. Vol
10. No.6. p 531-536.

37. Wiryawan, P., 2009. Gonadotropin. Aplikasi klinis Induksi Ovulasi


dan Stimulasi Ovarium Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi
Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H., Hendy, H.,
Sagung Seto, Jakarta. P 49-63

38. Niraj, K.Y., Sirisha, R.G., 2015. Outcome of Ovarian Drilling in


Women with Polycystic Ovary Syndrome. Journal of Clinical and
Diagnostic Research. (serial online), [cited 2015 oktober 23].
Available from : URL : http://www.jodr.net.
61

39. Mochamad, A., 2009. Laparoscopic Ovarian Drilling Induksi Ovulasi


pada sindrom Ovarium Polikistik. Aplikasi klinis Induksi Ovulasi dan
Stimulasi Ovarium Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi
Perkumpulan Obstetri & Ginekologi Indonesia. Samsul, H., Hendy, H.,
Sagung Seto, Jakarta. P 83-93

40. Ziba, Z.S., et al. 2015. Comparison between Unilateral nd Bilateral


Ovarian Drilling in Clomiphene Citrate Resistance Polycystic Ovary
Syndrome Patients : A Randomized Clinical Trial of Efficacy. Royal
Institute International Journal of Fertility and Sterility Vol.9, No.1. P
1-16.
41. Sanjeeda, P., Shabnam, A., 2015. Testo Induced ovulation successfully
in women of Polycystic ovarian syndrome. Indo American Journal of
Pharmaceutical Research. (serial online), [cited 2015 juni 20].
Available from : URL : www.iajpr.com
42. Alaa, M.I., et al. 2014. Adding l-carnitine to clomiphene resistant
PCOS women improves the quality of ovulation and the pregnancy
rate. A randomized clinical trial. European Journal of Obstertic &
Gynecology and reproductive Bilogy. (serial online), [cited 2015 juni
20]. Available from: URL : www.elsevier.com/locate/ejogrb

Anda mungkin juga menyukai