Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Definisi sindrom metabolik telah berkembang dari waktu ke waktu dan

saat ini didefinisikan oleh pengelompokan karakteristik klinis termasuk obesitas

perut, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, dan kadar kolesterol

lipoprotein kepadatan tinggi yang rendah (Beltran, et al, 2013).

Data dari National Health dan Nutrition Examination Survey (NHANES)

pada tahun 1999-2010, menunjukkan bahwa walaupun prevalensi berdasarkan

usia yang disesuaikan menurun dari 25,5% pada tahun 1999-2000 menjadi

22,9% tahun 2009-2010 di Amerika Serikat, namun masalah ini masih saja

merupakan topik umum yang sering dibicarakan. Lebih dari seperlima populasi

dan sekitar 60% individu yang obesitas terkena dampaknya (Beltran, et al, 2013).

Data epidemiologi menyebutkan prevalensi sindrom metabolik dunia

adalah 20–25%. Hasil penelitian Framingham Offspring Study menemukan

bahwa pada responden berusia 26–82 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1%

wanita menderita sindrom metabolic (Ford, et al, 2002). Sedangkan penelitian di

Perancis menemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 23% pada pria dan

21% pada wanita. Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI)

menunjukkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% (Cameron, et al,

2004)

Sindrom metabolik telah ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya yang

dikaitkan dengan berbagai perkembangan penyakit, termasuk penyakit

kardiovaskular (CVD), diabetes mellitus (DM), steatosis hati, dan kanker. Bukti

1
yang meningkat menunjukkan bahwa sindrom metabolik juga dapat dikaitkan

dengan penurunan fungsi paru, tetapi hubungannya masih belum jelas (Samson,

et al, 2014).

Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu bentuk gangguan

tidur yang berkaitan dengan peningkatan risiko sindrom metabolik, penyakit

kardiovaskuler, dan gangguan fungsi kognitif (Xu, et al, 2015). Prevalensi OSA

sangat bervariasi di berbagai negara di dunia, dengan rentang 9% sampai

dengan 38%, dan lebih tinggi pada populasi laki-laki (Senaratna, et al, 2017).

Data prevalensi OSA di Indonesia saat ini masih belum tersedia, namun satu

penelitian pada populasi normal di Jakarta menunjukkan bahwa prevalensi OSA

di wilayah tersebut sebesar 49,5% (Gunawan, dkk, 2016).

Selama tiga dekade terakhir, tidur dan gangguan tidur telah

mendapatkan perhatian lebih di bidang kesehatan modern. Salah satu gangguan

kesehatan itu adalah excessive daytime sleepiness (EDS) akibat kurangnya

frekuensi dan durasi tidur yang cukup serta peningkatan berat badan atau

obesitas karena kurangnya aktivitas fisik, yang merupakan faktor risiko penting

pada penyakit yang dikenal dengan Obstructive sleep apnea (OSA) (Kumar,

2008).

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan pernapasan ketika tidur

dengan karakteristik penghentian sementara (pause) maupun obstruksi saluran

pernapasan atas yang berulang secara parsial maupun total. Terdapat berbagai

faktor patogenesis OSA yaitu abnormalitas anatomi saluran nafas atas dan

aktivitas otot dilatornya selama tidur, genetik, jenis kelamin, kapasitas paru,

stabilitas kontrol ventilasi, umur, stabilitas fase tidur dan obesitas (Kapur, 2010).

2
Pasien OSA umumnya dengan berat badan berlebih disertai gangguan

metabolik, seperti intoleransi glukosa, resistensi insulin dan dislipidemia sebagai

faktor risiko utama penyakit kardiovaskular. OSA terdapat pada lebih dari 40%

individu dengan IMT 30 kg/ m2 atau individu dengan sindrom metabolik

(Svatikova, et al, 2005).

Dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai patofisiologi

bagaimana sindrom metabolik dapat berkembang menjadi gangguan obstructive

sleep apnea (OSA).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui dan

memahami bagaimana patofisiologi sindrom metabolik berkembang menjadi

gangguan obstructive sleep apnea (OSA).

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Manfaat Akademis

 Mengetahui definisi sindrom metabolik dan obstructive sleep apnea.

 Mengetahui dan menjelaskan tentang patofisiologi sindrom metabolik

berkembang menjadi gangguan obstructive sleep apnea (OSA).

3
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Sindrom Metabolik

2.1.1 Definisi

Sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko

metabolik yang berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit

kardiovaskuler artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri

dari dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan

kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan proinflamasi (Ford, et

al, 2002).

Sindrom metabolik adalah kondisi dimana seseorang memiliki

tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau

tanpa hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu

yang sama pada satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang

tinggi terhadap penyakit macrovasculer (WHO, 2000). Berbagai

organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh

kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan

hipertensi merupakan komponen utama sindrom metabolik. Jadi

meskipun sindrom metabolik memiliki definisi yang berbeda, namun

memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala

gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa

komplikasi (Gu,et al, 2005).

Sindrom metabolik dikenal dengan berbagai nama. Perhatian

medis pertama yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan

4
kelompok gout, hipertensi dan hiperglikemia. Yang kemudian sindrom

metabolik pertama kali dijelaskan oleh Jean Vague pada tahun 1940,

yang menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas

metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald Phillips

menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan

manifestasi klinis, yang sekarang disebut sindrom metabolik dan

dihubungkan dengan penyakit jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald

Reaven mengajukan hipertensi, hiperglikemia, intoleransi glukosa,

peningkatan trigliserida, dan kolesterol HDL yang rendah dan dinamakan

kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya pada tahun 1998 the

World Health Organization mengajukan nama “metabolic syndrome” yang

didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas metabolik (pada

pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktor-faktor

dibawah (Isomaa, et al, 2001):

 Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >160 / >90

mmHg

 Trigliserida 150 mg/dL

 HDL <35 mg/dL pada laki-laki, atau <40 mg/dL pada

perempuan

 Rasio lingkar pinggang >0.90 pada laki-laki atau >0.85 pada

wanita Mikroalbuminuria

2.1.2 Kriteria Diagnosis

Hingga saat ini ada 3 definisi sindrom metabolik yang telah di

ajukan, yaitu berdasarkan definisi World Health Organization (WHO),

5
(National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection,

Evaluation and Treatment of High Blood Cholesterol in Adult Treatment

Panel- III) NCEP ATP–III dan International Diabetes Federation (IDF).

Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan

penentuan kriteria yang berbeda. Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet

atas nama WHO menyampaikan definisi sindrom metabolik dengan

komponen – komponennya antara lain :

1. Gangguan pengaturan glukosa atau diabetes

2. Resistensi insulin

3. Hipertensi

4. Dislipidemia dengan trigliserida plasma >150 mg/dL dan/atau

kolesterol high density lipoprotein (HDL– C) <35 mg/dL untuk

pria; <39 mg/dL untuk wanita;

5. Obesitas sentral (laki–laki: waist-to-hip ratio >0,90; wanita:

waist-to-hip ratio >0,85) dan/atau indeks massa tubuh (IMT)

>30 kg/m2

6. Mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min

atau rasio albumin/kreatinin >30 mg/g)

Sindrom metabolik dapat terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria

pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu tersebut,

Jadi kriteria WHO 1999 menekankan pada adanya toleransi glukosa

terganggu atau diabetes mellitus, dan atau resitensi insulin yang disertai

sedikitnya 2 faktor risiko lainya itu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral

dan mikroalbuminaria (WHO, 2000; Adult Treatment Panel III, 2001;

Wirakmono, 2006).

6
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien sindrom

metabolik adalah NCEP–ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3

dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain: lingkar perut pria >102 cm atau

wanita >88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida >150 mg/dL),

kadar HDL–C <40 mg/dL untuk pria, dan <50 mg/dL untuk wanita;

tekanan darah >130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa >110

mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas sentral

menjadi indikator utama terjadinya sindrom metabolik sebagai dasar

pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005.

Seseorang dikatakan menderita sindrom metabolik bila ada obesitas

sentral (lingkar perut >90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut >80 cm

untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida >150

mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk

hipertrigliseridemia; (2) HDL–C: <40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan

<50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan

untuk peningkatan kadar HDL–C; (3) Tekanan darah: sistolik >130 mmHg

atau diastolik >85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4)

Gula darah puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2.

Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria

indikator sindrom metabolik yang terbaru tersebut (IDF, 2005).

Kriteria diagnosis NCEP–ATP III menggunakan parameter yang

lebih mudah untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga

dapat dengan lebih mudah mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi

masalah adalah dalam penerapan kriteria diagnosis NCEP– ATP III

adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar pinggang antara berbagai

7
jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO mengusulkan lingkar

pinggang untuk orang Asia ≥ 90 cm pada pria dan wanita ≥ 80 cm

sebagai batasan obesitas central (IDF, 2005; Wirakmono, 2006).

Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara

international, sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling

sering digunakan. Tabel 2.1 berikut menggambarkan perbedaan ketiga

definisi tersebut.

Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World


Health Organization), NCEP–ATP III dan IDF (WHO, 2000; IDF,
2005; Wirakmono, 2006)

2.1.3 Etiologi Sindrom Metabolik

Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti.

Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari Sindrom

Metabolik adalah resistensi insulin (Shahab, 2007).

Menurut Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah :

8
 Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk

mengkompensasi resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya

komplikasi makrovaskuler (komplikasi jantung)

 Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif

sekresi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini

menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (nephropathy

diabetica) (Anggraeni, 2007).

Hipotesis lain menyebutkan terjadi perubahan hormonal yang

mendasari terjadinya obesitas sentral. Suatu studi membuktikan bahwa

individu yang mengalami kadar kortisol dalam serum (yang disebabkan

oleh stress kronik) mengalami obesitas sentral, resistensi insulin dan

dislipidemia. Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan

dengan tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan

lemak visceral (Tjokroprawiro, 2006).

Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah

terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan

mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin proinflamasi,

prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari

sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung

jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit

jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi (Widjaya et al., 2004).

2.1.4 Patofisiologi

Obesitas merupakan komponen utama kejadian sindrom

metabolik, namun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti.

9
Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan

menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di

sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adipose

dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks)

terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi.

Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif

menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal

patofisiologi terjadinya sindrom metabolik, hipertensi dan aterosklerosis

(Furukawa, et al, 2017).

Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi

penyakit antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien

diabetes melitus tipe 2, biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif,

terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu

penyebab terjadinya disfungsi endotel–angiopati diabetic, dan pusat dari

semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang menginduksi stress

oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol, peningkatan auto–

oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat (Cerelio, et al, 2004).

Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan

glukosa di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh

sel–β pankreas. Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding

vaskular sehingga berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes

tipe 2 dan aterosklerosis (Cerelio, et al, 2004).

Nutrisi yang berlebihan dan penurunan aktivitas fisik

menyebabkan peningkatan glukosa dan beban Free Fatty Acids (FFA)

dalam sel. Transformasi mereka dalam energi disertai dengan peningkatan

10
generasi radikal bebas (stres oksidatif). Sel-sel otot dan adiposit dapat

melindungi diri dari kondisi ini, menghasilkan resistensi terhadap aksi

insulin, yang bertujuan untuk mengurangi glukosa dan penetrasi FFA

dalam sel. Sel β dan endotelium adalah jaringan yang tidak tergantung

insulin. Glukosa dan FFA kelebihan dalam sel-sel ini dan menyebabkan

stres oksidatif, yang pada gilirannya menginduksi disfungsi dari kedua sel β

dan endotelium. Disfungsi endotel dapat menyebabkan perkembangan

penyakit kardiovaskular, disfungsi sel β ditandai oleh perubahan sekresi

insulin (Cerelio, et al, 2004).

Kondisi terakhir ini diperburuk oleh resistensi insulin secara

bersamaan, yang merupakan kondisi yang membutuhkan peningkatan

sekresi insulin untuk mempertahankan glikemia plasma dalam kisaran

normal. Disfungsi sel β terutama ditandai oleh penurunan sekresi insulin

fase pertama, yang pada gilirannya menghasilkan gambaran klinis impaired

glucose tolerance (IGT). Situasi terakhir ini secara klinis ditandai dengan

peningkatan hiperglikemia postprandial. Hiperglikemia postprandial

menginduksi stres oksidatif. Bertahannya kondisi seperti itu menghasilkan

sel β yang kelelahan, yang menyebabkan diabetes yang jelas. Stres

oksidatif yang dihasilkan selama IGT dan diabetes terbuka dapat

berkontribusi pada perkembangan penyakit kardiovaskular. Selain itu,

sekelompok faktor risiko yang menyertai resistensi insulin juga

berkontribusi untuk menghasilkan penyakit kardiovaskular (Cerelio, et al,

2004).

11
Gambar 2.1 Peranan Oxidative Stress dalam Sindrom Metabolik

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak pada

obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan

peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase

(NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan (Furukawa,

et al, 2017)

Gambar 2.2 Peningkatan produksi ROS dalam akumulasi lemak


berkontribusi terhadap sindrom metabolik (Furukawa, et al,
2017).

