Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANESTESI PADA WANITA 22 TAHUN G1P0A0 DENGAN


APH (ANTEPARTUM HEMORRAGI) ET CAUSA PLASENTA PREVIA
TOTALIS DI RSUD KARANGANYAR

HALAMAN JUDUL
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kedokteran Anestesiologi dan Reanimasi

Pembimbing : dr. Damai Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Bella Ardhilia Damayanti
J510185032

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

REGIONAL ANESTESI PADA KASUS WANITA 22 TAHUN G1P0A0


DENGAN APH (ANTEPARTUM HEMORRAGI) ET CAUSA PLASENTA
PREVIA TOTALIS DI RSUD KARANGANYAR

Diajukan Oleh :
Bella Ardhilia Damayanti
J510185032

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari………………….

Penguji :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Disahkan Ketua Program Profesi

Dr. Iin Novita Nurhidayati M, M.Sc., Sp.PD (.................................)

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sectio cesarea didefinisikan sebagai tindakan pembedahan melalui dinding
abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. Proses persalinan dengan
menggunakan metode sectio cesarea perlu perhatian yang lebih dan serius,
karena pada proses persalinan ini dapat menyebabkan risiko yang
membahayakan untuk keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. Salah
satu resiko yang dapat terjadi adalah perubahan hemodinamik tubuh ibu.
Kondisi pada ibu hamil alirah darah uterus secara langsung ditentukan oleh
tekanan darah maternal oleh karena itu bisa menyebabkan hipotensi akibat
anestesi spinal yang tidak dikelola dengan baik akan berpengaruh buruk pada
ibu dan fetus. Sehingga hal ini perlu pemantauan yang lebih dalam hal tekanan
darah dan denyut nadi selama proses sectio cesarea. Keadaan ini bisa diatasi
dengan pemberian loading cairan atau pemberian obat vasokonstriktor.
Penatalaksanaan sectio cesarea digunakan anestesi regional yang mana
anestesia spinal lah yang lebih banyak dipakai daripada anestesi epidural.
Anestesia spinal membuat pasien tetap dalam keadaan sadar sehingga masa
pulih lebih cepat dan dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesia pada
anestesia spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga
pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umumnya, morbiditas ibu dan
janin lebih rendah pada prosedur anestesia spinal. Selain itu, anestesia spinal
lebih superior karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit pada
beberapa kasus, seperti preeklampsia berat. Anestesia spinal juga menjadi
pilihan pada kasus plasenta previa karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit
dibandingkan dengan bedah cesarea dengan anestesia umum. Pemberian
loading cairan dengan kristaloid maupun koloid sangat dianjurkan untuk
mengatasi masalah seperti diatas. Loading cairan yang biasa digunakan dalam
anestesia spinal cesarea adalah koloid. Koloid lebih baik dalam mencegah
perubahan hemodinamik, menurunkan angka kejadian mual, muntah,

1
2

penanganan hipovolemik yang lebih baik dan memberi kenyamanan pasien


yang lebih baik pula jika dibandingkan dengan kristaloid.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik bagian Kedokteran Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta – RSUD Kabupaten Karanganyar dan
meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai aspek anestesi
pada sectio cesarea wanita G1P1A0 dengan perdarahan antepartum et causa
plasenta previa totalis.
C. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek anestesi pada sectio cesarea wanita G1P1A0 dengan perdarahan
antepartum et causa plasenta previa totalis yang berlandaskan teori sehingga
ditatalaksana dengan baik sesuai kompetensinya pada tingkat pelayanan primer.

2
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
No.RM : 44.XX.XX
Jenis Kelamin : Perempuan
Masuk Tgl : 17 September 2018
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Gantiwarno, Matesih, Karanganyar
Diagnosis : G1P0A0 36 minggu dengan APH (Antepartum
Hemoragik) et causa Plasenta Previa Totalis
Dokter Anestesi : dr. Damai Suri, Sp.An.
Dokter Bedah : dr. Heryu Ristianto, Sp.OG.

B. ANAMNESIS
a. A (Alergy)
Pasien tidak ada alergi terhadap makanan, obat-obatan, dan tidak
menderita asma.
b. M (Medication)
Pasien tidak sedang menjalani pengobatan
c. P (Past Medical History)
Pasien memiliki tidak memiliki riwayat penyakit apapun.
d. L (Last Meal)
Pasien tidak puasa ≥ 6 jam
e. E (Elicit History)
Seorang wanita usia 22 tahun G1P0A0 datang ke RSUD Karanganyar
dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak pukul 06.20.

