Pembimbing:
dr. Suryono Wibowo, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PUSKESMAS BANJAR III KOTA BANJAR
2019
A. DEFINISI
Demam berdarah dengue (DBD) adalah infeksi akut yang
disebabkan oleh arbovirus (arthropadborn virus) dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes (Aedes albopictuse dan Aedes aegypti). Sampai
sekarang dikenal ada 4 jenis virus dangue yang dapat menimbulkan
penyakit, baik demam dangue maupun demam berdarah. Demam berdarah
dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dangue I, II, II, dan IV
yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albocpitus.2
B. EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara,
Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan
sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6
hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk
pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada tahun 1999. Selama bulan januari 2019, tercatat ada
13.683 kasus demam berdarah di Indonesia. Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).1
C. ETIOLOGI
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan
demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.1
1
D. PATOGENESIS
2
pembekuan darah. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan
fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup
banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan darah
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel
kapiler.6
E. PERJALANAN PENYAKIT
1. Fase Demam
Pasien biasanya mengalami demam tingkat tinggi secara tiba-tiba.
Fase demam akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai
3
dengan pembilasan wajah, eritema kulit, nyeri tubuh menyeluruh, mialgia,
artralgia, nyeri mata orbital retro, fotofobia, eksantema rubeliform dan
sakit kepala. Beberapa pasien mungkin menderita sakit tenggorokan,
faring yang terinfeksi, dan injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual dan
muntah sering terjadi.
Mungkin sulit untuk membedakan secara klinis demam berdarah
dari penyakit demam non-demam berdarah pada fase demam awal. Tes
tourniquet positif dalam fase ini menunjukkan kemungkinan peningkatan
demam berdarah. Namun, gambaran klinis ini tidak memprediksi
keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk memantau
tanda-tanda peringatan dan parameter klinis lainnya (Kotak Teks C) untuk
mengenali perkembangan ke fase kritis.
Manifestasi hemoragik ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (mis. Hidung dan gusi) dapat terlihat. Dalam beberapa
kasus, memar dan pendarahan yang mudah di lokasi enepuncture.
Abnormalitas paling awal dalam hitung darah lengkap adalah penurunan
progresif dalam jumlah total sel darah putih, yang seharusnya membuat
dokter waspada terhadap kemungkinan tinggi demam berdarah.
2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase demam ke fase demam, pasien tanpa
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melalui fase kritis.
Alih-alih membaik dengan penurunan demam tinggi; pasien dengan
permeabilitas kapiler yang meningkat dapat bermanifestasi dengan tanda-
tanda peringatan, sebagian besar sebagai akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda peringatan (dirangkum dalam Kotak Teks C)
menandai awal fase kritis. Pasien-pasien ini menjadi lebih buruk di sekitar
waktu penurunan suhu, ketika suhunya turun menjadi 37,5-38 ° C atau
kurang dan tetap di bawah tingkat ini, biasanya pada hari ke 3–8 sakit.
Leukopenia progresif yang diikuti dengan penurunan jumlah trombosit
yang cepat biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan
hematokrit di atas baseline mungkin merupakan salah satu tanda tambahan
paling awal. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis
4
biasanya berlangsung selama 24−48 jam. Tingkat kebocoran plasma
bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah
(BP) dan volume nadi.
Tingkat hemokonsentrasi di atas hematokrit awal mencerminkan
tingkat keparahan kebocoran plasma; Namun, ini dapat dikurangi dengan
terapi cairan intravena dini. Oleh karena itu, penentuan hematokrit yang
sering sangat penting karena menandakan perlunya penyesuaian yang
mungkin untuk terapi cairan intravena. Efusi pleura dan asites biasanya
hanya terdeteksi secara klinis setelah terapi cairan intravena, kecuali jika
kebocoran plasma bermakna. Radiografi dada dekubitus lateral kanan,
deteksi ultrasonografi cairan bebas di dada atau perut, atau edema dinding
kandung empedu dapat mendahului deteksi klinis. Selain kebocoran
plasma, manifestasi hemoragik seperti mudah memar dan perdarahan di
lokasi venepuncture sering terjadi.
Jika syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang karena
kebocoran, itu sering didahului dengan tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh
mungkin di bawah normal ketika terjadi kejutan. Dengan syok yang dalam
dan / atau lama, hipoperfusi menyebabkan asidosis metabolik, kerusakan
organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini pada
gilirannya dapat menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan
hematokrit menurun pada syok berat. Alih-alih leukopenia biasanya
terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah sel darah putih total dapat
meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan perdarahan hebat.
Selain itu, keterlibatan organ yang parah dapat berkembang seperti
hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan / atau perdarahan hebat, tanpa
kebocoran plasma yang jelas atau syok.
