Anda di halaman 1dari 22

Terus Turun, Pangsa Pertanian

Terhadap Perekonomian Nasional


SAKINA RAKHMA DIAH SETIAWAN
Kompas.com - 30/03/2017, 19:06 WIB

SEMARANG, KOMPAS.com – Indonesia pernah dikenal sebagai negara


agraris atau pertanian. Akan tetapi, dengan berbagai macam
permasalahan yang terjadi, apakah status tersebut masih dikalungkan
kepada Indonesia?

Bank Indonesia (BI) mencatat, pangsa sektor pertanian terhadap produk


domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi terus mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan, pada tahun 2016 lalu,
kontribusinya terhadap PDB hanya mencapai 13,45 persen.

“Memang dalam 10 tahun terakhir pangsa sektor pertanian turun dari 22,09
persen pada tahun 1990 menjadi sekitar 13 persen pada tahun 2016,” ujar
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI
Dody Budi Waluyo pada acara media briefing Rapat Koordinasi Pemerintah
Pusat dan Daerah di Crowne Plaza Hotel Semarang, Kamis (30/3/2017).

Tidak hanya itu, dalam hal struktur tenaga kerja sektoral, kontribusi
sektor pertanian juga terus menurun. Pada tahun 1990, porsi tenaga kerja
sektor pertanian mencapai 55,1 persen secara nasional.

Akan tetapi, angka tersebut merosot menjadi 45,1 persen pada tahun
2000. Penurunan tersebut pun terus berlanjut hingga tahun 2016, di mana
porsi tenaga kerja sektor pertanian tinggal mencapai 31,9 persen.

Dody menyatakan, bank sentral memandang ada beberapa permasalahan


yang dialami sektor pertanian, termasuk pangan. Masalah-masalah
tersebut antara lain penurunan produksi, distribusi, dan permasalahan
keterjangkauan harga.

Dalam masalah produksi, hal-hal yang terkait adalah kapasitas,


produktivitas petani, insentif kepada petani, dan data pertanian yang tidak
akurat. Adapun permasalahan distribusi antara lain soal panjangnya tata
niaga, pelaku-pelaku yang dominan, dan pembentukan harga dikuasai oleh
beberapa pelaku pasar saja.
BPS: Kuartal I 2017 Pertumbuhan Ekonomi
RI 5,01 Persen
Yuliyanna Fauzi , CNN Indonesia Jumat, 05/05/2017 09:40 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan

ekonomi Indonesia kuartal I 2017 berada di angka 5,01 persen atau lebih tinggi

dibandingkan pertumbuhan kuartal I 2016 di kisaran 4,92 persen. Angka tersebut juga

lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kuartal IV 2016 yang sebesar 4,94 persen.

Kepala BPS Suhariyanto atau yang akrab disapa Ketjuk mengatakan, pertumbuhan

ekonomi pada tiga bulan pertama di tahun ini ditopang oleh kinerja perdagangan

ekspor dan impor yang berhasil menorehkan surplus dalam tiga bulan berturut-turut.

Surplus perdagangan Indonesia, sambung Ketjuk, dapat terjadi lantaran adanya

sentimen positif dari perbaikan harga sejumlah komoditas dunia.

"Sejumlah komoditas non migas di pasar internasional pada kuartal I 2017 secara

umum mengalami peningkatan dan kondisi ekonomi global juga menunjukkan adanya

peningkatan," ucap Ketjuk di Kantor BPS, Jumat (5/5).

BPS mencatat, surplus perdagangan ini tercermin dari hubungan dagang dengan

sejumlah negara mitra, yakni dengan China menguat 6,9 persen dari sebelumnya 6,7

persen, perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) menguat 1,9 persen dari

sebelumya 1,8 persen, dan perdagangan dengan Singapura menguat 2,5 persen dari

sebelumnya 1,9 persen.

Secara keseluruhan, nilai ekspor Indonesia US$40,61 miliar atau naik 1,33 persen

secara kuartalan dan meningkat 20,84 persen secara tahunan. Sedangkan nilai impor

Indonesia US$36,68 miliar atau menurun 0,75 persen secara kuartalan, namun

meningkat 14,83 persen secara tahunan.


Selain perdagangan ekspor dan impor, pengeluaran pemerintah rupanya turut

berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Tercatat, realisasi belanja pemerintah

sampai kuartal I 2017 telah mencapai Rp400,14 triliun atau 19,23 persen dari target di

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang mencapai Rp2.080,5

triliun.

"Realisasi ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2016 yang sebesar Rp391,04

triliun atau 18,77 persen dari pagu 2016 Rp2.082,9 triliun," kata Ketjuk.

Sementara dari sisi konsumsi rumah tangga, masih cukup baik meski dari sisi

inflasi cukup tertekan. Pasalnya, dalam tiga bulan pertama, masyarakat Indonesia

mengalami sejumlah tekanan dari pengeluaran rumah tangga yang tercermin dari

fluktuatifnya inflasi, tercatat Januari inflasi 0,97 persen, Februari inflasi 0,23 persen,

Maret deflasi 0,02 persen.