3
4

C. KELUHAN UTAMA :
Keluar darah dari jalan lahir
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Seorang wanita usia 22 tahun G1P0A0 datang ke RSUD Karanganyar
dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak pukul 06.20. Keluarnya
darah makin lama makin banyak dan seperti gumpalan. Lalu pada pukul 06.45
pasien dibawa ke RSUD Karanganyar. Keluhan disertai dengan nyeri perut
yang makin lama makin berat. Kondisi umum pasien cukup, kesadaran
compos mentis.
E. ANAMNESIS SISTEM
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-), nyeri
kepala (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Gastro : Diare (-), kembung (+), konstipasi (+), mual (+)
Urologi : BAK nyeri (-)
Muskolo : Nyeri (-), atrofi otot (-), deformitas (-)
F. RIWAYAT HAID
Siklus menstruasi 31 hari, dengan durasi 4-5 hari
G. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
H. RIWAYAT PENYAKIT PADA EHAMILAN SEKARANG
Tidak Ada
I. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien memiliki riwayat makan 5 kali sehari. Pasien mengatakan akhir-
akhir ini nafsu makan meningkat. dalam satu hari pasien minum sebanyak
500cc air. BAK 2 kali sehari dan BAB 1x sehari. Pasien bekerja di sebuah
salon kecantikan dan merupakan peserta BPJS PBI.
5

J. RIWAYAT OPERASI DAN ANESTESI


Disangkal

K. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
1) Keadaan Umum : Baik
2) Kesadaran : Compos Mentis
3) Vital Sign :
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 82 x/ menit
- Suhu : 37,3 o C
4) Kepala : Normocephal (+), sklera ikterik (-),
konjungtiva anemis (-/-), dispneu (-), napas cuping hidung (-),
5) Leher : Retraksi supra sternal (-), peningkatan JVP
(-), pembesaran kelenjar limfe (-)
6) Thorak
a. Paru
- Inspeksi :pergerakan dinding dada simetris, masa (-),
jejas (-), retraksi otot dada (-)
- Palpasi :fremitus dinding dada kanan dan kiri
simetris
- Perkusi : sonor
- Auskultasi: Suara dasar vesikuler, Wheezing (-/-),
Rhonki (-/-)
b. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : redup
- Auskultasi :Bunyi jantung I dan II murni
reguler, Murmur (-), Gallop (-)
6

7) Ekstremitas: dingin, oedem (-), nyeri (-)


2. Pemeriksaan Kebidanan
A. Dada
1. Mammae Simetris
2. Putting susu menonjol
B. Abdomen
1. Inspeksi
Striae Lividae (+)
2. Palpasi
Leopold I : TFU 27 cm
Leopold II : Pungngung Kanan
Leopold III : Kepala
Leopold IV : Floating
3. Auskultasi
DJJ : 136 x/min, Teratur
His/Kontraksi (-)
C. Anogenital
Inspeksi : Pengeluaran pervaginam darah (+)
Periksa dalam : tidak dilakukan, perdarahan ++
L. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Darah Rutin Nilai Nilai normal Satuan
Hb 11,1 12.3 – 15.3 g/dL
Ht 31,8 35 – 47 Vol%
Leukosit 10,71 4,4 – 11,3 10^3/uL
Trombosit 310 149 – 409 mm3
Eritrosit 3,48 4,1 – 5,1 10^6/uL
MCV 91,5 82 – 92 fL
MCH 31,8 28 – 33 Pg
MCHC 34,8 32-37 g/dL
7

Neutrofil 64,2 50-70,0 %


Limfosit 27,2 25,0– 40,0 %
Monosit 6,3 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 2,1 0 ,5–5,0 %
Basofil 0,2 0,0-1,0 %
GDS 78 70 – 150 mg/dL
HbsAg NR NR

2. Pemeriksaan Radiologi
a. USG

Kesimpulan :
Gambaran USG menunjukkan letak plasenta berada
dibawah menutupi ostium uteri internum.

