Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun


akibat pankreas tidak menproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur
keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi
glukosa di dalam darah (hiperglikemia) (WHO, 2014).

Global status report on non communicable diseases tahun 2014 yang


dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
prevalensi DM di seluruh duinia diperkirakan sebesar 9%. Proporsi kematian
akibat penyakit DM dari seluruh kematian akibat penyakit tidak menular adalah
sebesar 4% di dunia. Kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan
rendah dan menegah dengan proporsi sebesar 80%. Pada tahun 2030 diperkirakan
DM menepati urutan ke-7 penyebab kematian di dunia .

Dalam Diabetes Atlas edisi ke tujuh tahun 2015 yang dikeluarkan oleh
International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita DM semakin
bertambah. Menurut estimasi IDF (2015) 415 juta penduduk di seluruh dunia
mengalami DM, 8.8% orang penduduk diantara umur 20-79 tahun diestimasi
mengalami DM. Sekitar 75% tunggal di Negara-negara dengan pendapatan rendah
dan menegah. Jika tidak ada tindakan yang dilakukam, jumlah ini diperkirakan
akan meningkat menjadi 642 juta pada tahun 2040. Kenaikan besar akan terjadi di
wilayah di mana ekonomi bergerak dari tingkat pendapatan rendah ke tingkat
menegah.

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan berkembang biaknya


mikroorganisme patogen didalam saluran kemih yang menyebabkan inflamasi.
Dalam keadaan normal saluran kemih tidak mengandung bakteri, virus, atau
2

mikroorganisme lainnya. Dengan kata lain bahwa diagnosis ISK ditegakkan


dengan membuktikan adanya mikroorganisme di dalam saluran kemih
(Suharyanto,T. 2009). Infeksi saluran kemih juga merupakan masalah infeksi
kedua sesudah infeksi saluran pernapasan bawah (Muller, Gorter, Hak,
Goudzwaard, Schellevis, Hoepelman, et al.2005)

Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru
lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami ISK
daripada pria; ini disebabkan uretra wanita lebih pendek daripada pria. Insiden
ISK ini pada usia remaja anak perempuan 3,3% sampai 5,8%. Bakteriuria
asimtomatik pada wanita usia 18-40 tahun adalah 5-6% dan angka itu meningkat
menjadi 20% pada wanita lanjut (Basuki B, 2011)

Infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada pasien diabetes perempuan.
Prevalensi ISK pada pasien DM perempuan 43% dan pada laki-laki DM 30%
(Pargavi, Mekala, Selvi, Moorthy, 2001). Hampir 50% perempuan minimal
mengalami satu kali ISK dalam kehidupannya (Foxman, Barlow, D’Arcy,
Gillespic, Sobel, 2000).

Penelitian yang dilakukan di Kanada mendapatkan 7-20% pasien yang dirawat


dengan ISK atas, rata-rata 10,60 ± 0,51 per 10.000 penduduk wanita dan 3,32 ±
0,27 per 10.000 penduduk laki-laki dan 21% dari 432 pasien yang dirawat atas 40
tahun menderita diabetes. Angka masuk rumah sakit pada ISK atas ini 5-20 kali
lebih besar pada kehamilan dan Diabetes Melitus. (Nicolle LE et al., 1996)

Oleh karena meningkatnya prevalensi ISK dan bakteriuri asimtomatik pada


penderita DM dibandingkan penderita tanpa DM dan juga seringnya komplikasi
ISK seperti abses ginjal, nekrosis papil ginjal, dan bakteria yang lainnya pada
penderita DM, serta besarnya kejadian bakteria asimtomatik yang mendahului
simtomatik ISK pada penderita DM, maka penelitian ini ingin mengetahui
prevalensi ISK pada penderita DM berobat ke Poliklinik Rawat Jalan Divisi
Endokrinologi RSUP Haji Adam Malik Medan sehingga hasil penelitian ini dapat
3

digunakan untuk meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah kejadian ISK dan


komplikasi yang lebih berat terjadi pada penderita DM.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian


ini adalah melihat prevalensi kejadian infeksi saluran kemih (ISK) dikalangan
wanita yang menderita Diabetes Melitus tipe 2 (DM Tipe 2) yang di Poliklinik
Rawat Jalan Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji
Adam Malik Medan pada tahun 2017.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi


kejadian infeksi saluran kemih (ISK) dikalangan wanita yang menderita Diabetes
Melitus tipe 2 (DM Tipe 2) yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi
Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui distribusi kadar gula darah pada wanita DM tipe 2 yang
menderita ISK yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi
Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada
tahun 2017.
2. Untuk mengetahui distribusi kadar HbA1c pada wanita DM tipe 2 yang
menderita ISK yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi
Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada
tahun 2017.
4

3. Untuk mengetahui distribusi jenis bakteri yang sering dijumpai pada


wanita DM tipe 2 yang menderita ISK yang di Poliklinik Rawat Jalan
Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam
Malik Medan pada tahun 2017.
4. Untuk mengetahui distribusi umur pada wanita DM tipe 2 yang menderita
ISK yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi Departemen
Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017.
5. Untuk mengetahui distribusi jenis perkerjaan pada wanita DM tipe 2 yang
menderita ISK yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi
Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada
tahun 2017.

