Anda di halaman 1dari 37

STEP 5

LEARNING OBJECTIVE

1. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan etiologi dan mekanisme


abses rahang
2. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam – macam abses
rahang
3. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan diagnosa pada skenario
4. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam – macam rencana
perawatan abses rahang
5. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam, syarat, teknik
drainase abses rahang
6. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan medikasi abses rahang
STEP 6
SELF-STUDY
STEP 7
REPORTING/GENERALISATION LEARNING OBJECTIVE

I. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan etiologi dan mekanisme


abses rahang

A. Etiologi

Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri
dalam plak, dalam sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Bakteri yang utama ditemukan adalah
bakteri kokus aerob gram positif, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob gram
negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika
mencapai jaringan yang lebih yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal
dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen. Bakteri itu dapat apat bersumber dari :

 Kematian pulpa, invasi bakteri dan perluasan proses infeksi kea rah periapikal yang
disebut abses periapikal
 Abses periodontal akut, kerusakan pada ligament periodontal yang memungkinkan
masuknya bakteri
 Abseb perikorona apabila gigi tidak erupsi sempurna, mukosa yang menutupi sebagian
gigi terseut mengakibatkan terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan debris
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah
kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob.
Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah
alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan
infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob,
biasanya organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen banyak juga
yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35 %. Pada
infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan kultur.

B. Patogenesis dan Pola Penyebaran

Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim
aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan
Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi,
yaitu streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang
bersifat merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti. Padahal, fungsi jembatan
antar sel penting adanya, sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel,
juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar,
maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat
terancam rusak/mati/nekrosis.

Dari proses nekrosis pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari
S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri
yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam. Adanya
keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan untuk
datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik,
dan virulensi bakteri cukup tinggi

Sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar


wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan
ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui
ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat adalah jaringan
lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen foto).

Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang
terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri
pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus

Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang
notabene adalah di dalam tulang. Sehingga untuk mencapai keluar tubuh, maka abses ini harus
menembus jaringan keras tulang, kemudian mencapai jaringan lunak, lalu barulah dapat keluar.

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri,
ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan
bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik
menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot
mempengaruhi arah gerak pus.
Sebelum mencapai keluar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena
sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah
tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang
yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi
dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki
vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai “mencapai”
korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke
rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang
kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini cenderung menimbulkan rasa sakit,
terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut
periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi
eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan
tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut.
Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host. Apabila dalam rentang
2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas bakteri
penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses
subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan
lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus
sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama
abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal.
Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan
mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan
peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka
dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah
mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka
dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang
dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat.

Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh
karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal
abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks
gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial
spaces. Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis
dari fascial spaces yang terkena infeksi.

Mekanisme infeksi odontogenik


Saat infeksi melewati akar gigi dan ligamentum periodontal apikal maka akan timbul
osteomyelitis localized apical. Kerusakan tulang pada osteomyelitis mempunyai kesamaan
dengan proses nekrosis pada inflamasi pulpa gigi. Pada dasarnya peningkatan tekanan
hidrostatik disebabkan oleh transudasi cairan ekstraseluler yang diikuti dengan eksudasi sel-
sel inflamasi sehingga mengganggu masuknya aliran darah yang baru pada regio tersebut. Pada
jaringan lunak peningkatan tekanan cairan interstitial dapat dikurangi oleh pembengkakan.
Apabila jaringan lunak telah terisi oleh struktur keras yang termineralisasi seperti rongga
medulla tulang atau kanal pulpa, peningkatan tekanan tidak dapat dihindari. Sehingga pulpa
atau jaringan lunak medulla mengalami kematian akibat iskemik. Jaringan yang mati tersebut
memperoleh makrofag atau histiocytes pada proses kemotaksis. Jaringan yang termineralisasi
menghalangi penggabungan makrofag dan berdiferensiasi ke dalam osteoklas yang meresorbsi
mineral tulang.
Proses nekrosis dan resorpsi tulang meluas dengan pola melingkar hingga mencapai
korteks tulang. Pada titik ini proses resorpsi tulang diperlambat oleh jaringan mineral padat
sehingga menyebabkan perubahan bentuk kavitas tulang. Saat lapisan cortex bony berhasil
ditembus, maka proses infeksi dapat berlanjut ke jaringan lunak.
Bakteri patogen yang memicu proses inflamasi autolitik ini akan tetap ada di semua
tingkatan infeksi. Bakteri ini tidak hanya menyebarkan proses inflamasi melalui produk antigen
, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan tulang secara langsung. Streptococcus umumnya
ditemukan pada tahap awal infeksi, dimana bakteri ini menyerang jaringan melalui
penggabungan hyaluronidase yang menyebabkan rusaknya glikoprotein ekstraseluler dari
jaringan ikat. Saat Streptococcus dalam tahap pertumbuhan, bakteri ini memberikan
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan flora anaerobik infeksi odontogenik. Flora tersebut
mengolah oksigen lokal dan zat-zat metabolisme untuk membuat lingkungan menjadi lebih
asam. Flora ini juga menghasilkan produk nutrien untuk bakteri anaerobik yang muncul setelah
tiga hari timbulnya gejala klinik. Bakteri anaerobik seperti Prevotella dan Porphyromonas spp,
menghasilkan collagenase yang dapat menghancurkan kolagen sebagai matriks protein
ekstraseluler jaringan ikat terbanyak.
Saat infeksi telah memasuki bony cortical plate, proses inokulasi bakteri yang diikuti
dengan inflamasi dan nekrosis dimulai sekali lagi pada jaringan lunak. Jaringan yang paling
mudah terserang yaitu jaringan ikat yang tidak tervaskularisasi dengan baik. Jaringan tersebut
mudah lepas dan terpotong sekalipun oleh tekanan hidrostatik yang rendah. Sehingga
penyebaran infeksi yang mengikuti pola resistensi, dihalangi oleh struktur vaskularisasi yang
padat dan baik seperti otot, fascia, organ-organ, dan tulang. Infeksi fasial profunda dihalangi
oleh struktur-struktur yang termasuk dalam anatomi rongga-rongga fasial profunda. Sebagai
contoh apabila infeksi gigi yang baru menembus cortex bony tertahan oleh periosteum di
sekeliling tulang, maka dapat terjadi abses subperiosteal. Proses ini dapat terjadi pada infeksi
rongga mandibula atau pada abses subperiosteal palatal. Sebaliknya, apabila periosteum juga
telah terserang maka perlekatan otot lokal dapat langsung menyebarkan infeksi ke dalam
jaringan lunak. Contohnya, apabila perlekatan otot buccinator pada permukaan lateral maksilla
terletak di bagian inferior kortikal dan terjadi perforasi pada akar mesiobukal gigi molar
pertama rahang atas maka infeksi dapat masuk dan menyebar di seluruh rongga bukal. Tetapi
apabila infeksi tersebut menyerang tulang dan periosteum di bagian inferior perlekatan otot
tersebut, maka infeksi akan melewati daerah antara permukaan oral otot buccinator dan mukosa
oral kemudian masuk ke rongga vestibular.

