Anda di halaman 1dari 125

ILMU

USAHA TANI

Ken Suratiyah
DAFTAR ISI

PRAKATA
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Pengertian Pertanian
B. Definisi Ilmu Usahatani
C. Sejarah dan Perkembangan Usahatani
D. Usahatani Keluarga dan Perusahaan Pertanian
E. Klasifikasi Usahatani
BAB 2 FAKTOR ALAM DALAM USAHATANI
A. Faktor Iklim
B. Faktor Tanah
C. Kemajuan Teknologi Mengatasi Faktor Alam
BAB 3 TENAGA KERJA DALAM USAHATANI
A. Karakteristik Tenaga Kerja dalam Usahatani
B. Peran Petani
C. Tenaga Kerja Keluarga dan Luar Keluarga
D. Kebutuhan dan Distribusi Tenaga Kerja
BAB 4 MODAL DAN PERALATAN DALAM USAHATANI
A. Pengertian Modal
B. Pembagian Modal
C. Konsekuensi Modal dan Peralatan
BAB 5 MANAJEMEN SEBAGAI FAKTOR PRODUKSI TIDAK LANGSUNG
(INTANGIBLE)
BAB 6 PRINSIP EKONOMI DAN APLIKASINYA
A. Prinsip Ekonomi
B. Faktor-Product Relationship
C. Faktor-Faktor Relationship
D. Product-Product Relationship
E. Time Relationship

BAB 7 BIAYA DAN PENDAPATAN DALAM USAHATANI


A. Fungsi Biaya
B. Pendekatan Analisis Biaya dan Pendapatan
C. Cara Memperhitungkan Pendapatan
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biaya dan Pendapatan
BAB 8 PERENCANAAN
A. Perencanaan Menyeluruh (Whole-Fram Planing)
B. Perencanaan Usahatani
C. Anggaran Kegiatan
D. Anggaran Penggunaan Sumberdaya
E. Anggaran Usahatani
F. Anggaran Parsial (Partial Budgets)
BAB 9 EVALUASI USAHATANI
A. Biaya, Pendapatan, dan Kelayakan Usaha
B. Contoh Kasus dan Perhitungan
DAFTAR PUSTAKA
PRAKATA

Seorang sarjana pertanian dituntut untuk menguasai ilmu manajemen dan ilmu ekonomi
terapan yang bisa dipakai sebagai alat analisis. Sebagai seorang manajer, sarjana pertanian
akan selalu dihadapkan pada berbagai permasahan, dia harus bisa membuat alternative dan
pada akhirnya harus bisa mengakmbil keputusan dengan berbagai pertimbangan ekonomi.
Oleh karena itu setiap mahasiswa pertanian selain dibekali ilmu teknik bercocok tanam
dengan segala aspeknya, juga dibekali ilmu usahatani untuk perencanaan dan pengambilan
keputusan.
Buku ini disusun dalam rangka membantu mahasiswa fakultas pertanian memahami
ilmu usahatani. Oleh karena itu, buku ini disusun dengan sangat sederhana, muda
dimengerti, dan dilengkapi dengan berbagai contoh yang praktis dan mudah dipahami.
Buku ini diterbitkan atas dorongan Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, M.Sc. Yang tidak bosan-
bosannya membangkitkan semangat penulis, Noviarina Purnami Putri yang selalu
menemani penulis di lantai empat dan membantu mengedit naskah. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Pada penerbitan yang pertama ini, walaupun sudah dengan hati-hati dan cermat,
penulis merasa masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, saran dan pendapat pada
pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan di waktu yang akan
datang.

Yogyakarta, Agustus 2006

Penulis
KATA PENGANTAR

Buku Ilmu Usahatani yang ditulis oleh saudara Ken Suratiyah ini merupakan buku yang
sangat berarti bagi berbagai pihak, baik bagi mahasiswa fakultas pertanian semua jurusan,
lebih-lebih jurusan sosial ekonomi pertanian, mahasiswa peternakan, perikanan, ekonomi
pembangunan, maupun orang yang tertarik untuk mengerti petani dan masalah
pembangunan pertanian. Ilmu Ekonomi Pertanian sendiri dimulai dari Ilmu Usahatani yang
mempelajari bagaimana petani mengambil keputusan tentang jenis usaha dan jumlah input
yang digunakan, yang akhirnya berkembang bukan hanya sampai penjualan, pembelian,
penawaran, melainkan sampai pada ekonomi sumberdaya pertanian, perdagangan
internasional, hasil pertanian, pembangunan, dan kebijakan pertanian.
Buku ini akan menambah bahan pustaka dalam Ilmu Usahatani di antara buku lain
yang jumlahnya tidak banyak, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Asing, yang
merupakan buku ajar (Text book). Dalam Bahasa Inggris biasanya disebut Farm
management, ada yang menerjemahkan dengan pengelolaan usahatani atau manajemen
usahatani. Sementara usahatani sebagai terjemahan dari farm, yaitu bidang bagian
permukaan bumi yang diusahakan manusia dengan tumbuhan dan hewan untuk dapat
menghasilkan produksi yang dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Ada beberapa konsep yang tidak selalu sama dengan ilmu ekonomi perusahaan pada
umumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya ciri khas usahatani sebagai unit usaha produksi
pertanian yaitu unit usaha produksi pertanian di dunia ini sebagai besar merupakan
usahatani keluarga (family farm) yang sangat bervariasi dalam hal luas lahan usaha,
teknologi, tingkat komersialisasi dan subsistensi, tingkat full-time farming dan part-time
farming dan bahkan tujuannya.
Umumnya di Asia, usahatani keluarga kecil-kecil, sedangkan di Eropa, Amerika,
Australia usahatani keluargaa sangat luas. Usahatani kecil di Negara kurang berkembang
sebagian masih bersifat subsisten atau semi subsisten dengan teknologi tradisional.
Meskipun dalam perkembangannya revolusi hijau memasukkan teknologi hemat lahan dan
menuju lebih komersial dengan kegiatan off-farm lebih banyak. Tujuan usahatani keluarga
kecil-kecil, subsisten, tradisional seiring dikatakan bukan memaksimumkan keuntungan
atau memaksimumkan pendapatan, melainkan meminimumkan risiko.
Di samping bentuk usahatani keluarga, ada unit usaha produksi pertanian yang
berbentuk perusahaan besar, usaha kelompok (group farming) dan hacienda dengan tuan
tanahnya. Bentuk ini jumlahnya di dunia tidak banyak. Perusahaan perkebunan
dimasukkan oleh penjajah Belanda ke Indonesia untuk investor Eropa. Bentuk ini sampai
sekarang masih ada tentu saja dengan tujuan lain, dan berkembang menjadi bentuk
kemitraan dengan usahatani keluarga. group farming bukan hanya monopoli Negara
sosialis dengan common-nya, melainkan juga ada di Negara lain dengan bentuk yang
berbeda, masih mengakui adanya hak milik petani perseorangan, seperti Kibutz di Israel,
Ejido di Mexico, kelompok tani, dan sebagainya.
Analisis pendapatan petani pada usahatani keluarga dengan tanpa memperhitungkan
biaya tenaga kerja keluarga dan biaya modal milik keluarga sering tidak mudah dimengerti
oleh pakar ekonomi. Memang hal ini hanya berlaku pada Negara yang belum berkembang
dengan kesembapatan kerha dan investasi di luar pertanian yang masih sangat terbatas
(opportunity cost sama dengan nol). Sementara di Negara maju, tenaga kerja keluarga dan
modal milik keluargaa tetap diperhitungkan sebagai biata dalam menghitung pendapatan
usahatani (farm income) kecuali tenaga petani dan istri.
Bagaimanapun juga saya sangat menghargai buku ini. Buku adalah karya yang
mulia, yang tidak dapat dinilai hanya dengan uang. Banyak dosen, bahkan professor yang
tidak pernah menerbitkan buku. Tentu saja, saya tetap mengharapkan buku ini bukan buku
terakhir dari sauadara Ken Suratiyah, akan masih ada buku-buku berikutnya yang
dihasilkan sebagai suimbangsih kepada dunia ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Yogyakarta, Agustus 2006

Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc.


Guru Besar Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
BAB 1
PENDAHULUAN

Tulisan-tulisan tentang pertanian sudah dikenal sebelum tahun Masehi. Penggalian


tanah di daerah Nippur dekat Bagdad yang dikerjakan pada tahun 1950 menemukan tulisan
yang memuat petunjuk-petunjuk tentaang pertanian di atas batu dalam huruf yang pertama
dikenal manusia dan diperkirakan berasal dari tahun 1700 Sebelum Masehi. Sebelumnya
juga telah dikenal beberapa penulis di bidang pertanian seperti Hesiodus (abad ke-8
Sebelum Masehi), Mago (abad ke-2 Sebelum Masehi), Virligius, serta beberapa penulis di
Zaman Romawi. Tulisan-tulisan ilmiah sehingga tiak satu pun dari mereka yang dapat
disebut sebagai Bapak ilmu pertanian. Baru dengan munculnya tulisan Von Der Golz yang
berjudul “Handbuch der Landwirtschaftlichenb Betriebslehre” tahun 1885-1912 dapat
dikatakan lahirlah ilmu pengelolaan usahatani.
Ilmu ekonomi pertanian dan ilmu pengelolaan usahatani terus berkembng di Jerman.
Perkembangan itu menjalar ke mana-mana, di antaranya ke Belanda. Di Belanda ilmu
tersebut dikembangkan oleh S. Koenen, seorang guru besar ilmu ekonomi pertanian pada
Perguruan Tinggi Pertanian di Wageningen. Pengetahuan usahatani di Indonesia sendiri
baru dimulai sesudah tahun 1911, yaitu dengan didirikannya Afdeeling Landbouw di
Departemen Landbow, Nijverheid dab Handel.
Pertanian sebagai sumber kehidupan manusia dapat dipelajari dari berbagai sudut
antara lain, sudut teknis, teknologis, biologis, sosiologism paedagogis, ekonomis, yuridis,
dan politis. Namun, ada kalanya hasil pembahasan dari berbagai macam sudut pandang
tersebut berlawanan satu sama lain, misalnya politik harga hasil bumi (beras) yang tinggi
lebih banyak mendatangkan keuntungan kepada produsen daripada konsumen, produksi,
kotor (bruto) yang tinggi lebih banyak menguntungkan masyarakat daripada produsen
(petani) sedangkan produsen lebih tergolong dengan hasil bersih (netto) yang tinggi. Ilmu
usahatani yang diuraikan di sini adalah suatu pengetahuan yang mempelajari aspek-aspek
ekonomi usaha pertanian dengan kaca mata seorang petani atau suatu badan (organisasi)
yang mengelola (Tohir, 1983).
A. Pengertian Pertanian
Sebagian orang mengartikan pertanian sebagai kegiatan manusia dalam membuka
lahan dan menanaminya dengan berbagai jenis tanaman yang termasuk tanaman
semusim maupun tanaman tahunan dan tanaman pangan maupun non-pangan serta
digunakan untuk memelihara ternak maupun ikan. Pengertian tersebut sangat sederhana
karena tidak dilengkapi dengan berbagai tujuan dan alasan mengapa lahan dibuka dan
diusahakan oleh manusia.
Apabila pertanian dianggap sebagai sumber kehidupan dan lapangan kerja maka
sebaiknya diperjelas arti pertanian itu sendiri. Pertanian dapat mengandung dua arti
yaitu (1) dalam arti sempit atau sehari-hari diartikan sebagai kegiatan bercocok tanam
dan (2) dalam arti luas diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut proses produksi
menghasilkan bahan-bahan kebutuhan manusia yang dapat berasal dari tumbuhan
maupun hewan yang disertai dengan usaha untuk memperbaharui, memperbanyak
(reproduksi) dan mempertimbangkan faktor ekonomis.
Pertanian tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada suatu
lahan tertentu, dalam hubungan tertentu antara manusia dengan lahannya yang disertai
berbagai pertimbangan tertentu pula. Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan manusia dalam melakukan pertanian disebut Ilmu
Usahatani.

B. Definisi Ilmu Usahatani


Ilmu usaha tani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan
dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai
modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan,
ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan,
mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi
seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan
semaksimal mungkin. Ada banyak definisi ilmu usahatani yang diberikan. Berikut ini
beberapa definisi menurut beberapa pakar.

1. Menurut Daniel
Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani
mengkombinasikan dan mengoperasikan berbagai faktor produksi seperti lahan,
tenaga, dan modal sebagai dasar bagaimana petani memilih jenis dan besarnya
cabang usahatani berupa tanaman atau ternak sehingga memberikan hasil maksimal
dan kontinyu.
2. Menurut Efferson
Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara
mengorganisasikan dan mengoperasikan unit usahatani dipandang dari sudut
egisiensi dan pendapatan yang kontinyu.
3. Menurut Vink (1984)
Ilmu usahatani merupakan ilmu terapan yang membahas atau mempelajari
norma-norma yang digunakan untuk mengatur usaha tani agar memperoleh
pendapatan yang setingginya.
4. Menurut Prawirokusumo (1990)
Ilmu usahatani merupakan ilmu terapan yng membahas atau mempelajari
bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu
usaha pertanian, peternakan, atau perikanan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada
usaha pertanian, peternakan, atau perikanan untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati oleh petani/peternakan tersebut.
Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan melalui
produksi pertanian yang terlebih maka diharapkan memperoleh pendapatan tinggi.
dengan demikian, harus dimulai dengan perencanaan untuk menentukan dan
mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi pada waktu yang akan
datang secara efisien sehingga dapat diperoleh pendapatan yang maksimal. Dari
definisi tersebut juga terlihat ada pertimbangan ekomis pertimbangan teknis.

C. Sejarah dan Perkembangan Usahatani


1. Sejarah Usahatani
Sejarah pertanian dimulai dari adanya pembagian tugas antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan menerima kodrat untuk melahirkan sekaligus bertugas
memelihara anak-anak, sedangkan laki-laki melakukan kegiatan berburu. Oleh
karena kodratnya dan tugasnya memelihara anak-anak yang dilahirkan maka
perempuan secara langsung menyediakan makanan. Kegiatan menyediakan
makanan dimulai dengan mengumpulkan berbagai tanaman, umbi-umbian, dan
memlihara ternak sehingga akhirnya mengenal berbagai jenis tanaman pangan yang
dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup. Kegiatan tersebut yang sekarang ini
dikenal dengan sistem bercocok tanaman (Suratiyah, 1983 : 18-19). Dalam sejarah
juga tercatat bahwa perempuan yang membuat berbagai alat untuk menunjang
kehidupan dan kesehatannya sendiri sehingga perempuanlah yang menciptakan
tikar, periuk, tembikar, serta menemukan berbagai tanaman obat dan meramunya
begitu juga dengan memintal serta untuk pakaian. Dengan demikian, perempuan
juga dinyatakan pembangun kultur pertama (Suratiyah, 1983 : 20).
Berdasarkan kegiatan perempuan tersebut maka terciptalah mata pencaharian
pertanian. Pada dasarnya mata pencaharian dalam masyarakat dapat digolongkan
dalam 5 tahap secara berurutan sebagai berikut :
a. Pengumpulan, yaitu kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan
mengumpulkan apa yang dihasilkan oleh alam berupa hasil hutan, binatang,
mineral dan laut, serta sungai. Pada taraf ini manusia belum berusaha untuk
meningkatkan kuantitas, hanya mengumpulkan sesuai dengan kebutuhan saja.
Tentu saja makin banyak jumlah anggota keluarganya makin banyak pula
jumlah yang harus dikumpulkan.
b. Pertanian, yaitu kegiatan manusia untuk mengembangbiakan (reproduction)
tumbuhan dan hewan dengan maksud agar lebih baik seperti tahan hama atau
penyakit. Dalam pertanian ada 2 sistem yaitu (1) sistem pertanian ladang
dengan faktor produksi utamanya hanya alam, selalu berpindah-pindah mencari
lahan subur dan (2) sistem pertanian menetap dengan faktor produksinya selain
alam mengikutsertakan modal dan tenaga. Pada sistem ke 2 ini sudah ada usaha
untuk menjaga dan mengembalikan kesuburan tanah dengan cara pemupukan,
pembuatan tanggul, terasering, dan pengolahan tanah yang baik.
c. Perindustrian, yaitu kegiatan manusia mengubah bentuk hasil pertanian
sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia dengan lebih baik. Kegiatan ini
ada beberapa tingkatan, dari yang sederhana yang dilakukan dengan tangan,
dengan mesin, serta yang semuanya serba otomatis. Berdasarkan skala
usahanya, dapat berupa industri kecil termasuk industri rumah tangga, industri
menengah, dan industri besar.
d. Perdagangan, yaitu kegiatan manusia untuk mengubah tempat, waktu, serta
pemilihan hasil pengumpulan, pertanian, dan perindustrian supaya hasil tersebut
lebih baik. kegiatan ini mempertemukan petani sebagai produsen dan pembeli
(konsumen) sehingga dalam kegiatan ini meliputi sortasi, penyimpanan,
pengangkutan, pengepakan, dan sebagainya.
e. Jasa-jasa lain, yaitu kegiatan-kegiatan manusia untuk memperlancar jalannya
kegiatan terdahulu.

2. Perkembangan Usahatani
Ilmu usahatani mulai dikembangkan di Amerika sekitar tahun 1987 oleh
I.P. Robert kemudian oleh Andrew Boss dan Hails pada tahun 1895.Gelpke pda
tahun 1875. Ia mempelajari usahatani untuk kepentingan pemungutan pajak yang
harus dibayar oleh petani. Kemudian dikembangkan oleh berbagai ahli disertai
dengan penelitian-penelitiannya.
Menurut Tohir (1983) berdasarkan tujuan dan prinsip sosial ekonomi,
perkembangan usahatani digolongkan dalam 3 golongan sebagai berikut :
a. Usahatani yang memiliki ciri-ciri ekonomis kapitalis misalnya perusahaan
pertanian/perkebunan di Indonesia yang berbadan hukum. Dalam hal ini
pengelolaan perusahaan terpisah dengan pengelolaan rumah tangga. Orientasi
usaha pada komoditas yang dipasarkan untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya.
b. Usahatani yang memiliki dasar ekonomis-sosialistis-komunitas, misalnya
Sovchos dan Kolchos yang ada di Rusia. Usahatani golongan ini menganggap
tenaga kerja manusia sebagai faktor yang terpenting, mampu memberikan nilai
lebih sehingga tenaga klerja dihargai dengan sangat istimewa. Tujuan utamanya
adalah memproduksi hasil bumi untuk keperluan masyarakat banyak dan diatur
secara sentral menurut rencana pemerintah.
c. Usahatani yang memiliki ciri-ciri ekonomis seperti yang diuraikan oleh A.
Tschajanov yaitu family farming yang berkembang dari subsistence farming
commercial farming.
Pada dasarnya usahatani berkembang terus dari awal hanya bertujuan
menghasilkan bahan pangan untuk kebutuhan keluarga sehingga hanya merupakan
usahatani-swasembada atau subsitence. Oleh karena sistem pengelolaan yang lebih
baik maka dihasilkan produk berlebih dan dapat dipasarkan sehingga bercorak
usahatani-swasembada keuangan. Pada akhirnya karena berorientasi pada pasar
maka menjadi usahatani-niaga.
Usahatani pada mulannya hanya mengelola tanaman pangan kemudian
berkembang meliputi berbagai komoditi sehingga bukan usahatani murni tetapi
menjadi usaha tani campuran (mixed farming).

D. Usahatani Keluarga dan Perusahaan Pertanian


Usahatani campuran (mixed farming) meliputi berbagai macam komoditas, antara
lain tanaman pangan, hortikultura (sayuran, buah-buahan, tanaman hias), tanaman
perkebunan, perikanan, dan peternakan.
1. Usaha yang bersifat tradisional, yaitu petani/peternakan kecil yang mempunyai 1-2
ekor ternak ruminansia besar, kecil bahkan ayam kampung. Usaha ini hanya
bersifat sambilan dan untuk saving saja.
2. Usaha backyard, yaitu petani/peternakan ayam ras, sapi perah, ikan. Tujuan usaha
selain memenuhi kebutuhan juga untuk dijual oleh karena itu memakai input
teknologi, manajemen, dan pakan yang rasional. Dalam perkembangannya
ditunjang dengan sistem PIR.
3. Usaha komersial, yaitu petani/peternakan yang telah benar-benar menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi, profit oriented, dan efisiensi. Usaha ini meliputi usaha
pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan dan lain-lain.

Secara garis besar ada dua bentuk usahatani yang telah dikenal yaitu usahatani
keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation, estate, enterprise).
Pada umumnya yang dimaksud dengan usahatani adalah usaha keluarga sedangkan
yang lain adalah perusahaan pertanian. Perbedaan pokok antara usahatani keluarga dan
perusahaan pertanian terletak pada 8 hal, yakni sebagai berikut :
1. Tujuan Akhir
Tujuan akhir usahatani keluarga adalah pendapatan keluarga petani (family
farm income) yang terdiri atas laba, upah tenaga keluarga dan bunga modal sendiri.
Pendapatan yang dimaksud adalah selisih antara nilai produksi dikurangi dengan
biaya yang betul-betul dikeluarkan oleh petani. Laba, upah tnaga keluarga, dan
bunga modal sendiri dianggap satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Sementara perusahaan pertanian tujuan akhirnya adalah keuntungan atau laba yang
sebesar-besarnya, yaitu selisih antara nilai hasil produksi dikurangi dengan biaya.

Tabel I.I Perbedaan Dalam Angka Antara Usahatani Keluarga dan Perusahaan Pertanian
Perusahaan
Subyek Usahatani
Pertanian
1. Luas usaha 1 ha 1 ha
2. Produksi 50 ku 50 ku
3. Nilai Produksi Rp. 6.250.000 Rp. 6.250.000
4. Biaya
a. Sarana produksi Rp. 500.000 Rp. 500.000
b. Sewa tanah Rp. - Rp. 1.000.000
c. PBB/pajak Rp. 150.000 Rp. -
d. Lain-lain Rp. 100.000 Rp. 100.000
e. Tenaga kerja 1.500 JKO Rp. - Rp. -
500 JKO tenaga keluarga Rp. - Rp. -
1.000 JKO tenaga luar Rp. 1.500.000 Rp. 2.250.000
Jumlah biaya Rp. 2.250.000 Rp. 3.850.000
5. Pendapatan petani Rp. 4.000.000 Rp. -
6. Keuntungan Rp. - Rp. 2.400.000
Catatan : 1) PBB/pajak di bayar pemilik tanah
2) Belum diperhitungkan bunga modal
Berdasarkan hal tersebut akibatnya petani tidak akan berhenti berusaha selama
pendapatan petani masih positif. Sebaliknya, perusahaan pertanian segera akan
tutup apabila harga hasil merosot. Sebagai contoh jika harga hasil Rp. 70.000/ku.
Dengan demikian, pendapatan petani adalah sebesar Rp. 3.500.000 – Rp. 2.250.000
= Rp. 1.250.000 dan perusahaan pertanian akan rugi sebesar Rp. 3.500.000 –
Rp. 3.850.000 = - Rp. 350.000.

2. Bentuk Hukum
Usahatani keluarga tidak berbadan hukum. Sedangkan perusahaan pertanian
pada umumnya mempunyai badan hukum, misalnya PT. Firma, dan CV.

3. Luas Usaha
Usahatani keluarga pada umumnya berlahan sempit yang biasanya disebut
petani gurem karena penggunaan lahan kurang dari 0,5 ha. Menurut sensus
pertanian tahun 2003 jumlah petani gurem di Jawa Tengah sebanyak 74,9%
sedangkan di Indonesia sebanyak 56,5%. Berikut contoh luas lahan yang dimiliki
para petani di daerah Bantul hasil penelitian Suratiyah (2003). Tercatat untuk
berbagai komoditas dengan luas lahan yang berbeda-beda. Rata-rata luas untuk
padi untuk padi sawah 0,36 ha, kedelai 0,11 ha, dan jagung seluas 0,21 ha.
Perusahaan pertanian pada umumnya berlahan luas karena orientasinya pada
efisiensi dan keuntungan.

4. Jumlah Modal
Usahatani keluarga mempunyai modal persatuan luas lebih kecil dibandingkan
dengan perusahaan pertanian.

5. Jumlah Tenaga Yang Dicurahkan


Jumlah tenaga yang dicurahkan persatuan luas usahatani keluarga lebih besar
daripada perusahaan pertanian.

6. Unsur Usahatani
Yang membedakan unsur usahatani keluarga dengan perusahaan pertanian
terletak pada tenaga luar yang dibayar. Pada usahatani keluarga melibatkan petani
dan keluarga serta tenaga luar, sedangkan perusahaan pertanian hanya tenaga luar
yang dibayar. Unsur lainnya tanah dan alam sekitarnya serta modal merupakan
unsur yang dimiliki, baik usahatani keluarga maupun pertanian.
7. Sifat Usaha
Usahatani keluarga pada umumnya bersifat subsistence, komersial, maupun
semi komersial (trasisi dari subsistence ke komersial). Sementara perusahaan
pertanian selalu bersifat komersial, artinya selalu mengejar keuntungan dengan
dengan memperhatikan kualitas maupun kuantitas produknya.

8. Pemanfaatan Terhadap Hasil-Hasil Pertanian


Perusahaan pertanian selalu berusaha untuk memanfaatkan hasil-hasil pertanian
yang mutakhir, bahkan tidak segan-segan membiayai penelitian demi kemajuan
usahanya. Perusahaan pertanian biasanya mempunyai bagian penelitian dan
pengembangan (Research and Development) yang berfungsi untuk mencari dan
menemukan terobosan-terobosan baru baik dari segi tehnik bercocok tanam,
pengolahan hasil, maupun pemasarannya. Sementara usahatani keluarga karena
keterbatasan modal, peralatan, dan human capital maka terobosan-terobosan baru
tergantung pada hasil penelitian dan pengembangan pemerintah melalui
Departemen Pertanian dengan Balai-Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
serta tenaga-tenaga penyuluh. Petani menerapkan hasil-hasil penelitian tersebut
setelah mengamati dan mengikuti demonstrasi plot (demplot) serta upaya-upaya
sosialisasi yang dilakukan pemerintah lainnya.

E. Klasifikasi Usahatani
Klasifikasi usahatani terjadi karena adanya perbedaan faktor fisik , ekonomis dan
faktor lain-lain. Faktor fisik antara lain iklim, topografi, ketinggian di atas permukaan
air laut, dan jenis tanah. Adanya faktor fisik menyebabkan adanya tempat-tempat
tertentu yang hanya mengusahakan tanaman tertentu pula karena pada dasarnya
masing-masing jenis tanaman selalu membutuhkan syarat-syarat yang tertentu pula.
Faktor ekonomis antara lain permintaan pasar, pembiayaan, modal yang tersedia, dan
risiko yang dihadapi, akan membatasi petani dalam berusahatani. Faktor lainnya antara
lain hama penyakit, sosiologis, pilihan pribadi, dan sebagainya akan menentukan dan
membatasi usahatani.
Ketiga faktor tersebut dalam prakteknya akan saling kait mengait sehingga
menghasilkan suatu hasil tertentu. Misalnya ada suatu daerah yang cocok untuk
komoditas tertentu berdasarkan faktor fisiknya dan berdasarkan faktor ekonominya
mempunyai harga pasaran yang bagus tinggi, namun petani tidak mau mengusahakan
komoditi tertentu tersebut. Di sini ada alasan-alasan yang bersifat sosiologis terhadap
suatu komoditas tersebut misalnya “tahu” jika menanam komoditas tersebut.
Hal-hal yang saling terkait ini menentukan jenis usahatani. Untuk meningkatkan
usahatani maka faktor-faktor yang menonjol atau berpengaruh perlu mendapat
perhatian. Hal ini agar upaya perbaikan yang dilakukan sesuai dengan target dan hasil
yang ingin dicapai.
Klasifikasi usahatani dapat dibedakan menurut corak dan sifat, organisasi, pola,
serta tipe usahatani.
1. Corak dan Sifat
Menurut corak dan sifat dibagi menjadi dua, yakni komersial dan subsistence.
usahatani komersial telah memperhatikan kualitas serta kuantitas produk sedangkan
usahatani subsistence hanya memenuhi kebutuhan sendiri.

2. Organisasi
Menurut organisasinya, usahatani dibagi menjadi 3 yakni, individual, kolektif
dan kooperatif.
a. Usaha individual ialah usahatani yang seluruh proses dikerjakan oleh petani
sendiri beserta keluarganya mulai dari perencanaan, mengolah tanah, hingga
pemasaran ditentukan sendiri.
b. Usaha kolektif ialah usahatani yang seluruh proses produksinya dikerjakan
bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam bentuk natura
maupun keuntungan. Contoh usaha kolektif yang pernah ada di Indonesia yaitu
Tebu Rakyat Intensifikasi (TKI).
c. Usaha kooperatif ialah usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara
individual, hanya pada beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan
oleh kelompok, misalnya pembelian saprodi, pemberantasan hama, pemasaran
hasil, dan pembuatan saluran. Contoh usahatani kooperatif yaitu PIR (Perkebun
Inti Rakyat). PIR merupakan bentuk kerjasama antara perkebunan rakyat
dengan perkebunan besar.

