manusia, entah itu sesama jenis atau lawan jenis. Dalam interaksi itu pastinya manusia
melakukan perbincangan atau semacam komunikasi, tetapi dalam komunikasi itu tidak
selamanya selalu sejalan, terkadang ada satu hal yang membuat kejanggalan bahkan bisa
menimbulkan ketidak seimbangan dalam interaksi sosial tersebut, yaitu ketika salah satu dari
manusia melakukan suatu kebohongan atau ketidakjujuran. Padahal jujur itu merupakan hal
yang penting dalam sebuah komunikasi, karena dari kejujuran itu awal mula timbulnya
kepercayaan dari satu dengan yang lain, kemudian dari kepercayaan itu akan timbul
keharmonisan atau keserasian dalam berinteraksi antar sesama.
Mungkin istilah jujur ini tidak asing lagi ditelinga kita, mengingat istilah ini sering
kita gunakan dalam keseharian kita. Jujur itu sendiri adalah sebuah kata yang telah dikenal
oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata jujur mungkin sudah tahu apa itu
arti atau makna dari kata jujur tersebut. Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali
ataupun ada juga yang hanya sekedar tahu maknanya secara samar-samar, bahkan banyak
yang mengatakan “jujur itu hancur/ajur”. Ungkapan seperti itu sekarang ini mulai merambah
di kalangan dunia keilmuan. Padahal kejujuran merupakan prasyarat penting dalam kegiatan
akademik yang bisa membawa kepada pahala amaliah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba memberikan sedikit pemahaman
tentang hakikat kejujuran sebagai prasyarat ilmiah dan pahala amaliah. Meliputi: hadis yang
berkaitan tentang jujur, makna, hakikat, keutamaan, dan pembagian jujur, serta pengaruh sifat
jujur dan dusta.
II. PEMBAHASAN
A. Hadis Yang Berkaitan Tentang Jujur
علَ ْي ُك ْم َ : عن عبدهللا بن مسـعو ٍد قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم
وإن البِ َّر يَ ْهدِى إلى ال َجنَّ ِة َو َمايَزَ ا ُل َّ إلى ْالبِ ِ ّرَ ص ْدقَ يَ ْهدِى ّ ِ إن ال َّ َق ف
ِ ص ْدّ ِ ِبال
ِبَ َوإيَّا ُك ْم َو ْال َكذ.ًص ِدّيْقا َ َص ْدقَ َحتَّى يُ ْكت
ِ ِب ِع ْندَهللا ّ ِ صد ُُق َويَتَ َح َّرى ال ْ َالر ُج ُل ي َّ
الر ُج ُل َّ ار َو َما يَزَ ا ُلِ َّإن الفُ ُج ْو َر يَ ْهدِى إلى النَّ ِب يَ ْهدِى إلى الفُ ُج ْو ِر َو َ إن ال َكذ َّ َف
)ب ِع ْندَهللاِ َكذَّابا ً (رواه ومسلم َ َِب َحتَّى يُ ْكت
َ ِب َويتَ َح َّرى ال َكذ ُ َي ْكذ
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : Rasulullah saw, beliau bersabda:
“Kamu harus bersifat jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kebaikan dan kebaikan
itu membawa ke Surga, seseorang akan selalu jujur dan membiasakannya (dalam segala
ihwalnya) hingga dicatat oleh Allah sebagai orang yang benar-benar jujur. Jauhilah sifat
dusta, karena dusta itu membawa kepada penyelewengan, dan penyelewengan itu membawa
ke neraka, seseorang akan selalu berdusta dan membiasakannya hingga dicatat oleh Allah
sebagai orang yang benar-benar dusta”. (H.R. Muslim)
Lafadz َي ْهدِىmempunyai arti petunjuk yang menyampaikan kepada sesuatu yang dicari
()ال ِب َّر. Sedangkan lafadz ال ِب َّرberarti taat kepada Allah swt. Menurut Imam al-Hafidz meluas
َّ
terhadap semua perbuatan baik, arti ini mutlak atas amal yang murni dan tetap. Dan وإن ال ِب َّر
يَ ْهدِى إلى ال َجنَّ ِةsesuai dengan al-Qur’an ( ان االبرار لفى نعيمQS. Al-Muthaffifiin/83: 22). Adapun
ّ ِ صد ُُق َويَتَ َح َّرى ال
َصدْق ْ َالر ُج ُل ي
َّ َو َمايَزَ ا ُلberarti ( تكررberulang-ulang) melakukannya, hingga berhak
atas gelar benar-benar jujur (ً ص ِدّيْقا َ ) َحتَّى يُ ْكت.
