Tugas Immunologi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

Nama PPDS : dr.

Aldiela Fitryanto
Semester : 3
Stase : Ruangan

Nama Pasien : Tn Achmad


Umur : 73 tahun
No. MR / Reg : 11328443 / 1821931
MRS : 1 Juli 2018
Ruangan : 24 B
DPJP : dr. Iin Noor Chozin, Sp.P(K)
Diagnosa :
1. PPOK eksaserbasi akut tipe 2
2. Pneumonia CAP
3. HF Stage B dt HHD
4. HT on treatment
5. Wasting Syndrome
6. Azotemia prerenal

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai


karakteristik keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan
yang bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau
gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala utama sesak napas,
batuk dan produksi sputum.1,2 Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa
PPOK sering disertai dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek
sistemik pada PPOK.3,4 American Thoracic Society (ATS) melengkapi pengertian
PPOK menjadi suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati ditandai dengan
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran
udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
abnormal terhadap partikel atau gas beracun terutama disebabkan oleh rokok.
Meskipun PPOK mempengaruhi paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik
yang bermakna.5,6
Keterbatasan aktiviti merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat
mempengaruhi kualiti hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang
berperan dalam keterbatasan aktiviti penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan
berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi
merupakan manifestasi sistemik PPOK.4,5,7,8 Efek sistemik ini penting dipahami dalam
penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi baru yang memberikan
kondisi dan prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.3

RESPONS INFLAMASI PARU PADA PPOK


Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK tidak
hanya berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang ditandai dengan
peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor-α (TNF-

1
α), interleukin 6 (IL-6) serta IL-8. Respons sistemik ini menggambarkan progresiviti
penyakit paru dan selanjutnya berkembang menjadi penurunan massa otot rangka
(muscle wasting), penyakit jantung koroner dan aterosklerosis.9 Mekanisme
molekuler dan seluler pada PPOK dapat dilihat pada gambar 1.6

Gambar 1. Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK 6

Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan
napas dalam membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik
menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat
menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber faktor
kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit
kronik dan progresif.6 Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan penglepasan
IL-8 dan TNF-α. Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase serta
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK.
Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur
paru. Kim & Kadel. dikutip dari 6 menemukan peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis
di jalan napas penderita PPOK dapat menyebabkan penglepasan elastase
dan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.6

Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage inflamatory protein-1 α (MIP1-
α) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T
yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga
pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi
parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada pusat jalan
napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang menyebabkan hipersekresi mukus
pada penderita bronkitis kronik.6

2
MEKANISME INFLAMASI SISTEMIK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi


paru yang abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress
oksidatif sistemik, aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan
sitokin proinflamasi.3 Efek sistemik PPOK dapat dilihat pada tabel 1. Respons
inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam
sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum
tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk
memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase
protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka
kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu
terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.9,10

Tabel 1. Efek sistemik PPOK 3

Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi paru terhadap


pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag
dan limfosit T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin
proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif
disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel inflamasi yang diaktifkan. Perubahan
respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi sistemik. Konsep ini
merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.3

Stres oksidatif mencakup semua perubahan fungsi atau struktur yang


disebabkan oleh ROS. Penilaian kadar ROS secara in vivo adalah sulit karena waktu
paruhnya sangat pendek sementara yang bisa dilihat adalah konsekuensi
biologiknya atau melalui fingerprint.3 Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan
diduga sebagai patogenesis PPOK yang tidak hanya ditemukan pada jalan napas
dan jaringan paru tetapi juga pada darah tepi. Banyak penelitian menyatakan bahwa
peningkatan oksidan dapat terjadi karena peningkatan jumlah neutrofil dalam
jaringan paru perokok dan penderita PPOK. Efek ini dapat dideteksi dalam plasma
berupa peningkatan petanda stres oksidan diikuti dengan penurunan kapasiti
antioksidan.11 Rahman dkk.dikutip dari 12 menemukan ketidak seimbangan status reduksi

