Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

ABSES HEPAR

Disusun oleh:

Lidwina Dewisetyorini

42170198

Pembimbing:

dr. Ahmad Daenuri, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SALATIGA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1

DAFTAR ISI …………………………………………………………………..…… 2

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................................... 3

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………... 4

I. Definisi ……………………………………………………………........ 4

II. Epidemiologi…………………………………………………………… 4

III. Anatomi…………………………………….……………………………4

IV. Fisiologi………………………………………………………………… 5

V. Faktor Risiko……………………………………………………………6

VI. Klasifikasi…………………………………………………..………......7

1. Abses Hepar Piogenik…………………………………….….…..8

2. Abses Hepar Amuba…………………………………………..…9

VII. Diagnosis……………………………………………………….…….…11

1. Anamnesis……………….…………………………………….…11

2. Pemeriksaan Fisik……………………………………………......11

3. Pemeriksaan Penunjang…………………………………….…….12

VIII. Diagnosis Banding………………………………………………...……13

IX. Penatalaksanaan ………………………………………………………...13

1. Non Invasive Treatment…………………………………………. 13

2. Invasive Treatment …………………………………………… 14

X. Komplikasi……………………………………………………………… 15

XI. Prognosis ……………………………………………………………….16

DAFTAR PUSTAKA ……………………………….……………………………...17

2
BAB I

PENDAHULUAN

Abses hepar dapat didefinisikan sebagai kumpulan jaringan supuratif yang


terkapsulasi di dalam parenkim hepar yang terinfeksi oleh mikroorganisme, baik
bakteri, jamur, maupun parasit.1 Abses hepar umumnya dikelompokkan berdasarkan
etiologi, yaitu abses hepar piogenik dan abses hepar amuba.2 Abses hepar amuba
merupakan jenis abses hepar yang terbanyak dijumpai dan sering terjadi di negara
berkembang sedangkan abses hepar piogenik sering dijumpai dinegara maju. Abses
hepar karena jamur sering diakibatkan sindroma acquired immunodeficiency atau dapat
disebabkan pemakaian obat-obatan immunosupresi.1 Seringkali berbagai jenis abses
hepar tersebut memberikan gambaran klinis yang hampir sama sehingga diagnosis
etiologi sulit ditegakkan.3
Abses hepar merupakan penyakit serius yang membutuhkan diagnosis dan
tatalaksana yang cepat.4 Selama 40 tahun terakhir, telah banyak perubahan dan
perkembangan dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan abses hepar. Meskipun
demikian, mortalitas abses hepar masih tinggi yaitu berkisar antara 10-40%.3
Diagnosis dini dan terapi yang adekuat berhubungan dengan hasil yang lebih
bagus. Kemajuan di bidang radiologi diag-nostik dan intervensi telah menghasilkan
suatu prosedur invasif yang minimal dalam tatalaksana penyakit ini. Kombinasi
antibiotik dengan teknik drainase perkutaneus merupakan terapi yang banyak
digunakan, namun sebagian kecil pasien tidak mengalami perbaikan dengan metoda
ini sehingga tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhirnya.5,6,7

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Abses hepar adalah infeksi pada hepar yang disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan nekrotik, sel-sel inflamasi dalam
parenkim hepar.8 Mikroorganisme yang mungkin menyebabkan abses hepar
yaitu bakteri (abses hepar piogenik), parasit (abses hepar amuba) dan jamur
(fungal) .7

II. Epidemiologi

Insidens abses hepar cukup jarang, berkisar antara 15-20 kasus per
6
100.000 populasi. Di negara maju, 80% abses hepar berupa abses hepar
piogenik, 10% berupa abses amuba, dan kurang dari 10% disebabkan oleh
jamur.7 Abses hepar amuba lebih banyak terjadi pada daerah tropis dan Negara
berkembang dengan keadaan sanitasi yang buruk, status social ekonomi yang
rendah dan status gizi yang kurang baik serta dimana strain virulen E. hystolitica
masih tinggi. Misalnya di Meksiko, India, Amerika Tengah dan Utara, Asia dan
Afrika. Prevalensi E. hystoliisua di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara
10-18%. 8 Penyakit ini terutama mengenai laki-laki muda. 7
Abses hepar piogenik pada anak dan dewasa muda terjadi akibat
komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran
empedu.7 Insidens abses hepar piogenik jarang ditemukan pada anak, namun
sering ditemukan pada pasien berusia 50-70 tahun dan lebih sering terjadi pada
laki-laki disbanding perempuan dengan rasio 7:1. 6