12
2.1.6 Tatalaksana Sindrom Metabolik

2.1.6.1 Intervensi Gaya Hidup

Kebanyakan orang dengan sindrom metabolik adalah orang

dengan obesitas dan memiliki gaya hidup sedentary. Kemudahan

akses ke makanan cepat saji dapat menciptakan pandemi sindrom

metabolik. Jadi, intervensi utama harus berupa perubahan gaya

hidup, misalnya dengan pembatasan kalori, peningkatan kualitas

makanan dan peningkatan aktivitas fisik (Grundy, 2008).

Intervensi yang paling baik adalah pembatasan kalori. Ini

dapat dicapai dengan beberapa cara. Sebelumnya, pernah dicoba

diet sangat rendah kalori (misalnya sekitar 1000 kalori per hari).

Pendekatan ini sebagian besar tidak berhasil. Penurunan berat

badan yang sangat cepat selalu diikuti dengan kenaikan kembali

berat badan. Cara yang lebih baik adalah modifikasi perilaku yang

dikombinasikan dengan diet rendah kalori. Pendekatan secara

personal lebih efektif, terutama termasuk intervensi medis terapis

gizi. Tentu saja, modifikasi perilaku membutuhkan komitmen seumur

hidup untuk modifikasi diet. Bagi sebagian besar pasien, ini adalah

tantangan utama. Akibatnya banyak perubahan sosial dan

lingkungan diperlukan untuk penurunan berat badan yang sukses.

Tujuan pertama bagi pasien dengan obesitas untuk mengurangi

berat badan sekitar 10%. Lebih lanjut penurunan berat badan

secara bertahap lebih banyak memberikan manfaat (Adult

Treatment Panel III, 2001).

13
Komposisi asupan makanan juga harus dipertimbangkan.

Diet rendah lemak/tinggi karbohidrat telah umum direkomendasikan,

namun asupan lemak tak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan

karbohidrat mungkin lebih menguntungkan dalam hal biaya. Terlalu

banyak karbohidrat dalam diet pun dapat memperburuk faktor risiko

metabolisme. Yang paling penting, lemak jenuh harus dihindari;

karena meningkatkan kadar kolesterol serum dan akibatnya akan

meningkatkan risiko aterosklerosis (Gadgil, et al, 2013).

Aktivitas fisik memiliki beberapa efek menguntungkan pada

sindrom metabolik. Ini menguntungkan karena mempengaruhi

keseimbangan kalori, mengurangi resistensi insulin dan dapat

meningkatkan kebugaran fisik, yang tampaknya secara independen

mengurangi risiko penyakit kardiovaskular penyakit (Farrel, et al,

2012).

2.1.6.2 Pengobatan Dislipidemia Aterogenik

Apo B yang mengandung lipoprotein (baik LDL dan VLDL)

merupakan target utama terapi dislipidemia. Namun pengukuran

yang sering dilakukan pada lipoprotein ini adalah kolesterol non-

HDL. Terdapat sebuah konsep "Semakin Rendah, Semakin Lebih

Baik” untuk pengurangan lipoprotein aterogenik, tetapi untuk

pertimbangan praktis, dalam pencegahan sekunder bertujuan untuk

mengurangi kolesterol non-HDL menjadi < 100 mg / dL sedangkan

tujuan pencegahan primer adalah mengurangi kolesterol non-HDL <

130 mg / dL (Jacobson, et al, 2015).

14
Pengobatan lini pertama untuk kolesterol non-HDL pada

sindrom metabolik adalah terapi statin. Orang dengan sindrom ini

memiliki risiko seumur hidup untuk penyakit atherosclerosis

kardiovaskuler. Untuk pencegahan sekunder, penurunan kolesterol

non-HDL hingga <70 mg / dL paling baik dicapai dengan pemakaian

statin intensitas tinggi (misalnya : atorvastatin 80mg atau

rosuvastatin 20–40 mg). Namun, beberapa pasien mungkin tidak

dapat mentolerir pemberian statin intensitas tinggi. Dapat

dipertimbangkan pemberian ezetimibe dikombinasi dengan statin

intensitas sedang (mis., atorvastatin 10mg, rosuvastatin 5mg,

simvastatin 20mg, atau statin lainnya dengan potensi serupa).

Kombinasi ini menghasilkan penurunan kolesterol non-HDL yang

sama efektif seperti halnya pemberian statin intensitas tinggi

(Cannon, et al, 2015).

2.1.6.3 Mengontrol Tekanan Darah

Terapi kunci untuk hipertensi pada pasien dengan sindrom

metabolik adalah pembatasan kalori. Sudah lama diketahui hal

tersebut dapat menurunkan tekanan darah (Reisin, et al, 2008).

Banyak pertanyaan mengenai obat anti hipertensi apakah

yang paling baik untuk pasien dengan sindrom metabolik. Beberapa

peneliti beranggapan bahwa ACE inhibitor atau ARB harus menjadi

terapi lini pertama. Agen ini tidak menginduksi resistansi insulin atau

lainnya faktor resiko metabolik lainnya. Lain halnya dengan beta-1

receptor blockers (misalnya : atenolol dan metoprolol) yang

15
meningkatkan resistensi insulin dan berpotensi memperberat kondisi

sindrom metabolic (Standl, et al, 2012).

Sebaliknya, penghambat reseptor non-selektif beta / alpha-1

(misalnya : karvediol) tidak memiliki efek negatif pada metabolisme.

Thiazid diuretik diketahui dapat meningkatkan resistensi insulin.

Sedangkan calcium channel blockers yang memiliki efek netral pada

metabolisme namun diketahui dapat sedikit meningkatkan

resistensi insulin (Dronavalli, et al, 2008; Farah, et al, 2018).

2.1.6.4 Manajemen Hiperglikemia

Pasien dengan sindrom metabolic biasanya memiliki kondisi

prediabetes dengan peningkatan gula darah puasa, intoleransi

glukosa dan HbA1C berkisar 5,7-6,4%. Tujuan tata laksana dari

pasien ini adalah mencegah pasien jatuh dalam kondisi diabetes.

Terdapat berbagai consensus umum bahwa tujuan utama terapi

adalah penurunan berat badan kurang dari 10% berat badan awal

dengan peningkatan aktivitas fisik pasien minimal selama 150 menit

per minggu dalam kategori aktivitas moderat (ADA, 2014).

Modifikasi pola hidup merupakan terapi utama pada

penatalaksanaan hiperglikemi pasien dengan sindrom metabolik.