3
oksidasi pada perokok dan penderita PPOK eksaserbasi akut. Peningkatan stres
oksidatif yang menetap dalam plasma penderita PPOK dibuktikan dengan penemuan
kadar lipid peroxidation yang tinggi.12

Peningkatan kadar beberapa mediator sitokin ditemukan pada penderita


PPOK stabil. Nougera dkk.dikutip dari 19 melakukan penelitian terhadap penderita PPOK
stabil menemukan peningkatan ekspresi Mac-1 (CD11b/CD18) dalam sirkulasi dan
kadar yang rendah dari soluble intercellular adhesion mollecule (SICAM)-1 dibanding
kontrol.7,13 Penilaian ekspresi guanine nucleotide binding proteins (G protein) dengan
mengabaikan kondisi klinis penderita PPOK menemukan
hilangnya imunoreactivity G-α yang bermakna dalam sirkulasi neutrofil.3 Sauleda
dkk. dikutip dari 11 melaporkan peningkatan aktiviti enzim sitokrom oksidase penderita
PPOK dibanding dengan orang sehat. Sitokrom oksidase adalah suatu enzim
terminal dalam rantai pernapasan di mitokondria. Keadaan ini berhubungan secara
bermakna dengan beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Aktiviti sitokrom oksidase
meningkat pada otot rangka penderita PPOK dibandingkan dengan orang normal.13

Perubahan sejumlah mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-8 ditemukan


berupa peningkatan kadar acute phase protein walaupun pada penderita PPOK
stabil. TNF-α mengatur proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara
merangsang peningkatan ekspresi molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu
juga dengan meningkatkan pengaturan sitokin proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6)
serta menginduksi angiogenesis.13 Proses eksaserbasi PPOK sebagian
berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada bronkus dan sistemik. Secara
umum proses inflamasi akan ditentukan oleh keseimbangan antara mediator pro dan
antiinflamasi.14

Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah


dilakukan terhadap soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1
dan soluble TNF receptor 55 dan 75 (sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat
aktiviti biologi TNF-α. Pada penderita PPOK stabil ditemukan peningkatan bermakna
sTNF-R55 dibandingkan dengan kontrol sTNF-R57 cenderung meningkat. Tidak ada
perbedaan yang terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita PPOK dengan
kontrol. 11,13

Peranan Nitric Oxide

Nitric oxide (NO) merupakan radikal bebas yang dibentuk dari asam amino L-
arginin oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) dan ditemukan pada otot dalam 3
bentuk isoform NOS. Bentuk pertama endothelial constitutive NOS (eNOS) berfungsi
mempertahankan tekanan pembuluh darah tetap rendah dan mencegah
perlengketan leukosit serta platelet ke dinding pembuluh darah. Bentuk
kedua neuronal constitutive NOS (nNOS) berperan sebagai neuromodulator atau
neuromediator. Bentuk ketiga inducible isoforms NOS (iNOS) melalui rangsangan
inflamasi dapat menghasilkan NO 1000 kali lebih banyak. Kelebihan jumlah NO akan
diubah menjadi bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang mempunyai efek sitotoksik. Pada
penderita PPOK ditemukan kadar iNOS yang meningkat pada otot.15 Peningkatan
kadar iNOS menyebabkan proses penghancuran protein, meningkatkan proses
apoptosis dan menyebabkan kegagalan kontraksi otot sehingga berpotensi sebagai
penyebab keterbatasan toleransi latihan pada penderita PPOK.3

4
Penurunan massa sel tubuh pada PPOK

Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting


pada PPOK dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing
tissue. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan
penurunan massa lemak bebas. Massa lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu
kompartemen intraseluler atau massa sel tubuh dan kompartemen ekstraseluler.
Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan
kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan
jaringan umumnya terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada
penderita PPOK stabil dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi
medik.7Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi
otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan
mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK.3,7 Schols dkk.dikutip dari
16
melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini
menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan
PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka
kematian sementara Landbo dkk.dikutip dari 17 menyatakan prognosis yang buruk pada
penderita PPOK bila IMT kurang dari 20 kg/m2. 16,17

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF-α


dan laju metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute
phase protein. Tumor necrosis factor-α berhubungan dengan percepatan
metabolisme dan perubahan protein serta peningkatan berkurangnya berat badan
pada penderita PPOK.4 Inflamasi sistemik menyebabkan metabolisme yang
berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang dapat
menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat β2 agonis
pada penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.3

Penderita PPOK cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi.


