Bakteri, bersama-sama dengan jamur dan virus dapat menyebabkan banyak penyakit
kulit. Infeksi bakteri pada kulit yang sering dijumpai adalah pyoderma. Pyoderma adalah
infeksi kulit akibat bakteri. Infeksi kulit terjadi saat integritas permukaan kulit telah rusak.
Kulit mengalami maserasi akibat pemaparan kronis dari tempat yang lembab, kemudian
flora bakteri kulit berubah, sirkulasi di kulit rusak, dan terjadi kerusakan terhadap
kekebalan. Sebagian besar kasus pyoderma disebabkan oleh Staphylococcus
intermedius, juga dapat disebabkan oleh Pasteurella multocida. Kejadian pyoderma yang
dalam merupakan komplikasi dengan bakteri gram negatif seperti Escherichia coli,
Proteus sp, dan Pseudomonas sp.
Kemudian ada lagi pengertian lagi yang mengatakan bahwa Pioderma adalah infeksi kulit
yang disebabkan oleh staphylococcus aureus atau streptococcus beta hemoliticus.
Pioderma itu berasal dari kata pio dan derma. Pio berarti nanah, dan derma berarti kulit,
dengan kata lain artinya kulit bernanah. Nanah dalam pioderma berisi bakteri hidup dan
bisa menular. Pioderma yang merupakan infeksi bakteri pada kulit ini dapat bersifat
superficial (hanya sebatas di epidermis) atau profunda (lebih dalam mencapai dermis).
Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan infeksi bakteri pada folikel (akar) rambut
di kulit yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus. Jadi pioderma adalah terminologi
umum untuk penyakit-penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman (bakteri),
terutama Streptococcus beta hemolyticus atau Staphylococcus aureus.
(Resnick SD. Staphylococcal and Streptococcal skin infections: Pyodermas and toxin-
mediated syndromes. In: Harper J, Oranje A, Prose N, editor. Textbook of pediatric
dermatology. Edisi 2. Oxford: Blackwell ScienceLtd:2006 .p.455-8.
Surabaya.200
Etiologi
Penyebab yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus B hemolitikus.
Penyebab pioderma adalah infeksi bakteri pada folikel (akar) rambut di kulit, yang
disebabkan oleh bakteri misalnya Staphylococcus aureus yang merupakan sel-sel
berbentuk bola atau coccus Gram positif yang berpasangan berempat dan berkelompok.
Staphylococcus aureus merupakan bentuk koagulase positif, ini yang membedakannya
dari spesies lain, dan merupakan patogen utama bagi manusia. Pada Staphylococcus
koagulase negatif merupakan flora normal manusia. Staphylococcus menghasilkan
katalase yang membedakannya dengan streptococcus.
Gandhi S, Ojha AK, Ranjan, Neelima. Clinical and Bacteriological Aspects of Pyoderma.
N Am J Med Sci. 2012;4:492–5.
Epidemiologi
Pioderma merupakan jenis penyakit kulit yang paling sering didapatkan di negara-negara
berkembang, terutama daerah tropis. Sebuah laporan yang ditulis Bowen berdasarkan
18 studi prevalensi populasi umum di negara-negara berkembang pada tahun 2015
menunjukkan prevalensi tinggi untuk infeksi kulit (21- 87%). Dalam penelitian Bowen
tersebut pioderma adalah penyakit yang paling sering ditemukan pada anak (0,2-35%).5
Pioderma menempati urutan empat besar jumlah kunjungan rawat jalan di Indonesia.
Pioderma pada anak memiliki tingkat prevalensi lebih tinggi dari dewasa (terutama anak
dibawah 5 tahun).5,6 Pada September 2014, menurut data dari penelitian Azizah, pasien
terbanyak yang datang ke RS Karitas Sumba adalah anak-anak (66,7%) dengan
diagnosis penyakit infeksi pada kulit (57,7%).7 Studi oleh Dewi di RSU Dr. Soetomo
Surabaya periode Januari 2002-Desember 2006 mendapatkan pioderma sebagai salah
satu dari lima penyakit kulit terbanyak pada anak, dengan kelompok usia yang paling
banyak menderita pioderma yaitu 1-4 tahun.6 Data insiden pioderma di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RS Sanglah Denpasar yang dilaporkan Laksmi, selama periode Januari
2006-Desember 2008 menunjukkan 6,5% (287 kasus), 6,23% (267 kasus), 4,5% (175
kasus).8 Di Poliklinik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado, Harahap melaporkan tahun
2009-2011 pioderma pada anak merupakan infeksi kulit yang paling sering dengan
jumlah 151 kasus (25,38%).9 Pada tahun 2012 di RS yang sama, Pangow melaporkan
jumlah pasien anak dengan pioderma berjumlah 53 kasus (16,51%).10
(1. Bowen AC, Mahé A, Hay RJ, Andrews RM, Steer AC, Tong SYC, et al. The Global
Epidemiology of Impetigo: A Systematic Review of the Population Prevalence of
Impetigo and Pyoderma. Journal. 2015;3-10.