Adapun inflasi kuartal I 2017 mendapat banyak tekanan dari komponen tingkat

harga yang diatur oleh pemerintah (administered price) berupa kenaikan tarif dasar

listrik (TDL) dalam tiga tahap bagi pengguuna listrik dengan kapasitas 900 voltampere

(VA) yang tak lagi disubsidi pemerintah.

Kemudian dari sisi investasi juga mengalami peningkatan. Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM) mencatat, sepanjang kuartal I 2017, nilai investasi

mencapai Rp165,8 triliun atau naik 4 persen secara kuartalan dan meningkat 13,2

persen secara tahunan.

Sepanjang kuartal I 2017 tercatat, Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga

Konstan (ADHK) sebesar Rp2.377,5 triliun dan PDB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)

sebesar Rp3.227,2 triliun.


Bank Dunia Ramal Ekonomi RI Tumbuh 5,2%
Saat China Melambat
Disfiyant Glienmourinsie

Senin, 5 Juni 2017 - 13:52 WIB

JAKARTA - Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,2%

pada 2017 dan 5,3% pada tahun 2018. Hal ini dipengaruhi meredanya dampak

konsolidasi fiskal dan kegiatan di sektor swasta meningkat, serta didukung oleh

kenaikan harga komoditas yang moderat, meningkatnya permintaan eksternal dan

membaiknya tingkat kepercayaan akibat reformasi.

Sementara itu proyeksi Bank Dunia menyatakan ada beberapa kawasan yang

pertumbuhan ekonominya menurun, ketika ekonomi global diprediksi membaik di

level 2,7% tahun ini. Asia Timur dan Pasifik, adalah di antaranya yang diperkirakan

pertumbuhan ekonomi mereka turun menjadi 6,2% pada tahun 2017 dan 6,1% pada

2018, mendatang.

Hal ini disebabkan perlambatan bertahap pada China diimbangi oleh kenaikan di

negara lain terutama pulihnya eksportir komoditas dan percepatan pertumbuhan di

Thailand. "Pertumbuhan di Tiongkok diantisipasi melambat menjadi 6,5% tahun ini

dan 6,3% pada 2018," jelas Kepala Ekonom Bank Dunia Paul Romer, dalam

keterangan resmi di Jakarta, Senin (5/6/2017)


Tanpa menyertakan China, kawasan ini terlihat meningkat dengan lebih cepat

dengan tingkat 5,1% pada tahun 2017 dan 5,2% pada 2018. Selanjutnya,

pertumbuhan di Filipina diproyeksikan stabil pada 6,9% tahun ini dan berikutnya,

dipimpin oleh kenaikan investasi publik dan swasta. Thailand juga mempertahankan

pertumbuhan 3,2% pada tahun 2017, meningkat menjadi 3,3% di tahun depan,

karena didukung oleh investasi publik yang lebih besar dan pemulihan konsumsi di

sektor swasta.

Selanjutnya Asia Selatan yang menjadi salah satu kawasan yang diproyeksi

tumbuh membaik tertinggi. Pertumbuhan di kawasan ini diperkirakan akan

meningkat menjadi 6,8% pada 2017 dan kemudian naik menjadi 7,1% pada 2018.

Angka ini mencerminkan meluasnya permintaan domestik dan ekspor yang kuat.

"Tanpa menyertakan India, pertumbuhan kawasan ini diperkirakan akan terus

stabil di 5,7%, kemudian meningkat menjadi 5,8%, dengan percepatan pertumbuhan

di Bhutan, Pakistan, dan Sri Lanka namun melambat di Bangladesh dan Nepal,"

ujarnya.

Pertumbuhan India, jelas Paul diperkirakan akan semakin cepat menjadi 7,2%

pada tahun fiskal 2017 (1 April 2017 - 31 Maret 2018) dan 7,5% pada tahun fiskal

berikutnya. Pakistan diperkirakan naik ke tingkat 5,2% pada tahun fiskal 2017 (1 Juli

2016 - 30 Juni 2017) dan menjadi 5,5 % pada tahun fiskal berikutnya, yang
mencerminkan peningkatan investasi swasta, peningkatan pasokan energi, dan

keamanan yang lebih baik.

"Pertumbuhan Sri Lanka diperkirakan akan meningkat menjadi 4,7% pada 2017

dan 5% pada 2018, karena program lembaga keuangan internasional mendukung

reformasi ekonomi dan meningkatkan daya saing sektor swasta," ungkapnya.

Untuk Eropa dan Asia Tengah, lanjut dia, pertumbuhannya diperkirakan akan

meningkat secara luas menjadi 2,5% pada tahun 2017, dan menjadi 2,7% pada

tahun 2018, didukung oleh pemulihan yang berlanjut di antara eksportir komoditas

dan meredanya risiko geopolitik dan ketidakpastian kebijakan domestik di negara-

negara besar kawasan.

"Rusia diperkirakan akan tumbuh pada tingkat 1,3% pada tahun 2017 setelah

resesi dua tahun dan 1,4% pada 2018, dengan pertumbuhan dibantu oleh kenaikan

konsumsi. Kazakhstan diproyeksikan meningkat 2,4% tahun ini dan 2,6% pada 2018

karena menguatnya harga minyak dan sikap kebijakan makroekonomi yang

akomodatif mendukung aktivitas ekonomi," jelas Paul.