ANATOMI SPASIUM WAJAH


Pada penyebaran infeksi odontogenik arah tembusan pada korteks tulang rahang
ditentukan oleh ketebalan tulang di sekitar apeks gigi dan hubungannya antara tempat
terjadinya perforasi dengan perlekatan muskulus pada tulang maksila dan madibula. Tempat
perforasi umumnya di daerah bukal karena tulang bagian bukal lebih tipis. Tetapi dari akar
palatal molar maksila perforasi lebih sering ke arah palatal sedang pada molar kedua dan ketiga
mandibula lebih sering kerjadi ke arah lingual (Karasutisna dan Soeparwadi, 2001).
Menurut Peterson (2003), spasium wajah adalah daerah berlapis fasia yang dapat terisi
atau ditembus oleh eksudat purulen. Daerah ini merupakan ruang potensial yang tidak ada
pada orang sehat, tetapi terisi selama infeksi. Beberapa di antaranya mengandung struktur
neurovaskular dan dikenal sebagai kompartemen. Sedangkan bagian yang diisi oleh jaringan
ikat jarang disebut celah.
Spasium wajah yang langsung terlibat pertama kali dikenal sebagai spasium wajah
primer baik pada maksila maupun mandibula (tabel 1). Sedangkan perluasan infeksi melebihi
daerah spasium primer ini adalah ke daerah spasium sekunder (tabel 1).

Tabel 1. Spasium wajah yang terlibat dalam infeksi odontogenik (Peterson, 2003)
a. Spasium primer maksila
1. Spasium kaninus
2. Spasium bukal
3. Spasium infratemporal
b. Spasium primer mandibula
1. Spasium submental
2. Spasium bukal
3. Spasium submandubular
4. Spasium sublingal
c. Spasium sekunder wajah
1. Spasium maseter
2. Spasium pterigomandibular
3. Spasium temporal superfisial dan
dalam
4. Spasium faringeal lateral
5. Spasium retrofaringeal
6. Spasium prevertebra

a. Spasium primer maksila


1. Spasium kaninus, merupakan ruangan tipis yang potensial antara muskulus levator anguli
oris dan muskulus levator labii superior. Infeksi gigi kaninus atas menyebabkan
terlibatnya spasium kaninus. Penderita yang mengalami infeksi pada spasium kaninus
mengeluh pembengkakan daerah alar dan sembab di bawah mata. Kulit dapat
memperlihatkan daerah kemerahan dan edema sehingga lipatan nasolabial menghilang,
nyeri tekan dapat dirasakan di sekitar kaninus.
Gambar 1. Abses spasium kaninus

2. Spasium bukal, dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian lateral dan muskulus
buccinator pada bagian medial. Spasium ini dapat terlibat baik akibat perluasan infeksi
gigi pada maksila maupun mandibula. Selain itu, spasium bukal terjadi akibat infeksi
yang merusak tulang di atas perlekatan muskulus buccinator. Gejala klinis yang
ditimbulkan berupa pembengkakan di sudut zigomaticus dan sekitar batas bawah dari
mandibular. Abses membesar pada mukosa bukal dan menonjol ke dalam rongga mulut dan
batas tegas yang terlihat pada lengkung zygomaticus dan batas bawah mandibula

Gambar 2. Perluasan spasium bukal (Peterson, 2003).

3. Spasium Infratemporal, terletak di posterior maksila. Bagian medial spasium ini dibatasi
oleh lempeng lateral prosesus pterigoideus tulang sfenoid, bagian superior dibatasi oleh
dasar tengkorak. Sedangkan ke arah lateral, spasium ini menyambung dengan spasium
temporal bagian dalam. Proses infeksi daerah ini biasanya disebabkan oleh trauma
terhadap gigi posterior maksila dan biasanya terdapat penonjolan jaringan tepat di atas
dan di bawah arkus zigomatikus, menyebabkan kesan dari luar seperti “dumbbell”
(Karasutisna dan Soeparwadi, 2001).
Gambar 3. Abses spasium infratemporal

b. Spasium primer mandibula


1. Spasium submental, Terletak di antara simfisis mandibula dan tulang hyoid. Bagian
lateral dibatasi oleh anterior muskulus digastrikus kanan dan kiri. Di bagian superior
dibatasi oleh muskulus milohyoid dan bagian inferior oleh kulit . Spasium ini sering
terinfeksi oleh insisiv rahang bawah. Gejala klinis yang ditemukan biasanya pembengkakan
keras dengan fluktuasi positif, hampir seperti gambaran umum selulitis.

Gambar 4. Abses Submental


2. Spasium bukal, serupa dengan spasium bukal yang disebabkan oleh infeksi gigi rahang
atas.

3. Spasium submandibula, bagian anteromedial dibatasi oleh muskulus digastrikus anterio


dan bagian posteromedialnya dibatasi oleh muskulus digastrikus posterior serta
muskulus stilohyoid, dasarnya dibentuk oleh muskulus milohyoid dan muskulus
hyoglosus. Di bagian anterior spasium submandibula terdapat spasium sublingual yang
dibatasi oleh muskulus milohyoideus. Infeksi pada spasium submandibula dan
sublingual sering disebabkan oleh infeksi yang berasal dari gigi molar dan premolar
mandibula yang menembus ke lingual. Apabila spasium submandibula, sublingual dan
submental bilateral terkena infeksi, dikenal sebagai ludwig’s angina. Infeksi ini
merupakan selulitis yang menyebar dengan cepat. Pada infeksi ini hampir selalu terlihat
lidah terangkat, indurasi daerah submandibula dan penderita biasanya mengalami
trismus, saliva menetes serta kesulitan menelan dan bernafas. Infeksi ini menyebar
dengan cepat dan luas, dapat mengakibatkan obstruksi saluran pernafasan sehingga
dapat menimbulkan kematian.

