LEARNING OBJECTIVE
A. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri
dalam plak, dalam sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Bakteri yang utama ditemukan adalah
bakteri kokus aerob gram positif, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob gram
negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika
mencapai jaringan yang lebih yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal
dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen. Bakteri itu dapat apat bersumber dari :
Kematian pulpa, invasi bakteri dan perluasan proses infeksi kea rah periapikal yang
disebut abses periapikal
Abses periodontal akut, kerusakan pada ligament periodontal yang memungkinkan
masuknya bakteri
Abseb perikorona apabila gigi tidak erupsi sempurna, mukosa yang menutupi sebagian
gigi terseut mengakibatkan terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan debris
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah
kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob.
Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah
alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan
infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob,
biasanya organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen banyak juga
yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35 %. Pada
infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan kultur.
Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim
aktif yang disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan
Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi,
yaitu streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang
bersifat merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti. Padahal, fungsi jembatan
antar sel penting adanya, sebagai transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel,
juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar,
maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat
terancam rusak/mati/nekrosis.
Dari proses nekrosis pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari
S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri
yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam. Adanya
keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan untuk
datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik,
dan virulensi bakteri cukup tinggi
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang
terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri
pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang
notabene adalah di dalam tulang. Sehingga untuk mencapai keluar tubuh, maka abses ini harus
menembus jaringan keras tulang, kemudian mencapai jaringan lunak, lalu barulah dapat keluar.
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri,
ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan
bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik
menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot
mempengaruhi arah gerak pus.
Sebelum mencapai keluar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena
sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah
tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang
yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi
dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki
vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai “mencapai”
korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke
rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang
kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini cenderung menimbulkan rasa sakit,
terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut
periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi
eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70% plasma, dan
tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut.
Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host. Apabila dalam rentang
2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas bakteri
penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses
subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan
lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus
sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama
abses yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal.
Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan
mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan
peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka
dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah
mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka
dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang
dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh
karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal
abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks
gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial
spaces. Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis
dari fascial spaces yang terkena infeksi.
Tabel 1. Spasium wajah yang terlibat dalam infeksi odontogenik (Peterson, 2003)
a. Spasium primer maksila
1. Spasium kaninus
2. Spasium bukal
3. Spasium infratemporal
b. Spasium primer mandibula
1. Spasium submental
2. Spasium bukal
3. Spasium submandubular
4. Spasium sublingal
c. Spasium sekunder wajah
1. Spasium maseter
2. Spasium pterigomandibular
3. Spasium temporal superfisial dan
dalam
4. Spasium faringeal lateral
5. Spasium retrofaringeal
6. Spasium prevertebra
2. Spasium bukal, dibatasi oleh kulit superfisial wajah pada bagian lateral dan muskulus
buccinator pada bagian medial. Spasium ini dapat terlibat baik akibat perluasan infeksi
gigi pada maksila maupun mandibula. Selain itu, spasium bukal terjadi akibat infeksi
yang merusak tulang di atas perlekatan muskulus buccinator. Gejala klinis yang
ditimbulkan berupa pembengkakan di sudut zigomaticus dan sekitar batas bawah dari
mandibular. Abses membesar pada mukosa bukal dan menonjol ke dalam rongga mulut dan
batas tegas yang terlihat pada lengkung zygomaticus dan batas bawah mandibula
3. Spasium Infratemporal, terletak di posterior maksila. Bagian medial spasium ini dibatasi
oleh lempeng lateral prosesus pterigoideus tulang sfenoid, bagian superior dibatasi oleh
dasar tengkorak. Sedangkan ke arah lateral, spasium ini menyambung dengan spasium
temporal bagian dalam. Proses infeksi daerah ini biasanya disebabkan oleh trauma
terhadap gigi posterior maksila dan biasanya terdapat penonjolan jaringan tepat di atas
dan di bawah arkus zigomatikus, menyebabkan kesan dari luar seperti “dumbbell”
(Karasutisna dan Soeparwadi, 2001).