Penggunaan metformin dapat menghambat progresivitas penyakit

dari prediabetes menjadi diabetes, namun tidak seefektif

dibandingkan dengan modifikasi pola hidup. Metformin dapat

dipertimbangkan pemakaiannya pada pasien yang sangat obese

dengan usia > 60 tahun (Knowler, et al, 2009).

16
2.1.6.5 Pengurangan Resiko Pro-Thrombotic State

Pembatasan kalori dan penurunan berat badan menjadi

semakin efektif bila disertai dengan pemakaian pengurangan faktor

aktivasi koagulan. Saat ini tidak ada terapi obat khusus untuk

keadaan pro-trombotik pada pasien dengan sindrom metabolik

selain aspirin. Aspirin dapat direkomendasikan untuk pasien dengan

metabolik sindrom yang memiliki penyakit atherosklerosis

kardiovaskuler. Penggunaan terapi aspirin dalam pencegahan

primer selalu dengan mempertimbangkan aspek risiko dan manfaat

(Bladbjerg, 2014).

2.1.7 Pengaruh Obesitas terhadap Fungsi Respirasi

Akumulasi jaringan lemak dapat mengganggu fungsi ventilasi pada

orang dewasa dan anak-anak. Peningkatan BMI biasanya berhubungan

dengan penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1),

kapasitas vital paksa (FVC), kapasitas total paru, Kapasitas residu

fungsional dan volume cadangan ekspirasi. Restriksi rongga torak terkait

dengan obesitas biasanya ringan dan dikaitkan dengan efek mekanik

lemak pada diafragma dan dinding dada, ekskursi diafragma terhalang dan

compliance rongga dada menurun. Secara klinis terjadi pola restriksi

(kapasitas total paru < 85% prediksi) biasanya ditemukan pada obesitas

besar, pada rasio berat terhadap tinggi badan adalah 0,9–1,0 kg/m atau

lebih besar (Arter, et al, 2004). Namun, kelainan restriksi masih mungkin

ditemukan pada obesitas dengan rasio berat badan terhadap tinggi kurang

dari 0,9 kg/cm. ini biasanya terjadi dengan adanya penumpukan lemak

17
sentral, yang ditandai dengan rasio pinggang-pinggul 0,95 atau lebih.

Ketika obesitas yang terjadi kurang dari ukuran masif, kelainan restriksi

tidak berhubungan dengan penumpukan lemak sampai penyebab lain dari

restriksi diketahui, seperti penyakit paru interstitial atau penyakit

neuromuscular, telah dieksklusi (Canoy, et al, 2004).

Penurunan rasio FEV1/FVC (< 70%) pada pemeriksaan spirometri,

menandakan sudah terjadi obstruksi aliran udara, bukan merupakan

gambaran dari gangguan respirasi terkait dengan obesitas, meskipun ada

beberapa studi yang mengatakan adanya keterlibatan saluran napas kecil

berkaitan dengan obesitas. Kapasitas difusi ditemukan meningkat pada

obesitas, tapi ini bukanlah temuan yang sering didapatkan. Kekuatan otot

pernapasan dapat mengalami kelemahan pada obesitas, dimana terdapat

penurunan tekanan inspirasi maksimal pada subyek yang obesitas

dibandingkan dengan subyek kontrol terhadap berat badan tubuh normal.

Kelemahan otot pernafasan pada obesitas telah dikaitkan dengan

kelemahan otot, akibatnya menurunnya compliance dinding dada atau

volume paru berkurang atau dapat terjadi keduanya. Tidak mengherankan,

kapasitas latihan sering terganggu pada pasien obesitas. Meskipun latihan

kardiorespirasi dinilai dengan kemampuan konsumsi oksigen maksimal

adalah umumnya megalami penurunan pada pasien obesitas, status

fungsional selama latihan seperti berjalan mengalami penurunan karena

meningkatnya metabolik membawa tubuh dengan berat badan ekstra

(Norman, et al, 2005).

Ada hubungan yang jelas antara dispneu dan obesitas. Obesitas

meningkatkan kerja pernapasan (work of breathing) karena penurunan

18
compliance dinding dada dan penurunan kekuatan otot pernapasan ini

menimbulkan ketidakseimbangan antara kebutuhan terhadap kerja otot

pernapasan dan kapasitas menghasilkan tegangan, sehingga menimbulkan

sebuah persepsi peningkatan usaha untuk bernapas. Selanjutnya, dispneu

pada pasien obesitas bisa menyingkap tabir kondisi lain yang terkait,

seperti pernafasan dan penyakit jantung. Diagnosis yang akurat penting

ditegakkan karena dispneu terkait dengan mekanisme atau penyakit lain

memerlukan strategi terapi yang berbeda (Sin, et al, 2002).

2.2 Obstructive Sleep Apnea

2.2.1 Definisi

Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan penyakit umum yang

mempengaruhi sekitar 2-4% populasi dewasa, dengan gejala dan

komplikasi merupakan efek langsung gangguan akibat kolaps berulang

saluran napas atas, antara lain fragmentasi tidur, hipoksemia,

hiperkapnia, perubahan tekanan intratorakal, dan peningkatan aktivitas

simpatis (Epstein, et al, 2009). OSA merupakan suatu bentuk umum

gangguan pernapasan saat tidur, melibatkan kolaps saluran napas atas

yang menyebabkan siklus kejadian fisiologis berulang sepanjang malam,

termasuk hipoksemia intermiten dan terbangun dari tidur (Botros, et

al,2009).

2.2.2 Patofisiologi

Saat manusia bernapas maka terbentuk tekanan negatif

intratorakal, sehingga menurunkan area transversal pada faring.

19
Permeabilitas jalan napas atas dipertahankan oleh keseimbangan antara

faktor yang berperan saat kolaps, dan faktor yang membuat patensi jalan

napas tetap terjaga, disebut dengan “the balance of pressure concept”.

Keseimbangan ini melibatkan kerangka faring, compliance kolaps jalan

napas, tekanan negatif intraluminal, tekanan dari luar faring, dan tekanan

positif ekstra lumen (Rachmawati, dkk, 2018).

