Anda di halaman 1dari 98

PEDOMAN NASIONAL

ASMA ANAK
EDISI KE-2
CETAKAN KE-2

Penyunting:
Noenoeng Rahajoe
Cissy B Kartasasmita
Bambang Supriyatno
Darmawan Budi Setyanto

UKK RESPIROLOGI
PP IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
2016
Diterbitkan pertama kalioleh:
UKK Respirologi PP IDAI
Jakarta, 2004

Edisi keH2
Cetakan I, Oktober2015
Cetakan II, Januari 2016

Tata Bahasa dan Letak:


Madeleine Ramdhani Jasin
Dewi Andini Putri
Elisa Noor

Ilustrasi Sampul :
Dewi Andini Putri
Kontributor Pedoman Nasional Asma Anak
UKK Respirologi PP IDAI

1. Bambang Supriyatno, Prof, DR, Dr, SpA(K) H Jakarta


2. Cissy B Kartasasmita, Prof, Dr, MSc, PhD, Sp.A(K) H Bandung
3. Darmawan B Setyanto, Dr, SpA(K) H Jakarta
4. Finny Fitry Yani, Dr, SpA(K) H Padang
5. Heda Melinda D Nataprawira, Prof, DR, Dr, MKes, SpA(K) H Bandung
6. Landia Setiawati, Dr, SpA(K), alm H Surabaya
7. Nastiti Kaswandani, Dr, SpA(K) H Jakarta
8. Nastiti N Rahajoe, Dr, SpA(K) H Jakarta
9. Noenoeng Rahajoe, Dr, SpAK H Jakarta
10. Retno Asih Setyoningrum, Dr, SpA(K) H Surabaya
11. Rina Triasih, Dr, SpA(K) H Yogyakarta
12. Sri Sudarwati, Dr, SpA(K) H Bandung
13. Wahyuni Indawati, Dr,SpA(K) H Jakarta

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 iii


Anggota UKK Respirologi PP IDAI Tahun 2015

1. Adi Utomo Suardi, Dr, MM, SpA(K) H 32. Khairiyadi Ismail, Dr, MKes, SpA H
Bandung Banjarmasin
2. Amalia Setyati, Dr, SpA(K) H Yogyakarta 33. Kiagus Yangtjik, Dr, SpA(K) H Palembang
3. Amiruddin Laompo, Dr, SpA H Makassar 34. Madeleine Ramdhani Jasin, SpA H Jakarta
4. Arief Wijaya Rosli, Dr, SpA H Surabaya 35. Magdalena Sidhartani Zain, Prof, Dr, MSc,
5. Audrey Wahani, Dr, SpA(K) H Manado SpA(K) H Semarang
6. Ayu Setyorini Mestika Mayangsari, Dr, MSc, 36. Makmuri MS, Dr, SpA(K) H Surabaya
SpA H Denpasar 37. Mardjanis Said, Prof, Dr, SpA(K) H Jakarta
7. Bakhtiar, DR, Dr, SpA H Banda Aceh 38. M Syarofil Anam, Dr, Msi Med, SpA –
8. Bambang Supriyatno, Prof, DR, Dr, SpA(K) Semarang
H Jakarta 39. Moeljono S Trastotenojo, Prof, Dr, SpA(K) H
9. Bob Wahyudin, DR, Dr, SpA(K) H Makassar Semarang
10. Cissy B Kartasasmita, Prof, Dr, MSc, PhD, 40. Muchammad Fahrul Udin, Dr, MKes, SpA H
SpA(K) H Bandung Malang
11. Darfioes Basir, Prof, Dr, SpA(K) H Padang 41. Muhammad Sidqi Anwar, Dr, SpA(K) H
12. Darmawan B Setyanto, Dr, SpA(K) H Jakarta Banda Aceh
13. Deddy Iskandar, Dr, SpA H Surabaya 42. Nastiti Kaswandani, Dr, SpA(K) H Jakarta
14. Diah Asri Wulandari, Dr, SpA(K) H Bandung 43. Nastiti N Rahajoe, Dr, SpA(K) H Jakarta
15. Dwi Wastoro Dadiyanto, Dr, SpA(K) H 44. Noenoeng Rahajoe, Dr, SpA(K) H Jakarta
Semarang 45. Noorleila B Affandi, Dr, SpA(K) H Jakarta
16. Dwikisworo Setyowireni, Dr, SpA(K) H 46. Nurjanah, Dr, SpA(K) H Banda Aceh
Yogyakarta 47. Oma Rosmayudi, Dr, SpA(K) H Bandung
17. Eddy Widodo, DR, Dr, SpA(K) H Jakarta 48. Putu Siadi Purniti, Dr, SpA(K) H Denpasar
18. Ery Olivianto, Dr, SpA H Malang 49. Retno Asih Setyoningrum, Dr, SpA(K) H
19. Fatimah Arifin, Dr, SpA(K) H Palembang Surabaya
20. Fauzi Mahfuzh, Dr, SpA H Jakarta 50. Retno Widyaningsih, Dr, SpA(K) H Jakarta
21. Fifi Sofiah, Dr, SpA H Palembang 51. Ridwan M Daulay, Dr, SpA(K) H Medan
22. Finny Fitry Yani, Dr, SpA(K) H Padang 52. Rifan Fauzie, Dr, SpA H Jakarta
23. Fith Dahlan, Dr, SpA H Makasar 53. Rina Triasih , Dr, SpA(K) H Yogyakarta
24. Gabriel Panggabean, Dr, SpA(K) H Medan 54. Rini Savitri Daulay, Dr, MKed(Ped), SpA H
25. Hadianto Ismangoen, Dr, SpA(K) H Medan
Yogyakarta 55. Riza Sahyuni, Dr, SpA, Mkes H Banjarmasin
26. Heda Melinda D Nataprawira, Prof, DR, Dr, 56. Roni Naning, Dr, MKes, SpA(K) H
MKes, SpA(K) H Bandung Yogyakarta
27. Helmi Lubis, Dr, SpA(K) H Medan 57. Sang Ayu K Indriyani, Dr, SpA, Mkes H
28. HMS Chandra Kusuma, Prof, DR, Dr, Mataram
SpA(K) H Malang 58. Sri Sudarwati, Dr, SpA(K) H Bandung
29. Ida Bagus Subanada, Dr, SpA(K) H Denpasar 59. Tjatur Kuat Sagoro, Dr, SpA H Jakarta
30. Imam Boediman, Dr, SpA(K) H Jakarta 60. Wahyuni Indawati, Dr, SpA(K) H Jakarta
31. Ismiranti Andarini, Dr, SpA H Surabaya 61. Wisman Dalimunthe, Dr, SpA(K) H Medan

Anggota UKK Respirologi PP IDAI yang telah meninggal


1. Iskandar Zulkarnaen, Dr, SpA(K), alm. H Solo
2. Jan Wantania, Prof, DR, Dr, SpA(K), alm. – Manado
3. Landia Setiawati, Dr, SpA(K), alm. – Surabaya
4. Muhammad Farid, Prof, Dr, SpA(K), alm. – Makassar
5. Muljono Wirjodiardjo, Dr, SpA(K), alm. – Jakarta
6. Putu Suwendra, Dr, SpA(K), alm H Denpasar
7. Syarifuddin Dalimunthe, Dr, SpA, alm. H Medan
8. Tonny Sadjimin, Prof, Dr, MPH, PhD, SpA(K), alm. H Yogyakarta
9. Usman Alwi, Dr, SpA, alm. H Jakarta
10. Zakaria Siregar, Dr, SpA(K), alm. H Medan

iv Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Sambutan Ketua Umum PP IDAI
Assalamu'alaikumwr. wb.

Asma merupakan salah satu penyakit tidak menular atau non3


communicable disease (NCD) yang masih menjadi masalah kesehatan
global. Pada anak, penyakit respiratorik kronik ini merupakan salah satu
penyakit yang paling banyak dijumpai dan sejak dua dekade terakhir angka
kejadiannya dilaporkan meningkat baik pada anakHanak maupun dewasa.
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,
angka kejadian asma pada anak usia 0 H 14 tahun adalah 9,2%. Di seluruh
dunia, diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma.
Penanganan asma yang tidak tepat diantaranya dapatmembatasi
aktivitas anak sehariHhari, mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi
sekolah, dan menurunkan prestasi di sekolah. Hal tersebut dapat
mengakibatkan turunnyakualitashidup anak dengan asma.
Berbagai panduan asma telah diterbitkan baik secara nasional
maupun internasional. Namun demikian, revisi yang berkelanjutan seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan sangat diperlukan agar
kualitas hidup anak dengan asma dapat meningkat.
Atas nama Pengurus Pusat IDAI, kami mengucapkan selamat dan
terima kasih kepada UKK Respirologi dan seluruh pihak yang telah
membantu proses penerbitan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA).
Penerbitan buku pedoman ini merupakan bentuk komitmen IDAI dalam
upaya menurunkan angka NCDs dan menutup kesenjangan pelayanan
kesehatanterkaitasma.
Kami berharap, buku pedoman ini dapat dijadikan acuan oleh
seluruh praktisi kesehatan yang membutuhkan, sehingga tumbuh
kembang anak dengan asma dapat optimal sesuai dengan denganpotensi
genetiknya.

Wassalammu'alaikum wr.wb.

Jakarta, 22 Oktober 2015

DR. Dr.Aman B. Pulungan, SpA(K)


Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 5


Sambutan Ketua UKK Respirologi PP IDAI
Assalaamu'alaikumwr. wb.

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, oleh karena hanya
berkat karuniaNya maka Buku Pedoman Nasional Asma Anak 2015 (PNAA
2015) berhasil diterbitkan. Buku pedoman ini merupakan edisi kedua,
setelah penerbitan Buku PNAA edisi pertama pada tahun 2004. Kurun
waktu yang panjang tentunya telah membuat tata laksana asma pada anak
secaraglobalmengalamibanyakperubahan.
Selain penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan
pada anak, angka kejadian non3communicable disease termasuk asma
cenderung untuk terus meningkat. Sebagai salah satu penyakit kronik yang
paling banyak dijumpai pada anak, angka kematian akibat asma tidak
setinggi infeksi respiratori akut seperti pneumonia. Namun, asma yang
tidak mendapat tata laksana yang optimal akan menyebabkan
menurunnya kualitashidup anak dengan asma.
Buku PNAA 2015 ini akan membantu dokter dalam melakukan
penatalaksanaan anak asma berdasarkan buktiHbukti terkini yang sahih
dan menggunakan prinsip evidence3based practice. BuktiHbukti terkini
tidak langsung diimplementasikan di dalam pedoman namun dikaji
denganmenggunakananalisiskemampulaksanaannyadilapangan.
Selaku Ketua UKK Respirologi bersama dengan pengurus UKK,
kami mengucapkan terima kasih atas kerja keras seluruh kontributor dan
penyunting Buku PNAA 2015, yang upayanya telah dimulai sejak beberapa
tahun yang lalu pada periode kepengurusan UKK Respirologi sebelumnya.
Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada Ketua Umum PP IDAI atas
dukungannya, seluruh anggota UKK Respirologi PP IDAI, mitra dan semua
pihak yang membantu terbitnya buku ini. Dengan adanya Buku PNAA 2015
ini diharapkan agar pelayanan kesehatan terhadap anak asma di Indonesia
menjadi semakin baik. Amin.

Wassalaammu'alaikum wr.wb.

Jakarta, 22 Oktober 2015

Dr.Nastiti Kaswandani, SpA(K)


Ketua UKKRespirologi PPIDAI

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 7


Panduan Mempelajari PNAA

 Untuk lebih memahami penggunaan alur dalam PNAA, uraian dalam


naskahnya perlu dipelajari.
 Bila fasilitas diagnostik atau terapi di suatu layanan kesehatan
belum tersedia, gunakan pilihan lain sesuai dengan keadaan.
 Sejauh mungkin PNAA disusun berdasarkan kepustakaan terkini
yang sesuai dan menggunakan kaidah Kedokteran Berbasis Bukti
(Evidence3Based Medicine, EBM).
 Khusus untuk tatalaksana asma jangka panjang dan serangan asma,
pada kepustakaan yang dikutip, dicantumkan pula level of evidenceH
nya seperti berikut ini:
o Evidence A: berdasarkan penelitian randomized
controlled trial (RCT) dengan jumlah data (penelitian,
sampel) yang besar.
o Evidence B: berdasarkan penelitian RCT dengan jumlah
data (penelitian, sampel) yang terbatas.
o Evidence C: berdasarkan penelitian nonrandomisasi, atau
penelitian observasional.
o Evidence D: berdasarkan konsensus (kesepakatan) para
ahli.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 ix


DAFTAR ISI

Halaman

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 xi


4.2.3. Pemeriksaan penunjang 26
4.3. Diagnosis banding 29
4.4. Klasifikasi 30
4.5. Tahapan penegakandiagnosis asma 32
4.6. Labelisasi pasien asma 33

BAB V : TATALAKSANA JANGKA PANJANG 35


5.1. Tujuan tata laksana 35
5.2. Garis besar tata laksana 35
5.3. Tata laksana medikamentosa 35
5.3.1. Cara pemberian obat 36
5.3.2. Obat pengendali asma 37
5.4. Penentuan derajat kendali 41
5.5. Jenjang pengendalian asma 42