Di antara negara ekonomi pengimpor komoditas, Turki diproyeksikan akan

meningkat 3,5% pada tahun 2017, didukung oleh kebijakan fiskal yang akomodatif,

dan 3,9% pada tahun 2018 karena ketidakpastian mereda, pemulihan pariwisata,

dan neraca perusahaan membaik.


Tax Amnesty Dorong Ekonomi RI Tumbuh 5,3
Persen
Oleh Fiki Ariyanti pada 24 Jul 2016, 13:30 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Program pengampunan pajak (tax amnesty) diyakini dapat


menjadi angin segar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Banjir dana repatriasi yang diperkirakan Rp 1.000 triliun masuk ke Indonesia akan
membawa ekonomi nasional melampaui target di Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan (APBN-P) 2016 sebesar 5,2 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengaku, situasi ekonomi


Indonesia saat ini terus mengalami perbaikan meskipun belum maksimal jika dibandingkan
tahun sebelumnya. Geliat tersebut ditunjukkan dalam beberapa kuartal di tahun ini.

"Seperti penyaluran kredit dan ekspor, tapi jangan lihat tahunan (year on year/YoY) karena
dibanding tahun lalu, masih turun. Tapi lihat tiga bulan terakhir (MoM) mulai merangkak naik,
seperti pertumbuhan kredit di April 8 persen, Mei 8,45 persen, dan 8,9 persen di Juni," ujar
Darmin di kantornya, Jakarta, Minggu (24/7/2016).

Hal yang sama terlihat di data penjualan mobil. Ia menuturkan, penjualan mobil dan
pertumbuhan penjualan di ritel yang awalnya melambat, mulai membaik. Artinya
walaupun ekonomi dunia melambat, Darmin mengatakan, perekonomian Indonesia
justru terkatrol naik.

"Diharapkan perbaikan terus terjadi sampai akhir tahun dengan dorongan dari tax
amnesty. Sehingga saya kok melihat pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai
target APBN-P 5,2 persen, bahkan melampaui yakni 5,3 persen," harap Darmin.

Untuk diketahui, pemerintah sebelumnya menetapkan target pertumbuhan ekonomi


di APBN Induk 2016 sebesar 5,3 persen. Lalu direvisi menjadi 5,2 persen di APBN-P
2016 . (Fik/Ahm)
Ekonomi AS Tumbuh Melambat Sepanjang Kuartal I/2017
Anto Kurniawan
Minggu, 28 Mei 2017 - 13:42 WIB

WASHINGTON - Ekonomi Amerika Serikat (AS) terlihat tumbuh melambat ketika data resmi
terbaru menunjukkan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) mencapai
1,2% secara tahunan (yoy). Lebih baik dari perkiraan sebelumnya 0,7% namun, setelah
adanya revisi terkait pertumbuhan investasi bisnis dan belanja konsumen.

Seperti dilansir BBC, Minggu (28/5/2017) Pelemahan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I
2017 menjadi pukulan telak bagi Presiden AS Donald Trump. Seperti diketahui, Trump
memiliki ambisi tinggi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara tajam hingga 4%.

Namun angka revisi sebelumnya mewakili perlambatan pertumbuhan seperti di akhir kuartal
tahun 2016. Pengeluaran konsumen meningkat dari estimasi awal 0,3%, tetapi pertumbuhan
tetap mendatar di 0,6%, lebih lambat daripada setiap kuartal sejak 2009.

Ekonomi Senior Macroeconomic Advisers Ben Herzon mengatakan, beberapa faktor seperti
pengeluaran konsumen yang rendah telah menahan laju pertumbuhan kuartal pertama.
Para analis meragukan bahwa stimulus fiskal akan mendorong ekonomi lantaran pada saat
yang sama produktivitas rendah dan ada kekurangan tenaga kerja.

"Jika ekonomi akan tumbuh 3%, maka dunia usaha lebih baik membelanjakan uang mereka
untuk barang modal. Ini tidak akan terjadi," tutur Kepala ekonom Naroff Economic Advisors
Joel Naroff di Holland, Pennsylvania.

Laporan juga memperkirakan upah dan gaji belum akan mengalami peningkatan, yang
berarti konsumen kurang memiliki dorongan menurut Direktur Senior Analytics Moody's
Scott Hoyt.

Sebagai informasi selama kampanye pemilihan presiden pada tahun 2016 lalu, Trump
berjanji untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi AS hingga mencapai 4% (yoy). Namun
kemudian pemerintah AS menilai angka 3% (yoy) lebih realistis.

Upaya pemerintahan Trump dalam menggenjot pertumbuhan yakni pemangkasan pajak


perorangan maupun korporasi, meski saat ini belum terealisasi. Realisasi pertumbuhan
ekonomi AS pada kuartal I 2017 tersebut diyakini menjadi yang terburuk dalam setahun
terakhir.