Gambar 5. Abses submandibular

4. Spasium sublingual, dasarnya dibatasi oleh muskulus milohyoideus, lateral dibatasi


oleh prosesus alveolaris mandibula dan bagian medial dibatasi oleh muskulus
genioglosus dan geniohyoideus. Bagian atap berbatasan dengan dasar mulut dan lidah.
Secara klinis infeksi pada spasium sublingual memperlihatkan pembengkakan ekstra
oral yang kecil atau tidak memperlihatkan pembengkakan, namun pembengkakan
terlihat pada dasar mulut pada sisi yang terkena. Infeksi pada spasium sublingual
bilateral mengakibatkan lidah terangkat. Bagian posterior sublingual berhubungan
dengan spasium submandibula.
Gambar 6

c. Spasium sekunder wajah


Infeksi pada daerah spasium fasial sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari infeksi
pada daerah fasial primer yang tidak dirawat. Jika spasia ini terlibat, infeksi sering akan
menjadi lebih parah, disebabkan karena semakin besarnya komplikasi dan kerusakan, dan juga
perawatannya akan semakin sulit. Karena sedikitnya suplai darah pada jaringan konektif
disekitar spasia, perawatan infeksi akan semakin sulit tanpa dilakukan pembedahan sebagai
drain eksudat purulen. (Peterson: 2003)
1. Spasium masseter, terletak antara bagian lateral mandibula dan medial muskulus
masseter. Masuknya infeksi ke spasium ini karena penyebaran dari spasium bukal atau
infeksi dari molar ketiga mandibula. Infeksi pada spasia ini berasal dari gigi molar tiga
mandibula, dan merupakan kasus yang jarang terjadi, yaitu karena perpindahan
perjalanan dari abses. Infeksi pada spasium ini mempunyai ciri-ciri berupa edema
dengan tekanan yang sangat sakit pada regio otot masseter, yang meluas dari batas
posterior dari ramus mandibula hingga tepi anterior dari otot masseter. Selain itu tampak
juga trismus dan sudut dari mandibula tidak dapat dipalpasi. Secara intraoral, tampak
edema pada daerah retromolar dan pada bagian anterior dari ramus. Abses ini jarang
berfluktuasi, dan dapat juga timbul gejala sistemik.
Gambar 7. Abses submasseter

Perawatan abses ini terutama melalui intraoral, dengan melakukan insisi awal pada
bagian prosessus coronoid dan berjalan sepanjang tepi anterior dari ramus hingga
mucobuccal fold, sampai kira-kira sejauh molar kedua. Insisi mungkin juga dilakukan di
daerah ekstraoral pada kulit di bawah sudut dari mandibula. Pada kasus kedua, hemostat
dimasukkan sejauh pusat dari supurasi dan sampai ini berkontak dengan tulang. Karena
akses yang jauh dari akumulasi purulent, sering sukar untuk drain area ini dengan baik,
sehingga sering relaps.

2. Spasium pterigomandibular, terletak di sebelah lateral muskulus pterigomandibula


medialis dan medial mandibula. Merupakan tempat injeksi anestesi lokal untuk blok
saraf alveolaris inferior. Penyebaran infeksi terutama berasal dari spasium
submandibula dan sublingual.
Gambar 8. Spasium pterigomandibular

Penyebab utama abses pada spasia ini adalah infeksi dari gigi molar tiga atau akibat dari
suatu blok nervus alveolaris inverior, jika sisi penetrasi dari needle terinfeksi
(pericoronitis). Gejala klinis pada infeksi spasium ini adalah trismus yang parah dan
sedikit edema ekstraoral yang tidak biasanya tampak pada sudut mandibula. Secara
intraoral, edema dari palatum lunak tampak pada sisi yang terinfeksi sehingga terjadi
perpindahan tempat dari uvula dan dinding faringeal lateral. Perawatan dapat dilakukan
dengan cara insisi dan drainase dilakukan mukosa rongga mulut dan lebih spesifik
sepanjang crest temporal mesial. (gambar 2 b) insisi seharusnya sepanjang 1,5 cm dan
dalamnya 3 – 4 mm. Suatu hemostat bengkok kemudian dimasukkan, yang berjalan ke
posterior dan lateral sampai berkontak dengan permukaan medial ramus mandibula.
Abses di drain, memungkinkan pengeluaran pus sepanjang tangkai instrumen.
3. Spasium temporal superfisial dan dalam, terletak posterior dan superior spasium
pterigomandibula dan lateral muskulus pterigomandibula. Spasium ini membelah
muskulus temporalis menjadi dua bagian, bagian superfisialis yang meluas ke fasia
temporal dan bagian dalam yang berhubungan dengan spasium infratemporal.
Gambar 9. Spasium temporalis

Infeksi pada spasium temporalis disebabkan oleh perluasan dari infeksi pada spasium
infratemporalis yang saling berhubungan. Gejala klinis ditandai dengan edema yang sakit
pada fascia temporalis, trismus (temporal dan muskulus pterygoid mediana terlibat), dan
sakit saat palpasi pada edema.
Perawatan dilakukan dengan insisi dan drainase dilakukan secara horizontal, pada tepi
dari scalp hair dan kira-kira 3 cm di atas dari lengkung zygomatik. Ini kemudian
dilakukan dengan hati-hati diantara dua lapisan pada fasia temporal hingga muskulus
temporalis. Pergunakan hemostat yang bengkok untuk mendrain abses.

