Anda di halaman 1dari 6

LELAKI YANG MENETAS DI TUBUHKU

Ucu Agustin

Tataplah mataku. Sebab telah lama aku tak melihat.


Berbisiklah padaku. Tak apa, jangan takut. Bila tak biasa berkata lirih, tinggikan saja
suaramu atau mendekatlah ke telingaku. Telah cukup lama aku tak mendengar.
Sejauh ini aku hanya bisa merasa. Hangat lembap cuaca. Dingin sejuk angin. Panas terik
mentari. Bahagia dan sedih yang bergumpal serupa awan dan jatuh menjadi bulir-bulir
hujan. Lantas seiring berjalannya peristiwa, aku mengerti bahwa apa yang kurasakan ini
memang sudah ada sejak semula. Ia terus bertumbuh seiring bertumbuhnya pohon waktu
yang ditanam seseorang di pekarangan belakang rumah hatiku.
Ibuku bukan Leda, Putri Testius. Ayahku bukan Zeus. Bukan pula Tindarus. Jadi aku pasti
bukanlah Helena dari Troy yang lahir dari rahim Leda dalam bentuk telur. Tapi aku
merasakannya dengan pasti. Ada sesuatu yang menetas di tubuhku.
Ya, ada sesuatu yang menetas di tubuhku.
Aku bisa merasakannya…