Gambar 3. Abses spasium infratemporal
Perawatan abses ini terutama melalui intraoral, dengan melakukan insisi awal pada
bagian prosessus coronoid dan berjalan sepanjang tepi anterior dari ramus hingga
mucobuccal fold, sampai kira-kira sejauh molar kedua. Insisi mungkin juga dilakukan di
daerah ekstraoral pada kulit di bawah sudut dari mandibula. Pada kasus kedua, hemostat
dimasukkan sejauh pusat dari supurasi dan sampai ini berkontak dengan tulang. Karena
akses yang jauh dari akumulasi purulent, sering sukar untuk drain area ini dengan baik,
sehingga sering relaps.
Penyebab utama abses pada spasia ini adalah infeksi dari gigi molar tiga atau akibat dari
suatu blok nervus alveolaris inverior, jika sisi penetrasi dari needle terinfeksi
(pericoronitis). Gejala klinis pada infeksi spasium ini adalah trismus yang parah dan
sedikit edema ekstraoral yang tidak biasanya tampak pada sudut mandibula. Secara
intraoral, edema dari palatum lunak tampak pada sisi yang terinfeksi sehingga terjadi
perpindahan tempat dari uvula dan dinding faringeal lateral. Perawatan dapat dilakukan
dengan cara insisi dan drainase dilakukan mukosa rongga mulut dan lebih spesifik
sepanjang crest temporal mesial. (gambar 2 b) insisi seharusnya sepanjang 1,5 cm dan
dalamnya 3 – 4 mm. Suatu hemostat bengkok kemudian dimasukkan, yang berjalan ke
posterior dan lateral sampai berkontak dengan permukaan medial ramus mandibula.
Abses di drain, memungkinkan pengeluaran pus sepanjang tangkai instrumen.
3. Spasium temporal superfisial dan dalam, terletak posterior dan superior spasium
pterigomandibula dan lateral muskulus pterigomandibula. Spasium ini membelah
muskulus temporalis menjadi dua bagian, bagian superfisialis yang meluas ke fasia
temporal dan bagian dalam yang berhubungan dengan spasium infratemporal.
Gambar 9. Spasium temporalis
Infeksi pada spasium temporalis disebabkan oleh perluasan dari infeksi pada spasium
infratemporalis yang saling berhubungan. Gejala klinis ditandai dengan edema yang sakit
pada fascia temporalis, trismus (temporal dan muskulus pterygoid mediana terlibat), dan
sakit saat palpasi pada edema.
Perawatan dilakukan dengan insisi dan drainase dilakukan secara horizontal, pada tepi
dari scalp hair dan kira-kira 3 cm di atas dari lengkung zygomatik. Ini kemudian
dilakukan dengan hati-hati diantara dua lapisan pada fasia temporal hingga muskulus
temporalis. Pergunakan hemostat yang bengkok untuk mendrain abses.
4. Spasium faringeal lateral, merupakan bagian spasium fasial servikal dan dapat
mengancam nyawa dengan adanya obstruksi saluran nafas. Perluasan ke arah posterior
dan spasium pterigomandibula dapat menyebar ke spasium faringeal lateral. Spasium
ini meluas dari dasar tengkorak pada tulang sphenoid ke inferior menuju tulang hyoid.
Bagian medial dibatasi oleh muskulus pterigoideus medialis dan bagian lateral oleh
muskulus konstriktor faringeus superior. Bagian anterior berbatasan dengan rafe
posteromandibula dan menuju fasia prevertebra. Prosesus stiloideus dan muskulus-
muskulus sekitarnya membagi spasium faringeal lateral menjadi kompartemen anterior
yang berisi muskulus dan kompartemen posterior yang berisi sarung karotis dan saraf
kranial.
Spasium ini mengandung arteri carotid interna, vena jugularis interna dengan beberapa
pembuluh limfe, nervus glossofaringeal, nervus vagus, nervus hypoglossus dan nervus
asesorius. Ini berhubungan langsung dengan spasium submandibula, serta otak melalui
foramen kranium. Infeksi pada daerah ini dapat berasal dari gigi molar tiga dan sebagai
akibat perluasan infeksi spasium submandibula dan pterygomandibula. Gejala klinis dari
infeksi ini adalah edema ekstra oral pada bagian letaral dari leher yang mungkin dapat
meluas ke tragus dari telinga, perubahan posisi dari dinding faring, tonsil dan uvula
membengkak sehingga tampak ke midline, rasa sakit yang menyebar ke telinga, trismus,
susah menelan, peningkatan suhu yang signifikan dan malaise. Perawatan dengan
drainase dilakukan pada daerah ekstraoral (sesuai dengan tempat pada abses
submandibula) dengan incisi sepanjang 2 cm, pada bagian inferior posterior dari corpus
mandibula. Akses dicapai dengan menggunakan hemostat, dimana setelah pada pusat
terkumpulnya pus, diteruskan ke arah permukaan medial dari mandibula, ke daerah
molar tiga, dan jika memungkinkan dibelakang daerah tersebut. Drain karet kemudian
ditempatkan pada temptakan selama 2 – 3 hari. Drainase abses mungkin juga dilakukan
secara intraoral meskipun ini beresiko dan agak sulit karena saring berpeluang terjadinya
aspirasi dari pus, khususnya jika prosedur dilakukan dengan menggunakan NU.