BAB VI. TATALAKSANA SERANGAN ASMA 47


6.1. Definisi 47
6.2. Tujuan tata laksana serangan asma 47
6.3. Patofisiologi serangan asma 47
6.4. Penilaian derajat serangan asma 49
6.5. Tahapan tata laksana serangan asma 51
6.5.1. Tata Laksana di klinik atau unit gawat darurat 60
6.5.1.1. Serangan asma ringan sedang 62
6.5.1.2. Serangan asma berat 63
6.5.2. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RSS) 63
6.5.3. Tata laksana di Ruang Rawat Inap 63
6.6. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif 64
6.7. ObatHobatan untuk serangan asma 65
6.7.1. Agonis β2 kerja pendek 65
6.7.2. Ipratropium bromida 66
6.7.3. Aminofilin intravena 66
6.7.4. Steroid sistemik 66
6.7.5. Adrenalin 67
6.7.6. Magnesium sulfat 67
6.7.7. Steroid inhalasi 68
6.7.8. Mukolitik 68
6.7.9. Antibiotik 68
6.7.10. Obat Sedasi 69
6.7.11. Antihistamin 69

xii Pedoman Nasional Asma Anak 2015


BAB VII. TATALAKSANA NON-MEDIKAMENTOSA 73
7.1. Program KIE 73
7.2. Rencana Aksi Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP) 75
7.3. Kartu Aksi Asma (KAA) 76
7.4. Penghindaran Pencetus 77

BAB VIII. ASMA DENGAN PENYAKIT PENYERTA 87


8.1. Rinitis alergi dan rinosinusitis 87
8.2. Refluks gastroesofageal 89
8.3. Obesitas 90
8.4. Infeksi respiratori 90

BAB IX. ASMA PADA ANAK BALITA 95


9.1. Patogenesis dan patofisiologi asma anak balita 95
9.2. Diagnosis asma anak balita 95
9.2.1. Pemeriksaan Penunjang 97
9.3. Diagnosis banding 98
9.4. Indikasi untuk rujukan 99
9.5. Tata laksana jangka panjang asma anak balita 99
9.5.1. Penentuan tingkat kendali asma 102
9.5.2. Menilai respons dan penyesuaian terapi 103
9.6. Tata laksana serangan asma anak balita 104
9.6.1. Penilaian tingkat keparahan serangan asma 104
9.6.2. Kriteria pulang dari RS dan pemantauan setelah
eksaserbasi 105

BAB X. KEKELIRUAN DALAM TATAKELOLA ASMA 111


10.1. Kekeliruan pada diagnosis 111
10.2. Kekeliruan pada tata laksana 114
10.2.1. Pada saat serangan 114
10.2.2. Tata laksanajangka panjang 116
10.3. Kekeliruan pada terapi inhalasi 119

LAMPIRAN 121

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 xiii


Pedoman Nasional Asma Anak 2015 15
Pedoman Nasional Asma Anak 2015 xvi
Pedoman Nasional Asma Anak 2015 17
xviii Pedoman Nasional Asma Anak 2015
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering


dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Prevalens asma pada anak
sangat bervariasi di antara negaraHnegara di dunia, berkisar antara 1H
18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab
kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah
kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat
menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehariHhari,
mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan
menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga
dan sektor pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali akan
meningkatkanpengeluaranbiaya.
Pemahaman patogenesis, imunopatologi, genetika, manifestasi
klinis, diagnosis, dan tata laksana asma telah mengalami banyak
kemajuan. Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Akan tetapi, faktor mana yang lebih berperan tidak dapat
dipastikan karena kompleksitas hubungan kedua faktor tersebut.
Asma terjadi karena inflamasi kronik, hiperHresponsif dan perubahan
struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran
respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum
munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada saluran
respiratori terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot
polos, edema mukosa, hipersekresi mukus.
Mekanisme yang mendasari terjadinya asma pada anak dan
dewasa adalah sama. Namun, ada beberapa permasalahan pada asma
anak yang tidak dijumpai pada dewasa karena bervariasinya
perjalanan alamiah penyakit, kurangnya bukti ilmiah yang baik,
kesulitan menentukan diagnosis dan pemberian obat, serta
bervariasinya respons terhadap terapi yang sering tidak dapat
diprediksi sebelumnya. Keadaan ini terutama untuk penentuan asma
pada anak usia balita (<5 tahun). Kompleksitas munculan klinis
(fenotip) asma didasari oleh berbagai keadaan yang terkait dengan
patogenesisdanpatofisiologinya(endotip).

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 1


Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada
yang diterima secara universal. Definisi asma yang ada pada beberapa
pedoman memasukkan gejala klinis dan karakteristiknya, serta
mekanisme yang mendasari dengan rincian yang berbeda antara satu
pedoman dengan lainnya. Global Initiative Asthma (GINA)
mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen, biasanya
ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik
ini ditandai dengan riwayat gejalaHgejala pada saluran respiratori
seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi
dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori. International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma
mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang
berhubungan dengan obstruksi saluran respiratori dan hiperH
responsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya
wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang.
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit
saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan
obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing,
sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari,
dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Sampai saat ini belum ada satupun alat atau baku emas yang
dapat digunakan untuk mendiagnosis asma pada anak dengan pasti.
Diagnosis asma pada praktik sehariHhari ditentukan berdasarkan
kombinasi dari adanya gejala yang khas, pemeriksaan fisis, respons
terhadap bronkodilator, dan telah disingkirkan kemungkinan
penyebab yang lain. Pada anak usia kurang dari 5 tahun, Asthma
Predictive Index (API) dapat membantu menentukan program apabila
seorang anak dengan gejala wheezing kelak akan berlanjut menjadi
asma. Beberapa pemeriksaan seperti uji bronkodilator, uji metakolin,
variabilitas harian atau diurnal dari peak expiratory flow (PEF) dapat
meningkatkan akurasi diagnosis, akan tetapi pemeriksaan ini hanya
dapat dilakukan pada anakHanak usia sekolah.

2 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Penentuan klasifikasi/derajat keparahan penyakit asma pada
anak juga tidak mudah dan bervariasi di berbagai negara. Pada waktu
yang lalu, beberapa pedoman menggunakan derajat keparahan dan
persistensi asma sebagai dasar untuk menentukan klasifikasi asma.
Dalam hal persistensi, asma biasanya diklasifikasikan sebagai
intermiten atau persisten; ada juga yang mengklasifikasikannya
sebagai frequent dan infrequent seperti yang digunakan di Australia.
Untuk derajat keparahan, asma persisten biasanya diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang, dan berat. Saat ini direkomendasikan bahwa
penentuan klasifikasi/derajat asma hanya dilakukan pada
pemeriksaan awal dan tidak dilakukan lagi pada saat pasien kontrol.
Konsep klasifikasi asma saat ini digantikan dengan konsep “terkendali
atau terkontrol (controlled)” yang secara klinis dianggap lebih
bermanfaat untuk menilai derajat penyakit asma pada saat pasien
melakukan kunjungan ulang, baik yang mendapat terapi
medikamentosa maupun tidak.
Pedoman tata laksana asma anak juga bervariasi antara negara
satu dengan lainnya. Meskipun demikian, beberapa pedoman tersebut
memunyai prinsip dan komponen tata laksana serta pesan kunci yang
konsisten. Tujuan tata laksana asma pada anak adalah mencapai asma
yang terkendali dengan frekuensi serangan seminimal mungkin. Untuk
itu, tata laksana harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu
meliputi semua elemen penting berikut: edukasi pasien dan orang
tua/pengasuh, identifikasi dan pencegahan faktor pemicu, pemakaian
obat yang baik dan benar dengan pencatatan yang baik, serta
pemantauan yang teratur. Pemberian obat pereda (reliever) maupun
pengendali (controller) secara inhalasi lebih dianjurkan dibanding
pemberian peroral karena efek sampingnya minimal. Keteraturan
terhadap pengobatan merupakan salah satu kunci keberhasilan tata
laksana asma yang perlu mendapat perhatian.
Asma adalah penyakit multifaktorial dengan perjalanan klinis
yang bervariasi pada setiap anak dan dapat berubah seiring
berjalannya waktu. Asma tidak dapat sembuh, tetapi dapat
dikendalikan agar gejala tidak sering muncul. Komunikasi, informasi,
dan edukasi kepada orang tua merupakan kunci penting untuk
mencapaiasma terkendali.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 3


Buku ini merupakan pemutakhiran (update) dari Pedoman
Nasional Asma Anak (PNAA) tahun 2004 dan disusun berdasarkan
beberapa pedoman terbaru yang disesuaikan dengan kondisi di
Indonesia. Terdapat beberapa perubahan yang perlu dicermati dalam
buku ini seperti pada klasifikasi, diagnosis asma pada usia bawah lima
tahun (balita), dan tata laksana. Buku ini diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan tata kelola asma pada anak di Indonesia agar anak
dengan asma mendapatkan tata kelola yang optimal dan rasional.

Daftar Bacaan

1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma


managementand prevention. 2014.
2. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy H a global perspective.
Allergy. 2007;62:213H5
3. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J,
Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric
asthma. Allergy.2012;67:976–97
4. Waltraud E, Markus J E, Erika M. Current concepts: the asthma
epidemic. N Eng J Med. 2006;355:2226H35.
5. CastroHRodriguez JA, Catharine JH, Anne LW, Martinez FD,
Martinez. A clinical index to define risk of asthma in young children
with recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med.
2000;162:1403H6.
6. Australian Asthma Management Handbook. Diunduh dari:
www.asthmahandbook.org.au.

4 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


BAB II
EPIDEMIOLOGI

2.1. Prevalensasmaanak
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua
orang, baik anak maupun dewasa, dengan gejala utama wheezing.
Sejarah penyakit asma mengindikasikan bahwa asma merupakan
penyakit yang kebanyakan terjadi di negara yang telah berkembang
dengan pendapatan tinggi (high income countries), seperti Amerika.
Diperkirakan secara global, terdapat 334 juta orang penderita asma di
dunia. Global disease burden penyakit asma kebanyakan terdapat di
negara berkembang dengan pendapatan yang rendah. Angka ini
didapatkan dari analisis komprehensif mutakhir Global Burden of
Diseasestudy (GBD) yang dilakukan pada tahun 2008H2010.
Pada paruh kedua abad 20, prevalens asma di negara industri
meningkat bermakna, namun penyebab kenaikan prevalens ini tidak
jelas. Kini diketahui bahwa penyakit asma sering ditemukan baik di
negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah, dan prevalens asma
ringan sedang dan asma berat meningkat lebih cepat di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah. Diperkirakan prevalens asma di
berbagai negara dengan pendapatan rendah dan menengah terus
meningkat. Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan
penelitian tentang prevalens asma anak di seluruh dunia. Belum
adanya definisi asma anak yang diterima secara universal dan belum
adanya baku emas yang obyektif dan mudah dilakukan pada anak
menyebabkan bervariasinya definisi asma dan metodologi yang
digunakan dalam penelitianHpenelitian untuk menentukan prevalens
asma. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam membandingkan dan
menganalisis perbedaan prevalens asma antar negara, serta dalam
menilai perubahan prevalens asma dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu, prevalens asma anak di dunia tidak dapat ditentukan dengan pasti.
Sebagian besar penelitian mengumpulkan data asma anak
berdasarkan hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner. Para
ahli epidemiologi biasanya menanyakan tentang ada tidaknya
“diagnosis asma oleh dokter” atau “gejala asma” (seperti wheezing)

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 5


kepada orang tua atau anak untuk menentukan prevalens yang
berkaitan dengan asma anak. Pertanyaan tersebut digunakan baik
untuk menentukan lifetime prevalence (dengan pertanyaan “apakah
pernah didiagnosis asma oleh dokter atau apakah pernah memunyai
gejala asma?”) ataupun current prevalence (dengan pertanyaan:
“apakah dalam 12 bulan terakhir pernah didiagnosis asma oleh dokter
atau memunyai gejala asma). Jadi, tergantung dari pertanyaan yang
dipakai, penelitianHpenelitian prevalens asma anak akan melaporkan
outcome yang berbeda, seperti prevalens lifetime asthma atau current
wheeze atau currentasthma.
Pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau uji
provokasi bronkus juga dilakukan pada penelitian prevalens asma
untuk meningkatkan validitas data. Akan tetapi nilai diagnostik kedua
pemeriksaan tersebut kurang baik. Pada anak yang sudah dapat
melakukan uji fungsi paru secara adekuat, 30% dari anak yang hasil
wawancaranya mendukung adanya diagnosis asma menunjukkan hasil
uji provokasi bronkus negatif; sedangkan 8H15% anak yang tidak
pernah wheezing memunyai hasil yang positif. Beberapa peneliti
melakukan penelitian yang diulang dengan menggunakan kuesioner
dan metodologi yang sama untuk menilai kecenderungan prevalens
asma dari waktu ke waktu di suatu negara (Tabel 2.1). Sebagianbesar
penelitian ini dilakukan di sekolah. Secara umum, hasil penelitian
menunjukkan peningkatan prevalens asma pada anak sampai dengan
tahun 1900Han. Akan tetapi, sejak akhir 1990Han, beberapa penelitian
melaporkan bahwa prevalens asma anak cenderung stabil atau bahkan
menurun.
Untuk mendapatkan data prevalens asma anak di dunia yang
lebih akurat, para ahli asma anak mencoba melakukan penelitian
multisenter menggunakan kuesioner dan metodologi yang sama, yaitu
dengan mengadakan penelitian International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC). Penelitian ISAAC telah berlangsung
selama lebih dari 20 tahun, dan terdiri atas 3 fase: fase I (tahun 1993H
1997), fase II (1998H2004) dan fase III (2000H2003). Sebanyak 1,96 juta
orang anak ikut dalam penelitian ISAAC yang dilakukan di 306 pusat
studi di 106 negara di dunia. Subyek penelitian adalah anak sekolah

6 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


berusia 6H7 tahun dan 13H14 tahun. Pemilihan usia 6H7 tahun karena
usia tersebut merupakan usia termuda anak sekolah, dan usia 13H14
tahun karena mereka sudah bisa mengisi kuesioner sendiri.