Sebelumnya pada kuartal IV 2016, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam -julukan AS-
dilaporkan mencapai 2,1% (yoy). Pelemahan pada kuartal pertama ini juga membuat
kemungkinan Bank Sentral AS alias The Fed untuk menaikkan suku bunga pada pertemuan
Juni menjadi menipis.
Kunjungan Trump ke Arab Saudi Capai Kesepakatan Bisnis
Rp1.999 Triliun

Bona Ventura
Sabtu, 20 Mei 2017 - 17:23 WIB

RIYADH - Pesawat Air Force One yang membawa rombongan Presiden Amerika Serikat
Donald Trump tiba di Bandara Riyadh King Khalid pada Sabtu (20/5/2017).
Dalam kunjungan luar negeri pertamanya, Trump disambut langsung oleh Raja Arab Saudi
Salman bin Abdulaziz Al Saud dengan menggelar upacara kenegaraan.
Kunjungan ini sekaligus menandai babak baru untuk menyelaraskan hubungan Amerika
Serikat dan Kerajaan Arab Saudi, sekaligus untuk mendukung Visi Arab Saudi 2030.
Melansir dari Reuters, Sabtu (20/5/2017), Trump dan Raja Salman mengadakan
pembicaraan dan penandatanganan sejumlah perjanjian ekonomi dan bisnis kedua negara,
termasuk kesepakatan sebesar USD150 miliar atau setara Rp1.999 triliun (estimasi kurs
Rp13.329/USD).
Jumlah sebesar itu, terdiri dari kesepakatan kerja sama pertahanan sebesar USD100 miliar
alias Rp1.332 triliun, yaitu rencana pembelian senjata oleh Arab Saudi dari Amerika Serikat.
Sisanya sebesar USD50 miliar alias Rp666,45 triliun, merupakan kesepakatan bisnis
minyak antara perusahaan AS dengan perusahaan minyak negara Arab Saudi Aramco. Hal
ini sebagai bagian diversifikasi ekonomi dalam menunjang Visi Arab Saudi 2030. Kerajaan
Saudi berencana melakukan sejumlah privatisasi perusahaan negara, demi meningkatkan
investasi asing di negaranya.
“Transaksi USD50 miliar ini adalah upaya untuk diversifikasi ekonomi kerajaan di luar
ekspor minyak,” ujar CEO Aramco Amin Nasser kepada Reuters.
Nasser menjelaskan ada 16 kesepakatan dengan 11 perusahaan yang ditandatangani,
termasuk Memorandum of Understanding (MoU) untuk membentuk perusahaan patungan.
Hal ini sekaligus menyempurnakan rencana bisnis sebelumnya.
“Kami mengharapkan kesepakatan yang ditandatangani hari ini memberi dorongan untuk
meningkatkan perdagangan bilateral kedua negara,” kata Nasser seraya menambahkan
Aramco siap mengeluarkan USD6,5 miliar per tahun untuk barang dan jasa dari pemasok
AS.
Usaha patungan tersebut termasuk rencana Jacobs Engineering Group Inc, bersama
Aramco untuk mengelola proyek bisnis di Arab Saudi, juga rencana McDermott International
mentransfer beberapa fasilitas pembuatan kapal yang akan dibangun Aramco di Arab Saudi.
Dengan investasi ini, akan semakin menarik modal dan teknologi perusahaan Amerika ke
Arab Saudi. Kedua pejabat negara juga sedang menyiapkan peraturan baru mencakup
investasi langsung oleh perusahaan asing dalam waktu 12 bulan mendatang.
“Kami ingin perusahaan asing melihat Arab Saudi sebagai platform ekspor ke pasar lain,”
ujar Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih.
Selain membahas kerja sama bisnis dengan Arab Saudi, Trump juga akan menghadiri
pertemuan puncak dengan enam pemimpin Teluk, membahas agenda soal terorisme dan
perang melawan ISIS.
Ekonomi AS Beri Sinyal Bergerak Mixed Tahun Ini
Anto Kurniawan
Rabu, 31 Mei 2017 - 14:36 WIB

NEW YORK - Sinyal mixed ekonomi Amerika Serikat (AS) diyakini telah muncul, ketika
peningkatan pengeluaran konsumen masih dibayangi ketidakpastian. Tercatat para periode
Maret hingga April, tingkat pengeluaran konsumen tumbuh 0,4% dimana menurut
Departemen Perdagangan lebih baik setelah bergerak mendatar pada awal tahun.

Namun inflasi tahunan berada pada level 1,7% atau tetap di bawah target yang ditetapkan
pembuat kebijakan sebesar 2% seperti dilansir BBC, Rabu (31/5/2017). Dalam sebuah
survei terpisah terhadap sentimen konsumen menyatakan kepercayaan terhadap
perekonomian mulai tergelincir.

Pembuat kebijakan mencoba memantau sinyal mixed dari ekonomi AS, beberapa
menyatakan pertumbuhan bergerak melambat di awal tahun. Pertanyaannya adalah apakah
perlambatan ini akan terus berlangsung, ketika data terakhir menunjukkan, perekonomian
Negeri Paman Sam berada pa posisi 1,2 persen di kuartal I/2017.

Sedangkan kemarin laporan Departemen perdagangan menunjukkan inflasi naik 0,2% pada
bulan April untuk mencetak rebound, usai jatuh pada Maret, lalu. Analis Moody's Ryan
Sweet dalam sebuah laporan menyatakan inflasi pada bulan April menunjukkan pelemahan
dalam perekonomian.

Meski begitu dia menambahkan tekanan inflasi belum akan terjadi sangat cepat. Sementara
indeks harga, yang menghitung barang dan jasa yang digunakan oleh individu, harga
pangan dan energi meningkat 1,7% year-on-year, mundur dari pertumbuhan tahunan pada
bulan Maret yakni 1,9%.