3. Pola
Menurut polanya, usahatani dibagi menjadi 3, yakni khusus, tidak khusus, dan
campuran.
a. Usahatani khusus ialah usahatani yang hanya mengusahakan satu cabang
usahatani saja, misalnya usahatani peternakan, dan usahatani tanaman pangan.
b. Usahatani tidak khusus ialah usahatani yang mengusahakan beberapa cabang
usaha bersama-sama, tetapi dengan batas yang tegas.
c. Usahatani campuran ialah usahatani yang mengusahakan beberapa cabang
secara bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang tegas, contohnya
tumpang sari dan mina padi.

4. Tipe
Menurut tipenya, usahatani dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan
komoditas yang diusahakan, misalnya usahatani ayam, usahatani kambing, dan
usahatani jagung. Tiap jenis ternak dan tanaman dapat merupakan tipe usahatani.
BAB 2
FAKTOR ALAM DALAM USAHATANI

Faktor-faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga, dan modal.
Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Sampai dengan tingkat
tertentu manusia telah berhasil mempengaruhi faktor alam. Namun demikian, pada batas
selebihnya faktor alam adalah penentu dan merupakan sesuatu yang harus diterima apa
adanya.
Yang termasuk faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor tanah dan
lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburan. Faktor alam
sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu, dan lainnya sebagainya.
Alam mempunyai berbagai sifat yang harus diketahui karena usaha pertanian adalah usaha
yang sangat pekat terhadap pengaruh alam.
A. Faktor Iklim
Iklim sangat menentukan komoditas yang akan diusahakan, baik tanaman maupun
ternak. Komoditas yang diusahakan harus cocok dengan iklim setempat agar
produktivitasnya tinggi dan memberikan manfaat yang lebih baik bagi manusia. Iklim
juga berpengaruh pada cara mengusahakan serta teknologi yang cocok dengan iklim
tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa iklim di Indonesia khususnya keadaan hujan
(air dan pengairan) mempunyai pengaruh pada jenis tanaman, teknik bercocok tanam,
kuantitas dan kualitas produk, pola pengiliran tanaman, jenis hama penyakit, dan
sebagainya (Tohir, 1982).

B. Faktor Tanah
Tanah sebagai faktor alam juga sangat menentukan. Ada tanah pasir yang sangat
porous, ada tanah kuarsa yang berbutir halus, tanah liat yang susah penggarapannya
pada waktu kering karena keras, ada tanah yang gembur dan subur sehingga sangat
menguntungkan. Pada tanah yang ringan tenaga kerja dapat dimanfaatkan secara lebih
baik. Sebaliknya, pada tanah yang berat, penggarapannya dapat dilakukan lebih berat
pula.

Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena tanah merupakan tempat
tumbuhnya tanaman, ternak, dan ushatani keseluruhannya. Tentu saja faktor tanag tidak
terlepas dari pengaruh alam sekitarnya yaitu sinar matahari, curah hujan, angin, dan
sebagainya.
Tanah mempunyai sifat istimewa antara lain bukan merupakan barang produksi,
tidak dapat diperbanyak, dan tidak dapat dipindah-pindah. Oleh karena itu, tanah dalam
usahatani mempunyai nilai terbesar. Peranan tanah sebagai faktor produksi dipengaruhi
oleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Hubungan tanah dan manusia
Hubungan tanah dan manusia dapat dibedakan dalam tiga tingkat dari yang
terkuat sampai yang terlemah yaitu hak milik, hak sewa dan hak bagi hasil (sakap).
Perbedaan hubungan tersebut akan berpengaruh pada kesenangan petani dalam
meningkatkan produksi, memperbaiki kesuburan tanah, dan intensifikasi.

2. Letak Tanah
Letak tanah usahatani pada umumnya tidak mengelompok dalam satu tempat,
tetapi terpencar dalam beberapa lokasi. Sebagai contoh, seorang petani dengan luas
garapan 1 ha terdiri atas 0,3 ha di sebelah barat desa, 0, 4 ha di sebelah timur desa,
0, 2 di selatan desa, dan 0,1 di utara desa. Keadaan seperti itu lazim disebut
fragmentasi. Fragmentasi biasanya akan menimbulkan persoalan-persoalan dalam
usahatani karena beberapa hal berikut :
a. Menimbulkan pemborosan waktu dan tenaga sehingga biaya produksi lebih
tinggi.
b. Menimbulkan kesulitan dalam pengawasan sehingga produksi tidak setinggi
pencapaian yang diharapkan. Luas mutlak yang dapat ditanami lebih kecil
karena banyaknya galengan.
c. Kemungkinan percekcokan antar petani lebih besar karena lebih banyak
tetangga lahannya.

Fragmentasi tersebut terjadi antara lain karena sistem jual beli tanag yang
hanya sebagian-sebagian saja, karena penjualan tanag bagi petani merupakan
alternatif terakhir. Selain itu, adalah sistem warisan, perkawinan, landreform, dan
kondolidasi. Demikian juga karena adanya proyek-proyek pembangunan sehingga
bagi tanah-tanah pertanian yang terkena proyek kemungkinan mendapat ganti di
tempat lain.

3. Intensifikasi
Semakin banyak modal dan tenaga yang dicurahkan pada tanah maka semakin
intensif. Dengan demikian, akan memberikan hasil yang tinggi pula. Intensifikasi
atau peningkatan produksi per kesatuan luas tanah dilakukan apabila lahan atau
tanah untuk usahatani sudah sangat sulit untuk diperluas, misalnya tanah-tanah
pertanian yang ada di Pulau Jawa.

4. Tingkat Kesuburan Tanah


Tanah yang subur, baik fisik maupun kimiawi, lebih menguntungkan dalam
usahatani. Kesuburan tanag secara fisik dan kimiawi dapat diperbaiki melalui
pengolahan yang baik, rotasi tanam yang tepat, pemupukan, pembuatan teras, dan
sebagainya.

5. Luas Lahan
Dipandang dari sudut efisiensi, semakin luas lahan yang diusahakan maka
semakin tinggi produksi dan pendapatan per kesatuan luasnya. Pengukuran luas
usahatani dapat diukur dengan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Luas total lahan adalah jumlah seluruh tanah yang ada dalam usahatani
termasuk sawah, tegal, pekarangan, jalan saluran, dan sebagainya.
b. Termasuk pertanahan adalah jumlah seluruh tanah yang dapat
ditanami/diusahakan.
c. Luas tanaman adalah jumlah luas tanaman yang ada pada suatu saat.

6. Lokasi Lahan
Lokasi lahan usahatani menentukan kelancaran pemasaran. Lokasi yang jauh
dari sarana dan prasarana transportasi dapat memperburuk usahatani tersebut dari
aspek ekonomi.

7. Fasilitas-Fasilitas
Keberadaan fasilitas-fasilitas lain berupa pengairan dan dranase sangat
membantu dalam pertumbuhan tanaman sehingga meningkatkan produkksi.

C. Kemajuan Teknologi Mengatasi Faktor Alam


Dengan kemajuan teknologi dan keuletan, keadaan tanah apapun dapat diatasi.
Beberapa contoh usahatani yang dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
yang ditemukan secara umum dapat menyediakan lahan-lahan yang mempunyai
kondisi ekstrim misalnya tanah pasiran, lahan gembur, dan pantai pasang surut menjadi
lahan-lahan pertanian yang subur untuk digunakan sebagai usahatani. Demikian juga
teknologi untuk menemukan jenis-jenis tanaman dengan karakteristik yang diinginkan
yang dapat ditanam di berbagai jenis tanah atau di berbagai iklim atau kondisi
lingkungan.
Berikut adalah beberapa contoh kasus keberhasilan usahatani dengan kemajuan
teknologi. Lahan pasiran pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul dan Kulon
Progo) telah berhasil dimanfaatkan untuk usahatani terpadu antara hortikultura dan
tenak yang prospeknya sangat bagus. Adanya beberapa jenis tanaman yang menajdi
metropolitan, artinya dimana pun dapat diusahakan dengan baik tanpa keterbatasan
faktor alam berupa iklim. Tanaman tersebut antara lain kubis, tembakau, dan jenis-jenis
hortikultura yang lain, dapat diusahakan di lahan pantai maupun di pegunungan
walaupun tetap dengan beberapa keterbatasan. Penanaman padi pasang surut telah
berkembang di daerah Kalimantan Selatan dan Sumatera, penanaman padi disesuaikan
dengan iarama naik turunnya air di sungai-sungai yang besar. Demikian pula usaha
pertanian di lahan gambut yang tingkat keasamannya sangat tinggi, telah dapat
dipecahkan dengan ditemukannya varietas yang toleran terhadap keasaman dan cara
bercocok tanam dibarengi dengan sistem garap tanah tertentu untuk mengurangi
keasaman.
BAB 3
TENAGA KERJA DALAM USAHATANI

Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usaha tani yang sangat
tergantung musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitasm dan kualitas produk.
Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usahatani keluarga (family farms),
khususnya tenaga kerja petani beserta anggota keluarganya. Rumah tangga tani yang
umumnya sangat terbatas kemampuannya dari segi modal, peranan tenaga kerja keluarga
sangat menentukan. Jika masih dapat diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga sendiri maka
tidak perlu mengupah tenaga luar, yang berarti menghemat biaya.
Baik pada usahatani keluarga maupun perusahaan pertanian peranan tenaga kerja
belum sepenuhnya dapat diatasi dengan teknologi yang menghemat tenaga (teknologi
mekanis). Hal ini dikarenakan selain mahal, juga ada hal-hal tertentu yang memang tenaga
kerja tidak dapat digantikan.
A. Karakteristik Tenaga Kerja Dalam Usahatani
Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan
tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja
bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut :
1. Keperluan akan tenaga dalam bidang usahatani tidak kontinyu dan tidak merata.
2. Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat berbatas.
3. Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan.
4. Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Karakteristik seperti yang dikemukakan oleh Tohir (1983) akan memerlukan
sistem-sistem manejerial tertentu yang harus dipahami sebagai usaha peningkatan
usahatani itu sendiri. Selama ini khususnya di Indonesia, sistem manajerial usahatani
bisanya masih sangat sederhana.

B. Peran Petani
Tenaga kerja usahatani keluarga bisanya terdiri atas petani beserta keluarga dan
tenaga luar yang kesemuanya berperan dalam usahatani.
Menurut Mosher (1968) petani berperan sebagai manajer, juru tani dan manusia
biasa yang hidup dalam masyarakat. Petani sebagai manajer akan berhadapan dengan
berbagai alternatif yang harus diputuskan mana yang harus dipilih untuk diusahakan.
Petani harus menentukan jenis tanaman atau ternak yang akan diusahakan, menentukan
cara-cara berproduksi, menentukan cara-cara pembelian sarana produksi, menghadapi
persoalan tentang biaya, mengusahakan permodalan, dan sebagainya. Untuk itu,
diperlukan keterampilan, pendidikan, dan pengalaman yang akan berpengaruh dalam
proses pengambilan keputusan.
Dalam kenyataannya, untuk memilih usaha yang akan dilakukan, terdapat
kompromi antara bapak dan ibu tani. Hal tersebut penting dalam penyuluhan. Jika ingin
yang disuluhkan dapat segera mengena maka pendekatannya adalah kepada keduanya,
yaitu bapak dan ibu taninya.
Petani sebagai juru tani harus dapat mengatur, melaksanakan, dan mengawasinya
kegiatan usahataninya, baik secara teknis maupun ekonomis. Di samping itu,
tersedianya sarana produksi dan peralatan akan menunjang keberhasilan petani sebagai
juru tani.
Petani sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam suatu ikatan keluarga akan
selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Di samping itu, petani juga harus
berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat atas diri dan keluarganya. Besar kecilnya
kebutuhan bantuan terhadap masyarakat sekelilingnya tergantung pada teknologi yang
digunakan dan sifat masyarakat setempat. Dalam praktiknya, peranan-peranan tersebut
saling kait mengait, tetapi paasti ada salah satu yang menonjol. sebagai contoh, pada
suatu daerah tidak terdapat jenis komoditas a, b, c, padahal sebetulnya sangat cocok
dengan iklim dan jenis daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peranan petani
sebagai manajer sangat lemah, tetapi peranan petani sebagai anggota masyarakatlah
yang menonjol.

C. Tenaga Kerja Keluarga Dan Luar Keluarga


Peranan anggota keluarga yang lain adalah sebagai tenaga kerja di samping juga
tenaga luar yang diupah. Banyak sedikitnya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam
usahatani berbeda-beda, tergantung jenis tanaman yang diusahakan. Banyak sedikitnya
tenaga luar yang dipergunakan tergantung pada dana yang tersedia untuk membiayai
tenaga luar tersebut.
Ada beberapa hal yang membedakan antara tenaga kerja keluarga dan tenaga luar
antara lain adalah komposisi menurut umur, jenis kelamin, kualitas dan kegiatan kerja
(prestasi kerja). Kegiatan kerja tenaga luar sangat dipengaruhi sistem upah, lamanya
waktu kerja, kehidupan sehari-hari, kecakapan, dan umur tenaga kerja.
1. Sistem Upah
Sistem upah dibedakan menjadi 3 yaitu upah borongan, upah waktu, dan upah
premi. Masing-masing sistem tersebut akan mempengaruhi prestasi seorang tenaga
luar.
a. Upah borongan adalah upah yang diberikan sesuai dengan perjanjian antara
pemberi kerja dengan pekerjaa tanpa memperhatikan lamanya waktu kerja.
Upah borongan ini cenderung membuat para pekerja untuk secepatnya
menyelesaikan pekerjaannya agar segera dapat mengerjakan pekerjaan
borongan lainnya. Contohnya borongan menggarap lahan sawah sebesar
Rp. 150.000 per petak sawah.
b. Upah waktu adalah upah yang diberikan berdasarkan lamanya waktu kerja.
Sistem upah waktu kerja ini cenderung membuat pekerja untuk memperlama
waktu kerja ini cenderung membuat pekerja untuk memperlama waktu kerja
dengan harapan mendapat upah yang semakin banyak. Contohnya, upah pekerja
untuk menggarap lahan sawan sebesar Rp. 25.000/HKO. Jika dia bekerja
selama lima hari maka upah yang diterima sebesar Rp. 125.000.
c. Upah premi adalah upah yang diberikan dengan memperhatikan produktivitas
dan prestasi pekerja. Sebagai contoh, dalam satu hari pekerja diharuskan
menyelesaikan 10 unit pekerjaan. Jika dia bisa menyelesaikan lebih dari 10 unit
maka dia akan mendapat upah tambahan. Sistem upah premi cenderung
meningkatkan produktivitas pekerja.

2. Lamanya Waktu Kerja


Lama waktu kerja seseorang dipengaruhi oleh seseorang tersebut. Seseorang
yang tidak dalam keadaan cacat atau sakit secara normal mempunyai kemampuan
untuk pekerja. Selain itu, juga dipengaruhi oleh keadaan iklim suatu tempat
tertentu. Misalnya wilayah tropis seperti Indonesia, untuk melakukan aktivitas
lapangan seperti petani tidak dapat bertahan lama karena cuaca yang panas.

3. Kehidupan Sehari-Hari
Kehidupan sehari-hari seorang tenaga kerja dapat dilihat pada keadaan
makanan/menu dan gizi, perumahan, kesehatan, serta keadaan lingkungannya. Jika
keadaannya jelek dan tidak memenuhi syarat maka akan berpengaruh negatif
terhadap kinerjanya.

4. Kecakapan
Kecakapan seseorang menentukan kinerja seseorang. Seseorang yang lebih
cakap tentu saja prestasinya lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang kurang
cakap. Kecakapan ditentukan oleh pendidikan, pengetahuan dan pengalaman.

5. Umur Tenaga Kerja


Umur seseorang menentukan prestasi kerja atau kinerja orang tersebut.
Semakin berat pekerjaan secara fisik maka semakin tua tenaga kerja akan semakin
turun pula prestasinya. Namun, dalam hal tanggung jawab semakin tua umur tenaga
kerja tidak akan berpengaruh karenaa justru semakin berpengalaman. Sementara
untuk tenaga kerja keluarga karena tidak diupah, tingginya prestasi kerja
dipengaruhi oleh yang paling utama yaitu besarnya kebutuhan keluarga di samping
faktor-faktor yang lain.
Menurut Tscajanov diacu dalam Hadisapuetro (1973) besarnya prestasi kerja
tenaga kerluarga dipengaruhi oleh perbandingan antara besarnya konsumen
(pemakai) dalam keluarga dengan tenaga kerja yang tersedia. Hal tersebut dapat
ditunjukkan dalam formula sebagai berikut :

K= K = Kegiatan / prestasi kerja


Jika semakin tinggi P (kebutuhan keluarga) dengan T (tenaga kerja) tetap maka
P = Konsumen / Pemakai
T =lebih
keluarga tersebut harus bekerja Tenaga kerja
lama (K naik). Dalam kenyataannya (seperti
terlihat dalam Tabel 3.1) dengan adanya tambahan tenaga kerja keluarga, jumlah
jam kerja yang dicurahkan untuk bekerja tenaga kerja keluarga, jumlah jam kerja
yang dicurahkan untuk bekerja justru menunjukkan penurunan (kolom 5).
Kecenderungan ini disebabkan.
Tabel 3.1 Hubungan Antara Jumlah Konsumen, Tenaga Kerja, Dengan Kegiatan
Kerja Keluarga Petani.

Lamanya
Umur Lamanya bekerja
No P T K bekerja
(th) (jam/hari/keluarga
(jam/hari/tenaga)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 0 2 2 1 3 6
2 3 3 2 1,50 4,5 9
3 6 4 2 2 6 12
4 9 5 2 2,50 7,5 15
5 12 6 2 3 9 18
6 15 7 2 3,50 10,5 21
7 18 7 3 2,30 7 21
8 21 7 4 1,75 5,25 21
9 24 7 5 1,40 4,2 21
10 27 7 6 1,16 3 21
11 30 7 7 1 3 21
Sumber : Tscajanov dalam Hadisapoetro (1973)

Keterangan : P = Pemakai/konsumen dalam suatu keluarga


T = Tenaga kerja dalam suatu keluarga
K = Kegiatan/prestasi kerja
Umur = Umur perkawinan suatu keluarga
K=
Keputusan keluarga untuk bekerja, ditentukan oleh besarnya kebutuhan keluarga
(kolom 6). Begitu jumlah kebutuhan terpenuhi (ekuivalen 21 jam/hari), meskipun
dalam keluarga terjadi pertambahan persediaan tenaga kerja (pada saat umur
perkawinan 15 tahun), jumlah tenaga per keluarga yang dicurahkan untuk bekerja,
besarnya tetap.
Dipandang dari segi kebijaksanaan maka dengan mendorong naik kebutuhan
keluarga diharapkan petani akan bersedia untuk bekerja lebih lama sehingga tidak
saja pendapatan keluarga kana meningkat tetapi juga produksi secara keseluruhan
akan naik.
Kebutuhan keluarga ekuivalen dengan 21 jam/hari/keluarga. Jika telah
terpenuhi maka lamanya kegiatan kerjaa akan menurun. Tambahan tenaga kerja
keluargaa seharusnya disalurkan untuk intensifikasi maupun kegiatan-kegiatan yang
tidak berkaitan dengan pertanian (off farm activities) bila lahan usahataninya
terbatas. dengan demikian, total pendapatan yang diperoleh keluarga akan lebih
tinggi dari pada keadaan semula. Pada kenyataan yang terjadi di Indonesia, para
petani tidak mempertahankan jam kerja per tenaga per hari padahal sebetulnya
mampu lebih dari itu. Dengan demikian maka timbul adanya pengangguran yang
tidak kentara (disqused unemployment).

D. Kebutuhan dan Distribusi Tenaga Kerja


Kebutuhan tenaga kerja dapat diketahui dengan cara menghitung setiap kegiatan
masing-masing komoditas yang diusahakan, kemudian dijumlah untuk seluruh
usahatani. Kebutuhan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja keluarga yang
tersedia dibandingkan dengan kebutuhannya. Berdasarkan perhitungan maka jika
terjadi kekurangan maka untuk memenuhinya dapat berasal dari tenaga luar
keluarganya.
Satuan yang sering dipakai dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja adalah man
days atau HKO (hari kerja orang) dan JKO (jam kerja orang). Pemakaian HKO ada
kelemahannya karena masing-masing daerah berlainan (1 HKO di daerah B belum
tentu sama dengan 1 HKO di daerah A) bila dihitung jam kerjanya. Sering kali
dijumpai upah borongan yang sulit dihitung, baik HKO maupun JKOnya.
Banyaknya tenaga kerja yang diperlukan untuk mengusahakan satu jenis
komoditas per satuan luas dinamakan Intensitas Tenaga Kerja. Intensitas Tenaga Kerja
tergantung pada tingkat teknologi yang digunakan tujuan dan sifat usahataninya,
topografi dan tanah, serta jenis komoditas yang diusahakan.

1. Tingkat Teknologi Yang Digunakan


Dengan penerapan teknologi biologis dan kemis, umumnya lebih banyak
dibutuhkan tenaga kerja untuk pemakaian bibit unggul disertai dengan pemupukan
dan pemberantasan hama penyakit. Sementara penerapan teknologi mekanis,
umumnya justru bisa menghemat tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pemakaian
mesin-mesin, traktor, dan sebagainya.
2. Tujuan dan Sifat Usahataninya
Untuk usahatani komersial yang sudah memperhatikan kualitas dan kuantitas
dari segi ekonomis, akan membutuhkan tenaga yang lebih banyak dari pada
usahatani subsitence.
3. Topografi dan Tanah
Pengolahan tanah pada daerah datar dengan jenis tanag ringan akan
memerlukan tenaga yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pengolahan tanah
di daerah miring dengan jenis tanah berat.
4. Jenis Komoditas yang diusahakan
Jenis komoditas yang menentukan jumlah tenaga kerja. Pada umumnya
tanaman semusim lebih banyak membutuhkan tenaga kerja daripada tanaman
tahunan.
Distribusi tenaga kerja per tahun dalam usahatani tidak merata karena sangat
tergantung pada musim. Terutama untuk tanaman padi, pada saat-saat tertentu,
misalnya saat pengolahan tanah dan pada saat tanam, dibutuhkan tenaga yang
sangat banyak sehingga sering kali tidak dapat diselesaikan sendiri oleh tenaga
kerja keluarga. Sebaliknya, pada waktu pemeliharaan hanya membutuhkan sedikit
tenaga kerja. Kadang kala tenaga keluarga tidak dibutuhkan lagi. Grafik distribusi
tenaga kerja terhadap volume kerja (kegiatan) dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Dari Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa pada saat-saat tertentu jumlah tenaga
kerja keluarga yang tersedia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan. Sebaliknya, di
lain waktu justru terjadi pengangguran, artinya tenaga kerja
I
Volume Kegiatan
II

Bulan
Keterangan : I dan II potensi tenaga keluarga

= pengangguran = kekurangan

Gambar 3.1. Distribusi tenaga kerja

keluarga yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya karena memang tidak
ada pekerjaan yang sepadan dalam usahataninya sehingga timbul pengangguran
musiman. Pengangguran musiman tersebut dapat diatasi antara lain dengan cara
sebagai berikut :
a. Cropping system. Sistem ini dapat meningkatkan intensitas penggunaan tanah
dan menyerap tenaga lebih banyak (dengan penumbuhan tanaman-tanaman
campuran, misalnya tumpang sari dan mina padi).
b. Menggunakan teknologi yang lebih banyak memerlukan tenaga (teknologi
kimiawi, teknologi biologis).
c. Diversifikasi vertikal, melaksanakan sendiri semua proses dari proses produksi,
pembrosesan hasil, dan pemasaran hasil.
d. Off-farm activities (buruh, padat karyaa, industri kecil, dan rumah tangga).
e. Transmigrasi yang terarah pada diversifikasi tanaman pangan. Jika tetap pada
pola tanam sebelum transmigrasi maka masalah lama akan muncul kembali.

5. Efisiense Tenaga Kerja


Efisiensi tenaga kerja atau sering disebut produktivitas tenaga kerja dapat
diukur dengan memperhatikan jumlah produksi, penerimaan perhari, dan luas lahan
atau luas usaha.
a. Memperhatikan produksi
Produktivitas dapat dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

Produktivitas =

Berikut adalah contoh-contoh penghitung produktivitas


1. Jumlah produksi : 40 ku/ha
Jumlah tenaga : 500 JKO/ha
Produktivitas =

2. Jumlah produksi 30 ku/ha


Jumlah tenaga 250 JKO dengan bantuan mesin/traktor

Produktivitas =

Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa dengan adanya


bantuan mesin (traktor) dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Selain itu,
tanpa memperhatikan alat apa yang dipergunakan tetapi yang dilihat hanya
jumlah tenaga kerja yang dicuraahkan dapat juga diperhitungkan hanya jam
tenaga kerja keluarga saja misalnya, dari 250 JKO tersebut terdiri atas 200
tenaga keluarga sendiri dan 50 JKO tenaga kerja luar maka dapat
diperhitungkan produktivitas tenaga kerja keluarga sebesar :

Produktivitas tenaga kerja keluargaa = = 15 kg/JKO

b. Memperhatikan penerimaan per hari kerja


Penerimaan per hari kerja dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

Penerimaan per hari kerja =

Contoh-contoh perhitungan penerimaan per hari kerja sebagai berikut :


1. Jumlah produksi = 30 ku/ha
Harga produk = Rp. 300.000/ku
Upah = Rp. 20.000/HKO
Jumlah tenaga = 200 HKO/ha

Penerimaan = = Rp. 45.000/HKO

2. Jumlah produksi 40 ku/ha


Harga produk = Rp. 300.000/ku
Upah = Rp. 20.000/HKO
Jumlah tenaga = 400 HKO/ha

Penerimaan = = Rp 30.000/HKO

Dari contoh tersebut, 1 lebih efisien dari 2. Namun, jika hanya dilihat dari
produksinya saja, 2 lebih tinggi.
c. Memperhatikan luas usaha/lahan
Efisiensi tenaga kerja dapat juga dihitung dengan formula sebagai berikut :

Efisiensi tenaga kerja =

Misalnya dalam 1 ha dicurahkan 1.080 HKO dalam waktu 1 tahun maka :

= 3 HKO/hari/ha

6. Efisiensi Teknis, Efisiensi Perusahaan, dan efisiensi kemanusiaan


Selain efisiensi tenaga kerja, efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi
perusahaan (business efficiency), dan efisiensi kemanusia (human efficience), juga
dapat diperhitungkan dengan cara membandingkan tambahan produksi yang akan
diperoleh akibat dari tambahan faktor produksi yang diberikan untuk
menghasilkan.
a. Efisiensi Teknis
Efisiensi teknis adalah mengukur besarnya produksi yang dapat dicapai atas
tingkat faktor produksi tertentu. Sebagai contoh, penggunaan pupuk urea di
lahan sawah dengan di lahan tegal (lahan kering) sebagai berikut.

1.

2.

