Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi adalah kondisi di mana tekanan darah di arteri mengalami peningkatan
(Naish & Court, 2015). Tekanan darah tinggi biasanya tidak menimbulkan gejala.
Namun, tekanan darah tinggi yang berlangsung dalam waktu lama akan menjadi faktor
resiko utama untuk penyakit arteri koroner, stroke, gagal jantung, fibrilasi atrium,
penyakit pembuluh darah perifer, kehilangan penglihatan, penyakit ginjal kronis, dan
demensia (Hernandorena et al., 2017; Lackland & Weber, 2015)

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi


Pada tahun 2014, The Eighth of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure membagi tekanan darah
pada orang dewasa menjadi kelompok normal, tekanan darah meningkat, hipertensi
derajat 1, dan hipertensi derajat 2 (Whelton et al., 2017)

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa Menurut JNC 8 (Whelton et al.,
2017).
Kategori Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Tekanan darah 120 – 129 < 80
meningkat
Hipertensi derajat 1 130 - 139 80 – 89
Hipertensi derajat 2 ≥ 140 ≥ 190

Berdasarkan penyebabnya maka hipertensi dapat digolongkan menjadi hipertensi


primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi
esensial adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. 90% dari semua penyakit
hipertensi merupakan penyakit hipertensi esensial. Sedangkan hipertensi sekunder
adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan.
Karena itu umumnya hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya. Terdapat 10% orang
menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder. Sekitar 5-10% penderita hipertensi
penyebabnya adalah penyakit ginjal (stenoisarteri renalis, pielonefritis,
glomerulonefritis, tumor ginjal), sekitar 1-2% adalah penyakit kelaian hormonal
(hiperaldosteronisme, sindroma cushing) dan sisanya akibat pemakaian obat tertentu
(steroid, pil KB). (Lee et al., 2011).

2.1.3 Faktor Resiko


1. Faktor Genetika (Riwayat keluarga)
Faktor genetik memiliki peran penting dalam kejadian hipertensi esensial.
Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua yang tekanan
darahnya normal. Meskipun tidak ada gen yang secara pasti terkait dengan
hipertensi esensial, namun beberapa lokus telah ditemukan menunjukkan adanya
asosiasi positif dapat menyebabkan hipertensi. Misalnya, pada suatu gen
autosomal dominan yang berkontribusi pada peningkatan darah tinggi yang
ditemukan ada kerusakan, biasanya mengakibatkan cacat pada saluran natrium di
ginjal sehingga dapat menimbulkan hipertensi. Namun, kelainan ini jarang dan
diperkirakan hanya ada sebagian kecil pada pasien hipertensi. Gen yang mengatur
sistem renin–angiotensin-aldosteron paling banyak dipelajari pada hipertensi
karena peran sentral dari sistem ini dalam menentukan volume intravaskular dan
tonus pembuluh darah. Dalam kelompok ini, polimorfisme tertentu dalam gen
yang mengatur angiotensinogen memberi peningkatan resiko hipertensi (Lee et
al., 2011).
2. Usia
Hipertensi esensial secara khas muncul pada usia dewasa muda.
Prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Terdapat sekitar lebih dari 60% orang Amerika yang berusia lebih dari
60 tahun menderita hipertensi. Selain itu, terjadi perubahan karakteristik
hemodinamik peningkatan tekanan darah pada kasus hipertensi esensial seiring
dengan bertambahnya waktu (Lee et al., 2011).
Tekanan sistolik akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Sementara tekanan diastolik meningkat sampai sekitar usia 50 tahun kemudian
setelah itu terjadi sedikit penurunan. Dengan demikian, hipertensi diastolik lebih
sering terjadi pada orang usia muda, sementara sejumlah besar pasien hipertensi
dengan usia diatas 50 tahun cenderung memiliki hipertensi sistolik terisolasi
dengan nilai tekanan diastoliknya normal (Gambar 1) (Lee et al., 2011)

Hipertensi sistolik
Fr terisolasi
e Hipertensi sistolik
k dan diastolik
u
Hipertensi diastolik
e
terisolasi
ns
i

Usia dalam tahun


Gambar 1. Kategori peningkatan tekanan darah pada penderita hipertensi yang tidak
diobati (Lee et al., 2011).

3. Jenis Kelamin
Wanita pre – menopause cenderung memiliki tekanan darah yang
lebih rendah daripada pria pada usia yang sama. Namun setelah
menopause, pria dan wanita memiliki tingkat yang sama.
Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari
penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen menurun
setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria dalam hal
penyakit jantung. Secara fisiologis, hormon estrogen pada wanita
premenopause meningkatkan kadar HDL (High Density Lipoprotein)
dan menurunkan kadar LDL (Low Density Lipoprotein). Secara
eksperimental, estrogen memiliki antioksidan yang menguntungkan
dan dapat meningkatkan vasodilatasi endotel (Lee et al., 2011).

4. Obesitas
Obesitas sendiri telah dikaitkan secara langsung dengan hipertensi.
penjelasan yang mungkin tentang bagaimana hubungan obesitas dapat
menyebabkan hipertensi adalah sebagai berikut (1) pelepasan angiotensinogen
oleh sel adiposa sebagai substrat untuk sistem renin-angiotensin, (2) penambahan
volume darah karena peningkatan massa tubuh, (3) peningkatan viskositas darah
yang disebabkan oleh profibrinogen dan plasminogen activator inhibitor 1 yang
diproduksi oleh sel adiposa (Lee et al., 2011).
Selain hal diatas pula, pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja
pada jantung untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari
tubuh tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume
darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, tekanan darah
dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan. Dalam
Framingham Heart study disebutkan bahwa dengan mengurangi berat badan
hingga 2 kg atau lebih dari bobot total tubuh dapat menurunkan resiko penyakit
kardiovaskular hingga 40% (Verdecchia et al., 2004).