ISAAC fase I (1993H1997)


Tujuan utama ISAAC fase I adalah untuk mengetahui dan
membandingkan prevalens dan beratnya gejala asma, rinitis, dan
eksema pada anak di berbagai negara. Penelitian ini melibatkan 156
pusat studi di 56 negara, dengan total 721.601 anak yang terdiri atas
kelompok usia 6 H7 tahun (257.800 anak) dan kelompok usia 13H14
tahun (463.801 anak). Dalam penelitian ini, yang dilaporkan adalah
prevalens gejala asma, bukan prevalens asma. Pertanyaan yang
diajukan adalah “Dalam 12 bulan terakhir, seberapa sering (rata3rata)
tidur malam anak anda terganggu karena wheezing? Apakah lebih dari
satu malam per minggu?“. Jika jawabannya ya, maka dianggap
memunyai gejala asma. Hasil penelitian fase I menunjukkan bahwa
prevalens gejala asma anak antara beberapa negara di dunia
menunjukkan variasi yang sangat besar (Gambar 2.1). Untuk anak usia
13H14 tahun, prevalens bervariasi antara 2,1% (Indonesia) sampai
32,2% (Inggris); sedangkan pada anak usia 6H7 tahun antara 4,1%
(Indonesia) sampai 32,1% di Costa Rica. Hasil penelitian juga
menunjukkan adanya variasi prevalens yang besar di antara negaraH
negara di benua yang sama.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 7


Gambar 2.1. Distribusi prevalens gejala asma di beberapa negara untuk (a) umur 13H
14 tahun dan (b) umur 6H7 tahun (Diambil dari Lancet. 1998;351:1225332.)

ISAAC fase II (1998H2004)


ISAAC fase II merupakan penelitian untuk mengetahui peran faktor
risiko pada asma anak. Penelitian dilakukan pada anak usia 8H12 tahun
yang dipilih secara acak dengan menggunakan metodologi yang baku.
Sebanyak 30 pusat studi dari 22 negara di dunia ikut serta. Pada fase II
ini, peran sensitisasi atopi yang menentukan prevalens asma pada anak
diselidiki lebih mendalam. Data pada fase II didapatkan dari pengisian
kuesioner oleh orang tua, uji tusuk kulit, dan pengukuran kadar IgE
spesifikHalergen dalam serum. Hasil penelitian fase II mendapatkan
prevalens wheezing pada 12 bulan terakhir berkisar antara 0% dan
25%. Di luar dugaan, hasil analisis menunjukkan tidak didapatkan
hubungan antara prevalens wheezing saat ini dan sensitisasi atopi.

8 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


ISAAC fase III (2000H2003)
ISAAC fase III merupakan pengulangan dari fase I, dan
menggunakan kuesioner yang sama dengan fase I. Sejumlah 798.685
anak usia 13H14 tahun dari 233 pusat studi di 97 negara, dan 388.811
anak usia 6H7 tahun dari 144 pusat studi di 61 negara diikutsertakan
dalam penelitian ini. Sama seperti pada fase I, prevalens gejala asma
pada penelitian fase III ini juga sangat bervariasi antar negara.
Prevalens wheezing pada 12 bulan terakhir pada remaja bervariasi
antara 0,8% di Tibet, sampai 32,6% di Wellington, Selandia Baru.
Sedangkan prevalens pada anak bervariasi antara 2,4% di Jodhpur,
India sampai 37,6% di Costa Rica. Prevalens gejala asma berat
(didefinisikan sebagai terjadinya serangan wheezing >4 kali per
minggu, atau gangguan tidur malam > 1 malam per minggu) pada
remaja bervariasi antara 0,1% di Pune, India, sampai 16% di Costa
Rica: dan pada anak berkisar dari 0% sampai 20,3%.
Hasil analisis selanjutnya dari ISAAC fase III menunjukkan
bahwa di negaraHnegara yang memunyai prevalens gejala asma yang
sangat tinggi hanya terjadi sedikit peningkatan prevalens antara fase I
dan fase III, bahkan di beberapa negara mengalami penurunan.
Sebaliknya, negaraHnegara dengan prevalens tinggi dan menengah
pada fase I menunjukkan peningkatan prevalens yang signifikan pada
fase III (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Perubahan prevalens gejala asma (antara fase I dan fase III) berdasarkan
prevalens gejala asma, untuk (a) umur 6H7 tahun dan (b) umur 13H14 tahun. (Diambil
dari Lancet.2006;368:733H43)

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 9


Prevalens asma anak di Indonesia
Penelitian mengenai prevalens asma di Indonesia sudah dilakukan
sejak awal tahun 1990an di berbagai senter pendidikan. Hampir semua
peneliti menggunakan kuesioner yang dirancang masing masing
sehingga hasilnya berbeda (Djajanto, Rosmayudi, Dahlan). Namun
setelah dilakukan penelitian ISAAC I, penelitian di Indonesia dan
berbagai tempat di dunia menggunakan kuesioner yang sama dari
studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada kelompok usia 6H7 tahun dan
13H14 tahun.

Tabel 2.1. Prevalensi asma di Indonesia

Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa


kota menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar
antara 3% di Bandung (Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang
(Tanjung) pada kelompok usia 6H7 tahun. Sedangkan pada kelompok
13H14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung (Rosalina I) dan tertinggi
di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang yang
dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta

10 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


(12,5%), hampir 2 kali lipat; diduga disebabkan karena tingginya angka
polusi udara di Subang akibat sulfur dari Gunung Tangkuban Perahu
(Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan kuesioner
yang sama, pada kelompok 13H14 tahun, setelah 5 tahun terjadi
peningkatan 2 kali lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun
2012, hasil penelitian di daerah rural kotamadya Bandung pada anak
usia 7H14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar 9,6% dari
332 subyek penelitian (Kartasamita dkk).
Selain prevalens asma, penting pula untuk mengetahui
serangan asma tahun lalu, kunjungan ke gawat darurat, dan perawatan
rumah sakit. Menurut Martinez pada tahun 2001, serangan di tahun
sebelumnya dialami oleh 63,1% pasien yang didiagnosis asma, angka
ini tidak berubah di tahun 2001H2004. Untuk kunjungan ke gawat
darurat terjadi peningkatan antara tahun 1992 dan 1995 sebanyak
57,3 menjadi 71% per 100.000 orang. Setelah itu tidak jelas
peningkatan yang terjadi yaitu rataHrata 59,8% pada 2001 menjadi
68,0% pada tahun 2002. Laju perawatan asma di rumah sakit dalam 12
bulan terakhir juga mengalami penurunan bermakna dari 6% pada
tahun 1980 ke 3,4% di tahun 1995, angka tersebut stabil pada tahun
2001 dan 2004.

2.2. Mortalitas
Mortalitas penyakit asma meningkat dari tahun 1980 sampai
1995, dari 14,3 menjadi 20,6 per juta. Sedangkan antara tahun 2000
sampai 2004 menurun dari 16,1 menjadi 12,8 per juta. Angka ini bukan
hanya anak tetapi asma keseluruhan, kematian paling banyak pada
orang tua Š65tahun, dan dua per tiga diantaranya wanita.

2.3. Faktor risiko


Faktor risiko untuk penyakit asma dapat dikelompokan
menjadi genetik dan nonHgenetik. Penelitian ISAAC mendapatkan
beberapa faktor risiko yaitu: polusi udara, asap rokok, makanan cepat
saji, berat lahir, cooking fuel, rendahnya pendidikan ibu, ventilasi
rumah yang tidak memadai, merokok di dalam rumah, dan tidak
adanya ventilasi. Penelitian yang dilakukan di Padang memberikan

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 11


hasil bahwa faktorHfaktor yang bermakna untuk memengaruhi
timbulnya asma berurutan mulai yang paling dominan adalah atopi
ayah atau ibu, diikuti faktor berat lahir, kebiasaan merokok pada ibu
serta pemberian obat parasetamol. Sedangkan, pemberian ASI dan
kontak dengan unggas merupakan faktor protektif terhadap kejadian
asma.

Daftar Bacaan

1. Pallapies D. Trends in childhood disease. Mutat Res. 2006;608:100H


11.
2. Phelan PD. Asthma in children: epidemiology. BMJ.
1994;308:1584H5.
3. Robertson CF, Roberts MF, Kappers JH. Asthma prevalence in
Melbourne schoolchildren: have we reached the peak? Med J Aust.
2004;180:273H6.
4. Lawson JA, Senthilselvan A. Asthma epidemiology: has the crisis
passed? Curr Opin Pulm Med. 2005;11:79H84.
5. Sears MR. Epidemiology of childhood asthma. Lancet.
1997;350:1015.
6. Eder W, Ege MJ, von Mutius E. The asthma epidemic. N Engl J Med.
2006;355:2226H35.
7. Ninan TK, Russell G. The changing picture of childhood asthma.
Paediatr Respir Rev. 2000;1:71H8.
8. Toelle BG, Peat JK, Salome CM, Mellis CM, Woolcock AJ. Toward a
definition of asthma for epidemiology. Am Rev Respir Dis.
1992;146:633H7.
9. Ronchetti R, Villa MP, Barreto M, Rota R, Pagani J, Martella S, dkk. Is
the increase in childhood asthma coming to an end? Findings from
three surveys of schoolchildren in Rome, Italy. Eur Respir J.
2001;17:881H6.
10. Kalyoncu AF, Selcuk ZT, Enunlu T, Demir AU, Coplu L, Sahin AA, dkk.
Prevalence of asthma and allergic diseases in primary school
children in Ankara, Turkey: two crossHsectional studies, five years
apart. Pediatr Allergy Immunol. 1999;10:261H5.

12 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


11. Devenny A, Wassall H, Ninan T, Omran M, Khan SD, Russell G.
Respiratory symptoms and atopy in children in Aberdeen:
questionnaire studies of a defined school population repeated over
35 years. BMJ. 2004;329:489H90.
12. Peat JK, van den Berg RH, Green WF,Mellis CM, Leeder SR, Woolcock
AJ. Changing prevalence of asthma in Australian children. BMJ.
1994;308:1591H6.
13. Butland BK, Strachan DP, CrawleyHBoevey EE, Anderson HR.
Childhood asthma in South London: trends in prevalence and use of
medical services 1991H2002. Thorax. 2006;61:383H7.
14. Anderson HR, Butland BK, Strachan DP. Trends in prevalence and
severity of childhood asthma. BMJ. 1994;308:1600H4.
15. Asher MI, Keil U, Anderson HR, Beasley R, Crane J, Martinez F, dkk.
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC):
rationale and methods. Eur Respir J. 1995;8:483H91.
16. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of
symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic
eczema: ISAAC. Lancet. 1998;351:1225H32.
17. Weiland SK, Bjorksten B, Brunekreef B, Cookson WO, von ME,
Strachan DP. Phase II of the International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC II): rationale and methods. Eur
Respir J. 2004;24:406H12.
18. Lai CK, Beasley R, Crane J, Foliaki S, Shah J, Weiland S. Global
variation in the prevalence and severity of asthma symptoms:
phase three of the International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC). Thorax. 2009;64:476H83.
19. Asher MI, Montefort S, Bjorksten B, Lai CKW, Strachan DP, Weiland
SK, dkk. Worldwide time trends in the prevalence of symptoms of
asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and eczema in childhood:
ISAAC phases one and three repeat multicountry crossHsectional
surveys. Lancet. 2006;368:733H43.
20. Kartasasmita CB. Epidemiologi asma anak. Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Dalam: Buku ajar respirologi anak.
Jakarta: Badan Penerbit PP IDAI; 2013. h. 71H84.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 13


21. Martinez FD. Links between pediatric and adult asthma. J Allergy
Clin Immunol. 2001;107: S449H55.
22. Anderson HR, Ruggles R, Pandey KD, Kapetanakis V, Brunekreef B,
dkk. Ambient particulate pollution and the worldHwide prevalence
of asthma, rhinoconjunctivitis and eczema in children: Phase one of
the International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC). Occup Environ Med.2010;67:293H300.
23. Mitchell EA and Stewart AW. The ecological relationship of tobacco
smoking to the prevalence of symptoms of asthma and other atopic
diseases in children: the International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC). Eur J Epidemiol. 2001;17:667H73.
24. Ellwood P, Asher MI, GarcíaHMarcos L, Williams H, Keil U, Robertson
C, dkk. Do fast foods cause asthma, rhinoconjunctivitis and
eczema? Global findings from the International Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC) phase three. Thorax.
2013;68:351H60.
25. Mitchell EA, Clayton T, GarciaHMarcos L, Pearce N, Foliaki S, dkk.
Birthweight and the risk of atopic diseases: the ISAAC Phase III
study. Pediatr Allergy Immunol. 2014;25:264H70.
26. Wong GWK, Brunekreef B, Ellwood P, Anderson HR, Asher MI, dkk.
Cooking fuels and prevalence of asthma: a global analysis of phase
three of the International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC). Lancet.2013;1:386H94.
27. Afdhal, Yani FY, Basir D, Mahmud R. Faktor Risiko Asma pada murid
sekolah dasar usia 6H7 tahun di Kota Padang. Jurnal Kedokteran
Andalas. 2012; 1:118H24.

14 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


BAB III
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering


berawal pada anak usia dini. Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara
faktor genetik dan lingkungan sehingga upaya dikerahkan untuk
mengidentifikasi faktorHfaktor yang dapat dimodifikasi untuk
pencegahan. Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor tersebut
antara lain infeksi, pajanan mikroba, alergen, stres, polusi, dan asap
tembakau. Perkembangan alergenHIgE spesifik, terutama jika terjadi
pada awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting
berkembangnya asma, terutama di negaraHnegara maju.
Konsep terkini patogenesis asma adalah asma merupakan
suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran
respiratori, peningkatan reaktivitas saluran respiratori dan
menyebabkan terbatasnya aliran udara. Hiperreaktivitas ini
merupakan predisposisi terjadi penyempitan saluran respiratori
sebagai respons terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas
adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi eosinofil, sel mast,
makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran
respiratori. Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis
asmanya tidak bergejala. Pemunculan selHsel tersebut secara luas
berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis. Sejalan
dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang
proses reparasi saluran respiratori. Proses tersebut menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran
respiratori, dikenaldenganistilah remodeling.