Tambahan 1 ku pupuk urea di lahan sawah akan memberikan tambahan


produksi 10 ku padi, sedangkan di lahan tegal 5 ku padi. Dari angka tersebut
secara teknis, penggunaan pupuk urea lebih efisien pada lahan sawah dari pada
lahan tegal.
b. Efisiensi Perusahaan
Efisiensi perusahaan adalah mengukur besarnya nilai produksi yang dapat
dicapai atas nilai faktor tertentu. Sebagai contoh adalah penggunaan pupuk urea
46% N dan pupuk ZA 20% N. Jika untuk memberikan tambahan hasil 10 ku
padi di lahan sawah diperlukan 1 ku pupuk urea atau 2,25 ku pupuk ZA (atas
dasar kandungan N-nya). Harga pupuk urea Rp. 110.000/ku, pupuk ZA
Rp. 110.000/ku, dan harga padi Rp. 135.000/ku maka :
Dari segi perusahaan, pupuk urea lebih efisien karena setiap tambahan
Rp I akan diperoleh tambahan produksi Rp. 12, 27 sedang ZA hanya
memberikan tambahan sebesar Rp. 5,45 saja.

c. Efisiensi Kemanusiaan (human efficiency)


Efisiensi kemanusiaan sulit diukur karena tambahan produksi yang dicapai
diukur dengan kepuasan seseorang. Oleh karena itu, bisanya dijadi business
efficiency agar dapat diukur. Suatu faktor produksi dapat diukur dengan rupiah,
tetapi hasilnya sulit diukur karena merupakan kepuasan seseorang.
Di Jawa, faktor tanah merupakan pembatas. Oleh karena itu, orang selalu
berusaha seefisien mungkin dalam menggunakan tanah. Di daerah yang padat
penduduknya, peluang pekerjaan di luar usahatani terbatas dan upah buruh
rendah sehingga meskipun sudah efisien, tetapi pendapatan pertenaga kerja
tetap kecil. Keadaannya tentu akan berbeda hika di daerah yang tidak terbatas
dan upah buruh tinggi maka pendapatan per tenaga kerja menjadi tinggi.
Dengan demikian, penilaian efisiensi tenaga kerja perlu diperhatikan karena
kadang-kadang kita terjebak oleh keadaan tersebut. Petani cenderung
mengusahakan tanahnya secara ekstensifikasi, kemudian tenaga kerja keluarga
yang tersedia dicurahkan di luar usahataninya. Sebenarnya yang penting adalah
pendapatan kombinasi antara ekstensifikasi dalam usahatani dan kerja luar
usahatani lebih besar daripada jika hanya intensifikasi saja dalam usahataninya.
Berikut ini contoh perhitungan efisiensi suatu usahatani
- Tersedia 1.000 HKO tenaga keluarga
- Lahan 1 hektar
- Harga produksi = Rp. 1.350/kg
- Upah = Rp. 20.000/HKO
Perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 3.2
Tabel 3.2 Perhitungan Efisiensi
Luar
No Usahatani
Usahatani
1 800 HKO
@ Rp
20.000

2 400 HKO
@ Rp
20.000

3 0 HKO
@ Rp
20.000
Rata-rata = Rp 6.750/HKO

Dengan melihat contoh Tabel 3.2, jika kurang hati-hati maka akan mengatakan
keadaan 3 adalah yang terbaik karena 1.000 HKO dapat bekerja semua dalam
usahataninya tanpa adanya pengangguran dan produksinya tinggi. Hal ini betul jika
pekerjaan di luar usahatani tidak ada dan tidak ada kemungkinan lain lagi. Namun,
bila pekerjaan di luar usahatani baik maka akan terbalik, yaitu keadaan 1 adalah
yang terbaik dipandang dari sudut keluarga petani. Dipandang dari segi
peningkatan produksi, tetap keadaan 3 yang terbaik karena produksi 50 ku per ha
adalah yang tertinggi. yang dicari adalah keadaan ideal, yaitu dengan teknologi
baru, 2000 HKO tenaga kerja keluarga dapat mencapai 50 ku dan kelebihan tenaga
800 HKO dapat bekerja di luar usahatani sehingga pendapatan gabungannya akan
tinggi pula.
7. Curahan tenaga kerja
Dengan tenaga kerja pada usahatani sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yakni (1) faktor alam yang meliputi curah hujan, iklim, kesuburan, jenis tanah dan
topografi, (2) faktor jenis lahan yang meliputi sawah, tegal, dan pekarangan, serta
(3) luas, letak, dan penyebarannya. faktor-Faktor tersebut menyebabkan adanya
perbedaan kesibukan tenaga kerja, misalnya yang terjadi pada usahatani lahan
kering yang benar-benar hanya mengandalkan air hujan maka petani akan sangat
sibuk hanya pada musim hujan. Sebaliknya, pada musim kemarau akan mempunyai
waktu luang sangat banyak karena lahannya tidak dapat ditanami (lahannya bero).
Pada lahan sawah beririgasi, petani akan sibuk sepanjang tahun karena air bukan
merupakan kendala bagi usahataninya.
Dengan keadaan-keadaan tersebut maka petani harus dapat memanfaatkan
tenaga kerja keluarga sebaik-baiknya. Di saat sibuk petani mengutamakan tenaga
kerja keluarga sedangkan di saat yang lain petani harus dapat mencari peluang di
luar (off-farm activities) agar pendapatannya tetap terjaga. Di samping itu,
kebijakan pemerintah dalam aktivitas pertanian juga sangat menentukan curahan
tenaga kerja dalam usahatani. Suratiyah (1994) dari penelitiannya di DiY dan Bali
mengungkapkan bahwa saat tertentu dan kelebihan tenaga kerja atau terjadi
pengangguran pada saat yang lain. Khusus bagi tenaga kerja wanita maka kebijakan
tanam serempak menghilangkan kesempatan berburuh pada lahan tetangga, yang
berarti tidak ada pendapatan dari berburuh.
8. Arti Intensif dan Ekstensif
Menurut Tohir (1983) dalam usahatani sering ditemui istilah intensif dan
ekstensif yang tidak mudah untuk menentukan perbedaannya karena tiak memiliki
sifat yang mutlak. Usahatani dikatakan intensif jika banyak menggunakan tenaga
kerja dan atau modal per satuan luas. Kata “banyak” inilah yang sukar ditentukan.
Oleh karena itu, dapat dilihat dari tiap tanaman. Contoh usahatani intensif adalah
jika seseorang petani menggarap tanah sesuai dengan kebutuhan sampai siap untuk
ditanami jagung, menggunakan pupuk awal, bibit unggul, melakukan penyiangan
dan pemupukan periodic. Tiga setengah bulan kemudian, petani tersebut pan dan
diperoleh hasil 12 ku per satuan luas.
Suatu usahatani dikatakan ekstensif jika usahatani tersebut tidak banyak
menggunakan tenaga kerja dan atau modal per satuan luas. Sebagai contoh
usahatani ekstensif adlaah jika seseorang menggarap tanah ala kadarnya, lalu
menebar bibit, biji-bijian (jagung). Setelah itu, lahan dibiarkan saja. Tiga setengah
bulan kemudian, petani tersebut dayang untuk memanen dan diperoleh hasil 2 ku
per satuan luas.
Dari contoh tersebut jelas terlihat bahwa karena pengusahannya intensif, yaitu
dengan menggunakan tenaga dan modal yang lebih banyak maka diperoleh hasil
yang lebih banyak pula. dari segi penggunaan tenaga kerja dapat dipaparkan
beberapa contoh komoditas yang intensif atau yang ekstensif seperti pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Usahatani Ekstensif dan Usahatani Intensif


No Pengolahan Pemeliharaan Komoditas
Tanah Tanaman
1 Ekstensif Ekstensif Karet rakyat
2 Ekstensif Intensif Tembakau di lading
3 Intensif Ekstensif Kelapa di perusahaan
4 Intensif Intensif Tembakau di sawah
5 Intensif Intensif Padi di sawah
6 Intensif Intensif Hortikultura, bawang merah
Sumber : Tohir (1983) diolah

Pengertian intensif dan ekstensif tidak ada hubungannya dengan perluasan


lahan karena dengan memperluas lahan maka seseorang dapat mengusahakannya
secara intensif maupun ekstensif. Jika akan membicarakan penambahan areal atau
perluasan lahan maka istilah yang tepat adalah ekspanding. Usahatani di Indonesia
pada umumnya dari segi tenaga kerja bukan merupakan usahatani keluarga yang
murni, betapapun kecilnya usahatani tersebut, pasti menggunakan tenaga kerja luar
keluarga. Bahkan, kadang kala pada usahatani padi sawah penggunaan tenaga kerja
luar lebih besar dari tenaga kerja keluarga. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
waktu, misalnya pada kegiatan tanam, penyiangan, dan panen.
Suratiyah et al. (2003) dalam penelitiannya di Kabupaten Bantul memperoleh
data yang teradji dalam tabel 3.4

Tabel 3.4 Terata Proporsi Jumlah Curahan Tenaga Kerja di Kabupaten Bantul Tahun 2003.
Curahan Tenaga Kerja
No Usahatani
Keluarga (%) Luar Keluarga (%)
1 Kedelai 69,69 30,31
2 Padi sawah 43,09 56,91
3 Kacang tanah 59,18 40,82
4 Tumpangsari cabai merah dengan
48,80 51,20
bawang merah*)
5 Jagung 79,10, 20,89
6 Tembakau 77,21 22,79
7 Bawang merah*) 40,52 59,48
Catatan :*) sampai panen saja, pascapanen borongan, dan semuanya menggunaan
tenaga kerja luar

Penggunaan tenaga kerja luar akan menyangkut biaya upah. Pada kasus-kasus
petani tertentu yang sangat terbatas kemampuannya membayar tunai, tenaga kerja
luar biasanya diupah natura berupa sebagian hasil (bawon) atau upah tenaga.
Artinya, petani saling membalas kerja sesuai dengan perjanjian masing-masing.
Penggunaan tenaga kerja luar sangat tergantung pada luas usahatani
pendapatan keluarga petani (termasuk dari luar usahatani), dan jumlah tenaga kerja
dalam keluarga. Semakin luas usahatani, semakin besar pendapatan sehingga
semakin besar kemampuan petani untuk membayar tenaga luar, tetapi semakin
besar jumlah tenaga kerja keluarga semakin kecil penggunaan tenaga kerja
keluarga.

BAB 4
MODAL DAN PERALATAN DALAM USAHATANI

Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula dengan
usahatani. Menurut Vink, benda-benda (termasuk tanah) yang dapat mendatangkan
pendapatan dianggap sebagai modal. Namun, tidak demikian halnya dengan Koens yang
menganggap bahwa hanya uang tunai saja yang dianggap sebagai modal usahatani.
Penggolongan modal ini akan semakin rancu jika yang dibicarakan adalah usahatani
keluarga. Dalam usahatani keluarga cenderung memisahkan faktor tanag dari alat-alat
produksi yang lain. Hal ini dikarenakan belum ada pemisahan yang jelas antara modal
usaha dan modal pribadi. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam beberapa uraian berikut.
A. Pengertian Modal
Tanah sertaa alam sekitarnya dan tenaga kerja adalah faktor produksi asli,
sedangkan modal dan peralatan merupakan subtitusi faktor produksi tanah dan tenaga
kerja. Dengan modal dan peralatan maka penggunaan tanah dan tenaga kerja juga dapat
dihemat. Oleh karena itu, modal dapat dibagi menjadi dua, yaitu land saving capital
dan labour saving capital.
Modal dikatakan land saving capital jika dengan modal tersebut dapat menghemat
penggunaan lahan, tetapi produksi dapat dilipatgandakan tanpa harus memperluas
areal. Contohnya pemakaian pupuk, bibit unggul, pestisida, dan intensifikasi. Modal
dikatakan labour saving capital jika dengan modal tersebut dapat menghemat
penggunaan tenaga kerja. Contohnya pemakaian traktor untuk membajak, mesing
penggiling padi (Rice milling unit/RMU) untuk memproses padi menjadi beras,
pemakaian thresher untuk penggabahan, dan sebagainya.
Dalam arti ekonomi perusahaan, modal adalah barang ekonomi yang dapat
dipergunakan untuk memproduksi kembali atau modal adalah barang ekonomi yang
dapat dipergunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan pendapatan. Menurut
Tohir (1983) berdasarkan pengertian tersebut maka tanah bukan termasuk faktor
produksi modal, tetapi masuk dalam faktor alam yang memiliki nilai modal dengan
berbagai pertimbangan sebagai berikut.

1. Tanah adalah karunia alam, bukan benda yang diproduksi oleh manusia.
2. Tanah tidak mudah (tidak dapat) diperbanyak.
3. Tanah tidak dapat musnah atau dimusnahkan sehingga tidak ada penyusutan atas
tanah.
4. Tanah tidak dapat dipindah-pindahkan.
5. Tanah selalu terikat dengan iklim.
6. Tanah adalah sumber untuk memproduksi barang-barang ekonomi.
Pengertian tanah bukan modal atau modal sebenarnya lebih difokuskan pada
perhitungan biaya usahatani. Jika tanah dihitung sebagai modal maka bunga atas tanah
dimasukkan dalam perhitungan biaya usahatani. Namun demikian, dalam usahatani
keluarga, pengeluaran bunga tanag tidak kelihatan karena termasuk dalam pendapatan
usahatani. Bunga tanah baru kelihatan jika akan diperhitungkan secara ekonomis, yaitu
sebesar sewa tanah pada umumnya. Bunga tanah tersebut diperhitungkan jika ingin
mencari keuntungan usahatani, bukan pendapatan usahatani.

B. Pembagian Modal
Modal dapat dikelompokkan berdasarkan sifat, kegunaan, waktu, dan fungsi.
1. Sifat
Selain atas dasar sifatnya yaitu yang menghemat lahan (land saving capital)
dan menghemat tenaga kerja (labour saving capital), ada juga yang justru menyerap
tenaga kerja lebih banyak (misalnya jika menggunakan teknologi kimiawi, biologis,
panca usaha), tetapi dan pula yang mempertinggi efisiensi (misalnya mengcangkul
dan membajak jika menggunakan traktor biaya yang dikeluarkan Rp. 300.000,
sedangkan menggunakan tenaga manusia atau hewan biaya yang di keluarkan
Rp. 450.000).
2. Kegunaan
Atas dasar kegunaannya, modal dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu moal
aktif dan modal pasif. Modal aktif adalah modal yang secara langsung maupun
tidak langsung dapat meningkatkan produksi (misalnya pupuk dan bibit unggul,
sedangkan tidak langsung misalnya terasering). Modal pasif adalah modal yang
digunakan hanya untuk sekadar mempertahankan produk (misalnya penggunaan
bungkus, karung, kantung plastik, dan gudang).
3. Waktu
Atas dasar waktu pemberian manfaatnya, modal dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu modal produktif dan modal prospektif. Modal dikatakan produktif
jika langsung dapat meningkatkan produksi (misalnya pupuk dan bibit unggul).
Modal dikatakan prospektif jika dapat meningkatkan produksi, tetapi baru akan
dirasakan pada jangka waktu lama (misalnya investasi dan terasering).
4. Fungsi
Atas dasar fungsinya, modal dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu modal
tetap (fixed assets) dan modal tidak tetap atau modal lancar (current assets). Modal
tetap adalah modal yang dapat dipergunakan dalam berkali-kali proses produksi.
Modal tetap ada yang bergerak atau mudah dipindahkan, ada yang hidup maupun
mati (misalnya cangkul, sabit, ternak), sedangkan yang tidak dapat dipindahkan
juga ada yang hidup maupun mati (misalnya bangunan, tanaman keras). Modal
tidak tetap adalah modal yang hanya dapat digunakan dalam satu kali proses
produksi saja (misalnya pupuk dan bibit unggul untuk tanaman semusim).

C. Konsekuensi Modal dan Peralatan


1. Jenis Konsekuensi
Pembagian modal atas dasar fungsinya sangat penting sehubungan dengan
pembebanan modal dalam memperhitungkan biaya usahatani. Modal berdasarkan
fungsinya dibagi dalam modal tidak tetap dan modal tetap. Modal tidak tetap hanya
dipakai dalam satu kali proses produksi maka keseluruhan nilai modal tidak tetap
dibebankan dalam proses produksi yang bersangkutan. Sementara modal tetap perlu
diperhitungkan dahulu karena tidak semua nilai modal tetap dibebankan pada
proses produksi.
Penggunaan modal tetap pada umumnya menyangkut lima konsekensi biaya,
yaitu biaya bunga modal, penyusutan, asuransi pemeliharaan, dan komplementer.
Contoh jenis dan bentuk konsekuensi modal tetap dapat dilihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Konsekuensi Penggunaan Traktor Untuk Membajak Tanah Sawah


Subyek Jenis Bentuk
Penggunaan traktor untuk 1. Bunga modal 1. Sewa traktor
2. Penyusutan 2. Penyusutan
membajak tanah sawah
3. Asuransi 3. Asuransi
4. Pemeliharaan 4. Servis atau beli onderdil
5. Komplementer 5. BBM, honor operator

2. Cara Menghitung Penyusutan


Untuk memperhitungkan penyusunan pada dasarnya bertitik tolak pada harga
perolehan (cost) sampai dengan modal tersebut dapat memberikan manfaat. Ada
empat macam cara untuk memperhitungkan nilai penyusutan sebagai berikut.
a. Garis lurus (straight-line method)
Cost = Rp 100.000
Umur ekonomis = 5 tahun
Nilai sisa = Rp 5.000

Penyusutan per tahun =

= Rp 19.000/tahun

b. Unit performance
Cost = Rp 100.000
Performance = 6.000 jam
Nilai sisa = Rp 25.000

Penyusunan per jam =

= Rp 12, 50/jam
Dalam satu kali proses produksi misalnya 300 jam maka biaya penyusunan
pada proses produksi yang bersangkutan 300 x Rp 12,50 = Rp 3.750

c. Decresing (sum of the year degits)


Cost = Rp 100.000
Nilai sisa = Rp 25.000
Umur = 5 tahun
Jumlah digit = 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 15

Penyusutan :

Tahun 1 = x (Rp 100.000 – Rp 25.000) = Rp 25.000

Tahun 2 = x (Rp 100.000 – Rp 25.000) = Rp 20.000


Tahun 3 = x (Rp 100.000 – Rp 25.000) = Rp 15.000

Tahun 4 = x (Rp 100.000 – Rp 25.000) = Rp 10.000

Tahun 5 = x (Rp 100.000 – Rp 25.000) = Rp 5. 000 (+)

Jumlah = Rp 75.000

d. Declining Balance

Rumus : 1 -

C = cost
S = nilai sisa
n = umur
Cost = Rp 100.000
Nilai sisa = Rp 25.000
Umur = 5 tahun
Perhitungannya sebagai berikut.

1- x 100% = 24,2142 %

Penyusutan :
Tahun 1 = 24,2142% x Rp 100.000 = Rp 24.214
Tahun 2 = 24,2142% x Rp 100.000 – Rp. 24.214
= 24,2142% x Rp 75.7866 = Rp 18.351
Tahun 3 = 24,2142% x (Rp 75.786 – Rp 18.351)
= 24,2142% x Rp 57.435 = Rp 13.907
Tahun 4 = 24,2142% x (Rp 57.435 – Rp 13.907)
= 24,2142% x Rp 43.528 = Rp 10.540
Tahun 5 = 24,2142% x (Rp 43.528 – Rp 10.540)
= 24,2142% x Rp 32.988 = Rp 7.988 (+)
Jumlah = Rp 75.000

3. Alat-alat pertanian sebagai modal tetap


Berbagai alat-alat yang bisa digunakan dalam usahatani dapat merupakan
modal tetap. Alat-alat tersebut adalah traktor, bajak, cangkul termasuk di dalamnya
adalah ternak yang digunakan untuk menjalankan usahatani dan lain-lain.
a. Traktor, truk, dan lain-lain
Kelima konsekuensi penggunaan modal tetap diperhitungkan semuanya.
Komplementer diperhitungkan karena traktor tersebut dapat memberikan
manfaat jika ada pengemudi dan bahan bakarnya.
b. Bajak, sabit, cangkul dan lain-lain
Untuk alat-alat tersebut hanya diperhitungkan penyusutannya, biasanya
penyusutan oleh petani tidak disimpan dalam bentuk uangl tetapi dalam bentuk
ternak, berupa kambing atau ternak lain dengan maksud apabila bajak rusak dan
tidak dapat dimanfaatkan lagi, kambing tersebut dijual untuk membeli bajak
baru.
c. Ternak sapi
Dalam memperhitungkan ternak harus dipisahkan apakah ternak tersebut
sebagai tenaga kerja atau sebagai modal peternakan. Jika ternak sebagai tenaga
kerja, penyusutan tidak diperhitungkan karena pada dasarnya semakin besar
ternak semakin tinggi harganya karena adanya pertumbuhan. Dengan
demikian, yang perlu diperhitungan hanyalah bunga, pemeliharaan, dan
komplementer. Namun. Apabila ternak adalah ternak perah (diternakan) maka
perlu diperhitungkan pula penyusutan, komplementer, bunga, dan asuransi.
Penyusutan dapat diperhitungkan mulai dari saat sapi dibeli sampai beranak
yang pertama kali hingga sapi tua yang sudah tidak ekonomis lagi, yaitu seperti
berikut.

Penyusutan : = Rp/tahun

Oleh karena digunakan metode garis lurus sehingga diperoleh nilai tahunnya
sama.

4. Tanaman sebagai modal tetap


Sebelum dipungut hasilnya, tanaman semusim merupakan modal tetap tanaman
padi selama masih di lapangan merupakan modal tetap, tetapi jika dipanen maka
kehilangan sifatnya sebagai modal tetap. Dengan demikian sistem “ijon”
merupakan penjualan modal tetap.
Tanaman keras merupakan modal tetap karena nilainya terus-menerus ada
sampai dengan nilai ekonomisnya. Sebagai contoh, tanaman karet penyusutan
diperhitungkan dari biaya yang dikeluarkan untuk mengusahakan dari permulaan
biaya sampai dengan menghasilkan yang pertama kali. Contohnya sebagai berikut.
- Biaya bibit Rp 1.000.000
- Biaya pengolahan tanah Rp 10.000.000
- Pemeliharaan 6 tahun Rp 20.000.000
- Biaya lain-lain Rp 20.000.000 (+)
Jumlah Rp 51.000.000

Jumlah biaya sampai menghasilkan yang pertama kali ( 6 tahun) adalah

sebesar Rp 51.000.000.
Umur ekonomis karet = 25 tahun
Nilai sisa (kayu bakar) = Rp 1.000.000

Penyusutan per tahun = = Rp 2.000.000

Oleh karena menggunakan metode garis lurus maka akan diperoleh nilai yang
sama tiap tahunnya. Sementara biaya-biaya sesudah menghasilkan akan
diperhitungkan sebagai biaya operasional dan dibebankan pada masing-masing
proses produksi atau tahun yang bersangkutan.

5. Uang tunai sebagai modal


Uang tunai dipergunakan untuk membiayai pembelian sarana produksi,
pengeluaran-pengeluaran untuk pihak ketiga (pajak, selamatan), pengolahan tanah
dengan tenaga luar dan penggunaan modal tetap. Besar kecilnya kebutuhan uang
tunai sebagai modal tidak sama tetapi tergantung pada lingkungan usahatani. Suatu
daerah tertentu, pembayaran dengan uang tunai sebagai modal besar. Jadi, besar
kecilnya kebutuhan uang tunai sebagai modal sangat tergantung lingkungan serta
kebiasaan-kebiasaan yang ada di sekitar usahataninya.

6. Tanah sebagai modal tetap


Tanah tiak ada penyusutan karena pada prinsipnya tanah dapat dipergunakan
dalam jangka waktu yang tidak terbatas, tidak akan rusak jika dipelihara dengan
baik. Bahkan, jika pemeliharaannya baik, kesuburan tanah meningkat. Pada
umumnya tanah juga tidak diasuransikan, tetapi yang diasuransikan adalah
tanamannya. Demikian juga biaya komplementer tanah tidak ada. Pada umumnya
tanah, hanya ada biaya bunga dan pemeliharaan. Untuk memperhitungkan biaya
pemeliharaan tanah sulit karena tidak mudah membedakan pemeliharaan untuk
tanah atau untuk tanamannya. Ada perbedaan antara pemeliharaan tanaman dan
pemeliharaan tanah. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Perbedaan Pemeliharaan Tanah Dan Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan Tanah
1. Pemupukan 1. Pembuatan teras
2. Penyiapan 2. Pembuatan tanggul/tabukan
3. Selokan irigasi/drainasi 3. Meratakan tanah miring
4. pengolahan tanah -

7. Bangunan sebagai modal tetap


Pada umumnya biaya penyusutan, asuransi, bunga, dan pemeliharaan bangunan
diperhitungkan karena pada dasarnya bangunan memberikan manfaat pada jangka
waktu tertentu saja. Untuk memberikan manfaat perlu dipelihara dan dalam
hubungannya dengan risiko perlu diasuransikan, meskipun tidak semua bangunan
dapat diasuransikan.
BAB 5
MANAJEMEN SEBAGAI FAKTOR
PRODUKSI TIDAK LANGSUNG (INTAGIBLE)

Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga
kerja, modal, serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa pendapat yang memasukan
manajemen sebagai faktor produksi keempat walaupun tidak langsung. Manajemen
sebenarnya melekat pada tenaga kerja. Petani sebagai manajer atau peran petani sebagai
manajer meliputi empat aktivitas sebagai berikut.
1. Aktivitas teknis
a. Memutuskan akan memproduksi apa dan bagaimana caranya
b. Memanfaatkan lahan.
c. Membuat gambaran tentang teknologi dan peralatan yang akan digunakan serta
implikasinya pada penggunaan tenaga kerja.
d. Menentukan skala

2. Aktifitas komersial
a. Menghitung berapa dan apa saja input yang dibutuhkan baik yang telah dipunyai
maupun yang akan dicari.
b. Menentukan kapan, dari mana, dan berapa jumlah input yang diperoleh.
c. Meramalkan penggunaan input dan produksi yang akan diperoleh.
d. Menentukan pemasaran hasil, kepada siapa, dimana, kapan, dan kualitas produksi
atau hasil.
3. Aktivitas finansial
a. Mendapatkan dana dari sendiri, dari pinjaman kredit bank atau kredit yang lain.
b. Menggunakan dana untuk memperoleh pendapatan dan keuntungan (jangka
panjang).
c. Meramalkan kebutuhan dana untuk jangka panjang yang akan datang (investasi
untuk penggantian alat-alat atau perluasan usaha).

4. Aktivitas akuntansi
a. Membuat catatan tentang semua transaksi baik bisnis maupun pajak
b. Membuat laporan
c. Menyimpan data tentang usahanya.
Berdasarkan aktivitas tersebut, jelas petaani sebagai manajer dituntut mempunyai
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang memadai, agar dapat menyiapkan dan
memilih alternatif usaha yang terbaik.
Manajemen yang melekat pada tenaga kerja akan sangat menentukan bagaimana
kinerjanya dalam menjalankan usahatani. Dengan manajemen yang berbeda meskipun
segala input sama akan diperoleh hasil yang berbeda meskipun segala input sama akan
diperoleh hasil yang berbeda. Dengan kata lain, kebersihan usahatani sangat tergantung
pada upaya dan kemampuan manajer. Oleh karena manajemen adalah suatu seni (art) maka
sulit untuk mengkuantifikasi atau mengukurnya.
Orburn dkk. (1978) menyatakan bahwa manajemen terdiri atas tiga hal yang saling
berkaitan, yaitu manajemen sebagai prosedur. Jika manajemen sebagai suatu pekerjaan
maka petani harus dapat menjabarkan dan merealisasikan idea tau buah pikirannya dalam
mengelola usahataninya sehingga berhasil seperti yang dia inginkan. Untuk itu, petani
harus melalui semua fungsi-fungsi manajemen sebagai proses yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pengawasan, komunikasi, dan sebagainya. Dengan demikian, segala
kegiatan dalam usahataninya terarah pada satu tujuan yang paling menguntungkan bagi
petani.
Manajemen sebagai sumber daya juga sangat penting karena sangat menentukan
keberhasilan suatu usaha. Sebagai contoh, dua orang petani dengan luas lahan dan kondisi
yang sama, pada saat yang sama dapat diperoleh hasil yang berbeda. Hal ini karena
ditentukan oleh pengelolaan yang berbeda. Manajemen atau pengolaan yang baik dan
benar akan memberikan hasil yang lebih baik pula. Dengan demikian, manajemen dapat
dikatakan sebagai faktor produksi yang tidak kentara atau tidak dapat diperhitungkan
dengan pasti (the intangible part of production).
Jumlah produksi dan keberhasilan suatu usahatni tergantung pada siapa
pengelolanya. Seseorang dengan kreativitas tinggi akan lebih mampu mengelola usahatani
dengan baik. Dengan kata lain, manajemen sebagai sumber daya sangat dipengaruhi oleh
“Human capital” mengelola usahatani tersebut yang pada akhirnya akan menentukan
keberhasilan suatu usahatani.
Walaupun sangat sulit untuk diukur bahkan dikuantifikasikan, tetapi Orburn dkk.
(1978) berusaha menunjukkan bahwa masing-masing pengelola usahatani mempunyai seni
(art) dan pengetahuan serta keterampilan sendiri-sendiri dalam mengelola usahataninya.
Gambaran hasil perbedaan pengolahan oleh manajer terhadap output atau hasil dapat
dilihat pada Gambar 5.1. Gambar tersebut menunjukan bahwa kemampuan dalam
memikirkan permasalahan yang berbeda, pengambilan keputusan yang berbeda, dan
tindakan yang berbeda akan menghasilkan produksi yang berbeda pula, meskipun faktor
produksi yang lain sama. Hal ini jelas bahwa manajemen yang baik dan tepat mampu
meningkatkan produksi.