Departemen perdagangan pada tengah pekan juga melaporkan kenaikan 0,4% dari bulan
ke bulan untuk pengeluaran konsumen, menjadi pertumbuhan tercepat tahun ini. Namun
setelah disesuaikan dengan inflasi, kenaikan belanja hanya 0,2% dari 0,5% pada Maret.

Indeks keyakinan konsumen, yang mengukur sentimen pada bisnis dan kondisi pasar
tenaga kerja, juga menyusut 1,5 poin di bulan Mei, jatuh selama dua bulan beruntun. Meski
begitu Analis Moody's Scott Hoyt mengatakan prospek pertumbuhan pengeluaran
konsumen masih baik untuk jangka menengah. Meski ada risiko besar terkait ketidakpastian
atas reformasi pajak, kebijakan kesehatan dan pergerakan pasar saham AS.
Indeks Manufaktur Indonesia Menurun di Mei
Jumat, 2 Juni 2017 18:37 WIB

Monexnews -Indeks manufaktur Indonesia pada Mei menurun ke posisi 50,6, dari
posisi tertinggi 10 bulan yang dicapai pada April yaitu 51,2.
Angka di atas 50 mengindikasikan masih adanya ekspansi ekonomi Indonesia,
namun capaian ini agak mengecewakan pasar karena beberapa waktu lalu Menteri
Keuangan Sri Mulyani yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,3% di
tahun ini. Selain itu status investment grade baru saja diraih Indonesia dari lembaga
pemeringkat Standard and Poor’s.
"Meskipun ekonomi manufaktur Indonesia dilanda perlambatan pada Mei, beberapa
indeks survei mengindikasikan bahwa perlambatan kemungkinan bersifat
sementara," kata Pollyanna De Lima, ekonom IHS Markit, yang mengompilasi survei
tersebu, seperti dilansir nikkei.com, (2/6).
Pada sisi negatifnya, lanjut De Lima, terlihat kemahnya ekspansi bisnis baru
produksi relatif terhadap harga yang tinggi yang tercaat pada April.

Tumbuh 6,9%, PDB China Lampaui Ekspektasi


Senin, 17 April 2017 10:16 WIB

Monexnews - Produk domestik bruto (PDB) China di kuartal pertama tumbuh lebih
tinggi dari ekspektasi, bahkan menjadi yang tertinggi sejak kuartal III 2015.
Pemerintah China melaporkan pertimbuhan ekonomi yang dilihat dari PDB sebesar
6,9% di kuartal I 2017, naik dari kuartal sebelumnya 5,8%.
Produksi industri menunjukkan kenaikan sebesar 7,6% (year-on-year) di bulan
Maret, dari sebelumnya 6,3%. Kenaikan di bulan April tersebut menjadi yang
tertinggi sejak akhir 2014. Pada periode yang sama penjualan ritel naik 10,9% dari
sebelumnya 9,5% dan lebih tinggi dari perkiraan 9,7%.
Data bagus lain yang dilaporkan dari China yaitu investasi aset tetap naik 9,2%
sepanjang tahun ini dari periode yang sama tahun 2016.
Rating China Diturunkan Karena Utang
Membengkak
Rabu, 24 Mei 2017 17:02 WIB

Monexnews - Di saat lembaga pemeringkat Standard and Poor’s


menaikkan rating Indonesia menjadi investment grade, lembaga rating lainnya,
Moody’s malah menurunkan rating China. Penurunan disebabkan beban utang, baik
swasta maupun pemerintah dan penurunan produktivitas.
Lembaga pemeringkat Moodys telah menurunkan peringkat mata uang lokal dan
mata uang asing jangka panjang China menjadi A1 dari Aa3 namun prospeknya
berubah dari Negatif menjadi Stabil.
Moody's mengatakan, rating ini merefleksikan ekspektasi bahwa kekuatan finansial
China akan terkikis dalam beberapa tahun mendatang. Penyebabnya adalah
perkiraan utang terus melebar sementara pertumbuhan ekonomi melambat.
Data yang dikumpulkan Financial Times menyebutkan di kuartal pertama tahun ini,
total utang China baik swasta maupun pemerintah meningkat hingga 237% dari
gross domestic product (GDP), jauh di atas negara-negara emerging-market lainnya,
mengancam terjadinya krisis keuangan atau perlambatan pertumbuhan dalam
jangka panjang.
Beijing gencar berutang untuk memacu pertumbuhan ekonomi, membuat total
utangnya mencapai 163 triliun renminbi (USD25 triliun) di akhir Maret lalu, utang luar
negeri dan dalam negeri.
Moody’s memperkirakan utang pemerintah meningkat secara gradual hingga 40%
GDP di 2018 dan mendekati 45% di akhir 2019.
“Ke depan, kami memperkirakan potensi pertumbuhan China akan menurun
mendekati 5% dalam lima tahun ke depan, karena tiga alasan. Pertama, formasi
stok modal akan melambat karena rekening investasi mengurangi porsi
pengeluaran. Kedua, turunnya populasi usia kerja yang dimulai pada 2014 akan
semakin cepat. Ketiga, kami tidak memperkirakan adanya pembalikan arah dalam
penurunan produktivitas yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, walaupun
ada penambahan investasi dan keterampilan yang lebih tinggi.
Pertumbuhan GDP Jerman Perkuat Pemulihan
Ekonomi Zona Euro
Jumat, 12 Mei 2017 16:08 WIB