(2. Azizah F. Frekuensi penyakit kulit di RS Karitas Sumba Barat Daya September
2014. Frekuensi penyakit kulit. 2014;2:147-50. 8. Laksmi Dewi BAAA, D
(3. Dewi KD. Penelitian retrospektif pioderma pada anak di Instalasi Rawat Inap
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Berkala Ilmu
Kesehatan K
(4. Laksmi Dewi BAAA, Dhana Saputra IPK, Rusyati LM, Bratiartha MD, Adiguna MS.
Profil Pioderma di Poliklinik Klinik dan Kelamin RS Sanglah Denpasar Periode
Januari 2006-Desember 2008. Penatalaksanaan pioderma terkini. PERDOSKI.
2014;41:85-90.
(5. Harahap J. Pola infeksi kulit pada anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof.
Dr. R.D Kandou Manado tahun 2009-2011 [Skripsi]. [Manado]: Fakultas
Kedokteran UNSRAT; 2013.
Klasifikasi
1. Pioderma primer
Infeksi ini terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
2. Pioderma sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak khas dana
mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai pioderma sekunder
disebut impegigenisata, contohnya dermatitis impegenisata, scabies
impegenisata. Tanda impegenisata adalah terdapatnya pus, pustule bula purulent,
krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening regional,
leukositosis dan dapat pula disertai demam.
Pioderma terbagi menjadi beberapa jenis menjadi beberapa macam, yaitu
a. . Impetigo Impetigo merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh stafilokokus
aurea atau kadang-kadang oleh streptokokus dan hanya terjadi pada lapisan kulit
dermis. Biasanya tak disertai gejala konstitusi (gejala infeksi pada tubuh manusia
seperti demam, nyeri, lesu,dan lainnya). Pada kulit penderita terlihat lepuh dan
gelembung yang berisi cairan. Penyakit ini mudah menular pada anak lain atau
dirinya sendiri. Impetigo ada 2, yaitu :
1. Impetigo krustosa/kontagiosa (istilah awamnya, cacar madu) merupakan
kelainan yang terjadi di sekitar lubang hidung dan mulut. Ciri-cirinya, yaitu
kemerahan kulit dan lepuh yang cepat memecah sehingga meninggalkan
keropeng tebal warna kuning serupa madu. Bila keropeng dilepaskan, terlihat
luka lecet di bawahnya. Pengobatanna meliputi; obat topikal : salep antibiotik
eritromisin 1% atau mupirosin 2% 3x sehari, obat sistemik : Klosasilin (50
mg/KgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) 4 x 250-500 mg sebelum makan.
2. Impetigo bulosa/vesiko bulosa (cacar monyet atau cacar api) yang sering
terjadi di ketiak, dada, dan punggung. Ciri-cirinya yaitu kemerahan di kulit dan
gelembung-gelembung (seperti kulit yang tersundut rokok hingga dikenal
dengan cacar api), berisi nanah yang mudah pecah. Cacar api sangat mudah
menular dan berpindah dari satu bagian kulit ke bagian lain. Jika terjadi pada
bayi baru lahir, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
kelainan ini dapat disertai demam dan menimbulkan infeksi serius.
pengobatannya meliputi; obat topikal : bula diaspirasi, lalu diberi salep
antibiotik eritromisin 1% atau mupirosin 2% 3x sehari, obat sistemik: Klosasilin
(50 mg/KgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) 4 x 250-500 mg sebelum makan
b. Folikulitis
Gambar 1. folikulitis
(sumber : https://www.alodokter.com/folikulitis diakses 23/5/2019)
Folikuitis adalah infeksi yang mengenai satu folikel rambut. Ciri-cirinya berupa
bintil padat atau bintil bernanah yang kemerahan dengan rambut di tengahnya.
