Tipus DX Komunitas Lengkap
Tipus DX Komunitas Lengkap
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi adalah kondisi di mana tekanan darah di arteri mengalami peningkatan
(Naish & Court, 2015). Tekanan darah tinggi biasanya tidak menimbulkan gejala.
Namun, tekanan darah tinggi yang berlangsung dalam waktu lama akan menjadi faktor
resiko utama untuk penyakit arteri koroner, stroke, gagal jantung, fibrilasi atrium,
penyakit pembuluh darah perifer, kehilangan penglihatan, penyakit ginjal kronis, dan
demensia (Hernandorena et al., 2017; Lackland & Weber, 2015)
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa Menurut JNC 8 (Whelton et al.,
2017).
Kategori Sistolik Diastolik
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Tekanan darah 120 – 129 < 80
meningkat
Hipertensi derajat 1 130 - 139 80 – 89
Hipertensi derajat 2 ≥ 140 ≥ 190
Hipertensi sistolik
Fr terisolasi
e Hipertensi sistolik
k dan diastolik
u
Hipertensi diastolik
e
terisolasi
ns
i
3. Jenis Kelamin
Wanita pre – menopause cenderung memiliki tekanan darah yang
lebih rendah daripada pria pada usia yang sama. Namun setelah
menopause, pria dan wanita memiliki tingkat yang sama.
Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari
penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen menurun
setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria dalam hal
penyakit jantung. Secara fisiologis, hormon estrogen pada wanita
premenopause meningkatkan kadar HDL (High Density Lipoprotein)
dan menurunkan kadar LDL (Low Density Lipoprotein). Secara
eksperimental, estrogen memiliki antioksidan yang menguntungkan
dan dapat meningkatkan vasodilatasi endotel (Lee et al., 2011).
4. Obesitas
Obesitas sendiri telah dikaitkan secara langsung dengan hipertensi.
penjelasan yang mungkin tentang bagaimana hubungan obesitas dapat
menyebabkan hipertensi adalah sebagai berikut (1) pelepasan angiotensinogen
oleh sel adiposa sebagai substrat untuk sistem renin-angiotensin, (2) penambahan
volume darah karena peningkatan massa tubuh, (3) peningkatan viskositas darah
yang disebabkan oleh profibrinogen dan plasminogen activator inhibitor 1 yang
diproduksi oleh sel adiposa (Lee et al., 2011).
Selain hal diatas pula, pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja
pada jantung untuk memompa darah agar dapat menggerakan beban berlebih dari
tubuh tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume
darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, tekanan darah
dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan. Dalam
Framingham Heart study disebutkan bahwa dengan mengurangi berat badan
hingga 2 kg atau lebih dari bobot total tubuh dapat menurunkan resiko penyakit
kardiovaskular hingga 40% (Verdecchia et al., 2004).
5. Rokok
6. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dalam jumlah sedikit (misalnya kurang dari
30 gram per hari atau kurang dari 2 gelas kecil) umumnya tidak
terkait dengan peningkatan tekanan darah. Namun konsumsi alkohol
dalam jumlah yang lebih banyak memiliki efek tertentu pada
tekanan darah, baik dalam hipertensi maupun normotensi. Dengan
menggunakan ABPM (Ambulatory Blood Pressure Monitoring),
ditemukan bahwa terdapat efek bifasik pada tekanan darah setelah
meminum alkohol. Saat meminum alkohol dalam jumlah yang banyak (>
30 gram) maka terjadi penurunan tekanan darah dalam 4 jam
pertama. Kemudian kira-kira 10-15 jam berikutnya tercatat bahwa
terjadi peningkatan tekanan darah. Mekanisme pengaruh alkohol
terhadap tekanan darah tidak diketahui dengan jelas namun
pengkonsumsian alkohol dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas
saraf simpatik, perubahan kortisol, dan konsentrasi ion kalsium
dalam sel (Verdecchia et al., 2004).