5. Rokok

Telah diketahui bahwa merokok memiliki efek cepat dalam peningkatan


tekanan darah dan detak jantung. Salah satu penelitian yang meneliti kelompok
perokok berat (satu batang rokok setiap 15 menit selama 1 jam) dengan tekanan
darah normal memperlihatkan hasil adanya peningkatan secara cepat tekanan
darah dan detak jantung. Efek hemodinamik berupa peningkatan tekanan darah
dan detak jantung yang timbul berlangsung dalam waktu lama, selama kegiatan
merokok masih dilakukan dan bertahan selama lebih dari 15 menit setelah
merokok satu batang rokok. Penelitian lain mengungkapkan bahwa peningkatan
akut pada tekanan darah dan detak jantung yang disebabkan oleh rokok berkaitan
dengan peningkatan katekolamin dalam plasma. Hal ini menunjukkan bahwa efek
katekolamin dalam plasma dimediasi oleh sistem saraf adrenergik. Grasso dkk
mengamati bahwa selama merokok maka tekanan darah, denyut jantung,
norepinefrin dan epinefrin dalam plasma meningkat tajam (Virdis, Giannarelli,
Fritsch Neves, Taddei, & Ghiadoni, 2010).

6. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dalam jumlah sedikit (misalnya kurang dari
30 gram per hari atau kurang dari 2 gelas kecil) umumnya tidak
terkait dengan peningkatan tekanan darah. Namun konsumsi alkohol
dalam jumlah yang lebih banyak memiliki efek tertentu pada
tekanan darah, baik dalam hipertensi maupun normotensi. Dengan
menggunakan ABPM (Ambulatory Blood Pressure Monitoring),
ditemukan bahwa terdapat efek bifasik pada tekanan darah setelah
meminum alkohol. Saat meminum alkohol dalam jumlah yang banyak (>
30 gram) maka terjadi penurunan tekanan darah dalam 4 jam
pertama. Kemudian kira-kira 10-15 jam berikutnya tercatat bahwa
terjadi peningkatan tekanan darah. Mekanisme pengaruh alkohol
terhadap tekanan darah tidak diketahui dengan jelas namun
pengkonsumsian alkohol dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas
saraf simpatik, perubahan kortisol, dan konsentrasi ion kalsium
dalam sel (Verdecchia et al., 2004).

2.1.4 Patofisiologi
Tekanan darah merupakan tekanan yang diberikan oleh darah pada dinding
pembuluh darah. Pengaturan tekanan darah adalah proses yang kompleks menyangkut
interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan, dan pengendalian ginjal terhadap natrium
sekaligus retensi air, serta pengendalian sistem saraf terhadap tonus pembuluh darah.
Terdapat dua faktor yang mengatur tekanan darah, yaitu total curah jantung dan tahanan
pembuluh darah perifer. Total curah jantung ditentukan oleh volume darah yang
dipompakan oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung.
Sedangkan tahanan vaskular perifer terutama ditentukan di tingkat arteriol dan
bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon (Kumar, Cotran, & Robbins, 2007).
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit yang bukan hanya
disebabkan oleh satu macam mekanisme, tetapi bersifat multi-faktorial yang timbul
akibat interaksi berbagai macam faktor risiko. Berbagai faktor dan mekanisme tersebut
antara lain: faktor genetik dan lingkungan, mekanisme neural, hormonal, dan vaskular
(Yogiantoro, 2014).
Mekanisme neural terjadinya hipertensi berawal dari pelepasan norepinefrin (NE)
oleh ujung saraf adrenergik yang mengakibatkan vasokonstriksi pada arteri dan vena
melalui aktivasi reseptor α1 dan α2 di post sinaps. Curah jantung juga akan meningkat
sebagai respons terhadap peningkatan aliran balik vena dan efek inotropik serta
kronotropik yang di mediasi langsung oleh reseptor β1 adrenergik. Efek simpatik ini
dimediasi oleh epinefrin, yang terutama dilepaskan dari medula adrenal dan
norepinefrin dilepaskan ke celah sinaptik dari ujung saraf simpatik. Aktivitas sistem
sarah simpatik berada di bawah kontrol area otak yang terlibat dalam homeostasis
kardiovaskular (Willerson, Cohn, & Wellens, 2007).
Mekanisme hormonal terjadinya hipertensi adalah melalui aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron yang ikut berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungsi
endotel, inflamasi, dan remodeling pembuluh darah. Renin yang diproduksi terutama
oleh sel juxtaglomerulus yang ada di ginjal akan berikatan dengan angiotensinogen
yang diproduksi oleh hati, menghasilkan angiotensin I. Selanjutnya, oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) yang terutama banyak teradapat di paru, akan mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki beberapa efek yang dapat
meningkatkan tekanan darah selama menetap didalam darah. Efek yang pertama yaitu
vasokonstriksi yang timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terutama terjadi pada arteriol
dan terjadi konstriksi ringan pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan
tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Angiotensin II juga
merangsang sekresi aldosteron di korteks adrenal. Aldosteron mempengaruhi kerja
ginjal untuk menurunkan sekresi garam dan air serta meningkatkan pengeluaran kalium
melalui urin. Kedua efek ini merupakan suatu faktor penting dalam pengaturan tekanan
arteri jangka panjang dengan cara meningkatkan volume darah (Yogiantoro, 2014).
Mekanisme vaskular terjadinya hipertensi dimulai dari adanya perubahan struktur
dan fungsi pembuluh darah salah satunya adalah disfungsi endotel. Lapisan endotel
pembuluh darah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjaga kesehatan
pembuluh darah dan merupakan lapisan utama pertahanan terhadap aterosklerosis dan
hipertensi. Adanya disfungsi endotel merupakan penanda yang khas dari suatu
hipertensi dan risiko dari suatu kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan
menurunnya faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan oleh
endotel, seperti nitric oxide (NO) dan meningkatnya faktor yang menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi seperti faktor proinflamasi, protrombotik, dan growth factors.
Seiring dengan berjalannya waktu, disfungsi endotel, aktivasi neurohormonal,
inflamasi vaskular, dan meningkatnya tekanan darah akan menyebabkan perubahan
pembuluh darah/remodeling vaskular yang makin memperberat hipertensi. Gambaran
khas dari keadaan ini adalah menebalnya dinding media arteri, sehingga terjadi
peningkatan ratio antara media dan lumen pada pembuluh darah arteri (Yogiantoro,
2014).