***
Semilir angin bertiup halus. Gorden kain linen bergerak perlahan. Malam penuh dengan
alunan musik dan tubuh gemulai yang meliuk dalam irama dansa. Suara gelak tawa orang
dewasa terdengar di mana-mana. Lampu-lampu hias aneka warna membias di dinding dan
batang-batang pohon serta tanaman perdu yang tumbuh rendah. Makanan dan kue
terhampar di atas meja panjang bertaplak putih bersih. Sup yang rasanya hangat dan
kaldunya bau harum enak, terlihat mengepul dalam kuali alumunium yang mengkilat, siap
dipindahkan ke dalam mangkuk kaca kecil kapan saja, oleh siapa saja.
Tapi lorong itu begitu sepi dan lengang. Berbanding terbalik dengan kemeriahan pesta
taman yang tengah digelar di halaman belakang gedung tua yang dirombak menjadi
museum. Sebuah kelengangan yang tampak abadi atau setidaknya seperti lengang rimba
pada malam ketika Hansel dan Gretel berusaha mencari jalan pulang di tengah hutan.
Aku mengenakan baju pesta warna putih. Ada pita merah berbentuk bunga ros di ujung tali
pinggang bajuku. Harusnya aku mengenakan topi warna senada, tapi Ibu tak
menemukannya. Ia tak tahu, aku menyobek kain topi itu jadi baju boneka. Tapi di manakah
Ibu?
Aku menunggunya di dekat meja minuman. Meremas ujung kain baju dan memasang radar
di mataku. Memendarkan pandangan ke segala arah dan berlagak seolah aku adalah seekor
elang yang tengah mencari jejak burung shrike kecil yang berhasil menghilangkan jejak
dari pantauan. Tak kutemukan sosok Ibu di antara orang-orang yang lalu lalang dan
menari-nari pelan di depanku.
Aku mulai cemas. Usiaku delapan tahun, dan meski kutahu Ibuku amat baik, tapi ketakutan
itu kerap berkelebat. Aku selalu dihantui kisah Hansel dan Gretel yang ditinggalkan atau
sengaja dibuang di tengah hutan karena dianggap nakal dan tak lagi diinginkan.
“Adek sendirian?”
Seorang penjaga meja minuman, mengagetkanku. Bajunya putih, celananya hitam. Dan ia
menghentikan kesibukannya me-lap gelas basah sebelum kembali meletakkan gelas-gelas
itu di atas meja minuman.
Anak siapakah ini yang tersesat? Pasti begitulah pikiran yang ada di kepalanya.
Aku tak menjawab. Hanya menggoyang-goyangkan badanku saja. Berusaha terus menahan
rasa kepingin pipis yang hampir tak bisa lagi kutahan. Tapi sekonyong, begitu saja ujung
mataku menangkap gerakan itu. Sepercik adegan yang kelak akan berpengaruh besar
dalam hidupku.
Ya, pastinya malam itu tangan takdir yang tak terlihat memasukkan kunci dan perlahan
menguakkan pintunya untukku. Sebuah pintu yang kemudian kumasuki dengan gamang
tapi akhirnya kujalani dengan kepastian.
Usiaku delapan tahun. Sangat ingin pipis, ketakutan dan aku melihat perempuan berambut
panjang itu berjalan tergesa memasuki lorong senyap yang kutakuti tapi kutahu insting
kanakku mengatakan, di sanalah letak pembebasanku. Sebuah lorong yang
menghubungkan taman belakang gedung museum tempat pesta diadakan dengan ruangan-
ruangan berpintu besar yang seram. Ruangan yang menjadi bagian dari gedung. Dan aku
tahu, di suatu tempat pada sebuah sudut dalam lorong itulah, toilet itu pasti terletak.
Lorong itu lengang dan tampaknya cukup panjang. Hanya dua lampu hias yang ditempel di
dinding bagian atas yang menjadi penerang. Lorong yang temaram. Bayangan perempuan
yang tadi masuk lorong, tampak mencuat di latar dinding sebelum akhirnya lenyap ditelan
gelap. Aku takut gelap. Amat takut gelap.
“Nghm… Toilet?” Aku bertanya ragu, menatap penjaga minuman. Mata dan daguku jelas
mengunjuk arah lorong tempat perempuan tadi masuk. Posisi badanku tak berubah, terus
bergoyang-goyang, menahan perasaan ingin pipis yang bagai semut rangrang menyerbu
perut bagian bawah. Si penjaga minuman mengangguk.
“Adek mau pipis, ya?” Tanya lelaki penjaga minuman, menebak tepat.
Tapi aku tak mengiyakan, juga tak menggeleng. Sepasang kakiku-lah yang memberi
jawab. Dua organ penyangga tubuh itu, bergerak spontan begitu saja. Mereka berlari dan
membawa tubuhku menuju lorong tersebut sesaat setelah melihat anggukan pertama si
penjaga minuman. Aku tak mau kencing di celana! Lagi pula, bukankah beberapa waktu
lalu seorang perempuan baru saja memasuki lorong lengang itu? Ia pastinya menuju toilet
juga. Setidaknya, nanti aku bisa meminta tolong tante itu untuk menungguiku. Begitu
pikirku waktu itu.
Tapi lorong itu memang temaram—untuk tidak dibilang gelap. Kakiku yang mulanya
berlari, perlahan memelan. Aku berjalan menyusuri lorong sambil melirik kiri-kanan.
Mencari-cari bayangan perempuan yang harusnya berada tak jauh di depanku. Namun ia
seperti tertelan gerhana bulan. Bahkan bayangannya pun tidak aku temukan. Kenapa tadi
tak meminta penjaga minuman untuk menemani? Aku mulai menyesal.
Tapi aku bisa menarik nafas lega juga, akhirnya. Mata kanakku menangkap selarik cahaya
menyeruak dari ujung lorong. Berasal dari sebuah ruang berpintu kristal. Penerang dari
ruang kamar mandi, pasti. Aku yakin di sanalah letak toiletnya.
Kupercepat langkah dan hampir saja berlari menuju toilet andai suara itu tak
membekukanku. Sebuah suara yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Sebuah
isak…
Apakah aku tak salah dengar? Tangisan lirih di lorong temaram?
Bulu kudukku merinding. Usiaku delapan tahun dan tubuh serta impuls kerja otak kanakku
menolak untuk bekerja sama. Maunya lari, tubuhku malah mematung. Maunya teriak
memanggil nama Ibu, kepalaku justru bergerak mencari asal suara isak.
Dari sebuah ruang yang agak menjorok. Dekat tiang depan sebuah pintu kayu yang besar,
aku melihat adegan itu. Tepatnya, aku melihat air mata itu.
Harusnya aku tak bisa jelas, melihatnya. Lorong itu temaram dan mereka berada di ruang
yang menjorok, tak tergapai cahaya. Tapi entah kenapa aku seolah mampu melihat air mata
yang mengalir di pipi perempuan berkulit putih itu, begitu nyata. Pasti impuls suara isak
yang memantulkan citraan cahaya itu menjadi begitu jelas warnanya di serat optik
retinaku.
“Ketahuilah sayang, kalau pria bisa hamil, aborsi akan dijadikan sakramen.” Sebuah suara,
sebuah ucapan. Suara perempuan bernada lembut namun terkesan tegas. “Jangan
menangis…” Sebuah suara dengan upaya untuk memompa rasa tenang yang kentara.
Dan perempuan yang barusan berkata itu mendekap lantas begitu saja menciumi pipi
perempuan yang menangis. Menghapus dengan lembut air mata di kulit putih perempuan
yang terisak itu, dengan bibirnya. Dan perempuan yang menangis itu perlahan
membalasnya. Ia memagutkan bibirnya lama di bibir perempuan yang menciuminya. Isak
perempuan itu terdengar semakin tersedu. Ciuman mereka terlihat semakin bernafsu.
Pemandangan itu mendesirkan sesuatu di dada kanakku.
Sampai sekarang, kadang aku masih bisa mendengar suara sesah keduanya. Sesah penuh
nafsu di antara isak sendu yang kerap mengganggu tidur malamku.