M. DIAGNOSIS
Wanita 22 th G1P0A0 hamil 36 minggu dengan Antepartum Hemoragi
(APH) et causa Plasenta Previa Totalis

N. TERAPI
1. Medikamentosa
a. Dexamethason 5 x 1
b. Inbion 1 x 1
8

c. Nifedipin 1 x 1
d. Hystolan 3 x 1/2
e. Kalnex injeksi 3 x 1
2. Operatif : Sectio Caesarea Transperitonealis (SCTP)

O. KONSUL ANASTESI
Wanita 22 th G1P0A0 hamil 36 minggu dengan Antepartum Hemoragi (APH)
et causa Plasenta Previa Totalis yang akan dilakukan SCTP. Hasil
laboratorium, foto rontgen dan Vital sign terlampir.
Kegawatan Bedah : (+)
Derajat ASA : II E
Rencana tindakan anastesi : RA SAB

P. LAPORAN ANASTESI
Nama : Ny. A
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 22 tahun
No RM : 44.XX.XX
Diagnosa pra bedah : G1P0A0 hamil 36 minggu dengan Antepartum
Hemoragi (APH) et causa Plasenta Previa Totalis

Q. RENCANA ANASTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Subarachnoid Block)
3. Premedikasi : - Ondansetron 3mg iv
4. Cairan : KristaloidTerastarch 500 ml
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
kedalaman Anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin.
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ ruang pindah
7. Transfusi sebelumnya : tidak pernah transfusi darah
9

R. TATA LAKSANA ANESTESI


1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
d. Lama puasa ≥ 6 jam
e. Cek obat dan alat anestesi
f. Posisi terlentang
2. Di ruang operasi
a. Jam 09.50 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor
dipasang, TD 87/50 mmHg, HR : 85x/m, Saturasi Oksigen : 98% .
b. Pasien duduk dan membungkuk dengan dagu menempel pada dada,
kaki dirapatkan dan diluruskan.
c. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu
L4 atau L4-L5.
d. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol .
e. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal
kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian
dicabut, sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik
(Bupivacaine 20mg/4ml) yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam
ruang subarachnoid.
f. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine (terlentang) dan
pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit
untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah,
nyeri kepala, dan sesak.
g. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas
normal.
10

Monitoring Selama Anestesi.

Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan

13.35 100/70 90 99% Masuk ruang operasi, infuse RL 300cc

13.40 70/45 90 99% TD turun, injeksi Epedrin 1cc lewat IV line

13.45 58/40 87 98% Injeksi Epedrin 1 cc lewat IV line

13.50 70/40 90 98% TD mulai naik

13.55 84/58 90 98% Kondisi pasien mulai stabil

14.00 84/58 86 98% Pasien merasa mual

14.05 87/60 93 98% Kondisi pasien stabil

14.10 87/60 88 98% Kondisi pasien stabil

14.15 87/58 87 98% Kondisi Pasien stabil

14.20 90/58 92 98% Kondisi Pasien stabil

14.25 90/58 90 98% Kondisi Pasien stabil

14.30 90/58 91 98% Kondisi Pasien stabil

Intake Cairan :

a) RL
b) Terastarch
3. Recovery Room
Pasien sampai Ruang RR pukul 14.30 dalam posisi supine
(terlentang) dengan kepala ekstensi, pasien dalam keadaan sadar,
monitoring tanda vital diberikasn O2 2 liter/ menit lewat hidung. TD 90/58
mmHg, Nadi : 91x/m, RR : 20 x/m. Jam 14.45 pasien sadar penuh dan
dipindah ke Teratai 1.
11

4. Intruksi pasca anestesi

Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah


pemulihan pasca anestesi pasien di rawat di bangsal sesuai dengan bagian
operator. Setelah pasien sadar, pasien dipindahkan ke ruangan Teratai.
 Kontrol vital sign jika TD < 90/60 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin.
 Bila muntah diberikan ondansetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
 Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi
makan dan minum secara bertahap.
 Infus RL 20 tpm
 Lain – lain
- Antibiotik
- Analgesik
- Puasa sampai dengan flatus
S. BROMAGE SCORE
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor <2.
KRITERIA SCORE Jam ke 1/15’

 Gerakan penuh dari tungkai 0 x x


 Tak mampu ekstensi tungkai 1 x
 Tak mampu flexi lutut 2 x
 Tak mampu flexi 3
pergelangan kaki