ِ َِب ِع ْندَهللا
Lafadz الفُ ُج ْور bentuk jamak dari الفجرberarti celah dalam beragama, ini mutlak atas
penyelewengan yang menimbulkan kerusakan dan cekatan dalam maksiat. Sedangkan lafadz
َ الر ُج ُل يَ ْكذِبُ َويتَ َح َّرى ال َكذ
ِب َّ َو َما يَزَ ا ُلberarti di dalam hatinya terdapat setitik noda hitam yang lama-
lama menjadikan hatinya benar-benar hitam gelap. Akhirnya ia mendapat predikat benar-
benar dusta di sisi Allah swt.1[1]
Rasulullah saw. memilih kalimat ( يهدىmenunjuki), subhanallah! seolah-olah
kejujuran itu menarik kita ke Surga, sebagaimana dusta itu menarik tangan, tetapi membawa
kita ke Neraka. Beliau juga memilih kata ( الف ُجورpenyelewengan) karena kata tersebut
mencakup segala bentuk kejahatan.2[2]
ُ ت ِم ْن َر
سو ِل َ ظْ ي ٍ َما َح ِف ّ ع ِل َ س ِن ْب ِن َ ي ِ قَا َل قُ ْلتُ ِل ْل َح
ّ س ْع ِد ِ ع ْن أَبِي ْال َح ْو َر
َّ اء ال َ
ْ َسلَّ َم د
ع َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللاَّ سو ِل ُ ظتُ ِم ْن َر ْ سلَّ َم قَا َل َح ِفَ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َّ
َ َِّللا
ِب ِري َبة (رواه َ ط َمأْنِينَة َوإِ َّن ْال َكذ ُ َص ْدق ّ ِ َما َي ِريبُ َك ِإلَى َما َال َي ِريبُ َك فَإِ َّن ال
)الترمدى
Artinya:“Dari Abu Hawra’i al-Sa’diyyi, dia berkata : saya berkata kepada Hasan bin
Ali : Apa yang kamu hafal dari Rasulullah saw. Ia berkata : “Saya menghafal beberapa
kalimat dari Rasulllah yaitu: “Tinggalkanlah apa yang membuatmu ragu kepada apa yang
tidak membuatmu ragu, sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu
membawa kebimbangan”. (H.R. Tirmidzi).
(Sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan) yaitu ketenangan dan ketentraman
hati, didalamnya tersimpan sesuatu yaitu tempat dan sebab tuma’ninah, (dan sesungguhnya
dusta itu membawa membawa kebimbangan) yaitu kerisauan dan kekacauan hati.4[4]
Dalam hadis ini sudah jelas bahwa jika kita ingin memiliki hati yang tenang dan
tentram, maka jujurlah dalam segala hal dan tinggalkanlah sifat dusta, karena konsekuensi
logis dari perbuatan dusta yaitu bisa membawa kerisauan dan kekacauan hati.
B. Makna, Hakikat, Keutamaan, dan Pembagian Jujur Sebagai Prasyarat Ilmiah serta
Pahala Amaliah
Kata ash-shiddiq (kejujuran) menurut Islam digunakan dalam enam makna, yaitu:5[5]
1. Jujur dalam perkataan
Kejujuran dalam pemberitaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberitaan. Setiap
hamba wajib menjaga perkataannya dan hanya berkata dengan jujur, karena dengan lisan
adalah jenis jujur yang paling masyhur dan tampak. Seperti halnya di bidang akademik,
seorang akademisi harus berkata jujur dalam menyampaikan ilmu.
2. Jujur dalam niat dan kemauan
Kejujuran seperti ini dapat dikembalikan kepada makana ikhlas, yaitu orang yang
motivasinya dalam segala aktivitas hanya Allah swt. Bila seorang hamba mencampur
amalnya dengan bagian-bagian hawa nafsu maka niatnya rusak.
3. Jujur dalam tekad
Manusia biasanya senang memasang tekad untuk melakukan amal tertentu.
Contohnya, dia berkata kepada dirinya sendiri, “Jika Allah swt menganugerahkan kekayaan
kepada saya maka saya akan bersedekah, baik dengan seluruh harta itu atau sebagiannya”,
atau, “Jika saya bertemu dengan musuh ketika berjihad di jalan Allah swt, maka akan saya
perangi meskipun saya terbunuh karenanya”. Di antara tekad-tekad ini ada yang benar-benar
lahir dari lubuk hati dan inilah yang dinamakan tekad yang jujur, namun ada pula yang ketika
mengucapkannya terdapat semacam keraguan dan perasaan tidak yakin sehingga merusak
kesempurnaan kejujuran tekad tersebut. Dari hal ini dapat dilihat bahwa kejujuran merupakan
ungkapan yang melambangkan kesempurnaan dan kekokohan dalam tekad itu.
4. Jujur dalam menepati tekad yang dibuat
Seseorang terkadang dapat mudah melontarkan tekad tertentu karena memang tidak
sulit mengucapkannya. Akan tetapi, sulitnya menepati tekad itu baru terasa ketika yang
menjadi tekad itu benar-benar terwujud atau dorongan hawa nafsu mulai ikut mengacau. Pada
saat itu, tekad yang telah dibuat itu dapat melemah bahkan diingkari sendiri oleh pelakunya.