Gambar 10. Spasia faringeal lateral, terletak antara M. pterigoideus lateral dan M.
konstriktor faringeal superior. Spasia retrofaringeal dan spasia prevertebral terletak
antara faring dan kolumna vertebral. Spasia retrofaringeal terletak antara M. konstriktor
faringeal superior dan portio alar fascia prevertebral. Spasia prevertebral terletak antara
alar dan lapisan prevertebral dari fascia prevertebral (Peterson, 2003).
a b
Gambar 2.7 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fargisos Fragiskos D, Germany, Springer
3) Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit
yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan
permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan
bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar
fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah,
berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian dalam,
pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan
delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada
penekanan.
a b
Gambar 2.8 : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke daerah submasseter
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer
4) Sublingual Abscess
Merupakan abses yang terbentuk pada spasia sublingual di atas musculus mylohyoid
kanan atau kiri. Biasanya disebabkan oleh infeksi pada gigi anterior, premolar, atau gigi molar
pertama mandibula. Spasia sublingual dibatasi oleh mukosa dasar mulut, musculus mylohyoid,
permukaan mandibula, os mylohyoid, dan septum lingua. Spasia sublingual mengandung
ductus wharton, glandula sublingual, nervus lingualis, cabang terminal arteri lingual dan
sebagian glandula submandibula.
Secara klinis terlihat pembesaranmukosa pada dasar mulut menyebabkan lidah
terangkat. Pasien kesulitan berbicara disebabkan oleh edema, dan nyeri saat menggerakkan
lidah. Perawatan dilakukan dengan
cara insisi untuk drainase secara intra oral pada lateral sepanjang ductus wharton dannervus
lingual. Untuk mencapai pus digunakan hemostat untuk mengeksplorasi spasia dibawah
glandula.
5) Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah
periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut.
Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang
tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam.
Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal
sistemik (bakteremia).
6) Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut
dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit
sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,
berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi
premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula,
tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.
a b
7) Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses
subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah
periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan
bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-
kadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi
podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar,
terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah.
Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.
a b
a b
a b
9) Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh permukaan
lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah terangkat,
bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena
terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan
menelen dan terasa sakit.
a b
Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual
b. Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi
lidah ke arah berlawanan
Sumber : Oral surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer
- Yang umum terjadi dengan melewati sinus, karena akar dari molar dan premolar
berbatasan pada dasar dari sinus maksila, infeksi dari gigi langsung menginvasi pada
sinus. Kemudian infeksi dari sinus menyebar kedalam ruang orbita melewati erosi
tulang antara orbita dan sinus maksila atau sinus ethmoid
- Jalur kedua yaitu melalui jaringan lunak wajah di atas plate kortikal bukal, menyebar
ke jaringan periorbital
- Jalur ketiga infeksi dari molar atau premolar yang menginvasi infratemporal dan fossa
pterygopalatina, menyebar masuk ke orbita melalui fissure inferior orbital
- Infeksi dari gigi juga dapat menyebar ke dalam orbita sepanjang vena facialis dan vena
ophtalmikus melalui hematogen karena vena wajah, mata, hidung dan sinus semua
terhubung tanpa katup
Selulitis orbita dibagi menjadi 5 tingkat :
1) Edema dan inflamasi preseptal (selulitis preseptal), ditandai dengan edema palpebra di
bagia anterior septum orbital tanpa disertai nyeri tekan/ gejala okuler.
2) Selulitis orbital, terjadi perluasan infeksi ke posterior melalui septum orbital dengan
edema komponen orbital dengan edema komponen orbital, ditandai dengan
proptosis,kemosis, gerakan terbatas dan gangguan penglitan.
