Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari bermu’amalah antara satu
dengan yang lainnya. Mu’amalah sesama manusia senantiasa mengalami perkembangan
dan perubahan sesuai kemajuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu aturan Allah
yang terdapat dalam al-Qur’an tidak mungkin menjangkau seluruh segi pergaulan yang
berubah itu. Itulah sebabnya ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini hanya
bersifat prinsip dalam mu’amalat dan dalam bentuk umum yang mengatur secara garis
besar. Aturan yang lebih khusus datang dari Nabi. Hubungan manusia satu dengan
manusia berkaitan dengan harta diatur agama islam salah satunya dalam jual beli. Jual
beli yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang seharusnya kita mengerti dan kita
pahami. Jual beli seperti apakah yang dibenarkan oleh syara’ dan jual beli manakah yang
tidak diperbolehkan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari jual beli?
2. Apa rukun (unsur) jual beli?
3. Apa landasan hukum dalam jual beli?
4. Bagaimana syarat sah dalam jual beli?
5. Seperti apa saksi dalam jual beli?
6. Bagaimana khiyar dalam jual beli?
7. Apa saja bentuk-bentuk ba’i?
8. Bagaimanakah persyaratan dalam jual beli?
9. Apa saja macam-macam dalam jual beli?
10. Apa saja macam-macam jual beli yang terlarang?
11. Apa hikmah dalam jual beli?

1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian dari jual beli
2. Mengetahui ruku-rukun dalam jual beli
3. Mendapatkan pemahaman tentang landasan hukum dalam jual beli
4. Mengetahui syarat sah dalam jual beli
5. Mengetahui saksi dalam jual beli
6. Memahami khiyar dalam jual beli
7. Mengetahui bentuk-bentuk ba’i
8. Memahami persyaratan jual beli
9. Mengetahui macam-macam jual beli
10. Mengetahui macam-macam jual beli yang terlarang
11. Memahami mengenai hikmah dalam jual beli

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN JUAL BELI

Secara terminology fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual,
mengganti,dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’i dalam
terminology fiqh terkadang dipakai untuk pengertian lawannya,yaitu lafal al-syira yang
berarti membeli. Dengan demikian , al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli
atau jual beli. Menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-ba’i) secara defenitif yaitu tukar-
menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah,Syafi’iyah, dan Hanabilah,
bahwa jual beli (al-ba’i), yaitu tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk
pemindahan milik dan kepemilikan. Dan menurut padal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara
benda dengan uang.

Berdasarkan defenisi diatas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar-menukar
barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitive ketika uang belum
digunakan sebagai alat tukar-menukar barang, yaitu dengan system barter yang dalam
terminology fiqh disebut dengan ba’I al-muqayyadah. Meskipun jual beli dengan system
barter telah ditinggalkan, diganti dengan system mata uang, tetapi terkadang esensi jual
beli seperti itu masih berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar
tetapi diperhitungkan dengan nilai mata uang tertentu, misalnya, Indonesia membeli spare
part kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar.

B. RUKUN (UNSUR) JUAL BELI

Rukun jual beli ada tiga,yaitu:

1. Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.


2. Objek transaksi, yaitu harga dan barang.

3
3. Akad (transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang
menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-
kata maupun perbuatan.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur jual beli ada tiga, yaitu:
1. Pihak-pihak. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian jual beli terdiri atas penjual,
pembeli, dan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
2. Objek. Objek jual beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak
berwujud, yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak, dan yang terdaftar
maupun yang tidak terdaftar. Syarat objek yang diperjualbelikan adalah sebagai
berikut: Barang yang dijualbelikan harus ada, barang yang dijualbelikan harus dapat
diserahkan, barang yang dijualbelikan harus berupa barang yang memiliki nilai/harga
tertentu, barang yang dijualbelikan harus halal,barang yang dijualbelikan harus
diketahui oleh pembeli, kekhususan barang yang dijualbelikan harus diketahui,
penunjukkan dianggap memenuhi syarat langsung oleh pembeli tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut, dan barang yang dijual ditentukan secara pasti pada waktu
akad. Jual beli dapat dilakukan terhadap: barang yang terukur menurut porsi, jumlah,
berat, atau panjang, baik berupa satuan atau keseluruhan, barang yang ditakar atau
ditimbang sesuai jumlah yang ditentukan, sekalipun kapasitas dari takaran dan
timbangan tidak diketahui, dan satuan komponen dari barang yang dipisahkan dari
komponen lain yang telah terjual.
3. Kesepakatan. Kesepakatan dapat dilakukan dengan tulisan, lisan dan isyarat,
ketiganya mempunyai makna hukum yang sama.