***
Tentu saja awalnya aku merasa tak nyaman. Segala piranti yang kumiliki ini adalah punya
perempuan. Wajahku halus. Kulitku mulus. Dadaku busung. Pinggangku kecil. Senyumku
cantik. Dan saban dua puluh enam hari, aku mendapat menstruasi. Lelaki-lelaki melirikku.
Beberapa dari mereka menggilaiku.
Tapi dia bilang, dia hanya berdesir bersama angin. Menetas di tubuhku karena memang
seharusnya di sanalah ia berdiam. Tapi tidakkah ia peduli? Atau setidaknya adakah ia mau
tahu?
Ia telah membuatku merasa sangat bingung. Membuatku setengah mampus bertanya-tanya
tentang siapa diriku. Mengapa ia memilihku? Mengapa ia menempel di tubuhku? Mengapa
tidak semua perempuan seperti aku? Tidak bisakah ia memilih perempuan yang lain saja?
Sungguh, bukan aku yang memilihnya. Tapi ia yang memilihku.
Kau pikir mudah apa, dipilih oleh sesuatu yang tidak kita inginkan?
Kau pikir aku diam saja menerima semua keadaan ini?
Tentu saja awalnya aku mati-matian menolak keberadaannya. Ia sungguh-sungguh
membuatku merasa berbeda dengan perempuan lainnya. Perasaan berbeda yang awalnya
menimbulkan jutaan tanya. Tanya tak berjawab yang lantas melahirkan juntaian kesepian
serupa kematian. Kehampaan yang seumpama racun. Perlahan menyebar dalam darah dan
kemudian mematikan kerja otak. Ia membuatku sangat putus asa.
Tapi ia tak peduli. Ia terus saja menyeretku. Seribu satu alasan ia berikan. Aneka dalih ia
lontarkan.
Katanya, bukan ia yang salah bila kerlingku selalu luruh bukan pada tubuh-tubuh atletis
para pria di lapangan basket sekolah. Bukan ia yang salah, andai tatapku tak pernah
terpaku pada wajah manis atau gurat pria tampan yang menggodaku di lorong koridor
kampus. Dan yang paling senang ia perbuat adalah justru melakukan segala tindakan yang
sengaja membuatku terpojok.
Bagaimana bisa aku mengabulkan pintanya untuk suka rela berbagi tubuh dengan dia bila
yang kerap ia perbuat adalah menekanku? Membuatku sebagai si pemilik jasad wadag,
merasa selalu ingin mampus, bunuh diri, hilang dari muka bumi.
Dia bertanya tentang wajahku yang selalu sumringah saat berjalan bersisian dengan Indri,
sewaktu pulang kuliah. Dia tersenyum sinis saat menyindir betapa tiap pagi aku tak jenuh
menjemput Cecilia sewaktu SMA.
Ah Cecilia… Ia begitu manis. Rambutnya pendek dan pandai membuatku tersenyum.
Meski slordegh, tapi ia selalu memperhatikanku. Dengan gayanya yang tomboy, berkali ia
mengusir teman-teman pria yang kerap merubungi mejaku saat istirahat sekolah. Di
manakah ia sekarang? Siapakah yang beruntung menjadi suaminya?
Tapi Davina. Ia adalah cerita lain.
Matanya sembab. Usianya dua lima. Dan sebuah fetus berusia satu bulan setengah minggu,
telah menghuni rahimnya saat dengan sedih ia menceritakan semuanya sepulang jam
kantor, di tempat kosnya.
Kulit pipi yang putih. Air mata yang meleleh di pipinya…
Dan saat dengan terisak dia bercerita tentang seorang lelaki yang tak mau mengakui
janinnya sebagai hasil hubungan mereka, begitu saja aku meraih wajahnya.
Mendekatkannya ke wajahku.
“Jangan menangis….” Aku mencium pipinya. Davina diam saja.
“Ketahuilah sayang, kalau pria bisa hamil, aborsi akan dijadikan sakramen!” Ucapku tegas,
menghibur gadis yang tengah bingung itu.
Tapi sekonyong aku menjadi kaget mendengar suaraku sendiri.
Suara itu terdengar begitu jauh. Seolah terpantul dari ingatan yang telah lewat hampir dua
puluh tahun silam. Lorong yang temaram. Gadis kecil berusia delapan tahun yang
ketakutan. Desah kecup penuh nafsu sepasang perempuan di antara kegelapan. Aku buru-
buru melepaskan Davina.
“Peluklah aku,” Davina justru memintaku melakukan hal yang menakutkan. Kepalaku
menggeleng, namun tanganku terjulur mendekap tubuh mungilnya. Ujung jariku bergerak
membelai kulit halusnya.