Monexnews -Akselerasi pertumbuhan GDP Jerman di kuartal pertama tahun ini


memperkuat pendapat Gubernur Bank Sentral Eropa, Mario Draghi bahwa ekonomi
zona euro tengah mengalami pemulihan. Jika terus berlanjut dan diikuti negara-
negara ekonomi besar zona euro lainnya maka tidak menutup kemungkinan tapering
stimulus ECB bisa segera terjadi.
Pertumbuhan GDP Jerman di kuartal pertama mengalami akselerasi tercepat dalam
satu tahun, menopang pendirian Mario Draghi dan Komisi Eropa bahwa pemulihan
ekonomi regional bertambah kuat.
Dari Jerman baru saja dirilis data GDP Jerman di kuartal pertama tahun ini yang naik
tajam dan menjadi salah satu penggerak EURUSD. Data ini menunjukkan pemulihan
ekonomi sedang berlangsung di perekonomian terbesar di blok perdagangan Uni
Eropa.
Badan Statistik Federal Jerman, Destatis menyatakan GDP Jerman tumbuh 0,6% di
kuartal pertama tahun ini dibanding kuartal sebelumnya yaitu kuartal keempat tahun
lalu.
Pertumbuhan ditopang peningkatan investasi, belanja konsumen dan ekspor.
Sentimen ini memberi sinyal akan bertahan di kuartal kedua ini.
Peningkatan Kualitas Investasi Berpotensi Dongkrak
Ekonomi RI di atas 6 Persen
Jumat, 23 Agustus 2013 16:28 WIB

Monexnews - Peningkatan kualitas nilai investasi dapat membantu pencapaian


target pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6 persen. Menurut Direktur
Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, investasi yang dimaksud adalah
pembangunan infrastruktur lunak seperti pendidikan dan kesehatan, dan
memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah. "Kalau mau pertumbuhan enam
persen, maka harus ada investasi yang produktif, dan tidak lagi mengandalkan
konsumsi yang dapat memperburuk neraca pembayaran Indonesia," katanya awal
pekan kemarin.
Sri Mulyani mengatakan, agar nilai investasi bertambah, pemerintah harus
meningkatkan iklim berusaha agar investor lebih berminat menanamkan modalnya di
Indonesia. Ia menekankan pada peningkatan investasi pada sektor hilirisasi yang
bermanfaat untuk meningkatkan nilai tambah. “Kita butuh investasi infrastruktur,
kemampuan anggaran sendiri 20 persen, sehingga Indonesia perlu menjaga diri.
Dari sisi ini, Diaspora bisa menjaga dan Indonesia punya aset yang baik,” ujar Sri
Mulyani.
Ia memandang, besarnya potensi Diaspora Indonesia diharapkan dapat berperan
penting dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional. ”Komunitas Diaspora
membantu Indonesia menyadari potensi mereka di dalam dan luar negeri,"
tegasnya.
Asia Timur-Pasifik Sumbang Sepertiga
Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Jumat, 24 Oktober 2014 14:06 WIB

Monexnews - Perekonomian global kembali menunjukkan tanda-tanda belum dapat


pulih sepenuhnya tahun ini. Hal ini seiring dengan prediksi pertumbuhan
ekonomi dunia tahun 2014 yang kembali direvisi hingga hanya berada di kisaran 2,6
persen.
“Pertumbuhan ekonomi global direvisi ke bawah, dan diperkirakan berada di level
2,6 persen tahun ini,” demikian diungkapkan Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri
Mulyani Indrawati dalam pertemuan para menteri keuangan negara-negara anggota
Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang berlangsung di Beijing, Tiongkok
sebagaimana dilansir situs resmi Bank Dunia.
Ia menambahkan, angka tersebut hanya sedikit mengalami peningkatan dari
pertumbuhan ekonomi global tahun lalu yang sebesar 2,4 persen. “Tahun 2014 bisa
jadi akan menjadi tahun yang mengecewakan bagi perekonomian dunia,” katanya.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi global tahun depan pun berpotensi akan
lebih rendah dari prediksi semula.
Namun demikian, ia mengungkapkan, negara-negara berkembang di Asia Timur dan
Pasifik masih akan menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di
dunia. Pertumbuhan ekonomi kawasan ini pun diharapkan dapat menjadi motor
penggerak pertumbuhan ekonomi global.
“(Pertumbuhan ekonomi) negara-negara emerging market dan negara-negara
berkembang anggota APEC diharapkan dapat memberikan kontribusi sekitar
sepertiga dari pertumbuhan ekonomi dunia,” ungkapnya.
Direktur Pelaksana Bank Dunia: Depresisasi Rupiah
Dapat Diantisipasi dari Dua Indikator
Rabu, 21 Agustus 2013 10:50 WIB