Dengan skor 0 pada menit ke 30, pasien telah dapat dipindahkan


dari ruang recovery ke bangsal Teratai 1 RSUD Karanganyar.
T. POST OPERASI
Diagnosa Post Operasi:
SCTP ( Sectio Cesarea Transperitoneal)
12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Placenta Previa
1. Definisi Plasenta Previa
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian
segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan
lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui
vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir,
khususnya pada bulan kedelapan. Plasenta previa adalah plasenta yang
berimplantasi di segmen bawah rahim yang dapat memberikan dampak
yang sangat merugikan ibu maupun janin berupa perdarahan, prematuritas
dan peningkatan angka kesakitan dan kematian perinatal.
2. Insiden Plasenta Previa
Menurut Chalik (2008) plasenta previa lebih banyak terjadi pada
kehamilan dengan paritas tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30
tahun. Uterus yang cacat juga dapat meningkatkan angka kejadian plasenta
previa. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan angka
kejadian plasenta previa berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9 %. Sedangkan di
negara maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang
mungkin disebabkan oleh berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas
tinggi. Kejadian plasenta previa terjadi kira-kira 1 dari 200 persalinan,
insiden dapat meningkat diantaranya sekitar 1 dari 20 persalinan pada ibu
yang paritas tinggi.
3. Faktor Risiko dan Etiologi Plasenta Previa
Menurut Faiz & Ananth (2003) faktor risiko timbulnya plasenta
previa belum diketahui secara pasti namun dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa frekuensi plasenta previa tertinggi terjadi pada ibu yang
berusia lanjut, multipara, riwayat seksio sesarea dan aborsi sebelumnya
serta gaya hidup yang juga dapat mempengaruhi peningkatan resiko
timbulnya plasenta previa. Menurut penelitian Wardana (2007) yang
13

menjadi faktor risiko plasenta previa yaitu: 1. Risiko plasenta previa pada
wanita dengan umur 35 tahun 2 kali lebih besar dibandingkan dengan umur
< 35. 2. Risiko plasenta previa pada multigravida 1,3 kali lebih besar
dibandingkan primigravida. 3. Risiko plasenta previa pada wanita dengan
riwayat abortus 4 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat
abortus. 4. Riwayat seksio sesaria tidak ditemukan sebagai faktor risiko
terjadinya plasenta previa. Menurut Chalik (2008), yang menjadi penyebab
implantasinya blastokis pada segman bawah rahim belum diketahui secara
pasti. Namun teori lain mengemukakan bahwa yang menjadi salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, yang
mungkin terjadi karena proses radang maupun atropi.
4. Klasifikasi Plasenta Previa
Menurut Chalik (2008) plasenta previa dapat digolongkan menjadi
empat bagian yaitu:
1. Plasenta previa totalis atau komplit, adalah plasenta yang menutupi
seluruh ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis, adalah plasenta yang menutupi sebagian
ostium uteri internum.
3. Plasenta previa margianalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium uteri internum.
4. Plasenta letak rendah, yang berarti bahwa plasenta yang berimplantasi
pada segmen bawah rahim yang sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya
berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.
Menurut Perisaei, Sheilendra, Pahay, Rian (2008) plasenta previa
dapat dibagi menjadi empat derajat berdasarkan scan pada ultrasound
yaitu:
1. Derajat I : plasenta sudah melampaui segmen terendah rahim.
2. Derajat II : plasenta sudah mencapai ostium uteri internum.
3. Derajat III : plasenta telah terletak pada sebagian ostium uteri internum.
4. Derajat IV : plasenta telah berada tepat pada segmen bawah rahim.
Menurut de Snoo dalam Mochtar (1998) klasifikasi plasenta previa
14

berdasarkan pembukaan 4 -5 cm yaitu: 1. Plasenta previa sentralis (totalis),


apabila pada pembukaan 4-5 cm teraba plasenta menutupi seluruh ostea. 2.
Plasenta previa lateralis, apabila pada pembukaan 4-5 cm sebagian
pembukaan ditutupi oleh plasenta, dibagi 2 : Plasenta previa lateralis
posterior; bila sebagian menutupi ostea bagian belakang. Plasenta previa
lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea bagian depan. Plasenta
previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir ostea yang
ditutupi plasenta.
5. Patofisiologi Plasenta Previa
Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa
umumnya terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah
uterus lebih mengalami perubahan berkaitan dengan semakin tuanya
kehamilan, segmen bawah uterus akan semakin melebar, dan serviks mulai
membuka. Perdarahan ini terjadi apabila plasenta terletak diatas ostium
uteri interna atau di bagian bawah segmen rahim. Pembentukan segmen
bawah rahim dan pembukaan ostium interna akan menyebabkan robekan
plasenta pada tempat perlekatannya. Darah yang berwarna merah segar,
sumber perdarahan dari plasenta previa ini ialah sinus uterus yang robek
karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus
marginalis dari plasenta. Perdarahannnya tak dapat dihindarkan karena
ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi
menghentikan perdarahan tersebut, tidak sama dengan serabut otot uterus
menghentikan perdarahan pada kala III pada plasenta yang letaknya
normal. Semakin rendah letak plasenta, maka semakin dini perdarahan
yang terjadi. Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan
terjadi lebih dini daripada plasenta letak rendah yang mungkin baru
berdarah setelah persalinan mulai.
6. Gambaran klinis Plasenta Previa
Ciri yang menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus
yang keluar melalui vagina tanpa disertai dengan adanya nyeri. Perdarahan
biasanya terjadi diatas akhir trimester kedua. Perdarahan pertama
15