***
Davina menikah dengan Surya. Mereka membawa pergi Lily, bayi cantik yang kami rawat
bersama. Tiga tahun terindah dalam hidupku telah lewat. Tiga puluh tahun telah berlalu
dari pesta farewell kenalan Ibu. Ada Yosa dan Naoko, setelah Davina. Tapi gencatan
senjata benar-benar terjadi sewaktu aku melihat Lily tumbuh.
Kami—aku dan dia yang menetas di tubuhku, tak saling bertengkar lagi. Namun tetap,
sampai sekarang aku masih ingin tahu apa pendapat kalian tentang kami. Sebab sejak ia
memaksa tinggal di tubuhku dan aku akhirnya mampu menerima dan bahkan menyukainya
—setelah tak berhasil mengusirnya, kuputuskan untuk membutakan pandanganku dari
pendapat orang, menulikan telingaku dari mendengar komentar lingkungan sekitar.
Bukannya aku tak peduli, hanya saja itu satu-satunya cara bertahan yang kutahu agar aku
bisa tetap melanjutkan hidup. Dan aku kini memang masih hidup. Karena itulah aku mau
berdamai dengan kehidupan. Aku mau mengaktifkan kembali pendengaranku, memulihkan
kembali penglihatanku.
Nah, kini sudahkah kau tatap mataku?
Telahkah kau bisikkan jawabmu?
Ceritakanlah padaku apa yang kau lihat di dasar penglihatanku.
Adakah kau dengar dengung suara-suara dari dalam diriku?
Apa yang ia bilang?
Seperti apa yang tertangkap oleh telingamu?
Atau mungkin kau sama sekali tak mendengar apa pun dan cuma menangkap gema-gema
pantulan dari luar perihal pendapat mereka tentangku?
Tak apa. Ceritakan saja semua hal itu padaku.
Karena tentang benar atau salah. Di manakah posisiku menurutmu, sebenarnya?
Berbohong pada orang mungkin aku mampu. Namun berbohong pada diri sendiri rasanya
mau mampus saja.
Maka sejak sebulan lalu akhirnya kuputuskan untuk menelan obat supaya aku tidak mati
cepat. Aku menamai formula itu; aspirin kejujuran. Kutemui Ibu dan Bapak, mengakui
keadaanku sebenarnya. Kukenalkan juga Naoko pada rekan kerjaku secara resmi sebagai
partner hidupku; istriku. Namun kenapa saat aku mengakui dengan jujur hal yang
sebenarnya, kalian justru men-capku salah?
Dan, satu hal lagi, aku juga merasa sungguh penasaran akan ini.
Mengapa kalian memberi kata depan jenis, untuk kelamin?
Mengapa bukan macam atau tipe saja?
Siapa yang mula-mula menyebut pembedaan itu dengan jenis kelamin?
Kenapa kalian hanya membaginya cuma menjadi dua?
Kenapa kata itu hanya untuk lelaki dan perempuan saja?
Jawablah!
Sebab aku adalah perempuan, namun ada lelaki yang menetas di tubuhku. ***

19.02.2006
Pernah dimuat di Jawa Pos, Edisi 13 Agustus 2006

Tentang Pengarang: Ucu Agustin adalah penulis, pembuat film pendek dan film
dokumenter. Naskah film dokumenternya pernah memenangkan Jiffest Script
Development Competition 2005. Pemenang berbakat Lomba Novel MetroPop 2006 ini
juga sudah membukukan sejumlah karya cerpen-cerpennya. Cerpen Lelaki yang Menetas
di Tubuhku ini juga termuat dalam Kumcer “Dunia di Kepala Alice” (GPU, 2006) yang
menurut kabar terakhir masuk daftar longlist kategori Prosa Khatulistiwa Award 2007.

Anda mungkin juga menyukai