Monexnews - Depresiasi nilai tukar rupiah yang terjadi akhir-akhir ini dapat berasal
dan diantisipasi dari dua indikator. Menurut Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri
Mulyani Indrawati, kedua indikator tersebut yaitu indikator sentimen dan indikator
fundamental. "Indikatornya bisa sentimen dan bisa juga fundamental. Jika sentimen
bisa diatasi oleh pesan pemerintah dari sisi kejelasan arah kebijakan, baik dari
otoritas fiskal, moneter, menko perekonomian hingga presiden," jelasnya.
Ada beberapa indikator sentimen yang menyebabkan rupiah terus terdepresiasi,
salah satunya berasal dari pelemahan ekspor, terutama dari sisi volume. Pihaknya
mengatakan, kondisi ekspor RI memang tergantung dari pasar global juga, salah
satunya China. "Kondisi pelemahan ekonomi China akan menyebabkan export
driven tidak bisa lagi menjadi andalan. Tapi kalau mau mengubah menjadi demand
driven, tidak berarti bisa otomatis, sebab ada implikasi ke neraca perdagangan yang
juga berdampak ke nilai tukar," imbuhnya.
Menurutnya kinerja ekspor RI telah menggerus neraca pembayaran Indonesia.
Neraca pembayaran tersebut merupakan indikator fundamental yang mendorong
terjadinya pelemahan rupiah belakangan ini. Ia mengungkapkan, selain kondisi
neraca pembayaran, indikator fundamental juga dapat berasal dari kondisi fiskal,
kondisi moneter, dan kondisi sektor keuangan. "Pemerintah perlu menjelaskan
apakah fundamentalnya terjaga dengan baik. Sementara, dari sektor keuangan, OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) sudah menjelasakan bahwa kondisi mereka baik,"
ucapnya.
Jokowi Minta Pertumbuhan Ekonomi di Bengkulu Tekan
Angka Kemiskinan
FABIAN JANUARIUS KUWADO
Kompas.com - 31/05/2017, 18:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo memimpin rapat


terbatas membahas pelaksanaan proyek strategis nasional dan program
prioritas di Provinsi Bengkulu.

Presiden mengatakan, pertumbuhan ekonomi Bengkulu kuartal pertama


2017 mencapai 5,21 persen.

Angka tersebut di atas pertumbuhan ekonomi nasional.


Namun,Jokowi minta Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk tak cepat puas.

"Sekali lagi saya minta agar pertumbuhan ekonomi yang kian tinggi itu
harus bisa berdampak langsung pada penurunan angka kemiskinan
diBengkulu yang saat ini masih tinggi, yakni sebesar 17,03 persen,"
ujarJokowi di Kantor Presiden, Rabu (31/5/2017).

(Baca: Bahas Pemerataan Ekonomi, Jokowi Minta Menteri "To the Point")

Jokowi menekankan di samping menggenjot pertumbuhan ekonomi,


pemerintah provinsi juga menjadikan pemerataan ekonomi sebagai fokus.

Jangan sampai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dicerminkan dari


naiknya kesejahteraan golongan tertentu.

Salah satu kunci pemerataan, lanjut Jokowi, adalah dengan meningkatkan


konektivitas antardaerah di Bengkulu.

"Saya yakin perekonomian di Bengkulu akan bergerak lebih cepat lagi jika
kita mampu mengatasi masalah konektivitas," ujar Jokowi.

Sebab, Jokowi mencatat, masih ada sekitar 48,7 persen atau 653 daerah
di Bengkulu yang terisolasi.

"Untuk itu saya meminta konektivitas harus jadi perhatian dan harus
ditingkatkan, baik antarwilayah di Provinsi Bengkulu atau dengan provinsi
lainnya," ujar Jokowi.
Imbas Kenaikan Suku Bunga The Fed, IHSG Dibuka Melemah Pagi
Ini

Kompas.com - 15/06/2017, 09:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)


dibuka melemah di awal perdagangan pagi ini, Kamis (15/6/2017).

Investor merespon langkah The Fed menaikkan suku bunga acuan dengan
melakukan aksi jual, sehingga IHSG tertekan. Hal yang sama juga terjadi
pada bursa-bursa di kawasan Asia yang kompak melemah pagi ini.

Pukul 09.15 IHSG bergerak turun sebesar 14,43 poin atau 0,25 persen di
posisi 5.778,46. Sebanyak 80 saham diperdagangkan menguat, 87 saham
melemah dan 114 saham stagnan.

Saham yang membebani pergerakan IHSG di antaranya IIKP. Sementara


itu, saham-saham yang menahan indeks dari pelemahan yakni BMRI,
SMBR, BBCA, TLKM, MYRX, dan BMTR.

