2. Epidemiologi HIV/AIDS
Kasus pertama AIDS diperkirakan di Los Angeles oleh Dr.Gottlib,
Juni 1981, Kasus I di Indonesia tahun 1987 dilaporkan di Bali oleh Dr.Tuti
Pasuati, turis asing, homoseksual, didiagnosa 2 tahun sebelumnya.
Infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada
awalnya, sebagian besar ODHA berasal dari kelompok homoseksual maka
kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual
dan pengguna narkotika semakin meningkat (Djoerban dan Djauzi , 2007).
Jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS di dunia pada tahun 2008
diperkirakan sebanyak 33,4 juta orang. Sebagian besar (31,3 juta) adalah
orang dewasa dan 2,1 juta anak di bawah 15 tahun (Narain, 2004). Saat ini
AIDS adalah penyebab kematian utama di Afrika sub Sahara, dimana paling
banyak terdapat penderita HIV positif di dunia (26,4 juta orang yang hidup
dengan HIV/AIDS), diikuti oleh Asia dan Asia Tenggara dimana terdapat 6,4
juta orang yang terinfeksi. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal sejak
adanya endemi HIV/AIDS (Narain, 2004). Sampai dengan akhir Maret 2005,
tercatat 6.789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih
sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun
2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah
antara 90.000 sampai 130.000 orang (Djoerban, Djauzi , 2007) .
3. Etiologi
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system
imun dilemahkan oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human
Immunedeficiency Virus (HIV), yang mana HIV tergolong ke dalam
kelompok retrovirus dengan materi genetik dalam asam ribonukleat (RNA),
menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel T-penolong (T4), yang
memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai akibatnya, hidup
penderita AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang sebenarnya
tidak berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV (Daili, 2005)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak
ada gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
likes illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak
ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat
malam hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati,
lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama
kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada
berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria
maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Orang yang ketagian obat intravena
c. Partner seks dari penderita AIDS
d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
4. Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara
darah, semen dan secret Vagina. Sebagaian besar ( 75% ) penularan terjadi
melalui hubungan seksual. HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi
genetic RNA. Bilaman virus masuk kedalam tubuh penderita ( sel hospes ),
maka RNA virus diubah menjadi oleh ensim reverse transcryptase yang
dimiliki oleh HIV . DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan kedalam
sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. HIV
cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
pembukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain
tifosit T4,virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans
pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli
paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak Virus yng masuk
kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi
banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri.
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom
retroviral akut atau Acute Roviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh
penurunan CD4 (Cluster Differential Four) dan peningkatan kadar RNA Nu-
HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun
dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum
pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load ( jumlah virus HIV dalam
darah ) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan kemudian turun pada
suatu level titik tertentu maka viral load secara perlahan meningkat. Pada fase
akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti
timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul
komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV rata – rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun.
(DEPKES RI,2003)
Stadium Penyakit
Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat
stadium yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologi ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif
menjadi positif. Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai
tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama
window period satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang berlangsung
sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan
gejala - gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 – 10 tahun. Pasien
yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent
Generalized Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja,
dan berlangsung selama satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS.
Keadaan inidisertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain
penyakit saraf, infeksi sekunder dan lain – lain.
5. Klasifikasi
Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering digunakan untuk remaja
dan dewasa yaitu klasifikasi menurut WHO dan Centers for Disease Control
and Preventoin (CDC) Amerika Serikat. Di negara-negara berkembang
menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai data klinis dan
laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi
CDC. Klasifikasi menurut WHO digunakan pada beberapa Negara yang
pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Klasifikasi stadium klinis
HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium, yaitu
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum pasien
Inspeksi : muka pucat, nafas cepat, mokusa bibir kering, badan
kurus
Palpasi : turgor kulit menurun, kering
Perkusi : Suara perut hipertimpani, perut kembung
Auskultasi : Suara bising usus meningkat, wheezing
b. Ekspresi wajah pasien
c. Kebersihan pasien secara umum
d. Tanda tanda vital : Tekana darah, suhu, nadi, respirasi, skala nyeri
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan
diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain
(cerebrospinal fluid) penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan
teknik ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno).
Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA
telah menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap
envelope dan core (Hanum, 2009).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul
lain. Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis
antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41 (Kresno,
2001).
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun
pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam
(Hanum, 2009).
9. Criteria Diagnosis
Untuk memastikan apakah pasien terinfeksi HIV, maka harus
dilakukan tes HIV. Skrining dilakukan dengan mengambil sampel darah atau
urine pasien untuk diteliti di laboratorium. Jenis skrining untuk mendeteksi
HIV adalah:
Tes antibodi. Tes ini bertujuan mendeteksi antibodi yang dihasilkan tubuh
untuk melawan infeksi HIV. Meski akurat, perlu waktu 3-12 minggu agar
jumlah antibodi dalam tubuh cukup tinggi untuk terdeteksi saat pemeriksaan.