2.1.4 Patofisiologi
Tekanan darah merupakan tekanan yang diberikan oleh darah pada dinding
pembuluh darah. Pengaturan tekanan darah adalah proses yang kompleks menyangkut
interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan, dan pengendalian ginjal terhadap natrium
sekaligus retensi air, serta pengendalian sistem saraf terhadap tonus pembuluh darah.
Terdapat dua faktor yang mengatur tekanan darah, yaitu total curah jantung dan tahanan
pembuluh darah perifer. Total curah jantung ditentukan oleh volume darah yang
dipompakan oleh ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung.
Sedangkan tahanan vaskular perifer terutama ditentukan di tingkat arteriol dan
bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon (Kumar, Cotran, & Robbins, 2007).
Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan penyakit yang bukan hanya
disebabkan oleh satu macam mekanisme, tetapi bersifat multi-faktorial yang timbul
akibat interaksi berbagai macam faktor risiko. Berbagai faktor dan mekanisme tersebut
antara lain: faktor genetik dan lingkungan, mekanisme neural, hormonal, dan vaskular
(Yogiantoro, 2014).
Mekanisme neural terjadinya hipertensi berawal dari pelepasan norepinefrin (NE)
oleh ujung saraf adrenergik yang mengakibatkan vasokonstriksi pada arteri dan vena
melalui aktivasi reseptor α1 dan α2 di post sinaps. Curah jantung juga akan meningkat
sebagai respons terhadap peningkatan aliran balik vena dan efek inotropik serta
kronotropik yang di mediasi langsung oleh reseptor β1 adrenergik. Efek simpatik ini
dimediasi oleh epinefrin, yang terutama dilepaskan dari medula adrenal dan
norepinefrin dilepaskan ke celah sinaptik dari ujung saraf simpatik. Aktivitas sistem
sarah simpatik berada di bawah kontrol area otak yang terlibat dalam homeostasis
kardiovaskular (Willerson, Cohn, & Wellens, 2007).
Mekanisme hormonal terjadinya hipertensi adalah melalui aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron yang ikut berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungsi
endotel, inflamasi, dan remodeling pembuluh darah. Renin yang diproduksi terutama
oleh sel juxtaglomerulus yang ada di ginjal akan berikatan dengan angiotensinogen
yang diproduksi oleh hati, menghasilkan angiotensin I. Selanjutnya, oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) yang terutama banyak teradapat di paru, akan mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki beberapa efek yang dapat
meningkatkan tekanan darah selama menetap didalam darah. Efek yang pertama yaitu
vasokonstriksi yang timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terutama terjadi pada arteriol
dan terjadi konstriksi ringan pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan
tahanan perifer, akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Angiotensin II juga
merangsang sekresi aldosteron di korteks adrenal. Aldosteron mempengaruhi kerja
ginjal untuk menurunkan sekresi garam dan air serta meningkatkan pengeluaran kalium
melalui urin. Kedua efek ini merupakan suatu faktor penting dalam pengaturan tekanan
arteri jangka panjang dengan cara meningkatkan volume darah (Yogiantoro, 2014).
Mekanisme vaskular terjadinya hipertensi dimulai dari adanya perubahan struktur
dan fungsi pembuluh darah salah satunya adalah disfungsi endotel. Lapisan endotel
pembuluh darah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjaga kesehatan
pembuluh darah dan merupakan lapisan utama pertahanan terhadap aterosklerosis dan
hipertensi. Adanya disfungsi endotel merupakan penanda yang khas dari suatu
hipertensi dan risiko dari suatu kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan
menurunnya faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan oleh
endotel, seperti nitric oxide (NO) dan meningkatnya faktor yang menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi seperti faktor proinflamasi, protrombotik, dan growth factors.