Seiring dengan itu, nilai tukar rupiah pada pagi ini bergerak melemah
terhadap dollar AS. Mengutip Bloomberg, rupiah diperdagangkan di Rp
13.282 per dollar AS.
Pertumbuhan Ekonomi 2017 Bersandar Pada
Investasi

Investasi menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi tahun depan, yang ditargetkan
sebesar 5,3 persen. Pemerintah mengaku tidak memiliki banyak alternatif pendorong
ekonomi akibat lesunya belanja negara, konsumsi rumah tangga dan pemerintah, serta eks-
por-impor.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017, belanja negara hanya
dialokasikan sebesar Rp 2.070,5 triliun; turun Rp 12,4 triliun dari belanja dalam APBN
Perubahan 2016. Adapun nilai ekspor pada Januari-Juli 2016 hanya US$ 79,08 miliar; turun
12,02 persen dibanding pada tahun lalu.
“Memang tak banyak pilihan, tapi saya yakin 12 paket kebijakan ekonomi akan berdampak
perbaikan iklim investasi pada tahun depan,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional Bam-bang Brodjonegoro, saat menggelar konferensi pers ihwal nota keuangan,
Sela-
sa lalu.
Bambang mengatakan pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan beberapa sektor
prioritas pada 2017. Sektor komunikasi dan informasi merupakan sektor dengan target
pertumbuhan tertinggi, yakni 10,6 persen. “Didukung oleh penggunaan telepon, Internet,
serta Palapa Ring (proyek pembangunan serat optik) yang akan menjangkau 34 provinsi,”
ujarnya.
Berikutnya yang disorot adalah sektor konstruksi, yang ditargetkan tumbuh 8,1 persen.
Target tersebut dinilai realistis karena dana repatriasi akan mulai membanjir pada akhir
tahun ini. Adapun industri pengolahan diperkirakan tumbuh 5,4 persen.
Sektor selanjutnya adalah pertanian, yang dipatok tumbuh 3,9 persen berkat pencetakan
sawah baru dan perbaikan irigasi. Adapun sektor transportasi dan pergudangan ditargetkan
tumbuh 7,1 persen sebagai dampak meningkatnya bisnis pengiriman produk e-commerce.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengatakan sudah
menyiapkan strategi untuk menggenjot realisasi investasi. Menurut dia, sektor industri
smelter (pabrik pengolahan mineral), pengolahan, dan manufaktur (terutama komponen
otomotif) disiapkan sebagai sektor investasi utama.
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Kiki
Verico, menilai tepat langkah pemerintah menetapkan investasi sebagai tulang punggung
ekonomi. Sebab, iklim investasi memang sedang membaik. Indikatornya antara lain
meningkatnya efisiensi perizinan serta menurunnya keluhan soal infrastruktur. BKPM
melaporkan, realisasi investasi sepanjang triwulan II 2016 naik 12,3 persen menjadi Rp
151,6 triliun.

Sumber: Koran Tempo


BI: Kondisi Perekonomian Indonesia 2017
Mengejutkan...
KONTRIBUTOR BENGKULU, FIRMANSYAH
Kompas.com - 02/11/2016, 19:00 WIB

BENGKULU, KOMPAS.COM - Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas menyebutkan


kondisi perekonomian Indonesia pada 2017 dihadapkan berbagai tantangan yang tidak
ringan dan bisa mengejutkan, baik yang datang dari eksternal maupun domestik.

Hal ini disampaikan Ronald Waas dalam Sertijab Kepala Perwakilan Bank Indonesia
Provinsi Bengkulu Bambang Himawan kepada Endang Kurnia Saputra di Bengkulu, Rabu
(2/10/2016).

"Kondisi perekonomian global saat ini cenderung bias ke bawah, sebagai dampak
pemulihan ekonomi global yang masih cenderung lambat dan tidak merata," kata Ronald.

Ekonomi dunia yang semula diproyeksikan tumbuh 3,5 persen harus dikoreksi menjadi 3
persen yang lebih rendah dibanding tahun lalu 3,1 persen.

Potensi bias ke bawah ini didorong oleh perkiraan pertumbuhan ekonomi AS yang tidak
sekuat proyeksi sebelumnya, dan ekonomi Tiongkok masih mengalami perlambatan.

Kenaikan suku bungan Bank Sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate) yang diperkirakan
terjadi pada Desember 2016 turut menimbulkan ketidakpastian di pasar dan mempengaruhi
perkembangan ekonomi global.

Normalisasi kebijakan The Fed berpotensi memicu capital outflows, sehingga dapat
menimbulkan tekanan pasar keuangan di kawasan, tak terkecuali Indonesia.

Sementara itu tantangan domestik Indonesia diwarnai dengan pertumbuhan ekonomi yang
melambat, defisit fiskal yang diperkirakan masih akan besar, utang luar negeri mengalami
kenaikan, serta pertumbhan kredit yang masih rendah dengan diikuti risiko peningkatan
kredit bermasalah (Non Performing Loan).

Berdasarkan laporan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 dirilis World Economic Forum
(WEF), menunjukkan daya saing Indonesia merosot dari peringkat 37 menjadi 41 dari 138
negara.

Kondisi ini menunjukkan Indonesia harus lebih keras lagi untuk dapat bersaing dalam
perekonomian dunia. Berkaca pada tantangan tersebut BI mencanangkan bauran kebijakan
yang mengutamakan stabilitas ekonomi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan BI senantiasa diarahkan untuk menciptakan kondisi makroekonomi yang stabil,


terutama pencapaian inflasi menuju sarana yang ditetapkan, dan menunrunkan defisit
transaksi berjalan.

"Peran kantor Bank Indonesia di wilayah perwakilan sebagai mintra pemerintah semakin
penting, terutama dalam memberikan masukan tentang arah kebijakan pembangunan,"
paparnya.
DASAR PEMASARAN

NAMA : Goldviyanti

NPM : 23216083

KELAS : 1EB06

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS GUNADARMA

2017

Anda mungkin juga menyukai