Ada dua bentuk akad, yaitu:


1. Akad dengan kata-kata, dinamakan juga dengan ijab Kabul. Ijab, yaitu kata-kata
yang diucapkan terlebih dahulu. Misalnya: Penjual berkata: “Baju ini saya jual
dengan harga Rp. 10.000,-. Kabul, yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian.
Misalnya: Pembeli berkata: “Barang saya terima”.
2. Akad dengan perbuatan, dinamakan juga dengan mu’athah. Misalnya: Pembeli
memberikan uang seharga Rp. 10.000,- kepada penjual, kemudian mengambil barang
yang senilai itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah pihak.

4
C. DASAR HUKUM JUAL BELI

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-
Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :

1. Al Qur’an

Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).

2. Sunnah

Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata
pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya
dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari
Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari
usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus
diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan
hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum
jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Berikut ini adalah contoh bagaimana hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah,
wajib, haram, atau makruh. Jual beli hukumnya sunnah,misalnya dalam jual beli barang
yang hukum menggunakan barangyang diperjual-belikan itu sunnah seperti minyak
wangi. Jual beli hukumnya wajib, misalnya jika ada suatu ketika para pedagang
menimbun beras, sehingga stok beras sedikit dan mengakibatkan harganya pun

5
melambung tinggi. Maka pemerintah boleh memaksa para pedagang beras untuk menjual
beras yang ditimbunnya dengan harga sebelum terjadi pelonjakan harga.

Menurut Islam, para pedagang beras tersebut wajib menjual beras yang ditimbun
sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jual beli hukumnya haram, misalnya jual beli yang
tidak memenuhi rukun dan syarat yang diperbolehkan dalam islam, juga mengandung
unsur penipuan. Jual beli hukumnya makruh, apabila barang yang dijual-belikan
ituhukumnya makruh seperti rokok.

D. SYARAT SAH JUAL BELI

Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan
batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di
masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan
kezaliman.Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan
sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung
berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label
syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada
hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.Jika kita memperhatikan
praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu
konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para
pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ار هُم التُّجار ِإن‬ ُ ‫ويأث ُمون ويح ِلفُون فيك ِذبُون يُح ِدثُون ول ِكن ُهم بلى قال البيع ّللاُ أحل قد أوليس ّللاِ ر‬
ُ ‫سول يا ِقيل قال الفُج‬

“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat),
para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek
jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para
pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang
dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan
perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah
Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz
Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh

6
mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy
Syamilah).

Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan
syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-
batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan.
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata,

ُ ‫يفقهُ من ِإل‬، ‫الربا أكل و ِإ ِل‬


‫سو ِقنا ِفي ي ِبع ل‬ ِ

“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih
(paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”

Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam
4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk
diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam
praktek perniagaan yang menyimpang.

 Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli,


baik penjual maupun pembeli, yaitu:

Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa
ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:

‫اط ِل بين ُكم أموال ُكم تأ ُكلُوا ل آمنُوا الذِين أيُّها يا‬
ِ ‫ِمن ُكم تراض عن تِجارة ت ُكون أن ِإل ِبالب‬

“janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian”
(QS. An-Nisaa’: 29)

Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia
adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang),
sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang
gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini

7
merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik
manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam
bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi
mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam
transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.

 Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan,


syarat-syaratnya yaitu:

Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang
yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang
yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan. Objek jual beli
merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya
apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ِعندك ليس ما ت ِبع ل‬

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud
3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan
434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan


miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang
dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida
pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau
memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor
3642)

Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung
yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena
mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat
diserahkan.Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh
kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan

8
menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual)
dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)

Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang


ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫له ُ بينهُ ِإل عيب فِي ِه بيعا أ ِخي ِه ِمن باع ِل ُمس ِلم ي ِح ُّل ل ال ُمس ِل ِم أ ُخو ال ُمس ِل ُم‬

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi
seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada
saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu
kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi
V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

‫ ِمنا فليس غشنا من‬، ‫ع والمك ُر‬


ُ ‫ار فِي وال ِخدا‬
ِ ‫الن‬

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari
golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR.
Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam
Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

E. SAKSI DALAM JUAL BELI

Dalam setiap mu’amalah keberadaan saksi dihukumkan sunnah oleh syariat.


Peristiwa jual-beli di atas dipakai sebagai contoh: Setelah melakukan akad jual-beli
dengan tempo pembayaran tiga hari, seorang pembeli dan penjual pun berpisah. Tiga hari
kemudian, ketika pembeli melakukan pembayaran, terjadilah perselisihan soal harga
barang. Seandainya saja ada saksi yang mengetahui akad jual-beli tadi, tentu hal ini tak
perlu terjadi.

9
Dalil Tentang Saksi Dalam Jual Beli

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya.Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

F. KHIYAR DALAM JUAL BELI

Khiyar secara kata memiliki arti pemilihan. Dalam jual beli, pemilihan adalah hal
alamiah yang dilakukan oleh pembeli terhadap penjual. Hal ini ternyata dalam islam
menjadi sebuah aturan tersendiri, mengenai bagaimana etika atau hal-hal yang harus
diperhatikan dalam proses jual beli khususnya pada aspek pemilihan.

Tentunya dalam bisnis, khiyar adalah hal yang perlu dipertimbangkan dan juga
dipahami, baik oleh penjual ataupun pembeli.Khiyar dalam konteks jual beli bisa

10
memiliki beberapa maksud. Hal ini diantaranya adalah hak memilih yang diberikan
kepada dua belah pihak (penjual dan pembeli). Penjual dan pembeli memiliki hak yang
sama untuk melangsungkan jual beli serta mengikuti syarat-syarat jual beli. Tujuan
adanya khiyar adalah agar kedua belah pihak (baik penjual ataupun pembeli) tidak akan
mengalami kerugian atau penyesalan setelah transaksi yang diakibatkan dari sebab-sebab
tertentu dari proses jual beli yang dilakukan. Atau hal yang terkait mengenai barang
ataupun harga. Berikut adalah penjelasan mengenai khiyar dalam jual beli.

Jenis-Jenis Khiyar dalam Jual Beli

a) Khiyar Majlis

Pemilihan jenis ini adalah pemilihan yang dilakukan dalam satu majelis akad jual
beli. Diantara kedua belah pihak memiliki hak untuk memilih. Selain itu juga dapat
meneruskan jual beli yang telah disepakati atau di akadkan dalam majelis tersebut.
Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.

“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari
mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih
berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain.
Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual
beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli
itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka
jual beli telah terjadi (juga)” (HR Bukhari dan Muslim)

b) Khiyar Syarat

Khiar syarat adalah hak memilih berdasarkan persyaratan. Pada saat akad jual
beli, maka pembeli atau penjual dapat memilih atau meneruskan atau membatalkan
proses transaksi jual beli denan batasan waktu yang ditentukan. Setelah waktu yang
ditentukan tiba, maka proses transaksi jual beli itu wajib dipastikan apakah dilanjut
atau tidak.

Hadist-hadist yang berkenaan dengan khiyar syarat adalah sebagai berikut:

“Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah saw
bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual beli nya
selama mereka belum berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya

11
(transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua
menyembunyikan atau berdusta, niscaya akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka
berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli
dengan akad khiyar.” (HR. Bukhari dan Muslim, dsb)

“Dua orang yang melakukan jual beli, masing-masing mereka memiliki hak untuk
memilih atas saudaranya (teman akadnya) selama mereka berdua belum berpisah kecuali
jual beli dengan menggunakan akad khiyar.” (HR. Muslim).

“Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan jangan menipu. Jika kamu
membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela maka
ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah)

c) Khiyar Aib

Khiyar aib adalah halk pilih karena adanya cacat pada barang. Hak ini untuk
memilih, bisa membatalkan atau menerusan akad jual beli jika ada kecacatan (aib)
pada objek atau barang yang diperjual belikan. Hal ini terjadi karena pembeli tidak
mengetahui adanya kecacatan pada saat akad berlangsung. Jika pembeli saat
mengandung kecacatan barang dan baru mengetahuinya seelah terpisah, maka si
pembeli memiliki hak untuk kembali pada penjual dan meminta ganti barang yang
lebih baik sesuai perjanjian awal atau meminta kembalikan uang sesuai dengan
perbandingan kerusakannya.

Hal ini didasari dari hadist berikut:“Muslim yang satu dengan Muslim lainnya
adalah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada
muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus
menjelaskannya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-
Thabrani)

Jika terjadi perselisihan diantara penjual dan pembeli, maka Rasulullah


menyampaikannya dalam hadist berikut: “Apabila penjual dan pembeli berselisih
maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki
hak pilih”. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

12
G. BENTUK-BENTUK BA’I

Dari berbagai tinjauan, ba’I dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Berikut ini
bentuk-bentuk ba’i:

1. Ditinjau dari sisi objek akad ba’i yang menjadi:


1. Tukar-menukar uang dengan barang. Ini bentuk ba’I berdasarkan konotasinya.
Misalnya: tukar-menukar mobil dengan rupiah.
2. Tukar-menukar barang dengan barang,disebut juga dengan muqayadhah
(barter). Misalnya:tukar-menukar buku dengan jam.
3. Tukar-menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf. Misalnya:
tukar-menukar rupiah dengN REAL.
2. Ditinjau dari sisi waktu serah terima, ba’i dibagi menjadi empat bentuk:
a) Barang dan uang serah terima dengan tunai, ini bentuk asal ba’i
b) Uang dibayar dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini
dinamakan salam
c) Barng diterima di muka dan uang menyusul,disebut dengan ba’i ajal (jual beli
tidak tunai). Misalnya jual beli kredit.
d) Barang dan uang tidak tunai, disebut ba’i dain bi dain (jual beli utang dengan
utang).
3. Ditinjau dari cara menetapkan harga, ba’i dibagi menjadi:
a) Bai musawamah (jual beli dengan cara tawar-menawar), yaitu jual beli dimana
pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan
harga tertentu dan membuka peluang untuk ditawar.
b) Ba’i amanah, yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok
barang lalu menyebutkan harga jual barang tersebut.

H. PERSYARATAN DALAM JUAL BELI

Berbeda antara syarat jual beli dan persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli itu
ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam jual beli ditetapkan
oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Bila syarat sah jual beli dilanggar, maka akad yang
dilakukan tidak sah, namun bilamana persyaratan dalam jual beli yang dilanggar, maka
akadnya tetap sah hanya saja pihak yang memberikan persyaratan berhak khiyar untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.

13
Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka
dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini
berdasarkan kepada firman Allah: “hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad
itu.(QS. Al-maidah (5): 1.) Dan Hadis Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Amru Bin
Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “orang islam itu terikat dengan persyaratan (yang
mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram.” (HR.Tirmidzi)

Melihat hadis diatas, maka persyaratan dalam jual beli terbagi kepada dua, yaitu:

1. Persyaratan yang dibenarkan agama.


2. Persyaratan yang dilarang agama.

Adapun persyaratan yang dibenarkan agama,misalnya :


1. Persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad. Misalnya: seseorang membeli
mobil dan mempersyaratkan kepada penjual agar menanggung cacatnya. Jaminan
barang bebas dari cacat sudah menjadi kewajiban penjual baik diisyaratkan oleh
pembeli maupun tidak, akan tetapi persyaratan disini bisa bertujuan sebagai
penekanan.
2. Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin
(penjamin)atau barang agunan. Biasanya untuk jual beli ini tidak tunai (kredit).
Dan bilamana pembeli terlambat memenuhi angsuran, maka penjual berhak
menuntut penjamin untuk membayar atau berhak menjual barang agunan serta
menutupi angsuran dari hasil penjualan barang tersebut.
3. Persyaratan washfiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan kriteria tertentu
pada barang atau cara tertentu pada pembayaran. Misalnya: pembeli mensyaratkan
warna mobil yang diinginkannya hijau atau pembayaran tidak tunai.
4. Persyaratan manfaat pada barang. Misalnya: penjual mobil mensyaratkan
memakai mobil tersebut salama satu minggu sejak akad, atau pembeli kain
mensyaratkan penjual untuk menjahitnya.
5. Persyaratan taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang
bertentangan dengan kewenangan kepemilikan. Misalnya: penjual tanah
mensyaratkan pembeli untuk tidak menjualnya ke orang lain karena tanah
tersbebut berseblahan dengan rumahnya dan ia tidak ingin mendapatkan tetangga
yang kurang baik.

14
6. Persyaratan akad fi akad, yaitu menggabungkan akad dua akad dalam satu akad.
Misalnya: penjual berkata, “saya jual mobil ini kepadamu seharga
Rp.40.000.000,- dengan syarat anda jual rumah anda kepada saya seharga Rp.
150.000.000,-. Persyaratan ini dibolehkan selama salah satu akadnya bukan akad
qardh.
7. Syarat jaza’i (persyaratan denda/kausul penalty), yaitu persyaratan yang terdapat
dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak
terpenuhi. Persyaratan ini dibolehkan jika objek-objek akadnya adalah kerja dan
bukan harta. Misalnya seorang menjual mobil secara kredit dan memberikan
persyaratan denda keterlambatan pembayaran angsuran kepada pembeli sebanyak
satu persen dari harga keseluruhan untuksetiap bulan terlambat.
8. Syarat takliqiyyah, misalnya penjual berkata :”saya jual mobil ini kepadamu
seharga Rp.50.000.000,- jika orang tuaku setuju. Lalu pembeli berkata : “saya
terima”. Dan jika orang tuanya setuju maka akad menjadi sah.

Adapun persyaratan yang dilarang agama, misalnya:


1. Persyaratkan yang menggabungkan akad qardh dan ba’i, misalnya: Pak Ahmad
meminjamkan uang kepada Pak Khalid sebanyak Rp.50.000.000,- dan akan
dikembalikan dalam jumlah yang sama dengan syarat Pak Khalid menjual
mobilnya kepada Pak Ahmad dengan harga Rp.30.000.000,-
Persyaratan ini hukumnya haram karena merupakan media menuju riba, karena
harga mobil Pak Ahmad mungkin lebih mahal daripada tawaran Pak Ahmad, akan
tetapi ia merasa sungkan menaikkan harga mobil mengingat pinjaman yang akan
diberikannya. Rasulullah SAW bersabda: “tidak dihalalkan menggabung akad
pinjaman uang dengan kad ba’i.” (HR.Abu Daud)
2. Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya, seseorang menjual
mobilnya dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepada pembeli.
Persyaratan ini bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad ba’i adalah
perpindahan kepemilikan barang dari penjuan kepada pembeli dan dengan adanya
persyaratan ini maka akad ba’i menjadi semu. Inilah bentuk-bentuk persyaratan
yang tidak dibenarkan dan tidak wajid dipenuhi, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“setiap persyaratan yang bertentangan dengan agama Allah tidak sah sekalipun
berjumlah 100 persyaratan” (HR.Bukhari Muslim).

15
I. MACAM-MACAM JUAL BELI

Ada tiga macam jual beli:

1. Menjual barang yang dapat dilihat. Hukumnya boleh jika barang yang dijual suci,
bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.
2. Menjual sesuatu yang ditentukan sifatnya dan diserahkan kemudian. Ini adalah
jenis “salam” (pembayarannya lebih jual beli ini tidak boleh dulu), hukumnya
boleh.
3. Menjual barang yang tidak ada dan tidak dapat dilihat oleh penjual dan pembeli
atau salah satu dari mereka. Atau barangnya ada, tetapi tidak diperlihatkan. Maka
jual beli ini tidak boleh, karena penjualan yang tersembunyi yang dilarang.
Penjualan gharar adalah penjualan yang tidak diketahui.