3) Adses subperiosteal, merupakan pembentukan abses di daerah orbital, ditandai dengan
ophtalmoplegi, hilangnya fungsi penglihatan.
4) Abses orbital, merupakan pembentukan abses di daerah orbital, ditandai dengan
optalmoplegi, hilangnya fungsi penglihatan dan proptosis berat
5) Thrombosis sinus cavernosus, merupakan perluasan infeksi orbita ke vena ophtalmikus
superior dan sunus kavernosus dan orbital lateral
Pasien laki-laki usia 70 tahun awalnya mengeluh sakit gigi 24 satu minggu yang lalu, dua
hari kemudian bengkak di pipi kiri hingga meluas ke orbita sehingga kesulitan membuka
pelupuk mata. Pasien juga merasa demam dan sakit hebat. Pada ekstra oral didapatkan
pembengkakan pada pipi kiri meluas hingga papebra inferior dan superior, kemerahan,
permukaan licin, palpasi sakit, lunak, terdapat peningkatan suhu dan tidak ada fluktuasi,
sulkusnasolabial rata. Dari pemeriksaan intra oral terdapat sisi akar gigi 24, warna gusi
kemerahan, bukalfold tidak terangkat, palpasi sakit dan tidak terdapat fluktuasi. Dilihat dari
tanda dan gejala pada kasus tersebut, pasien dapat didiagnosis Trombosis Sinus Cavernosus.
Trombosis sinus cavernosus ini merupakan keberlanjutan dari abses fossa kanina yang tidak
dilakukan perawatan.
Infeksi awalnya berasal dari sisa akar gigi 24 yang dibiarkan. Selanjutnya infeksi gigi dari
sisa akar gigi 24 ini menjadi abses fossa kanina. Infeksi fossa kanina jika tidak dilakukan
perawatan dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke sinus cavernosus. Hal ini meningkatkan
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi
darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi pada fossakaninus juga akan semakin meningkatkan
aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk
ke dalam pembuluh darah. Vena-vena fasialis anterior yang terinfeksi berhubungan dengan
sinus kavernosus melalui pleksus vena ophtalmikus. Karena perubahan tekanan dan edema
menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup,
maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah yang memungkinkan penyebaran
infeksi langsung dari fokus infeksi di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu
membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut.
Gejala dan tanda klinis trombosis sinus cavernosus juga di buktikan dengan beberapa kasus
seperti Kasus abses fossacanina terjadi pada Pasien anak berumur 5 tahun berkelamin wanita
datang keklinik gigi bersama ibunya. Pasien ini menderita bengkak dan warna merah pada
daerah infra orbital da menyebar sampai kelopak mata bawah. Pasien masih dalam keadaan
sadar. Saat pemeriksaan klinis intraoral kami menemukan karies pada proksimal (distal) dari
gigi susu molar pertama kiri. Pasien memperlihatkan pembengkakan dan kemerahan di daerah
infraorbital menyebarkan ke kelopak mata bawah.
Pemberian analgesik. Pencabutan gigi atau menghilangkan faktor penyebab lain yang
menjadi sumber infeksi harus segera dilakukan setelah gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi.
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah pembuatan
jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada
fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan
menggunakan hemostat. untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan
drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka
insisi sebelum drainase pus tuntas (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz et al., 2007).
Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular adalah insisi dan
drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan drain (drain
karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik
sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya mereda. Apabila sudah
terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi
penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah
pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang
akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat
menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz
et al., 2007).
Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan
abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba
beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi
jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan
pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase
spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan
ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab.
V. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan macam, syarat,
teknik drainase abses rahang
1) Punctie
Punctie (biasa diartikan tusukan) adalah prosedur medis dimana jarum digunakan untuk
membuat rongga yang bertujuan mengeluarkan darah , cairan atau jaringan dari tubuh untuk
pemeriksaan pada setiap kelainan pada sel atau jaringan. Punctie yang merupakan praktek
memasukkan jarum atau membuat sebuah lubang kecil di jaringan, organ, untuk mengekstrak
gas, cairan atau sampel. Pada tusukan, dapat mencapai superficial.
Tindakan pungsi bertujuan bertujuan untuk menegakkan diagnosis sekaligus untuk maksud
terapi juga untuk mengurangi pus yang ada, sehingga pada saat insisi nanah tidak terlalu banyak
mengalir ke luar.