Produksi
(Rp)

Gambar 5.1. Perbedaan produksi akibat dari perbedaan pengelolaan (faktor produksi yang lain sama)

Pemahaman prosedur manajemen sangat penting bagi petani terutama dalam hal
pemecahan masalah. Petani sebagai manajer harus benar-benar menguasai masalah yang
timbul dalam usahataninya. Untuk mengetahui dan memecahkan masalah tersebut, ada
beberapa tahapan yang harus dilalui seorang petani sebagai manajer. Pertama, harus
benar-benar tahu apa akar permasalahannya dan bukan hanya gejala atau kenampakan
sesaat saja. Kedua, petani harus mengumpulkan data dan fakta yang ada. Ketiga petani
harus mampu mengevaluasi dan menemukan alternative pemecahan masalah. Keempat,
sebagai manajer, seorang petani harus mampu mengambil keputusan untuk bertindak
mengatasi permasalahan yang timbul tersebut.
Kebersihan usahatani dimulai dari awal yaitu penentuan tujuan dan harapan yang
diinginkan karena segala kegiatan harus mengarah pada tujuan-tujuan tersebut. Namun
demikian, sering kali petani karena kesibukannya tidak menganggap penting penentuan
tujuan. Mereka Menganggap mengelola usahatani adalah kewajiban dan pekerjaan
sehari-hari yang dari dulu hingga saat ini hanya begitu-begitu saja, berubah dan tanpa
tujuan yang pasti. Dengan demikian, untuk mengukur keberhasilan di kemudian hari akan
mengalami kesulitan. Padahal, jika tujuannya jelas maka dapat mengarahkan dan
mengambil keputusan dengan segala kegiatan usahataninya.
Di samping tidak jelas tujuannya, pada umumnya petani tidak menguasai
permasalahan atau kondisi yang dia hadapi sehingga merasa kebingungan jika terjadai
perubahan kondisi. Sebagai akibatnya, petani tidak dapat meraih atau menangkap peluang
yang ada. Kemampuan mendeteksi permasalahan utama yang harus diperhatikan utama
yang harus diperhatikan terlebih dahulu dan mana permasalahan sampingan, masih sangat
rendah. Keadaan ini sangat berhubungan dengan managerial skills atau human capitals
yang rendah sehingga sering kali petani dikatakan ketinggalan. Dengan kata lain, untuk
meraih keberhasilan usahatani sangat ditentukan oleh pengambilan keputusan yang
berdasar pada tujuan-tujuan usahatani, permasalahan serta kondisi yang jelas, fakta dan
data yang aktual, serta analisis yang tepat dan akurat. Kemampuan, pengetahuan
keterampilan, dan pengalaman petani yang memadai sangat diperlukan dan sangat
menentukan kebersihan usahataninya.
BAB 6
PRINSIP EKONOMI DAN APLIKASINYA

Menurut Mosher (1968) petani bertindak sebagai manajer juru tani dan anggota
masyarakat biasa. Petani dihadapkan pada beberapa alternatif, harus memutuskan alternatif
yang akan dipilih, melaksanakan pilihannya, dan bertanggung jawab terhadap hasil yang
diperoleh.
Untuk membantu membuat keputusan yang tepat, petani petani dapat melakukannya
dengan berbagai cara. Misalnya sebagai berikut :
1. Secara intuisi yaitu berdasarkan pada keyakinan dan perasaan sendiri.
2. Secara memohon bantuan kepada kekuatan gaib. Contohnya bila kesulitan air, akan
sebahyang meminta hujan.
3. Secara memohon bantuan kekuatan duniawi. Contohnya memohon bantuan kepada
dukun.
4. Secara akal sehat yaitu berdasarkan diri pada pengetahuan dan kemampuan sendiri
yang menurut pendapatnya merupakan keputusan yang paling tepat tanpa
mendengarkan pendapat orang lain.
5. Secara logika murni, yaitu dengan kemampuan sendiri membuat beberapa alternatif,
lalu menimbang-nimbang dan akhirnya mengambil satu yang paling tepat dan sesuai.
6. Secara metode ilmiah, yaitu menurut prosedur dan sistematis seperti berikut :
a. Mencari hakekat masalahnya.
b. Mengumpulkan data dan fakta yang relevan.
c. Mengolah dan menganalisis.
d. Menemukan cara pemecahan yang terbaik.
e. Menentukan cara pemecahan yang terbaik.
f. Memperoleh hipotesis, dicoba, dievaluasi, kemudian diputuskan apakah cara
pemecahan tersebut dapat dilaksanakan atau tidak.

Kesulitan-kesulitan dalam mengambil keputusan dikarenakan beberapa hal seperti


berikut :
1. Kurang pengetahuan mengenai perubahan harga baik harga faktor produksi maupun
produksinya.
2. Kurang pengetahuan mengenai teknologi mutakhir, misalnya dosis, cara pemberian,
dan kapan harus dilaksanakan.
3. Kurang pengetahuan mengenai pemasaran misalnya waktu, cara penjualan, di mana
harus dijual grading, dan angkutan.
4. Kurang pengetahuan mengenai :
a. Pembiayaan : jangka pendek atau operasional, seperti adanya kredit KUT (Kredit
Usaha Tani).
b. Jangka panjang, misalnya bagaimana mencari bantuan untuk peremajaan tanaman
keras, kurang pengetahuan mengenai pengelolaan hasil dan pendapatan, serta
5. Kurang pengetahuan mengenai :
a. Factor-product relationship
b. Factor-factor relationship
c. Product-factor relationship
d. Time relationship

Petani harus selalu mencari informasi yang bersifat teknis maupun ekonomis supaya
petani dapat memanfaatkan segala kesempatan yang ada. Di samping bimbingan yang
diarahkan agar alternatif-alternatif yang dipilih secara teknis dapat dilaksanakan dan secara
ekonomis paling menguntungkan.
A. Prinsip Ekonomi
Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan
faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil akan diperoleh. Hal ini disebut dengan
hubungan antara input dengan output. Di samping itu dalam menghasilkan suatu
produk dapat pula dipengaruhi oleh produk yang lain, bahkan untuk menghasilkan
produk tertentu dapat digunakan input yang satu maupun input yang lain.
Pengetahuan tentang ilmu ekonomi dapat memberikan dasar untuk perencanaan
usahatani dan pemilihan alternatif usaha. Konsep marjinalitas dapat menjelaskan
besarnya perubahan akibat perubahan satu satuan faktor tertentu sehingga konsep ini
banyak digunakan. Prinsip-prinsip ekonomi tersebut dapat diterapkan secara luas sebab
dapat menjelaskan hubungan-hubungan (relationship) yang dapat menyelesaikan
masalah mengenai berbagai upaya perbaikan usahatani dan profitabilitas.

B. Faktor-Product Relationship
Factor-product relationship menerangkan hubungan antara produksi dan satu
faktor produksi variabel yang disebut sebagai fungsi produksi. Gambar 6.1
menggambarkan fungsi produksi hubungan antara satu output dan satu input. Dari
fungsi ini dapat digambarkan pula marginal product (MP) dan Average product (AP).
Yang disebut MP adalah tambahan produksi per satuan tambahan input, sedangkan AP
adalah produksi persatuan input.

Gambar 6.1 Hubungan antara faktor produksi x dengan jumlah produksi y

Elastisitas produksi adalah perbandingan perubahan produksi dan perubahan input


secara relatif :

∑p = = =

Fungsi produksi ini biasanya dibagi dalam tiga tahap atau tiga daerah yaitu daerah
I (stage I) di sebelah kiri titik AP maximum, daerah II (stage II) antara AP maximum
dan MP=0, dan III di sebelah kanan MP = 0 (MP > 0). Daerah I dan III disebut daerah
tidak rasional, karena hanya manajer (petani) yang tidak rasional akan beroperasi pada
tingkat ini.
Hubungan antara suatu faktor produksi (variabel) dengan produksi yang
dihasilkan dapat berbentuk :
1. Kenaikan produksi (output) tetap (constant returns), Jika penambahan satu satuan
faktor produksi (input) menyebabkan kenaikan hasil yang tetap.
2. Kenaikan output bertambah (increasing returns), jika penambahan satu satuan input
menyebabkan kenaikan hasil yang senantiasa bertambah.
3. Kenaikan output berkurang (decreasing), jika penambahan satu satuan input
menyebabkan kenaikan hasil yang senantiasa berkurang.
4. Kombinasi dari kenaikan output bertambah dan kenaikan input berkurang.
Pada umumnya dalam proses produksi pertanian, hubungan antara faktor produksi
(input) dengan produksi (output) mempunyai bentuk kombinasi antara kenaikan hasil
bertambah dan kenaikan hasil berkurang. Mula-mula mengikuti bentuk kenaikan hasil
bertambah kemudian mengikuti bentuk kenaikan hasil berkurang atau mengikuti “the
law of diminishing return”. Oleh karena itu, pada umumnya kalau kita menambah satu
macam faktor produksi terus menerus hasil akan naik tetapi kenaikannya makin lama
makin kecil.
Untuk mengetahui berapa tingkat penggunaan suatu faktor produksi optimal yang
sebaiknya dilaksanakan petani diperlukan penelitian dan percoban yang bersifat teknis
kemudian dianalisis secara ekonomis dengan tujuan titik optimum. Tidak optimum atau
titik rentabilitas adalah suatu keadaan yang memberikan keuntungan tertinggi. Titik
tersebut dicapai pada saat produk marjinal sama dengan perbandingan harga faktor
produksi.
Produk marjinal adalah tambahan hasil per satuan tambahan faktor produksi. Nilai
hasil marjinal adalah tambahan penerimaan per satuan tambahan faktor produksi.
Berikut adalah contoh menghitung titik optimum.

1. Contoh antara y (produksi) dan x (faktor produksi)


diketahui : harga y (py) = Rp 10.000/unit
harga x (px) = Rp 7.000/unit
Maka titik optimum pemakaian faktor produksi x adalah sekitar 3,5-4 unit
2. Berdasarkan data berikut.
X Y x y Nilai y/x
y/x
(unit) (unit) (unit) (unit) (Rp)
0 20
0,5 30 0,5 10 20 200.000
1 35 0,5 5 10 100.000
1,5 38 0,5 3 6 60.000
2 40 0,5 2 4 40.000
2,5 41 0,5 1 2 20.000
3 41,7 0,5 0,7 1,4 14.000
3,5 42,2 0,5 0,5 1 10.000
4 42,5 0,5 0,3 0,6 6.000
4,5 42,7 0,5 0,2 0,4 4.000
5 42,8 0,5 0,1 0,2 2.000
titik optimum :

y/x = = = 0,7

Nilai y/x = Px = Rp = Rp 7.000

3. Hubungan antara y (hasil) dan x (faktor produksi)


Diketahui : Py = Rp 25/unit; Px = Rp 200/unit
Titik optimum dicapai pada saat pemakaian faktor produksi x sekitar 2,5-3 unit.
4. Berdasarkan data berikut.
Tabel 6.2. Hubungan Faktor Produksi (X) Dengan Produksi (Y)
X Y x y Nilai y/x
y/x
(unit) (unit) (unit) (unit) (Rp)
0 0
0,5 11 0,5 11 22 5500
1 24 0,5 13 26 650
1,5 38 0,5 14 28 700
2 49 0,5 11 22 550
2,5 58 0,5 9 18 450
3 61 0,5 3 6 150
3,5 59 0,5 -2 -4 -100
4 55 0,5 -1 -8 -200
titik optimum :

y/x = = =8

Nilai y/x = harga x Rp = Rp 200


Titik optimum akan berubah jika ada perubahan harga, baik harga faktor
produksi maupun harga produknya.
Sebagai contoh :
I II
py = Rp 5.000/kg Py = Rp 5.000/kg
px = Rp 80/kg Px = Rp 160/kg

Maka pada keadaan I titik optimum pada saat pemakaian x ± 200 kg/hektar.
Sementara keadaan II setelah ada perubahan harga x, titik optimum dicapai pada
saat pemakaian x ± 150 kg/hektar.

5. Berdasarkan data berikut.


Tabel 6.3 Hubungan Faktor Produksi (X) Dengan Produksi (Y)
X Y x y Nilai y/x
y/x
(unit) (unit) (unit) (unit) (Rp)
0 30
50 35 50 5 0,1 500
100 38 50 3 0,06 300
150 40 50 2 0,04 200
200 41 50 1 0,02 100
250 41 50 0 0 0
300 40 50 -1 -0,02 -100
350 38 50 -2 -0,04 -200

I. Titik optimum :

y/x = = = 0,016

Nilai y/x = harga x Rp = Rp 80


II. Titik optimum :

y/x = = = 0,032

Nilai y/x = harga x = Rp 160

Dari contoh tersebut jelas bahwa apabila harga x naik sedangkan harga hasil y
tetap, maka pemakaian x sebaiknya dikurangi agar diperoleh keuntungan yang tertinggi
walaupun produksinya tidak tertinggi. Dari contoh tersebut juga dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang perlu dikejar adalah keuntungan maksimum bukan produksi
maksimum.

C. Factor-Factor Relationship
Hubungan faktor-faktor (factor-factor relationship) adalah hubungan antara faktor
produksi yang satu dengan faktor produksi yang lainnya. Untuk memperoleh suatu
produksi petani dapat menggunakan bermacam-macam faktor produksi dalam berbagai
kombinasinya. Dari berbagai kombinasi tersebut harus dipilih kombinasi yang akan
memberikan keuntungan tertinggi.
Hubungan antara faktor produksi satu dengan yang lainnya bila ditinjauh dari segi
daya subtitusinya dapat dibagi menjadi tiga golongan, yakni :
1. Hubungan dengan daya subtitusi tetap, yakni bila penambahan faktor produksi
yang satu akan menyebabkan pengurangan faktor produksi yang lain dalam jumlah
yang tetap dan jumlah produk yang dihasilkan tidak berubah.
2. Hubungan komplementer, yaitu apabila pemakaian faktor produksi yang satu
lebih besar dari seharusnya tidak akan mempengaruhi produk yang dihasilkan.
3. Hubungan dengan daya subtitusi berkurang, yakni bila salah satu faktor
produksi dapat mensubtitusi faktor produksi yang lainnya, tetapi jumlah yang dapat
disubtitusi tersebut semakin lama menjadi semakin kecil.
Hubungan antara satu macam output dengan banyak input digambarkan dengan
isoquant (Gambar 6.2) yang merupakan garis untuk tingkat produksi tertentu pada
berbagai kombinasi input x1 dan x2. Besarnya sudut kemiringan isoquant
menggambarkan besarnya daya subtitusi x1 terhadap x2 untuk memproduksi tingkat
produksi yang sama disebut Marginal Rate of technical substitution (MRTS).

Gambar 6.2. Kurva Isoquant

Titik optimum tercapai apabila MRTS ini sama dengan perbandingan harga faktor
produksi.

MRTS = =

Sebagai contoh adalah antara tenaga ternak dan traktor dalam pengolahan tanah.
Dengan produk yang telah tertentu petani harus memiliki kombinasi pemakaian faktor
produksi yang akan memberikan keuntungan tertinggi kombinasi optimum tersebut
dicapai bila :
x2. Px2 = x1.Px1
x2 = daya subtitusi x1 terhadap x2
x1

= = perbandingan harga x1 terhadap harga x2

Contoh Kasus :
Untuk memperoleh y sebesar 20 unit digunakan faktor produksi x1 dan x2 dalam
berbagai kombinasi. Bila diketahui harga x1 = Px1 = Rp 100/unit dan harga x2 = Px2
= Rp 400/unit, pada saat pemakaian x1 dan x2 berapa dicapai kombinasi optimum?
Yaitu pada pemakaian :
x1 antara 75 – 100 unit
x2 antara 67 – 62 unit

Tabel 6.4 Hubungan Faktor Produksi (X1) Dengan Faktor Produksi (X2)
x1 x1 x2 x2 Y
x2/x1
(unit) (unit) (unit) (unit) (unit)
0 100
25 25 85 15 0,6 20
50 25 75 10 0,4 20
75 25 67 8 0,32 20
100 25 62 5 0,2 20
125 25 59 3 0,12 20
150 25 58 1 0,04 20
Pada umumnya faktor-faktor produksi yang harganya tinggi akan memberikan
hasil yang tinggi dan sebaliknya yang harganya rendah akan memberikan hasil yang
rendah pula. Masalahnya bagaimana kalau faktor produksi yang bermutu tinggi
tersebut harganya naik sehingga sulit dijangkau oleh petani. Apakah dapat dibenarkan
jika diganti dengan faktor produksi lainnya, walaupun tidak setinggi faktor produksi
semula? Yang perlu di ingat adalah hukum subtitusi bahwa “subtitusi harus dihentikan
pada saat kerugian teknis akibat barang subtitusi tersebut menghilangkan keuntungan
yang diperoleh karena harganya yang lebih rendah”, jadi pertimbangannya juga
ekonomis.
Sebagai contoh :
1. Makanan ayam jenis A kualitasnya tinggi, jika diberikan akan menyebabkan
pertumbuhan yang baik, jumlah telur yang dihasilkan 25 butir per bulan per ayam.
2. Makanan ayam jenis B kualitasnya rendahnya jika diberikan pada ayam akan
memberikan telur 12 butir per bulan per ayam
Jika makanan jenis A naik harganya dari Rp 7.500/ayam/bulan menjadi Rp
10.000/ayam/bulan dan makanan jenis B harganya Rp 5.000/ayam/bulan, tindakan apa
yang harus dilakukan petani agar keuntungan maksimum? Dari beberapa kombinasi
yang ada, ternyata kombinasi ½ A + ½ B yang paling baik, memberikan keuntungan Rp
3.000/ayam/bulan. Jika dilihat memang ada penurunan biaya per ayam per bulan. Yang
perlu diperhatikan adalah selama pengurangan pendapatan lebih kecil dari pada
pengurangan biaya maka subtitusi masih dapat dilakukan.
Data tersaji sebagai berikut :

Tabel 6.5 Kombinasi Faktor Produksi A Dengan Faktor Produksi B


Hasil Telur Per Pendapatan
Kombinasi Biaya Per Keuntungan
Ayam Per Bulan Kotor Per
Faktor Ayam Per Per Ayam
Ayam Per
Produksi Bulan Butir Nilai Per Bulan
Bulan
A Rp 7.500 25 Rp 12.500 Rp 12.500 Rp 5.000
A Rp 10.000 25 Rp 12.500 Rp 12.500 Rp 2.500
¾A+ ¼ B Rp 8.750 23 Rp 11.500 Rp 11.500 Rp 2.700
½A+ ½ B Rp 7.500 21 Rp 10.500 Rp 10.500 Rp 3.000
¼A+ ¾ B Rp 6.250 17 Rp 8.500 Rp 8.500 Rp 2.250
B Rp 5.000 12 Rp 6.000 Rp 6.000 Rp 1.000

D. Product-Product Relationship
Product-product relationship adalah hubungan antara produksi yang satu dengan
produksi yang lainnya. Dalam praktiknya suatu usaha sering menghasilkan lebih dari
satu macam produk, sebagai contoh usaha peternakan menghasilkan daging dan susu,
pertanian menghasilkan padi, jagung, kacang tanah, dan sebagainya. Faktor produksi
yang dipergunakan untuk menghasilkan produksi-produksi tersebut antara lain modal.
Sebagai contoh, sebagian digunakan untuk produksi daging, sebagian lainnya untuk
produksi susu atau mentega, demikian juga tanah dan tenaga kerja.
Jika faktor produksi yang sama dipergunakan untuk menghasilkan dua macam
produk maka dapat dituliskan dalam bentuk fungsi.
y1 = f (x1/x2, x3,……..xn)
y2 = f (x1/x2, x3,……..xn)

y1 dan y2 merupakan kedua macam produk yang dihasilkan x1 adalah faktor produksi
variabel yang dipakai. Faktor produksi x2, x3,….xn dianggap tetap pemakaiannya
ditetapkan pada suatu tingkat tertentu. Dengan demikian, kedua macam produk
merupakan fungsi satu sama lain yaitu y1 = f (y2) atau y2 = f (y1). Hal ini berarti bahwa
jumlah y1 yang dihasilkan tergantung pada jumlah y2 yang dihasilkan demikian pula
sebaliknya.
Sebagai persoalan adalah faktor produksi lahan seluas 1 ha dapat ditanami jagung
dan kacang tanah jika dikehendaki produksi jagung lebih banyak maka luas tanag yang
ditanami jagung diperluas sehingga yang untuk kacang tanah menjadi lebih sempit.
Ada beberapa kemungkinan hubungan antar produk yaitu sebagai berikut :
1. Join products, yaitu hubungan antara dua macam produk yang selalu dihasilkan
bersama-sama, misalnya kapas dan bijinya, domba dan woolnya, daging babi dan
lemaknya. Antara kedua produk tersebut tiak terdapat daya desak. Dalam batas
tertentu sejumlah produk pertama selalu diikuti oleh produk kedua yang telah
tertentu jumlahnya. Dalam praktiknya hal seperti ini dianggap sebagai satu produk
saja hingga pengambilan keputusan didasarkan atas anggapan tersebut.
2. Complementary product, yaitu apabila kenaikan produk yang satu diikuti oleh
kenaikan produk lainnya dengan pemakaian unsur produksi tertentu, sehingga daya
desak y1 terhadap y2 selalu bertanda positif.
Sebagai contoh dalam pertanian pergiliran tanaman biji-bijian dan tanaman
leguminosa tetapi haruslah diingat bahwa sifat komplementer tersebut baru akan
terlihat dalam jangka waktu beberapa tahun. Dalam jangka waktu satu periode
produksi, biji-bijian dan leguminosa merupakan produk bersaing yaitu kenaikan
produk yang satu diikuti oleh penurunan yang lain. Pada hubungan komplementer
ini tiak ada persoalan tentang kombinasi optimum kedua produk tersebut. Gambar
6.3 menggambar hubungan komplementer.

3. Supplementary products, yaitu kenaikan produk yang satu tidak terpengaruh sama
sekali pada produk kedua. Dengan demikian, daya desak y1 terhadap y2 selalu sama
dengan nol. Hubungan ini timbul karena ada unsur-unsur tetap yang senantiasa
memberikan jasanya untuk menghasilkan y1 tetapi tidak terpakai habis, sehingga
dalam waktu tang bersamaan unsur tersebut dapat untuk menghasilkan y2 tanpa
mengganggu proses produksi y1 tetapi tidak terpakai habis, sehingga dalam waktu
yang bersamaan unsur tersebut dapat untuk menghasilkan y2 tanpa mengganggu
proses produksi y1 sama sekali. Sebagai contoh, traktor dapat memberikan jasanya
sepanjang waktu, pada saat-saat tertentu dipakai untuk mengolah tanah pada proses
produksi jagung dan di waktu yang lain untuk proses produksi lainnya tanpa
mengganggu produksi jagung. Contoh yang lain adalah dalam penggunaan tenaga
kerja keluarga dalam usaha ternak, misalnya, sampai pada tingkat tertentu tidak
mempengaruhi produksi usahatani padi sawah. Berikut adalah grafik yang
menunjukkan hubungan suplementer. (Gambar 6.4)

4. Competitive products, yaitu kenaikan produk yang satu selalu diikuti oleh
penurunan produk yang lain. Hubungan antara banyaknya produksi dengan suatu
macam faktor produksi digambarkan dengan produkct transformation curva
(gambar 6.5) yang merupakan kemungkinan kombinasi produksi y1 dan y2 tertentu.
Besarnya sudut kemiringan product transformasi curve menggambarkan besarnya
daya transformasi y1 terhadap y2 dengan menggunakan sejumlah input yang sama,
disebut marginal rate of product transformation (MRPT).

Dalam competitive product ini, daya desak y1 terhadap y2 selalu bertanda negatif.
Hal ini disebabkan adanya beberapa kemungkinan, yakni produk bersaing dengan daya
desak tetap yaitu besarnya y2/y1 pada tiap kombinasi y1 dan y2 selalu tetap. Sebagai
contoh adalah dua varietas tanaman biji-bijian yang sama (padi dan jagung) :
a. Produk bersaing dengan daya desak yang harga mutlaknya semakin mengecil yaitu
besarnya :

makin kecil

b. Produk bersaing dengan daya desak yang harga mutlaknya semakin membesar
yaitu besarnya :

makin kecil

Jika seorang pengusaha mengusahakan dua produk atau lebih maka yang dihadapi
adalah bagaimana cara mengombinasikan produk-produk yang dihasilkan agar tercapai
keuntungan yang maksimum. Keuntungan akan maksimum jika :

Persoalan kombinasi optimum tersebut hanya ada pada hubungan bersaing dengan
daya desak yang harga mutlaknya semakin besar. Pendapatan maksimum akan tercapai
dengan hanya mengusahakan satu macam produk saja. Pada produk bersama tidak ada
persoalan kombinasi optimum, pada jangka waktu pendek tertentu dihasilkan dalam
perbandingan tertentu pula. Pada produk komplementer tidak ada persoalan kombinasi
optimum karena selama keadaan komplementer masih berlangsung, produk yang satu
masih terus dapat ditambah dan secara otomatis diikuti oleh penambahan produk
kedua.
Pada produk suplementer tidak ada persoalan kombinasi optimum karena selama
keadaan suplementer masih berlangsung, produk yang satu masih terus dapat ditambah
dan tidak akan mempengaruhi produk kedua. Pada produk bersaing dengan daya desak
tetap tidak ada persoalan kombinasi optimum. Jika diinginkan pendapatan maksimum,
akan hanya ada satu produk yang harus dihasilkan, tergantung pada biaya produksi dan
harga masing-masing varietas tersebut. Titik optimum jika MRPT sama dengan
perbandingan harga masing-masing produksi.

MRPT =

Pada gambar 6.5 digambarkan hubungan dua macam produksi yang bersifat
kompetitif dalam arti kenaikan produksi yang satu akan diikuti penurunan produksi
yang lain. Pada hubungan yang bersifat kompetitif maka daya desaknya akan bertanda
negatif. Sebagai contoh, seorang pengusaha mempunyai 30 unit faktor produksi x
untuk menghasilkan y1 (produk 1) dan y2 (produk 2). Pengusaha tersebut dapat
mengombinasikan pemakaian 30 unit tersebut dalam berbagai kombinasi. Tiap-tiap
kombinasi faktor produksi tersebut akan menghasilkan kombinasi y1 dan y2 yang
berbeda-beda. Faktor produksi tersebut dapat juga hanya untuk menghasilkan y 1 saja

atau y2 saja atau kombinasi keduanya. Hasil bagi dinamakan daya desak (rate of

product transformation) y1 terhadap y2. Daya desak mempunyai tanda negatif


menunjukkan bahwa salah satu produk (y1) ditambah maka produk lainnya (y2) harus
dikorbankan.
Sebagai contoh :
1. Jika diketahui faktor produksi sebesar 30 unit dapat untuk menghasilkan y 1, y2 atau
y2 harga y1 = Py1 = Rp 105/unit dan hargaa y2 = Py2 = Rp 60/unit maka keuntungan
maksimum pada :

= = 1,75

yaitu kombinasi halil y1 antara 42-50 unit dan y2 antara 66-52 unit.
Data tersaji sebagai berikut :
Tabel 6.6 Hubungan Produksi Y1 dengan Produksi Y2
Faktor Produksi x Yang Dipakai Daya Desak
Produksi Yang Dihasilkan (unit)
(unit)
Untuk y1 Untuk y2 y1 y2

0 30 0 83 -0,17
5 25 18 80 -0,38
10 20 31 75 -0,82
15 15 42 66 -1,75
20 10 50 52 -4,40
25 5 55 30 -10,00
30 0 58 0
2. Seorang peternakan mempunyai modal tertentu yaitu kelipatan dari Rp. 10.000.000.
Pada waktu yang sama ada tiga macam pilihan yaitu modal tersebut ditambahkan
pada peternakan ayam, babi, atau sapi. Yang perlu dipikirkan adalah mencari
konbinasi yang akan memberikan hasil paling tinggi.

Data tersaji sebagai berikut.


Tabel 6.7 Hubungan Produksi Y1 Dengan Produksi Y2
Modal Tambahan Pendapatan Rp 000
Usaha Usaha Usaha Hasil
No (Rp
Saran Sebaiknya pada Rp 000
000) Babi Ayam Sapi
1 10.000 13.000 15.000 14.000 Ayam 10.000.000 15.000
2 20.000 26.000 27.500 25.000 Ayam + sapi 10.000.000 + 10.000.000 29.000
3 30.000 38.000 38.400 35.000 Babi + Ayam + Sapi 42.000
10.000.000 + 10.000.000 + 10.000.000
4 40.000 50.000 49.300 46.500 Babi + Ayam + Sapi 55.000
20.000.000 + 10.000.000 + 10.000.000

Dari contoh tersebut dapat dicari kombinasi yang paling menguntungkan sesuai
dengan modal yang tersedia pada peternak tadi.