J. MACAM-MACAM JUAL BELI TERLARANG

1. Jual beli gharar

Adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan dan penghianatan. Hadist Nabi
dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim:

‫الغرر بيع وعن الحصاة بيع عن وسلم عليه هللا صلى هللا رسول نهى‬.

2. Jual beli mulaqih (‫)المالقيح‬

Adalah jual beli dimana barang yang dijual berupa hewan yang masih dalam bibit
jantan sebelum bersetubuh dengan betina. Hadist dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh al-Bazzar:

‫والمالقيح المضامين بيع عن نهى وسلم عليه هللا صلى هللا رسول أن‬

3. Jual beli mudhamin (‫ )المضامين‬Adalah jual beli hewan yang masih dalam perut
induknya,

4. Jual beli muhaqolah (‫ )المحاقلة‬Adalah jual beli buah buahan yang masih ada di
tangkainya dan belum layak untuk dimakan.

5. Jual beli munabadzah (‫ )المنابذة‬Adalah tukar menukar kurma basah dengan kurma
kering dan tukar menukar anggur basah dengan anggur kering dengan menggunakan
alat ukur takaran.

16
6. Jual beli mukhabarah (‫ )المخابرة‬Adalah muamalah dengan penggunaan tanah dengan
imbalan bagian dari apa yang dihasilkan oleh tanah tersebut.

7. Jual beli tsunaya (‫ )الثنيا‬Adalah jual beli dengan harga tertentu, sedangkan barang
yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak
jelas.

8. Jual beli ‘asb al-fahl (‫ )عسبالفحل‬Adalah memperjual-belikan bibit pejantan hewan


untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak.

9. Jual beli mulamasah (‫ )المالمسة‬Adalah jual beli antara dua pihak, yang satu
diantaranya menyentuh pakaian pihak lain yang diperjual-belikan waktu malam atau
siang.

10. Jual beli munabadzah (‫ )المنابذة‬Adalah jual beli dengan melemparkan apa yang ada
padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari barang yang
dijadikan objek jual beli.

K. HIKMAH JUAL BELI

Allah Swt mensyari’atkan jual beli sebagai bagian dari bentuk ta’awun (saling
menolong) antar sesama manusia, juga sebagai pemberian keleluasaan, karena
manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, papan dsb.
Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup.

Tak seorangpun dapat memenuhi seluruh hajat hidupnya sendiri, karena itu
manusia dituntut berhubungan satu sama lain dalam bentuk saling tukar barang.
Manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan
dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk
mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka akan mudah bagi setiap individu
untuk memenuhi kebutuhannya.

17
Berikut ini adalah hikmah jual beli,antara lain:

1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang


menghargai hak milik orang lain.
2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
3. Masing-masing pihak merasa puas, baik ketika penjual melepas barang
dagangannya dengan imbalan, maupun pembeli membayar dan menerima
barang.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau
secara bathil.
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt. Bahkan 90% sumber rezeki
berputar dalam aktifitas perdagangan.
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a) Jual beli adalah transaksi tukar menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak
kepemilikan, dan hal itu dapat terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan
maupun perbuatan. Tentang disyariatkannya jual beli tercantum dalam alquran,
sunnah, ijma’, dan qiyas. Jumhur ulama membagi jual beli menjadi dua, yaitu jual
beli yang shahih dan jual beli yang batal.Apabila rukun dan syarat jual beli
terpenuhi, maka jual belisah/shahih/halal.Sebaliknya apabila rukun dan syarat jual
beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.

b) Rukun jual beli ada tiga,yaitu:


1. Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.
2. Objek transaksi, yaitu harga dan barang.
3. Akad (transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak
yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu
berbentuk kata-kata maupun perbuatan.

c) Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-
Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1. Al Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’

d) Terdapat 2 syarat sah dalam jual beli:


 Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik
penjual maupun pembeli
 Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-
syaratnya

19
e) Saksi dalam jual beli

Dalam setiap mu’amalah keberadaan saksi dihukumkan sunnah oleh syariat.