3.1. Patogenesis
3.1.1. Mekanisme imunologis inflamasisaluran respiratori
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda,
asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgEH
dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan
kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 15


Sedikitnya ada dua jenis T3helper (Th1 dan Th2), limfosit
+
subtipe CD4 telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun
kedua jenis limfosit T mensekresi interleukinH3 (ILH3) dan granulocyte3
macrophage colony3stimulating factor (GMHCSF), Th1 terutama
memproduksi ILH2, IFH  dan TNFH. Sedangkan Th2 terutama
memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu ILH4, ILH5, ILH9,
ILH13, dan ILH16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab
atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat ataupun cell3
mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi
limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh selHsel aksesoris,
yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major histocompatibility
complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T
CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang
utama dalam saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari
prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk jaringan luas, dan
selHselnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori.
Kemudian, selHsel tersebut bermigrasi ke kumpulan selHsel limfoid di
bawah pengaruh GMHCSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel
epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen
ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah yang banyak mengandung
limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh sitokinHsitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel dendritik
juga mendorong polarisasi sel T naïveHTh0 menuju Th2 yang
mengkoordinasi sekresi sitokinHsitokin yang termasuk dalam klaster
gen 5q31H33 (IL34 genecluster). Bagan patogenesis asma tersebut
dapat dilihat pada Gambar 3.1.

16 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Gambar 3.1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health.
National Heart, Lung, and Blood Institute; 2002)

Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi


bronkus pasien asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan
bahwa interaksi sel limfosit THeosinofil sangat penting, dan hipotesis
ini lebih jauh lagi diperkuat oleh ditemukannya sel yang
mengekspresikan ILH5 pada biopsi bronkus pasien asma atopi. ILH5
merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma
berkorelasidengan aktivasisellimfosit T dan eosinofil.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 17


Sel-sel Inflamasi yang Berperan pada Asma

Sel mast, sel mast yang teraktifasi melepaskan mediator bronkokonstriksi


(histamin, leukotrien sisteinil, prostaglandin D2). Sel tersebut diaktivasi
oleh alergen melalui reseptor IgE yang berafinitas tinggi, juga oleh
stimulus osmotik (misalnya bronkokontriksi yang diinduksi oleh
olahraga). Meningkatnya jumlah sel mast pada otot polos saluran
respiratori dapat dihubungkan dengan hiperreaktivitas saluran
respiratori.

Eosinofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, melepaskan


protein dasar yang dapat merusak sel epitel saluran respiratori. Juga
berperan dalam pelepasan growthfactor dan airwayremodeling.

Limfosit T, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori, memproduksi


sitokin spesifik, di antaranya ILH4, ILH5, ILH9, dan ILH13 yang membantu
proses inflamasi eosinofilik dan produksi IgE oleh limfosit B. Peningkatan
pada aktifitas sel Th2 mungkin sebagian karena penurunan sel T regulator
yang normalnya menghambat sel Th2. Juga terjadi peningkatan sel inKT,
yang melepaskan Th1 dalam jumlah banyak dan sitokin Th2.

Sel dendritik, menangkap alergen dari permukaan saluran respiratori


lalu bermigrasi ke kelenjar getah bening regional. Di kelenjar getah bening,
mereka berinteraksi dengan sel T regulator dan akhirnya menstimulus
produksi sel Th2 dari sel T naif.

Makrofag, jumlahnya meningkat pada saluran napas, dapat diaktivasi


oleh alergen melalui reseptor IgE yang berafinitas rendah untuk
memproduksi mediator inflamasi dan sitokin yang memperkuat respons
inflamasi.

Neutrofil, jumlahnya meningkat pada saluran respiratori dan dahak


pasien dengan asma berat dan pasien asma yang merokok, namun peranan
patofisiologi dari sel ini masih belum jelas dan peningkatannya dapat pula
disebabkanolehterapisteroid.

18 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


3.1.2. Inflamasi akut dan kronik
Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat
menimbulkan respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat
diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh
aktivasi selHsel yang sensitif terhadap alergen IgEHspesifik terutama sel
mast dan makrofag. Pada pasienHpasien dengan komponen alergi yang
kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan
antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan
sekresi mediatorHmediator seperti histamin, proteolitik, enzim
glikolitik, dan heparin serta mediator newly generated seperti
prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif. BersamaH
sama dengan mediatorHmediator yang sudah terbentuk sebelumnya,
mediatorHmediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran
respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,
vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler.
Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk
mempelajari mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase
lambat dan selama berlangsung pajanan alergen, aktivasi selHsel pada
saluran respiratori menghasilkan sitokinHsitokin ke dalam sirkulasi
dan merangsang lepasnya leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan
selprekursornya darisumsum tulang kedalam sirkulasi.

3.1.3. Remodeling saluranrespiratori


Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses
yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah
struktur saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi,
diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel,
perbaikan epitel yang berlanjut, produksi berlebih faktor
pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGFH), dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang
teraktivasi akan memproduksi faktorHfaktor pertumbuhan, kemokin,
dan sitokin yang menyebabkan proliferasi selHsel otot polos saluran
respiratori, meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta
memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 19


Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori, dapat diamati pada
pasien yang meninggal karena asma dan hal ini secara langsung
berhubungandenganlamanyapenyakit.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta
sel goblet kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma
terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran
respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur
yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran
respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran
respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien,
reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran
dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan
tetapi, beberapa pasien asma mengalami obstruksi saluran respiratori
residual yang dapat terjadi pada pasien yang tidak menunjukkan gejala.
Hal ini menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori. (Gambar
3.2)

Gambar 3.2. Inflamasi dan remodeling pada asma.(Diambil dari GINA 2002)

Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis


hiperreaktivitas saluran respiratori yang nonspesifik, terutama pada
pasien yang waktu penyembuhannya lama (lebih dari satu hingga dua
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi steroid
hirupan.

20 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Penyempitan Saluran Respiratori pada Asma

Kontraksi otot polos saluran respiratori sebagai respons terhadap


berbagai mediator bronkokonstriksi dan neurotransmiter dan merupakan
mekanisme utama dari penyempitan saluran respiratori dan sebagian
besar normal kembali dengan bronkodilator.

Edema saluran napas disebabkan peningkatan kebocoran mikrovaskuler


sebagai respons terhadap mediator inflamasi. Hal ini kemungkinan sangat
berperan selama eksaserbasiakut.

Penebalan saluran napas karena perubahan struktural, seringkali


disebut remodeling, mungkin penting dalam penyakit yang lebih parah dan
tidaksepenuhnyareversibeldengan terapiyangadasaatini.

Hipersekresi mukus dapat menyebabkan oklusi luminal (“mucus


plugging”) dan merupakan produk dari peningkatan sekresi mukus dan
eksudat inflamasi.

3.2. Patofisiologi
3.2.1. Obstruksisaluranrespiratori
Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien
asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi.
Obstruksi saluran respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara
yang dapat kembali baik secara spontan maupun setelah pengobatan.
Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan dengan gejala khas
pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas saluran
respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin
disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh
mediator inflamasi. Terutama pada anak, batuk berulang dapat
menjadi satuHsatunya gejala asma yang ditemukan. (Gambar 3.3)

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 21


Gambar 3.3. Patofisiologi asma bronkial. Seperti pada asma dewasa, asma anak
ditandai dengan adanya inflamasi saluran respiratori kornik dan remodeling.
Hiperresponsivitas saluran respiratori diperberat oleh kerusakan epitel saluran
respiratori yang disebabkan oleh inflamasi. (Diambil dari: Yuhei H, Kohno Y,Ebisawa M,
Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese guideline for childhood asthma.
Allergol Int.2014;63:335H56.)

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh


banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori
adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan
agonis dari selHsel inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin,
triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4 dari sel mast,
neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf
eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori
diperkuat oleh penebalan dinding saluran respiratori akibat edema
akut, infiltrasi selHsel inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan
hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan selHsel sekretori, serta
deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan
saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang
banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa,
protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris
selular.

22 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Gambar 3.4. Remodeling saluran respiratori pada asma.(Diambil dari ICON 2012)

Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan


patologis pada bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran
respiratori. Inflamasi dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk
alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga menimbulkan respons
hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi
dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori.
Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada
umumnyareversibel, penyembuhansebagian/parsialdapatterjadi.

3.2.2. Hiperreaktivitassaluranrespiratori
Penyempitan saluran respiratorisecaraberlebihan merupakan
patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang
berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi,
kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos saluran
respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder, yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding
saluran respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratori selama kontraksi otot polos.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 2


3
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan
memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya
dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran
perubahan fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain
seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara kering, aerosol garam
hipertonik, dan adenosin tidak memunyai efek langsung terhadap otot
polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat merangsang
pelepasan mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau selHsel lain
pada saluran respiratori. Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara
pemberian histamin didapatkan penurunan FEV1 20% pada
konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.

Daftar Bacaan

1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO


Workshop Report;2002.
2. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol.
1991:87:893H 910.
3. Vignola AM, Chanez P, Campbell AM, Souques F, Lebel B, Enander I,
dkk. Airway inflammation in mild intermittent and in persistent
asthma. Am J respir Crirt Care Med. 1998;157:403H 9.
4. Holgate ST, Davies DE, Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM,
Lordan JL. EpithelialHmesenchymal interactions in the
p a t h o g e n e s i s o f a s t h m a . J A l l e rg y C l i n I m m u n o l .
2000;105:193H 204.
5. PlattsHMills TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann PW. The role of
domestic allergens. Dalam: The rising trends in asthma. New York:
John Wiley & sons; 1997. h. 173H 90.
6. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma:
from bronchoconstriction to airway remodeling. Am J Respir Crit
Care Med. 2000;161:1720H 45.
7. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J,
Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric
asthma. Allergy.2012;67:967H97.

24 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


BAB IV
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

4.1. Pengertian
Asma merupakan penyakit respiratori kronik yang heterogen
dengan dasar inflamasi kronik yang bervariasi luas dalam manifestasi
klinis, mekanisme inflamasi, patogenesis, dan perjalanan alamiah
dengan banyak sekali faktor yang berperan. Berbagai definisi asma
yang ada saat ini sifatnya deskriptif, menggambarkan gejala kinis dan
polanya, disertai patofisiologi dan patologi dengan derajat rincian yang
bervariasi. Perkembangan pemahaman tentang hal tersebut
menyebabkan definisi asma bersifat dinamis dan berubah dari waktu
ke waktu. Pedoman ini menggunakan definisi asma sebagai berikut:

Asma adalah
penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan
derajatbervariasi.
Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan
yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada
malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika adapencetus
4.2. Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik
diagnosis medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat
penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar
ditegakkansecarakinis.

4.2.1. Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan
manifestasi klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma.
Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak
napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent
cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal
untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang
khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik
yang mengarah keasma adalah:

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 25


• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus.
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat
nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman
dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna
makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan,
serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common
cold, rinofaringitis
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.
• Adanya riwayat alergi padapasienataukeluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke
waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada
malam hari (nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan
atau dengan pemberian obat pereda asma.

4.2.2. Pemeriksaanfisis
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis
pasien biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang
bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang
terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan
stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti
dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi
seperti allergic shiners atau geographictongue.

4.2.3. Pemeriksaanpenunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran
napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran
respiratori, atauadanyaatopipadapasien.
• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas
dan untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat
dilakukan pemeriksaan dengan peakflowmeter.

26 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


• Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah,
pemeriksaan IgE spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractionalexhalednitric
oxide), eosinofil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan
salin hipertonik.

Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan


untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji
tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastroH
esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CTHscan
toraks, endoskopirespiratori(rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

Tabel 4.1. Kriteria diagnosis asma

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 27


28 Pedoman Nasional Asma Anak 2015
4.3. Diagnosis banding
Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan
kemungkinan diagnosisbanding.

Inflamasi: infeksi, alergi


• Rinitis, rinosinusitis
• Chronic upper airway cough syndrome
• Infeksirespiratoriberulang
• Bronkiolitis
• Aspirasiberulang
• Defisiensi imun
• Tuberkulosis

Obstruksimekanis
• Laringomalasia, trakeomalasia
• Hipertrofitimus
• Pembesarankelenjargetahbening
• Aspirasi benda asing
• Vascularring, laryngeal web
• Disfungsi pita suara
• Malformasikongenitalsaluranrespiratori

Patologibronkus
• Displasiabronkopulmonal
• Bronkiektasis
• Diskinesia silia primer
• Fibrosiskistik

Kelainansistemorganlain
• PenyakitrefluksgastroHesofagus(GERD)
• Penyakitjantungbawaan
• Gangguanneuromuskular
• Batukpsikogen

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 29


4.4. Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan
variasi yang sangat luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara
mengelompokkan asma.

Berdasarkanumur
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5H11 tahun)
• Asma remaja (12H17 tahun)

Berdasarkanfenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan
penampakan yang serupa dalam aspek klinis, patofisologis, atau
demografis.
• Asma tercetusinfeksivirus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetusalergen
• Asma terkaitobesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)

Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala


• Asmaintermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asma persisten berat

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami
episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut
sebagaiseranganasma.
• Asma serangan ringanHsedang
• Asmaseranganberat
• Serangan asma dengan ancaman henti napas
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan
sebagai dasar penentuan tata laksana.

30 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Berdasarkanderajatkendali
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya
penyakit. Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan
atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.
• Asmaterkendalipenuh(wellcontrolled)
o Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
o Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/
sedang/berat)
• Asmaterkendalisebagian(partlycontrolled)
• Asmatidakterkendali(uncontrolled)
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk
menilai keberhasilan tata laksana yang tengah dijalani dan untuk
penentuan naik jenjang (step3up), pemeliharaan (maintenance) atau
turun jenjang (step3down) tata laksana yang akan diberikan.