Asupan nutrisi penderita PPOK biasanya normal bahkan lebih besar daripada
normal sedangkan asupan nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme
penderita PPOK biasanya meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun
respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi seringkali buruk.3 Mekanisme lain
yang menerangkan kaheksia adalah hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin
adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam
keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat
badan rendah.4 Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan
peningkatan kadar leptin sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi.
Leptin juga berperan dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol
ventilasi.11

Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga


berperan dalam proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang
tidak mengalami kerusakan jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara
proses pemecahan dan pembentukan protein.7 Perubahan hormon juga
berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH), insulin-like
growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein
sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin

5
menekan proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak
bebas, merangsang produksi hepar dan sekresi IGF-1.3
Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan
puasa dan katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor,
ekspresi gen IGF-1 dan IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama
katabolisme diterangkan sebagai mekanisme adaptasi untuk membantu
pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-1 meningkat di jaringan.
Pemberian IL-1 dan TNF-α pada hewan percobaan berhubungan dengan kadar IGF-
1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang
dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-α.11

Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara.
Pertama dengan merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen,
kedua dengan menghambat katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid.
Penurunan kadar testosteron total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak
dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi
masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan
hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang
lebih tepat. 13

Pengecilan Otot
Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering
didapatkan sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak
adekuat. Selama keadaan ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah
lebih besar dibandingkan organ-organ viseral sedangkan otak tidak terpengaruh.
Pengurangan massa otot pada penderita PPOK terutama terdapat pada ekstremiti
bawah.7 Jalur adenosine triphosphate (ATP) tergantung pada ubiquitin-proteasom
berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot. Pengaruh
TNF-α pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein total dan
hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge dkk.dikutip dari 7 melaporkan TNF-α
merangsang aktivasi nuclear factor κ β (NF- κ β) untuk menghambat diferensiasi otot
rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca transkripsi. Tumor necrosis
factor-α dan interferon γ (IFγ) mempengaruhi regulasi otot rangka melalui
penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot yang
baru dibentuk dan menyebabkan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan otot
rangka.13 Sitokin inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui
penghambatan difrensiasi miogen melalui jalur NF- κ β dan secara langsung
menghambat NF- κ β seperti yang terlihat pada pengurangan otot berhubungan
dengan kaheksia. Proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis juga
berperan pada pengecilan otot.18

Perubahan metabolisme otot


Penurunan serabut otot tipe 1 dan peningkatan relatif serabut tipe 2
didapatkan pada otot rangka perifer penderita PPOK stabil, hal ini menunjukkan
perubahan proses oksidatif ke glikolisis. Metabolisme glikolisis menghasilkan ATP
yang lebih kecil daripada metabolisme oksidatif sehingga sangat berpengaruh pada
metabolisme energi otot rangka penderita PPOK.7 Kadar laktat meningkat lebih
cepat selama latihan pada penderita PPOK, keadaan ini berhubungan dengan
berkurangnya enzim oksidasi pada otot tungkai bawah. Kadar glutamat didapatkan
rendah pada penderita PPOK. Glutamat berperan dalam menyediakan posfat energi
tinggi melalui proses metabolik dan menjadi prekursor antioksidan glutation dan

6
sintesis glutamin dalam otot. Kadar glutamat dan glutation yang rendah juga
didapatkan pada penderita emfisema. Proses asidosis laktat yang terjadi lebih awal
selama latihan pada penderita PPOK berhubungan dengan penurunan kadar
glutamat otot.11