berlangsung tidak banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun perdarahan


dapat kembali terjadi tanpa sebab yang jelas setelah beberapa waktu
kemudian. Dan saat perdarahan berulang biasanya perdarahan yang terjadi
lebih banyak dan bahkan sampai mengalir. Karena letak plasenta pada
plasenta previa berada pada bagian bawah, maka pada palpasi abdomen
sering teraba bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis dengan
letak janin tidak dalam letak memanjang. Pada plasenta previa ini tidak
ditemui nyeri maupun tegang pada perut ibu saat dilakukan palpasi.
7. Diagnosis Plasenta Previa
Apabila plasenta previa terdeteksi pada akhir tahun pertama atau
trimester kedua, sering kali lokasi plasenta akan bergeser ketika rahim
membesar. Untuk memastikannya dapat dilakukan pemeriksaan USG,
namun bagi beberapa wanita mungkin bahkan tidak terdiagnosis sampai
persalinan, terutama dalam kasuskasus plasenta previa sebagian.
Menurut Mochtar (1998) diagnosa dari plasenta previa bisa
ditegakkan dengan adanya gejala klinis dan beberapa pemeriksaan yaitu:
1. Anamnesia, pada saat anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang
berkaitan dengan perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat
terjadinya perdarahan, apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya
perdarahan, frekuensi serta banyaknya perdarahan (Wiknjosastro, 2007)
2. Inspeksi, dapat dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui
vagina, darah beku, dan sebagainya. Apabila dijumpai perdarahan yang
banyak maka ibu akan terlihat pucat (Mochtar, 1998).
3. Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi
fundus uteri yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai
bahwa bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya
kepala masih bergoyang, terapung atau mengolak di atas pintu atas
panggul (Mochtar, 1998).
4. Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati
dilihat dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat
kelainan pada serviks, vagina, varises pecah, dll (Mochtar, 1998).
16

5. Pemeriksaan radio-isotop : Plasentografi jaringan lunak, Sitografi,


Plasentografi indirek, Arteriograf, Amniografi, Radio isotop plasentografi
6. Ultrasonografi, transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung
kemih yang dikosongkan akan memberikan kepastian diagnosa plasenta
previa. Walaupun transvaginal ultrasonografi lebih superior untuk
mendeteksi keadaan ostium uteri internum namun sangat jarang
diperlukan, karena di tangan yang tidak ahli cara ini dapat menimbulkan
perdarahan yang lebih banyak (Chalik, 2008). Penentuan lokasi plasenta
secara ultrasonografis sangat tepat dan tidak menimbulkan bahaya radiasi
terhadap janin (Mochtar, 1998).
7. Pemeriksaan dalam, pemeriksaan ini merupakan senjata dan cara paling
akhir yang paling ampuh dalam bidang obstetrik untuk diagnosa plasenta
previa. Walaupun ampuh namun harus berhati-hati karena dapat
menimbulkan perdarahan yang lebih hebat, infeksi, juga menimbulkan his
yang kemudian akan mengakibatkan partus yang prematur. Indikasi
pemeriksaan dalam pada perdarahan antepartum yaitu jika terdapat
perdarahan yang lebih dari 500 cc, perdarahan yang telah berulang, his
telah mulai dan janin sudah dapat hidup diluar janin (Mochtar, 1998). Dan
pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya dibenarkan jika dilakukan
dikamar operasi yang telah siap untuk melakukan operasi dengan segera
(Mose, 2004). Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fornises
dengan hati-hati. Jika tulang kepala teraba, maka kemungkinan plasenta
previa kecil. Namun jika teraba bantalan lunak maka, kemungkinan besar
plasenta previa.
8. Penatalaksanaan Plasenta Previa
Menurut Mose (2004) penatalaksanaan pada plasenta previa dapat
dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Ekspektatif, dilakukan apabila janin masih kecil sehingga
kemungkinan hidup di dunia masih kecil baginya. Sikap ekspektasi
tertentu hanya dapat dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahannya
17