Seiring dengan berjalannya waktu, disfungsi endotel, aktivasi neurohormonal,
inflamasi vaskular, dan meningkatnya tekanan darah akan menyebabkan perubahan
pembuluh darah/remodeling vaskular yang makin memperberat hipertensi. Gambaran
khas dari keadaan ini adalah menebalnya dinding media arteri, sehingga terjadi
peningkatan ratio antara media dan lumen pada pembuluh darah arteri (Yogiantoro,
2014).
2.1.5 Diagnosis
Evaluasi klinis pasien hipertensi dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik,
termasuk untuk mencari petunjuk apabila ada penyakit penyerta lainnya yang dialami
oleh pasien. Misalnya, pada infeksi saluran kemih berulang dapat dipikirkan
kemungkinan adanya pielonefritis kronis dan kerusakan ginjal sehingga menyebabkan
hipertensi. contoh lainnya adalah penurunan berat badan yang berlebihan dapat menjadi
indikator pheochromocytoma, sedangkan penambahan berat badan dapat menunjukkan
adanya sindroma Cushing. Anamnesis juga harus mencakup penilaian perilaku gaya
hidup yang dapat berkontribusi menjadi hipertensi, seperti konsumsi alkohol berlebihan
(Lee et al., 2011).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan mengukur tekanan darah rutin di
kamar periksa dan pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-
ABPM). Tes laboratorium juga dilakukan dalam evaluasi tahap awal pada pasien
hipertensi. tes yang dilakukan adalah antara lain (1) urinalisis dan pengukuran
konsentrasi kreatinin dan kadar urea dalam darah untuk mengevaluasi kelainan ginjal;
(2) kadar kalium; (3) tingkat glukosa darah (glukosa meningkat pada kondisi diabetes,
kondisi ini sangat berkaitan dengan hipertensi dan penyakit ginjal); (4) kolesterol total,
HDL, dan Trigliserida; (5) elektrokardiogram (untuk mencari adanya hipertrofi
ventrikel kiri sebagai akibat hipertensi kronis (Lee et al., 2011).
Apabila tidak ditemukan kondisi lain yang mendasari hipertensi maka pasien
dianggap mengalami hipertensi esensial dan ditatalaksana sesuai dengan algoritma
penatalaksanaan hipertensi esensial. Namun jika tekanan darah pasien terus meningkat
walau sudah ditatalaksana, maka perlu dilakukan tes diagnostik lain yang lebih rinci
untuk mencari penyebab sekundernya (Lee et al., 2011)
2.1.6 Terapi
Dalam penanganan hipertensi, para ahli umumnya mengacu kepada guideline
yang ada. Salah satu guideline terbaru yang dapat dijadikan acuan dalam penanganan
hipertensi di Indonesia adalah Joint National Comnittee (JNC) 8. Namun dalam
guideline JNC 8 modifikasi gaya hidup tidak dibahas secara detail, mungkin tetap
merujuk pada modifikasi gaya hidup dalam JNC 7 (2004) yang dapat dilihat dalam
tabel 2.
Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup untuk Penanganan Hipertensi Menurut JNC 7 (Verdecchia et
al., 2004).
Modifikasi Rekomendasi Penurunan Tekanan
Darah Sistolik
Menurunkan Berat Mempertahankan berat badan sesuai 5-20 mmHg/10 kg
Badan dengan IMT normal yaitu 18,5-24,9
kg/m2
Diet dengan Banyak mengkonsumsi buah, 8-14 mmHg
mengadopsi diet sayuran dan makanan yang rendah
DASH lemak
Mengurangi asupan Pada pasien dengan hipertensi 2-8 mmHg
garam dikenal 3 jenis diet rendah garam,
yaitu:
1. Diet Garam Rendah I (200-400
mg Na)
Ditujukan pada pasien dengan
asites/edema dan hipertensi
berat. Pada kondisi ini tidak
diperkenankan menambahkan
garam ke dalam masakan yang
dikonsumsi dan menghindari
makanan yang tinggi natrium.