E. Time Relationship
Yang dimaksud deengan time relationship adalah hubungan antara waktu dengan
faktor produksi maupun dengan produksinya. Contohnya hubungan waktu dengan
penggunaan pupuk. Oleh karena adanya dosis per kesatuan luas, maka kapan diberikan
dan berapa kali pemberian akan berpengaruh pada jumlah produk yang dihasilkan.
Dengan demikian, rekonmendasi, pemupukan pasti lengkap meliputi dosis, cara
pemberian, saat pemberian, dan frekuensi pemberian dengan harapan apabila tepat
dapat diperoleh manfaat yang maksimal.
Contoh lain hubungan waktu dan produksi misalnya dengan pengaturan dan
teknologi maka sudah dapat direncanakan kapan panen agar petani memperoleh
keuntungan yang tinggi. Dengan membagi lahan/blok-blok pertanaman maka petani
dapat panen sepanjang tahun dan menghindari panen raya yang biasanya merugikan
petani. Misalnya, produk apel dan nanas yang dapat panen sepanjang tahun.
Di samping pengaturan kapan tanam, panen, dan sebagainya, yang tidak kalah
penting adalah kapan hasil dijual, di mana, kepada siapa, berapa bagian, juga akan
mementukan pendapatan petani. Petani biasanya menjual hasil pada saat panen raya
sehingga harga rendah, pendapatan rendah pula. Dengan cara menyimpan dahulu,
menunggu harga baik akan diperoleh pendapatan yang lebih tinggi pula. Namun
demikian, permasalahannya adalah kebutuhan akan uang tunai yang sangat mendesak
menyebabkan petani menjual saat panen dan bahkan dengan cara “ijon” atau “tebasan”.
Tabel 6.8 menggambarkan hubungan antara waktu dan harga hasil usahatani

Tabel 6.8 Hubungan Antara Waktu dan Tempat Dengan Harga Hasil Usahatani
Harga (Rp/kg)
No Tempat Penjualan Waktu
1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu Dst…
Panen
1 Pasar Desa 800 900 1.000 1.100 ……..
2 Pasar Kecamatan 850 950 1.050 1.150 ……..
3 Pasar Kabupaten 900 1.000 1.100 1.200 ……..

Permasalahan seperti contoh tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan cara kerja
sama membentuk kelompok, Koperasi Unit Desa (KUD) atau bekerja sama dengan
lembaga lain. Caranya petani menunjukkan produksinya sebagai jaminan maka petani
akan memperoleh pinjaman uang tunai saat itu juga. Titipan-titipan petani pada
lembaga-lembaga tersebut dikelola, menunggu saat tepat (harga baik) baru dijual. Hasil
penjualan dikurangi dengan pengembalian pinjaman petani, biaya kerusakan dan
penyusutan produksi, biaya bunga dan administrasi, lalu sisanya diberikan kepada
petani. Dengan demikian, petani memperoleh tambahan pendapatan dan teratasi
masalah keuangan saat petani membutuhkan.
Mekanisme tersebut sudah banyak ditangani oleh KUD namun permasalahannya
sangat kompleks mengingat bahwa.
1. Petani sangat banyak, produksinya dalam jumlah kecil-kecil sehingga tiak efisien
administasinya;
2. Mutunya sangat bervariasi sehingga susah dalam menentukan harga;
3. Saat panen yang tidak bersamaan sehingga harus siap setiap waktu;
4. Dibutuhkan modal/uang tunai yang sangat besar dan siap setiap waktu.
Petani sebagai manajer dalam pengambilan keputusan harus selalu
mempertimbangkan bahwa alternatif yang diperoleh :
1. Secara teknis memungkinkan, artinya bahwa segala sarana dan prasarana dapat
diadakan. Misal, memilih tanam tembakau maka bibitnya harus ada, varietasnya
cocok, iklimnya cocok dan peralatannya tersedia,
2. Secara sosial memungkinkan, artinya bahwa lingkungan masyarakat dapat
menerima dan tidak di larang pemerintah. Misalnya, memilih tanam ganja yang
untungnya tinggi jelas tidak mungkin, mengusahakan ternak babi di lingkungan
masyarakat muslim juga jelas tidak mungkin.
3. Secara ekonomi menguntungkan, artinya bahwa akan memberikan
manfaat/menguntungkan jika nilai tambahan faktor produksi yang diberikan lebih
kecil dari nilai tambahan produksi yang diperoleh akibat dari penambahan faktor
produksi tersebut (x - y). Sebagai contoh, usahatani tembakai di Kabupaten
Bantul seluas 0,1 ha (Suratiyah, 2003). Contoh analisis yang dilakukan petani
dengan data sebagai berikut (Tabel 6.9).

Tabel 6.9 Analisis Usahatani Tembakau Di Kabupaten Bantul Tahun 2003


Tanpa Pupuk Dengan Pupuk
No Uraian Selisih
Organik Organik
1 a. Produksi (kg) 400,55 613,57 213,02
b. Harga (Rp/kg) 1.533,33 1.533,33 -
c. Nilai produksi (Rp) 614.175,33 940.809,09 249.967,26
2 Biaya :
a. Benih (Rp) 53.333,64 53.333,64
b. Pupuk Kimiawi (Rp) 250.650 150.641,63
c. Pupuk organik (Rp) - 255.486,82
d. Pestisida (Rp) 7.742,73 7.742,73
e. Tenaga kerja luar (Rp) 94.6645,45 94.645,45
f. Lain-lain (Rp) 17.531,82 17.531,82
Total biaya (Rp) 423.903,64 579.381,82 155.478,18
3 Pendapatan (Rp) 190.271,69 361427,27 171.155,58
4 Output input ratio 1,448 1,623
5 Incremental B/C ratio (IBC) - - 1,607
Contoh tersebut menunjukkan penambahan faktor produksi (x) sebesar Rp
155.478 lebih kecil dari tambahan produksi (y) sebesar Rp 249.967 nilai

incremental B/C = = 1,607 atau lebih besar dari satu.

Dengan kata lain, penggunaan pupuk organic pada pertanaman tembakau lebih
menguntungkan daripada tidak menggunakan pupuk organik.
BAB 7
BIAYA DAN PENDAPATAN DALAM USAHATANI

Petani sebagai pelaksana mengharap produksi yang lebih besar lagi agar memperoleh
pendapatan yang besar pula. Untuk itu, petani menggunakan tenaga, modal dan sarana
produksinya sebagai umpan untuk mendapatkan produksi yang diharapkan. Ada kalanya
produksi yang diperoleh justru lebih kecil dan sebaliknya ada kalanya produksi yang
diperoleh lebih besar.
Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila usahatani tersebut dapat memenuhi
kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan upah tenaga luar serta sarana
produksi yang lain termasuk kewajiban terhadap pihak ketiga dan dapat menjaga
kelestarian usahanya.
A. Fungsi Biaya
Fungsi biaya menggambar hubungan antara besarnya biaya dengan tingkat
produksi (Gambar 7.1.a) yang digambarkan dengan garis TC (total cost).

Biaya (C) dapat dibedakan menjadi biaya tetap (FC = fixed cost), yaitu biaya
yang besarnya tidak dipengaruhi besarnya produksi (y), dan biaya variabel (VC =
variable cost) yaitu biaya yang besarnya dipengaruhi oleh besarnya produksi. Seperti
pada fungsi produksi, pada biaya ini dikenal konsep biaya marjinal (MC = Marjinal
cost) yaitu perubahan biaya per kesatuan perubahan produksi, dan biaya rata-rata
(AC = averge cost) yaitu biata per kesatuan produksi (Gambar 7.1.b). Di samping itu
dikenal pula istilah biaya variabel marjinal (MVC = marjinal variable cost) yang akan
sama dengan MC, biaya tetap marjinal (MFC = marginal fixed cost) yang sama dengan
nol, rata-rata biaya variabel (AVC = average variable cost) dan rata-rata biaya tetap
(AFC = average fixed cost) (Gambar 7.1.b). Keuntungan terbesar dicapai pada saat MC
sama dengan harga produksi (titik A pada gambar 7.1.b) dengan asumsi pasar adalah
pasar persaingan sempurna.
Berikut adalah contoh biaya usahatani di Kabupaten Bantul pada tahun 2003.

Tabel 7.1 Biaya Usahatani Tahun 2003 di Kabupaten Bantul Dengan Luas Lahan 0, I HA
Biaya (Rp)
Produksi Biaya Rata- Biaya Rata- Total
No Komoditi
(kg) Tetap Rata Variabel Rata Biaya
(FC) (AFC) (VC) (AVC) (TC)
1 Padi Sawah (MK 639,26 33,333 52,39 366.100 636,33 399.433
I)
2 Jagung 201,55 7,550 37,46 160.770 379,86 168.320
3 Kedelai 91,47 15.013 164,13 66.473 660,64 81.486
4 Kacang tanah 395,52 39.706 100,39 553.019 776,78 592.725
5 Bawang merah 802,91 170,633 212,51 1.390.303 1.154,40 1.560.936

B. Pendekatan Analisis Biaya dan Pendapatan


Pendekatan menghitung biaya dan pendapatan dalam usahatani dapat digunakan
tiga macam pendekatan yaitu pendekatan nominal (nominal approach), pendekatan
nilai yang akan datang (future value approach), dan pendekatan nilai sekarang (present
value approach),
1. Pendekatan nominal
Pendekatan nominal tanpa menghitungkan nilai uang menurut waktu (time
value of money) tetapi yang dipakai adalah harga yang berlaku, sehingga dapat
langsung dihitung jumlah pengeluaran dan jumlah penerimaan dalam suatu periode
proses produksi. Formula menghitung pendapatan nominal adalah sebagai berikut.
Penerimaan – Biaya Total = Pendapatan
Penerimaan = Py.Y
Py = Harga produksi (Rp./kg)
Y = Jumlah produksi (kg)
Biaya total = Biaya tetap + biaya variabel
(TC) = (FC) + (VC)
Tabel 7.2 adalah contoh kasus usahatani dalam menghitung pendapatan
nominal. Usahatani kacang tanah seluas 0,1 ha dalam satu musim tanam (4 bulan),
biaya-biaya yang dikeluarkan, dan penerimaan tersaji sebagai berikut.

Tabel 7.2 Biaya, Penerimaan, Dan Pendapatan Satu Periode Usahatani Kacang
Tanah Di Kabupaten Bantul 0,I Hektar
Bulan (Rp)
No Uraian
1 2 3 4 Total
1 Pengeluaran 290.725 75.000 75.000 152.000 592.725
2 Penerimaan - - - - 1.300.830
3 Pendapatan - - - - 708.105

Dari Tabel 7.2 dapat dihitung biaya dan pendapatan usahatani tanpa
memperghitungkan nilai waktu uang (time value of money). Pendekatan nominal
menganggap nilai uang kapan pun dikeluarkan atau diterima sama.
Pendekatan nominal sangat sederhana dan mudah tetapi mengandung
kelemahan, jika pada kenyataannya petani memanfaatkan modal luar berupa
pinjaman atau kredit maka atas pinjaman tersebut pasti dikenakan bunga. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut dapat digunakan pendekatan yang memperhatikan
nilai uang yaitu future value approach dan present value approach. Jika dipakai
nilai uang atau time value of money maka besarnya tingkat bunga akan berpengaruh
pada nilai uang terkait dengan waktu contoh perhitungannya adalah sebagai
berikut :
a. Metode present value

PV = Po = Pt gunakan discounting tables

b. Metode furure value


FV = (1 + i)t Pt = Po (1 + i)t gunakan coumpounding tables

Dari rumus tersebut dapat dilihat ketiga perbedaan sebagai berikut :


Nominal (Harga yang Future Value (Nilai yang Present Valus (Nilai
berlaku) akan datang) sekarang)
(i + 0%) (1 + i)t

(1 + 0)0 = 10 (1 + 0)0 = 1 1
1 + 0)1 = 11 1 + 0)1 = 1,01 0,99
1 + 0)2 = 12 1 + 0)2 = 1,02 0,98
1 + 0)3 = 13 1 + 0)3 = 1,03 0,97
dst Dst dst

2. Pendekatan Future value


Pendekatan ini memperhitungkan semua pengeluaran dalam proses produksi di
bawa ke nanti pada saat panen atau saat akhir proses produksi sebagai berikut.
Bulan ke
Sebagai contoh, usahatani kacang tanah di Kabupaten Bantul (Tabel 7.2)
dengan bunga 1% dan 2% (lihat coumponding tables).

Dengan bunga 1%
a. Pengeluaran :
Bulan 1 : Rp 290.725 x 1,03 = Rp 394.446
Bulan 2 : Rp 75.000 x 1,02 = Rp 76.500
Bulan 3 : Rp 75.000 x 1,01 = Rp 75.750
Bulan 4 : Rp 75.000 x 1,00 = Rp 75.000

b. Penerimaan :
Bulan 4 : Rp 1.300.831 x 1,00 = Rp 1.300.830

c. Pendapatan :
Bulan 4 : Penerimaan – Biaya = Rp 697.133

Dengan bunga 2%
a. Pengeluaran :
Bulan 1 : Rp 290.725 x 1,082 = Rp 314.564
Bulan 2 : Rp 75.000 x 1,061 = Rp 79.575
Bulan 3 : Rp 75.000 x 1,040 = Rp 78.000
Bulan 4 : Rp 152.000 x 1,020 = Rp 155.040 +
Total bulan 4 = Rp 627.179

b. Penerimaan
Bulan 4 : Rp 1.326.846

c. Pendapatan :
Bulan 4 : penerimaan – pengeluaran = Rp 699.667

Dari contoh tersebut terlihat bahwa tingkat bunga sangat berpengaruh pada
besarnya biaya dan pendapatan yang diperhitungkan.

3. Pendekatan present value


Pendekatan ini memperhitungkan semua pengeluaran dan penerimaan dalam
proses produksi di bawah ke saat awal atau sekarang saat dimulainya proses
produksi. Contoh perhitungannya sebagai berikut.
Bulan
Sebagai contoh usahatani kacang tanah di Kabupaten Bantul (Tabel 7.2)
dengan bunga 2% (lihat discounting tables).
a. Pengeluaran :
Bulan 1 : Rp 290.725 x 0,98 = Rp 284.910
Bulan 2 : Rp 75.000 x 0,961 = Rp 72.075
Bulan 3 : Rp 75.000 x 0,942 = Rp 70.650
Bulan 4 : Rp 152.000 x 0,923 = Rp 140.296 +
Total bulan 4 = Rp 567.931

b. Penerimaan
Bulan 4 : Rp 1.300.830 x 0,923 = Rp 1.200.666

c. Pendapatan :
Sekarang : Penerimaan – Pengeluaran = Rp 632.734

Dari ketiga pendekatan tersebut dapat dipilih pendekatan yang akan dipakai
dalam menghitung biaya dan pendapatan usahatani. Pendekatan nominal memang
sederhana dan mudah, tetapi mengabaikan nilai waktu uang. Bagi usahatani yang
menggunakan modal sendiri, pendekatan nominal tidak bermasalah karena pada
dasarnya memang tidak memperhitungkan bunga modal sendiri, tetapi bagi
usahatani yang menggunakan modal luar (kredit usahatani dan kredit yang lain)
nilai waktu uang sangat penting karena uang sekarang mempuyai kelebihan dapat
menghasilkan bunga. Kesemuanya itu dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam
penggunaan modal.

C. Cara Memperhitungkan Pendapatan


Menurut Hadisapoetro (1973) untuk memperhitungkan biaya dan pendapatan
dalam usahatani diperlukan beberapa pengertian sebagai berikut.
1. Pendapatan kotor atau penerimaan
Adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode
diperhitungkan dari hasil penjualan atau penaksiran kembali (Rp).
Pendapatan kotor = Jumlah produksi x Harga per kesatuan
(Y) x (Py)
a. Biaya alat-alat luar
Merupakan semua korbanan yang dipergunakan untuk menghasilkan
pendapatan kotor kecuali upah tenaga keluarga, bunga seluruh aktiva yang
dipergunakan dan biaya untuk kegiatan si pengusaha sendiri (Rp). Biaya=biaya
saprodi + biaya tenaga kerja luar + biaya lain-lain yang berupa pajak (PBB),
iuran air, selamatan, penyusutan alat-alat.
b. Biaya mengusahakan
Merupakan biaya alat-alat luar ditambah upah tenaga keluarga sendiri
diperhitungkan berdasar upah pada umumnya (Rp).

c. Biaya menghasilkan
Merupakan biaya mengusahakan ditambahkan bunga dari aktiva yang
dipergunakan dalam usahatani.
d. Pendapatan bersih
Adalah selisih dari pendapatan kotor dengan biaya mengusahakan. (Rp)
e. Pendapatan petani
Meliputi upah tenaga keluarga sendiri, upah petani sebagai manajer, bunga
modal sendiri, dan keuntungan. Atau pendapatan kotor dikurangi biaya alat-alat
luar dan bunga modal luar (Rp).
f. Pendapatan tenaga keluarga
Merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan bunga modal sendiri
(Rp/jam kerja orang).
g. Keuntungan atau kerugian petani
Merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan upah keluarga dan
bunga modal sendiri (Rp).

Berikut adalah contoh usahatani seorang petani dari sawahnya 0,1 ha


menghasilkan padi sawah dan kacang tanah, dari pekarangannya menghasilkan
kelapa, buah-buahan, ayam dan telur ayam kampung, serta ikan. Modal
usahataninya berasal dari kredit bank dengan bunga 12% per tahun. Perhitungan
biaya dan pendapatan tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 7.3.

Tabel 7.3. Perhitungan Biaya Dan Pendapatan Tahun 2005


No Keterangan Nilai (Rp)
1. Modal investasi :
a. Tanah (0,1 ha sawah + 0,18 pekarangan) 10.000.000
b. Bangunan 9.000.000
c. Alat-alat
Jumlah
2. Penerimaan :
a. Hasil penjualan :
1. Gabah (MH + MK I) 1.393.670
2. Kacang tanah (MK II) 1.727.096
3. Hijauan (rendeng) 188.760
4. Telur 158.400
5. Ayam 132.000
6. Ikan 654.652
7. Tanaman tahunan
Jumlah
b. Dipergunakan sendiri :
1. Gabah
2. Telur 465.000
3. Ayam 100.000
4. Ikan 100.000
5. Tanaman tahunan 150.000
Jumlah
c. Kenaikan nilai investasi tanah
Total penerimaan, pendapatan kotor (a+b+c)
1.000.000
(I) 10.886.798
3 Biaya alat-alat luar :
a. Benih, bibit 189.680
b. Pestisida 43.145
c. Pupuk 703.060
d. Makanan ikan 268.200
e. Perbaikan alat-alat 20.550
f. Upah tenaga kerja luar 713.160
g. Lain-lain (iuran air, selamatan, PBB, penyusutan)
Jumlah

4 Bunga kredit 12% x Rp 2.044.830 (III) + 245.380


5 Biaya menghasilkan (IV) 2.290.210
6 Pendapatan petani (I-II-III) (V) 8.596.588
7 Bunga investasi, bunga modal sendiri 12% x (VI 240.000
Rp 20.000.000
8 Pendapatan tenaga kerja keluarga (V-VI) (VII) 8.356.588
9 Jumlah tenaga kerja keluarga yang dicurahkan 468 17.865/HKO
HKO Pendapatan per HKO :

= 17.865/HKO

Dari Tabel 7.3 tersebut dapat dihitung keuntungan atau kerugian petani dengan
hasil sebagai berikut :
a. Petani menderita kerugian jika upag buruh yang berlaku pada saat itu lebih dari
Rp 17.685/HKO.
b. Petani memperoleh keuntungan jika upag buruh yang berlaku kurang dari
Rp 17.685/HKO.
Contoh perhitungan keuntungan dan kerugian petani
a. Jika upah buruh Rp 15.000/HKO
Keuntungan petani = Pendapatan petani – Upah tenaga kerja keluarga
- Bunga modal sendiri
Keuntungan petani = Rp 8.596.588 – (468 x Rp 15.000) – Rp 240.000
= Rp 1.336.588
b. Jika upah buruh Rp 20.000/HKO
Kerugian petani = Rp 8.596.588 – (468 x Rp 20.000) – Rp 240.000
= Rp 1.003.412
Usahatani keluarga (family farms) bertujuan akhir pendapatan petani, sehingga
apabila pendapatan masih positif maka usahatani masih berjalan terus. Hal ini
disebabkan petani petani tidak mungkin mogok kerja. Petani pada umumnya sulit
memasuki dunia kerja yang serba teratur waktunya dan diperintah oleh orang lain.
Bagaimana pun petani adalah tuan lahan garapannya, tidak dapat dan tidak terbiasa
diperintah maupun diatur pihak lain.
Inilah uniknya perhitungan dengan memakai pendekatan pendapatan petani
karena sepanjang semua normal pendapatan petani pasti positif sehingga dapat dan
mudah diterima. Sebaliknya, jika pendekatan keuntungan maka belum tentu positif
(rugi), meskipun demikian kenyataannya usahatani tetap jalan terus.

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Biaya dan Pendapatan


Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan sangatlah
kompleks. Namun demikian, faktor tersebut dapat dibagi ke dalam dua golongan
sebagai berikut.
1. Faktor Internal dan eksternal
Dari Gambar 7.2 terlihat bahwa faktor internal maupun faktor eksternal akan
bersama-sama mempengaruhi biaya dan pendapatan usahatani. Ditinjau dari segi
umur, semakin tua akan semakin berpengaruh biaya dan pendapatan usahatani.
Ditinjau dari Faktor internalsemakin tua akan semakin berpengalaman
segi umur, Faktor eksternal
sehingga
semakin
Umurmenurun
petani kemampuan fisiknya sehingga semakin Input memerlukan bantuan
Pendidikan,
tenaga pengetahuan,
kerja, baik Ketersediaan
dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Pendidikan, terutama
Pengalaman, dan keterampilan Harga
pendidikan non-formal,
Jumlah tenaga misalnya kursus kelompok tani,
kerja keluarga penyuluhan, demplot, stui
Output
banding, dan pertemuan selapanan (35 hari sekali di Permintaan
Jawa) akan membuka
Luas lahan Harga
cakrawala petani, menambah keterampilan dan pengalaman petani dalam
Modal usahataninya. Hal ini sangat diperlukan mengingat sebagian besar petani
mengelola
berpendidikan formal rendah.

Usahatani

Biaya dan Pendapatan


Gambar 7.2. Faktor internal dan eksternal

Jumlah tenaga kerja dalam keluarga akan berpengaruhi langsung pada biaya.
Semakin banyak menggunakan tenaga kerja keluargaa maka semakin sedikit biasa
yang dikeluarkan untuk mengupah tenaga kerja luar keluarga. Namun demikian,
tidak semua hal berlaku seperti ini. Ada pekerjaan atau kegiatan tertentu mengejar
waktu sehubungan dengan iklim maka harus meminta bantuan tenaga kerja luar
yang berarti haru mengeluarkan biaya.
Petani lahan sempit dengan tenaga kerja keluarga yang tersedia, dapat
menyelesaikan pekerjaan usahataninya tanpa menggunakan tenaga kerja luar yang
diupah. Dengan demikian, biaya per usahatani menjadi rendah. Namun jika lahan
garapan lebih luas belum tentu tenaga kerja keluarga mampu mengerjakan semua.
Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor musim dan tanam serempak sehingga
segala kegiatan usahatani harus dapat diselesaikan tepat waktu dengan tenaga kerja
luar. Biaya usahatani menjadi lebih tinggi karena harus memanfaatkan tenaga kerja
luar yang ndiupah.
Modal yang tersedia berhubungan langsung dengan peran petani sebagai
manajer dan juru tani dalam mengelola usahataninya. Jenis komoditas yang akan
diusahakan tergantung modal karena ada komoditas yang padat modal sehingga
memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk mengusahakannya. Demikian pula
seberapa besar tingkat penggunaan faktor produksi tergantung pada modal yang
tersedia, Sebagai juru tani harus tahu persis banyaknya masing-masing faktor
produksi yang diperlukan. Oleh karena biasanya petani sebagai manajer tidak dapat
menyediakan dana maka terpaksa penggunaan faktor produksi tidak sesuai dengan
ketentuan yang seharusnya. Akibatnya, produktivitas rendah dan pendapatan juga
rendah.
Faktor eksternal dari segi faktor produksi (input) terbagi dalam dua hal, yaitu
ketersediaan dan harga. Lain halnya dengan faktor internal yang pada umumnya
dapat diatasi petani. Faktor ketersediaan dan harga faktor produksi benar-benar
tidak dapat dikuasai oleh petani sebagai individu berapapun dana tersedia. Namun,
jika faaktor produksi berupa pupuk tidak tersedia atau langkah di pasaran maka
petani akan mengurangi penggunaan faktor produksi. Demikian pula jika harga
pupuk sangat tinggi bahkan tidak terjangkau. Semuanya itu pasti berpengaruh pada
biaya, produktivitas, dan pendapatan dari usahatani.
Demikian juga dari segi produksi (output). Jika permintaan akan produksi
tinggi maka harga di tingkat petani tinggi pula sehingga dengan biaya yang sama
petani akan memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Sebaliknya, jika petani telah
berhasil meningkatkan produksi, tetapi harga turun maka pendapatan petani akan
turun pula. Dari Gambar 7.2 tersebut jelas bahwa secara bersama-sama faktor
internal dengan faktor eketernal akan berpengaruh pada biaya dan pendapatan
usahatani.

2. Faktor Manajemen
Di samping faktor internal dan eksternaal maka manajemen juga sangat
menentukan. Dengan faktor internal tertentu maka petani harus dapat
mengantisipasi faktor eksternal yang selalu berubah-ubah dan tidak sepenuhnya
dapat dikuasai. Petani sebagai manajer harus dapat mengambil keputusan dengan
berbagai pertimbangan ekonomis sehingga diperoleh hasil yang memberikan
pendapatan yang optimal. Sebagai juru tani harus dapat melaksanakan usahataninya
dengan sebaik-baiknya, yaitu penggunaan faktor produksi dan tenaga kerja secara
efisien sehingga akan diperoleh manfaat yang setinggi-tingginya.
Dalam pelaksanaannya sangat diperlukan berbagai informasi tentang
kombinasi faktor produksi dan informasi harga baik hargaa faktor produksi maupun
produk. Dengan bekal informasi tersebut petani dapat segera mengantisipasi
perubahan yang ada agar tidak salah pilih dan merugi.
BAB 8
PERENCANAAN

Suatu usahatani sebagai bisnis menjadi lebih efisien dan menguntungkan sering
kali disebabkan oleh perubahan-perubahan yang dilaksanakan dalam rangka
pengembangan usahatani. Sukses usahatani sebagai bisnis adalah buah dari kehati-hatian
dan ketelitian dalam perencanaan, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan pada
saat yang tepat.
Beberapa teknik perencanaan akan datang disertai dengan pertimbangan atas
hasil-hasil di masa lalu. Beberapa catatan dan analisa masa lalu tentang keberhasilan
atau kegagalan merupakan informasi yang sangat penting untuk perencanaan
usahatani modifikasi dan perubahan agar usahatani yang akan datang jauh lebih
baik.
A. Perencanaan Menyeluruh (Whole-Farm Planning)
Perencanaan menyeluruh sangat memperhatikan keseluruhan sumber daya
yang dimiliki dan yang akan dipakai dalam usahatani. Tujuan perencanaan
menyeluruh antara lain sebagai berikut.
1. Identifikasi keuntungan tertinggi yang ingin dicapai sesuai dengan tujuan
usahatani.
2. Identifikasi sumberdaya yang akan dipergunakan meliputi lahan, tenaga kerja,
modal, dan peralatan.
3. \Identifikasi kendala-kendala yang dihadapi dan kemungkinan upaya untuk
mengatasi di waktu yang akan datang.
4. Estimasi kebutuhan dan pencarian modal.
5. Estimasi biaya dan pendapatan
6. Estimasi arus uang tunai (Cash flow)
Sukses usahatani sangat tergantung pada petani sebagai manajer dalam mengelola
usahataninya. Oleh karena itu, diperlukan beberapa hal berikut.
1. Pengetahuan dan kemampuan mendeteksi kapan menambah modal dan bagaimana
menggunakannya dengan baik.
2. Pengetahuan tentang berapa biaya bunga yang harus dibayar apabila menarik
modal dan luar misalnya kredit bank.
3. Pengetahuan tentang kapan harus membayar bunga dan mengangsur pinjaman dari
luar (kredit bank) agar kontinuitas usahatani tidak terganggu.
Perencanaan menyeluruh ini dilengkapi dengan sistem evaluasi yang dapat secara
cepat dan mudah mengukur kinerja dan efisiensi usahatani.