Berdasarkankeadaansaatini:
• Tanpa gejala
• Ada gejala
• Serangan ringanHsedang
• Seranganberat
• Ancaman gagal napas
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut
dari gejalaHgejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan,
atau berbagai kombinasi dari gejalaHgejala tersebut.

Dalam pedoman ini, klasifikasi berdasarkan umur dibedakan menjadi asma


anak dan asma balita, sementara klasifikasi berdasarkan fenotip tidak
digunakan untuk kepentingan tata kelola. Klasifikasi berdasarkan
kekerapan gejala dipakai sebagai dasar penilaian awal pasien. Klasifikasi
ini sesuai dengan mayoritas pedoman internasional asma yang ada saat ini.
Ini berubah dari PNAA sebelumnya yang membagi asma menjadi asma
episodik jarang, asma episodik sering, dan asma persisten.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 31


Tabel 4.2. Kriteria penentuan derajat asma
Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjunganHkunjungan awal dan
dibuatberdasarkan anamnesis:

Keterangan:
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat
diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana umum
(pengendalian lingkungan, penghindaran pencetus) selama 6
minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak
kunjungan awal, tata laksana dapatdilakukan sesuaiklasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan
jenjang tata laksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan,
masukkan ke dalam klasifikasi lebih berat.

Tabel 4.3. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 2015

4.5. Tahapan penegakan diagnosis asma


1. Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata
laksana umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tata
laksanapenyakitpenyulit.

32 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


2. Diagnosisklasifikasikekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila
informasi klinis sudah kuat.
3. Diagnosisderajatkendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang
awalsesuaiklasifikasikekerapan

4.6. Labelisasi pasien asma

Daftar Bacaan

1. Papadopoulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J,


Lemanske R, dkk. International consensus on (ICON) pediatric
asthma.Allergy.2012;67:976H97.
2. Global Initiativefor Asthma; 2014.
3. ERS Task Force. Definition, assessment, and treatment of wheezing
disorders in preschool children: an evidence based approach. Eur
Respir J. 2008;32:1096H110.
4. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T,
dkk. Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Int.
2014;63:335H56.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 33


BAB V
TATALAKSANA JANGKA PANJANG

5.1. Tujuan tata laksana


Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalahmencapai
kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh
kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin
dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit
mungkin terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang
anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu
dievaluasikembali.

5.2. Garis besar tata laksana


Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi
tata laksana nonmedikamentosa dan tata laksana medikamentosa.
Tata laksana nonmedikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan
penghindaran pencetus akan dijelaskan secara lebih lanjut dalam Bab
VII, sedangkan tata laksana medikamentosa akan dibahas lebih lanjut
dalam bab ini.

5.3. Tata laksanamedikamentosa


Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan
mempertahankan kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh
kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau
obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala
tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 35


Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan
untuk mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah
dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul
serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terusHmenerus
dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan
gejala asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan.
Obat pengendali asma terdiri dari steroid antiHinflamasi inhalasi atau
sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang,
teofilin lepas lambat, dan antiHimunoglobulin E.

5.3.1. Cara pemberian obat


Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada
perbedaan teknik inhalasi sesuai dengan golongan umur dan
kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan
dengan kondisi masingHmasing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya
juga mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan
penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler
(MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan
kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih
banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa
spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Tabel 5.1 memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai usia,
namunpemilihannyasesuaidengankemampuan.

Tabel 5.1. Jenis alat inhalasi sesuai usia

36 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut
(orofaring). Hal ini menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan
berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi
obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang
baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan
teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk
kering/Dry Powder Inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler,
turbuhaler, dan easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya
bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber,
babyhaler, autohaler tidak dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat
dibuat dari gelas plastik atau botol plastik dengan volume 500 mL yang
menurut penelitian sama efektifnya dengan MDI yang disertai spacer
konvensional. Spacer seperti ini terutama ditujukan untuk digunakan
dinegara berkembang karena dapatdibuatsendiri.

5.3.2. Obat pengendali asma


a. Steroidinhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori
dan berperan penting dalam tata laksana asma jangka panjang. Steroid
inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif.
Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100H200 µg per hari
dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi
paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis
steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan asma dan
mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak
yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan
asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk
rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru,
dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi
atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing
akibat infeksi virus.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 37


Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak
memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan
suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara
berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air
bekas berkumur tersebut. Pada anak asma yang mendapatkansteroid
inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat
badan) setiap tahun.

Tabel 5.2. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma

Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari,


kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan
preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal dan deposisi
obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid inhalasi yang
lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.

38 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


b. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2Cagonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak
digunakan tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma.
Preparat kombinasi steroidH agonis β2 kerja panjang pada anak asma
yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis
rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroidH
agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis
β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan
kombinasi steroidHagonis β2 kerja panjang pada anak balita masih
terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjangHsteroid inhalasi juga
dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu
olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis β2
inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat
sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang,
namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.

c. Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl3
leukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast,
serta inhibitor 5Hlipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik
menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan
bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi
paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi
eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara
umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan
sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan
dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien
dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan
dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya
serangan asma akibat berolahraga (exercise induced asthma, EIA) dan

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 39


Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah
serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian
kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten
kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang.
Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif
dari pemberian steroid inhalasi.

d. Teofilin lepaslambat
Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat
diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi
dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi
steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan
asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk
pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas
yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar
individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam
plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa
mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia,
nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama
timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10mg/kgBB/hari.

e. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
AntiHIgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang
mampu mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa
dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien
asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2
kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan
terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara injeksi
subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat
terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi
setelah pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis,
omalizumabseharusnyadibawahpengawasandokterspesialis.

40 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


AntiHIgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma
pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh karena
alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan steroid
inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian antiHIgE
membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek
samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan,
gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun)
untuk efikasi antiHIgE.

5.4. Penentuanderajatkendali
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma
untuk memulai pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan
untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana jangka
panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap
pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan
faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat
menggunakan penilaian seperti pada Tabel 4.3.1.

Tabel 5.3. Derajat kendali penyakit asma

A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)


Terkendali Terkendali
dengan/tanpa obat sebagian
Manifestasi Klinis pengendali (Minimal satu Tidak terkendali
(Bila semua kriteria kriteria
terpenuhi) terpenuhi)
Tidak pernah
Gejala Siang Hari >2 kali/minggu
(<2 kali/minggu)
Aktivitas Terbatas Tidakada Ada Tiga atau lebih
kriteria terkendali
Gejala MalamHari Tidakada Ada sebagian*†
Tidak ada
Pemakaian Pereda >2 kali/minggu
(<2 kali/minggu)

,
B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan penurunan
fungsi paru, efek samping)
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV yang
1
rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 41


5.5. Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat
penyakit asma anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali.
Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran pencetus,
klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam
minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma
jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma
persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang
2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk
menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat
pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu
menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi
kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka
panjang harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu
dari kriteria berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir,
penggunaan obat pereda asma 3 kali dalam satu minggu, terbangun
karena serangan asma 1 kali dalam satu minggu.

Keterangan gambar: ICS (inhaled corticosteroids, steroid inhalasi); LTRA


(Leukotriene Receptor Antagonist); SABA (short acting beta agonist, agonis β2 kerja
pendek); LABA (long acting beta agonist, agonis β2 kerja panjang)

Gambar 5.1. Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia >5 tahun

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang
menggunakanklasifikasikekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6H
8 minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik
jenjang ke atasnya (step up).

42 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8H
12 minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun
jenjang kebawahnya(step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspekH
aspekpenghindaran, penyakitpenyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.

Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat


kendali asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan
pemberian obat sesuai jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu
dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang diberikan sudah
tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah dilaksanakan
dengan benar. Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi
serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat pereda
asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja pendek.

Jenjang 1
Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat
pengendali, hanya mengalami gejala ringan Š2 kali/minggu dan di
antara serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun
aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat
pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami
serangan asma. Sebagai alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis
β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2
kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma
dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila
pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya,
menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata
laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai
berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan
penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki
faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis
rendah.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 43


Jenjang 2
Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid
inhalasi dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan
antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak
memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang
menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang
disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering
menimbulkan efek samping.

Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun
ialah kombinasi steroid dosis rendahHagonis β2 kerja panjang. Pilihan
lainnya ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis
menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer
akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di
orofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan
kombinasi steroid inhalasi dosis rendahHantileukotrien atau kombinasi
steroid inhalasi dosis rendahHteofilin lepas lambat.

Jenjang 4
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3
sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan
sebagai asma sulit (difficult–to3treat asthma). Pilihan pertama pada
jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengahHagonis β2
kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke
dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat
dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedangHagonis
β2 kerja panjang diberikan selama 6H8 minggu. Pilihan lain pada
jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggiHantileukotrin
atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggiHteofilin lepas lambat.
Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan antiH
imunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki
pengendalian asma yang disebabkankarenaalergi.

44 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis
respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh
karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar.
Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh
karena itu pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping
yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai
alternatif pilihan pengobatan.
Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung
kondisi pasien, derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma.
Pada umumnya pasien dimonitor setiap bulan dan pencapaian
perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian
obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau
bagaimana upaya penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit
penyerta asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8H12
minggu dengan penurunan dosis sebesar 25H50%.

Daftar Bacaan

1. The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma
m an ag em en t and preve n ti on 2014 . Diunduh dari:
www.ginasthma.org.
2. FitzFerald M. Global strategy for asthma management and
preventionupdate; 2012.
3. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O'Callaghan C. Nebulizers in
childhood. Eur Respir Rev. 2000;10:527H 35.
4. Zar HJ, Asmus MJ, Weinberg EG. A 500Hml plastic bottle: An effective
spacer for children with asthma. Pediatr Aleergy Immunol.
2002;13:217H22.
5. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, and Swingler GH.
Randomised controlled trial of the efficacy of a metered dose
inhaler with bottle spacer for bronchodilator treatment in acute
lower airway obstruction. Arch Dis Child. 2007;92:142H6.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 45


6. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T,
dkk. Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Inter.
2014;63:335H56.
7. Sharek PJ, Bergman DA. The effect of inhaled steroids on the linear
growth of children with asthma: a metaHanalysis. Pediatric.
2000;106;e8.
8. Doull IJM, Campbell MJ, Holgate ST. Duration of growth suppresive
effects of regular inhaled corticosteroids. Arch Dis Child.
1998;78:172H3.
9. Society B. T.. British guideline on the management of asthma : a
national clinical guideline. London: BMJ Publishing; 2011.

46 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


BAB VI
TATALAKSANA SERANGAN ASMA

6.1. Definisi
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif
(perburukan) dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa
dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejalaHgejala tersebut.
Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana asma
jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus. Derajat
serangan asma bermacamHmacam, mulai dari serangan ringan sedang
hingga serangan yang disertai ancaman henti napas.

6.2. Tujuan tata laksana serangan asma


Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim
dijumpai di unit gawat darurat (UGD). Perlu ditekankan bahwa
serangan asma berat dapat dicegah, setidaknya dapat dikurangi
dengan pengenalan dini dan terapi intensif.
Tujuan tata laksana serangan asma antara lain sebagai berikut:
• Mengatasipenyempitansaluranrespiratorisecepatmungkin
• Mengurangihipoksemia
• Mengembalikan fungsiparu kekeadaan normalsecepatnya
• Mengevaluasi dan memperbarui tata laksana jangka panjang
untukmencegahkekambuhan

6.3. Patofisiologiseranganasma
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi
saluran respiratori secara luas, yang disebabkan oleh kombinasi dari
spasme otot polos bronkus, edema mukosa karena inflamasi saluran
respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan tidak terjadi secara
merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental
dapat terjadi. Perubahan tahanan saluran respiratori yang tidak
merata di seluruh jaringan bronkus menyebabkan tidak padu
padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation3perfusion mismatch).

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 47


Ventilasi (V) sangat berkurang, sedangkan perfusi (Q) tetap
berlangsung yang mengakibatkan rasio V/Q sangat rendah, biasanya
kurang dari 0,1.
Penyempitan saluran respiratori menyebabkan peningkatan
tahanan saluran respiratori, terperangkapnya udara (airtrapping), dan
distensi paru yang berlebihan (hiperinflasi). Hiperinflasi paru
menyebabkan penurunan compliance paru sehingga terjadi
peningkatan kerja napas. Tekanan intrapulmonal meningkat karena
ekspirasi melalui saluran respiratori yang menyempit dan hal ini dapat
makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran
respiratori, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks.
Peningkatan tekanan intratorakal mungkin memengaruhi arus balik
vena dan mengurangi curah jantung, yang kemudian bermanifestasi
sebagaipulsusparadoksus.
VentilasiHperfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar,
dan peningkatan kerja napas menyebabkan perubahan pada gas darah.
Pada awal serangan, untuk mengompensasi hipoksia terjadi
hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 akan turun dan dijumpai alkalosis
respiratori. Selanjutnya pada obstruksi saluran respiratori yang berat,
akan terjadi kelelahan otot respiratori dan hipoventilasi alveolar
sehingga terjadi hiperkapnia dan asidosis respiratori. Karena itu, jika
dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam
rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan
ancaman gagal napas (respiratory failure). Selain itu, dapat terjadi
asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi asam laktat
olehototrespiratori.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi
pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi corpulmonale. Hipoksia
dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi
surfaktan berkurang atau tidak ada dan meningkatkan risiko
terjadinya atelektasis. Patofisiologi serangan asma dapat dilihat pada
Gambar 6.1.