III. Anatomi

Hepar merupakan organ terbesar dalam rongga perut, yang terletak


pada bagian superior dari rongga perut. Hepar terletak pada regio hipokondrium
kanan hingga epigastrium . Hepar pada orang dewasa memiliki berat sekitar 2%
dari berat badan.9 Hepar dibagi menjadi 4 lobus, yaitu lobus dextra, lobus

4
caudatus, lobus sinistra dan quadratus. Memiliki lapisan jaringan ikat tipis yang
disebut kapsula Glisson, jaringan ikat padat yang melekat pada seluruh
permukaan hepar, kecuali pada area porta hepatica. Porta hepatica yang terletak
di permukaan inferior hepar merupakan saluran tempat keluar masuk pembuluh
darah yang menvaskularisasi, di samping tempat keluarnya duktus hepatikus
dekstra dan sinistra yang menyalurkan empedu ke kandung empedu.

Anatomi Hepar

Pembuluh yang terdapat pada daerah ini antara lain vena porta, dan
arteri hepatica propia. Vena pada hepar yang membawa darah keluar dari hepar
menuju vena cava inferior adalah vena hepatica. Sedangkan, pembuluh darah
vena porta dan arteri hepatica alirannya menuju pada porta hepatica.
Persarafan pada hepar dibagi menjadi dua yaitu bagian parenkim dan
permukaan hepar. Pada bagian parenkim, persarafan dikelola oleh N. Hepaticus
yang berasal dari plexus hepatikus. Mendapatkan persarafan simpatis dan
parasimpatis dari N.X. Sedangkan pada bagian permukaannya mendapatkan
persarafan dari nervi intercostales bawah.10

IV. Fisiologi

Hati adalah organ metabolik yang sangat penting dalam tubuh, organ
ini dilihat sebagai pabrik biokimia utama. 11 Fungsi hati antara lain:

 Metabolisme karbohidrat

5
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen
dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi
glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang
penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat .12
 Metabolisme lemak
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah dengan mengsekresikan
garam empedu yang membantu pencernaan lemak melalui efek
deterjennya (emulsifikasi) sehingga mempermudah penyerapan lemak
dan ikut serta dalam pembentukan misel. 11
 Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, dan
interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari
asam amino .12
 Sintesis Protein Plasma
Hati memproduksi banyak protein. Kebanyakan protein tersebut
merupakan proten fase akut yaitu protein yang diproduksi dan di
sekresikan ke dalam plasma apabila terdapat rangsangan stress. Protein
lainnya yang diproduksi adalah protein yang mengangkut steroid dan
hormone lain dalam plasma serta faktor−faktor pembekuan. Protein
tersebut antara lain albumin, orosomukoid, antiprotease ɑ1 dan
lain−lain.13
 Lain−lain
Fungsi hati yang lainnya adalah sebagai tempat penyimpanan vitamin,
dan menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Hati membentuk zat−zat
yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan
mengeluarkan atau mengekskresikan obat−obatan, hormon dan zat
lain.12

V. Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya abses hepar diantaranya:

a. Diabetes Militus

6
DM merupakan salah satu faktor predisposisi untuk abses
hepar. Penelitian telah menemukan DM sebagai penyakit yang menyertai
pada 29,3% - 44,3% pasien dengan abses hepar. Pada kondisi
hiperglikemia dapat mengubah metabolisme neutrofil. Pada penderita
diabetes, kemotaksis dan fagositosis oleh sel polimorfonuklear (PMN)
terganggu. Hal tersebut dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh
terhadap infeksi dan menyebabkan tubuh rentan terhadap pembentukan
abses.
b. Sirosis Hepatik
Seperti halnya penderita diabetes, pasien dengan sirosis hepatis
memiliki risiko abses hepar yang tinggi karena keadaan kekebalannya
yang lemah. Sirosis memiliki kemungkinan 4 kali lebih besar untuk
mengalami abses hepar.
c. Kondisi Immune-compromised
Kondisi tertentu dan terapi dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh dan membuatnya tidak dapat melawan patogen. Kondisi tersebut
diantaranya penyakit imunodefisiensi, kemoterapi, keganasan, terapi
imunosupresi, post transplantasi organ, dan post splenektomi.
d. Penggunaan obat PPI
Penggunaan obat PPI dapat meningkatkan risiko terjadinya
abses hepar. Hal ini terjadi karena obat PPI meningkatkan pH lambung,
yang menurunkan pertahanan lambung alami terhadap bakteri.
e. Usia
Sebagian besar kasus abses hepar terjadi pada usia lanjut,
rata-rata pada usia > 57 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tua lebih
rentan terhadap infeksi bakteri dan dengan demikian kemungkinan
pembentukan abses menjadi meningkat.
f. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa rasio antara pria dan
wanita yang mengalami HA adalah sekitar 2 : 1. 3

VI. Klasifikasi
Abses hepar umumnya dikelompokkan berdasarkan etiologi, yaitu
abses hepar piogenik dan abses hepar amuba.
7
1. Abses Hepar Piogenik
 Etiologi
Abses hepar piogenik pada umumnya disebabkan oleh bakteri
aerob dan anaerob dari saluran pencernaan.14 Bakteri-bakteri yang
berasal dari flora normal usus seperti Escherichia coli, Klebsiella
pneumonia, Bacteriodes, enterokokus, streptokokus anaerob, dan
streptokokus mikroaerofilik. Pada anak, Staphylococcus aureus
merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan abses hati piogenik.
Stafilokokus, Streptococcus hemolyticus dan Streptococcus milleri
seringkali menjadi penyebab abses hepar jika infeksi primernya berasal
dari endokarditis bakterialis atau infeksi gigi. 6

 Patogenesis
Abses hepar dapat berasal dari radang bilier, dari daerah
splanknik melalui vena porta (seperti apendisitis akut dan diverticulitis
akut), atau sistemik dari manapun di tubuh melalui arteri hepatica.
Biasanya disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung pada hepar atau
system di sekitarnya.7 Yang paling sering terjadi karena systemic
bacteremia atau pada infeksi intra-abdominal. Dalam kasus infeksi
intra-abdominal, seperti appendisitis dan divertikulitis, bakteri dapat
masuk dalam pembuluh portal, menyebabkan pylephlebitis dan piemia
portal, yang akhirnya mengarah pada pembentukan abses hepar. 3
Obstruksi saluran empedu karena kolelitiasis atau karsinoma
merupakan penyebab lain abses hepar piogenik. Kolesistitis akut dan
pancreatitis akut juga dapat menyebabkan abses hepar piogenik. Infeksi
pada saluran empedu yang mengalami obstruksi naik ke cabang saluran
empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan
kolangiolitis dengan akibat abses multiple.
Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan, dan nekrosis jaringan hepar serta ekstravasasi cairan empedu
yang mudah terinfeksi. Hematoma subkapsuler dapat juga mengundang
infeksi dan menimbulkan abses yang soliter dan terlokalisir.

8
Abses yang timbul akibat pancreatitis kronik, hepar tampak
membengkak, dan daerah yang mengandung abses menjadi pucat
kekuningan. Kebanyakan terjadi pada pada lobus kanan. Apabila abses
berhubungan dengan pileflebitis, vena porta dan cabangnya tampak
melebar dan mengandung nanah serta bekuan darah. Disekitar abses
terdapat infiltrasi radang. Apabila abses disebabkan oleh penyakit bilier
biasanya abses berisi nanah yang berwarna hijau .7
 Gambaran Klinis
Gejala klinis dari abses hepar piogenik tidak spesifik, yaitu
demam, nyeri perut, mual, muntah, dan asthenia.4 Selain itu gejala
nonspesifik lainnya seperti anoreksia, penurunan berat badan, nyeri otot,
dan nyeri sendi. Nyeri perut terutama dirasakan di bawah iga kanan atau
pada kuadran kanan atas. Nyeri perut sering berkurang bila posisi
berbaring ke sisi kanan. Dapat terjadi ikterus, ascites, dan diare. 7 Ikterus
terutama terjadi pada abses hepar yang disebabkan oleh penyakit saluran
empedu yang disertai kolangitis supuratif dan pembentukan abses
multiple. 6 Kondisi ini memiliki prognosis yang buruk.
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan hepatomegali
atau distensi abdomen kuadran lateral atas atau pembengkakan
interkostal. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, dapat teraba massa di
epigastrium .7

2. Abses Hepar Amuba


 Etiologi
Abses hepar amuba adalah infeksi parasit yang secara umum
disebabkan oleh Entamoeba histolytica, dengan insiden tertinggi di
daerah ber iklim tropis dan subtropis. Abses hepar amuba biasanya
menyerang pria berusia 20 - 40 tahun. 1
 Patogenesis
Parasit ditularkan melalui jalur fekal-oral dengan menelan
6
minuman atau makan yang mengandung kista Entamoeba histolytica.
E.histolytica mempunyai dua bentuk yaitu trofozoit dan kista. Bentuk
kista merupakan sumber penularan dan masuk ke dalam tubuh melalui

9
makanan atau minuman. Dalam usus bentuk kista ini berubah menjadi
trofozoit. Trofozoit kemudian berkembang. Bila menembus mukosa,
7
trofozoit menyebabkan tukak pada mukosa kolon. Tukak pada epitel
kolon merupakan jalur amuba masuk ke dalam sistem vena portal dan
menyebabkan penyebaran ekstraintestinal ke peritoneum, hati dan
6
jaringan lain. Akan tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar
dapat menimbulkan abses. Agar terbentuk abses diperlukan faktor
pendukung atau penghalang berkembang biaknya amuba tersebut. Faktor
tersebut antara lain: riwayat infeksi amuba, tingginya kadar kolesterol,
riwayat pascatrauma hepar, dan riwayat sering konsumsi alcohol.
Di hepar E. hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang
melisiskan jaringan hepar, dan membentuk abses. Lokasi yang sering
adalah di lobus kanan (70% - 90%), superficial serta soliter. 15 Sel hepar
yang jauh dari focus infeksi juga mengalami perubahan meski tidak
ditemukan amuba. Perubahan ini disebabkan oleh toksin yang
dikeluarkan oleh amuba.7

Patogenesis Abses Hepar Amuba

10
 Gambaran Klinis
Penyakit ini timbul secara perlahan. Nyeri perut kanan atas
merupakan keluhan yang menonjol, anoreksi, penurunan berat badan. 6
7
Sebelum timbul abses hepar selalu didahului oleh infeksi usus. Pada
pemeriksaan fisis, ditemukan hepatomegali yang disertai nyeri tekan.6
Tidak seperti abses piogenik, pada abses hepar amuba jarang terjadi
ikterik dan penderita tidak memiliki riwayat penyakit biliar.4 Bila lobus
kiri yang terkena akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala
khas adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5°C. penderita tidak
tampak sakit berat seperti pada abses piogenik 7.

VII. Diagnosis
1. Anamnesis
Sebagian besar diagnosis abses hepar sulit ditegakkan sebab
gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.8 Oleh sebab itu jika ada
keluhan berupa nyeri di daerah epigastrium kanan dan hepatomegali serta
demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses hepar harus
dipertimbangkan.7
Abses hepar amuba biasanya dapat berkembang antara beberapa
bulan hingga beberapa tahun setelah terpapar Entamoeba histolytica. Pada
abses hepar yang disebabkan dari infeksi usus (disentri dan kolitis),
mungkin memiliki riwayat diare disertai lendir dan darah. Keluhan lainnya
yaitu: nyeri perut kanan atas, penurunan berat badan, mual, muntah,
maupun demam.16 Selain itu adanya riwayat konsumsi alkohol, riwayat
perjalanan ke daerah endemis amubiasis, riwayat penyakit yang mendasari
dan terapi yang dilakukan juga dapat menunjang diagnosis abses hepar.14

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai demam 38,5 ° C - 39,5 ° C.


Pada inspeksi pasien tampak lemas, dapat dijumpai ikterik atau pucat karena
anemia akibat infeksi kronis. 6 Pada auskultasi bising usus dapat normal atau
berkurang, atau meningkat. Perkusi menunjukkan ukuran hepar membesar.

11
Pada palpasi terdapat nyeri perut yang dapat dilokalisir ke sisi kanan,
rebound tenderness dan hepatomegali .16

3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Pada kasus abses hepar pemeriksaan laboratorium tidak
menunjukkan tanda spesifik. Leukosit dapat meningkat, namun pada
beberapa kasus leukosit dapat normal. Selain itu sering disertai dengan
anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah. 7 Kadar
alkali fosfatase biasanya meningkat, hipoalbuminemia dan kadar enzim
transaminase yang sedikit meningkat. Pada pemeriksaan feses dapat
mengandung kista, pada disentri ditemukan trofozoit hematofagus.
Kista positif pada feses hanya ditemukan pada 10-40% kasus.6 Infeksi
E. histolytica hampir selalu mengandung serum antibody antiamuba.
Oleh karena itu dapat dilakukan pemeriksaan enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Deteksi terhadap E. histolytica juga
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR).
Pemeriksaan biakan abses maupun darah dapat menemukan
bakteri patogen. Bakteri aerob gram negatif ditemukan tumbuh pada
70% kasus dan yang paling sering adalah Escherichia coli.
Pemeriksaan biakan darah memberikan hasil positif pada 57% kasus.7

 Foto Polos Dada dan Abdomen


Foto polos dada dan abdomen memperlihatkan pembesaran
hepar, kadangkala tampak air fluid level di dalam rongga abses dan
diafragma kanan biasanya terangkat. Pada foto dada juga dapat
ditemukan gambaran efusi pleuran dan atelektasis paru kanan.6

 Ultra Sonografi (USG)


Ultrasonografi adalah modalitas standar untuk diagnosis
maupun sebagai pemandu aspirasi abses untuk diagnostic dan terapi.2
Teknik pencitraan ini dapat menentukan lokasi abses serta ukuran

12
abses. Abses biasanya tampak berisi cairan hipoekoik.7 Ultrasonografi
adalah metode pencitraan yang direkomendasikan karena cepat,
noninvasif, cost effective. Ultrasonografi juga dapat digunakan untuk
memantau keberhasilan terapi, terutama jika pasien tidak memberi
respons yang baik secara klinis .6

 CT-Scan
Pemeriksaan CT-scan lebih sensitif (95% hingga 100%)
dalam mendeteksi abses. CT-scan juga dapat dilakukan untuk
mengevaluasi organ perut secara menyeluruh untuk mendeteksi
penyebab yang mendasarinya.14 CT-scan dapat menentukan lokasi dan
luas lesi hingga kurang dari 1cm. 8

VIII. Diagnosis Banding

Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hepar antara lain:

 Kolesistitis akut
 Hepatitis virus akut
 Piogenik
 Hepatoma nekrotik
 Karsinoma hepar primer tipe febril

Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi,


pungsi, dan pengobatan dengan amubisid yang merupakan diagnosis per
eksklusionem7.

IX. Penatalaksanaan
Non Invasive Treatment
 Terapi obat-obatan (medikamentosa)

Pada abses hepar amuba, Metronidazol merupakan obat pilihan


dengan dosis 3 kali 750mg tiap harinya pada orang dewasa, dan 35-50
mg/kg/hari dibagi 3 dosis pada anak-anak, diberikan selama 10 hari.
Bila tidak dapat diberikan per oral, obat dapat diberikan melalui
parenteral intravena dengan dosis 500mg tiap 8-12 jam. Klorokuin

13
fosfatase merupakan antiamuba ekstraintestinal dan dapat diberikan
dengan dosis 1gram/hari selama 3hari, dilanjutkan dengan 500mg/hari
selama 2-3minggu.7
Pada abses hepar piogenik pemberian antibiotic disesuaikan
dengan hasil tes kepekaan kuma.14 Apabila hasil tes belum ada, maka
antibiotik parenteral spektrum luas yang secara empiris mampu
mematikan bakteri gram negatif, bakteri anaerob dan Streptococcus,
harus segera diberikan. Antibiotik yang diberikan terdiri dari golongan
penisilin, aminoglikosid (gentamisin) dan metronidazol yang efektif
melawan E. coli, K. pneumonia, bakteriodes, enterokokus, dan
streptokokus anaerob. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, lebih
baik diberikan golongan sefalosporin daripada aminoglikosida.
Pengobatan harus dilanjutkan selama 2bulan, kecuali abses telah
dilanjutkan dengan pembedahan6,7.

Invasive Treatment
 Aspirasi Perkutan dan Drainase
Sebagian besar kasus abses hepar memerlukan tindakan
aspirasi perkutan atau drainase dengan kateter.6 Tindakan ini dapat
dilakukan secara buta, namun disarankan untuk dipandu dengan USG
atau CT scan. Tindakan tersebut dilakukan pada keadaan:
 Hasil serologi amuba meragukan dan diagnosis banding utama
adalah abses hepar piogenik
 Abses berukuran besar (> 3-4 cm)
 Pemberian antiamuba dianggap kurang tepat, seperti pada
kehamilan
 Tidak memberi respons terhadap terapi antiamuba setelah 3-5
hari. Hal ini ditandai dengan nyeri perut dan demam yang tetap
dirasakan setelah terapi berjalan.
 Dicurigai terjadi infeksi sekunder 6, 7,15

Tindakan ini lebih efektif karena tidak mengganggu fungsi


vital, tidak menyebabkan kontaminasi rongga peritoneum, dan murah.
Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptic dan antiseptic
14
untuk mencegah infeksi sekunder.7 Aspirasi dilakukan dengan kateter
dengan ukuran besar. Jarum dimasukkan ke dalam rongga abses, dan
isinya diaspirasi seluruhnya. Demikian juga dengan drainase, kateter
dimasukkan ke dalam rongga abses dan dibiarkan, hingga abses keluar
seluruhnya.3 Kontraindikasi dari tindakan ini adalah adanya asites dan
struktur vital menghalangi jalannya jarum.7 Keberhasilan drainase
perkutan tampak pada 80-90% kasus. Komplikasi dari tindakan ini
adalah perdarahan dan terbentuknya fistula biliar. 3

 Drainase Melalui Laparotomi


Drainase melalui laparotomi dilakukan dengan sayatan
subkostal kanan. Abses dibuka, dilakukan drainase, dicuci dengan
larutan garam fisiologik dan larutan antibiotic serta dipasang drainase.
Indikasi dilakukan tindakan drainase operatif :
 Abses hepar pada lobus kiri yang berpotensi pecah ke rongga
peritoneum atau ke rongga lain
 Jika abses telah ruptur sehingga menyebabkan peritonitis
 Adanya indikasi lain yang membutuhkan operasi seperti penyakit
saluran bilier
 Tidak berespon terhadap obat walaupun sudah dilakukan aspirasi
dan drainase dengan kateter secara berulang
 Adanya infeksi sekunder yang tidak terkendali.
Tindakan drainase dengan laparotomi tidak dilakukan pada
abses multiple. Pada kondisi ini terapi yang boleh dilakukan hanya
pemberian antibiotic dan pungsi 6, 7, 14.

X. Komplikasi

Komplikasi abses hepar umumnya berupa perforasi abses ke berbagai


rongga tubuh seperti ke rongga peritoneum, pleural, dan perikard. Perforasi ke
cranial dapat terjadi ke pleura dan perikard. Perforasi dapat berlanjut ke paru
hingga ke bronkus sehingga di dapatkan sputum berwarna khas cokelat.
Penderita mengeluh bahwa sputum terasa seperti rasa hati selain didapati

15
hemoftisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard dan
temponade jantung. Bila infeksi tidak dapat diatasi akan terjadi inflamasi
kronik dan selanjutnya terjadi penyempitan jantung (perikarditis konstriktiva).
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum dan dapat
menyebabkan peritonitis. Perforasi ke depan kearah kulit dapat menyebabkan
fistel dan menyebabkan infeksi sekunder melalui sinus ini. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah sepsis, gagal ginjal akut, pneumonia, dan perdarahan
pasca operasi.6,7

XI. Prognosis

Jika disertai septisemia, mortalitas dan morbiditas tinggi. Prognosis


juga dipengaruhi oleh umur penderita, adanya penyakit saluran empedu, adanya
hubungan dengan keganasan, penyulit pada paru, kecepatan pemberian terapi,
dan penyakit yang mendasari timbulnya abses. Abses yang multiple dan
disebabkan keganasan mempunyai prognosis kurang baik.7

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Lardière DS, Ragot E, Armoun K, Piardi T, Dokmak S, Bruno O, et al. Hepatic


abscess: diagnosis and management. J Visc Surg. 2015;152:231–243. Avalaible
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25770745 [Accessed 30 Mei 2019]
2. Jayakar SR, Nichkaode PB. Liver abscess, management strategies, and outcome.
Int Surg J. 2018; 5(9): 3093-310. Avalaible from:
https://www.ijsurgery.com/index.php/isj/article/view/3201/2321[Accessed 30 Mei
2019]
3. Mavilia MG, Molina M, George YW. The evolving nature of hepatic abscess: a
review. J Clin Transl Hepatol. 2016; 4(2): 158-168. Avalaible from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4913073/ [Accessed 30 Mei
2019]
4. Serraino C, Elia C, Bracco C, Gianluca R, Pomero F, Silvertri A, et al.
Characteristics and management of pyogenic liver abscess: a european experience.
Medicine (Baltimore). 2018; 97(19): e0628. Avalaible from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5959441/ [Accessed 30 Mei
2019]
5. Heneghan HM, Healy NA, Martin ST, Ryan RS, Nolan N, Traynor O, et al.
Modern management of pyogenic hepatic abscess: a caseseries and review of the
literature.BMC Res Notes 2011;4:80. Avalaible from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21435221 [Accessed 30 Mei 2019]
6. Prianti Y, Bisanto J, Firman K. Abses hati pada anak. Sari Pediatri. 2005; 7(1):
50-56
7. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Abses hati Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2,
Jakarta: EGC. 2004 Hal: 686 – 690
8. Wenas NT, Waleleng BJ. Abses hati piogenik Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Ed V,Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2009 Hal:462-463
9. Mescher, L. A. Junqueira's Basic Histology Text and Atlas. English: Mc Graw
Hill Medical; 2009
10. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Ed 23,
Jakarta:EGC. 2010:10-160

17
11. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. Ed 6. Jakarta: EGC;
2007. Hal:973.
12. Guyton, A. C., Hall, J. E., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 12. Jakarta :
EGC;2014
13. Ganong, W. F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 22. Jakarta: EGC; 2009
14. Christine M, Durand MD. The management of hepatic abscess Dalam: Current
Surgical Therapy. Ed 12. New York: McGraw-Hill; 2017. Hal: 376-380.
Avalaible from:
https://www.clinicalkey.com/#!/content/book/3-s2.0-B9780323376914000719?scr
ollTo=%23hl0000248 [Accessed 30 Mei 2019]
15. Lubbert C, Wiegand J, Karlas T. Therapy of liver abscesses. Viszeralmedizin.
2014; 30(5): 334–341. Avalaible from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4513824/ [Accessed 30 Mei
2019]
16. Pritt BS et al. Amebiasis. Mayo Clin Proc. 2008; 83(10):1154-1159. Avalaible
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18828976 [Accessed 30 Mei 2019]

18

Anda mungkin juga menyukai