Gambar 2.3 Faktor yang mempengaruhi OSA (Rachmawati, dkk,


2018)
PL = intraluminal pressure; Ptis = pressure in the tis-
sues surroundingthe pharyngeal wall; Pmusc = pres-
sure exerted by the pharyngeal dilating muscles; V =
change in volume; P = change in pressure

Faktor yang memengaruhi OSA yaitu kerangka area faring, antara

lain struktur kraniofasial dan struktur jaringan lunak. Compliance atau

kemampuan kolaps jalan napas, bergantung pada perubahan volume

saluran napas dan perubahan tekanan jalan napas (δV/δP). Tekanan

negatif intraluminal dalam jalan napas (tekanan intralumen), yang berasal

dari otot inspirasi seperti diafragma, otot interkosta dapat menyempitkan

jalan napas. Tekanan pada area luar dinding faring contohnya kompresi

pada lateral faring dan lemak submandibula, lidah yang besar terhadap

20
kavum oral yang kecil. Tekanan positif ekstra lumen dipengaruhi adanya

kontraksi abduksi otot dilator faring (Rachmawati, dkk, 2018).

Obstructive sleep apnea terjadi karena kombinasi penyempitan

jalan napas atas dan abnormalitas tonus motor neuron jalan napas atas.

Kolaps jalan napas lebih mudah terjadi pada pasien OSA dan terjadi pada

beberapa tempat. Regio penyempitan tersering ialah regio retropalatal

atau velofaring, tapi bisa terjadi di berbagai tempat (Dempsey, et al,

2010).

Faktor non-anatomi yang mempengaruhi kejadian OSA antara lain

posisi kepala dan suplai darah ke mukosa atau jaringan sekitar jalan

napas atas. Posisi leher fleksi dan ekstensi berpengaruh pada mekanik

jalan napas karena leher merupakan aksis untuk rotasi, ekstensi, dan

fleksi jalan napas. Perubahan posisi saat tidur, seperti saat supinasi akan

meningkatkan kolapsibilitas jalan napas dan prolaps dasar lidah. Faktor

lain penyebab OSA ialah faktor genetik yang berkaitan dengan bentuk

anatomi, aktivitas neuromuskular, dan stabilitas kontrol ventilasi

(Dempsey, et al, 2010).

Obesitas berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan

yang berlebihan terdapat akumulasi jaringan lemak pada leher dan

saluran napas bagian atas sehingga menurunkan diameter saluran napas

yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan saluran napas atas

saat jaringan otot relaksasi selama tidur. Reduksi ukuran orofaring

menyebabkan complaince saluran napas atas meningkat sehingga

cenderung kolaps jika ada tekanan negatif. Ketika saat bangun, aktivitas

otot saluran napas atas lebih besar dari normal, kemungkinan

21
kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi

(Schwartz et al., 2008).

2.2.3 Diagnosis

OSA merupakan gangguan yang ditandai dengan apnea obstruktif

dan hipopnea, sebagian besar pasien OSA datang berobat dengan

keluhan mengantuk pada siang hari, atau pasangan tidur mengeluhkan

dengkur berlebihan, gasping, atau interupsi pernapasan saat tidur. Rasa

mengantuk siang hari, yang berbeda dari kelelahan, merupakan

gambaran umum OSA dan dapat tidak terlalu diperhatikan dan tidak

signifi kan karena onset yang lama dan kronis. Pasien dapat tidak

mengeluhkan rasa mengantuk, tetapi menggunakan istilah lain seperti

kelelahan dan tidak berenergi. Mendengkur dapat merupakan gambaran

klinis lain dari OSA, dengan sensitivitas 80-90% dan spesifisitas kurang

dari 50% untuk diagnosis OSA. Selain keluhan di atas, gejala dan tanda

lain OSA dapat berupa insomnia dengan riwayat terbangun yang

berulang (Kline, et al, 2017)

Tabel 2.2 Gambaran Klinik OSA (Kline, et al, 2017)

22
Pada pemeriksaan fisik, OSA umumnya dijumpai pada laki-laki

berusia 18-60 tahun, obesitas (IMT >30 kg/m2), dan saluran orofaringeal

yang padat. Dapat dijumpai pula penyempitan saluran napas, leher

dan/lingkar pinggul yang lebar, peningkatan tekanan darah, tanda

hipertensi pulmonal atau kor pulmonal (Epstein, et al, 2009).

Sebagian besar gejala dan tanda individual OSA terbatas dalam

menentukan kecenderungan OSA dan tidak ada gambaran klinis yang

cukup sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnosis. Beberapa

kuesioner klinis dapat digunakan untuk membantu penegakan

kecenderungan diagnosis OSA, seperti:

 STOP-Bang: kuesioner STOP-Bang terdiri dari 8 poin termasuk

informasi mendengkur, apnea yang terobservasi, tekanan darah, IMT,

usia, lingkar leher, dan jenis kelamin. Skor 3 atau lebih memiliki

sensitivitas 84% dan spesifisitas 56% untuk diagnosis OSA

menggunakan ambang AHI (Apnea Hipopnea Index) >5 kejadian/

jam, dan sensitivitas 93% dan spesifi tas 43% menggunakan AHI >15

kejadian/jam (OSA sedang hingga berat) (Chung, et al, 2009).

 Skor klinis apnea tidur (sleep apnea clinical score/SACS): kuesioner

SACS terdiri dari 4 poin yang mencantumkan lingkar leher, hipertensi,

kebiasaan mendengkur, dan gasping nokturnal, atau tersedak

dengan skor dari 0-100. Skor >15 memiliki probabilitas OSA 25-50%

(dengan AHI >10 kejadian/jam) (Flemons, et al, 1994).

 Kuesioner Berlin: terdiri dari 10 poin yang berhubungan dengan

mendengkur, tidur tidak puas, rasa mengantuk saat berkendara,

apnea saat tidur, hipertensi, dan IMT. Hasil penilaian menstratifikasi

23
pasien sebagai risiko rendah atau tinggi OSA. Skor risiko tinggi

sensitivitasnya 80% dan spesifi sitasnya 46% dengan AHI >5

kejadian/jam, dan 91% dan 37% dengan AHI >15 kejadian/jam

(Netzer, et al, 1999).

Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis OSA menggunakan

polisomnografi (PSG) - suatu studi yang mengukur sinyal fisiologis tidur,

usaha pernapasan, saluran oro-nasal, dan desaturasi oksihemoglobin.

Metode yang lebih sederhana seperti oksimetri sepanjang malam

bersamaan dengan pengukuran usaha napas atau aliran respirasi, dapat

dilakukan di rumah. Frekuensi kejadian obstruktif dilaporkan sebagai

indeks apnea hipopnea (AHI), yaitu jumlah rerata kejadian apnea dan

hipopnea per jam tidur atau RDI (Respiratory Disturbance Index / indeks

gangguan pernafasan) (Epstein, et al, 2009)

Diagnosis utama OSA dilakukan dengan polisomnografi (overnight

in laboratory polysomnography). Standar pemeriksaan untuk diagnosis

sleep apnea dengan rekaman polisomnografi dilakukan sepanjang

malam. Metode ini mengukur aliran udara dengan thermistor oronasal

atau transduser dalam deteksi apnea dan hipopnea. Usaha respirasi

dengan mengukur usaha dinding dada dan sensor abdominal, tekanan

esofagus dalam deferensiasi antara obstruksi atau apnea sentral.