2.1.5 Diagnosis
Evaluasi klinis pasien hipertensi dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
termasuk untuk mencari petunjuk apabila ada penyakit penyerta lainnya yang dialami
oleh pasien. Misalnya, pada infeksi saluran kemih berulang dapat dipikirkan
kemungkinan adanya pielonefritis kronis dan kerusakan ginjal sehingga menyebabkan
hipertensi. contoh lainnya adalah penurunan berat badan yang berlebihan dapat menjadi
indikator pheochromocytoma, sedangkan penambahan berat badan dapat menunjukkan
adanya sindroma Cushing. Anamnesis juga harus mencakup penilaian perilaku gaya
hidup yang dapat berkontribusi menjadi hipertensi, seperti konsumsi alkohol berlebihan
(Lee et al., 2011).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan mengukur tekanan darah rutin di
kamar periksa dan pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-
ABPM). Tes laboratorium juga dilakukan dalam evaluasi tahap awal pada pasien
hipertensi. tes yang dilakukan adalah antara lain (1) urinalisis dan pengukuran
konsentrasi kreatinin dan kadar urea dalam darah untuk mengevaluasi kelainan ginjal;
(2) kadar kalium; (3) tingkat glukosa darah (glukosa meningkat pada kondisi diabetes,
kondisi ini sangat berkaitan dengan hipertensi dan penyakit ginjal); (4) kolesterol total,
HDL, dan Trigliserida; (5) elektrokardiogram (untuk mencari adanya hipertrofi
ventrikel kiri sebagai akibat hipertensi kronis (Lee et al., 2011).

Apabila tidak ditemukan kondisi lain yang mendasari hipertensi maka pasien
dianggap mengalami hipertensi esensial dan ditatalaksana sesuai dengan algoritma
penatalaksanaan hipertensi esensial. Namun jika tekanan darah pasien terus meningkat
walau sudah ditatalaksana, maka perlu dilakukan tes diagnostik lain yang lebih rinci
untuk mencari penyebab sekundernya (Lee et al., 2011)

2.1.6 Terapi
Dalam penanganan hipertensi, para ahli umumnya mengacu kepada guideline
yang ada. Salah satu guideline terbaru yang dapat dijadikan acuan dalam penanganan
hipertensi di Indonesia adalah Joint National Comnittee (JNC) 8. Namun dalam
guideline JNC 8 modifikasi gaya hidup tidak dibahas secara detail, mungkin tetap
merujuk pada modifikasi gaya hidup dalam JNC 7 (2004) yang dapat dilihat dalam
tabel 2.
Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup untuk Penanganan Hipertensi Menurut JNC 7 (Verdecchia et
al., 2004).
Modifikasi Rekomendasi Penurunan Tekanan
Darah Sistolik
Menurunkan Berat Mempertahankan berat badan sesuai 5-20 mmHg/10 kg
Badan dengan IMT normal yaitu 18,5-24,9
kg/m2
Diet dengan Banyak mengkonsumsi buah, 8-14 mmHg
mengadopsi diet sayuran dan makanan yang rendah
DASH lemak
Mengurangi asupan Pada pasien dengan hipertensi 2-8 mmHg
garam dikenal 3 jenis diet rendah garam,
yaitu:
1. Diet Garam Rendah I (200-400
mg Na)
 Ditujukan pada pasien dengan
asites/edema dan hipertensi
berat. Pada kondisi ini tidak
diperkenankan menambahkan
garam ke dalam masakan yang
dikonsumsi dan menghindari
makanan yang tinggi natrium.

2. Diet Garam Rendah II (600-800


mg Na)

 Diet ini diberikan kepada pasien


edema/asites, dan hipertensi yang
tidak terlalu berat. Dianjurkan
menghindari makanan dengan
kandungan natrium tinggi.
Diperbolehkan menggunakan
garam dalam pemasakan sebesar
0,5 sendok teh(2g).
3.Diet Garam Rendah III (1000-
1200 mg Na)
 Diet ini diberikan pada
pasien dengan edema atau
hipertensi ringan. Pada
masakannya boleh ditambahkan
garam dapur sebanyak 1 sendok
teh (4g). Namun tetap
menghindari jenis makanan yang
mengandung natrium tinggi.
Latihan fisik Terutama olahraga aerobic seperti 4-9 mmHg
jalan cepat, berenang (minimal 30
menit)
Menurunkan Tidak lebih dari 2 gelas/ hari untuk 2-4 mmHg
konsumsi alkohol pria dan tidak lebih dari 1 gelas/hari
berlebih untuk wanita
Stop merokok

2.1.7 Komplikasi
Apapun yang menjadi penyebab dari peningkatan tekanan darah, konsekuensi
akhirnya tetap sama. Tekanan darah tinggi umumnya tidak bergejala, tetapi dapat
menimbulkan kerusakan di banyak organ. Kerusakan yang ditimbulkan terutama di
pembuluh darah, jantung, ginjal, dan retina. Komplikasi dari hipertensi dapat dilihat
dari tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Komplikasi Hipertensi Di Berbagai Organ Tubuh (Lee et al., 2011).


Sistem Organ Manifestasi

Jantung Hipertrofi Ventrikel Kiri


Gagal Jantung
Miokard Infark
Otak Stroke
Mata Penyempitan arteri
Pecahnya pembuluh darah pada mata
Papilledema
Ginjal Nephrosclerosis
Penyakit ginjal kronik
Sistemik Penyakit arteri perifer atau penyakit oklusi
arteri perifer

2.2 Tuberkulosis Paru (cari yang terbaru)

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis, yang paling umum mempengaruhi paru-paru.
Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui cairan dari tenggorokan dan
paru-paru seseorang dengan penyakit pernapasan aktif (WHO,2012).