48 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Gambar 6.1. Patofisiologi serangan asma (Sumber: Nelson Textbook of Pediatric,
Edisi keH15)

6.4. Penilaianderajatseranganasma
Selain berdasarkan kekerapan serangan dan obat yang
digunakan sehariHhari, klasifikasi asma juga dapat dinilai berdasarkan
derajat keparahan serangan, yang terbagi menjadi serangan ringan
sedang, serangan berat, dan serangan asma dengan ancaman henti
napas. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek
kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang pasien
asma persisten dapat hanya mengalami serangan asma ringan sedang.
Sebaliknya, mungkin saja seorang pasien asma intermiten mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapat menyebabkan kematian. Kriteria untuk menentukan derajat
keparahan serangan asma pada anak dapat ditentukan bila memenuhi
gejala yang tercantum pada tabel berikut ini.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 49


Tabel 6.1. Derajat keparahan serangan asma

Asma serangan Serangan asma dengan


Asma serangan berat
ringan sedang ancaman henti napas

# Bicara dalam kalimat # Bicara dalam kata # Mengantuk


# Lebih senangduduk # Duduk bertopang lengan # Letargi
daripada berbaring # Gelisah # Suara napas tak terdengar
# Tidak gelisah # Frekuensinapasmeningkat
# Frekuensinapasmeningkat # Frekuensinadimeningkat
# Frekuensinadimeningkat # Retraksi jelas
# Retraksi minimal # SpO2 (udara kamar) < 90%
# SpO2 (udara kamar): 90– # PEF < 50% prediksi
95% atau terbaik
# PEF > 50% prediksi
atau terbaik

Kotak 6.1. Pasien risiko tinggi

Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma


yang dapat mengancam nyawa. Keadaan tersebut harus segera
diidentifikasi dan bila didapatkan, dicatat di rekam medis, di antaranya
adalah pasien dengan riwayat:
• Serangan asma yang mengancam nyawa
• Intubasikarena seranganasma
• Pneumotoraksdan/ataupneumomediastinum
• Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
• Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
• Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma
dalam setahun terakhir
• Tidakteraturberobatsesuairencanaterapi
• Berkurangnyapersepsitentangsesaknapas
• Penyakitpsikiatrikataumasalahpsikososial.
• Alergimakanan
Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada
penilaianawalserangannyamasihringansedang.

50 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


6.5. Tahapan tata laksana serangan asma
The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana
serangan asma menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas
pelayanan kesehatan (fasyankes)/RS. Tata laksana di rumah dilakukan
oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat
dilakukan oleh pasien yang memunyai pendidikan yang cukup dan
sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur. Pada panduan
pengobatan di rumah, terapi awal berupa inhalasi agonis β2 kerja
pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian, pasien atau
keluarganya diminta untuk melakukan penilaian respons untuk
penentuan derajat serangan, yang kemudian ditindaklanjuti sesuai
derajatnya. Akan tetapi, untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi
awal di rumah cukup riskan dan kemampuan melakukan penilaian juga
masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian maka apabila setelah
dilakukan inhalasi dua kali tidak memunyai respons yang baik, maka
dianjurkan untuk mencari pertolongan medis di klinik atau rumah
sakit.

a. Tata laksana di rumah


Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan
edukasi tentang bagaimana memantau gejala asma, gejalaHgejala
serangan asma dan rencana tata laksana asma yang diberikan tertulis
(asthma action plan, AAP). Dalam edukasi dan “rencana aksi asma”
(RAA) tertulis harus disampaikan dengan jelas tentang jenis obat dan
dosisnya serta kapan orangtua harus segera membawa anaknya ke
fasilitaspelayanankesehatan.
Orangtua perlu diberikan edukasi untuk memberikan
pertologan pertama serangan asma di rumah. Tata laksana serangan
asma di rumah ini penting agar pasien dapat segera mendapatkan
pertolongan dan mencegah terjadinya serangan yang lebih berat.
Namun demikian, perlu ditekankan kepada pasien/orang tua, seberapa
jauh kewenangan pasien/orang tua dalam tata laksana serangan asma
di rumah ini. Tenaga medis/dokter juga harus menilai seberapa baik
pemahaman dan ketaatan pasien/orang tua tentang tata laksana

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 51


serangan asma di rumah untuk memastikan pasien mendapatkantata
laksana yang adekuat di rumah. Pada beberapa keadaan (Kotak 6.2),
pasien harus segera dibawa ke fasyankes terdekat, tidak menunggu
responsterapiyang diberikan dirumah.

Kotak 6.2. Kondisi Keadaan pasien yang harus segera dibawa ke fasyankes

Pasienharussegeradibawakefasyankesterdekatjika:
 Pasien memunyai satu atau lebih faktor risiko seperti pada poin Kotak
6.1 di atas
 Pasien tibaHtiba dalam kondisi keadaan distres respirasi (sesak berat)

Tatalaksana yang dapat dilakukan pasien/orang tua di rumah:


Jika tidak ada keadaan seperti pada Kotak 6.1, berikan inhalasi
agonis β2 kerja pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer
(Kotak 6.2), sebagai berikut:
A. Jika diberikan via nebulizer
1. Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila
gejala (sesak napas dan wheezing) menghilang, cukup
diberikan satu kali.
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi
pemberian sekali lagi
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via
nebulizerbelum membaik, segerabawakefasyankes.
B. Jika diberikan via MDI + spacer
1. Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan
dosis: 2H4 semprot. Berikan satu semprot obat ke dalam
spacer diikuti 6H8 tarikan napas melalui antar muka
(interface) spacer berupa masker atau mouthpiece. Bile
belum ada respons berikan semprot berikutnya dengan
siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis Š 4 semprot, inhalasi
dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera
bawakefasyankes.

52 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Kotak 6.3. Efektivitas pemberian agonis β2 kerja pendek via MDI + spacer

Pemberian agonis 2 kerja pendek via MDI dan spacer memunyai


efektivitas yang sama dengan pemberian via nebulizer, dengan
catatan:
 Pasien tidak dalam serangan asma berat atau ancaman henti
napas
 Pasien dapat menggunakan MDI dengan spacer
 Sebaiknya menggunakan spacer yang baru atau sebelumnya
dicuci dengan air deterjen dan dikeringkan di udara kamar
 Bila tidak tersedia spacer, dapat digunakan botol atau gelas
plastik 500 ml sebagai pengganti spacer.

b. Tata laksana di fasilitas pelayanan kesehatan primer


Alur tata laksana serangan asma di fasyankes primer
ditunjukkan di Gambar 6.2.
Lakukan anamnesis yang singkat dan terfokus serta
pemeriksaan fisis yang relevan bersamaan dengan pemberian terapi
awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam
medis. Jika pasien menunjukkan tanda serangan berat atau
mengancam nyawa, segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi.

Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi berikut:
• Waktu mulainya dan pemicu serangan saat ini (jika diketahui)
• GejalaHgejala untuk menilai keparahan serangan, termasuk
ketebatasan aktifitas fisis, adanyagejala anafilaksis
• FaktorHfaktor yang meningkatkan risiko kematian (Kotak 6.1)
• Pengobatan yang telah diberikan untuk serangan saat ini
Pengobatan yang dipakai saat ini (obat pereda dan pengendali),
termasuk dosis dan alat inhalasi yang dipakai, ketaatan,
peningkatan dosis dan respons terhadap pengobatan yang
dipakai saat ini.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 53


Pemeriksaanfisis
• Tanda vital dan derajat serangan (Gambar 6.2), meliputi:
derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas,
tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat,
retraksidinding dada dan wheezing
• Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis,
pneumonia, pneumotoraks)
• Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres
respirasi (misalnya tanda gagal jantung, inhalasi benda asing,
obstruksi saluran napas atas)

Pemeriksaanpenunjang
Jika tersedia, periksa saturasi oksiden dengan pulse oximetry.
Saturasi oksigen <92% merupakan tanda serangan berat yang
memerlukantindakanyangagresif.

54 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Gambar 6.2. Alur tata laksana serangan asma pada anak di fasyankes dan
rumah sakit

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 55


56 Pedoman Nasional Asma Anak 2015
**Tabel 6.2. Pilihan dan dosis steroid untuk serangan asma

Nama Generik Sediaan Dosis


metilprednisolon tablet 4 mg, 8 mg 0,5-1 mg/kgBB/hari – tiap 6 jam
prednison tablet 5 mg 0,5-1 mg/kgBB/ hari – tiap 6 jam
metilprednisolon vial 125 mg, 30 mg dalam 30 mnt (dosis tinggi)
suksinat injeksi vial 500 mg tiap 6 jam
hidrokortison-
sdueksanm
atetaisnojenksi vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali – tiap 6 jam
0,5-1 mg/kgBB– bolus, dilanjutkan 1
injeksi ampul mg/kgBB/hari diberikan tiap 6- 8 jam
betametason
injeksi ampul 0,05-0,1 mg/kg BB – tiap 6 jam

Keterangan tata laksana asma difasilitaspelayanan kesehatan


* Bila pulse oximetry tidak tersedia, oksigen tetap diberikan dengan
monitor gejala dan tanda distres respirasi, termasuk derajat
kesadarannya.

Tindak lanjut
• Bila pasien memenuhi kriteria untuk dipulangkan, obat yang
dibawakan pulang adalah agonis β2kerja pendek (bila tersedia
sangat dianjurkan pemberian inhalasi daripada pemberian
preparat oral) dan steroid oral. Pemberian steroid oral bisa
dilanjutkan sampai 3H5 hari lalu dapat dihentikan langsung tanpa
tappering3off.
• Jika pasien dengan asma persisten, berikan obat pengendali.
Apabila pasien sebelumnya sudah diberi obat pengendali, lalu
evaluasi dan sesuaikan ulang dosisnya. Informasi lebih lengkap
lihat di tata laksana jangka panjang (lihat Bab V).
• Jika obat diberikan dalam bentuk inhaler, sebelum pasien
dipulangkan, pastikan teknik pemakaian inhaler sudah tepat.
• Kontrol ulang ke fasyankes 3H5 hari kemudian.

c. Tata laksana di rumah sakit (UGD)


Alur yang ditunjukkan dalam bagian lanjutan Gambar 6.2 ini
menunjukkan tata laksana pasien dengan serangan asma berat atau
serangan asma dengan ancaman henti napas yang dirujuk dari
fasyankes primer. Sebagai langkah awal, nilai airway, breathing,
circulation, serta derajatkesadaran pasien.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 57


Jika terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala distres
respirasi berat, dengan penurunan kesadaran (tampak mengantuk
atau gelisah), dan suara paru tak terdengar, segera siapkan untuk
perawatan PICU. Sambil menunggu persiapan tersebut, beri inhalasi
agonis β2 kerja pendek via nebulizer, oksigen dan siapkan intubasi jika
perlu.
Untuk serangan asma berat:
1. Berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium
bromida via nebulizer
2. Pasangjalurparenteral
3. Berikan steroid sistemik (prednison atau prednisolon 1H2
mg/kgBB/hari, maksimum 40 mg/hari)
4. Berikan oksigen
5. Rontgentoraks
6. Rawatinap
Sambil menunggu persiapan rawat inap, pemberian inhalasi
agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida dapat diberikan
ulang, sesuai dengan kondisi pasien. Anamnesis yang singkat dan
terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan harus dilakukan
bersamaan dengan pemberian terapi awal. Hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisis harus dicatat di rekam medis.

Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi berikut:
• Waktu mulainya dan pemicu serangan saat ini (jika diketahui)
• GejalaHgejala untuk menilai keparahan serangan, termasuk
ketebatasan aktifitas fisis, adanyagejala anafilaksis
• FaktorHfaktor yang meningkatkan risiko kematian (Kotak 6.1)
• Pengobatan yang telah diberikan untuk serangan saat ini
• Pengobatan yang dipakai saat ini (obat pereda dan pengendali),
termasuk dosis dan alat inhalasi yang dipakai, ketaatan,
peningkatan dosis dan respons terhadap pengobatan yang
dipakai saat ini

58 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Pemeriksaanfisis
• Tanda vital dan derajat serangan (Gambar 6.2), meliputi:
derajat kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuansi napas,
tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat,
retraksidinding dada, dan wheezing
• Tanda komplikasi atau penyakit penyerta (anafilaksis,
pneumonia, atelektasis, pneumotoraks)
• Tanda dari kondisi lain yang dapat menjadi penyebab distres
respirasi (misalnya tanda gagal jantung, inhalasi benda asing,
obstruksi saluran napas atas)

Pemeriksaanpenunjang
• Saturasioksigen
Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan
pulse oximetry sebelum diberikan terapi oksigen atau 5 menit
setelah terapi oksigen dihentikan. Pasien dengan serangan
asma harus dimonitor ketat saturasi oksigennya, terutama
pada anak yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan PEF.
Saturasi oksigen normal pada anak adalah >95%. Saturasi
oksigen <92% merupakan prediktor diperlukannya rawat
inap, sedangkan saturasi oksigen <90% merupakan tanda
segeradiperlukannyaterapiyangagresif.

• Spirometri
Pemeriksaan uji fungsi paru merupakan salah satu
pemeriksaan yang direkomendasikan pada serangan asma,
sayangnya belum semua RS di Indonesia memunyai alat
spirometri untuk anak, dan jika tersedia, pemeriksaan ini
belum rutin dikerjakan. Jika alat tersedia dan kondisi pasien
memungkinkan, PEF atau FEV1 dinilai sebelum diberikan
terapi. Selanjutnya spirometri dilakukan satu jam setelah
pemberian terapi awal dan diperiksa berkala sampai respons
terhadapterapikomplit.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 59


• Analisis gas darah
Pemeriksaan ini tidak rutin diperlukan dan hanya
dipertimbangkan jika FEV1 <50% prediksi, atau pada pasien
dengan serangan asma berat, atau pasien yang menetap atau
memburuk dengan terapi awal. Hasil PaO2 <60 mmHg (8 kPa)
dan PaCO2 normal atau meningkat (khususnya >45 mmHg, 6
kPa) merupakan petanda gagal napas.