Disfungsi otot rangka


Disfungsi otot rangka pada penderita PPOK meliputi perubahan anatomi dan
fungsi. Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara
perubahan fungsi berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktiviti enzim. Semua
ini akan mempengaruhi kapasiti latihan serta kualiti hidup penderita. Peranan
diafragma lebih dominan daripada otot rangka dalam proses pernapasan pada
penderita PPOK. Hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik yang menetap merupakan
faktor penyebab disfungsi otot rangka.3,19
Stress oksidatif pada penderita PPOK dibuktikan dengan peningkatan kadar
sitokin sirkulasi dan acute phase reactant termasuk IL-6, IL-8, TNF-α, TNF-R55,
TNF-R75, CRP dan lipopolisakarida terikat protein. Semua sel inflamasi ini terlihat
lebih aktif pada penderita PPOK. Neutrofil darah tepi memperlihatkan perluasan
kemotaksis, proses proteolisis ekstraselular, menghasilkan lebih banyak ROS serta
meningkatkan ekspresi MAC. Aktiviti sitokrom oksidase lebih meningkat pada PPOK
dan peningkatan ini berhubungan dengan petanda nonspesifik terhadap aktivasi
limfosit pada penyakit inflamasi kronik. 20

Efek kardiovaskular
Penyakit pembuluh darah jantung sering ditemukan pada PPOK karena
keduanya mempunyai faktor risiko yang sama seperti merokok, usia lanjut dan
inaktiviti. Pajanan asap rokok atau particulate matter menghasilkan inflamasi sistemik
seperti terlihat pada gambar 2. Respons inflamasi ini berupa respons fase akut
dengan peningkatan pembekuan darah, penglepasan mediator inflamasi ke dalam
sirkulasi selanjutnya mengaktifkan endotelin dan merangsang sumsum tulang
melepaskan leukosit dan trombosit. Keadaan ini meningkatkan resiko penyakit
vaskular, menyebabkan ketidakstabilan plak aterosklerosis sehingga menjadi ruptur
dan menyebabkan trombosis.3,9

Gambar 2. Mekanisme inflamasi paru yang menginduksi penyakit


vascular 9

7
Efek terhadap sistem saraf
Perubahan metabolisme bioenergi penderita PPOK diperlihatkan
dengan nuclear magnetic resonance spectroscopy, hal ini mungkin disebabkan oleh
proses adaptasi terhadap kondisi hipoksia kronik. Tingginya prevalens depresi
mungkin berhubungan dengan respons terhadap kondisi kelemahan yang menetap
akibat penyakit kronik. Perubahan sistem saraf otonom yang abnormal dilaporkan
terutama pada penderita dengan berat badan rendah dan berhubungan dengan
pengaturan irama sirkadian leptin. Pemberian leptin mempunyai efek penting
terhadap fungsi saraf endokrin, pengaturan appetite dan berat badan. Kadar leptin
yang rendah berhubungan dengan patogenesis disfungsi otot rangka dan penurunan
berat badan pada penderita PPOK. 3,9
Efek terhadap tulang rangka
Prevalens osteoporosis meningkat pada penderita PPOK, hal ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, terapi
steroid dan inflamasi sistemik. Keadaan emfisema dan osteoporosis ditandai
dengan hilangnya jaringan paru atau jaringan tulang. Gambaran tulang yang
mengalami osteoporosis hampir sama dengan jaringan paru yang mengalami
emfisema. 3

TERAPI TERBARU PPOK


Inflamasi kronik pada PPOK berlangsung pada jalan napas kecil dan parenkim paru
yang melibatkan neutrofil, makrofag dan CD8+. Proses ini menyebabkan fibrosis
dan penyempitan pada jalan napas kecil serta destruksi parenkim akibat bermacam-
macam protease seperti neutrofil elastase dan matriks metaloproteinase (MMP).
Berdasarkan mekanisme inflamasi seluler dan molekuler yang terjadi pada
PPOK, timbul pemikiran untuk mengembangkan terapi yang dapat mengontrol
inflamasi dan proses destruksi yang terjadi seperti terlihat pada gambar 3. 21