2.2.2 Etiologi

Penyebab tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosis


yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu, disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis
cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh ini dapat dormant
(tidur) (Depkes, 2002). Apabila seseorang terinfeksi kuman tuberkulosis paru, namun belum
menjadi sakit maka tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa
inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit,
diperkirakan selama 4-6 minggu (Depkes, 2008).

2.2.3 Faktor Risiko

Suryo (2010) menjelaskan bahwa faktor risiko yang menyebabkan TB Paru adalah sebagai
berikut:

a. Faktor Umur
Insiden tertinggi tuberkulosis paru-paru biasanya mengenai usia muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif, yaitu 15-50
tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin
TB Paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-
laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB Paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang, di
antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
penyakit TBC sehingga dengan pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat
pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu di daerah
terpapar akan memengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan
kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernapasan dan umumnya TBC.
e. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TBC sebanyak 2,2 kali.
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi
pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok sehingga mempermudah untuk terjadinya infeksi penyakit TBC.
f. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Luas lantai bangunan rumah harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar
tidak menyebabkan overlood. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
g. Pencahayaan Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila
dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktuyang
lebih cepat daripada yang melalui kaca berwarna. Penularan kuman TBC relatif tidak
tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirukulasi udara diatur, risiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi mempunyai fungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah. Di samping itu, kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kelembapan udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan
dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman
TBC.
i. Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salash satu faktor risiko penularan penyakit TBC. Atap,
dinding, dan lantai dapat menjadi tempat perkembangbiakan kuman. Lantai dan
dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya Mycobacterium
tuberkulosis.
j. Kelembapan Udara Kelembapan udara dalam ruangan untuk memperoleh
kenyamanan, di mana kelembapan yang optimum berkisar 60% dengan temperatur
kamar 22 -30 C. Kuman TBC akan cepat mati bila terkena sinar matahari lansgung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembap.
k. Status Gizi
Hasil penelitian menunujukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
risiko 3,7 kali untuk menderita penyakit TBC berat dibandingkan dengan orang yang
status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh
terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap penyakit.
l. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk,
akan menyebabkan kekebalan tubuh menurun sehingga memudahkan terkena infeksi
TBC.
m. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari atas pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan
penderita TBC yang kurang tentang cara penularan, bahaya, dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai oran sakit dan akhirnya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya.

2.2.4 Patofisiologi
Mycobacterium terkandung di dalam droplet berdiameter <25 µm ketika
pasien yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara. Droplet akan menguap dan
meninggalkan organisme yang cukup kecil untuk terdeposit di dalam alveoli ketika
dihirup. Ketika berada di dalam alveoli, sistem imun akan merespons dengan
mengeluarkan sitokin dan limfokin yang menstimulasi monosit dan makrofag.
Mikrobakteri mulai berkembang biak di dalam makrofag. Beberapa dari makrofag
tersebut meningkatkan kemampuan untuk membunuh organisme, sedangkan yang
lainnya dapat dibunuh oleh basil. Setelah 1-2 bulan pasca paparan, di paru terlihat
lesi patogenik yang disebabkan oleh infeksi (Jawetz, 2013).
Menurut Depkes RI, 2008 Patofisiologi TB paru dibagi menjadi 2 proses
antara lain:
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman Tuberkulosis. Droplet nuclei yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati system pertahanan muscular
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman
Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai komplek primer yang memakan waktu sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberculin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman
yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman TB paru. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap
sebagai kuman persistent atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi
penderita TB paru. Masa inkubasi yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit diperlukan sekitar 6 bulan.

2. Tuberkulosis Paru Pasca Primer


TB paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh lemah
akibat terinfeksi HIV atau gizi buruk. Ciri khas dari terjadinya TB paru
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas
atau efusi pleura.

2.2.5 Cara penularan TB paru


Penularan penyakit tuberkulosis adalah melalui udara yang tercemar oleh
Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan atau dikeluarkan oleh penderita
tuberkulosis, saat batuk, bersin, bahkan saat berbicara. Bakteri ini menyerang orang
yang memiliki daya tahan tubuh rendah. Bakteri ini masuk ke dalam paru-paru dan
berkumpul serta berkembang menjadi banyak. Bakteri ini dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan infeksi pada
organ tubuh lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening
dan lainnya. Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru,
dengan segera koloni bakeri yang berbentuk globular atau bulat dan akan bertumbuh.
Dengan serankaian imiunologis, pertumbuhan bakteri TB bisa dihambat melalui
pembentukan dinding di sekeliling bakteri oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding membuat jaringan di sekitarnya menjadi
parut, sehingga bakteri TB akan menjadi dormant (tidur). Bentuk doman ini yang
sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian penderita dengan sistem imun yang baik, bakteri akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang kurang, bakteri ini akan berkembang biak, sehingga tuberkel bertambah
banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru
yang nantinya menjadi sumber produksi sputum. Seseorang yang telah
memproduksikan sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan
tuberkel berlebihan dan positif terinfeksi TB. Meningkatnya penularan infeksi,
banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi
sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat,
meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan juga daya
tahan tubuh yang lemah/menurun serta virulensi dan jumlah kuman memegang
peranan penting dalam terjadinya infeksi TB (Dewi Sandina, 2011).