Kelebihan
Terapi pungsi mempunyai beberapa kelebihan,yaitu :
1. Mudah dikerjakan.
2. Dikerjakan sekaligus untuk keperluan diagnosis dan terapi,sehingga trauma jaringan
lebih kecil.
3. Tidak menakutkan penderita.
4. Metode lebih mudah, aman dan murah(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad,
2002).
Pungsi hanya memerlukan alat berupa alat suntik (semprit dan jarum no.18 G) dan
spatula lidah, sedangkan insisi memerlukan alat suntik untuk diagnosis, pisau lengkung,
alat penghisap atau kain kasa penghisap untuk mencegah terjadinya aspirasi(Grossman,
1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Teknik Pungsi
a) Sebuah tusukan dilakukan dengan jarum atau trocar (kanul memotong atau
menusuk). Tempat masuk menusuk kulit. Instrumen yang digunakan harus
dinyatakan steril, setelah pemeriksaan klinis,pasien mungkin bisa dilakukan
sinarX. Kulit didesinfeksi, dalam anestesi local/umum.
b) Sampel yang diambil kemudian akan diperiksa histologis (biopsi) atau ditempatkan
di laboratorium diagnostik.
c) Eksplorasi tusukan untuk mendirikan atau mengkonfirmasikan
diagnosis(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Pada infeksi rongga mulut yang sering menggunakan cara pengobatan dengan punctie
adalah apabila diagnosanya adalah abses peritonsil.Dimana punctie dilakukan terlebih dahulu
sebelum dilakukan perawatan lanjutan berupa insisi drainase. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi pus yang ada, sehingga pada saat insisi nanah tidak terlalu banyak mengalir ke luar
(menghindari terjadinya aspirasi)(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Beberapa klinisi menyarankan, jika drainase melalui saluran akar tidak dapat
dihentikan, kavitas akses dapat dibiarkan terbuka untuk drainase lebih lanjut, nasihatkan pasien
berkumur dengan salin hangat selama tiga menit setiap jam. Bila perlu beri resep analgetik dan
antibiotik. Membiarkan gigi terbuka untuk drainase, akan mengurangi kemungkinan rasa sakit
dan pembengkakan yang berlanjut (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002).
Penatalaksanaan kasus-kasus dengan pembengkakan paling baik ditangani dengan
drainase, saluran akar harus dibersihkan dengan baik. Jika drainase melalui saluran akar tidak
mencukupi, maka dilakukan insisi pada jaringan yang lunak dan berfluktuasi. Saluran akar
harus dibiarkan terbuka dan lakukan debridemen, kemudian beri pasta kalsium hidroksida dan
tutup tambalan sementara. Sebaiknya diberi resep antibiotik dan analgetik (Grossman, 1988;
Walton and Torabinejad, 2002).
3) Drainase
Tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi
ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta
toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan
biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian
antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari
abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan
ekstirpasijarnganpulpanekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian etal, 1994).
Insisi dan drainase biasanya merupakan prosedur bedah yang sederhana. Pengetahuan
tentang anatomi wajah dan leher diperlukan untuk melakukan drainase yang tepat pada abses
yang lebih dalam. Abses seharusnya dikeluarkan bila ada fluktuasi, sebelum pecah dan pusnya
keluar. Insisi dan drainase adalah perawatan yang terbaik pada abses (Topazian etal, 1994).
Dapat diberikan terapi antibiotik pada medikasi abses rahang. Pada beberapa situasi,
antibiotik mungkin tidak banyak berguna dan justru bisa menimbulkan kontraindikasi. Untuk
menentukannya, ada 3 faktor yang perlu dipertimbangkan. Yang pertama adalah keseriusan
infeksi ketika pasien datan ke dokter gigi. Jika pasien datang dengan pembengkakan yang
ringan, progress infeksi yang cepat, atau difuse celulitis, antibiotik bisa ditambahkan dalam
perawatan.Faktor yang kedua adalahpencabutan mungkin saja tidak bisa dilakukan, sehingga
terapi antibiotik sangat perlu dilakukan untuk mengontrol infeksi sehingga gigi bisa
dicabut.Pertimbangan yang ketiga adalah keadaan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang muda
dan dengan kondisi sehat memiliki antibodi yang baik, sehingga penggunaan antibiotik bisa
digunakan lebih sedikit. Di sisi lain, pasien dengan penurunan pertahanan tubuh, seperti pasien
dengan penyakit metabolik atau yang melakukan kemoterapi pada kanker, mungkin
memerlukan antibiotik yang cukup besar walaupun infeksinya kecil.