Gambar 3. Target terapi PPOK berdasarkan mekanisme inflamasi 3

8
1. Berhenti merokok
Merokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti merokok merupakan
terapi yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di
jaringan masih terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan
nikotin merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti
nikotin hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini sedang dikembangkan
vaksin yang mampu menetralisir nikotin dalam darah.22 Jorenby dkk.dikutip dari
23
menemukan Bupropion yang merupakan suatu anti depresan cukup berhasil bila
digunakan sebagai terapi berhenti merokok. Pemberian bupropion selama 6-9
minggu memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18% dibandingkan
dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat ini ditoleransi dengan baik dan
hanya menimbulkan efek samping berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada
penderita.23
2. Bronkodilator baru
Tiopropium bromid merupakan antikolinergik kerja lama. Inhalasi Tiopropium bromid
sebanyak 1 kali sehari memberikan efek bronkodilator yang lebih efektif daripada
pemberian ipratropium bromid sebanyak 4 kali sehari. Penelitian jangka panjang
memperlihatkan perbaikan gejala dan kualiti hidup yang bermakna serta
berkurangnya eksaserbasi pada penderita PPOK yang mendapat Tiopropium
bromid. Obat ini menjadi pilihan bronkodilator dan mempunyai efek yang lebih baik
bila dikombinasi dengan β2 agonis kerja lama.21

3. Antagonis Mediator
Sejumlah mediator inflamasi berperan dalam proses inflamasi PPOK dan proses ini
tetap berlangsung walaupun penderita sudah berhenti merokok. Inflamasi neutrofil
merupakan karakteristik PPOK dan pemberian terapi ditujukan pada mediator yang
berperan dalam pengaturan dan aktivasi netrofil ini seperti yang terlihat pada tabel
2.13
Tabel 2. Antagonis mediator untuk PPOK 21

a. Penghambat leukotrin B4 (LTB4)


Leukotrin B4 merupakan chemoattractant neutrofil dan meningkatkan produksi
sputum penderita PPOK. Dua subtipe LTB4 yaitu reseptor BLT1 diekspresikan oleh
granulosit dan monosit serta reseptor BLT2 diekspresikan oleh limfosit T. Antagonis
BLT1 yaitu LY29311 sedang dikembangkan untuk terapi inflamasi neutrofil.
Antagonis reseptor LTB4 yang selektif seperti SC-53228, CP-105696, SB201146 dan
BIIL284 juga sedang dikembangkan.22
b. Penghambat kemokin

9
Kadar IL-8 meningkat pada sputum penderita PPOK dan berhubungan dengan
beratnya penyakit. Antagonis IL-8 berupa antibodi monoklonal dapat menghambat
respons kemotaktik neutrofil pada hewan percobaan. Antagonis CXCR2, antagonis
MCP atau antagonis CCR2 masih dalam tahap uji klinis.21
c. Penghambat TNF-α
Antibodi monoklonal (infliximal®) dan soluble receptors TNF-α (etanercept®) efektif
digunakan pada penyakit kronik. Pemakaian jangka lama tidak menyenangkan untuk
penderita karena harus disuntikkan secara berulang.21,22
d. Antioksidan
N-acetyl cystein (NAC) meningkatkan produksi GSH (glutation). Pemberian NAC
peroral menunjukkan pengurangan eksaserbasi PPOK. Antioksidan yang lebih efektif
seperti senyawa glutation yang stabil, analog dengan SOD serta obat berbasis
selenium sedang dikembangkan.21
e. Penghambat iNOS
Stres oksidatif menyebabkan peningkatan penglepasan NO dari iNOS yang
akan menghasilkan radikal bebas peroksinitrit. Penghambat selektif iNOS seperti
N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL) dapat mengurangi penglepasan NO jangka
panjang.22