2.2.6 Gejala Klinis


Keluhan yang dirasakan penderita TB paru dapat bermacam-macam atau tanpa
keluhan sama sekali (Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, 2009). Gejala Klinis:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok.
Proses yang paling ringan ini menyebabkan secret akan terkumpul pada waktu
penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercakbercak darah,
gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah
jarang ditemukan sebagai tanda permulaan dari penyakit TB atau initial symptom
karena batuk darah merupakantanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari
pembuluh darah pada dinding kavitas.
c. Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritic yang ringan. Bila
nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritic luas (nyeri dikeluhkan
di daerah aksila, di ujung scapula atau di tempat-tempat lain).
d. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh
secret, bronkostenosis, keradangan, jaringan granulasi, ulserasi dan lain-lain.
e. Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut TB paru akibat adanya restriksi
dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed/vascular thrombosis yang
dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.

Gejala Umum:
a. Panas Badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering
kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas
badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang
menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya hangat atau muka
terasa panas.
b. Keringat Malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomosis untuk penyakit TB paru.
Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada
orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.
c. Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi
toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses
progresif.
d. Gangguan Menstruasi
Gangguan menstruasi lebih sering terjadi bila proses TB paru sudah menjadi
lanjut.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Depkes, 2011).
2.3 Diabetes Mellitus

2.3.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes didefinisikan sebagai kumpulan penyakit metabolik dan memiliki


karakteristik hiperglikemi dari hasil kerusakan sekresi insulin, fungsi insulin, atau
keduanya. Kasus diabetes dapat diklasifikasikan lagi, yang nanti akan di bahas lebih
lanjut, namun secara singkat diabetes dibagi menjadi dua tipe yaitu DM tipe 1
(defisiensi sekresi insulin) dan DM tipe 2 (resistensi terhadap fungsi insulin dan
kelainan sekresi insulin untuk kompensasi) (American Diabetes Association, 2014).

2.3.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus


Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh WHO South East-Asia,
pada tahun 2015 terdapat 415 juta dewasa dengan diabetes, dan dapat diperkirakan
jumlahnya akan meningkat menjadi 642 juta pada tahun 2040. Dari data tersebut, bisa
disimpulkan bahwa daru seluruh dewasa di dunia, 8,5%-nya menderita diabetes.
Di 11 negara anggota di wilayah regional Asia Tenggara pada tahun 2014,
terdapat total 96 juta dewasa dengan diabetes dan setengahnya tidak terdiagnosis.
Prevalensi diabetes sendiri diantara orang dewasa pada wilayah regional Asia
Tenggara, sudah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1980 ke 2014 (4,1% menjadi
8,6%). Walaupun populasi di Asia Tenggara secara genetik lebih rentan terhadap
faktor diabetogenik lingkungan, namun diabetes sudah terjadi 10 tahun lebih cepat
dibandingan dengan populasi di Eropa.
Angka kejadian diabetes di Indonesia sendiri sudah menempati peringkat
ketujuh di dunia dengan estimasi 10 juta orang menderita diabetes pada tahun 2015.
Diabetes dengan komplikasi juga sempat menempati peringkat tertinggi ketiga di
Indonesia di tahun 2014. Sayangnya, hampir 2/3 orang dengan diabetes tidak
mengetahui dirinya menderita diabetes sampai akhirnya muncul komplikasi. Kejadian
diabetes masih meningkat sampai sekarang, dan kemungkinan penyebabnya adalah
pola hidup yang kurang sehat, dari mulai apa yang dikonsumsi sampai kegiatan
sehari-hari. Penelitian yang dilaksanakan oleh Riskesdas (2013) menyatakan bahwa
prevalensi masyarakat dengan berat berlebih dan obesitas juga terus meningkat sejak
tahun 2007 dan 2010, ke 2013(WHO South East Asia, 2016).

2.3.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Berdasarkan American Diabetes Association (2014), diabetes mellitus tidak bisa
dikelompokkan pada satu kelas saja. Seperti misalnya seseorang dengan diabetes
gestasional dapat tetap menderita hiperglikemi setelah melahirkan, yang kemudian
didiagnosis sebagai diabetes mellitus tipe 2. Namun secara luas, berikut klasifikasi
diabetes mellitus:
1) DM Tipe 1:
Diabetes Mellitus Tipe 1 memiliki pengertian lain sebagai diabetes dengan
destruksi sel beta (β-cell) pankreas yang kemudian menyebabkan defisiensi
hormon insulin. Pada beberapa kasus, tingkat destruksi berbeda-beda pada setiap
individu (cepat/rapid yang biasa ditemukan pada anak-anak, dan lambat/slow pada
dewasa). Beberapa pasien dewasa juga bisa mederita ketoasidosis dari hasil
manifestasi DM Tipe 1. Etiologi dari DM Tipe 1 kebanyakan karena perubahan
genetik atau faktor lingkungan.
2) DM Tipe 2:
Hampir 90% dari kasus diabetes adalah diabetes mellitus tipe 2. DM Tipe 2
banyak dikenal sebagai non-insulin dependent atau adult-onset diabetes, dimana
pasien DM Tipe 2 biasanya memiliki resistensi insulin yang cenderung relatif
daripada absolut. Pasien dengan DM Tipe 2 tidak memiliki destruksi sel beta
pankreas dan sebagian besar tidak memiliki eriologi yang jelas. Namun mereka
biasanya memiliki obesitas dan obesitas tersebut yang menyebabkan resistensi
insulin.