sudah berhenti atau sedikit sekali. Menurut Scearce, (2007) syarat terapi
ekspektatif yaitu:
a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
b. Belum ada tanda-tanda in partu.
c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).
d. Janin masih hidup.
2. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum
terjadi perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya:
kehamilan telah cukup bulan, perdarahan banyak, dan anak telah
meninggal. Terminasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta,
dengan cara ini maka pembuluh-pembuluh darah yang terbuka dapat
tertutup kembali (tamponade pada plasenta).
b. Dengan cara seksio sesarea, yang dimaksud untuk mengosongkan rahim
sehingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain
itu seksio sesarea juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan
segmen bawah rahim yang sering terjadi pada persalinan pervaginam
(Mochtar, 1998). Persalinan seksio sesarea diperlukan hampir pada seluruh
kasus plasenta previa. Pada sebagian besar kasus dilakukan melalui insisi
uterus transversal. Karena perdarahan janin dapat terjadi akibat insisi ke
dalam plasenta anterior.
9. Komplikasi Plasenta Previa
Menurut Dutta (2004) komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi
yaitu: Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan
antepartum yang dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin
sehingga meningkatnya letak bokong dan letak lintang. Selain itu juga
dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Selama persalinan plasenta
previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan lahir, prolaps tali
pusat, perdarahan postpartum, perdarahan intrapartum, serta dapat
menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus dikeluarkan secara
manual atau bahkan dilakukan kuretase. Sedangkan pada janin plasenta
18

previa ini dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan rendah,
munculnya asfiksia, kematian janin dalan uterus, kelainan kongenital serta
cidera akibat intervensi kelahiran.
10. Prognosis Plasenta Previa
Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan
kecepatan perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu
dapat dihindari apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan
segera lakukan pembedahan seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih
burik oleh karena kelahiran yang prematur lebih banyak pada penderita
plasenta previa melalui proses persalinan spontan maupun melalui
tindakan penyelesaian persalinan. Namun perawatan yang intensif pada
neonatus sangat membantu mengurangi kematian perinatal.
B. Anestesi Regional Anestesi Pada Sectio Cesarea Transperitoneal
Anestesi spinal adalah penyuntikan lokal anestesia pada L3-L4
dengan tujuan memasukkan lokal anestesia pada ruang subarachnoid
sehingga mendapatkan efek analgesia. Anestesi spinal lebih aman 16-17
kali dibandingkan anestesi umum. Anestesia spinal juga paling sering
digunakan pada bedah sesar dan menjadi pilihan utama pada pasien
kebidanan sekarang ini karena efek samping yang ditimbulkannya minimal
bagi ibu dan janin. Teknik ini adalah teknik yang sederhana yang dapat
dipelajari dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Ketika obat anestesi lokal disuntikkan ke ruangan subarachnoid
maka obat anestesi lokal akan menghambat konduksi impuls hampir
disetiap saraf yang dia kenai. Untuk beberapa saraf ada yang mudah
terblok dan ada yang sulit terblok. Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan
otonom. Biasanya otonom dan sensorik yang terblok terlebih dahulu
kemudian diikuti oleh motorik. Saraf motorik bertanggung jawab akan
kontraksi dari otot, dan bila di blok otot-otot akan relaks. Saraf sensoris
bertanggung jawab atas sensasi sentuhan dan nyeri. Sedangkan saraf
otonom bertanggung jawab atas dilatasi dari pembuluh darah, denyut nadi
dan pergerakan usus. Pada pasien yang dilakukan anestesi spinal dapat
19