Tes antigen. Tes antigen bertujuan mendeteksi p24, suatu protein yang
menjadi bagian dari virus HIV. Tes antigen dapat dilakukan 2-6 minggu
setelah pasien terinfeksi.
10. Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan
kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi.
Aspek perawatan fisik meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi
sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk
semua pasien setiap saat, pada semua tempat pelayanan dalam
rangka mengurangi risiko penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat,
keluraga, dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan
untuk mencegah terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
1). Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila
mengenai cairan tubuh pasien menggunakan alat pelindung,
seperti sarung tangan, masker, kacamata pelindung, penutup
kepala, apron dan sepatu boot. Penggunaan alat pelindung
disesuakan dengan jenis tindakan yang akan dilakukan.
2). Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan,
termasuk setelah melepas sarung tangan.
3). Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4). Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi
semua alat kedokteran yang dipakai (tercemar).
5). Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6). Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara
benar dan aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1). Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
(a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya resistensi.
(b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas
virus. Bila timbul efek samping, bisa diganti dengan
obat lainnya, dan bila virus mulai rasisten terhadap obat
yang sedang digunakan bisa memakai kombinasi lain.
2). Efektivitas obat ARV kombinasi:
(a) AVR kombinasi lebih efektif karena memiliki khasiat
AVR yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih
tinggi dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat
saja.
(b) Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi
bila pasien lupa minum dapat menimbulkan terjadinya
resistensi.
(c) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat
lebih kecil, sehingga kemungkinan efek samping lebih
kecil.
c) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan
mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya
diperoleh dalam makanan sehari- hari. Sebagian besar ODHA
akan mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan
makanan tambahan
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan
penyerapan nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya
atau habisnya cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh.
Defisiensi vitamin dan mineral pada ODHA dimulai sejak masih
dalam stadium dini. Walaupun jumlah makanan ODHA sudah
cukup dan berimbang seperti orang sehat, tetapi akan tetap terjadi
defisiensi vitamin dan mineral.
d) Aktivitas dan istirahat
(a) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada
keadaan akut , olah raga akan berefek buruk pada kesehatan,
olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi
organ tubuh yang berefek menyehatkan
(b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5 i/menit
menjadi 20 1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini
menyebabkan peningkatan darah ke otot skelet dan
jantung.
(2) Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan
pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan
penggunaan oksigen oleh otot.
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi.
Pada olah raga intensitas rendah sampai sedang, terjadi
pemecahan trigliserida dan jaringa adiposa menjadi
glikogen dan FFA (free fatty acid). Pada olahraga
intensitas tinggi kebutuhan energy meningkat, otot makin
tergantung glikogen sehingga metabolisme berubah dari
metabolisme aerob menjadi anaerob
2. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat. Belajar
yang dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada
pengaruh internal dan eksterna
3. Sosial
Dukungan social sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah
sangat parah. Individu yang termasuk dalamdan memberikan
dukungan social meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak,
sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor.
B. Farmakologis :
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV
perlu dilakukan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh yang
tercemar HIV.
a. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah : didanosine, ribavirin, diedoxycytidine,
dan recombinant CD 4 dapat larut.
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan
keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang
pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
1) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat, hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-
obatan yang mengganggu fungsi imun.
2) Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T
dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
11. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan
dan cacat.
1. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat
secara universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang
berhubungan dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului
infeksi serius lainnya. Kandidiasi oral ditandai oleh bercak-bercak
putih seperti krim dalam rongga mulut. Tanda –tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluhan menelan yang sulit serta nyeri
dan rasa sakit di balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagian pasien
juga menderita lesi oral yang mengalami ulserasi dan menjadi
rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke sistem tubuh
yang lain.
2. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan
malignitas yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan ,
merupakan penyakit yang melibatkan lapisan endotil pembuluh
darah dan limfe.
b. Neurologik
1. Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel
saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan
motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar
penderita mula-mula mengeluh lambat berpikir atau sulit
berkonsentrasi dan memusatkan perhatian. Penyakit ini dapat
menuju dimensia sepenuhnya dengan kelumpuhan pada stadium
akhir. Tidak semua penderita mencapai stadium akhir ini.
2. Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek
sakit kepala, malaise, demam, paralise total/ parsial.
Ensefalopati HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS
(ADC; AIDS dementia complex), ensefalopati HIV terjadi
sedikitnya pada dua pertiga pasien –pasien AIDS. Keadaan ini
berupa sindrom klinis yang ditandai oleh penurunan progresif pada
fungsi kognitif, perilaku dan motorik. Tanda –tanda dan gejalanya
dapat samar- samar serta sulit dibedakan dengan kelelahan, depresi
atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi
3. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik,
dan menarik endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan
disertai rasa nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan,
penurunan refleks tendon yang dalam, hipotensi orthostatik dan
impotensi.
c. Gastrointestinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma dan sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat
illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik, demam atritik.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit,
nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan gagal nafas.
e. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis ,
reaksi otot, lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa
terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
2.Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.