B. Perencanaan Usahatani
Definisi perencanaan usahatani adalah proses pengambilan keputusan
tentang segala sesuatu yang akan dilakukan dalam usahatani yang akan datang
dan rencana-rencana usahatani berupa pernyataan tertulis yang memuat sesuatu
yang akan dikerjakan pada periode waktu tertentu untuk tujuan tertentu pula
sehubungan dengan usahataninya.
Dengan perencanaan usahatani maka manfaat yang dapat diambil oleh petani
adalah a) diperoleh petunjuk tentang apa yang akan dilakukan, b) penyimpangan
dan kesalahan dapat dikurangi, c) ada jaminan untuk mendekati kebenaran, d)
sebagai alat evaluasi, serta e) kontinuitas usahatani terjamin. Sementara
perencanaan usahatani mempunyai kriteria-kriteria yang baik jika sesuai berikut
ini.
1. Rasional, yaitu sesuai dengan situasi yang nyata, misalnya untuk meningkatkan
produktivitas diperlukan pupuk urea pada pertanaman padi sawah sehingga tingkat
produksi tersebut benar-benar dicapai.
2. Fleksibel, yaitu disesuaikan dengan situasi, misalnya untuk peningkatan
produktivitas padi tersebut ternyata pupuk urea yang dibutuhkan tidak ada maka
dapat diganti dengan pupuk ZA, tetapi tentu dengan dosis yang berbeda karena
kandungan N pada urea dan ZA berbeda. Pada urea kandungan N mencapai 46%,
sedangkan pada ZA hanya 20%/
3. Dapat dinilai dan dengan cepat diambil tindakan yang tepat.
4. Menjamin kontinuitas usahatani.
Ada 3 cara menyusun suatu perencanaan usahatani, yakni 1) predetermined,
suatu perencanaan usahatani yang disusun dan ditentukan oleh pemerintah (instansi
yang terkait) karena memang ada tujuan tertentu pemerintah sehingga merupakan
kebutuhan pemerintah, 2) self-determined plan, yaitu suatu perencanaan usahatani
yang disusun dan ditentukan sendiri oleh petani sesuai dengan keinginan dan menjadi
kebutuhan petani sendiri, serta 3) joint plan, yaitu suatu perencanaan usahatani yang
disusun dan ditentukan oleh petani dengan pemerintah dalam hal ini instansi yang
berwenang bersama dengan petani. Sebagai contoh tanam serempak. Cara tanam
serempak direncanakan bersama antara para kelompok tani (para petani) dengan
dinas pertanian (PPL), dinas pekerjaan umum (pengaiaran), koperasi
(penyediaan pupuk), perbankan (penyediaan modal), dan pemerintah desa
(menyangkut areal yang luas).
Cara tanam serempak ini merupakan kepentingan bersama karena dengan cara
tersebut siklus hama penyakit dapat dikendalikan sehingga kontinuitas produksi
dan ketahanan pangan dapat terjamin. Petani juga memperoleh bimbingan
penerapan teknologi yang sama, produktivitas tinggi, dan pendapatan petani juga
meningkat.
Perencanaan yang bersifat kerja sama dengan lembaga pemerintah
memerlukan berbagai pembicaraan. Pembicaraan terarah akan membantu petani
dalam perencanaan usahatani sehingga diperlukan beberapa catatan penting untuk
pembiraan bersama. Beberapa hal yang penting dalam pembicaraan tersebut
sebagai berikut.
1. Varitas yang akan ditanam, sehubungan dengan produktivitas dan
ketahanannya terhadap hama penyakit.
2. Kapan tanam dan kapan panen sehubungan dengan penyediaan irigasi
3. Pupuk apa, berapa, dan kapan digunakan sehubungan dengan penyediaan
pupuk agar petani tidak mengalami kesulitan.
4. Berapa dan dari mana modal yang diperlukan sehubungan dengan kesiapan
pihak perbankan dalam merealisasi kredit usahatani.
Dalam pelaksanaan sehari-hari petani dapat menyusun rencana
usahataninya secara berkelompok dengan bimbingan PPL (petugas penyuluh
pertanian) atau petugas yang secara periodic berkunjung kelompok tani. PPL
tersebut harus selalu siap membawa informasi tentang program-program
pemerintah, tentang teknologi baru, dan siap mendampingi petani dalam
pelaksanaan usahataninya.

C. Anggaran Kegiatan
Anggaran kegiatan adalah pernyataan mengenai sifat-sifat teknis dan
ekonomis suatu kegiatan yang disajikan dalam suatu bentuk sehingga
memungkinkan perencanaan dapat dikerjakan. Komponen anggaran kegiatan
tersebut sebagai berikut.
1. Batasan kegiatan apa yang diproduksi dan bagaimana memproduksi
2. Daftar kebutuhan sumberdaya per unit kegiatan
3. Kuantifikasi hubungan antar kegiatan, misalnya kebutuhan pengembalian.
4. Daftar kendala yang bukan sumberdaya, misalnya pemasaran.
5. Daftar biaya tetap.
6. Pernyataan jumlah produk yang dihasilan dan taksiran harga.
Berikut adalah contoh anggaran kegiatan suatu usaha tani. (Kotak 8.1)

Kotak 8.1 Anggaran Kegiatan Ubi Jalar

1. Definisi
Nama lokal : Kumala
Nama ilmiah : Ipoemoea batatas
Ditanam sebagai makanan pokok dengan teknologi tradisional
2. Musim tanam
a. Saat menanam antara Maret dan Oktober, tapi dapat ditanam sepanjang tahun
b. Umur : 4 sampai 7 bulan sesuai iklim tapi umumnya 5 bulan.
c. Daya simpan dalam tanah, panen dapat ditunda sampai 2 bulan tanpa penyusutan hasil
yang berarti.
3. Syarat Pergiliran :
a. Urutan tanam : ditanam setelah ubi rambat atau talas atau sebagai tanaman pertama
setelah bero pada lahan subur. Umumnya ditanam berturut-turut pada lahan yang sama.
b. Tumpang sari : dapat ditanam bersama-sama dengan tanaman pisang.
c. Kesuburan tanah : kandungan nitrogen yang tinggi menyebabkan pertumbuhan
vegetatif berlebihan sehingga produksi ubi rendah
4. Penanaman :
a. Jarak tanam : ditanam kira-kira 1 m x 1 m
b. Bahan tanaman : tumbuh dari potongan batang (stolon) ± 30 cm, 3 atau 4 batang tiap
lubang. Lahan 0,05 ha cukup menyediakan bibit untuk 1 ha
5. Masukan lain :
Pupuk tidak digunakan, penyemprotan dianjurkan untuk kumpang penggerek batang.
6. Kebutuhan kerja (JKO/ha) :
a. Menyiapkan bahan tanaman 60
b. Menanam 100
c. Membuat bukit dan lubang 100
d. Menyiangi
1 bulan setelah tanam 75
2 bulan setelah tanam 55
3 bulan setelah tanam 35
e. Panen
7. Produksi
Rata-rata 12,5 ton/ha ubi basah
8. Kandungan gizi
Mengandung 4,2 MJ/kg, bagian yang dapat dimakan 1,5% protein, 15% bahan sisa
9. Tata :Niaga
*) Catatan Harga: jual di tingkat petani di DIY tahun 2004 adalah Rp 900.00/kg atau Rp 90.000.00/ku
Harga jual bersih di tingkat lokal Rp 5.675/ku (tahun 1974)
D. Anggaran Penggunaan Sumberdaya
Sumberdaya dalam usahatani terdiri atas sumberdaya alam yaitu tanah beserta
sekitarnya dan sumberdaya manusia yaitu tenaga kerja. Suatu usahatani akan sukses
jika segala kegiatan yang akan dilakukan disusun dalam suatu rencana (Proses
perencanaan). Perencanaan tersebut meliputi pula perencanaan tersebut meliputi
anggaran penggunaan sumberdaya. Kriteria kelayakan suatu rencana ditinjau dari
segi teknis dan ekonomis sebagai berikut.
1. Lahan dan Rotasi
Anggaran penggunaan sumberdaya dapat diterapkan jika memenuhi beberapa
hal berikut.
a. Lahan yang dibutuhkan tidak lebih luas dari lahan yang dikuasai oleh
petani.
b. Jenis tanaman yang ditanam sesuai dengan jenis tanah dan kesuburan
tanah atau lahan.
c. Perencanaan mencakup :
1. Penentuan luas per kegiatan
2. Penentuan jadwal tanam dan lamanya pertumbuhan
3. Urutan tanaman
Contoh 1.
Luas
Feb-Mart April-Mei Juni-Juli Agst-Sept Okt-Nov Des-Jan Th
(ha)
0,25 <<<<<<<< <<<<<<< <<<<<< <<<<<<<<< <<<<<<< ///////////// I
<<<<<<<< <<<<<<< <<<<<< <<<<<<<<< <<<<<<< //////////////
0,25 ///////////////// /////////////// ……………….. ……………. …………… ………….. II
///////////////// ////////////// ……………….. ……………. …………… …………..
0,25 …………… …………. xxxxxxx xxxxxxxxxx xxxxxxxx xxxxxxxx III
…………… …………. xxxxxxx xxxxxxxxxx xxxxxxxx xxxxxxxx
0,25 BERO IV
< : Ubi rambat (1) …. : Talas
// : Ubi rambat (2) x : Ubi jalar/ubi rambat (3)
Gambar 8.1. Rotasi tanaman tanpa sela
Lahan seluas 0,25 ha dapat ditanami berbagai komoditas misalnya ubi rambat
dan talas. Dari contoh 1 tersebut terlihat bahwa selama satu siklus (4 tahun) ubi
rambat dapat ditanam 3 kali musim tanam dan talas satu kali musim tanam dengan
rotasi tanaman seperti yang tampak pada Gambar 8.2.

Contoh 2
Luas
Feb-Mart April-Mei Juni-Juli Agst-Sept Okt-Nov Des-Jan Th
(ha)
0,25 <<<<<<<< <<<<<<< <<<<<< <<<<<<<<< <<<<<<< ///////////// I
<<<<<<<< <<<<<<< <<<<<< <<<<<<<<< <<<<<<< //////////////
0,25 ///////////////// /////////////// ////////////////// /////////////////// ]]]]]]]]]]]]]] ]]]]]]]]]]]]] II
///////////////// ////////////// ……………. ……………. …………… …………..
0,25 ]]]]]]]]]]]]]]] ]]]]]]]]]]]]]]] xxxxxxx xxxxxxxxxx xxxxxxxx xxxxxxxx III
]]]]]]]]]]]]]]] ] xxxxxxx xxxxxxxxxx xxxxxxxx xxxxxxxx
]]]]]]]]]]]]]]]
]
0,25 BERO IV
< : Ubi rambat (1) …. : Talas
// : Ubi rambat (2) x : Ubi jalar/ubi rambat (3)
Gambar 8.2. Rotasi tanaman dengan tanaman sela

Ada sedikit perbedaan pada contoh 2 dengan contoh 1. Pada contoh 2 terdapat
tanaman talas yang digunakan sebagai tanaman sela, sedangkan untuk rotasinya
lebih dipilih ubi rambat dan ubi kayu dengan perputaran seperti yang tersaji pada
gambar 8.2. Dari contoh 1 dan 2 tersebut terlihat bahwa penggunaan lahan
dapat dilakukan sedemikian rupa sehingga lebih intensif. Selain itu, rotasi
tanaman perlu juga dilakukan untuk menghindari serangan hama dan
penurunan tingkat kesuburan tanah karena tanaman yang berbeda sudah
pasti memerlukan unsure hara yang berbeda pula. Dengan perputaran
tanaman diharapkan tanah diberi kesempatan untuk mengembalikan unsure
hara tertentu yang hilang pada saat musim tanam sebelumnya.

Contoh 3.
900 m2 Selada keriting Buncis
Buncis
Baby corn Tomat bandung
2
450 m Baby Corn Tomat bandung Buncis
900 m2 Sawi Sawi Kapri
Gambar 8.3. Rotasi tanaman dengan tanaman sela

Pada Gambar 8.3. Dapat terlihat bahwa jika petani dengan 3 petak lahan
pertanian yang masing-masing seluas 900 m2, 450 m2, dan 900 m2 dapat mengatur
rotasi tanaman dan menggunakan lahannya sedemikian rupa sehingga bisa
memperoleh pendapatan yang optimal. Perhitungan produksi dan pendapatan
tersaji pada Tabel 8.1.

Tabel 8.1. Produksi Dan Pendapatan Per Komoditi Sayuran


Tanaman
Uraian Baby Selada Tomat
Buncis Kapri Sawi Total
Corn Keriting Bandung
Luas tanam (m2) 1800 900 450 900 900 1800 6750
Produksi (kg/m2) 1,3 1,6 11 7 1,1 3,4 -
Produksi total 2340 1440 4950 6300 990 6120 -
Harga (Rp/kg) 3600 2000 1500 1400 3000 1000 -
Nilai produksi 8.424.000 7.425.000 7.425.000 8.820.000 2.970.000 6.120.000 41.589.000
Biaya variabel
a. Benih 1.296.000 180.000 19 8.000 180.000 612.000 200.000 2.666.000
b. Pupuk 1.350.000 585.000 567.000 1.170.000 450.000 414.000 4.536.000
c. Pestisida 2.700.000 225.000 162.000 2.160.000 288.000 150.000 5.685.000
d. Lain-lain 486.000 135.000 378.000 2.178.000 162.000 400.000 3.739.000
Total 5.832.000 1.125.000 1.305.000 5.688.00 1.512.000 1.164.000 14.226.000
Pendapatan kotor 2.592.000 1.755.000 6.120.000 3.132.000 1.458.000 4.956.000 27.363.000
Biaya tetap
a. Sewa lahan @ Rp. 400/m2 2.700.000
b. Tenaga luar 126 HKO @ Rp. 25.000.00 3.150.000
c. Penyusutan, perbaikan alat-alat, dan bungat bank 900.000
Total Biaya Tetap 6.750.000

Pendapatan usahatani 20.613.000


*) Keterangan : 1. Diambil dari Brown (1979)
2. Diolah dan disesuaikan

2. Tenaga kerja
Disamping penggunaan lahan dan rotasi tanaman, perlu direncanakan pula
penggunaan tenaga kerja, apakah tenaga kerja keluarga yang tersedia bisa
memenuhi kebutuhan. Jika tenaga kerja yang dibutuhkan lebih besar dari
potensi tenaga kerja keluarga yang tersedia maka petani harus
menganggarkan seberapa besar kebutuhan tenaga kerja luar keluarga yang
diperlukan. Hal ini akan mempengaruhi perhitungan biaya usahatani karena
tenaga kerja luar harus diberi upah.

Tabel 8.2. Merupakan contoh anggaran penggunaan sumberdaya tenaga kerja


untuk berbagai macam komoditas antara lain padi sawah, kedelai,

Tabel 8.2 Rata-Rata Jumlah Curahan Tenaga Kerja Per Usaha Tani Dan Per 0,1 Hektar
Petani Padi Sawah, Kedelai, Kacang Tanah, Tembakau, Dan Jagung Di
Kabupaten Bantul Tahun 2003
Komoditas
Uraian Padi Kedelai Kacang Tanah Jagung Tembakau
HKO % HKO % HKO % HKO % HKO %
Pembibitan (DK) 0,067 0,31 - - - - - - - -
Pengolahan tanah 0,06
a. Dalam keluarga 7 0,31 - - 1,138 4,67 2,152 12,34 6,282 9,25
b. Luar keluarga 2,933 13,71 - - 2,933 11,58 0,933 5,35 2,790 8,55
Penanaman
a. Dalam keluarga 0,022 0,10 0,573 5,01 2,606 10,29 1,419 8,14 3,164 9,70
b. Luar keluarga 5,411 25,30 1,918 16,79 3,250 12,83 0,295 1,69 2,173 6,66
Pemupukan
a. Dalam keluarga 0,377 1,76 0,336 2,94 0,889 3,51 0,848 4,86 1,799 5,52
b. Luar keluarga 0,455 2,13 0,000 0,00 0,016 0,06 0,033 0,19 0,564 1,73
Pemeliharaan
a. Dalam keluarga 2,786 13,03 - - 4,126 - - - - -
b. Luar keluarga 0,244 1,14 - - 2,794 - - - - -
Penyiangan
- - 1,900 16,63 - - 3,057 17,53 5,009 15,3
a. Dalam keluarga
- - 0,409 3,58 - - 0,986 5,65 1,390 5
b. Luar keluarga
4,26
Pengairan
- - 0,855 7,48 - 16,28 0,243 1,39 5,155 15,8
a. Dalam keluarga
- - 0,000 0,00 - 11,03 0,000 0,00 0,000 0
b. Luar keluarga
0,00
Pengd. Hama & Peny
a. Dalam keluarga 0,044 0,21 0,027 0,24 0,745 2,94 0,057 0,33 0,436 1,34
b. Luar keluarga 0,000 0,00 0,000 0,00 0,000 0,00 0,000 0,00 0,054 0,17
Panen
0,566 2,65 1,627 14,24 2,378 9,39 2,10 12,05 3,464 10,6
a. Dalam keluarga
3,108 14,53 0,891 7,8 1,094 4,32 0,91 5,05 0,464 2
b. Luar keluarga
1,42
Pasca Panen
a. Dalam keluarga 5,284 24,71 2,645 23,15 3,211 12,68 3,919 22,47 - -
b. Luar keluarga 0,022 0,10 0,245 2,15 1,817 7,17 0,486 2,79 - -

Total Tenaga Kerja 9,22 43,09 7,963 69,69 14,984 59,18 13,795 79,10 25,19 77,2
a. Dalam keluarga 12,18 56,91 3,463 30,31 10,334 40,82 3,643 20,89 7,436 1
b. Luar keluarga 22,7
9
Sumber : Suratiyah dkk (2003)
kacang tanah, jagung, dan tembakau. Dari berbagai macam komoditas tersebut
tampak bahwa komoditas padi meskipun jumlah tenaga kerja yang
dicurahkan tidak terlalu besar, tetapi proporsi penggunaan sumber daya
tenaga kerja luar keluarga jauh lebih besar bila dibandingkan dengan komoditas
lainnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh sifat usahatani pada yang sangat
tergantung dengan campur tangan manusia. Curahan tenaga terbanyak terutama
pada saat pengolahan tanah, penanaman, dan panen. Dalam usahatani padi,
ketiga kegiatan tersebut harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Jika tidak
maka hasilnya tidak akan seperti yang diharapkan.

E. Anggaran Usahatani
Anggaran usahatani sederhana dan mudah dimengerti sehingga dapat segera
ditindak lanjuti. Yang perlu diperhatikan dalam menyusun anggaran usahatani antara
lain sebagai berikut.
1. Tujuan : untuk melihat konsekuensi suatu rencana yang diusulkan.
2. Ukuran : penghasilan bersih dan arus uang tunai.
3. Kriteria : Pendapatan kotor, pengeluaran tetap, dan penghasilan bersih.
Ada empat cara dalam menyusun anggaran usahatani, yaitu mengarah pada
usahatani yang lebih intensif atau mengarah pada usahatani yang kurang intensif.
Empat cara tersebut sebagai berikut.
1. Mengubah kegiatan yang telah ada sehingga pendapatan kotor meningkat
tetapi pengeluaran tetap tidak meningkat.
2. Mengubah kegiatan yang telah ada sehingga pendapatan kotor meningkat,
tetapi pengeluaran tetap juga meningkat asal peningkatan pengeluaran tetap
lebih kecil dari peningkatan pendapatan kotor.
3. Mengalokasikan sumberdaya yang ada sehingga pengeluaran tetap turun
tetapi pendapatan kotor tetap.
4. Mengalokasikan kembali sumberdaya yang ada sehingga pengeluaran tetap
turun tetapi pendapatan kotor total juga turun, asal penurunan pendapatan
kotor lebih kecil dari penurunan pengeluaran tetap.
Dari keempat cara tersebut, cara pertama dan kedua mengarah ke lebih
intensif, sedangkan cara ketiga dan keempat mengarah ke kurang intensif.
Tabel 8.3 merupakan contoh cara ke kedua, yaitu pendapatan kotor naik dan
pengeluaran naik, yang berarti mengarah pada lebih intensif. Alternatif A tidak
menggunakan pupuk kandang sehingga produksi hanya 225 kg per 0,1 ha. Sementara
alternate B menggunakan pupuk kandang sehingga produksi meningkat menjadi 396
kg, tetapi konsekuensinya biaya meningkat dari Rp 353.225 menjadi Rp 592.725.
Namun demikian, alternative B lebih baik karena peningkatan biaya Rp 239.500 lebih
kecil dari peningkatan penerimaannya sehingga bila dihitung IB/C atau Incremental
B/C rationya adalah 2,345 > 1. Dengan kata lain rencana B dapat dilaksanakan.

Tabel 8.3. Usahatakan Kacang Tanah 0,1 Ha Di Kabupaten Bantul Tahun 2003
Alternatif B Alternatif A
No Keterangan Selisih
(Rencana B) (Biasa)
1 Pendapatan Kotor
a. Produksi (kg) 396 225
b. Harga (Rp/kg) 3.285 3.285
c. Nilai Produksi (Rp) 1.300.820 739.125
2 Pengeluaran tetap :
a. Benih (Rp) 102.400 102.400
b. Pupuk kimiawi (Rp) 47.000 100.000
c. Pupuk kandang (Rp) 292.500 -
d. Pestisida (Rp) 25.000 25.000
e. Tenaga luar (Rp) 50.000 50.000
f. Tenaga mesin (Rp) 36.000 36.000
g. Lain-lain (Rp) 39.825 39.825
Total (Rp) 592.725 353.225 239.500
3 Penghasilan bersih (Rp) 708.105 385900 240.080
4 Output-input ratio 2,195
5 I B/C 2,345
Sumber : Suratiyah dkk 2003 – data terolah

F. Anggaran Parsial (Partial Budgets)


Analisis masing-masing cabang usahatani akan sangat bermanfaat dan membantu
perencanaan anggaran. Hal ini menunjukkan secara jelas berapa kontribusi pendapatan
dari masing-masing cabang usahatani pada pendapatan total usahatani secara
keseluruhan. Dengan analisis tersebut petani sebagai manajer dapat mengambil
keputusan untuk memilih cabang usahatani mana yang perlu dikembangkan, dikurangi
atau bahkan tidak diusahakan lagi agar tidak menderitakan kerugian.
Anggaran parsial sangat sederhana, mudah dimengerti, mudah penyusunannya,
biasa digunakan untuk melihat keuntungan dengan sedikit perubahan yang dilakukan,
serta tidak memerlukan informasi yang tidak dipengaruhi oleh perubahan yang sedang
diamati. Ada beberapa macam anggaran parsial antara lain 1) anggaran keuntungan
parsial, 2) anggaran marjin kotor, 3) anggaran arus uang tunai parsial, dan 4) anggaran
parametrik.
Secara umum anggaran parsial mempertimbangkan empat komponen sebagai
berikut.
1. Tambahan pengeluaran atau pengeluaran baru.
2. Penerimaan yang hilang.
3. Pengeluaran yang dihemat atau tidak jadi dikeluarkan.
4. Penerimaan tambahan atau penerimaan baru.
Selisih antara (1+2) dengan (3+4) menunjukkan apakah perubahan yang
direncanakan menguntungkan. Jika (3+4) lebih kecil dari (1+2) maka perubahan yang
direncanakan akan meningkatkan pendapatan usahatani sehingga layak untuk
diterapkan.
Anggaran parsial juga untuk mempertimbangkan apakah perlu penggunaan
input baru, menambah cabang usahatani baru, cara baru, dan sebagainya.
1. Anggaran Keuntungan Parsial
Anggaran keuntungan parsial digunakan untuk melihat suatu perubahan
metode produksi dengan kriteria keuntungan atau penghasilan bersih. Untuk
hal-hal tertentu yang tidak dapat diukur dengan keuntungan rupiah, dicatat sebagai
bahan pertibangan. Berikut ini beberapa contoh anggaran parsial yang dibuat
untuk usahatani.
1) Seorang petani ingin membeli mesin perontok gabah untuk menghemat
tenaga dan alat tersebut dapat disewakan. Untuk itu, dibuat anggaran parsial
sebagai berikut (Kotak 8.2).

Kotak 8.2. Anggaran Parsial Pembelian Mesin perontok Gabah Seharga Rp


900.000
No Keterangan Jumlah
1. Perubahan yang dilihat = pembelian mesin perontok
gabah untuk menghemat tenaga dan dapat disewakan
2. Tanggal/tahun = 5 Januari 2006
3. Kerugian :
a. Biaya tambahan :
1. Penyusutan 1/10 x Rp 900.000 Rp.90.000
2. Bunga Bank 5% x Rp 900.000 Rp.45.000
3. Perawatan -
b. Penghasilan yang hilang -
c. Kerugian total Rp.135.000
4 Keuntungan :
a. Biaya yang dihemat :
1. Sewa tenaga 7 HKO @ Rp 14.000 RP.98.000
2. Alat disewakan 33 HKO @ Rp 14.000 Rp.462.000
b. Keuntungan total Rp.560.000
5. Keuntungan tambahan Rp 560.000-Rp 135.000 RP.425.000
6. Pertimbangan :
a. Meningkatkan ketetapan waktu kerja
b. Mengurangi resiko keterlambatan perontokan gabah
karena tenaga kerja langka
c. Memerlukan pinjaman Rp 900.000
d. Petani harus menambah jam kerja
7. Catatan :
a. Perhitungan per musim tanam (setahun 2 musim dan
alat/mesin dipakai 10 musim tanam)
b. Bunga Bank 5% per musim atau 10% per tahun

2) Usaha peternakan “Mahesa” merencanakan menambah 50 ekor bibit sapi yang


nantinya dapat beranak 46 ekor pedet, tapi harus merubah sebagian lahan
sayuran 2 ha untuk lahan hijauan, akibatnya hasil sayuran 2 ha untuk lahan
hijauan, akibatnya hasil sayuran Rp 96.000.000 tidak ada lagi. Anggaran

Tambahan Biaya (Rp 000) Tambahan Pendapatan (Rp 000)


Biaya tetap :
1. Bunga pinjaman 18.000
2. Penyusutan 3.000 21.000
3. Pajak 1.000 6 sapi betina culling 67.280
Biaya variabel : 23 sapi muda jantan 42.840
1. Obat-obatan 2.000 17 sapi muda betina
2. Makanan tambahan 7.500
3. Hijauan 12.000
4. Alat-alat 3.000
5. Perawatan 15.000
Berkurangnya Pendapatan Berkurangnya Biaya (Rp 000)
Produksi sayuran 96.000 1. Pupuk 15.000
2. Bibit 4.000
3. Herbisida 3.000
4. Mesin 7.000
Total tambahan biaya dan Total tambahan pendapatan
berkurangnya pendapatan dan berkurangnya biaya per
per tahun tahun = 160.120
Perubahan bersih = 26.200 (positif) per tahun menguntungkan
keuntungan parsial terlihat pada Kotak 8.3

Kotak 8.3. Anggaran Keuntungan Parsial Perusahaan Peternakan

3) Seorang petani ingin mengubah pola tanam dari padi-padi kedelai menjadi
padi-padi-kacang tanah. Untuk itu, dibuat anggaran dengan data seperti yang
ada di Kotak 8.4

2. Anggaran Marjin Kotor


Penyusunan anggaran marjin kotor sangat mudah dan sederhana sehingga
mudah diterapkan. Anggaran marjin kotor ini mempunyai kelemahan antara lain.
1. Keuntungan dapat meningkat dengan cara memperluas cabang usahatani yang
memberikan marjin batas tinggi per kesatuan luas atau dengan cara mengurangi
yang memberikan marjin batas rendah.
2. Anggaran mutlak yang linear terhadap biaya variabel dan pendapatan kotor
Kotak 8.4. Contoh Anggaran Parsial Untuk Perubahan Perencanaan
Perubahan : Rotasi padi-padi-kedelai padi-padi-kacang tanah pada lahan seluas 0,5

Tanggal/tahun : Desember 2003

Kerugian :

Biaya kacang tanah (sarana produksi) :

Bibit = Rp 511.545

Pupuk kimiawi = Rp 235.000

Pupuk organik = Rp 1.461.575

Pestisida = Rp 1.282.825 (+)

Jumlah = Rp 2.337.210

Biaya kacang tanah (tenaga kerja luar)

Tenaga kerja = Rp 254.200

Tenaga mesin/traktor = Rp 179.695 (+)

Jumlah = Rp 433.895

Untuk kedelai
Sumber (tanpa
: Suratiyah
Penghasilan perubahan
dkk
yang (2003)
bilang biaya tetap) :
dari

Pendapatan
kedelaikotor
457 x @ Rp 2.358/kg = =RpRp
1.089.945
1.089.945 semakin
(+)
Kedua anggaran tersebut belum tentu benar mengingat luas usahatani
makaBiaya
biaya variabel
tetap
Kerugian :
pada
total batas tertentu juga akan naik. Di= Rp
samping itu, serangan hama
3.861.050

dan penyakit tidak hanya pada pertambahan


Bibit/benih = Rp 14.000 lahan, tetapi juga pada lahan semula

sehingga tidak kimiawi


Pupuk
Keuntungan :linear. Berikut adalah contoh usahatani dengan anggaran marjin
= Rp 70.000
kotor. Pupuk organik
Biaya kedelai (sarana produksi)= Rp 7.100
Seorang petani ingin merubah pola tanam dari padi-padi-kedelai menjadi
Pestisida
Bibit = Rp = Rp 3.900
14.000
padi-padi-kacang tanah maka dibuat anggaran seperti yang terlihat pada
8.5.Sewa
KotakJumlah mesin/traktor
Pupuk kimiawi = Rp
= Rp36.675 (+)
70.000
= Rp 131.675 (-)
KotakMarjin
8.5. Kotor
Anggaran Marjin Kotor Untuk Perencanaan Perubahan Pola Tanam
Pupuk organik = Rp 7.100 = Rp 958.270
(0,5 Ha)
Pertimbangan :
Pestisida = Rp 3.900 (+)

Periode tumbuh 110 hari


Jumlah = Rp 95.500

Tenaga kerja yang digunakan ± 60 HKO

UntukBiaya
kacang tanah(tenaga
kedelai (tanpa perubahan
kerja luar) biaya tetap) :

Pendapatan kotorkerja
Tenaga = Rp 203.700

Biaya variabel
Tenaga mesin/traktor = Rp 36.675 (+)
Jumlah = Rp 240.375

Pupuk kimiawi = Rp 235.000

Pupuk tambahan
Penghasilan organik kacang tanah
= Rp 1.461.000

Pestisida
1.978 = Rp 1.282.825
kg @ Rp. 3.290.00 = Rp 6.507.6200 (+)

Sewa mesin/traktor
Keuntungan tambahan = Rp 179.695 (+) = Rp 6.843.495 (-)
Jumlah = Rp 3.670.065 (-)
Marjin kotor = Rp 2.837.555
Keuntungan tambahan = Rp 2.982.445
Pertimbangan :
Pertimbangan :
Periode tumbuh 125 hari
Tambahan tenaga kerja keluarga 35 HKO pria
Tenaga kerja yang digunakan ± 126 HKO
Modal/biaya tinggi

Sumber : Suratiyah dkk (2003)

3. Anggaran arus uang tunai parsial


Anggaran arus uang tunai digunakan untuk melihat perubahan arus uang tunai
akibat dari perubahan yang diusulkan. Tujuannya untuk melihat kelayakan suatu
usulan yang mencakup beberapa tahun (jangka panjang). Contoh seorang petani
ingin membeli mesin perontok gabah untuk menghemat tenaga dan disewakan,
dibuat anggaran seperti yang tersaji pada kotak 8.6.