Peristiwa jual-beli di atas dipakai sebagai contoh: Setelah melakukan akad jual-
beli dengan tempo pembayaran tiga hari, seorang pembeli dan penjual pun
berpisah. Tiga hari kemudian, ketika pembeli melakukan pembayaran, terjadilah
perselisihan soal harga barang. Seandainya saja ada saksi yang mengetahui akad
jual-beli tadi, tentu hal ini tak perlu terjadi.

f) Jenis-Jenis Khiyar dalam Jual Beli


1. Khiyar Majlis
2. Khiyar Syarat
3. Khiyar Aib

g) Bentuk-bentuk ba’i
1. Ba’i ditinjau dari sisi objek akad.
2. Ba’i ditinjau dari sisi waktu serah terima.
3. Ba’i ditinjau dari cara menetapkan harga.

h) Persyaratan dalam jual beli terbagi kepada dua, yaitu:


1. Persyaratan yang dibenarkan agama.
2. Persyaratan yang dilarang agama.

i) Macam-macam jual beli:

Ada tiga macam jual beli:

1. Menjual barang yang dapat dilihat. Hukumnya boleh jika barang yang dijual
suci, bermanfaat dan memenuhi rukun jual beli.
2. Menjual sesuatu yang ditentukan sifatnya dan diserahkan kemudian. Ini
adalah jenis “salam” (pembayarannya lebih jual beli ini tidak boleh dulu),
hukumnya boleh.
3. Menjual barang yang tidak ada dan tidak dapat dilihat oleh penjual dan
pembeli atau salah satu dari mereka. Atau barangnya ada, tetapi tidak
diperlihatkan. Maka jual beli ini tidak boleh, karena penjualan yang

20
tersembunyi yang dilarang. Penjualan gharar adalah penjualan yang tidak
diketahui.

j) Macam-macam jual beli terlarang:

1. Jual beli gharar

2. Jual beli mulaqih (‫)المالقيح‬

3. Jual beli mudhamin (‫)المضامين‬

4. Jual beli muhaqolah (‫)المحاقلة‬

5. Jual beli munabadzah (‫)المنابذة‬

6. Jual beli mukhabarah (‫)المخابرة‬

7. Jual beli tsunaya (‫)الثنيا‬

8. Jual beli ‘asb al-fahl (‫)عسبالفحل‬

9. Jual beli mulamasah (‫)المالمسة‬

10. Jual beli munabadzah (‫)المنابذة‬

k) Hikmah dalam jual beli:


Hikmah jual beli,antara lain:
1. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
2. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
3. Masing-masing pihak merasa puas, baik ketika penjual melepas barang
dagangannya dengan imbalan, maupun pembeli membayar dan menerima
barang.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram
atau secara bathil.
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt. Bahkan 90% sumber
rezeki berputar dalam aktifitas perdagangan.
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

21
B. Saran

Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun
pada zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu,
sering terjadi penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban
sebaiknya kita berhati-hati dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan
hukum islam dalam interaksinya.

22
DAFTAR PUSTAKA

http://belajarbersamaame.blogspot.com/2014/03/makalah-jual-beli-dalam-hukum-islam.html

http://hukumjualbelidalamislam.blogspot.com/2013/05/pengertian-dan-dasar-hukum-jual-
beli.html

http://www.dialah.com/2013/11/makalah-jual-beli-barang-menurut-islam.html

Syarat dan Rukun Jual Beli Menurut Islam - Altundo.comwww.altundo.com


saksi dalam jual beli syariah - Penelusuran Googlewww.google.co.id

FIQH EKONOMI SYARIAH, Fiqh Muamalah Edisi Pertama, Penulis: Dr. Mardani.
Percetakan: PT. Fajar Interpertama Mandiri. Devisi Penerbit Kencana. Penerbit:PRENADA
MEDIA GROUB Tahun 2013

23

Anda mungkin juga menyukai