3. Sufficient maksudnya adalah kandungan HIV dalam cairan tubuh yang keluar
dari orang yang terinfeksi HIV harus ada dalam kandungan yang cukup. Jika
jumlahnya sedikit, HIV tidak akan bisa menginkubasi tubuh manusia lainnya.
Ini mengapa cairan keringat dan saliva (ludah) tidak bisa menularkan HIV.
Pencegahan HIV/AIDS
Ada langkah-langkah upaya preventif terhadap HIV/AIDS yang
sebenarnya cukup jelas tetapi masih banyak masyarakat yang belum tahu.
Langkah-langkah tersebut adalah ABCDE.
1. Abstinence.
Sudah jelas jika tidak ingin tertular maka jauhilah media penularnya.
Hindari seks bebas juga pemakaian narkoba.
2. Be faithful.
Bagi yang sudah menikah, setialah pada pasangan! Jangan sekali-
sekali berpikir untuk “jajan di luar” karena hal tersebut dapat
meningkatkan risiko tertularnya HIV/AIDS dari sexual partner
3. Condom.
Penggunaan kondom adalah upaya efektif dalam mencegah penularan
HIV/AIDS. Penggunaan kondom dapat mencegah interaksi cairan
kelamin sehingga penularan virus dapat diminimalisasi.
4. Drug.
Khusus untuk seorang wanita yang mengandung dan ternyata terkena
HIV/AIDS, dapat diberikan obat khusus agar penyakit tersebut tidak
menular kepada janinnya.
5. Education.
Pendidikan seksual sangat penting khususnya bagi para remaja agar
mereka tidak terjerumus dalam kehidupan yang salah. Pengetahuan
yang baik dapat mencegah remaja untuk bertindak tidak sepantasnya
karena mereka tahu risiko yang sangat besar dari perbuatan mereka
tersebut.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat kesehatan saat ini
2. Riwayat kesehatan masa lalu
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Diagnosa medis dan terapi
5. Pola fungsi kesehatan (Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual)
a) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit,
Keluarga mengatakan saat masuk RS px hanya mampu menghabiskan
⅓ porsi makanan, Saat pengkajian keluarga mengatakan px sedikit
minum, sehingga diperlukan terapi cairan intravena.
c) Pola eliminasi
Mengkaji pola BAK dan BAB px
d) Pola aktifitas dan latihan
Pasien terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik, tetapi px
mampu untuk duduk, berpindah, berdiri dan berjalan.
e) Pola istirahat
Px mengatakan tidak dapat tidur dengan nyenyak, pikiran kacau, terus
gelisah.
f) Pola kognitf dan perseptual (sensoris)
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan
perannya selama sakit, px mampu memberikan penjelasan tentang
keadaan yang dialaminya.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Pola emosional px sedikit terganggu karena pikiran kacau dan sulit
tidur.
h) Peran dan tanggung jawab
Keluarga ikut berperan aktif dalam menjaga kesehatan fisik pasien.
i) Pola reproduksi dan sexual
Mengkaji perilaku dan pola seksual pada px
j) Pola penanggulangan stress
Stres timbul akibat pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya, px merasakan pikirannya kacau. Keluarga px cukup
perhatian selama pasien dirawat di rumah sakit.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu,
dimana px dan keluarga percaya bahwa masalah px murni masalah
medis dan menyerahkan seluruh pengobatan pada petugas kesehatan.
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Sistem kardiovaskuler (mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya
distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung)
c. Sistem hematologi (mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit
yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan
splenomegali)
d. Sistem urogenital (ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan
keluhan sakit pinggang)
e. Sistem muskuloskeletal (mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam
pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak)
f. Sistem kekebalan tubuh (mengetahui ada tidaknya pembesaran
kelenjar getah bening)
7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (mengetahui adanya peningkatan leukosit
yang merupakan tanda adanya infeksi).
b. Pemeriksaan foto abdomen (mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan
2. Kekurangan volume cairan berubungan dengan output yang berlebihan
3. Intoleransi aktivitas berubungan dengan mobilitas
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
5. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan perubahan status
metabolism
6. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
3. Implementasi Keperawtan
Dalam tahap ini akan di laksanakan tindakan keperawatan yang
disesuaikan dengan intervensi atau perencanaan yang dibuat
4. Evaluasi
Evaluasi dibuat dengan melihat perkembangan pasien dan
menggunakan evaluasi sumatif (SOAP)
DAFTAR PUSTAKA
Morhead, Sue., Johnson, Marion, Maas, Meriden L., Swanson, Elizabeth. 2006.
Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourth Edition. Missouri: Mosby