Kotak 8.6 Anggaran Arus Uang Tunai Pembelian Mesin Perontok Gabah Untuk 10
Musim Tanam (5 Tahun
Tahun
Uraian
0 1 2 3 4 5
A. Kerugian
1. Biaya tambahan
a. Harga mesin 900.000 -
perontok
b. Perawatan - 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
2. Penerimaan yang - - - - -
hilang
3. Jumlah kerugian 900.000 75.000 75.000 75.000 75.000 75.000
B. Keuntungan
1. Penghematan sewa - 196.000 196.000 196.000 196.000 196.000
tenaga
2. Penghasilan - 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000 1.120.000
tambahan
3. Keuntungan -900.000 1.316.000 1. 316.000 1.316.000 1.316.000 1.316.000
C. Tambahan arus uang -900.000 1.241.000 1.141.000 1.241.000 1.241.000 1.241.000
tunai
D. Discount factor (10%) 1 0,909 0,826 0,751 0,683 0,621
E. Nilai sekarang -900.000 1.128.069 1.025.066 931.991 847.603 770.661
F. Nilai sekarang Netto -900.000 + 4.703.390 = 3.803.390
(NPV)
Catatan : Bunga bank 10% per tahun penghemat tenaga Rp 98.000/musim
disewakan Rp 560.000/musim

4. Anggaran Parametrik
Anggaran parametrik disusun atas dasar ramalan tentang berbagai
macam ketidakpastian dan harga yang akan datang, menggunakan nilai
tengah, nilai sebarang peluang, koefisien, dan sebagainya. Anggaran ini
memperhatikan ketidakpastian. Sesuatu yang tidak pasti dinyatakan sebagai
koefisien. Jika yang tidak pasti hanya satu (satu koefisien) disebut dengan break-
even budgeting, sedangkan jika yang tidak pasti lebih dari satu disebut parametric
budgeting.
a. Break-even budgeting (anggaran impas)
Dalam hal ini anggaran disusun untuk menetapkan nilai koefisien yang
telah ditetapkan sehingga keuntungan sama dengan kerugian atau impas.
Kelebihan anggaran ini adalah a) dapat melihat dengan mudah apakah
suatu rencana menguntungkan, b) perencana dengan cepat dapat
merekomendasi, dan c) dapat melihat apakah bermanfaat. Sebagai contoh,
seorang petani ingin membeli mesin perontok gabah untuk menghemat tenaga
dan sekaligus dapat disewakan. Berikut adalah contoh pembuatan anggaran
untuk petani tersebut (Kotak 8.7).
Kotak 8.7. Anggaran Impas Pembelian Mesin Perontoh Gabah
Tanggal : 5 Januari 2006
Catatan 1) h = banyaknya hari kerja disewakan
2) perhitungan per musim tanam
Pengeluaran (Rp) Keuntungan (Rp)
1. Penyusutan (I/10) 90.000 1. Pengeluaran dihemat :
2. Bunga (5%) 45.000 Menyewa tenaga
3. Perawatan (7+h) @ 1875 7 HKO @ 14.000 98.000
= 13.125+1.875h 2. Penghasilan tambahan disewakan
4. Penerimaan yang hilang h hari @ 14.000 14.000h
Jumlah pengeluaran = 184.125 + 1875h Jumlah 98.000 + 14.000h
Tambahan keuntungan : (98.000 + 14.000h) – (184.125 + 1.875h) = 0
12.125h = 50.125
h = 4,13 hari

b. Parametric budgeting (anggaran parametric)


Anggaran parametric disusun karena ketidakpastian lebih dari satu.
Adapun contoh pembuatan anggaran dapat dilihat pada Kotak 8.8.
Kotak 8.8. Anggaran Parametrik Pembelian Mesin Prontok Gabah
Tanggal : 5 Januari 2006
Catatan 1) h = banyaknya hari kerja disewakan
2) t = umur ekonomis
3) f = Perawatan per hari kerja
4) Perhitungan per musm tanam
Pengeluaran (Rp) Keuntungan (Rp)
1. Biaya tanbahan 1. Pengeluaran dihemat :
a. Penyusutan (I/10) 900.000/t Menyewa tenaga
b. Bunga (5%) 45.000 7 HKO @ 14.000 98.000
c. Perawatan (7+h) @ f f (7+h) 2. Penghasilan tambahan disewakan
2. Penerimaan yang hilang - h hari @ 14.000 14.000h
3. Jumlah = 900.000/t + 45.000 + f (7+h) 3. Jumlah 98.000 + 14.000h
Tambahan keuntungan : (98.000 + 14.000h) – (900.000/t + 45.000 + f(7+h) = 0
53.000 + 14.000 h – 900.000/t – 7f – fh = 0
53.000 = 900.000/t + 7f – (14.000 – f)h

Pemberian nilai dan arti koefisien h, t, f merupakan suatu keputusan


tersendiri. Beragam alternative dalam memberikan nilai h, t, dan merupakan
beberapa alternatif perencanaan

5. Anggaran Interprise
Anggaran Interprise adalah anggaran yang dapat digunakan untuk
memperkirakan pengeluaran dan pendapatan suatu cabang usahatani per
kesatuan produksi atau per unit. Berikut adalah contoh-contoh usahatani dengan
anggaran interprise.
1) Anggaran interprise untuk usahatani sapi perah yang menghasilkan 11
liter susu perhari per ekor dapat dilihat pada Kotak 8.9

Kotak 8.9 Anggaran Interprise Sapi Perah Per Ekor Per Hari
1. Pendapatan kotor (Rp)
- 11 liter @ Rp 2.200 24.200
2. Biaya variabel (Rp) :
a. Pakan 7.900
b. Tenaga kerja 2.000
c. Obat-obatan 600
d. Biaya sapi kering 2.400
e. Lain-lain 300
Jumlah 13.200
3. Biaya tetap (Rp) :
a. Penyusutan sapi 2.300
b. Penyusutan kandang 300
c. Penyusutan alat 700
Jumlah 3.300
4. Total biaya (Rp) 16.500
5. Pendapatan (Rp) 7.700
Catatan : Pendapatan = Rp 7.700/ekor/hari

Berikut adalah analisis anggarannya untuk memperkirakan apakah akan


menguntungkan atau tidak
Penyusutan :
Sapi Rp 828.000/tahun
Kandang Rp 108.000/tahun
Peralatan Rp 252.000/tahun

Perhitungan : BEP Penjualan =

BEP produk = x 1 liter

BEP harga =

Keterangan : P = harga per liter susu = Rp 2.200


AVC = biaya variabel per liter = Rp 1.200
FC = biaya tetap = Rp 3.300
TC = total biaya = Rp 16.500
Y = Produksi = 11 liter

BEP produk = x 1 liter = 3,3 liter per hari

BEP penjualan = = Rp 7.260 per hari

BEP harga = Rp 1.500 per liter

Dari perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa yang direncanakan jauh di


atas BEP sehingga bila rencana tersebut diaplikasikan pasti menguntungkan.

2) Anggaran Interprise untuk usahatani ayam pedaging yang periode produksinya 20 hari.
Datanya tersaji dalam Kotak 8.10.

Kotak 8.10 Anggaran Interprise 1.000 Ekor Ayam Pedaging Per Periode Produksi
1. Berat hidup (kg/ekor) 1,6
2. Mortalitas 3% yang hidup 97% -
3. Bonus DOC 20% total ayam 1.020
4. Total Produksi (kg) : 97% x 1,6 x 1020 1.583,04
5. Harga (Rp/kg) 8.000
6. Pendapatan kotor 12.664.320
7. Biaya tetap :
a. Penyusutan kandang 100.000
b. Penyusutan peralatan 25.000
c. Penyusutan lain-lain 25.000
Jumlah 150.000
8. Biaya variabel
a. Starter 1.500 kg @ Rp 2.500 3.750.000
b. Finisher 1.400 kg @ Rp 2.250 3.150.000
c. DOC 1000 ekor @ Rp 2.000 2.000.000
d. Obat + vaksin 75.000
e. Vitamin 25.000
f. Sekam 30.000
g. Bahan bakar 200.000
Jumlah 9.230.000
9. Total biaya 9.380.000

Perhitungan : BEP Penjualan =

BEP produk = x 1 kg

BEP harga =

FC = biaya tetap = Rp 150.000/periode

AVC = biaya variabel per kg = = Rp 5.830/kg

p = harga per kg = Rp 8.000


Y = total produksi = 1.583,04 kg

BEP produk = x 1 kg = 69,12 kg/periode

BEP penjualan = = Rp 553.505/periode

BEP harga = = Rp 5.925/kg

Dari perhitungan tersebut jelas bahwa rencana usahatani ayam pedaging


dapat dilaksanakan karena penjualan, harga, dan produksinya berada di atas
BEP.
BAB 9
EVALUASI USAHATANI

Pada Bab 7 telah dibahas suatu usahatani dikatakan berhasil apabila usahatani tersebut
dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat luar yang digunakan,
upah tenaga kerja luar serta sarana produksi yang lain dan termasuk kewajiban
pada pihak ketiga. Untuk menilai keberhasilan, diperlukan evaluasi terutama dari
sudut pandang ekonomi antara lain biaya dan pendapatan, kelayakan usaha, dan
analisis BEP.
Dalam melakukan evaluasi banyak istilah-istilah yang harus dipahami. Istilah-istilah
tersebut sebagai berikut.
1. Produksi total (Y) yaitu jumlah produksi per usahatani dengan satuan kg.
2. Harga produksi (P) yaitu harga produksi per unit dengan satuan Rp/kg.
3. Penerimaan atau nilai produksi (R atau S) yaitu jumlah produksi dikalikan harga
produksi dengan satuan Rp.
4. Biaya variabel (VC) yaitu biaya yang digunakan untuk membeli atau menyediakan
bahan baku yang habis dalam satu kali produksi. Dalam tulisan ini yang
dimasukan dalam biaya variabel antara lain biaya sarana produksi dan tenaga
kerja luar per usahatani dengan satuan Rp.
5. Biaya variabel per unit (AVC) yaitu total biaya variabel dibagi total produksi dengan
satuan (Rp/kg).
6. Biaya tetap (FC) yaitu biasa sewa lahan, pajak lahan, biaya bunga, penyusutan per
usahatani dengan satuan Rp.
7. Biaya total (TC atau C) yaitu jumlah biaya variabel dan biaya tetap per usahatani
dengan satuan Rp.
8. Pendapatan petani (I) yaitu selisih antara penerimaan dengan total biaya per
usahatani dengan satuan Rp.
9. Keuntungan (π) yaitu pendapatan dikurangi upah tenaga kerja keluarga (w) dan
bunga modal sendiri per usahatani dengan satuan Rp.
10. Total tenaga kerja yang dicurahkan yaitu jumlah tenaga kerja keluarga ditambah
dengan jumlah tenaga kerja luar keluarga per usahatani dengan satuan HKO.
11. Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total
tenaga kerja yang dicurahkan per usahatani dengan satuan Rp/HKO.
12. R/C ratio yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total biaya per usahatani.
13. π/C ratio atau produktivitas modal yaitu perbandingan antara keuntungan dengan total
biaya per usahatani.
14. Sewa lahan yaitu nilai pendapatan yang diterima petani jika petani menyewakan lahan
tersebut dan tidak mengelolanya sendiri dengan satuan Rp.

A. Biaya, Pendapatan, dan Kelayakan Usaha


Dalam mengevaluasi, semua faktor produksi diperhitungkan sebagai biaya seperti
halnya dalam Bab 7, demikian pula pendapatan. sementara evaluasi kelayakan usaha
berdasarkan beberapa kategori. suatu usahatani dikatakan layak jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. R / C > 1
2. π / C > Bunga bank yang berlaku
3. Produktifitas tenaga kerja (Rp/HKO) lebih besar dari tingkat upah yang berlaku
4. Pendapatan (Rp.) > sewa lahan (Rp) per satuan waktu atau musim tanam
5. Produksi (kg) > BEP Produksi (Kg)
6. Penerimaan (Rp) > BEP Penerimaan (Rp)
7. Harga (Rp/kg) > BEP harga (Rp/Kg)
8. Jika terjadi penurunan harga produksi maupun peningkatan harga faktor produksi
sampai batas tertentu tidak menyebabkan kerugian.

B. CONTOH KASUS DAN PERHITUNGAN


Dalam contoh kasus berikut data diperoleh dari hasil penelitian penulis di
Kabupaten Bantul pada tahun 2003. Angka yang diperoleh merupakan angka rata-rata
dari beberapa responden penelitian.
1. Analisis usahatani padi sawah (MH) di Bantul per 0,099 ha, tahun 2003
a. Biaya dan Pendapatan
1. Penerimaan
a. Produksi total 450 kg
b. Harga Rp. 4.500/Kg
c. Penerimaan Rp. ..........
2. Biaya
a) Biaya variabel
1. Benih Rp 18.625
2. Pupuk kimiawi Rp 71.705
3. Pupuk organik Rp 16.000
4. Pestisida Rp 3.655
5. Tenaga kerja luar Rp 170.495
Jumlah Rp 280.480
Biaya variabel per unit Rp 6.164/kg
b) Biaya tetap
2 Unit traktor Rp 200.000
3. Total biaya Rp 310.480
4. Pendapatan Petani Rp (259.702)
5. Keuntungan
a. Upah tenaga kerja keluarga/org Rp 8.000
b. Total tenaga yang dicurahkan 20 HKO
c. Nilai sewa lahan Rp 294.120
d. Keuntungan Rp 35.517
Dari hasil perhitungan tersebut tampak bahwa pendapatan petani sangat
rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh luas tanam yang hanya 0,09 ha.
Dengan luasan tersebut sulit untuk diupayakan peningkatan pendapatan
petani. Dalam menghitung pendapatan petani tersebut, tenaga kerja petani
belum/tidak dimasukkan sebagai komponen biaya. Namun demikian, jika
tenaga kerja petani beserta keluarganya dimasukkan, yaitu sebesar
Rp 129.115 maka hasilnya masih positif.

b. ANALISIS BEP
Meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas produksi (kg), dan
BEP harga (Rp/kg) menghasilkan perhitungan sebagai berikut.

1) BEP penerimaan (Rp) =

= Rp 73.242

2) BEP produksi (kg) = =

= Rp 73.424

3) BEP harga (Rp./kg) =

= = Rp 730/kg

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa usahatani padi sawah (MH)


mengalami break even atau tidak untung dan tidak rugi jika penerimaan
yang diperoleh petani sebesar Rp 73.242 per musim per usahatani produksi
65,65 kg per musim, atau harga jual sebesar Rp 730/kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala sesuatunya
karena sebagai berikut.
1) Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp) yang
harus dicapai agar petani memperoleh keuntungan Rp x atau
keuntungan margin X %
2) Dapat dihitung berapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp X di
atas total biaya produksi atau untuk X% dari total biaya produksi yang
telah dikeluarkan petani.

Contoh perhitungannya :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 317.385 atau sebesar 285 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka

Penerimaan (S) =

= = Rp 143.130 atau sebesar 128 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi per musim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 965/kg

2b Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi


per musim produksi per musim tanam maka :
keuntungan 20% dari total biaya : 20% x Rp 310.480 = Rp 62.100
Harga (Rp/kg) = = Rp 876/kg

Hal ini berarti :


1) Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani
dan harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan produksi sesuai dengan keuntungan yang diinginkan
sebagai berikut.
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 285 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 128 kg per usahatani.
2) Dengan total biaya produksi di tingkat petani maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut :
a. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total
biaya produksi maka harga jual petani minimal Rp 965/kg.
b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat petani minimal Rp 876/kg.
c. ANALISIS PERUBAHAN HARGA
Untuk analisis ini fokusnya hanya pada harga produk. Hal ini karena
pada umumnya harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan
harga produknya. Dengan kata lain, biaya relatif stabil sedangkan besarnya
penerimaan berfluktuasi mengikuti fluktuasi harga produk. Hasil
perhitunganya sebagai berikut.
1) Harga produk (P) saat penelitian = Rp 1.116/kg
2) Harga produk (P) saat BEP = Rp 730/kg
3) Harga saat BEP adalah sebesar 65,38% dari harga riil saat penelitian
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 34,62% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1) Harga turun 25% sehingga menjadi Rp 837/kg maka :
- Penerimaan 425,5 kg x Rp 837/kg = Rp 356.144
- Biaya produksi total = Rp 310.480 (-)
Masih untung sebesar = Rp 45.664
2) Harga turun 35% sehingga menjadi Rp 725/kg maka :
- Penerimaan 425,5 kg x Rp 725/kg = Rp 308.658
- Biaya produksi total = Rp 310.480 (-)
- Petani rugi sebesar = Rp 1.822
Dari perhitungan tersebut jelas bahwa jika penurunan produk tidak
melebihi 34,62% maka petani tidak mengalami kerugian. Angka 34,62 ini
merupakan titik batas yang harus diperhatikan untuk melindungi petani
sebagai produsen padi sawah. Berbagai institusi yang berwenang dan
mempunyai perhatian khusus bagi petani dapat segera bertindak jika ada
kecenderungan penurunan harga mendekati 34,62% tersebut.
d. ANALISIS KELAYAKAN
Dalam analisis kelayakan usahatani padi sawah (MH) ini digunakan
beberapa kriteria yaitu R/C ratio, produktivitas modal (π/C),
produktivitas tenaga kerja, dan ukuran nilai sewa lahan. Suatu
usahatani padi sawah dikatakan layak jika
1) R/C ratio > 1
2) π/C > bunga bank yang berlaku
3) Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaaku
4) Pendapatan > sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut :

1) R/C ratio = = 1,530 > 1  layak

2) π/C ratio = = 11,43% > 8%  layak

3) Produktivitas tenaga kerja = = Rp 24.669/HKO

Rp 24.669/HKO > Rp 15.400/HKO  layak


4) Pendapatan petaani = Rp 164.632 < Rp 294.120  tidak layak
Dari kriteria tersebut maka usahatani padi sawah layak untuk
diusahakan dan dikembangkan meskipun dari ukuran sewa lahan usahatani
padi sawah tidak layak dikembangkan karena nilai sewa lahan yang lebih
besar dari pendapatan petani.

2. ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH (MK I) DI BANTUL PER 0,09


HA, TAHUN 2003
a. BIAYA DAN PENDAPATAN
1. Penerimaan
a) Produksi total 575.33 kg
b) Harga Rp 1.165/kg
c) Penerimaan Rp 670.450
2. Biaya
a) Biaya variabel
1) Benih Rp 18.625
2) Pupuk kimiawi Rp 71.965
3) Pupuk organik Rp 16.000
4) Pestisida Rp 3.665
5) Tenaga kerja luar Rp 220.245
Jumlah Rp 329.490
Biaya variabel per unit Rp 573
b) Biaya Tetap Rp 30.000
3. Total Biaya Rp 359.490
4. Pendapatan Petani Rp 310.960
5. Keuntungan
a) Upah tenaga kerja keluarga Rp 129.115
b) Total tenaga yang dicurahkan 19,26 HKO
c) Nilai sewa lahan Rp 294.120
d) Keuntungan Rp 181.845

Dari hasil perhitungan tersebut Nampak bahwa pendapatan petani


sangat rendah, hal ini karena luas tanam hanya 0,09 ha. Luasan ini
merupakan kendala utama untuk pengembangan lebih lanjut.
Dalam menghitung pendapatan petani tersebut, tenaga kerja petani
belum/tidak dimasukkan sebagai komponen biaya. Namun demikian, jika
tenaga kerja petani beserta keluarganya dimasukkan, yaitu sebesar Rp
129.115 maka hasilnya masih positif.

b. ANALISIS BEP
Analisis BEP meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas
produksi (kg) dan BEP harga (Rp/kg).

1. BEP penerimaan (Rp) = =

=
= Rp 59.055

2. BEP produksi (kg) = =

= 50,65 kg

3. BEP harga (Rp/kg) =

= = Rp 625/kg

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa usahatani padi sawah (MK I)


mengalami break even atau tidak untuk dan tidak rugi jika penerimaan yang
diperoleh petani sebesar Rp 50.055 per musim per usahatani, produksi 50,65
kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala
sesuatunya karena sebagai berikut.
1) Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp)
yang harus dicapai agar petani memperoleh keuangan Rp x atau
keuntungan margin sebesar x%.

2) Dapat dihitung beberapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp


x di atas total biaya produksi atau untuk x % dari total biaya
produksi yang telah dikeluarkan petani.

Contoh perhitungan :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 255.627 atau sebesar 219,42 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka
Penerimaan (S) =

= = Rp 97.228 atau sebesar 84 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi permusim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 799/kg

2b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi per
musim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 750/kg

Hal ini berarti :


1) Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani dan
harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat merencanakan
produksi sesuai denga keuntungan yang diinginkan sebagai berikut :
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 219,42 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 84 kg per usahatani.
2) Dengan total biaya produksi di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut.
a. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total biaya
produksi maka harga jual petani minimal Rp 799 kg.
b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat minimal Rp 750/kg.
c. ANALISIS PERUBAHAN HARGA
Untuk analisis ini ditekankan pada harga produksi karena pada
umumnya harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan
harga produknya. Dengan kata lain, biaya produksi relatif stabil
sedangkan besarnya penerimaan berfluktuasi mengikuti harga produk. Hasil
perhitungannya adalah sebagai berikut.
1) Harga produk (P) saat penelitian = Rp 1.165/kg
2) Harga produk (P) saat BEP = Rp 625/kg
3) Harga saat BEP adalah sebesar 53,63% dari harga riil saat penelitian.
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 46,37% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1) Harga turun 25% sehingga menjadi Rp 838/kg maka :
- Penerimaan 575,33 kg x Rp 838/kg = Rp 502.695
- Biaya produksi total = Rp 359.490 (-)
Masih untung sebesar = Rp 143.205
2) Harga turun 50% sehingga menjadi Rp 583/kg maka :
- Penerimaan 575,33 kg x Rp 583/kg = Rp 335.130
- Biaya produksi total = Rp 359.490 (-)
Petani rugi sebesar = Rp 24.360
Dari perhitungan tersebut jelas bahwa jika penurunan harga produk
tidak melebihi 46,37% mka petani tidak mengalami kerugian. Angka
46,37% ini merupakan titik batas yang harus diperhatikan untuk melindungi
petani sebagai produsen jadi sawah. Berbagai institusi yang berwenang dan
mempunyai perhatian khusus bagi petani dapat segera bertindak jika ada
kecenderungan penurunan harga mendekati 46,37 tersebut.

d. Analisis Kelayakan
Dalam analisis kelayakan usahatani padi sawah (MH) ini digunakan
beberapa kriteria yaitu : R/C ratio, produktivitas modal (π/C), produktivitas
tenaga kerja, dan ukuran nilai sewa lahan. Suatu usahatani padi sawah
dikatakan layak jika :
1) R/C ratio > 1.
2) π/C > bunga bank yang berlaku.
3) Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4) Pendapatan> sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut.


1) R/C ratio = = 1,865 > 1  layak

2) π/C ratio = = 50,58% > 8%  layak

3) Produktivitas tenaga kerja = = Rp 34.811/HKO

Rp 24.669/HKO > Rp 15.400/HKO  layak


4) Pendapatan petaani = Rp 310.960 < Rp 294.120  layak
Dari kriteria tersebut maka usahatani padi sawah layak untuk
diusahakan dan dikembangkan.

3. Analisis usahatani kedelai (MK II) di Bantul per 0, 11 ha, tahun 2003
a. Biaya dan pendapatan
1. Penerimaan
a) Produksi total 100,62 kg
b) Harga Rp 2.383/kg
c) Penerimaan Rp 239.810

2. Biaya
a) Biaya variabel
1. Benih Rp 3.083
2. Pupuk kimiawi Rp 15.512
3. Pupuk organik Rp 789
4. Pestisida Rp 856
5. Tenaga kerja luar Rp 44.810
6. Tenaga mesin Rp 8.070
Jumlah Rp 73.120
Biaya variabel per unit Rp 727
b) Biaya tetap Rp 16.514
3. Total biaya Rp 89.634
4. Pendapatan petani Rp 150.000
5. Keuntungan
a. Upah tenaga kerja keluarga Rp 103.026
b. Total tenaga yang dicurahkan 12,57 HKO
c. Nilai sewa lahan Rp 294.120
d. Keuntungan Rp 47.150
Dari hasil perhitungan tersebut Nampak bahwa pendapatan petani
kedelai sangat rendah. Hal ini disebabkan lahan yang sempit dan
produktivitas yang masih rendah yaitu sekitar 9,147 ku/ha walaupun
pendapatan petani rendah. Namun, jika tenaga kerja keluarga sendiri
dimasukkan sebagai komponen biaya sebesar Rp 103.026 maka pendapatan
petani masih tetap positif.

b. Analisis BEP
Analisis BEP meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas
produksi (kg), dan BEP harga (Rp/kg).

1. BEP penerimaan (Rp) = =

= Rp 23.762

2. BEP produksi (kg) = =

= 9,97 kg

3. BEP harga (Rp/kg) =

= = Rp 891/kg

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa petani kedelai tidak untung


dan tidak rugi jika penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 23.762 per musim
per usahatani, produksi 9,97 kg per musim atau harga jual sebesar
Rp 891/kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala
sesuatunya karena sebagai berikut.
1. Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp) yang
harus dicapai agar petani memperoleh keuntungan Rp X atau
keuntungan marjin sebesar X%.
2. Dapat dihitung berapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp x di atas
total biaya produksi atau untung x% dari total biaya produksi yang telah
dikeluarkan petani.
Contoh perhitungan :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 167.624 atau sebesar 70,33 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka

Penerimaan (S) =

= = Rp 33.356 atau sebesar 14 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi permusim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.885/kg

2b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi per
musim tanam maka :
Keuntungan 20% dari total biaya = 20% x Rp 89.634 = Rp 17.927

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.069/kg


Hal ini berarti :
1) Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani dan
harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat merencanakan
produksi sesuai denga keuntungan yang diinginkan sebagai berikut :
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 70,33 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 14 kg per usahatani.
2) Dengan total biaya produksi di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut.
a. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total biaya
produksi maka harga jual petani minimal Rp 1.885/ kg.
b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat minimal Rp 1.069/kg.

c. Analisis Perubahan Harga


Untuk analisis ini ditekankan pada harga produksi karena pada
umumnya harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan harga
produknya. Dengan kata lain, biaya produksi relatif stabil sedangkan
besarnya penerimaan berfluktuasi mengikuti harga produk. Hasil
perhitungannya adalah sebagai berikut.
1) Harga produk (P) saat penelitian = Rp 2.383/kg
2) Harga produk (P) saat BEP = Rp 891/kg
3) Harga saat BEP adalah sebesar 53,63% dari harga riil saat penelitian.
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 46,37% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1) Harga turun 25% sehingga menjadi Rp 1.788/kg maka :
- Penerimaan 100,62 kg x Rp 1.788/kg = Rp 179.858
- Biaya produksi total = Rp 89.634 (-)
Masih untung sebesar = Rp 90.224
2) Harga turun 65% sehingga menjadi Rp 834/kg maka :
- Penerimaan 100,62 kg x Rp 834/kg = Rp 83.933
- Biaya produksi total = Rp 89.634 (-)
Petani rugi sebesar = Rp 4.298
Dari perhitungan tersebut jelas bahwa jika penurunan harga produk
tidak melebihi 62,62% mka petani tidak mengalami kerugian. Angka
62,62% ini merupakan titik batas yang harus diperhatikan untuk melindungi
petani sebagai produsen jadi sawah. Berbagai institusi yang berwenang dan
mempunyai perhatian khusus bagi petani dapat segera bertindak jika ada
kecenderungan penurunan harga mendekati 62,62 tersebut.

d. Analisis Kelayakan
Untuk menganalisis usahatani kedelai digunakan beberapa kriteria
yaitu : R/C ratio, produktivitas modal (π/C), produktivitas tenaga kerja, dan
ukuran nilai sewa lahan. Suatu usahatani padi sawah dikatakan layak jika :
1) R/C ratio > 1.
2) π/C > bunga bank yang berlaku.
3) Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4) Pendapatan> sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut.