2.3.4 Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Mellitus


1) DM Tipe 1:
Penyebab DM Tipe 1 sebagian besar adalah faktor autoimun (90%), dan
sisanya bisa dikatakan idiopatik (10%). Autoantibodi yang berpengaruh ke
penyakit DM Tipe 1 adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICCA), islet cell
surface antibodies (ICSA), dan islet cell dengan target antigenik spesifik. Dari
ketiga autoantibodi tadi, 90% diabetes mellitus tipe 1 dapat di temukan ICCA.
(Ozougwu, 2013)
2) DM Tipe 2:
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, individu dengan diabetes tipe 2
biasanya disebabkan oleh pola hidup. Beberapa faktor risiko DM Tipe 2 di Asia
menurut Chan et al. (2009) adalah:
- Obesitas: Walaupun negara-negara Asia memiliki tingkat kejadian diabetes
lebih rendah, namun risiko DM Tipe 2 pada masyarakat Asia cenderung mulai
di BMI yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Obesitas
pada anak-anak di Asia juga semakin meningkat akibat pola hidup dan diet
yang kurang baik atau memliki keluarga degan riwayat obesitas.
- Diet yang tinggi gula dan karbohidrat: Sudah tidak asing lagi bahwa
masyarakan Asia banyak mengkonsumi nasi dan gandum dengan indeks
glikemik yang tinggi.
- Merokok: Dari beberapa penilitia, merokok terbukti dapat menginduksi
resistansi insulin dan respon insulin yang inadekuat. Selain itu, individu
dengan BMI nomal lebih berisiko untuk menderita obesitas abdominal.
- Fungsi sel beta pankreas yang menurun: Masyarakat Asia memiliki respon sel
beta yang tidak adekuat terhadap peningkatan resistensi insulin, hal ini
mengakibatkan hilangnya kontrol glikemik dan peningkatan risiko diabetes,
bahkan hanya dengan penambahan berat badan yang relatif sedikit.
- Genetik: Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, walapun tingkat kejadian
diabetes di Asia cenderung lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat
Eropa dan Amerika, namun populasi di Asia memiliki sifat genetik yang
membuatnya rentan terhadap faktor diabetogenik. Sejauh ini, gen yang
menyebabkan sekresi insulin rendah adalah TCF7L2 dan KCNQ1. Kedua gen
tersebut terbukti dapat menyebabkan disfungsi sel beta yang berperan penting
dalam pengembangan diabetes pada masyarakat Asia.

2.3.5 Karakteristik dan Penegakan Diagnosis Diabetes Mellitus


Karakteristik dan Gejala Klinis DM
Penyakit Diabetes Mellitus dapat dilihat dengan gejala-gejala dan karakteristiknya
yang khas. Menurut Guyton dan Hall (2006), karakteristik khas tersebut bisa dilihat
dari beberapa aspek yaitu:
Tabel 1. Karakteristik DM tipe 1 dan 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Onset Usia < 20 tahun > 30 tahun
Berat Badan Rendah atau normal Obesitas
Insulin Plasma Rendah atau tidak ada Normal sampai tinggi
Glukagon Plasma Tinggi, bisa di supresi Tinggi, tidak bisa di supresi
Glukosa Plasma Meningkat Meningkat
Sensitivitas Insulin Normal Berkurang
Terapi Terapi insulin Menurunkan berat badan,
thiazolidindion, metformin,
sulfonilurea, dan terapi insulin.
Sumber: Guyton dan Hall (2006)
Secara umum, gejala klinis DM yang sering ditemukan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
penyebabnya (Kasper et al., 2015). Menurut Belchetz et a. lewat buku yang
diterbitkan oleh Mosby:
1) DM Tipe 1 memiliki gejala klinis seperti
- Poliuria: apabila eksresi glukosa oleh ginjal sudah melebihi batas normal,
maka hiperglikemi sudah meyebabkan glikosuria, yang kemudian
menyebabkan diuresis osmotik, dan kemudian polyuria.
- Polidipsi: perasaan haus dan memiliki keinginan untuk minum terus-menerus
adalah sebuah mekanisme homeostatik yang diaktifkanoleh deplesi volume.
- Blurred Vision (pandangan buram): dengan adanya pergerakan osmotik,
bentuk lensa mata terpengaruh dan menyebabkan pandangan menjadi buram
dan tidak jelas.
2) DM Tipe 2 yang sebagian besar disebabkan oleh resistensi fungsi insulin, bisa
memberikan hasil pemeriksaan darah tinggi glukosa (hiperglikemi). Hiperglikemi
juga bisa ada pada tubuh dalam jangka waktu yang lama sebelum akhirnya
didiagnosis sebagai diabetes, dan dengan lamanya hiperglikemi tersebut, maka
jaringan-jaringan tubuh bisa rusak. Gejala klinis DM Tipe 2 adalah:
- Sama seperti DM Tipe 1, poliuria, polidipsi, dan pandangan buram
- Sering terjadi infeksi
- Gejala non-spesifik: malaise dan kelelahan.
Diagnosis Diabetes Mellitus
Dari hasil consensus perihal pengelolaan dan pencegahan DM di Indonesia
(2011), apabila keluhan diatas sudah ditemukan, maka pemeriksaan gula darah
sewaktu yang menunjukkan nilai ≥200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Selain itu bisa juga diperiksa dengan gula darah puasa dengan hasil ≥
126 mg/dL. Selain itu kriteria diagnostik DM adalah:

Tabel 2. Kriteria diagnostik DM dari hasil pemeriksaan gula darah


Pemeriksaan Bukan DM Belum pasti Diabetes
DM Mellitus
Gula Darah Plasma Vena <100 100-125 ≥ 126
Puasa (mg/dL) Darah Kapiler <90 90-99 ≥ 100
Gula Darah Plasma Vena <100 100-199 ≥ 200
Sewaktu Darah Kapiler <90 90-199 ≥ 200
(mg/dL)
Tes Toleransi ≥ 200
Glukosa Oral
(mg/dL)
Diatas tercantum pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral atau TTGO, karena
untuk penegakan diagnosis diabetes pada pasien yang sebelumnya tidak ada gejala
khas, maka hasil abnormal saja tidak cukup. Namun memang TTGO jarang dilakukan
dengan alasan membutuhkan persiapan khusus. (Suyono et al., 2011)