Polisomnografi dapat mengukur electroenchepalogram (EEG),

electrooculogram (EOG), dan chin-electromyogram (EMG) yang

mengukur durasi tidur, stadium tidur, arousal dan awakening (Robelo, et

al, 2013).

24
Diagnosis OSA ditegakkan jika jumlah frekuensi penurunan aliran

udara yang berhubungan dengan kolapsnya saluran napas atau apnea-

hipopnea index (AHI), lebih dari 5 kali dalam 1 jam tidur. Hal tersebut

dapat menyebabkan terjadinya periode arousal (terbangun atau gelisah

dalam tidurnya) dan tidur kembali. AHI diperoleh dengan melakukan

pemeriksaan polisomnografi. Berdasarkan penelitian dilaporkan 24% pria

dan 9% wanita dewasa mempunyai angka kejadian atau AHI lebih dari 5 /

jam. Dilaporkan bahwa 4% pria, 2% wanita dan 1-3% pada anak

mempunyai gejala OSA, termasuk adanya gejala daytime

hypersomnolence yang diakibatkan oleh kejadian apnea-hipopnea. Empat

penelitian prevalensi berskala besar menyatakan satu dari lima orang

dewasa kulit putih yang memiliki rata-rata indeks massa tubuh (IMT) 25–

28 kg/m2 memiliki AHI ≥ 5 /jam. Dilaporkan satu dari 15 pasien OSA

memiliki AHI 15 atau lebih. Wanita pasca-menopause memiliki risiko OSA

lebih tinggi yang dihubungkan dengan faktor hormonal dan orang usia

lanjut memiliki prevalensi OSA lebih tinggi dari dewasa muda. Gejala

daytime hypersomnolence lebih jarang muncul pada orang usia lanjut

(Arter, et al, 2004).

Penegakan diagnosis OSA berdasarkan gejala yang

berhubungan, disertai frekuensi kejadian respirasi selama tidur (seperti

apnea, hipopnea, dan terbangun akibat usaha respirasi/respiratory event

related arousals/RERAs) yang dapat diukur dengan polisomnografi atau

uji tidur di luar sentral (out of center sleep testing / OCST) (Epstein, et al,

2009).

25
Diagnosis OSA dapat dikonfirmasi apabila dijumpai dua kondisi

berikut :

1. Dijumpai 5 atau lebih kejadian respirasi obstruktif yang

predominan (apnea obstruktif dan campuran, hipopnea, dan

RERAs) per jam tidur (untuk polisomnografi) atau waktu

pencatatan (untuk OCST) pada pasien dengan satu atau lebih

gejala berikut: - Mengantuk, tidur tidak puas, kelelahan, atau

insomnia - Terbangun karena menahan napas, gasping, atau

tersedak - kebiasaan mendengkur, interupsi pernapasan, atau

keduanya yang diobservasi oleh partner tidur - Hipertensi,

gangguan mood, disfungsi kognitif, penyakit jantung koroner,

stroke, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, atau DM tipe 2.

2. Dijumpai 15 atau lebih kejadian respirasi obstruktif yang

predominan (apnea obstruktif dan campuran, hipopnea, dan

RERAs) per jam tidur (untuk polisomnografi) atau waktu

pencatatan (untuk OCST), tanpa bergantung pada adanya gejala

atau komorbiditas (Epstein, et al, 2009).

Derajat keparahan OSA diklasifikasikan berdasarkan indeks

apnea-hipopnea (AHI), yaitu:

 OSA ringan: AHI/RDI 5-15 kejadian/jam

 OSA moderat: AHI/RDI 15-30 kejadian/ jam

 OSA berat: AHI/RDI >30 kejadian/jam (Epstein, et al, 2009).

26
Gambar 2.4 Algoritma diagnosis OSA (Kline, et al, 2017).

2.2.4 Tatalaksana

Penanganan OSA berdasarkan gejala klinis, beratnya gangguan, dan

edukasi pasien mengenai faktor risiko dan komplikasi OSA. Tujuan

penanganan OSA adalah untuk mengurangi gejala dan tanda OSA,

memperbaiki kualitas tidur, serta normalisasi indeks apnea-hipopnea (AHI)

dan kadar saturasi oksi-hemoglobin. OSA dipertimbangkan sebagai penyakit

kronis yang memerlukan penanganan multidisiplin jangka panjang. Manfaat

penanganan OSA meliputi perbaikan klinis (rasa mengantuk siang hari

27
berkurang), penurunan penggunaan dan biaya layanan kesehatan, serta

mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler (Qaseem, et al, 2013).

Tatalaksana OSA terdiri dari bedah dan non-bedah. Tata laksana

non-bedah misalnya penurunan berat badan, penggunaan continous positive

airway pressure (CPAP), penggunaan oral appliances atau aplikasi oral, dan

medikamentosa. Obesitas merupakan faktor risiko OSA, sehingga

menurunkan berat badan dapat menurunkan kejadian apnea. Tata laksana

non-bedah yang sukses dalam tata laksana OSA ialah dengan penggunaan

continous positive airway pressure (CPAP). Kepatuhan penggunaan CPAP

sekitar 46%. Tata laksana lain OSA yaitu penggunaan aplikasi oral, yang

memiliki efektivitas mencapai 51%. Aplikasi ini terutama digunakan pada

kasus OSA ringan sampai sedang, sedangkan pada OSA berat digunakan

CPAP (Robelo, et al, 2013).

Rekomendasi American College of Physicians (ACP) (2013) untuk

penanganan OSA pada dewasa antara lain :

 Seluruh pasien overweight dan obesitas yang didiagnosis OSA harus

menurunkan berat badan.

 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan terapi inisial

pasien OSA.

 Peralatan mandibular advancement dapat digunakan sebagai

alternatif CPAP atau pada pasien dengan efek samping yang

berhubungan dengan CPAP (Qaseem, et al, 2013).

Beberapa metode pemberian positive airway pressure antara lain

continuous positive airway pressure (CPAP), bilevel positive airway pressure

(BPAP), dan autotitrating positive airway pressure (APAP). CPAP

28
menghantarkan tekanan positif saluran napas pada tingkat konstan melalui

siklus pernapasan; cara ini paling banyak digunakan karena paling

sederhana, telah secara luas diteliti dengan pengalaman klinis paling banyak.