4.Terapi anti inflamasi baru

Terapi inhalasi kortikosteroid yang digunakan pada penderita PPOK diduga dapat
mencegah progresiviti penyakit tetapi pada kenyataannya kortikosteroid tidak
mengurangi progresiviti penyakit dan tidak menghambat inflamasi neutrofil yang
diinduksi oleh ozon pada manusia bahkan sebaliknya dapat memperpanjang masa
hidup neutrofil. Alasan lain yang menyebabkan resistensi kortikosteroid adalah efek
hambatan asap rokok pada histon deasetilase yaitu suatu enzim yang dibutuhkan
kortikosteroid untuk menekan gen inflamasi. Beberapa jenis anti-inflamasi baru yang
dikembangkan sebagai terapi PPOK dapat dilihat pada tabel 3.21
Tabel 3. Obat anti-inflamasi baru untuk PPOK 21

a. Penghambat posfodiesterase-4 (PDE-4)


Penghambat fosfodiesterase-4 merupakan PDE yang diekspresikan pada neutrofil,
CD8+ dan makrofag. Diduga penghambatan PDE akan dapat mengontrol inflamasi
pada PPOK secara efektif. Penghambat fosfodiesterase-4 seperti cilomilast dan
roflumilas sedang dikembangkan dan bermakna dalam menghambat pelepasan
TNF-α oleh monosit.21,24

10
b. Penghambat NF-κβ
NF-κβ mengatur ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP. Efek hambatan jangka lama
terhadap NF-κβ dapat menekan sistem imun dan mengganggu kekebalan tubuh.
Tikus percobaan yang kekurangan NF-κβ akan mati akibat sepsis.21
c. Penghambat molekul adesi
Pengerahan neutrofil, monosit, T sel sitotoksik pada paru dan jalan
napas bergantung kepada ekspresi molekul adesi. Pemberian TBC 129 dapat
menghambat molekul adesi E-selektin pada endotel, adesi granulosit dan neutrofil.
Perlu dipikirkan bahwa hambatan terhadap neutrofil akan meningkatkan kejadian
infeksi.21
d. Interleukin 10
Sitokin IL-10 mempunyai aksi antiinflamasi yang luas, mekanisme kerjanya
menghambat sekresi TNF-α dan IL-8, menurunkan ekspresi MMP dan
meningkatkan ekspresi tissue inhibitor matrix metalloproteinase (TIMP). Pemberian
secara injeksi selama beberapa minggu dapat ditoleransi dengan baik sehingga
dapat menjadi terapi yang potensial untuk PPOK.21
e. Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase
Mitogen activated protein kinase berperan dalam inflamasi kronik. Penghambat
nonpeptida seperti SB 203580, SB 239063, RWJ 67657 merupakan penghambat
p38MAP kinase. SB 239063 terbukti mengurangi infiltrasi neutrofil setelah inhalasi
endotoksin dan menurunkan konsentrasi IL-6, MMP-9 pada bilasan bronkoalveolar
(BAL) tikus percobaan. Pemberian secara inhalasi dianggap aman.21,22
f. Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase (PI-3K)
Posfoinositid (PI)-3 kinase merupakan kelompok enzim yang meningkatkan
pembentukan lipid second messenger yang mengatur beberapa peristiwa seluler
termasuk pengerahan dan aktivasi neutrofil. Hambatan terhadap PI-3K akan
menyebabkan gangguan pada migrasi dan aktivasi neutrofil sama baiknya dengan
hambatan limfosit T dan fungsi makrofag.21
5. Penghambat Protease
Hambatan terhadap enzim proteolitik atau peningkatan antiprotease endogen diduga
akan menguntungkan dan dapat mencegah progresiviti obstruksi jalan napas
penderita PPOK. Antiprotease endogen yang diberikan antara lain α1-antitripsin,
penghambat leukoprotease, elafin dan penghambat MMP. Pemberian ONO-5046
dan FR 901277 berpotensi menghambat elastase neutrofil yang menginduksi cedera
paru pada hewan percobaan. Obat ini dapat diberikan secara inhalasi dan
sistemik.22,25
6. Agen remodeling
Mekanisme obstruksi pada PPOK adalah karena hilangnya elastisiti dan rekoil
parenkim paru akibat proteolisis jaringan paru. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki
tetapi hanya dapat dicegah oleh terapi tertentu. Asam retinoat meningkatkan jumlah
alveoli pada tikus percobaan dan mengembalikan perubahan histologis, fisiologis
yang diinduksi oleh terapi elastase. Asam retinoat mengaktifkan reseptornya yang
berperan sebagai faktor transkripsi untuk mengatur gen yang berfungsi dalam