Biasanya sering ditemukan pada tungkai bawah. Pengobatannya meliputi: obat
topikal: salep antibiotik eritromisin 1% atau mupirosin 2% 3x sehari, obat sistemik:
Klosasilin (50 mg/KgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) 4 x 250-500 mg sebelum
makan.
c. Furunkel
Gambar 2. Furunkel
(sumber : https://www.netdoktor.de/krankheiten/furunkel/ diakses 23/5/2019)
Furunkel adalah radang pada folikel yang meluas ke jaringan di sekitar folikel
rambut. Ciri-cirinya, yaitu di kulit akan terlihat benjolan kemerahan dengan mata
di bagian tengah yang dapat melunak menjadi abses. Kelainan terutama terjadi di
daerah yang sering mengalami gesekan dan banyak berkeringat seperti ketiak,
bokong, leher, dada, dan paha. Biasanya terdapat keluhan rasa nyeri, apalagi bila
kelainan terjadi di dasar yang keras misalnya di hidung atau liang telinga luar.
Pengobatan yang diberikan sama dengan pengobatan pada folikuitis.
d. Karbunkel
Gambar 6. Ektima
Sumber : https://emedicine.medscape.com/article/1052279-overview diakses 23/5/2019)
Ektima ialah ulkus superfisial dengan krusta di atasnya disebabkan infeksi oleh
Streptococcus. Ciri-cirinya adalah krusta tebal bewarna kuning, di tungkai bawah.
Pengobatan dapat dilakukan dengan; obat topikal : kompres ulkus dengan kalikus
permanganas (PK) dengan konsentrasi 1:5000 (larutkan dalam air sampai
warnanya ungu), dapat ditambahkan antibiotik topikal eritromisin 1% atau
mupirosin 2% 3x sehari, obat sistemik : Klosasilin (50 mg/KgBB/hari dibagi dalam
4 dosis) 4 x 250-500 mg sebelum makan
h. Pionika
Patomekanisme
Banyak hal yang mempengaruhi seseorang sampai terjadinya pioderma antara lain faktor
host, agent, dan lingkungan seperti yang telah dipaparkan diatas dimana adanya
ketidakseimbangan antara ketiga faktor tersebut. Staphylococcus mengandung
polisakarida dan protein yang bersifat antigen yang merupakan substansi penting di
dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung
subunit-subunit yang terangkai, merupakan eksoskeleton kaku pada dinding sel.
Peptidoglikan dihancurkan oleh asam kuat atau lisozim. Hal ini merupakan penting dalam
potogenitas infeksi : zat ini menyebabkan monosit membuat interleukin-1 (pirogen
endogen) dan antibodi opsonik, dan zat ini juga menjadi zat kimia penarik (kemotraktan)
untuk leukosit polimorfonuklear, mempunyai aktifitas mirip endotoksin, mengaktifkan
komplement. Patologi prototipe lesi staphylococcus adalah furunkel atau abses setempat
lainnya. Kelompok-kelompok S. aureus yang tinggal dalam folikel rambut menimbulkan
nekrosis jaringan. Koagulase dihasilkan dan mengkoagulasi fibrin disekitar lesi dan
didalam saluran getah bening, mengakibatkan pembentukan dinding yang membatasi
proses dan diperkuat oleh penumpukan sel radang dan kemudian jaringan fibrosis. Di
tengah-tengah lesi, terjadi pencairan jaringan nekrotik (dibantu oleh hipersensitivitas tipe
lambat) dan abses mengarah pada daerah yang daya tahannya paling kecil, setelah
jaringan nekrotik mengalir keluar, rongga secara perlahan-lahan diisi dengan jaringan
granulasi dan akhirnya sembuh.
Dewi KD. Penelitian retrospektif pioderma pada anak di Instalasi Rawat Inap
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. 2009; 21:185-90
a. Diagram patomekanisme pyoderma
Diagnosis
Gejala klinis
Secara umum pioderma tidak memiliki gejala khas biasanya pada anak muncul predileksi
dimuka, yakni disekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber unfeksi.