Beberapa pasien berkembang ke fase kritis kebocoran plasma dan
syok sebelum defervesensi; pada pasien ini peningkatan hematokrit dan
onset cepat trombositopenia atau tanda-tanda peringatan, menunjukkan
timbulnya kebocoran plasma. Kasus demam berdarah dengan tanda-tanda
peringatan biasanya akan pulih dengan rehidrasi intravena. Beberapa kasus
akan memburuk menjadi demam berdarah.
5
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien selamat dari fase kritis 24−48 jam, reabsorpsi
bertahap cairan kompartemen ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam
berikutnya. Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik menjadi stabil, dan kemudian
terjadi diuresis. Beberapa pasien memiliki ruam eritematosa atau petechial
konfluen dengan area kecil kulit normal, digambarkan sebagai “isles of
white in the sea of red” ("pulau putih di laut merah"). Beberapa mungkin
mengalami pruritus menyeluruh. Perubahan bradikardia dan
elektrokardiografi sering terjadi selama tahap ini. Hematokrit stabil atau
mungkin lebih rendah karena efek dilusi dari cairan yang diserap kembali.
Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah
defervesensi tetapi pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih lambat dari
jumlah sel darah putih. Distres pernapasan akibat efusi pleura masif dan
asites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase
kritis dan / atau pemulihan jika cairan intravena berlebihan telah diberikan.
F. KLASIFIKASI
Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011
6
perdarahan spontan <100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
≥20%
DBD* III Seperti derajat I atau II Trombositopenia
ditambah kegagalan sirkulasi <100.000 sel/mm3;
(nadi lemah, tekanan nadi ≤ 20 peningkatan hematokrit
mmHg, hipotensi, gelisah, ≥20%
diuresis menurun
DBD* IV Syok hebat dengan tekanan Trombositopenia
darah dan nadi yang tidak <100.000 sel/mm3;
terdeteksi peningkatan hematokrit
≥20%
Diagnosis infeksi dengue: Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi,
dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti
dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)
G. MANIFESTASI KLINIS
7
sudah tidak demam, akan tetapi mempuyai risiko untuk terjadi renjatan
jika tidak mendapat pengobatan adekuat.1
Berdasarkan kriteria WHO (1997) diagnosis ditegakkan bila semua
hal di bawah ini di penuhi, yaitu:
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 sampai 7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu manifestasi perdarahan berikut:
1) Uji bending positif.
2) Ptekie, ekimosis atau purpura
3) Perdarahan mukosa (epitaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain.
4) Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (<100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma), yaitu
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standart sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
2) Penuruan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, hypoproteinemia
atau hiponatremia.
4) Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu
menelan
5) Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare,
konstipasi
6) Keluhan sistem tubuh: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang
dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada
saluran tubuh
H. DIAGNOSIS
WHO membuat kriteria diagnosis DBD ditegakkan jika memenuhi
2 kriteria klinis ditambah dengan 2 kriteria laboratorium dibawah ini:
8
2. Terdapat manifestasi perdarahan seperti
tourniquet positif, petechiae, echimosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis,
perdarahan gusi dan hematemesis dan atau
melena.
3. Pembesaran hati
9
IgG: pada infeksi primer. IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke 2
10) NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama
sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4%
dengan spesifitas 100% sama tingginya dengan spesifitas gold
standard kultur virus. Hasil negatif NS1 tidak menyingkirkan adanya
infeksi virus dengue.
I. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat
kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan
leptospirosis. Seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (< 20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab
serta gelisah.1
J. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien
10
harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.1
11
12
13
14
K. KOMPLIKASI
15
L. PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap perkembangbiakan nyamuk dan gigitan nyamuk
betina Aedes aegypti dan Aedes albopticus yang menggigit pada pagi serta
sore hari merupakan upaya menurunkan attack rate dan menurunkan jumlah
angka kesakitan. Pencegahan di Indonesia terkenal 3M yaitu Menutup,
membuang/membilas, dan meninmbun barang-barang atau tempat yang
kemungkinan menjadi sarang nyamuk.5
M. PROGNOSIS
Mortalitas DBD/DSS cukup tinggi. Pada usia dewasa, prognosis dan perjalanan
penyakit umumnya lebih ringan dibandingkan anak-anak.3
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L. Khie Chen. Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta Interna Publishing: 2014.
2. Soegijanto Soegeng, 2004. Demam Berdarah Dangue. Tinjauan dan Temuan
Baru di Era 2003. Airlangga University Press. Surabaya
3. Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Rachman M, et al. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1996.p.417-26.
4. World health organization (WHO). Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. Geneva: WHO. 2011
5. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005
6. Suvatte V. Immunological Aspect of Dangue Haemorrhagic Fever Studies in
Thailand. South East asian J. Trop Med. Pub Haealth, 1987; 1:312-5.
17