• Rontgentoraks
Pemeriksaan rontgen toraks tidak rutin dilakukan pada pasien
dengan serangan asma. Pemeriksaan ini dipertimbangkan
pada serangan berat atau jika dicurigai terjadi komplikasi
(misalnya pneumotoraks) atau ada kondisi lain (misalnya
pneumonia atau inhalasi benda asing) yang menyertai
dan/atau ada ancaman henti napas yang tidak membaik
dengan terapi. Kecurigaan ini perlu diperhatikan pada anak
yang disertai demam, tidak ada riwayat keluarga dengan asma,
dan wheezing unilateral.

6.5.1. Tata laksana di klinik atau Unit Gawat Darurat


Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di UGD,
langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang
tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji
fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian
integral dalam penilaian tata laksana serangan asma, bukan hanya
evaluasi klinis. Akan tetapi, penggunaan alat tersebut belum
memasyarakatdi Indonesia.
Tata laksana awal pada pasien adalah pemberian agonis β2
secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan
selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, ipratropium bromida
ditambahkan ke dalam nebulisasi. Tata laksana awal ini dapat juga
berfungsi sebagai penapis, yaitu untuk menentukan derajat serangan,
karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan
dengan cepat dan jelas.

60 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Jika menurut penilaian awal pasien datang dalam serangan
berat yang jelas, langsung berikan nebulisasi agonis β2
dikombinasikan dengan ipratropium bromida. Pasien dengan
serangan berat yang disertai dengan dehidrasi dan asidosis metabolik
mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang
kurang baik terhadap nebulisasi agonis β2. Pasien seperti ini cukup
dinebulisasi sekali, kemudian secepatnya dirawat untuk mendapat
obatintravenadandiatasimasalahdehidrasidanasidosisnya.
Saat ini pelaksanaan terapi inhalasi yang dianjurkan untuk
asma adalah MDI dibantu spacer. Inhaler dosis terukur (metered dose
inhaler, MDI) merupakan alat inhalasi yang paling sulit penggunaannya
dibandingkan dengan inhaler bubuk kering (dry powder inhaler, DPI)
apalagi dibandingkan dengan nebulizer. Kesulitan pemakaian MDI
utamanya karena 2 faktor, pertama derasnya arus semprotan akan
menyebabkan impaksi dan sebagian besar obat terdeposisi di
orofaring. Kesulitan kedua adalah jurus (manuever) pemakaiannya
kompleks terutama untuk anak kecil yang belum mampu
mengkoordinasikan hirupHtekanHhirup panjang. Kesulitan ini dapat
diatasi dengan relatif mudah yaitu menggunakan spacer, suatu tabung
yang memberi jarak atau ruang (space) antara alat dan mulut pasien.
Ada 2 macam spacer yaitu holding chamber yang mempunyai 2
katup di ujung hirupan, dan extension device yang tanpa katup. Jika
tersedia, alat holding chamber lebih dianjurkan dibanding extension
device, karena dapat mengatasi kesulitan pemakaian MDI dengan lebih
baik. AntarHmuka (interface) spacer seperti halnya alat nebulizer, ada
dua macam yaitu mouth piece atau masker. Jika anaknya sudah mampu
bernapas lewat mulut, mouth piece lebih dianjurkan karena obat yang
terhirup akan lebih banyak dibanding memakai masker. Jika spacer
tidak dapat atau sulit diperoleh, dapat dibuat pengganti sederhana
menggunakan botol atau gelas plastik dengan volume sekitar 400 mL
yang bagian dasarnya dilubangi sesuai bentuk dan ukuran mouthpiece
alat MDI.
Cara pemakaian MDI dengan spacer sebagai berikut:
• MDIdikocok, lepastutupnya
• Pasangkan mouthpiece MDIpada lubang spacer

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 61


• Pasang mouthpiece spacer (atau mulut botol plastik) di mulut
pasien, atau letakkan masker spacer (atau mulut gelas plastik)
menutupi hidung dan mulut pasien
• Tekan kanister MDI, untuk memberi 1 semprotan ke dalam
spacer
• Minta anak untuk bernapas dalam melalui antarHmuka
(mouthpiece atau masker) hingga 6H10 kali, tergantung
kemampuan kedalaman napas anak. Jika bisa bernapas dalam
cukup 6 kali.
• Tunggu responsnya dalam 5H10 menit. Jika keluhan
sesak/wheezing masih ada, lakukan tindakan serupa hingga 2H
4 kali dengan selang waktu 20 menit selama 1 jam sesuai
responsyangada.

6.5.1.1. Serangan asma ringan sedang


Pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk
serangan asma ringan sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan
agonis β2 kerja pendek lewat nebulisasi atau MDI dengan spacer, yang
dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan untuk
menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien
diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan. Walaupun
mungkin tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat,
sejak di UGD pasien yang diobservasi sebaiknya langsung dipasangkan
jalurparenteral.
Pasien dibekali dengan obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang
diberikan setiap 4H6 jam. Inhalasi bronkodilator diberikan dalam
bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang sama keefektifannya.
Penambahan ipratropium bromida selain agonis β2 dapat diberikan
apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan kombinasi
tersebut pada serangan yang lebih berat. Pada serangan asma ringan
sedang diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednison atau
prednisolon dengan dosis 1H2 mg/kgBB/hari selama 3H5 hari, tanpa
tappering off, maksimal pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian
steroid ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencegah
pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep

62 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


tambahkan keterangan 'do notiter'. Pasien kemudian dianjurkan untuk
kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3H5 hari untuk direevaluasi
tata laksananya. Selain itu, jika sebelum serangan pasien sudah
mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan.

6.5.1.2. Serangan asmaberat


Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria
serangan asma berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi
yang diberikan pertama kali adalah agonis β2 dengan penambahan
ipratropium bromida. Oksigen 2H4 liter per menit diberikan sejak awal
termasuk pada saat nebulisasi.Pasang jalur parenteral pada pasien dan
lakukan pemeriksaan rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan
secaraparenteral.
Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti
napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif.
Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi adanya
komplikasipneumotoraksdan/ataupneumomediastinum.

6.5.2. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)


Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap
diberikan. Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam
dengan respons parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi
agonis β2 dan ipratropium bromida setiap 2 jam. Kemudian, berikan
steroid sistemik oral berupa prednison atau prednisolon. Pemberian
steroid ini dilanjutkan hingga 3H5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap
baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien
serangan ringan sedang yang dipulangkan dariklinik/UGD.

6.5.3. Tata laksana di Ruang Rawat Inap


Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke
ruang rawatinap:
• Pemberianoksigenditeruskan.
• Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan
koreksiasidosisnya.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 63


• Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6H8 jam. Dosis
steroid intravena adalah 0,5H1 mg/kgBB/hari.
• Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium
bromida dengan oksigen dilanjutkan setiap 1H2 jam. Jika dalam
4H6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4H6 jam.
• Aminofilindiberikansecaraintravenadengandosis:
H Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6H8 mg/kgBB, yang dilarutkan
dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan
diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau
mikroburet.
H Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian
aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5H1 mg/kgBB/jam.
H Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam),
dosis diberikan separuhnya, baik dosis awal (3H4 mg/kgBB)
maupun rumatan (0,25H0,5 mg/kg/jam).
H Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10H20 mcg/ml.
H Pantau gejalaHgejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang
sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas
yang beratdapatmenyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6
jam hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti
denganpemberianperoral.
• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan
dengan dibekali obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan
setiap 4H6 jam selama 24H48 jam. Selain itu, steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3H5
hari untuk reevaluasitatalaksana.

6.6. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif


Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan
tandaHtanda ancaman henti napas (sesuai Tabel 6.1), langsung dirawat
di ruang rawat intensif (intensivecare unit, ICU).

64 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:
• Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD
dan/atau perburukan asma yang cepat.
• Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti
napas, atauhilangnyakesadaran.
• Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
• Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah
diberi oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg,
meskipun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2
yang lebih tinggi atau lebih rendah). Penggunaan ventilator tidak
dibahas dalam pedoman ini.

6.7. Obat-obatan untuk serangan asma


6.7.1. Agonis β2 kerja pendek
Gejala asma ringan sedang memberikan respons yang cepat
terhadap inhalasi agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini
menjadi pilihan utama bagi serangan asma ringan sedang yang terjadi
di rumah maupun di fasilitas layanan kesehatan. Pemberiannya dapat
diulang hingga 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan
pasien belum juga membaik harus segera dibawa ke fasilitas layanan
kesehatan terdekat, sedangkan bila pemberian 2 kali sudahdilakukan
di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida. Obat ini juga diberikan sebagai
premedikasi untuk serangan asma yang dipicu latihan (exercise
induced asthma). Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol,
terbutalin, danprokaterol.
Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara
inhalasi diberikan lewat DPI, MDI dengan/tanpa spacer, atau nebulizer
dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien. agonis
β2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan
frekuensi terkecil, yaitu hanya bila diperlukan, penggunaan
berlebihan atau seringnya pemakaian menandakan kendali asma
yang buruk. Tremor dan takikardia sering dialami pasien yang
menggunakan agonis β2 kerja pendek pertama kali, namun biasanya
kemudian efek tersebut cepatditoleransi.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 65


6.7.2. Ipratropiumbromida
Kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida
(antikolinergik) pada serangan asma ringanHsedang menurunkan
risiko rawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV1 dibandingkan dengan
2Hagonis saja. Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai obat pulang
yang dipakai di rumah jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan
dapat menilai bahwa serangan yang terjadi dinilai berat. Ipratropium
bromida terbukti memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan
tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas.

6.7.3. Aminofilin intravena


Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan
asma berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak berespons
terhadap dosis maksimal inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik.
Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan
steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tetapi tidak
mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap.
Perlu diingat bahwa rentang keamaan aminofilin sempit dan
efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikarsi dan agitasi.
Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan
kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin
serum yang tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin intravena
harus sangat berhatiHhati dan dipantau secara ketat.
Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus
pelan 6H8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan
pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam. Loading 1 mg/kg akan
meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Untuk efek terapi
yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10H20 ug/mL.
Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1H2 jam
setelah loadingdosediberikan.

6.7.4. Steroidsistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk
diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan, steroid oral
diberikan dalam 1 jam pertama.

66 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena. Keuntungan pemberian per oral adalah
lebih murah dan tidak invasif. Pemberian secara oral memerlukan
waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian
secara intravena direkomendasikan bila pasien tidak dapat menelan
obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien memerlukan
intubasi).
Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan
per oral dengan dosis 1H2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3H
5 hari tanpatapperingoff.

6.7.5. Adrenalin
Apabila tidak tersedia obatHobatan lain, dapat digunakan
adrenalin. Epinefrin (adrenalin) intamuskular diberikan sebagai terapi
tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan
angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin
1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml). Obat ini tidak
diindikasikan untuk serangan asma lainnya. Namun demikian, di
fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi, dapat diberikan injeksi
adrenalin untuk serangan asma.

6.7.6. Magnesium sulfat


Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma, tapi boleh
sebagai alternatif, apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan.
Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian
magnesium sulfat (MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20
menit yang dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam memunyai efektifitas
yang sama dengan pemberian agonis β2. Pemberian MgSO4 ini dapat
meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di RS.
MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% dan 40% dapat
diberikan dengan bolus, bolus diulang, drip kontinu, dan inhalasi. Cara
bolus berulang serta inhalasi jarang digunakan. Pemberian lewat drip
kontinu melalui pompa intravena dilakukan dengan melarutkan

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 67


sediaan dalam larutan dekstrose 5% atau larutan salin dengan
pengenceran 60 mg/ml lalu diberikan dengan kecepatan 10H20
mg/kgBB/jam dan target kadar magnesium 4 mg/dL. Untuk
pemberian dengan cara bolus, dosis yang dianjurkan adalah 20H100
mg/kgBB (maksimum 2 gram) diberikan selama 20 menit, sedangkan
untuk pemberian dengan cara bolus berulang dosis MgSO4 yang
dianjurkan 20H50 mg/kgBB/dosis setiap 4 jam.
Pertimbangkan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan
serangan asma berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia
yang menetap setelah satu jam pemberian terapi awal dengan dosis
maksimal (agonis β2 kerja pendek dan steroid sistemik).

6.7.7. Steroidinhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600H2400 ug
budesonide) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu
diperhatikan untuk memberi dalam dosis tinggi karena steroid
nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan
asma. Harap diperhatikan pula bahwa penggunaan steroid inhalasi
dosis tinggi ini terbatas pada pasienHpasien yang memiliki
kontraindikasiterhadapsteroidsistemik.

6.7.8. Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapatdiberikan,
tetapi harus berhatiHhati pada anak dengan refleks batuk yang tidak
optimal. HatiHhati pemberian mukolitik pada bayi dan anak di bawah
usia 2 tahun. Pemberian mukolitik secara inhalasi tidak memunyai efek
yang signifikan dan tidak boleh diberikan pada serangan asma berat.

6.7.9. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena
sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri melainkan infeksi
virus. Pada keadaan tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu pada
infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya
sinusitis yang menyertai asma. Pada serangan yang berat perlu

68 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


dipikirkan adanya suatu penyulit antara lain pneumonia atipik. Apabila
ada kecurigaan pneumonia atipik maka diberikan antibiotik, yang
dianjurkan adalah golongan makrolid.

6.7.10. Obat sedasi


Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak
dianjurkankarenadapatmenyebabkandepresipernapasan.

6.7.11. Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena
tidak memunyai efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk
keadaan.