Apabila hal ini terjadi maka menandakan bahwa orang tersebut tidak jujur dalam janji atau
tekadnya. Keadaan mereka bertolak belakang dengan gambaran yang disebutkan Allah swt.
dalam sebuah firman-Nya, “di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah...” (QS. al-Ahzab/33: 23)
5. Jujur dalam amal
Bentuknya adalah upaya seseorang supaya antara tindakan-tindakan lahiriahnya tidak
berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya. Bisa diartikan bahwa kondisi seseorang
yang beramal sama, baik dalam keadaan sepi maupun ramai. Mutharraf berkata, “Jika
keadaan seseorang hamba sama dalam keadaan sepi maupun ramai maka Allah berfirman,
‘inilah hamba-Ku yang sejati”.
Dalam dunia akademik, jujur dalam beramal sangat diperlukan. Misalnya dalam
pembuatan karya ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis, disertasi, dll., harus menghindari
plagiasi dan semacamnya.
6. Jujur dalam seluruh sifat yang dipandang baik (mulia) oleh agama
Ini merupakan tingkatan kejujuran yang paling tinggi, seperti dalam khauf (rasa
takut), raja’ (harapan), zuhud, ridha, dan tawakal. Amal-amal ini berdasarkan namanya
secara lahir memiliki beberapa dasar atau prinsip. Ia juga memiliki tujuan akhir dan hakikat.
Karena orang jujur sejati adalah yang memperoleh hakikat-hakikat amal tersebut dan
melewati titik lemah menuju titik yang kuat. Jika tidak demikian maka amal-amal ini tidak
memiliki tujuan sehingga ia memperoleh semuanya secara sempurna.6[6]
Perihal keutamaan sifat ini, Imam al-Ghazali berkata: “Dalam hal ini Allah swt telah
berfirman:
Artinya: Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu7[7] dan mereka tidak merubah (janjinya). (QS.
Al-Ahzab/33: 23).
Barang siapa yang ingin supaya kejujuran itu menjadi kebiasaan dan akhlaknya, ingin
menjadi agama dan tabiatnya, maka hendaknya dia mempunyai tujuan jujur dalam semua
ucapan, dan jujur dalam semua perbuatannya. Jika kejujuran itu sudah menjadi karakternya,
maka yang demikian dia menjadi orang yang paling jujur.
Dewasa ini sering kita jumpai sebuah ungkapan “Jujur itu hancur/ajur”. Hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa ungkapan itu telah membudaya di kalangan masyarakat sehingga
membentuk presepsi buruk tentang kejujuran. Menurut analisis kami, ungkapan itu tidak
sesuai dengan hadis Nabi yang telah dipaparkan di depan, karena dalam hadis Nabi tidak
dikatakan bahwa jujur itu membawa kehancuran seperti ungkapan orang-orang yang
mengatakan bahwa “jujur itu hancur/ajur”. Melainkan jujur itu membawa kebaikan dan
kebaikan itu membawa ke Surga.
Seperti halnya sifat jujur sebagai sendi dasar keutamaan, maka sifat dustapun sebagai
sendi dasar segala kerendahan. Dengan sebab dusta, maka hancurlah pembinaan suatu
masyarakat, terputus jalannya semua urusan dan jatuhlah nama dan martabat si pendusta itu
di mata masyarakat. Karena mereka sudah tidak percaya lagi kepada kata-katanya dan tidak
yakin terhadap amal perbuatannya, tidak menghendaki dia mempunyai kedudukan, bahkan
mendengarpun enggan, kata-katanya dibuang begitu saja tidak didengar, persaksiannya tidak
diterima. Oleh karena itu Rasulullah melarang berdusta.
Dalam al-Qur’an juga banyak ayat-ayat yang menjelek-jelekan sifat dusta,
membencinya dan bahkan mengecamnya dengan siksa yang pedih. Ingat firman Allah:
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah Tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang
pedih”. (QS. An-Nahl/16: 116-117)
Rasulullah saw telah menjelaskan, bahwa dusta itu membawa kepada durhaka,
menimbulkan kejahatan dan merobek-robek selubung agama, dan apabila orang itu telah
membiasakan berdusta, maka perangai itu akhirnya akan mendarah daging pada dirinya,
sehingga jadilah orang itu sebagai pendusta, sehingga hilanglah kepercayaan masyarakat
kepadanya.9[9]
Rasulullah saw menerangkan juga bahwa perbuatan durhaka itu menunjukkan keada
neraka dan mengancam pelakunya masuk neraka di tingkat yang paling bawah, sebagaiamana
firman Allah:
Artinya: “Dan Sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka Jahim. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al-Infithar/82: 14-
15).
Barang siapa membiarkan dirinya berdosa sekali dan disambung yang kedua kali
bahkan diperkuat dengan yang ketiga kali lalu keempat dan terus berulang kali, sehingga
dusta itu menjadi karakternya, maka jadilah dia pendusta yang hina. Oleh karena itu,
jauhkanlah diri kita dari semua macam dusta, jika tidak, niscaya sifat dusta itu akan menjadi
akhlak kita dan tabiat kita