4. Spasium faringeal lateral, merupakan bagian spasium fasial servikal dan dapat
mengancam nyawa dengan adanya obstruksi saluran nafas. Perluasan ke arah posterior
dan spasium pterigomandibula dapat menyebar ke spasium faringeal lateral. Spasium
ini meluas dari dasar tengkorak pada tulang sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid.
Bagian medial dibatasi oleh muskulus pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh
muskulus konstriktor faringeus superior. Bagian anterior berbatasan dengan rafe
posteromandibula dan menuju fasia prevertebra. Prosesus stiloideus dan muskulus-
muskulus sekitarnya membagi spasium faringeal lateral menjadi kompartemen anterior
yang berisi muskulus dan kompartemen posterior yang berisi sarung karotis dan saraf
kranial.
Spasium ini mengandung arteri carotid interna, vena jugularis interna dengan beberapa
pembuluh limfe, nervus glossofaringeal, nervus vagus, nervus hypoglossus dan nervus
asesorius. Ini berhubungan langsung dengan spasium submandibula, serta otak melalui
foramen kranium. Infeksi pada daerah ini dapat berasal dari gigi molar tiga dan sebagai
akibat perluasan infeksi spasium submandibula dan pterygomandibula. Gejala klinis dari
infeksi ini adalah edema ekstra oral pada bagian letaral dari leher yang mungkin dapat
meluas ke tragus dari telinga, perubahan posisi dari dinding faring, tonsil dan uvula
membengkak sehingga tampak ke midline, rasa sakit yang menyebar ke telinga, trismus,
susah menelan, peningkatan suhu yang signifikan dan malaise. Perawatan dengan
drainase dilakukan pada daerah ekstraoral (sesuai dengan tempat pada abses
submandibula) dengan incisi sepanjang 2 cm, pada bagian inferior posterior dari corpus
mandibula. Akses dicapai dengan menggunakan hemostat, dimana setelah pada pusat
terkumpulnya pus, diteruskan ke arah permukaan medial dari mandibula, ke daerah
molar tiga, dan jika memungkinkan dibelakang daerah tersebut. Drain karet kemudian
ditempatkan pada temptakan selama 2 – 3 hari. Drainase abses mungkin juga dilakukan
secara intraoral meskipun ini beresiko dan agak sulit karena saring berpeluang terjadinya
aspirasi dari pus, khususnya jika prosedur dilakukan dengan menggunakan NU.

Gambar 10. Spasia faringeal lateral, terletak antara M. pterigoideus lateral dan M.
konstriktor faringeal superior. Spasia retrofaringeal dan spasia prevertebral terletak
antara faring dan kolumna vertebral. Spasia retrofaringeal terletak antara M. konstriktor
faringeal superior dan portio alar fascia prevertebral. Spasia prevertebral terletak antara
alar dan lapisan prevertebral dari fascia prevertebral (Peterson, 2003).

5.Spasium retrofaringeal, terletak di belakang faring, antara muskulus konstriktor


faringeal superior dan lapisan alar fasia servikal dan berawal dari dasar tengkorak
meluas ke inferior setinggi servikalis 7 atau torakalis. Infeksi spasium ini merupakan
jalur penyebaran ke spasium prevertebra dan ke diafragma. Infeksi pada spasium ini
mudah menyebar ke atas melaui foramen menuju otak dan berjalan ke bawah melalui
selubung karotis sampai ke mediastinum. Etiologi dari infeksi pada spasium ini adalah
infeksi yang berasal dari spasium lateral faringeal yang saling bersebelahan. Gejala
klinis sama dengan yang ditemukan pada abses faringeal lateral secara klinik, kesulitan
dalam pengunyahan yang disebabkan oleh edema pada dinding posterior dari faring. Jika
infeksi ini tidak dirawat maka akan mengakibatkan obstruksi traktus respiratorius atas,
ruptur bses sehingga terjadi aspirasi dari pus ke dalam paru-paru, dan perluasan ke
daerah mediastinum. Terapi memerlukan drainase melalui spasium faringeal lateral,
dimana infeksi awal biasanya terjadi dan pemberian antibiotik
6.Spasium prevertebra, spasium ini meluas dari tuberkel faringeal pada dasar tengkorak
sampai diafragma. Infeksi pada spasium ini dapat meluas ke inferior setinggi diafragma
mencakup torak dan mediastinum.

Gambar 11. Jika spasia retrofaringeal terlibat, mediastinum posterosuperior dapat


juga menjadi terinfeksi sekunder. Jika spasia prevertebral terinfeksi, tepi inferior
merupakan diafragma dan juga seluruh mediastinum beresiko ikut terinfeksi
(Peterson, 2003).

II. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam – macam


abses rahang

1) 1Abses spasium bukal


Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m.
Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot pengunyah,
menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi
molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan menonjol ke arah
rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi
penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat
lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada
perabaan.
a b

Gambar 2.6 : a. Ilustrasi gambar memperlihatkan penyebaran abses


lateral ke muskulus buccinator
b. Tampakan Klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer
2) Abses spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah dataran
horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan
bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus.
Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula,milohioid,lingual,businator
dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan
pleksus faringeal.

a b
Gambar 2.7 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fargisos Fragiskos D, Germany, Springer
3) Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit
yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan
permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan
bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar
fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah,
berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian dalam,
pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan
delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada
penekanan.

a b
Gambar 2.8 : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke daerah submasseter
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer
4) Sublingual Abscess
Merupakan abses yang terbentuk pada spasia sublingual di atas musculus mylohyoid
kanan atau kiri. Biasanya disebabkan oleh infeksi pada gigi anterior, premolar, atau gigi molar
pertama mandibula. Spasia sublingual dibatasi oleh mukosa dasar mulut, musculus mylohyoid,
permukaan mandibula, os mylohyoid, dan septum lingua. Spasia sublingual mengandung
ductus wharton, glandula sublingual, nervus lingualis, cabang terminal arteri lingual dan
sebagian glandula submandibula.
Secara klinis terlihat pembesaranmukosa pada dasar mulut menyebabkan lidah
terangkat. Pasien kesulitan berbicara disebabkan oleh edema, dan nyeri saat menggerakkan
lidah. Perawatan dilakukan dengan
cara insisi untuk drainase secara intra oral pada lateral sepanjang ductus wharton dannervus
lingual. Untuk mencapai pus digunakan hemostat untuk mengeksplorasi spasia dibawah
glandula.
5) Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah
periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut.
Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang
tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam.
Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal
sistemik (bakteremia).