Kelainan kulit ini berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga penderita
dating dengan berobat terlihat krrusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika
dilepaskan Nampak erosi dibawahnya sering krusta menyebar keperifer dan sembuh
dibagian tengahnya. Kadang pula predileksi terdapat di ketiak, dada, punggung. Dan
perlu juga diperhatikan pada pyoderma jenis erysipelas bahkan ditemukan demam,
malaise, kemudian predileksinya dimulai dari daerah kulit yang mengalami trauma,
biasanya kelaianan kulit yang paling utama ialah eritemayang berwarna merah cerah,
berbatas tegas dan pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Perlu juga
diperhatikan pada pioderma jenis stapylococal scaled skin syndrome ditemukan gejala
kas yang disebut nikolskiy Positif yaitu jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan
digeser kulit tersebut akan terkelupas
Pemeriksaan lanjutan
Pada pemeriksaan laboratorik yang menjadi ciri khas yaitu ditemukannya leukositosis ,
pada kasus-kasus kronis dan susah sembuh dilakukan kultur dan dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus dan streptokokus melainkan kuman
negative-gram. Hasil resistensi hanya bersifat menyokong , dimana kadang pemeriksaan
in vivo tidak selalu sesuai dengan in vitro. Pada kasus stapylococal scaled skin syndrome
dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi dimana akan ditemukan gambaran yang
khas, yaitu terlihat lepuh intrperidermal, celah terdapat distratum granulosum , meskipun
ruang lepuh sering mengandung sel-sel akan tolitik, epidermis sisanya tampak utuh tanpa
disertai jaringan nekrosis.
Penatalaksaan
a. Farmakoterapi
Pada pengobatan umum kasus pioderma , faktor hygiene perorangan dan
lingkungan harus diperhatikan. untuk pengobatan secara sistemik, ada berbagai
obat yang dapat digunakan, meliputi:
a. Penisilin G prokain dan semisintetiknya
1) Penisilin G prokain, Dosisnya 1,2 juta/ hari, I.M. Dosis anak 10000
unit/kgBB/hari. Penisilin merupakan obat pilihan (drug of choice), walaupun di
rumah sakit kota-kota besar perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya
resistensi. Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak praktis, diberikan IM dengan
dosis tinggi, dan semakin sering terjadi syok anafilaktik.
2) Ampisilin Dosisnya 4x500 mg, diberikan 1 jam sebelum makan. Dosis anak 50-
100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
3) Amoksisilin Dosisnya sama dengan ampsilin, dosis anak 25-50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis. Kelebihannya lebih praktis karena dapat diberikan setelah
makan. Juga cepat absorbsi dibandingkan dengan ampisilin sehingga konsentrasi
dalam plasma lebih tinggi.
4) Golongan obat penisilin resisten-penisilinase Yang termasuk golongan obat ini,
contohnya: oksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg/hari
sebelum makan. Dosis flukloksasilin untuk anak anak adalah 6,25-11,25
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
b. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin 3 x 500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik karena itu
dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 300-450 mg sehari. Dosis linkomisin untuk anak
yaitu 30-60 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis, sedangkan klindamisin 8-16
mg/kgBB/hari atau sapai 20 mg/kgBB/hari pada infeksi berat, dibagi dalam 3-4
dosis. Obat ini efektif untuk pioderma disamping golongan obat penisilin
resistenpenisilinase. Efek samping yang disebut di kepustakaan berupa colitis
pseudomembranosa, belum pernah ditemukan. Linkomisin gar tidak dipakai lagi
dan diganti dengan klindamisin karena potensi antibakterialnya lebih besar, efek
sampingnya lebih sedikit, pada pemberian pe oral tidak terlalu dihambat oleh
adanya makanan dalam lambung.
c.Eritromisin
Dosisnya 4x 500 mg sehari per os. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan
linkomisin/klindamisin dan obat golongan resisten-penisilinase. Sering member
rasa tak enak dilambung. Dosis linkomisin untuk anak yaitu 30-5mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3-4 dosis.
d. Sefalosporin
Pada pioderma yang berat atau yang tidak member respon dengan obat-obatan
tersebut diatas, dapat dipakai sefalosporin. Ada 4 generasi yang berkhasiat untuk
kuman positif-gram ialah generasi I, juga generasi IV. Contohya sefadroksil dari
generasi I dengan dosis untuk orang dewasa2 x 500 m sehari atau 2 x 1000 mg
sehari (per oral), sedangkan dosis untuk anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis. Selain obat sistemik, obat-obatan topikal (salep) juga sering diberikan.