2.1.7 Komplikasi
Apapun yang menjadi penyebab dari peningkatan tekanan darah, konsekuensi
akhirnya tetap sama. Tekanan darah tinggi umumnya tidak bergejala, tetapi dapat
menimbulkan kerusakan di banyak organ. Kerusakan yang ditimbulkan terutama di
pembuluh darah, jantung, ginjal, dan retina. Komplikasi dari hipertensi dapat dilihat
dari tabel 3 berikut ini:
2.2.1 Definisi
2.2.2 Etiologi
Suryo (2010) menjelaskan bahwa faktor risiko yang menyebabkan TB Paru adalah sebagai
berikut:
a. Faktor Umur
Insiden tertinggi tuberkulosis paru-paru biasanya mengenai usia muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif, yaitu 15-50
tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin
TB Paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-
laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB Paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang, di
antaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
penyakit TBC sehingga dengan pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat
pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu di daerah
terpapar akan memengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan
kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernapasan dan umumnya TBC.
e. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TBC sebanyak 2,2 kali.
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi
pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok sehingga mempermudah untuk terjadinya infeksi penyakit TBC.
f. Kepadatan Hunian Kamar Tidur
Luas lantai bangunan rumah harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar
tidak menyebabkan overlood. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
g. Pencahayaan Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila
dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktuyang
lebih cepat daripada yang melalui kaca berwarna. Penularan kuman TBC relatif tidak
tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirukulasi udara diatur, risiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi mempunyai fungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah. Di samping itu, kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kelembapan udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan
dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman
TBC.
i. Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salash satu faktor risiko penularan penyakit TBC. Atap,
dinding, dan lantai dapat menjadi tempat perkembangbiakan kuman. Lantai dan
dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya Mycobacterium
tuberkulosis.
j. Kelembapan Udara Kelembapan udara dalam ruangan untuk memperoleh
kenyamanan, di mana kelembapan yang optimum berkisar 60% dengan temperatur
kamar 22 -30 C. Kuman TBC akan cepat mati bila terkena sinar matahari lansgung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembap.
k. Status Gizi
Hasil penelitian menunujukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
risiko 3,7 kali untuk menderita penyakit TBC berat dibandingkan dengan orang yang
status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh
terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunologik terhadap penyakit.
l. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk,
akan menyebabkan kekebalan tubuh menurun sehingga memudahkan terkena infeksi
TBC.
m. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari atas pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan
penderita TBC yang kurang tentang cara penularan, bahaya, dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai oran sakit dan akhirnya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya.
2.2.4 Patofisiologi
Mycobacterium terkandung di dalam droplet berdiameter <25 µm ketika
pasien yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara. Droplet akan menguap dan
meninggalkan organisme yang cukup kecil untuk terdeposit di dalam alveoli ketika
dihirup. Ketika berada di dalam alveoli, sistem imun akan merespons dengan
mengeluarkan sitokin dan limfokin yang menstimulasi monosit dan makrofag.
Mikrobakteri mulai berkembang biak di dalam makrofag. Beberapa dari makrofag
tersebut meningkatkan kemampuan untuk membunuh organisme, sedangkan yang
lainnya dapat dibunuh oleh basil. Setelah 1-2 bulan pasca paparan, di paru terlihat
lesi patogenik yang disebabkan oleh infeksi (Jawetz, 2013).
Menurut Depkes RI, 2008 Patofisiologi TB paru dibagi menjadi 2 proses
antara lain:
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman Tuberkulosis. Droplet nuclei yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati system pertahanan muscular
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman
Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai komplek primer yang memakan waktu sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberculin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman
yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh. Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman TB paru. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap
sebagai kuman persistent atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi
penderita TB paru. Masa inkubasi yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit diperlukan sekitar 6 bulan.
Gejala Umum:
a. Panas Badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering
kali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas
badan meningkat atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang
menjadi progresif sehingga penderita merasakan badannya hangat atau muka
terasa panas.
b. Keringat Malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomosis untuk penyakit TB paru.
Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada
orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.
c. Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi
toksemia yang timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses
progresif.
d. Gangguan Menstruasi
Gangguan menstruasi lebih sering terjadi bila proses TB paru sudah menjadi
lanjut.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Depkes, 2011).
2.3 Diabetes Mellitus
2) DM Tipe 2:
2) DM Tipe 2:
Hasil Konsensus dokter Indonesia tentang Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2, tatalaksana penyakit ini memiliki 4 pilar; edukasi, terapi
gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
- Edukasi:
DM Tipe 2 umumnya terjadi karena pola hidup yang kurang baik, dari
sisi apa yang dikonsumsi dan bagaimana kegiatan sehari-hari. Tahap awal
tatalaksananya yang paling penting adalah agar pasien mengetahui dan
mengerti tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia, dan cara mengatasinya. Selain edukasi, untuk memantau kadar
glukosa darah, pasien dapat diberikan pelatihan khusus.
- Terapi Nutrisi Medis
Terapi pilar kedua ini adalah salah satu kunci untuk tatalaksana DM Tipe
2. Prinsip pengaturan makan pada pasien dengan diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, namun perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,
terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau
insulin.
Kadar karbohidrat (45-65% total asupan energi), lemak (20-25% dari
kebutuhan kalori), protein (10-20% dari total asupan energi), natrium (tidak
lebih dari 3000 mg), dan serat (±25 g/hari) harus disesuaikan, disampingi juga
dengan pilihan pemanis alternatif (gula alkohol: isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol) dan kebutuhan kalori masing-masing individu.
Total kebutuhan kalori disesuaikan dengan jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dan IMT.
- Latihan Jasmani
Latihan jasmani untuk pasien dengan DM Tipe 2 diajurkan 3-4 kali
dalam seminggu dan kurang lebih selama 30 menit. Berikut tabel kegiata yang
dianjurkan dan yang tidak dianjurkan menurut Konsensus Pengelolaan dan
Penatalaksaan DM Tipe 2 di Indonesia:
Tabel 4. Tabel tatalaksana DM tipe 2 dari pola aktivitas
Kurangi Aktivitas Misalnya menonton televisi,
Hindari aktivitas sedenter menggunakan internet, main game
komputer
Persering Aktivitas Misalnya jalan cepat, golf, olah otot,
Mengikuti olahraga rekreasi dan bersepeda, sepak bola
beraktivitas fisik tinggi pada waktu
liburan
Aktivitas Harian Misalnya berjalan kaki ke pasar
Kebiasaan beraktivitas hidup sehat (tidak menggunakan mobil atau
kendaraan umum), menggunakan
tangga (menghindari penggunaan lift
dan eskalator), jalan dari tempat
parkir, dan lain-lain.
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia,
2011
- Intervensi Farmakologis
Pengobatan untuk penderita DM Tipe2 dianjurkan untuk dikonsumsi
bersamaan dengan melakukan tatalaksana lainnya. Cara intervensi
farmakologis dibagi menjadi 2 kategori, yaitu obat oral dan suntikan.
a. Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi
menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (sulfonylurea, glinid),
peningkat sensitivitas insulin (tiazolidindion), penghambat
gluconeogenesis (metformin), penghambat glucosidase alfa (acarbose),
dan DPP-IV inhibitor.
b. Suntikan
Suntikan pertama untuk terapi farmakologis DM Tipe 2 adalah insulin
dan agonis GLP-1(incretin mimetic). Penyuntikan insulin diperlukan
dalam keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemi berat
disertai dengan ketosis, ketoasidosis diabetic, hiperglikemia (hyperosmolar
non ketotik dan yang disertai asidosis laktat), gagal dengan OHO dosis
normal, stress berat, kehamilan, ganggian fungsi ginjal dan hati, dan
kontraindikasi dengan OHO.
Selain insulin, suntikan yang diberikan adalah agonis GLP-1. Agonis
GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan. Efek agonis
GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui
berperan pada proses glukoneogenesis. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.