Gambar 2.2 : Abses periapikal

6) Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut
dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit
sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,
berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi
premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula,
tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.
a b

Gambar 2.3 : a. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan lokalisasi di


daearah lingual
b. Tampakan Klinis Abses Subperiosteal
Sumber : Oral Surgery, Fargiskos Fragiskos D, Germany, Springer

7) Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses
subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah
periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan
bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-
kadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi
podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar,
terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah.
Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.
a b

Gambar 2.4 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi didaerah


bukal.
b. Tampakan klinis Abses Submukosa
Sumber : Oral Surgery, Fargiskos Fragiskos D, Germany, Springer

8) Abses fosa kanina


Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas
pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya akumulasi
cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan
sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir
atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah.

a b

Gambar 2.5 : a. Ilustrasi abses Fossa kanina


b. Tampakan klinis Abses Fossa kanina
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari
spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula.
Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid
eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium
sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia
superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal
dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.

a b

Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah


submandibular di bawah muskulus mylohyoid
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

9) Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh permukaan
lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah terangkat,
bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena
terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan
menelen dan terasa sakit.

a b
Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual
b. Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi
lidah ke arah berlawanan
Sumber : Oral surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

10) Abses spasium submental


Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya melintang
m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat
meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium
submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan
terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan intra oral tidak
tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih
merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah
spasium yang terdekat terutama kearah belakang.
a b
Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

11) Abses spasium parafaringeal


Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid
interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor. sebelah belakang oleh glandula
parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari
prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena
jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik,
hipoglosal dan kenjar limfe.
Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina
menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis atau
trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai
mediastinuim.

III. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan diagnosa pada


skenario

Mekanisme penyakit orbital selulitis

- Yang umum terjadi dengan melewati sinus, karena akar dari molar dan premolar
berbatasan pada dasar dari sinus maksila, infeksi dari gigi langsung menginvasi pada
sinus. Kemudian infeksi dari sinus menyebar kedalam ruang orbita melewati erosi
tulang antara orbita dan sinus maksila atau sinus ethmoid
- Jalur kedua yaitu melalui jaringan lunak wajah di atas plate kortikal bukal, menyebar
ke jaringan periorbital
- Jalur ketiga infeksi dari molar atau premolar yang menginvasi infratemporal dan fossa
pterygopalatina, menyebar masuk ke orbita melalui fissure inferior orbital
- Infeksi dari gigi juga dapat menyebar ke dalam orbita sepanjang vena facialis dan vena
ophtalmikus melalui hematogen karena vena wajah, mata, hidung dan sinus semua
terhubung tanpa katup
Selulitis orbita dibagi menjadi 5 tingkat :

1) Edema dan inflamasi preseptal (selulitis preseptal), ditandai dengan edema palpebra di
bagia anterior septum orbital tanpa disertai nyeri tekan/ gejala okuler.
2) Selulitis orbital, terjadi perluasan infeksi ke posterior melalui septum orbital dengan
edema komponen orbital dengan edema komponen orbital, ditandai dengan
proptosis,kemosis, gerakan terbatas dan gangguan penglitan.
3) Adses subperiosteal, merupakan pembentukan abses di daerah orbital, ditandai dengan
ophtalmoplegi, hilangnya fungsi penglihatan.
4) Abses orbital, merupakan pembentukan abses di daerah orbital, ditandai dengan
optalmoplegi, hilangnya fungsi penglihatan dan proptosis berat
5) Thrombosis sinus cavernosus, merupakan perluasan infeksi orbita ke vena ophtalmikus
superior dan sunus kavernosus dan orbital lateral

Pasien laki-laki usia 70 tahun awalnya mengeluh sakit gigi 24 satu minggu yang lalu, dua
hari kemudian bengkak di pipi kiri hingga meluas ke orbita sehingga kesulitan membuka
pelupuk mata. Pasien juga merasa demam dan sakit hebat. Pada ekstra oral didapatkan
pembengkakan pada pipi kiri meluas hingga papebra inferior dan superior, kemerahan,
permukaan licin, palpasi sakit, lunak, terdapat peningkatan suhu dan tidak ada fluktuasi,
sulkusnasolabial rata. Dari pemeriksaan intra oral terdapat sisi akar gigi 24, warna gusi
kemerahan, bukalfold tidak terangkat, palpasi sakit dan tidak terdapat fluktuasi. Dilihat dari
tanda dan gejala pada kasus tersebut, pasien dapat didiagnosis Trombosis Sinus Cavernosus.
Trombosis sinus cavernosus ini merupakan keberlanjutan dari abses fossa kanina yang tidak
dilakukan perawatan.
Infeksi awalnya berasal dari sisa akar gigi 24 yang dibiarkan. Selanjutnya infeksi gigi dari
sisa akar gigi 24 ini menjadi abses fossa kanina. Infeksi fossa kanina jika tidak dilakukan
perawatan dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke sinus cavernosus. Hal ini meningkatkan
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi
darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi pada fossakaninus juga akan semakin meningkatkan
aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk
ke dalam pembuluh darah. Vena-vena fasialis anterior yang terinfeksi berhubungan dengan
sinus kavernosus melalui pleksus vena ophtalmikus. Karena perubahan tekanan dan edema
menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup,
maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah yang memungkinkan penyebaran
infeksi langsung dari fokus infeksi di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu
membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut.

Gejala dan tanda klinis trombosis sinus cavernosus juga di buktikan dengan beberapa kasus
seperti Kasus abses fossacanina terjadi pada Pasien anak berumur 5 tahun berkelamin wanita
datang keklinik gigi bersama ibunya. Pasien ini menderita bengkak dan warna merah pada
daerah infra orbital da menyebar sampai kelopak mata bawah. Pasien masih dalam keadaan
sadar. Saat pemeriksaan klinis intraoral kami menemukan karies pada proksimal (distal) dari
gigi susu molar pertama kiri. Pasien memperlihatkan pembengkakan dan kemerahan di daerah
infraorbital menyebarkan ke kelopak mata bawah.

IV. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam – macam


rencana perawatan abses rahang

Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain;

 Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita,


Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita meliputi
meningkatkan kualitas nutrisi, termasuk pemberian vitamin tambahan, diet tinggi kalori
dan protein, mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
 Pemberian antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai,
 Tindakan drainase secara bedah dari infeksi yang ada
 Menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi dan
 Evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan. Pada kasus-kasus infeksi fascial
space, pada prinsipnya sama dengan perawatan infeksi odontogen lainnya, tetapi
tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan agresif .