11
pertumbuhan dan difrensiasi sel. Perlu penelitian lebih lanjut apakah temuan ini
dapat diaplikasikan pada manusia.21
7. Hantaran Obat
Pemberian bronkodilator dengan cara inhalasi dosis terukur (IDT) atau inhalasi
bubuk kering kurang berfungsi pada penderita emfisema dan bronkitis kronik karena
proses inflamasi dan destruksi terjadi di parenkim dan jalan napas kecil. Perlu
dipikirkan pemberian inhalasi dengan ukuran partikel yang jauh lebih kecil sehingga
mencapai bagian perifer paru.22
Obat baru untuk PPOK sangat diperlukan mengingat proses inflamasi terus berlanjut
walaupun penderita sudah berhenti merokok. Faktor lingkungan seperti asap dapur,
polutan, perokok pasif serta inhalasi zat toksin lainnya perlu diperhatikan karena juga
dapat menyebabkan PPOK. Peranan faktor genetik perlu dipertimbangkan karena
hanya sekitar 10-20% perokok yang dapat berkembang menjadi PPOK. Penelitian
lebih lanjut diperlukan berdasarkan mekanisme molekuler dan seluler yang menjadi
patogenesis PPOK sehingga dapat dikembangkan terapi yang lebih baik terhadap
penyakit ini.22,26

12
DAFTAR PUSTAKA
1.Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E dkk.. PPOK
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.p.vii.
2.NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive pulmonary
disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.
3.Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect of
chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:347-60.
4.Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic
disease: an epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.
5.Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and
pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.
6.Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:339-51.
7.Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD. Chest
2002;121suppl:127-30.
8.Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD and
systemic inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax
2004;59:574-80.
9.Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient
particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.
10.Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA, Hurst JR.
Airway and systemic inflammation and decline in lung function in patients with
COPD. Chest 2005;128:1995-2004.
11.Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of
COPD. Thorax 2002;57:1067-70.
12.Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in
asthma, COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1055-60.
13.Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac Soc
2005;2:26-33.
14.Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group. Oxidative
stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1997;
156:341-57.
15.Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle
inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J 2005;26:390-7.
16.Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is reversible
factor in the prognosis of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit
Care Med 1998;157:1791-7.
17.Landbo C, Prescott E, Lange P, Vestbo J, Amdal TP. Prognostic value of
nutritional status in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care
Med 1999; 160:1856-61.

13
18.Macnee W. Oxidant/antioxidats and COPD. Chest 2000;117suppl:303-17.
19.Noguera A, Busquets X, Sauleda J. Expression of adhesion molecules and G
protein in circulating neutrophils in chronic obstructive pulmonary disease. Am J
Respir Crit Care Med 1998;158:1664-8.
20.Oudijk EJD, Nijhuis EHJ, Zwank MD, Graaf EA, Mager HJ, Coffer P et al.
Systemic inflammation in COPD visualised by gene profiling in peripheral blood
neutrophils. Thorax 2005;60:538-44.
21.Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary disease 12: New treatment for COPD.
Thorax 2003;58:803-8.
22.Buhl R, Farmer SG. Future direction in the pharmacologic therapy of COPD. Proc
Am Thorac Soc 2005;2:89-93.
23.Jorenby DE, Leischow SJ, Nides MA. A controlled trial of sustained release
bupropion, a nicotine patch or both for smoking cessation. N Engl J Med 1999;340:
685-91.
24.Sturton G, Fitzgerald M. Phospodiesterase inhibitors for the treatment of COPD.
Chest 2002;121suppl:192-196.
25.Stockley RA. Neutrophils and protease/ antiprotease imbalance. Am J Respir Crit
Care Med 1999;160:549-52.
26.Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1712-17

14

Anda mungkin juga menyukai