Kondisi pemberian tekanan yang dikurangi (seperti menurunkan tekanan

positif pada saat awal ekshalasi) dapat digunakan untuk meningkatkan

kenyamanan dan toleransi pasien terhadap alat ini (Libman, et al, 2017).

BPAP menghantarkan tekanan positif saluran napas yang telah

ditetapkan saat inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP). Volume tidal

berhubungan dengan perbedaan antara IPAP dan EPAP, misalnya volume

tidal lebih besar menggunakan IPAP 15 cmH2O dan EPAP 5 cmH2O

(perbedaan 10 cmH2O) dibandingkan IPAP 10 cmH2O dan EPAP 5 cm H2O

(perbedaan 5 cmH2O). Studi masih belum menunjukkan manfaat nyata

penggunaan BPAP bila dibandingkan dengan CPAP untuk penanganan rutin

OSA (Qaseem, et al, 2013).

APAP secara otomatis meningkatkan atau menurunkan tingkat

tekanan positif saluran napas sebagai respons terhadap perubahan saluran

napas, seperti perubahan tekanan saluran napas atau getaran dengkuran,

sehingga memberikan tekanan pasti yang dibutuhkan pasien untuk

mempertahankan saluran napas tidak tersumbat. Namun, penggunaan APAP

sangat bervariasi, studi klinis menunjukkan efikasinya masih terbatas dan

perbandingan langsung tidak menunjukkan lebih bermanfaat bila

dibandingkan dengan CPAP (Qaseem, et al, 2013).

Indikasi pembedahan pasien OSA adalah (1) pasien dengan AHI >20;

(2) pasien yang memiliki AHI <20 tetapi dengan severe daytime sleepiness;

(3) pasien dengan saturasi oksihemoglobin 20%; (4) hipertensi diurnal atau

29
sleep related arrhythmia atau hipertensi; (5) tekanan esofagus kurang dari -

10 cm H2O; (6) pasien yang mengalami kegagalan tata laksana

medikamentosa; dan (7) pasien yang memiliki abnormalitas jalan napas atas.

Kontraindikasi relatif dilakukan pembedahan yaitu pada keadaan obesitas

morbid; penyakit paru yang berat; status kardiovaskular tidak stabil;

instabilitas fisiologi; ketergantungan obat atau alkohol; usia tua; ekspektasi

tidak realistis.1 Pembedahan antara lain mencakup operasi pada hidung,

prosedur pada palatum (uvulopalatopharyngoplasty / UPPP atau

radiofrekuensi), prosedur dasar lidah (radiofrekuensi dasar lidah atau hyoid

suspension), mandibular advancement device (MAD) (Aghoutan, et al, 2015).

2.3 Hubungan antara Obstructive Sleep Apnea dan Sindrom Metabolik

Definisi sindrom metabolik telah berkembang dari waktu ke waktu dan

saat ini didefinisikan oleh pengelompokan karakteristik klinis termasuk obesitas

perut, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, dan kadar kolesterol

lipoprotein kepadatan tinggi yang rendah (Baffi, et al, 2016).

Sindrom metabolik telah ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya terkait

dengan pengembangan penyakit seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes

mellitus, hepatic steatosis dan malignansi. Terdapat banyak bukti yang

menunjukkan bahwa sindrom metabolik juga dapat dikaitkan dengan penurunan

fungsi paru-paru, tetapi hubungannya masih belum jelas. Selain itu, komponen

individu dari sindrom metabolik, seperti dislipidemia, hiperglikemia puasa,

obesitas sentral dan hipertensi secara independen terkait dengan gangguan

fungsi paru. Di antaranya, obesitas sentral paling kuat terkait dengan hasilnya

(Leone, et alm 2009).

30
2.3.1 OSA dan Perubahan dalam Metabolisme Glukosa

Beberapa mekanisme pada OSA yang dihubungkan dengan

gangguan metabolism glukosa, yaitu (Aurora, et al, 2013; Shaw, et al,

2008; Tasali, et al, 2008) :

 Aktivasi Sistem Saraf Simpatis

Sistem saraf simpatis memegang peran utama dalam regulasi

metabolisme glukosa dan lemak. OSA menyebabkan peningkatan

aktivitas simpatis tidak hanya selama tidur, namun juga pada saat

subjek sadar. Aktivasi simpatis diperkirakan predominan karena

hipoksia nokturnal. Kejadian terbangun berulang saat tidur yang diikuti

kejadian napas obstruktif juga cenderung mengeksaserbasi efek ini.

 Efek Langsung Hipoksia

Beberapa studi pada subjek normal menunjukkan gangguan tidur dan

hipoksia intermiten dapat mengurangi sensitivitas insulin dan

memperburuk toleransi glukosa. Studi pada hewan percobaan

menunjukkan hipoksia intermiten selama jam sadar mereduksi

sensitivitas insulin.

 Disfungsi Hipotalamik-Pituitari-Adrenal (HPA)

Hipoksia dan gangguan tidur menyebabkan aktivasi aksis HPA dan

peningkatan kadar kortisol dengan pola abnormal dan berlebihan

dengan potensi konsekuensi negatif terhadap sensitivitas dan sekresi

insulin.

 Inflamasi Sistemik

Pasien OSA memiliki kadar penanda inflamasi lebih tinggi yang

ditunjukkan dengan peningkatan aktivasi monosit dan limfosit yang

31
independen dari adipositas. Efek ini diperkirakan karena efek hipoksia

intermiten, namun aktivasi simpatis mungkin juga dapat berperan.

 Adipokin

Adipokin merupakan faktor biologic aktif yang disekresi oleh adiposit

dan mempengaruhi homeostasis energy dan glukosa. Faktor turunan

adiposity seperti leptin, adiponektin, dan resistin di perkirakan

berperan secara integral dalam terjadinya abnormalitas-terkait

obesitas pada metabolisme glukosa. Leptin memiliki peran di sentral

untuk regulasi rasa lapar dan peningkatan berat badan dengan

meningkatkan anoreksigenik dan menurunkan oreksigenik ekspresi

neuropeptida pada hipotalamus dan peran di perifer melibatkan

homeostasis glukosa. Adiponektin disintesis oleh adiposity

diperkirakan memiliki properti sensitisasi insulin. Rendahnya

konsentrasi adiponectin merupakan faktor risiko kejadian diabetes,

aterosklerosis, dan dislipidemia. Studi pada hewan percobaan

menunjukkan kurangnya adiponektin berhubungan dengan resistensi

insulin dan kadar adiponektin yang tinggi pada studi manusia memiliki

efek protektif terhadap diabetes. Pada OSA dijumpai peningkatan

kadar leptin dan penurunan kadar adiponektin bila dibandingkan

dengan individu sehat. Namun, apakah peran peningkatan

konsentrasi leptin dan penurunan konsentrasi adiponektin

memperantarai resistensi insulin dan disfungsi metabolik pada OSA

masih perlu diteliti lebih lanjut.