Pemberian analgesik. Pencabutan gigi atau menghilangkan faktor penyebab lain yang
menjadi sumber infeksi harus segera dilakukan setelah gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi.

Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah pembuatan
jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada
fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan
menggunakan hemostat. untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan
drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka
insisi sebelum drainase pus tuntas (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz et al., 2007).

Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular adalah insisi dan
drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan drain (drain
karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik
sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya mereda. Apabila sudah
terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi
penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah
pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang
akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat
menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz
et al., 2007).

Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan
abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba
beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi
jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan
pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase
spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan
ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab.
V. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam, syarat,
teknik drainase abses rahang
1) Punctie
Punctie (biasa diartikan tusukan) adalah prosedur medis dimana jarum digunakan untuk
membuat rongga yang bertujuan mengeluarkan darah , cairan atau jaringan dari tubuh untuk
pemeriksaan pada setiap kelainan pada sel atau jaringan. Punctie yang merupakan praktek
memasukkan jarum atau membuat sebuah lubang kecil di jaringan, organ, untuk mengekstrak
gas, cairan atau sampel. Pada tusukan, dapat mencapai superficial.
Tindakan pungsi bertujuan bertujuan untuk menegakkan diagnosis sekaligus untuk maksud
terapi juga untuk mengurangi pus yang ada, sehingga pada saat insisi nanah tidak terlalu banyak
mengalir ke luar.
 Kelebihan
Terapi pungsi mempunyai beberapa kelebihan,yaitu :
1. Mudah dikerjakan.
2. Dikerjakan sekaligus untuk keperluan diagnosis dan terapi,sehingga trauma jaringan
lebih kecil.
3. Tidak menakutkan penderita.
4. Metode lebih mudah, aman dan murah(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad,
2002).
Pungsi hanya memerlukan alat berupa alat suntik (semprit dan jarum no.18 G) dan
spatula lidah, sedangkan insisi memerlukan alat suntik untuk diagnosis, pisau lengkung,
alat penghisap atau kain kasa penghisap untuk mencegah terjadinya aspirasi(Grossman,
1988; Walton and Torabinejad, 2002).
 Teknik Pungsi
a) Sebuah tusukan dilakukan dengan jarum atau trocar (kanul memotong atau
menusuk). Tempat masuk menusuk kulit. Instrumen yang digunakan harus
dinyatakan steril, setelah pemeriksaan klinis,pasien mungkin bisa dilakukan
sinarX. Kulit didesinfeksi, dalam anestesi local/umum.
b) Sampel yang diambil kemudian akan diperiksa histologis (biopsi) atau ditempatkan
di laboratorium diagnostik.
c) Eksplorasi tusukan untuk mendirikan atau mengkonfirmasikan
diagnosis(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Pada infeksi rongga mulut yang sering menggunakan cara pengobatan dengan punctie
adalah apabila diagnosanya adalah abses peritonsil.Dimana punctie dilakukan terlebih dahulu
sebelum dilakukan perawatan lanjutan berupa insisi drainase. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi pus yang ada, sehingga pada saat insisi nanah tidak terlalu banyak mengalir ke luar
(menghindari terjadinya aspirasi)(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).

2) Memakai Jarum Ekstirpasi


Drainase menggunakan jarum ekstirpasi pada abses periapikal Gigi nekrosis dengan
pembengkakan terlokalisasi atau abses alveolar akut ataudisebut juga abses periapikal /
periradikuler akut adalah adanya suatu pengumpulan pus yang terlokalisasi dalam tulang
alveolar pada apeks akar gigi setelah gigi nekrosis. Biasanya pembengkakan terjadi dengan
cepat, pus akan keluar dari saluran akar ketika kamar pulpa di buka.
Perawatan abses alveolar akut :
a) Mula-mula dilakukan buka kamar pulpa.
b) Kemudian debridemen saluran akar yaitu pembersihan dan pembentukan saluran akar
secara sempurna bila waktu memungkinkan.
c) Lakukan drainase dengan menggunakan jarum ekstirpasi untuk meredakan tekanan dan
nyeri serta membuang iritan yang sangat poten yaitu pus.
d) 4.Pada gigi yang drainasenya mudah setelah pembukaan kamar pulpa, instrumentasi
harus dibatasi hanya di dalam sistem saluran akar. Pada pasien dengan abses periapikal
tetapi tidak dapat dilakukan drainase melalui saluran akar, maka drainase dilakukan
dengan menembus foramen apikal menggunakan file kecil sampai no. 25.
e) Selama dan setelah pembersihan dan pembentukan saluran akar, lakukan irigasi dengan
natrium hipokhlorit sebanyak-banyaknya.
f) Saluran akar dikeringkan dengan poin kertas, kemudian diisi dengan pasta kalsium
hidroksida dan diberi pellet kapas lalu ditambal sementara (Grossman, 1988; Walton
and Torabinejad, 2002).

Beberapa klinisi menyarankan, jika drainase melalui saluran akar tidak dapat
dihentikan, kavitas akses dapat dibiarkan terbuka untuk drainase lebih lanjut, nasihatkan pasien
berkumur dengan salin hangat selama tiga menit setiap jam. Bila perlu beri resep analgetik dan
antibiotik. Membiarkan gigi terbuka untuk drainase, akan mengurangi kemungkinan rasa sakit
dan pembengkakan yang berlanjut (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Penatalaksanaan kasus-kasus dengan pembengkakan paling baik ditangani dengan
drainase, saluran akar harus dibersihkan dengan baik. Jika drainase melalui saluran akar tidak
mencukupi, maka dilakukan insisi pada jaringan yang lunak dan berfluktuasi. Saluran akar
harus dibiarkan terbuka dan lakukan debridemen, kemudian beri pasta kalsium hidroksida dan
tutup tambalan sementara. Sebaiknya diberi resep antibiotik dan analgetik (Grossman, 1988;
Walton and Torabinejad, 2002).

3) Drainase

Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascialspace yang terlibat untuk


mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat untuk
mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain misalnya
dengan rubberdrain ataupenrosedrain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum
drainase pus tuntas (Lopez-Piriz etal., 2007).

Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi
ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta
toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan
biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian
antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari
abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan
ekstirpasijarnganpulpanekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian etal, 1994).