Pengobatan pilihan pada infeksi adalah penisilin. Penicillin ialah bakterisidal, berspektrum
sempit, meliputi streptococci dan oral anaerob, yang mana bertanggung jawab kira-kira untuk
90% infeksi odontogenic, memiliki toksisitas yang rendah, dan tidak mahal.
Untuk pasien yang alergi penisilin, bisa digunakan clarytromycin dan clindamycin.
Cephalosporin dan cefadroxil sangat berguna untuk infeksi yang lebih luas. Cefadroxil
diberikan dua kali sehari dan cephalexin diberikan empat kali sehari. Tetracycline, terutama
doxycycline adalah pilihan yang baik untuk infeksi yang ringan. Metronidazole dapat berguna
ketika hanya terdapat bakteri anaerob. Pada umumnya antibiotik harus terus diminum hingga
2 atau 3 hari setelah infeksi hilang, karena secara klinis biasanya seorang pasien yang telah
dirawat dengan pengobatan antibiotik maupun pembedahan akan mengalami perbaikan yang
sangat dramatis dalam penampakan gejala di hari ke-2, dan terlihat asimptomatik di hari ke-4.
Maka dari itu, antibiotik harus tetap diminum hingga 2 hari setelahnya (total sekitar 6 atau 7
hari).
a. Penisilin
Penisilin VK merupakan antibiotik (antimikroba) pilihan pertama karena obat ini
efektif terhadap sebagian besar bakteri anaerob obligat dan fakultatif yang biasa ditmukan pada
infeksi endodonsia. Bakteri yang sensitif trhadap penisilin adalah anaerob seperti
Porphyromonas, Prevotella, Peptostreptococcus, Fusobacterium, dan Actinomyces, serta
bakteri fakultatif Gram-positif seperti streoptokokus dan aneterokokus.
Penisilin merupakan obat yang tidak mahal dan rendah toksisitasnya, namun sekitar
10% populasi alergi terhadap obat ini. Jika telah diputuskan untuk memberikan penisilin maka
harus didapatkan kadar penisilin dalam darah yang memadai. Dosis mula (loading dose) per
oral dari penisilin VK adalah 1000 mg diikuti kemudian dengan 500 mg setiap 6 jam untuk
selama 7 hari. Pemberian antibiotik harus dilanjutkan sampai 2-3 hari setelah redanya gejala
infeksi. Jika penisilin diberikan bersamaan dengan debridement sistem saluran akar dan
drainase jaringan lunak, perbaikan yang signifikan harus sudah terlihat dalam tempo 2-3 hari.
Jika infeksinya tidak mereda, dianjurkan untuk merujuknya ke spesialis.
b. Amoksisilin
Amoksisilin adalah obat yang spektrumnya lebih luas daripada penisilin VK karena
obat ini efektif pula terhadap bakteri yang biasanya tidak terdapat pada infeksi endodonsia.
Jadi obat ini dipilih bagi mikroba yang resisiten yang umumnya ditemukan di traktus
gastrointestinalis. Bagi pasien dengan infeksi parah atau mengalami gangguan imuologik,
pemberian amoksisilin yang spektrumnya luas ini mungkin bisa berhasil. Dosis mula per
oralnya adalah 1000 mg dan diikuti 500 mg setiap 8 jam selama 7 hari. Kombinasi amoksisilin
dan klavulanat (Augmentin) diindikasikan jika infeksinya mengancam kehidupan.
c. Metronidazol
Metronidazol adalah bakterisid terhadap anaerob obligat tetapi tidak memiliki
efektivitas terhadap anaerob fakultatif atau aerob. Penambahan metronidazol di dalam penisilin
diindikasikan jika kondisi pasien tidak juga membaik dalam 72 jam. Pasien harus tetap minum
penisilin untuk menjaga efektivitasnya dalam membasmi bakteri aerob dan anaerob. Dosis
yang direkomendasikan untuk metronidazol adalah 500 mg setiap 6 jam untuk 7 hari. Pasien
yang sedang meminum metronidazol tidak dapat menoleransi alkohol.