terjadi efek pada sistem pembuluh darah, pernafasan, sistem pencernaan,


kandung kemih serta endokrin dan metabolik.
Efek anestesi spinal pada sistem pencernaan berupa terbloknya
saraf simpatis didaerah thorakolumbal pada sistem pencernaan
menyebabkan meningkatkan motilitas pergerakan usus sehingga peristaltik
pun akan meningkat.Seksio sesarea merupakan prosedur operasi yang
dilakukan pada fetus pada akhir minggu ke-28 melalui penyayatan atau
pengirisan pada dinding perut dan dinding rahim. Seksio sesarea adalah
suatu persalinan buatan, dimana janin yang dilahirkan melalui insisi atau
penyayatan pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim ibu
dalam keadaan baik dan berat janin diatas 500 gram.
Menurut Mochtar (1998) jenis operasi seksio sesarea yaitu:
a. Seksio sesarea transperitonealis:
1. Seksio sesarea klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada
korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Jenis seksio sesarea ini memiliki
kelebihan berupa pengeluaran janin lebih cepat, tidak mengakibatkan
kandung kemih tertarik, serta sayatan bisa diperpanjang proksimal atau
distal. Namun metode persalinan seksio sesare ini dapat menyebabkan
penyebaran infeksi intraabdominal yang lebih mudah karena tidak adanya
reperitonealis yang baik. Serta lebih mudah terjadi ruptur uteri spontan
pada persalinan berikutnya.
2. Seksio sesarea ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi
pada segmen bawah rahim kira-kira 10 cm. Persalinan seksio sesarea jenis
ini memiliki kelebihan yaitu, penjahitan luka yang lebih mudah, penutupan
luka elebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga menyebabkan arteri
uterina putus sehingga dapat mengakibabkan perdarahan yang lebih
banyak, serta keluhan postoperasi yang terjadi pada kandung kemih tinggi.
b. Seksio sesarea ekstraperitonealis, tindakan persalinan ini dilakukan
dengan insisi peritoneum, lipatan peritoneum didorong ke atas dan
kandung kemih ke arah bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus
dibuka dengan insisi pada segmen bawah (Dorland, 2002). Namun
20

pembedahan persalinan ini tidak banyak lagi dilakukan untuk mengurangi


bahaya infeksi puerperal.
C. Obat Premedikasi
Granisetrone
Merupakan suatu antiemetik selektif serotonin 5-HT3 reseptor
yang sangat efektif yang dapat menekan mual dan muntah karena
sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Granisetron mempercepat
pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah. Tetapi
waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi.
Granisetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat ini
terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat
dalam hati. Dosisyang biasanya diberikan untuk premedikasi dosis
tunggal 3mg dan maksimal pemberian 9 mg/hari. Dalam suatu penelitian
kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum
ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi
anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2
jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.5
D. Induksi
Induksi menggunakan Bucain Injeksi yang berisi Bupivacaine.
Bupivacaine adalah obat anestesi lokal jenis amida yang memiliki masa kerja
panjang dan mula kerja yang pendek. Seperti halnya anestesi lokal lainnya,
bupivacaine akan menyebabkan blokade yang bersifat reversibel pada
perambatan impuls sepanjang serabut saraf, dengan cara mencegah
pergerakan ion-ion natrium melalui membran sel, ke dalam sel.

Dosis anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20 mg. Penyebaran


anestesi tergantung pada beberapa faktor, termasuk di dalamnya volume
larutan dan posisi pasien selama dan setelah penyuntikan ke rongga sub-
arachnoid. Harus dipahami bahwa tingkat anestesi spinal yang dicapai oleh
anestesi lokal tidak dapat diperkirakan pada pasien. Bupivacaine dapat
diberikan pada penderita anak-anak. Hanya perlu dipahami bahwa volume
21

cairan serebrospinal pada bayi dan neonatus relatif lebih tinggi dibanding
orang dewasa, sehingga membutuhkan dosis/kg yang relatif lebih besar untuk
menghasilkan block pada level yang sama.
Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak adalah sebagai berikut:
o 0,4 - 0,5 mg/kgBB, untuk bayi dengan BB > 5 kg
o 0,3 - 0,4 mg/kgBB, untuk anak-anak dengan BB 5 - 15 kg
o 0,25 - 0,3 mg/kgBB, untuk anak-anak > 15 kg
Injeksi spinal hanya boleh diberikan jikan ruang subarachnoid sudah
teridentifikasi secara jelas dengan ditandai keluar dan menetesnya cairan
serebrospinal yang jernih, atau terdeteksi oleh aspirasi cairan serebrospinal.
Larutan harus segera digunakan setelah ampul terbuka dan sisanya harus dibuang.
22

BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan


Ny.A menderita placenta previa totalis, sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan
antepartum sehingga perlu dilakukan tindakan terminasi kehamilan dengan sectio cesarea.
Tindakan anestesi yang digunakan dalam operasi ini adalah anestesi spinal, yaitu
penyuntikan lokal anestesia pada L3-L4 dengan tujuan memasukkan lokal
anestesia pada ruang subarachnoid sehingga mendapatkan efek analgesia.
Anestesia spinal menjadi pilihan utama pada pasien kebidanan sekarang ini karena
efek samping yang ditimbulkannya minimal bagi ibu dan janin.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II E (pasien dengan
kelainan ringan atau sedang dalam keadaan emergency). Teknik regional anestesi
dipilih dengan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi Sectio
Caesarea sehingga pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk
mempermudah operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya
sederhana, cukup efektif, dan mudah digunakan.
Pada regional anestesi ini dilakukan premedikasi untuk rumatan anestesi
dengan pemberian granisentron 10-40 mcg/kg untuk profilaksis dari PONV (post
operatif nausea vomiting) pada pasien. Setelah itu, dilakukan induksi anestesi
pada pasien dengan pemberian Bucain. Bucain merupakan obat anestesi lokal
berisi bupivacaine. Bupivacaine mempunyai awitan lambat (sampai dengan 30
menit) tetapi mempunyai durasi kerja yang sangat panjang,sampai dengan 8 jam
bila digunakan untuk blok syaraf. Lama kerja bupivacaine lebih panjang secara
nyata daripada anestetik lokal yang biasa digunakan. Juga terdapat periode
analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi
untuk membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena berupa
Terastarch dan dilanjutkan dengan Tutofusin .
23

Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor


Bromage. Bila pasien tenang dan Bromage Score < 2, pasien dapat dipindahkan
ke bangsal. Pada kasus ini Bromage Score-nya yaitu 0 pada menit ke 30 sejak
dipindahkan ke ruang RR, sehingga setelah itu pasien dapat dipindahkan ke
bangsal.

V KESIMPULAN
24

BAB V
KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien didiagnosa G1P0A0 hamil 36 minggu dengan


antepartum hemoragi et causa plasenta previa totalis yang dilakukan SCTP
dengan regional anestesi sub arachnoid blok menggunakan obat-obatan
premedikasi dan anestesi intravena yang sesuai. Evaluasi pre operasi pada pasien
dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan lain yang menjadi kontraindikasi
dilakukannya anestesi regional.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American
Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA IIE. Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal dan nilai
bromage score mencapai 0 pada menit ke-30 sehingga pasien bisa dipindahkan ke
bangsal.
25

DAFTAR PUSTAKA

Datta S. Anesthesia for cesarean Delivery. In : Obstetric anesthesia handbook


Fourth edition. Springer, United States of America. 2006: p172- 209 28.

Cunningham F. Gary, dkk. Adaptasi Ibu Terhadap Kehamilan. In: Hartanto


Huriawati (eds.)Obstetri William Vol.1. 21st ed. Jakarta: EGC; 2005. P592
Alan HD, Nathan L, Goodwin M, Laufer N. Tenth edition of Current
diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 29.

Cunningham F. Gary, dkk. Adaptasi Ibu Terhadap Kehamilan. In: Hartanto


Huriawati (eds.)Obstetri William Vol.1. 21st ed. Jakarta: EGC; 2005.
p191-198

Guyton Arthur C.. Sirkulasi. In: Rachman Luqman Yanuar (eds.)Fisiologi


Kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC; 2007. p172 12.

Heriwirdato Aldy. Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between


Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section.
Anestesia & Critical Care.2010;28(2):3

Kleinman W, Mikhail M. Spinal, Epidural dan Caudal Blocks. In : Morgan GE,


Murray Michael J. Clinical anesthesiology. New york : McGraw Hill;
2006; p289-323

Patricia D.Nova. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 25th ed. Jakarta. EGC; 1998.
P975 .

Soenarjo,dkk. Teknik Anestesi Spinal dan Epidural. In: Soenarjo, Heru Dwi
Jatmiko (eds.)Anestesiologi. 1st ed. Semarang: Ikatan Dokter Spesialis
Anestesi dan Reanimasi Cabang Jawa - Tengah ; 2010. P285-294

Sherwood Lauralee. Fisiologi Jantung. In: Santoso I beatricia (eds.)Fisiologi


Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2001. p298-306
26

Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FK UI.


Jakarta.2000.

Anda mungkin juga menyukai