Daftar Bacaan

1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO


Workshop Report;2002.
2. Sly M. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi keH15.
Philadelphia: Saunders; 1996. h. 628H 40.
3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional asma anak.
Indonesian Pediatric Respiratory Meeting I:Focus on asthma.
Jakarta:IDAI; 2003.
4. Georgopoulos D, Burchardi H. Ventilatory strategies in adult
patient with status asthmaticus. EurRespir Mon. 1998;8:45H 83.
5. Warner JO, Naspitz CK. Third international pediatric consensus
statement on the management of childhood asthma. Ped Pulmonol.
1998; 25:1H 17.
6. Pocket guide for asthma management and prevention (for children
5 years and younger). A Guide for Health Care Professionals. Global
Initiativefor Asthma(GINA); 2014.
7. Newman KB, Milne S, Hamilton C, Hall K. A comparison of albuterol
administered by meteredHdose inhaler and spacer with albuterol
by nebulizer in adults presenting to an urban emergency
department with acute asthma. Chest. 2002;121:1036H41.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 69


8. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus
nebulisers for betaHagonist treatment of acute asthma. The
Cochranedatabaseofsystematicreviews. 2013;9:Cd000052.
9. Zar HJ, Asmus MJ, Weinberg EG. A 500Hml plastic bottle: An effective
spacer for children with asthma. Ped Allerg Immunol.
2002;13:217H22.
10. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, Swingler GH. Randomised
controlled trial of the efficacy of a metered dose inhaler with bottle
spacer for bronchodilator treatment in acute lower airway
obstruction. Arch Dis Child. 2007;92:142H6.
11. Hasegawa T, Ishihara K, Takakura S, Fujii H, Nishimura T,Okazaki M,
dkk. Duration of systemic corticosteroids in the treatment of
asthma exacerbation; a randomized study. Int Med. 2000;39:794H7.
12. Jones AM, Munavvar M, Vail A, Aldridge RE, Hopkinson L, Rayner C,
dkk. Prospective, placeboHcontrolled trial of 5 vs 10 days of oral
prednisolone in acute adult asthma. Respir Med. 2002;96:950H4.
13. Geelhoed GC, Landau LI, Le Souëf PN. Evaluation of sao2 as a
predictor of outcome in 280 children presenting with acute asthma.
Ann Emerg Med. 1994;23:1236H41.
14. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global
Initiative for Asthma ( GINA) 2014 . Diunduh dari:
http://www.ginasthma.org/
15. Nowak RM, Tomlanovich MC, Sarkar DD, Kvale PA, Anderson JA.
Arterial blood gases and pulmonary function testing in acute
bronchial asthma. Predicting patient outcomes. JAMA.
1983;249:2043H6.
16. Roback MG, Dreitlein DA. Chest radiograph in the evaluation of first
time wheezing episodes: review of current clinical practice and
efficacy. Ped Emerg Care. 1998;14:181H4.
17. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, CannyG, Levison H. Efficacy of
frequent nebulized ipratropium bromide added to frequent highH
dose albuterol therapy in severe childhood asthma. J Pediatr.
1995;126:639H 45.

70 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


18. Griffiths B, Ducharme FM. Combined inhaled anticholinergics and
shortHacting beta2Hagonists for initial treatment of acute asthma in
children. The Cochrane database of systematic reviews.
2013;8:Cd000060.
19. Mitra A, Bassler D, Goodman K, Lasserson TJ, Ducharme FM.
Intravenous aminophylline for acute severe asthma in children
over two years receiving inhaled bronchodilators. The Cochrane
databaseofsystematicreviews. 2005(2):Cd001276.
20. Yung M, South M. Randomised controlled trial of aminophylline for
severe acute asthma. Arch Dis Child. 1998;79:405H10.
21. Saharan S, Lodha R, Kabra SK. Management of status asthmaticus in
children. Indian J Ped. 2010;77:1417H23.
22. Barnett PL, Caputo GL, Baskin M, Kuppermann N. Intravenous
versus oral corticosteroids in the management of acute asthma in
children. Ann Emerg Med. 1997;29:212H7.
23. Becker JM, Arora A, Scarfone RJ, Spector ND, FontanaHPenn ME,
Gracely E, dkk. Oral versus intravenous corticosteroids in children
hospitalized with asthma. J Allerg Clin Immunol. 1999;103:586H90.
24. Kayani S, Shannon DC. Adverse behavioral effects of treatment for
acute exacerbation of asthma in children: a comparison of two
doses of oral steroids. Chest. 2002;122:624H8.
25. Pocket guide for asthma management and prevention (for adults
and children older than 5 years). Global Initiative for Asthma
(GINA); 2011.
26. McLean RM. Magnesium and its therapeutic uses: A review. Am J
Med. 1994;96:63H 76.
27. Bittar TM, Guerra SD. Use of intravenous magnesium sulfate for the
treatment of severe acute asthma in children in emergency
department. Rev Brasil Ter Intens. 2012;24:86H90.
28. Rodrigo S, Rodrigo C. Inhaled flunisolide for acute severe asthma.
Am J Respir Crit Care Med. 1998;157:698H 703.
29. Gibbs MA, Camargo CA, Rowe BH, Silverman RA. State of the art:
therapeutic controversies in severe acute asthma. Acad Emerg
Med. 2000;7:800H 15.1

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 71


BAB VII
TATALAKSANA NON-MEDIKAMENTOSA

7.1. Program KIE


Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) merupakan unsur
yang sangat penting tetapi sering dilupakan dalam tata laksana asma.
Tujuan program KIE adalah memberi informasi dan pelatihan yang
sesuai terhadap pasien dan keluarganya untuk meningkatkan
pengetahuan atau pemahaman, keterampilan, dan kepercayaan diri
dalam mengenali gejala serangan asma, mengambil langkahHlangkah
yang sesuai, serta memotivasi dalam menghindari faktorHfaktor
pencetus, sehingga meningkatkan keteraturan terhadap rencana
pengobatan yang sudah ditetapkan serta pada akhirnya mampu
meningkatkan kemandirian dalam tata laksana asma yang lebih baik.
Dalam mencapai tujuan tersebut, ada beberapa komponen
penting yang harus diperhatikan oleh seorang dokter/petugas
kesehatanyangmemberipelayanan, antaralain:
• Mengutamakan terjalinnya hubungan baik dengan pasien
• Penjelasan bahwa ini adalah proses yang berkesinambungan,
sehingga KIE selalu diberikan di setiap kesempatan bertemu
dengan pasien
• Berbagi dan bertukar informasi dengan pasien tentang asma
danpenatalaksanaannya
• Penilaian kendali asma, derajat dan pemakaian obatHobatan
• Harapanakantercapaikendaliasma
• Meredamketakutandankekhawatiran

Penerapan program KIE sudah dimulai saat pertama kali


diagnosis ditegakkan dan berlangsung terus menerus dan terintegrasi
ke dalam setiap langkah tata laksana asma. Program ini juga dilakukan
di semua tempat pelayanan, seperti klinik, rumah sakit, unit gawat
darurat, sekolah, rumah, dan pusatHpusat keramaian. Selain anak dan
orangtua, KIE juga melibatkan dokter, perawat, apoteker, guru,

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 73


kelompok bermain, keluarga dan masyarakat. Pelaksanaan KIE
dilakukan melalui ceramah, komunikasi/nasehat saat berobat,
supervisi, diskusi, serta video presentasi, brosur, chart, dan
mendemonstrasikan penggunaan PFM (peak flow meter), spirometer,
alat terapi inhalasi, dan spacer. Dalam melakukan KIE hendaklah selalu
menggunakan kataHkata atau kalimat yang bersifat komunikatif.

Tabel 7.1. Program KIE pada anak, keluarga, dan sekolah

74 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


7.2. Rencana Aksi Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP)
Dalam mencapai kemandirian, program KIE dituangkan dalam
bentuk Rencana Aksi Asma (RAA)/Asthma Action Plan (AAP) yang
dibuat secara tertulis dan diisi oleh anak atau orangtua. Rencana ini
berisi tentang instruksi kapan meningkatkan dosis pengobatan,
bagaimana caranya, lamanya pengobatan dinaikkan, serta penentuan
kapan harus mencari pertolongan medis sehingga memberi
keleluasaan pada anak dalam menentukan sendiri perubahan paduan
pengobatan berdasarkan gejala dan penilaian PFM.

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 75


Dalam pelaksanaannya, RAA berisi catatan harian asma yang
diisi setiap hari untuk memonitor keadaaan tidur malam, gejalaasma,
aktivitas, dahak, peak flow rate (PFR), pemakaian obat harian, dan
penggunaan inhaler. Pemantauan harian ini mempergunakan tiga zona
warna:
– Zona hijau menunjukkan 80H100% dari nilai terbaik anak,
biasanya tanpa gejala dan mengisyaratkan tetap menggunakan
obat pengendali asma.
– Zona kuning menunjukkan Asthma of Physical Effort (APE) 50H
80%, gejala sudah tampak seperti batuk, wheezing,
pilek/selesma, napas berat dan cepat, gelisah, serta
mengurangi aktivitas bermain. Ini mengisyaratkan
penggunaan obat pereda sebagai tambahan obat.
– Zona merah yang menunjukkan APE <50%, gejala asmanya
semakin berat meskipun sudah diberi pengobatan 'zona
kuning', kesulitan makan, berbicara, berjalan dan bermain,
serta gelisah sampai penurunan kesadaran merupakan
keadaan gawat darurat dan harus segera menghubungi dokter
atau rumahsakit.
Penerapan RAA ini terutama ditujukan pada pasien asma
persisten, anak dengan kendali asma yang buruk, serta adanya riwayat
7
eksaserbasi asma .

7.3. Kartu Aksi Asma (KAA)


Program KIE di sekolah diterapkan dalam bentuk Kartu Aksi
Asma (KAA) berisi identitas anak dan nomor telepon untuk dapat
dihubungi bila terjadi kekambuhan, rencana tata kelola asma harian
dan rencana saat darurat.
Rencana tata kelola harian berisi:
1. Identifikasi faktor pencetus asma seperti aktivitas, infeksi,
makanan, debudanlainya
2. Pengendalianlingkungansekolah
3. Monitor PFR
4. Rencana pengobatan harian.

76 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Rencana darurat diperlukan apabila timbul gejala atau nilai
peak flow rate menurun. LangkahHlangkah tindakan pada episode
seranganasma:
1. Berikan pengobatan mengikuti petunjuk yang tercatat di kartu
2. Siswa tetap sekolah jika keadaan anak dapatdikendalikan
3. Hubungi orang tua jika anak tidak dapat mengikuti pelajaran
4. Meminta perawatan medis darurat jika tidak ada perbaikan
klinis selama 15H20 menit setelah pengobatan, nilai PFR
rendah, sulit bernapas, gangguan berjalan atau bicara dan tidak
dapat beraktivitas kembali, serta bibir atau kuku terlihat biru

Dengan pelaksanaan program KIE yang benar diharapkan


angka kesakitan dan kematian akibat asma akan menurun, semakin
sedikit anak yang dibatasi aktivitas fisisnya, dan semakin banyak anak
yang meningkat kualitas hidupnya. Kita tidak dapat mengharapkan
perubahan perilaku pasien dan keluarga, kecuali mereka dapat
diyakinkan sepenuhnya. Mengkomunikasikan edukasi asma yang layak
merupakan kerjasama yang berlangsung terus menerus,
membutuhkan tenaga medis, peralatan dan material edukasi.
Peralatan seperti booklet, diagram, kaset audio, spirometri, peralatan
inhalasi, spacer dan material lain sangat diperlukan pada klinik asma.

7.4. Penghindaranpencetus
Penghindaran pencetus asma merupakan bagian dari tata
laksana nonHmedikamentosa pada asma anak selain tata laksana KIE,
baik pada pasien maupun keluarganya. Serangan asma bisa terjadi
akibat dua faktor, yaitu kegagalan dalam farmakoterapi jangka panjang
dan kegagalan menghindari faktor pencetus, ketika faktor pencetus ini
bisa menyebabkan keadaan yang tidak ada gejala menjadi bergejala
atau yang gejalanyaringan menjadiberat.
Telah diketahui banyak faktor risiko terhadap kejadian asma
pada anak, tetapi ada dua faktor besar yang dipercaya sangat berperan
pada kejadian asma, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Faktor

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 77


genetik hampir tak dapat dimodifikasi lagi dalam tata laksana
penghindaran pencetus. Sedangkan faktor lingkungan dalam hal ini
diklasifikasikan dalam beberapa kategori, antara lain alergen hirupan
(indoor dan outdoor), iritan, kondisi komorbid, dan faktorlain.
Anggapan bahwa asma dapat disembuhkan atau dikendalikan
hanya dengan obatHobatan akan membuat penyakit asma semakin
parah karena penghindaran faktor pencetus ini merupakan upaya
utama dalam tata laksana asma. Dengan penghindaran pencetus yang
adekuat, kebanyakan asma dapat dikendalikan walau terkadang tanpa
obat asma. Sedemikian pentingnya penghindaran pencetus hingga
Dolovich J. dkk. (1983) mengemukakan: “Thus, strategies to avoid
offending substances are potentially 'curative' and require the dedicated
attentionofthetherapist.”
Peranan pajanan alergen dalam perjalanan perkembangan
asma melalui dua proses bertingkat, yaitu pajanan yang menyebabkan
terjadinya sensitisasi dan pajanan pada individu yang telah
tersensitisasi akan menyebabkan berkembangnya asma. Gambaran
patologi asma terutama oleh karena sensitisasi alergen dan inflamasi
atopi di antaranya perubahan fibrotik jaringan di sekitar lumen jalan
napas, hipertrofi dan hiperplasia otot polos, hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus, dan kerusakan epitel jalan napas. Paparan ini juga
mampu menyebabkan terjadinya sensitisasi alergen, hiperresponsif
jalan napas, dan gambaran remodeling (hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus, penebalan membrana basalis, dan kerusakan epitel).
Walaupun pada beberapa hasil penelitian terakhir yang
dilakukan bahkan dengan metaHanalisis menilai penghindaran alergen
termasuk di antaranya tungau debu rumah dan binatang peliharaan
tidak memberi manfaat dalam pengendalian asma, namun beberapa
penelitian lain justru menyimpulkan bahwa penghindaran alergen
masih merupakan tindakan yang sangat bermanfaat.

78 Pedoman Nasional Asma Anak 2015


Tabel 7.2. Faktor pencetus asma dan cara penghindaran

Pedoman Nasional Asma Anak 2015 79


80 Pedoman Nasional Asma Anak 2015

Anda mungkin juga menyukai