1) R/C ratio = = 2,675 > 1  layak

2) π/C ratio = = 52,60% > 8%  layak

3) Produktivitas tenaga kerja = = Rp 19.078/HKO

Rp 19.078/HKO > Rp 15.400/HKO  layak


4) Pendapatan petaani = Rp 150.176 < Rp 294.120  tidak layak
Dari kriteria tersebut maka usahatani padi sawah layak untuk
diusahakan dan dikembangkan meskipun dari ukuran sewa lahan usahatani
kedelai tidak layak dikembangkan karena nilai sewa lahan yang lebih besar
dari pendapatan petani.

4. Analisis Usahatani kacang tanah di Bantul per 0,18 ha, Tahun 2003
a. Biaya dan pendapatan
1. Penerimaan
a) Produksi total 711.937 kg
b) Harga Rp 3.289/kg
c) Penerimaan Rp 2.341.492
2. Biaya
a) Biaya variabel
1) Benih Rp 184.155
2) Pupuk kimiawi Rp 84.965
3) Pupuk organik Rp 526.167
4) Pestisida Rp 44.217
5) Tenaga kerja luar Rp 91.511
Jumlah Rp 995.434
Biaya variabel per unit Rp 1.398
b) Biaya Tetap Rp 71.471
3. Total Biaya Rp 1.066.905
4. Pendapatan Petani Rp 1.274.589
5. Keuntungan
a) Upah tenaga kerja keluarga Rp 126.922
b) Total tenaga yang dicurahkan 45,57 HKO
c) Nilai sewa lahan Rp 287.000
d) Keuntungan Rp 1.111.667
6. Nilai “rendeng” (hijauan)

Dari hasil perhitungan tersebut Nampak bahwa pendapatan petani


kacang tanah cukup besar. Hal ini disebabkan produktivitas yang tinggi
yaitu sekitar 3.955 kg/ha dan harga jual di tingkat petani yang cukup tinggi.
Dengan demikian, jika tenaga kerja keluarga sendiri sebesar Rp 126.920
dimasukkan sebagai komponen biaya produksi maka pendapatan petani
tetap positif.

b. Analisis BEP
Analisis BEP meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas
produksi (kg) dan BEP harga (Rp/kg).

1. BEP penerimaan (Rp) = =

= Rp 124.341

2. BEP produksi (kg) = =

= 37,80 kg
3. BEP harga (Rp/kg) =

= = Rp 1.499/kg

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa usahatani kacang tanah


mengalami break even atau tidak untuk dan tidak rugi jika penerimaan yang
diperoleh petani sebesar Rp 124.341 per musim per usahatani, produksi
37,80 kg per musim, atau harga jual sebesar Rp 1.499/kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala sesuatunya
karena sebagai berikut.
1) Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp) yang
harus dicapai agar petani memperoleh keuangan Rp x atau keuntungan
margin sebesar x%.

2) Dapat dihitung beberapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp x di


atas total biaya produksi atau untuk x % dari total biaya produksi yang
telah dikeluarkan petani.

Contoh perhitungan :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 300.826 atau sebesar 91,47 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka

Penerimaan (S) =

=
= = Rp 190.654 atau sebesar 57.97 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi permusim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.639/kg

2b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi per
musim tanam maka :
Keuntungan 20% dari biaya = 20% x Rp 1.066.904 = Rp 213.381

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.798/kg

Hal ini berarti :


1) Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani dan
harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat merencanakan
produksi sesuai dengan keuntungan yang diinginkan sebagai berikut :
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 91,47 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 57,97 kg per usahatani.
2) Dengan total biaya produksi di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut.
a. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total biaya
produksi maka harga jual petani minimal Rp 1.639 kg.
b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat minimal Rp 1.798/kg.

c. Analisis perubahan harga


Untuk analisis ini ditekankan pada harga produksi karena pada
umumnya harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan harga
produknya. Dengan kata lain, biaya produksi relatif stabil sedangkan
besarnya penerimaan berfluktuasi mengikuti harga produk. Hasil
perhitungannya adalah sebagai berikut.
1) Harga produk (P) saat penelitian = Rp 3.289/kg
2) Harga produk (P) saat BEP = Rp 1.499/kg
3) Harga saat BEP adalah sebesar 45,56% dari harga riil saat penelitian.
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 54,44% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1) Harga turun 25% sehingga menjadi Rp 2.467/kg maka :
- Penerimaan 711,94 kg x Rp 2.467/kg = Rp 502.695
- Biaya produksi total = Rp 359.490 (-)
Masih untung sebesar = Rp 689.238
2) Harga turun 55% sehingga menjadi Rp 1.480/kg maka :
- Penerimaan 711,94 kg x Rp 1.480/kg = Rp 1.035.671
- Biaya produksi total = Rp 1.066.905 (-)
Petani mengalami kerugian sebesar = Rp 13.234
Dari perhitungan tersebut jelas bahwa jika penurunan harga produk
tidak melebihi 54,44% maka petani tidak mengalami kerugian. Oleh karena
itu, angka 54,44% ini merupakan angka yang tidak boleh terlewati bagi
pihak yang berwenang. Sebaiknya selalu mengamati jika terjadi penurunan
harga dan ada kecenderungan mendekati 54,44% maka harus segera
ditindaklanjuti. Dengan demikian petani dapat aman dari resiko kerugian.

d. Analisis Kelayakan
Dalam analisis kelayakan usahatani kacang tanah ini diperhitungkan
dalam dua macam perhitungan yaitu jika limbah berupa “rending” atau
hijauan makanan ternak tidak dimasukkan sebagai penambah pendapatan
petani.
Kriteria yang digunakan dalam analisis kelayakan usahatani kacang
tanah adalah R/C ratio, diproduktivitas modal (π/C), produktivitas tenaga
kerja dan ukuran nilai sewa lahan. Suatu usahatani kacang tanah dikatakan
layak jika :
1) R/C ratio > 1.
2) π/C > bunga bank yang berlaku.
3) Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4) Pendapatan> sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut.


- Tanpa “rendeng” (hijauan)

1) R/C ratio = = 2,195 > 1  layak

2) π/C ratio = = 104,20% > 8%  layak

3) Produktivitas tenaga kerja = = Rp 51.382/HKO

Rp 51.382/HKO > Rp 10.000/HKO  layak


4) Pendapatan petani = Rp 1.274.589 < Rp 287.000  layak
Dari keempat kriteria tersebut, usahatani kacang tanah layak untuk
dikembangkan.
- Dengan “rendeng” (hijauan)

1) R/C ratio = = 2,435 > 1  layak

2) π/C ratio = = 131,09% > 8%  layak

3) Produktivitas tenaga kerja = = Rp 57.022/HKO

Rp 57.022/HKO > Rp 10.000/HKO  layak


4) Pendapatan petani = Rp 1.531.589 < Rp 287.000  layak

5. ANALISIS USAHATANI BAWANG MERAH (MK II) DI BANTUL PER


0, 11 HA, TAHUN 2003
a. Biaya dan pendapatan
1. Penerimaan
a) Produksi total 1.204,36 kg
b) Harga Rp 2.542/kg
c) Penerimaan Rp 3.061.481
2. Biaya
a) Biaya variabel
1) Benih Rp 1.327.167
2) Pupuk kimiawi Rp 238.381
3) Pestisida Rp 135.015
4) Tenaga kerja luar Rp 384.892
Jumlah Rp 2.085.546
Biaya variabel per unit Rp 1.732
b) Biaya tetap Rp 255.950
3. Total biaya Rp 2.341.405
4. Pendapatan petani Rp 720.079
5. Keuntungan
a. Upah tenaga kerja keluarga Rp 189.730
b. Total tenaga yang dicurahkan 88,18 HKO
c. Nilai sewa lahan Rp 283.303
d. Keuntungan Rp 530.349

b. Analisis BEP
Analisis BEP meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas
produksi (kg), dan BEP harga (Rp/kg).

1. BEP penerimaan (Rp) = =

= Rp 23.762

2. BEP produksi (kg) = =

= 315,83 kg

3. BEP harga (Rp/kg) =

= = Rp 1.944/kg

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa petani kedelai tidak untung


dan tidak rugi jika penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 802.854 per
musim per usahatani, produksi 315,83 kg per musim atau harga jual sebesar
Rp 1.944/kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala sesuatunya
karena sebagai berikut.
1. Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp) yang
harus dicapai agar petani memperoleh keuntungan Rp X atau
keuntungan marjin sebesar X%.
2. Dapat dihitung berapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp x di atas
total biaya produksi atau untung x% dari total biaya produksi yang telah
dikeluarkan petani.
Contoh perhitungan :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 1.116.499 atau sebesar 439,22 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka

Penerimaan (S) =

= = Rp 2.154.297 atau sebesar 847,48 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi permusim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 2.027/kg

2b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi per
musim tanam maka :
Keuntungan 20% dari total biaya = 20% x Rp 2.341.405 = Rp 468.281

Harga (Rp/kg) = = Rp 2.333/kg

Hal ini berarti :


1) Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani dan
harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat merencanakan
produksi sesuai denga keuntungan yang diinginkan sebagai berikut :
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 439,22 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 847,48 kg per usahatani.
2) Dengan total biaya produksi di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut.
a. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total biaya
produksi maka harga jual petani minimal Rp 2.027/ kg.
b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat minimal Rp 2.333/kg.

c. Analisis Perubahan Harga


Untuk analisis ini ditekankan pada harga produksi karena pada
umumnya harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan harga
produknya. Dengan kata lain, biaya produksi relatif stabil sedangkan
besarnya penerimaan berfluktuasi mengikuti harga produk. Hasil
perhitungannya adalah sebagai berikut.
1. Harga produk (P) saat penelitian = Rp 2.542/kg
2. Harga produk (P) saat BEP = Rp 1.944/kg
3. Harga saat BEP adalah sebesar 76,48% dari harga riil saat penelitian.
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 46,37% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1) Harga turun 25% sehingga menjadi Rp 2.034/kg maka :
- Penerimaan 1.204,36 kg x Rp 2.034/kg = Rp 2.449.187
- Biaya produksi total = Rp 2.341.405 (-)
Masih untung sebesar = Rp 107.782
2) Harga turun 25% sehingga menjadi Rp 1.907/kg maka :
- Penerimaan 1.204,36 kg x Rp 2.034/kg = Rp 2.296.112
- Biaya produksi total = Rp 2.341.405 (-)
Petani rugi sebesar = Rp 45.293
Dari perhitungan tersebut jelas bahwa jika penurunan harga produk
tidak melebihi 23,52% mka petani tidak mengalami kerugian. Angka
23,52% ini merupakan titik batas yang harus diperhatikan untuk melindungi
petani sebagai produsen jadi sawah. Berbagai institusi yang berwenang dan
mempunyai perhatian khusus bagi petani dapat segera bertindak jika ada
kecenderungan penurunan harga mendekati 23,52 tersebut.
d. Analisis Kelayakan
Untuk menganalisis usahatani kedelai digunakan beberapa kriteria
yaitu : R/C ratio, produktivitas modal (π/C), produktivitas tenaga kerja, dan
ukuran nilai sewa lahan. Suatu usahatani padi sawah dikatakan layak jika :
1). R/C ratio > 1.
2). π/C > bunga bank yang berlaku.
3). Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4). Pendapatan> sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut.

1. R/C ratio = = 1.307 > 1  layak

2. π/C ratio = = 22,65% > 8%  layak

3. Produktivitas tenaga kerja = = Rp 34.718/HKO

Rp 34.718/HKO > Rp 11.200/HKO  layak


4. Pendapatan petaani = Rp 720.079 < Rp 238.303  tidak layak
Dari kriteria tersebut maka usahatani bawang merah layak untuk
diusahakan dan dikembangkan.

6. ANALISIS USAHATANI TUMPANG SARI CABAI MERAH DAN


BAWANG MERAH (MT I) DI BANTUL PER 0,12 HA, TAHUN 2003
a. Biaya dan pendapatan
1. Penerimaan
1.1 Bawang merah
a. Produksi total 1.381,77 kg
b. Harga Rp 3.911/kg
c. Penerimaan Rp 5.404.255
1.2 Cabai merah 663,84 kg
a. Produksi total Rp 1.136
b. Penerimaan Rp 753.830
c. Penerimaan Rp 6.158.084
Total penerimaan
2. Biaya
2.1 Biaya variabel
a. Benih bawang merah Rp 1.327.167
b. Benih capai merah Rp 22.315
c. Pupuk kimiawi Rp 354.030
d. Pestisida Rp 187.500
e. Tenaga kerja luar Rp 1.306.475
Jumlah Rp 3.728.430
2.2 Biaya tetap Rp 545.835
3. Total biaya Rp 4.274.430
4. Pendapatan petani Rp 1.883.820
5. Keuntungan
a. Upah tenaga kerja keluarga Rp 132.503
b. Total tenaga yang dicurahkan 16,52 HKO
c. Nilai sewa lahan Rp 476.607
d. Keuntungan Rp 1.751.317

Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa pendapatan petani dari


usahatani tumpang sari cabai merah dan bawang merah yang tinggi serta
harga jual di tingkat petani yang tinggi pula. Dengan demikian, jika tenaga
kerja keluarga dimasukkan sebagai komponen biaya yaitu sebesar
Rp 132.503 maka pendapatan petani masih positif. Namun demikian,
usahatani tumpang sari ini waktunya panjang (April-Oktober) sekitar 7-8
bulan.

b. Analisis BEP
Analisis BEP meliputi BEP untuk usahatani tumpang sari ini adalah
BEP totalitas dengan menganggap dua komoditas tersebut dalam satu
kesatuan usaha.

1. BEP (Rp) totalitas = =

= Rp 1.383.612
Sales Mix = Nilai produksi bawang merah : Nilai produksi cabai merah
= 72 : 10
Bawang merah = x Rp 1.383.612 = Rp 1.214.880

= = Rp 310,6/kg

= x Rp 1.383.612 = Rp 168.732

= = 148,60 kg

Dari perhitungan tersebut terlihat bahwa petani tidak untung dan tidak
rugi jika nilai produksi dari usaha tumpang sari mencapai Rp 1.383.612
dengan kombinasi bawang meras sebesar 310,6 kg dan cabai merah
148,6 kg.

c. Analisis perubahan penerimaan


Analisis ini ditekankan pada penerimaan biaya produksi relatif stabil
dibandingkan dengan penerimaan akibat dari berfluktuasinya harga
produksi. perhitungannya sebagai berikut.
1. Penerimaan riil adalah = Rp 6.158.084
2. Penerimaan saat BEP adalah = Rp 1.383.612

Penerimaan saat BEP adalah sebesar 22,47% dari penerimaan. Angka


ini merupakan angka batas yang artinya jika penerimaan total turun akibat
dari turunnya harga produk sehingga kurang dari 22,47 maka petani pasti
rugi. Bagi yang berwenang mempunyai perhatian terhadap petani sebaiknya
waspada, jika ada kecenderungan penurunan penerimaan mendekati angka
tersebut harus ditindaklanjuti.

d. Analisis Kelayakan
Untuk menganalisis kelayakan usahatani tumpang sari ini digunakan
beberapa kriteria yaitu : R/C ratio, produktivitas modal (π/C ratio),
produktivitas tenaga kerja, dan sewa lahan. Suatu usahatani dikatakan layak
jika :
1). R/C ratio > 1.
2). π/C > bunga bank yang berlaku.
3). Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4). Pendapatan> sewa lahan.
7. ANALISIS USAHATANI JAGUNG DI BANTUL PER 0,21 HA, TAHUN
2003
a. Biaya dan pendapatan
1. Penerimaan
a. Produksi total 423,24 kg
b. Harga Rp 968/kg
c. Penerimaan Rp 409.696
2. Biaya variabel
a. Benih Rp 6.610
b. Pupuk kimiawi Rp 74.330
c. Pupuk Organik Rp 164.275
d. Pestisida Rp 7.070
e. Tenaga kerja luar Rp 85.330
Jumlah Rp 337.615
Biaya variabel per unit Rp 798
3. Biaya tetap Rp 15.850
4. Total biaya Rp 353.465
5. Pendapatan petani Rp 56.231
6. Keuntungan
a. Upah tenaga kerja keluarga Rp 383.277
b. Total tenaga yang dicurahkan 36,62 HKO
c. Nilai sewa lahan Rp 9.311
d. Keuntungan Rp 327.047
7. Nilai “rendeng” (hijauan) Rp 375.000

b. Analisis BEP
Analisis BEP meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas
produksi (kg), dan BEP harga (Rp/kg).

1. BEP penerimaan (Rp) = =

= Rp 90.108

2. BEP produksi (kg) = =


=

= 93,071 kg

3. BEP harga (Rp/kg) =

= = Rp 835/kg

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa petani jagung tidak untung dan
tidak rugi jika penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 90.108 per musim per
usahatani, produksi 93,071 kg per musim atau harga jual sebesar
Rp 835/kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala
sesuatunya karena sebagai berikut.
1. Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp) yang
harus dicapai agar petani memperoleh keuntungan Rp X atau
keuntungan marjin sebesar X%.
2. Dapat dihitung berapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp x di atas
total biaya produksi atau untung x% dari total biaya produksi yang telah
dikeluarkan petani.
3. Khusus untuk tanaman jagung, perhitungan ini harus memasukkan nilai
hijauan sebesar Rp 375.000 sebagai hasil tambahan.

Contoh perhitungan :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 1203.335 atau sebesar 210,06 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka

Penerimaan (S) =
=

= = Rp 42.867 atau sebesar 44,28 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi permusim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.071/kg

2b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi per
musim tanam maka :
Keuntungan 20% dari total biaya = 20% x Rp 353.465 = Rp 70.693

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.002/kg

Hal ini berarti :


1. Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani dan
harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat merencanakan
produksi sesuai denga keuntungan yang diinginkan sebagai berikut :
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 210,06 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 44,28 kg per usahatani.
2. Dengan total biaya produksi di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut.
c. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total biaya
produksi maka harga jual petani minimal Rp 1.07/ kg.
d. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat minimal Rp 1.002/kg.

c. Analisis Perubahan Harga


Untuk analisis ini ditekankan pada harga produk, karena pada umumnya
harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan harga produknya.
Dengan kata lain, biaya relatif stabil sedangkan penerimaan berfluktuasi
mengikuti harga produk. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut.
1. Harga produk (P) saat penelitian = Rp 968/kg
2. Harga produk (P) saat BEP = Rp 835/kg
4. Harga saat BEP adalah sebesar 86,27% dari harga riil saat penelitian.
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 13,73% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1. Harga turun 10% sehingga menjadi Rp 871/kg maka :
- Penerimaan 423,24 kg x Rp 871/kg = Rp 368.727
- Biaya produksi total = Rp 353.465 (-)
Masih untung sebesar = Rp s15.262
2. Harga turun 15% sehingga menjadi Rp 823/kg maka :
- Penerimaan 423,24 kg x Rp 823/kg = Rp 348.242
- Biaya produksi total = Rp 353.465 (-)
Petani rugi sebesar = Rp 5.223
Dari perhitungan tersebut tampak bahwa jika penurunan harga produk
tidak melebihi 13,73% mka petani tidak mengalami kerugian. Angka
13,73% ini merupakan angka atau angka kritis. Jika terlihat ada
kecenderungan penurunan harga jagung kea rah angka tersebut maka pihak
yang berwenang yang mempunyai keberpihakan pada petani sebaiknya
segera bertindak. Dengan demikian, petani aman dari risiko rugi.

d. Analisis Kelayakan
Untuk menganalisis usahatani jagung diperhitungkan dalam dua macam
perhitungan yaitu jika limbah yang berupa hijauan makanan ternak
diperhitungkan sebagai penambah pendapatan petani.
Kriteria yang digunakan dalam analisis kelayakan usahatani jagung
adalah R/C ratio, produktivitas modal (π/C), produktivitas tenaga kerja, dan
ukuran nilai sewa lahan. Suatu usahatani kedelai dikatakan layak jika :
1). R/C ratio > 1.
2). π/C > bunga bank yang berlaku.
3). Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4). Pendapatan> sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut.


- Tanpa hijauan (“rendeng”)

1. R/C ratio = = 1.195 > 1  layak

2. π/C ratio tidak dapat diperhitungan karena hasilnya negatif

3. Produktivitas tenaga kerja = = Rp 11.188/HKO

Rp 11.188/HKO > Rp 12.500/HKO  tidak layak


4. Pendapatan petani = Rp 56.230 < Rp 9.311  layak*)
*) tidak dapat dijadikan ukuran karena tanah Sultan (Sultan Ground)
tidak disewakan

Dari kriteria tersebut maka usahatani bawang merah layak untuk


diusahakan dan dikembangkan.
- Dengan hijauan

1. R/C ratio = = 1.195 > 1  layak

2. π/C = 13,51% > 8%  layak

3. Produktivitas tenaga kerja = = Rp 21.428/HKO

Rp 21.428/HKO > Rp 12.500/HKO  layak

Dari kriteria tersebut maka usahatani bawang merah layak untuk


diusahakan dan dikembangkan.

8. ANALISIS USAHATANI TEMBAKAU (MK) DI BANTUL PER 0,11 HA,


TAHUN 2003
a. Biaya dan pendapatan
1. Penerimaan
a. Produksi total 674,93 kg
b. Harga Rp 1.533/kg
c. Penerimaan Rp 1.034.890
2. Biaya variabel
a. Benih Rp 58.667
b. Pupuk kimiawi Rp 165.706/kg
c. Pupuk Organik Rp 285.036
d. Pestisida Rp 8.517
e. Tenaga kerja luar Rp 104.110
Jumlah Rp 618.036
Biaya variabel per unit Rp 916
3. Biaya tetap Rp 19.285
4. Total biaya Rp 637.320
5. Pendapatan petani Rp 397.570
6. Keuntungan
a. Upah tenaga kerja keluarga Rp 384.890
b. Total tenaga yang dicurahkan 35,89 HKO
c. Nilai sewa lahan Rp 20.950
d. Keuntungan/kerugian Rp 12.680

Dari hasil perhitungan tersebut tampak bahwa pendapatan petani sangat


rendah sebesar Rp 56.231. Hal ini disebabkan oleh sempitnya lahan
sehingga produksinya kecil. Di samping itu, harga produk juga rendah.
Dengan demikian, jika tenaga kerja keluarga dimasukkan sebagai komponen
biaya yaitu sebesar Rp 384.890 maka pendapatan petani hampir negatif.

b. Analisis BEP
Analisis BEP meliputi BEP dalam penerimaan (Rp), BEP kuantitas
produksi (kg), dan BEP harga (Rp/kg).

1. BEP penerimaan (Rp) = =

= Rp 47.880

2. BEP produksi (kg) = =

= 31,22 kg

3. BEP harga (Rp/kg) =

= = Rp 944/kg

Dari perhitungan tersebut nampak bahwa usahatani tembakau


mengalami break event atau petani tidak untuk dan tidak rugi jika
penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 47.880 per musim per usahatani,
produksi 31,22 kg per musim atau harga jual sebesar Rp 944/kg.
Dengan analisis BEP ini petani dapat merencanakan segala sesuatunya
karena :
1. Dapat dihitung berapa produksi (kg) maupun penerimaan (Rp) yang
harus dicapai agar petani memperoleh keuntungan Rp X atau
keuntungan marjin sebesar X%.
2. Dapat dihitung berapa harga jual (Rp/kg) agar petani untung Rp x di atas
total biaya produksi atau untung x% dari total biaya produksi yang telah
dikeluarkan petani.

Contoh perhitungan :
1a. Jika petani menginginkan laba atau keuntungan Rp 100.000 per
usahatani per musim maka :

Penerimaan (S) = =

= Rp 1203.335 atau sebesar 210,06 kg


1b. Jika petani menginginkan laba marjin sebesar 20% per musim maka

Penerimaan (S) =

= = Rp 95.093 atau sebesar 62,02 kg

2a. Jika petani menginginkan keuntungan sebesar Rp 100.000 di atas total


biaya produksi permusim tanam maka :

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.092/kg

2b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% dari total biaya produksi per
musim tanam maka :
Keuntungan 20% dari total biaya = 20% x Rp 637.320 = Rp 127.464

Harga (Rp/kg) = = Rp 1.133/kg

Hal ini berarti :


1. Dengan kemampuan berproduksi atau produktivitas di tingkat petani
dan harga yang berlaku di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan produksi sesuai denga keuntungan yang diinginkan
sebagai berikut :
a. Jika ingin keuntungan Rp 100.000 maka produksi minimal yang
harus dicapai sebesar 193,13 kg per usahatani.
b. Jika ingin keuntungan marjin sebesar 20% maka produksi minimal
yang harus dicapai sebesar 62,02 kg per usahatani.
2. Dengan total biaya produksi di tingkat petani, maka petani dapat
merencanakan harga jual agar petani tidak mengalami kerugian sebagai
berikut.
a. Jika petani menginginkan keuntungan Rp 100.000 di atas total biaya
produksi maka harga jual petani minimal Rp 1.092/ kg.
b. Jika petani menginginkan keuntungan 20% di atas total biaya
produksi maka harga jual di tingkat minimal Rp 1.133/kg.

c. Analisis Perubahan Harga


Untuk analisis ini ditekankan pada harga produk, karena pada umumnya
harga faktor produksi lebih stabil dibandingkan dengan harga produknya.
Dengan kata lain, biaya relatif stabil sedangkan penerimaan berfluktuasi
mengikuti harga produk. Hasil perhitungannya adalah sebagai berikut.
1. Harga produk (P) saat penelitian = Rp 1.533/kg
2. Harga produk (P) saat BEP = Rp 944/kg
3. Harga saat BEP adalah sebesar 61,58% dari harga riil saat penelitian.
Ini berarti bahwa jika terjadi penurunan harga melebihi 38,42% maka
petani menderita kerugian. Sebagai contoh :
1. Harga turun 250% sehingga menjadi Rp 1.150/kg maka :
- Penerimaan 674,93 kg x Rp 1.150/kg = Rp 776.170
- Biaya produksi total = Rp 637.320 (-)
Masih untung sebesar = Rp 138.850
2. Harga turun 40% sehingga menjadi Rp 920/kg maka :
- Penerimaan 674,24 kg x Rp 920/kg = Rp 620.936
- Biaya produksi total = Rp 637.320 (-)
Petani rugi sebesar = Rp 16.384

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa jika penurunan harga produk


tidak melebihi 38,42% mka petani tidak mengalami kerugian. Angka
38,42% ini merupakan angka batas atau angka kriti pihak yang berwenang
yang mempunyai perhatian pada petani harus segara bertindak jika ada
kecenderungan harga produk mendekati angka btas tersebut.

d. Analisis Kelayakan
Untuk menghitung kelayakan usahatani tembakai dipakai beberapa
kriteria yaitu : R/C ratio, produktivitas modal (π/C), produktivitas tenaga
kerja, dan ukuran nilai sewa lahan. suatu usahatani kedelai dikatakan layak
jika :
1). R/C ratio > 1.
2). π/C > bunga bank yang berlaku.
3). Produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku
4). Pendapatan> sewa lahan.

Perhitungannya sebagai berikut.

1. R/C ratio = = 2,675 > 1  layak

2. π/C ratio = 1,99% < 8%  tidak layak

3. Produktivitas tenaga kerja = = Rp 28.835/HKO

Rp 28.835/HKO > Rp 13.000,00/HKO  layak


4. Pendapatan petani > sewa lahan = Rp 397.570 >Rp 20.950  layak
Dari kriteria tersebut maka usahatani tembakai layak untuk
dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai