Anda di halaman 1dari 6

LANGGAR KODE ETIK, DUA POLISI DI HALMAHERA TIMUR DIPECAT.

TERNATE – Dua oknum polisi di jajaran Polres Halmahera Timur, Maluku Utara,
dikenakan sanksi pemecatan karena tidak pernah menjalankan tugas selama berbulan-bulan.
Kapolres Halmahera Timur, AKBP Driyano Andri Ibrahim mengatakan, Senin (5/6/2017),
dua oknum yang diberikan sanksi pemecatan itu adalah Briptu Hariyanto T Mohamad dan
Brigpol Muh Rasywan Harun. Dia menyatakan kedua anggota tersebut terbukti melanggar kode
etik profesi Kepolisian Republik Indonesia.
Pelanggaran berat yang dilakukan oleh kedua anggota tersebut yakni meninggalkan
wilayah tugas tanpa izin resmi dari pimpinan lebih dari 30 hari berturut turut sebagaimana
diatur PP Nomor 01 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1 huruf (a), Pasal 21 ayat 3 huruf e Perkap Nomor
14 Tahun 2011.
Menurutnya, keputusan pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) kepada dua
anggota sudah ditinjau dari beberapa aspek seperti asas kepastian yaitu menitikberatkan
adanya kepastian terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik hingga menjadi
jelas statusnya apakah masih pantas atau tidak untuk dipertahankan menjadi anggota Polri.
Kemudian, asas manfaat yaitu segala sesuatu telah dipertimbangkan seberapa besar
manfaat bagi organisasi dan bagi anggota Polri yang dijatuhan hukuman itu sendiri dan terakhir
adalah asas keadilan maksudnya polisi berkomitmen dalam mewujudkan keadilan terhadap
oknum oknum anggota Polri yang telah terbukti melakukan pelanggaran baik pelanggaran
norma, etika dan disiplin yaitu dengan memberikan punishment atau hukuman.
Sebaliknya, kata Kapolres, bagi anggotanya yang berprestasi Polres Halmahera Timur
akan memberikan penghargaan.
Dia mengingatkan seluruh anggota Polres Halmahera Timur agar tidak melanggar
disiplin seperti meninggalkan tempat tugas tanpa izin (desersi), melawan perintah pimpinan,
serta hindari perbuatan tercela atau perbuatan pidana yang pada akhirnya dapat merugikan
anggota itu sendiri karena dapat di berikan sanksi yang berat atas perilaku anggota itu sendiri.
"Saya berharap dengan kejadian ini agar dijadikan sebagai pembelajaran bagi seluruh
anggota. Jangan sampai kasus kasus seperti itu terulang lagi," kata Kapolres.
KASUS NARKOTIKA YANG DIDUGA PENJEBAKAN ATAU REKAYASA

Dalam perkara ini Terdakwa yang masih berusia 18 tahun didakwa karena memiliki
narkotika jenis shabu-shabu. Perkara ini berawal dari dihentikannya motor yang dikendarai oleh
Terdakwa dan seseorang yang bernama Seno oleh dua orang polisi bernama Wendy Kurniawan
dan Robil Asbar (keduanya menjadi saksi). Sesaat sebelum motor tersebut berhenti seorang
polisi yang bernama Wendy mengaku melihat terdakwa melempar sebuah dompet ke jalan.
Wendy pun memerintahkan Terdakwa untuk mengambil dompet tersebut namun Terdakwa
menolaknya. Karena menolak untuk mengambil dompet tersebut kedua polisi tersebut
kemudian mengambil dompet tersebut dan memerintahkan Terdakwa untuk ikut ke Polsek
Timur. Setelah sampai di Polsek, terdakwa kemudian digeledah, begitu juga dompet yang
disangka miliki Terdakwa. Saat dompet tersebut diperiksa kemudian ditemukanlah 1 paket
shabu-shabu. (Sumber: Dakwaan)

Dalam perkara ini Terdakwa oleh PN Prambulih akhirnya dinyatakan tidak terbukti atas
dakwaan Penuntut Umum. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung di
tingkat kasasi. Dalam pertimbangannya MA meragukan alat-alat bukti yang diajukan oleh
Penuntut Umum (yang berasal dari penyidikan). Selengkapnya pertimbangan MA tersebut
sebagai berikut:

Kutipan Pertimbangan Mahkamah Agung:


Menimbang, terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Ternyata Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah
merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak
murni dari putusan bebas tersebut, dengan pertimbangan :

 Bahwa tidak ditemukan alat-alat bukti minimal dan keyakinan, Terdakwa melakukan
tindak pidana yang didakwakan ;
 Bahwa sabu-sabu yang dijadikan barang bukti yang diduga milik Terdakwa karena
terdapat di dalam dompet, ternyata sesaat Terdakwa di tangkap tidak ditemukan
Narkoba, baru setelah di kantor Polisi dompet tersebut telah berisi 1 (satu) paket
Narkoba ;
 Bahwa Terdakwa tidak mengakui dompet tersebut, karena dompet dibuka oleh teman-
teman dari petugas yang menangkap Wendi Kurniawan dan Robil Asbar. Dan menurut
saksi Arimbi Palera yang diserahi tugas untuk menggeledah Terdakwa, Terdakwa pernah
menggunakan sabu-sabu dan ganja, akan tetapi 1 (satu) tahun yang lalu, namun sebagai
pengguna juga tidak didukung oleh bukti apapun;
 Bahwa karena Penuntut Umum tidak dapat membuktikan putusan a quo merupakan
pembebasan tidak murni,
Menimbang, bahwa disamping itu Mahkamah Agung berdasarkan wewenang
pengawasannya juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu permohonan kasasi
Penuntut Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima ;

Majelis Hakim Agung:


1. Rahngena Purba (Ketua)
2. Soltony Mohdally
3. M. Zaharuddin Utama

Catatan:
Beberapa kejanggalan terjadi dalam perkara ini. Pertama dalam dakwaan dinyatakan
bahwa awal mula mengapa kedua polisi tersebut menghentikan motor yang dikendarai oleh
Terdakwa adalah karena ada laporan dari masyarakat bahwa Terdakwa memiliki narkotik. Jika
adanya laporan masyarakat ini yang menjadi dasar bagi kedua polisi tersebut mengambil
tindakan menghentikan motor yang ditumpangi terdakwa bukan kah berarti kedua polisi
tersebut adalah penyidik dalam kasus ini? Lalu mengapa dalam Dakwaan keduanya justru
disebut sebagai saksi? Dan jika keduanya adalah penyidik, maka apakah tindakan menghentikan
Terdakwa tersebut merupakan bagian dari tindakan penggeledahan? Jika ya, bukankah
seharusnya ada surat penggeledahan? Dalam kasus ini saya menduga tindakan yang dilakukan
oleh kedua ‘Saksi’ tersebut tidak berdasarkan surat penggeledahan, karena jika ada maka
pastinya mereka adalah penyidik dalam kasus ini bukan saksi.

Kedua, dalam Dakwaan dinyatakan Sdr Seno, orang yang bersama-sama terdakwa
mengendarai motor berstatus “belum tertangkap”. Mengapa berstatus demikian? Bukankah ia
juga bersama-sama dengan Terdakwa pada saat dihentikan oleh kedua ‘Saksi’ tersebut? Masuk
akal kah jika tiba-tiba Sdr. Seno melarikan diri di depan kedua ‘saksi’ yang merupakan anggota
kepolisian tersebut, dan tidak dikejar oleh mereka?

Kasus dengan modus seperti ini kerap saya temukan dalam banyak putusan pengadilan,
khususnya Mahkamah Agung, dimana Terdakwa bersama-sama dengan seorang lainnya tiba-
tiba dihentikan/digeledah oleh beberapa orang polisi yang kemudian dibarang-barang milik
Terdakwa ditemukan narkotika, yang kemudian orang yang bersama dengan Terdakwa tersebut
kemudian dinyatakan ‘belum tertangkap’ atau ‘masih DPO’. Umum juga saya temukan polisi
yang melakukan penggeledahan tersebut kemudian berstatus sebagai Saksi, bukan penyidik.
PELANGGARANNG YANG DILAKUKAN OLEH HAKIM

1. Asmadinata

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menjatuhkan sanksi pemecatan secara tidak hormat kepada
hakim ad hoc tipikor, Asmadinata. Sanksi berat diberikan kepada Asmadinata karena hakim ini
telah menemui seorang ‘broker’ atau makelar kasus. Alasan pemecatan menurut Pimpinan
sidang MKH, I Made Tara, ialah karena Asmadinata telah terbukti melanggar kode etik dan
pedoman perilaku hakim.

Kasus Asmadinata berawal dari kasus korupsi Ketua DPRD Grobogan yang ditangani oleh
Asmadinata –dan beberapa hakim lainnya- di Pengadilan Tipikor Semarang. Asmadinata
dihubungi oleh Kartini Marpaung (seorang hakim ad hoc) untuk bertemu dengan Heru
Krisbandono (hakim ad hoc tipikor Pontianak).

Pada pertemuan pertama, Heru meminta tolong kepada Asmadinata untuk membebaskan
tersangka kasus korupsi yang ditanganinya. Namun, Asmadinata mengaku menolak permintaan
ini. Setelah itu, terjadi pertemuan kedua di sebuah hotel. Pada pertemuan itu, Asmadinata tak
segera menghindar dari Heru. Padahal, dalam pertemuan pertama, dia sudah mengetahui
bahwa Heru adalah sebuah broker (makelar) kasus untuk perkara DPRD Grobogan.