2.3.6 Patogenesis Diabetes Mellitus


1) DM Tipe 1:
Gangguan yang terjadi pada DM Tipe 1 adalah adanya defisiensi insulin
akibat kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi autoimun. Selain sel beta
pankreas, tapi sel alfa pankreas (α-cell) juga abnormal karena men-sekresi
glukagon yang berlebihan (pada kasus DM Tipe 1, sekresi glukagon tidak
tersupresi dengan adanya hiperglikemi). Defisiensi insulin menyebabkan lipolisis
yang tidak terkendali dan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma,
yang pada akhirnya akan menekan metabolisme glukosa dalam jaringan perifer
seperti otot rangka. Hal ini juga mengganggu penggunaan glukosa, seperti
menurunkan ekspresi sejumlah gen yang diperlukan jaringan target untuk
merespon secara normal terhadap insulin, contohnnya, glukokinase di dalam hati
dan GLUT 4 transporter glukosa di dalam jaringan adiposa menurut (2013). Raju
dan Raju (2010) menjelaskan bahwa gangguan metabolik utama, yang dihasilkan
dari defisiensi insulin pada DM Tipe 1 adalah gangguan metabolisme glukosa,
lipid dan metabolisme protein. Berikut penjelasannya:
- Gangguan metabolisme glukosa: DM Tipe 1 tidak terkontrol dapat
menyebabkan peningkatan output glukosa hepatik. Pertama, glikogen yang
disimpan di hati dimobilisasi, kemudian proses glukoneogenesis hati terjadi
untuk memproduksi glukosa. Selain itu, defisiensi insulin juga merusak
pemanfaatan glukosa non-hati pada jaringan. Tingkat glukokinase hati diatur
oleh insulin, oleh karena itu, penurunan kadar fosforilasi glukosa di hepatosit
dapat menyebabkan peningkatan glukosa yang masuk ke darah. Enzim lain
yang terlibat dalam metabolisme anabolik glukosa juga dipengaruhi oleh
insulin. Kombinasi antara peningkatan produksi glukosa hati dan penurunan
metabolisme jaringan perifer, menyebabkan peningkatan kadar glukosa
plasma. Sehingga kapasitas ginjal untuk menyerap glukosa menurun,
glukosuria terjadi. Glukosa adalah diuretik yang bersifat osmotik, maka
eksresi glukosa yang melewati ginjal disertai dengan air dan elektrolit. Hasil
dari kehilangan air (dar volume keseluruhan) dapat memberi gambaran sering
haus (polidipsia). Keseimbangan kalori kini berkurang akibat glukosuriadan
katabolisme jaringan, kedua itu menyebabkan peningkatan nafsu makan dan
asupan makanan (polifagia).
- Gangguan metabolisme lipid: salah satu peran utama insulin adalah untuk
menstimulasi penyimpanan energi makanan dalam bentuk glikogen pada sel
hepatosit dan otot rangka. Selain itu, insulin merangsang hepatosit untuk
mensintesis dan menyimpan trigliserida di jaringan adiposa. Pada DM Tipe 1
yang tidak terkendali, ada mobilisasi trigliserida yang cepat, yang pada
akhirnya akan mengarah ke peningkatan kadar asam lemak bebas di plasma.
Asam lemak bebas diambil oleh banyak jaringan (kecuali otak) dan
dimetabolisme untuk menyediakan energi. Sudah disebutkan juga bahwa
defisiensi insulin akan menyebabkan peningkatan kadar keton. Zat keton akan
digunakan oleh otak, otot jantung, dan otot rangka. Namun dengan tingkat
asam lemak bebas dan keton yang terlalu tinggi, maka akan menggaggu
penggunaan glukosa. Keton yang terlalu tinggi akan menyebabkan
ketoasidosis.
- Gangguan metabolisme protein: karena secara keseluruhan insulin mengatur
sintesis beberapa gen, maka defisiensi insulin akan mengganggu metabolisme
protein. Defisiensi insulin akan meningkatkan kecepatan sintesis protein
namun menurunkan kecepatan degradasinya, maka secara singkat, defisiensi
insulin akan mempercepat katabolisme protein. Hal ini berati akan membuat
konsentrasi asam amino plasma untuk meningkat. Asam aminoglukogenik
akan menjadi prekursor untuk glikogenesis di hepar dan ginjal, yang kembali
lagi akan menjadi penyebab hiperglikemi pada penyakit DM Tipe 1.

2) DM Tipe 2:

Gambar 1. Patogenesis DM tipe 2 (Ozougwu et al., 2013).

DM Tipe 2 terjadi akibat resistensi terhadap insulin yang cenderung relatif


dari pada absolut. DM Tipe 2 biasanya terjadi pada orang dewasa yang berusia
diatas 45 tahun dan sebagian besar didampingi dengan keluhan obesitas. Pada
pasien DM dengan obesitas, insulin sangat sering digunakan untuk menapai nilai
glukosa darah yang optimal, yang pada akhirnya sekresi insulin akan memburuk.
Resistensi jaringan terhadap insulin ditemukan pada kebanyakan penderita
DM Tipe 2. Faktor genetik diduga berperan, dan diberburuk dalam jangka waktu
tertentu oleh faktor risiko lain seperti penuaan, gaya hidup, dan obesitas. Penuaan
memperburuk resistensi insulin karena perubahan bertahap sel beta pankreas
akibat endapan amiloid. Sehingga pada DM Tipe 2, jumlah sel beta pankreas
dapat berkurang sampai 50-60% dari normal.
Terjadinya resistensi insulin akan diikuti peningkatan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas sehingga terjadi kompensasi hyperinsulinemia untuk
mempertahankan glukosa darah normal. Apabila sel beta pankreas gagal
meningkatkan sekresi insulin untuk mengatasi resistensi perifer ini, maka terjadi
kondisi hiperglikemik. DM Tipe 2 sering tidak terdiagnosis bertahun tahun karena
kondisi hiperglikemia berkembang secara bertahap dan umumnya tanpa gejala
awal yang menyertai. Alhasil penderita akan mengalami risiko berkembangnya
komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Kasper et al., 2015; Gardner and
Shoback, 2018)

2.3.7 Tatalaksana Diebetes Mellitus


1) DM Tipe 1:
Tatalaksana DM Tipe 1 memiliki prinsip untuk memimik sekresi insulin
secara fisiologis. Penderita DM Tipe 1 mengalami kekurangan produksi insulin
endogen, administrasi insulin basal yang berfungsi untuk memecah glikogen,
glukoneogenesis, lipolisis, dan ketogenesis. Maka, pengganti insulin sangat
dibutuhkan ketika mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat.
Injeksi insulin sendiri dibedakan dari jenisnya dan waktu bekerjanya, berikut
tabel pembagiannya berdasarkan (Kasper et al., 2015).