d. Klindamisin
Klindamisin adalah obat yang efektif terhadap banyak mikroorganisme Gram postif dan
negatif termasuk juga bakteri anaerob yang obligat maupun yang fakultatif. Klindamisin adalah
alternatif yang baik bagi penisilin dan direkomendasikan bagi pasien yang alergi terhadap
penisilin, hanya harganya lebih mahal. Klindamisin didistribusikan dengan baik di seluruh
tubuh dan konsentrasi dalam tulang dapat dicapai setinggi di dalam plasma. Dosis mula
klindamisin untuk orang dewasa adalah 300 mg diikuti dengan 150 mg sampai 300 mg setiap
6 jam selama 7 hari.
f. Analgesik
Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi yang muncul akibat
keradangan salah satunya disebakan oleh adanya infeksi dentoalveolar yaitu masuknya
mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui jaringan dentoalveolar. Untuk mengatasi hal
tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis dengan pemberian obat analgesik untuk
meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pasien
dengan nyeri akut memerlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat, efek
samping dari obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya.
Tes kulit dapat digunakan untuk evaluasi dari hipersensitivitas obat. Nilai diagnostik
dari tes kulit belum dekade terakhir. Dengan demikian, prosedur uji kulit diandalkan untuk
diagnosis hipersensitivitas obat umumnya hilang dan konsentrasi tes tidak diketahui atau
buruk divalidasi untuk sebagian besar obat-obatan.Tujuan kami berikutnya adalah
mengembangkan prosedur tes yang berguna untuk diagnosis hipersensitivitas obat, prosedur
yang sederhana dan dapat digunakan di pusat-pusat tidak khusus dalam hipersensitivitas obat.
Pengujian kulit dengan SPT, IDT dan / atau uji tempel dianjurkan terutama dalam
reaksi samping obat antibiotik beta-laktam (terutama penisilin, sefalosporin). SPT dan IDT
sering positif untuk myorelaxants, insulin, protamin, heparin, streptokinase dan
chymopapain.
Gejala dan tanda umum yang menunjukkan alergi obat, sebagai lawan non-imunologi yang
merugikan reaksi, adalah adanya periode sensitisasi, reaksi terhadap dosis rendah obat, dan
gejala-gejala khas seperti urtikaria dan anafilaksis segera setelah pemberian obat. Namun,
dalam reaksi negatif terhadap obat, skema umum ini sering tidak dapat diandalkan, karena
sensitisasi mungkin tidak terlihat dan beberapa reaksi dapat meniru gejala alergi. Dengan
demikian, pusat dengan minat khusus pada alergi obat didorong untuk menguji pasien
dengan obat lain untuk mendapatkan dan mempublikasikan pengalaman pada nilai tes kulit
di bawah kondisi yang berbeda.
Sebuah SPT dilakukan dengan menusuk kulit perkutan dengan tusukan jarum melalui
solusi allergen. Ini adalah yang paling aman dan termudah tes, tapi hanya cukup sensitif,
untuk reaksi obat segera. Tes intradermal dilakukan dengan menyuntikkan 0,02-0,05 ml
alergen intradermal, membesarkan bleb kecil berukuran 3 mm.
SPT harus dilakukan pada aspek volar lengan bawah. Jika ini adalah negatif setelah 15-20
menit, tes intradermal dapat dilakukan pada lengan bawah volar, meskipun daerah lain dapat
diuji (Namun, tidak ada perbandingan untuk alergen obat). Rasa sakit dari tes intradermal
dapat membatasi penggunaannya pada anak-anak.
Uji Lab
Uji lab dilakukan untuk mengetahui bakteri yang berperan dalam penyebab suatu penyakit.
Yaitu dengan mengambil spesimen dari hasil insisi kemudian dilakukan kultur bakteri yang
selanjutnya dapat diketahui bakteri apa yang berperan. Uji lab dilakukan untuk menentukan
antibiotik yang tepat dalam penanganan. Namun, proses kultur bakteri ini cukup
membutuhkan waktu lama, sehingga untuk mencegah penyebaran infeksi bakteri secara luas,
dan sambil menunggu hasil kultur maka pasien dapat diberikan antibiotik yang mencakup
penicillinace – resistent penicillin ditambah sefalosporin generasi ketiga atau keempat. Jika
dicurigai adanya infeksi gigi atau ibfeksi bakteri anaerob, pemberian antibiotik anaerob juga
harus ditambahkan. Antibiotik IV dianjurkan seelama minimal 3-4 minggu.