32
 Arsitektur Tidur

Pada individu OSA terjadi perubahan gelombang tidur. Studi

menunjukkan penekanan selektif gelombang tidur lambat (tingkat tidur

paling restoratif ) pada dewasa muda sehat tanpa mempengaruhi total

durasi tidur atau terjadinya hipoksia menyebabkan penurunan

sensitivitas insulin tanpa kompensasi peningkatan pelepasan insulin,

sehingga menyebabkan gangguan toleransi glukosa dan peningkatan

risiko diabetes tipe 2.

Gambar 2.5 Mekanisme Penyebab Hubungan OSA dan Gangguan


Glukosa (Shaw, et al, 2008).

2.3.2 Peranan Inflamasi.

Kejadian obstruktif berulang dengan hipoksia intermiten dan tidur

fragmentasi dalam OSA dipostulatkan sebagai pemicu utama kaskade

mekanisme patogenetik yang mempengaruhi kecenderungan

pengembangan berbagai fitur kardiometabolik yang terlihat pada sindrom

metabolik. Efek dari paparan hipoksia intermiten yang disimulasikan pada

33
binatang percobaan juga terlihat mekanismenya pada OSA manusia dan

terdapat bukti yang mendukung beberapa gambaran yang terdapat dalam

sindrom metabolik seperti hipertensi, resistensi insulin, dan aterogenik

dyslipidemia (Li, et al, 2007).

Gambar 2.6 Mekanisme kemungkinan hubungan antara


OSA, sindrom metabolik, dan diabetes tipe 2
(Tasali, et al, 2008).

Episode hipoksia berulang yang diikuti oleh reoksigenasi, seperti

yang terlihat pada OSA, menstimulasi terjadinya iskemia - reperfusi, yang

dapat menyebabkan timbulnya Reactive Oxygen Species (ROS).

Sejumlah penelitian observasional telah menunjukkan bahwa OSA secara

independen terkait dengan penanda stress oksidatif yang meningkat.

ROS dapat mengatur transkripsi faktor-faktor yang mengendalikan jalur

inflamasi, seperti NF-kB yang akhirnya akan berdampak pada

34
pengembangan resiko faktor kardiometabolik pada sindrom metaboli

(Tasali, et al, 2008).

OSA juga menyebabkan fragmentasi tidur dan relative sleep loss.

Durasi tidur pendek telah terbukti mempengaruhi hipertensi dan juga

obesitas serta terganggunya mekanisme homeostasis glukosa. Secara

mekanis, kurang tidur dapat memodulasi jalur neurohumoral,

mengaktifkan peradangan sistemik, serta meningkatkan kerentanan

terhadap stres oksidatif. Proses-proses ini merupakan mekanisme umpan

balik multiple yang berpotensi menyebabkan penyimpangan metabolisme

(Tasali, et al, 2008).

2.3.2.1 Sitokin Proinflamasi

Sitokin proinflamasi yang paling banyak dipelajari di OSA

adalah faktor Tumor Necroting Factor (TNF)-α dan Interleukin

(IL)-6. Makrofag yang menginfiltrasi jaringan adiposa putih

merupakan sumber yang kaya TNF-α dan IL-6, terutama pada

obesitas. Data dari penelitian menunjukkan bahwa TNF-α dan IL-

6 dapat menginduksi insulin resistensi, dan peningkatan kadar

sitokin ini sering terjadi dan telah dilaporkan dalam berbagai

kasus sindrom metabolic. Diduga juga memiliki peranan sebagai

mediator of sleepness dan kelelahan di OSA (Vgontzas, et al,

2000).

2.3.2.2 Adhesi Leukosit, Aktivasi Trombosit dan Aktivitas

Prothrombotik lainnya

Leukosit yang teraktivasi mengekspresikan molekul-

molekul adhesi sel yang memediasi interaksi dengan endotelium,

35
mengawali peradangan pembuluh darah. Sindrom metabolik

dikaitkan dengan peningkatan level sirkulasi molekul adhesi sel.

Subjek dengan OSA telah menunjukkan peningkatan sirkulasi

molekul adhesi sel yang larut atau peningkatan ekspresi pada

sirkulasi monosit. Sel T dari pasien dengan OSA lebih bersifat

adesif dan sitotoksik terhadap sel target serta terlihat ekpresi

aktivasi trombosit yang meningkat (Alam, et al, 2006).

Di antara faktor prothrombotik yang lain fibrinogen dan

Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) paling menonjol

terekpresi dengan sindrom metabolic. Fibrinogen disintesis

secara hati sebagai respons terhadap pemicu inflamasi.

Sedangkan PAI-1 adalah faktor prothrombotik yang diturunkan

dari lemak terlihat meningkat pada subyek dengan OSA dan tidak

tergantung pada obesitas (Von Kanel, et al, 2007).

2.3.2.3 Aktivasi NF-kB

NF-kB adalah saklar utama dalam transkripsi sejumlah

gen yang terlibat dalam jalur inflamasi, dan terlibat dalam

patogenesis MS dan aterosklerosis; karenanya, aktivasi NF-kB

dapat menjadi penghubung utama antara OSA dan risiko

kardiometabolik. Peningkatan stres oksidan dapat merangsang

NF-kB, dan peradangan juga tampaknya mampu memicu stres

oksidatif lebih lanjut, sehingga menjadi penyebab patogenesis

penyimpangan kardiometabolik. Neutrofil dan monosit yang

bersirkulasi dari subjek dengan OSA menunjukkan peningkatan

aktivitas pengikatan NF-kB dibandingkan dengan subjek kontrol,

36
dan ini dapat dikontrol dengan pemakaian CPAP (Htoo, et al,

2006).

2.3.2.4 C-Reactive Protein

C-Reactive Protein (CRP) sebagai biomarker peradangan

telah menjadi perhatian khusus bagi dokter karena kegunaan

klinisnya dalam stratifikasi risiko penyakit kardiovaskular, di

samping faktor risiko kardiovaskular lainnya. Level CRP yang

meningkat dikaitkan dengan sindrom metabolik, dan level telah

diamati meningkat secara bertahap seiring dengan meningkatnya

jumlah komponen sindrom metabolik (Ford, 2003).

37

Anda mungkin juga menyukai