Bermacammacam obat topikal dapat digunakan untuk pengboatan pioderma.
Obat topical anti mikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara sistemik agar
kelak tidak terjadi resistensi dan hipersensitivitas, contohnya ialah basitrasin,
neomisin, dan mupirosin. Neomisin juga berkhasiat untuk kuman negatif-
gram.Neomisin, yang di negeri barat dikatakan sering menyebabkan sensitisasi,
jarang ditemukan. Teramisin dan kloramfenikol tidak begitu efektif, banyak
digunakan karena harganya murah. Obatobat tersebut digunakan sebagai salap
atau krim. Sebagai obat topical juga kompres terbuka, contohnya: larutan
permangas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1% dan yodium povidon 7,5 %
yangndilarutkan 10 x. yang terakhir ini lebih efektif, hanya pada sebagian kecil
mengalami sensitisasi karena yodium. Rivanol mempunyai kekurangan karena
mengotori sprei dan mengiritasi kulit.
b. Non farmakoterapi
1. Diet
Hindari konsumsi makanan cepat saji, karena mengandung asam lemak
khususnya asam lemak trans. Asam lemak ini dapat memodulasi respon imun
dan diasosiasikan meningkatkan infeksi pada kulit.
Konsumsi vitamin D, dimana Vitamin D diperlukan untuk proliferasi,
diferensiasi dan fungsi keratinosit normal. Terganggunya atau metabolisme
vitamin D yang tidak cukup langsung dapat mempengaruhi keratinosit dan
fungsi intrinsik kulit.
Vitamin lain yang dapat berguna adalah vitamin C dan E. Konsentrasi vitamin
C yang lebih tinggi dalam ASI dikaitkan dengan penurunan risiko atopi. Vitamin
E adalah antioksidan kuat lain yang dapat menurunkan produksi prostaglandin
dan menurunkan kadar IgE serum pada individu atopik. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa kelompok dengan pemberian vitamin E menunjukkan
peningkatan luar biasa dalam perbaikan eritema wajah, likenifikasi,
peningkatan kulit normaldanpenurunanpruritus
2. Probiotik
Probiotik diartikan sebagai organisme hidup yang saat diberikan pada host
dengan dosis yang adekuat akan memberikan keuntungan kesehatan.
Mekanisme hubungan pemberian probiotik dan penurunan alergi belum jelas
namun hal ini dapat dihubungkan dengan kurangnya pajanan terhadap
mikroba saat awal kehidupan. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan dari
sistem imun dan peningkatan kerentanan terhadap alergi.
3. Mandi
Mandi secara teratur dapat melembabkan kulit dan melepaskan krusta. Mandi
berendam 1-2 kali sehari selama beberapa menit dalam air hangat (jangan
terlalu panas) dengan pembersih kulit (skin cleaner) yang mengandung
pelembab sangat bermanfaat. Setelah mandi dan dikeringkan, segera oleskan
obat topikal, misalnya kortikosteroid, diikuti dengan pelembab atau
pelembabsaja. Hindarisabunataupembersih kulit yang mengandung
antiseptik/antibakteri secara rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila
ada infeksi sekunder
Komplikasi
a. Furunkel malignan : yaitu furunkel yang timbul pada daerah segitiga yang dibatasi
oleh bibir atas dan pinggir lateral kedua mata, oleh karena dapat meluas ke dalam
intra kranial melalui vena facialis dan anguular emissary dan juga pada vena
tersebut tidak mempunyai katup
b. Selulitis bisa terjadi apabila furunkel menjadi lebih dalam dan meluas
c. Bakterimia dan hematogen : bakteri berada di dalam darah dapat mengenai katup
jantung, sendi, spine, tulang panjang, organ viseral khususnya ginjal.
d. Furunkel yang berulang, hal ini disebabkan oleh hygiene yang buruk
Prognosis
Prognosis penyakit ini biasanya baik, asalkan mendapatkan penanganan yang
adekuat dan faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang
baik bila terjadi komplikasi.
(Laksmi Dewi BAAA, Dhana Saputra IPK, Rusyati LM, Bratiartha MD, Adiguna MS.
Profil Pioderma di Poliklinik Klinik dan Kelamin RS Sanglah Denpasar Periode
Januari 2006-Desember 2008. Penatalaksanaan pioderma terkini. PERDOSKI.
2014;41:85-90.