Insisi dan drainase biasanya merupakan prosedur bedah yang sederhana. Pengetahuan
tentang anatomi wajah dan leher diperlukan untuk melakukan drainase yang tepat pada abses
yang lebih dalam. Abses seharusnya dikeluarkan bila ada fluktuasi, sebelum pecah dan pusnya
keluar. Insisi dan drainase adalah perawatan yang terbaik pada abses (Topazian etal, 1994).

Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Peterson, 2003).

a) Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.


b) Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan dilakukan dengan
anestesi infiltrasi.
c) Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka direncanakan insisi
:
 Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah besar.
 Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian superfisial pada titik terendah
akumulasi untuk menghindari sakit dan pengeluaran pus sesuai gravitasi.
 Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik secara estetik, jika
memungkinkan dilakukan secara intraoral.
 Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat, saat fluktuasi positif.
d) Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam rongga abses dengan
ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian dikeluarkan dengan unjung terbuka.
Bersamaan dengan eksplorasi, dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah
pengeluaran pus.
e) Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan jahitan pada salah
satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan drainase.
f) Pencabutan gigi penyebab secepatnya.

VI. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan medikasi abses


rahang

Dapat diberikan terapi antibiotik pada medikasi abses rahang. Pada beberapa situasi,
antibiotik mungkin tidak banyak berguna dan justru bisa menimbulkan kontraindikasi. Untuk
menentukannya, ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah keseriusan
infeksi ketika pasien datan ke dokter gigi. Jika pasien datang dengan pembengkakan yang
ringan, progress infeksi yang cepat, atau difuse celulitis, antibiotik bisa ditambahkan dalam
perawatan.Faktor yang kedua adalahpencabutan mungkin saja tidak bisa dilakukan, sehingga
terapi antibiotik sangat perlu dilakukan untuk mengontrol infeksi sehingga gigi bisa
dicabut.Pertimbangan yang ketiga adalah keadaan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang muda
dan dengan kondisi sehat memiliki antibodi yang baik, sehingga penggunaan antibiotik bisa
digunakan lebih sedikit. Di sisi lain, pasien dengan penurunan pertahanan tubuh, seperti pasien
dengan penyakit metabolik atau yang melakukan kemoterapi pada kanker, mungkin
memerlukan antibiotik yang cukup besar walaupun infeksinya kecil.

Indikasi penggunaan antibiotik :

 Pembengkakan yang berproges cepat


 Pembengkakan meluas
 Pertahanan tubuh yang baik
 Keterlibatan spasia wajah
 Pericoronitis parah
 Osteomyelitis

Kontra indikasi penggunaan antibiotik :

 abses kronik yang terlokalisasi


 abses vestibular minor
 soket kering
 pericoronitis ringan

Pengobatan pilihan pada infeksi adalah penisilin. Penicillin ialah bakterisidal, berspektrum
sempit, meliputi streptococci dan oral anaerob, yang mana bertanggung jawab kira-kira untuk
90% infeksi odontogenic, memiliki toksisitas yang rendah, dan tidak mahal.

Untuk pasien yang alergi penisilin, bisa digunakan clarytromycin dan clindamycin.
Cephalosporin dan cefadroxil sangat berguna untuk infeksi yang lebih luas. Cefadroxil
diberikan dua kali sehari dan cephalexin diberikan empat kali sehari. Tetracycline, terutama
doxycycline adalah pilihan yang baik untuk infeksi yang ringan. Metronidazole dapat berguna
ketika hanya terdapat bakteri anaerob. Pada umumnya antibiotik harus terus diminum hingga
2 atau 3 hari setelah infeksi hilang, karena secara klinis biasanya seorang pasien yang telah
dirawat dengan pengobatan antibiotik maupun pembedahan akan mengalami perbaikan yang
sangat dramatis dalam penampakan gejala di hari ke-2, dan terlihat asimptomatik di hari ke-4.
Maka dari itu, antibiotik harus tetap diminum hingga 2 hari setelahnya (total sekitar 6 atau 7
hari).

a. Penisilin
Penisilin VK merupakan antibiotik (antimikroba) pilihan pertama karena obat ini
efektif terhadap sebagian besar bakteri anaerob obligat dan fakultatif yang biasa ditmukan pada
infeksi endodonsia. Bakteri yang sensitif trhadap penisilin adalah anaerob seperti
Porphyromonas, Prevotella, Peptostreptococcus, Fusobacterium, dan Actinomyces, serta
bakteri fakultatif Gram-positif seperti streoptokokus dan aneterokokus.

Penisilin merupakan obat yang tidak mahal dan rendah toksisitasnya, namun sekitar
10% populasi alergi terhadap obat ini. Jika telah diputuskan untuk memberikan penisilin maka
harus didapatkan kadar penisilin dalam darah yang memadai. Dosis mula (loading dose) per
oral dari penisilin VK adalah 1000 mg diikuti kemudian dengan 500 mg setiap 6 jam untuk
selama 7 hari. Pemberian antibiotik harus dilanjutkan sampai 2-3 hari setelah redanya gejala
infeksi. Jika penisilin diberikan bersamaan dengan debridement sistem saluran akar dan
drainase jaringan lunak, perbaikan yang signifikan harus sudah terlihat dalam tempo 2-3 hari.
Jika infeksinya tidak mereda, dianjurkan untuk merujuknya ke spesialis.

b. Amoksisilin
Amoksisilin adalah obat yang spektrumnya lebih luas daripada penisilin VK karena
obat ini efektif pula terhadap bakteri yang biasanya tidak terdapat pada infeksi endodonsia.
Jadi obat ini dipilih bagi mikroba yang resisiten yang umumnya ditemukan di traktus
gastrointestinalis. Bagi pasien dengan infeksi parah atau mengalami gangguan imuologik,
pemberian amoksisilin yang spektrumnya luas ini mungkin bisa berhasil. Dosis mula per
oralnya adalah 1000 mg dan diikuti 500 mg setiap 8 jam selama 7 hari. Kombinasi amoksisilin
dan klavulanat (Augmentin) diindikasikan jika infeksinya mengancam kehidupan.