Lalu, pada 9 Agustus 2012, setelah dua kali pertemuan dengan Heru, digelar rapat
permusyawaratan hakim untuk kasus Ketua DPRD Grobogan. Pada rapat ini majelis hakim telah
sepakat menghukum sang Ketua DPRD. Namun, begitu rapat selesai, Asmadinata mengajukan
dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda. Asmadinata berpendapat bahwa terdakwa
seharusnya bebas.
ANTARA PELANGGARAN PIDANA DENGAN PELANGGARAN KODE ETIK ADVOKAT
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Januari 2018)

Fredirch Yunadi, penasihat Hukum Terdakwa tindak pidana korupsi Elektronik Kartu
Tanda Penduduk (e-KTP) Setya Novanto, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan
tindak pidana menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan terdakwa Setya
Novanto, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain
itu dr. Bimanesh Sutarjo, S.pd juga ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pelanggaran
pasal yang sama bersama dengan Fredirch Yunardi.

Selain dugaan melakukan tindak pidana, Fredrich Yunadi juga diduga melakukan
pelangaran Kode Etik Profesi Advokat. Menurut Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) Hermansyah Dalimi, Fredrich Yunadi terindikasi melanggar kode etik terkait
pernyataannya bahwa Setya Novanto tidak dapat dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) tanpa seizin Presiden. Masih menurut Wakil Ketua Peradi, pelanggaran tersebut
digolongkan sebagai pelanggaran tata krama. Atas dugaan pelanggaran tersebut, Komisi
Pengawas Peradi akan mengumpulkan berkas dan akan melakukan pemeriksaan termasuk
dengan mendengarkan keterangan Fredirch Yunadi.

Dalam kasus ini terdapat dua pelanggaran berbeda yang dilakukan oleh Fredich Yunadi.
Pertama adalah dugaan pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU
Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, di mana hal ini merupakan kompetensi pengadilan
negeri untuk memeriksa dan memutus. Kedua adalah dugaan pelanggaran kode etik profesi
advokat dan hal ini merupakan kompetensi Dewan Kehormatan Peradi yang akan memeriksa
dan memutus.

Pelanggaran kode etik merupakan pelanggaran atas kewajiban seorang advokat dalam
menjalankan tugasnya untuk membela hak-hak kliennya baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Seorang advokat dalam menjalankan profesinya terikat dengan Undang-Undang
No. 18 Tahun 2013 tentang Advokat (UU Advokat) dan Kode Etik Advokat yang dibuat oleh
Peradi. Tujuan utama adanya kode etik tersebut adalah agar seorang advokat dapat
menjalankan profesi “officium nobile” nya dengan baik dan bertanggung jawab, serta untuk
menjaga dan meningkatkan profesionalitas seorang advokat. Sanksi yang diberikan pun bukan
berupa sanksi badan atau pun denda tetapi lebih pada sanksi administratif seperti
pemberhentian sementara atau pun pemberhentian tetap seseorang sebagai advokat.
PELANGGARAN HAM OLEH KPK
Liputan6.com, Jakarta Kedatangan pengacara mantan Bupati Sabu Raijua Provinsi Nusa
Tenggara Timur dalam RDPU Pansus Angket KPK adalah ingin menyampaikan mengenai
sejumlah hal yang seharusnya tidak patut dilakukan oleh KPK terhadap seorang klien dari
pengacara tersebut.

Demikian dikatakan Wakil Ketua Pansus Angket KPK Taufiqulhadi di Gedung DPR RI,
Senayan, Jakarta, Kamis (24/08/2017).

“Apa yang disampaikan dalam rapat tadi, menurut kami adalah pelanggaran-
pelanggaran hak asasi manusia oleh KPK. Di mana hak yang melekat pada seseorang telah
diabaikan semuanya,” ucap Taufiqulhadi.

Ia juga menegaskan telah terjadi pelanggaran dalam kasus klien dari pengacara itu,
yakni keberadaan hak seseorang tidak diindahkan selama dalam pemeriksaan oleh KPK.

“Di dalam ketentuan yang telah kita tandatangani tentang hak asasi manusia, pada diri
seseorang itu melekat haknya untuk diberikan pengacara ketika mengalami masalah hukum,
agar dia terlindungi segala haknya. Hal itu tidak dilaksanakan sama sekali oleh KPK, seperti yang
telah disampaikan oleh tim pengacara yang datang tersebut,” ujarnya.

Pansus Angket KPK menyarankan agar tim pengacara mantan Bupati Sabu Raijua itu
mengajukan banding apabila memang ada hal-hal yang berkaitan dengan proses hukum, seperti
adanya hal-hal yang tidak patut dilakukan dan merupakan pelanggaran terhadap KUHAP.

“Persoalan yang termasuk dalam conflict of interest dalam kasus tersebut, juga harus
dilaporkan kepada pihak KPK. Ada juga hal lain yang menurut KPK bahwa apa yang dilakukan
KPK merupakan Standard of Prosedure (SOP), tetapi sebenarnya adalah sebuah pelanggaran
terhadap hukum yang harus dilaporkan kepada polisi,” ungkap Taufiqulhadi.

“Biar semuanya menjadi jelas dan masyarakat juga mengetahui permasalahan yang ada
di dalam KPK. Itulah yang ingin diluruskan oleh Pansus Angket KPK DPR,” ujarnya.

Anda mungkin juga menyukai