Tabel 3. Tipe-tipe injeksi insulin


Waktu
Tipe suntikan
Waktu Optimal Durasi
insulin Onset (jam)
(jam) Efektivitas (jam)
Short Acting
Aspart < 0,25 0,5 – 1,5 2–4
Glulisin < 0,25 0,5 – 1,5 2–4
Lispro < 0,25 0,5 – 1,5 2–4
Reguler 0,5 – 1,0 2–3 3–6
Long Acting
Determir 1–4 - 12 – 24
Glargin 2–4 - 20 – 24
NPH 2–4 4 – 10 10 – 16
Kombinasi
75/25 < 0,25 Dual (2 waktu 10 - 16
75% protamin optimal; 2-3 jam
lispro, 25% lispro pertama dan
beberapa jam
setelahnya)
70/30 < 0,25 Dual 15 – 18
70% protamine
aspart, 30% aspart
50/50 < 0,25 Dual 10 – 16
50% protamine
lispro, 50% lispro
70/30 0,5 – 1 Dual 10 – 16
70% NPH, 30%
reguler
Sumber: Harrison’s 19th Edition

Gambar 2. Pola-pola pemberian insulin berdasarkan jenis insulin yang


diberikan(Harrison’s 19th Edition).
Gambar: Pola pemberian insulin memiliki variasi seperti gambar diatas,
tergantung dengan kebutuhan masing-masing individu. Sumbu y (y-axis)
menggambarkan efek insulin terhadap tubuh, dan sumbu x (x-axis)
menggambarkan waktu. Lispro, Glulisin atau Insulin Aspart termasuk ke dalam
insulin analog. Tanda panah keatas menggambarkan waktu pemberian insulin. B:
breakfast/sarapan, L: lunch/makan siang, S: supper/makan malam, dan HS:
bedtime/sebelum tidur.

2) DM Tipe 2:
Hasil Konsensus dokter Indonesia tentang Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2, tatalaksana penyakit ini memiliki 4 pilar; edukasi, terapi
gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
- Edukasi:
DM Tipe 2 umumnya terjadi karena pola hidup yang kurang baik, dari
sisi apa yang dikonsumsi dan bagaimana kegiatan sehari-hari. Tahap awal
tatalaksananya yang paling penting adalah agar pasien mengetahui dan
mengerti tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia, dan cara mengatasinya. Selain edukasi, untuk memantau kadar
glukosa darah, pasien dapat diberikan pelatihan khusus.
- Terapi Nutrisi Medis
Terapi pilar kedua ini adalah salah satu kunci untuk tatalaksana DM Tipe
2. Prinsip pengaturan makan pada pasien dengan diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, namun perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
Kadar karbohidrat (45-65% total asupan energi), lemak (20-25% dari
kebutuhan kalori), protein (10-20% dari total asupan energi), natrium (tidak
lebih dari 3000 mg), dan serat (±25 g/hari) harus disesuaikan, disampingi juga
dengan pilihan pemanis alternatif (gula alkohol: isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol) dan kebutuhan kalori masing-masing individu.
Total kebutuhan kalori disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dan IMT.
- Latihan Jasmani
Latihan jasmani untuk pasien dengan DM Tipe 2 diajurkan 3-4 kali
dalam seminggu dan kurang lebih selama 30 menit. Berikut tabel kegiata yang
dianjurkan dan yang tidak dianjurkan menurut Konsensus Pengelolaan dan
Penatalaksaan DM Tipe 2 di Indonesia:
Tabel 4. Tabel tatalaksana DM tipe 2 dari pola aktivitas
Kurangi Aktivitas Misalnya menonton televisi,
Hindari aktivitas sedenter menggunakan internet, main game
komputer
Persering Aktivitas Misalnya jalan cepat, golf, olah otot,
Mengikuti olahraga rekreasi dan bersepeda, sepak bola
beraktivitas fisik tinggi pada waktu
liburan
Aktivitas Harian Misalnya berjalan kaki ke pasar
Kebiasaan beraktivitas hidup sehat (tidak menggunakan mobil atau
kendaraan umum), menggunakan
tangga (menghindari penggunaan lift
dan eskalator), jalan dari tempat
parkir, dan lain-lain.
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia,
2011
- Intervensi Farmakologis
Pengobatan untuk penderita DM Tipe2 dianjurkan untuk dikonsumsi
bersamaan dengan melakukan tatalaksana lainnya. Cara intervensi
farmakologis dibagi menjadi 2 kategori, yaitu obat oral dan suntikan.
a. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi
menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (sulfonylurea, glinid),
peningkat sensitivitas insulin (tiazolidindion), penghambat
gluconeogenesis (metformin), penghambat glucosidase alfa (acarbose),
dan DPP-IV inhibitor.
b. Suntikan
Suntikan pertama untuk terapi farmakologis DM Tipe 2 adalah insulin
dan agonis GLP-1(incretin mimetic). Penyuntikan insulin diperlukan
dalam keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemi berat
disertai dengan ketosis, ketoasidosis diabetic, hiperglikemia (hyperosmolar
non ketotik dan yang disertai asidosis laktat), gagal dengan OHO dosis
normal, stress berat, kehamilan, ganggian fungsi ginjal dan hati, dan
kontraindikasi dengan OHO.
Selain insulin, suntikan yang diberikan adalah agonis GLP-1. Agonis
GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan. Efek agonis
GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

Anda mungkin juga menyukai