c. Metronidazol
Metronidazol adalah bakterisid terhadap anaerob obligat tetapi tidak memiliki
efektivitas terhadap anaerob fakultatif atau aerob. Penambahan metronidazol di dalam penisilin
diindikasikan jika kondisi pasien tidak juga membaik dalam 72 jam. Pasien harus tetap minum
penisilin untuk menjaga efektivitasnya dalam membasmi bakteri aerob dan anaerob. Dosis
yang direkomendasikan untuk metronidazol adalah 500 mg setiap 6 jam untuk 7 hari. Pasien
yang sedang meminum metronidazol tidak dapat menoleransi alkohol.

d. Klindamisin
Klindamisin adalah obat yang efektif terhadap banyak mikroorganisme Gram postif dan
negatif termasuk juga bakteri anaerob yang obligat maupun yang fakultatif. Klindamisin adalah
alternatif yang baik bagi penisilin dan direkomendasikan bagi pasien yang alergi terhadap
penisilin, hanya harganya lebih mahal. Klindamisin didistribusikan dengan baik di seluruh
tubuh dan konsentrasi dalam tulang dapat dicapai setinggi di dalam plasma. Dosis mula
klindamisin untuk orang dewasa adalah 300 mg diikuti dengan 150 mg sampai 300 mg setiap
6 jam selama 7 hari.

e. Klaritromisin dan Azitromisin


Klaritromisin dan azitromisin adalah makrolid seperti eritromisin yang memiliki sedikit
kelebihan dibanding eritromisin. Obat ini dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap
penisilin dengan indikasi yang relatif ringan untuk terapi antibiotik sistemik. Obat-obatan ini
tidak begitu banyak menimbulkan gangguan gastrintestinal dan spektrum antimikrobanya
meliputi sejumlah bakteri anaerob yang menyebabkan infeksi endodonsia. Klaritromisin dapat
diberikan sebelum atau sesudah makan dengan dosis 250-500 mg setiap 12 jam selama 7 hari.
Azitromisin harus diminum 1 jam sebelum makan atau 1 jam sesudah makan. Dosis mulanya
adalah 500 mg diikuti dengan 250 mg setiap hari selama 5 sampai 7 hari. Obat-obat ini
memblok metabolisme warfarin dan anisindione, yang dapat mengarah pada perdarahan yang
serius jika pasien juga sedang mengkonsumsi obat antikoagulan.

f. Analgesik

Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi yang muncul akibat
keradangan salah satunya disebakan oleh adanya infeksi dentoalveolar yaitu masuknya
mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui jaringan dentoalveolar. Untuk mengatasi hal
tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis dengan pemberian obat analgesik untuk
meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pasien
dengan nyeri akut memerlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat, efek
samping dari obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya.

Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai antiinflamasi, asam mefenamat


kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein
plasma. Oleh karena itu, interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping
pada saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa
lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari.

Skin Test Untuk Menguji Hipersensitivitas Pasien Terhadap Antibiotik

Tes kulit dapat digunakan untuk evaluasi dari hipersensitivitas obat. Nilai diagnostik
dari tes kulit belum dekade terakhir. Dengan demikian, prosedur uji kulit diandalkan untuk
diagnosis hipersensitivitas obat umumnya hilang dan konsentrasi tes tidak diketahui atau
buruk divalidasi untuk sebagian besar obat-obatan.Tujuan kami berikutnya adalah
mengembangkan prosedur tes yang berguna untuk diagnosis hipersensitivitas obat, prosedur
yang sederhana dan dapat digunakan di pusat-pusat tidak khusus dalam hipersensitivitas obat.

Pengujian kulit dengan SPT, IDT dan / atau uji tempel dianjurkan terutama dalam
reaksi samping obat antibiotik beta-laktam (terutama penisilin, sefalosporin). SPT dan IDT
sering positif untuk myorelaxants, insulin, protamin, heparin, streptokinase dan
chymopapain.
Gejala dan tanda umum yang menunjukkan alergi obat, sebagai lawan non-imunologi yang
merugikan reaksi, adalah adanya periode sensitisasi, reaksi terhadap dosis rendah obat, dan
gejala-gejala khas seperti urtikaria dan anafilaksis segera setelah pemberian obat. Namun,
dalam reaksi negatif terhadap obat, skema umum ini sering tidak dapat diandalkan, karena
sensitisasi mungkin tidak terlihat dan beberapa reaksi dapat meniru gejala alergi. Dengan
demikian, pusat dengan minat khusus pada alergi obat didorong untuk menguji pasien
dengan obat lain untuk mendapatkan dan mempublikasikan pengalaman pada nilai tes kulit
di bawah kondisi yang berbeda.

Sebuah SPT dilakukan dengan menusuk kulit perkutan dengan tusukan jarum melalui
solusi allergen. Ini adalah yang paling aman dan termudah tes, tapi hanya cukup sensitif,
untuk reaksi obat segera. Tes intradermal dilakukan dengan menyuntikkan 0,02-0,05 ml
alergen intradermal, membesarkan bleb kecil berukuran 3 mm.

Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45 0 menembus lapisan epidermis dengan


ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini
mengakibatkan sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan
menilai bentol yang timbul.

SPT harus dilakukan pada aspek volar lengan bawah. Jika ini adalah negatif setelah 15-20
menit, tes intradermal dapat dilakukan pada lengan bawah volar, meskipun daerah lain dapat
diuji (Namun, tidak ada perbandingan untuk alergen obat). Rasa sakit dari tes intradermal
dapat membatasi penggunaannya pada anak-anak.

Uji Lab

Uji lab dilakukan untuk mengetahui bakteri yang berperan dalam penyebab suatu penyakit.
Yaitu dengan mengambil spesimen dari hasil insisi kemudian dilakukan kultur bakteri yang
selanjutnya dapat diketahui bakteri apa yang berperan. Uji lab dilakukan untuk menentukan
antibiotik yang tepat dalam penanganan. Namun, proses kultur bakteri ini cukup
membutuhkan waktu lama, sehingga untuk mencegah penyebaran infeksi bakteri secara luas,
dan sambil menunggu hasil kultur maka pasien dapat diberikan antibiotik yang mencakup
penicillinace – resistent penicillin ditambah sefalosporin generasi ketiga atau keempat. Jika
dicurigai adanya infeksi gigi atau ibfeksi bakteri anaerob, pemberian antibiotik anaerob juga
harus ditambahkan. Antibiotik IV dianjurkan seelama minimal 3-4 minggu.

Anda mungkin juga menyukai