1.3 Manfaat Penelitian

1.3.1 Bagian RSUP Haji Adam Malik Medan

1. Sebagai dasar ilmiah dalam memusatkan perhatian secara khusus pada


pasien diabetes melitus tipe 2 sehingga dapat dilakukan penanganan
adekuat agar terhindar dari infeksi saluran kemih

1.3.2 Bagi Masyarakat

1. Sebagai dasar informasi kesehatan untuk memotivasi masyarakat


melakukan pencegahan terhadap diabetes melitus tipe 2 dari segala faktor
pencetusnya.
2. Sebagai bahan informasi kepada pasien yang telah terdiagnosis diabetes
melitus tipe 2 untuk melakukan pengobatan yang adekuat demi mencegah
komplikasi infeksi saluran kemih

1.3.3 Bagi Peneliti

1. Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat di


bangku kuliah dalam bentuk penelitian ilmiah secara mandiri.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (PERKENI
2015, Dyah Purnamasari 2014, Richard N. Mitchell et al.,2012. 2012, Richard
Harvey & Denise Ferrie 2011).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus


(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.Menurut World Health Organization (WHO) sebelumnya telah
merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam
satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagian
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di
mana didapat defisiensi insulin absolute atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

Sumber lain mengatakan bahwa diabetes melitus adalah gangguan


metabolisme secara genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi
berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara
klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskuler mikroangiopati, dan neuropati.
Manifestasi klinis hiperglikemi biasanya sudah bertahun-tahun mendahului
timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan
toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi
6

glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (David E.


Schteingart, 2006)

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus (ADA 2009)

I. Diabetes Melitus Tipe 1


Destruksi sel beta , umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
II. Diabetes Melitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
 Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetic kerja insulin
 Penyakit eksokrin pancreas
 Endokrinopati
 Diabetes karena obat/zat kimia
 Diabetes karena infeksi
IV. Diabetes Melitus Gestational
Diabetes melitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

2.2 Diabetes Melitus Tipe 2

2.2.1 Definisi

Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan penyakit yang paling sering terjadi,


mencakup sekitar 85% pasien diabetes. Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan
penyakit hiperglikemia akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin
mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin
mungkin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes melitus tipe 2
7

dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus (Selamet Suyono et al.,
2004).

Diabetes Melitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di


tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Richard Harvey &
Denise Ferrier, 2012).

2.2.2 Etiologi

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya


mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes melitus tipe 2 pada
kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada
saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik
adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa
muda (MODY), yaitu subtype penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola
autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes melitus tipe 2, rasio
diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa
(carrier) diabetes melitus tipe 2 (David E.Schteigart, 2006).

2.2.3 Faktor risiko

Table 2.1 : Faktor risiko DM tipe 2

Riwayat Diabetes dalam keluarga


Diabetes Gestational
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg
Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome)
IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired glucose tolerance)
Obesitas >120% berat badan ideal
Umur 20-59 tahun : 8.7%
> 65 tahun : 18%
Hipertensi >140/90mmHg
Faktor-faktor Lain Kurang olah raga
Pola makan rendah serat
8

2.2.4 Patofisiologi

Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau


monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan
polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan dicerna menjadi monosakarida dan
diabsorpsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah
diabsorpsi, kadar glukosa darah akan meningkatkan untuk sementara waktu dan
akhirnya akan kembali jadi ke kadar semula. Pengaturan fisiologi kadar glukosa
darah sebagian besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa,(2)
menyintesis glikogen, dan (3) melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih
sedikit, jaringan perifer-otot dan adipose-juga mempergunakan ekstrak glukosa
sebagai sumber energy sehingga jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam
mempertahankan kadar glukosa darah.

Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan
oleh jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon
yaitu (1) hormon yang merendahkan kadar glukosa darah, atau (2) hormon yang
meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin adalah hormon yang menurunkan
glukosa darah, dibentuk oleh sel-sel beta pulau Langerhans pancreas. Hormon
yang meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain: (1) glukagon yang disertai
sel-sel alfa pulau Langerhans, (2) epinefrin yang disekresi oleh medulla adrenal
dan jaringan kromafin lain, (3) glukokortikoid yang disekresi oleh korteks
adrenal, dan (4) growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior.
Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormone, membentuk suatu
pelayanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat
pengaruh insulin.

Diabetes Melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta


kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi sel-sel sasaran terhadap
kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor
permukaan sel tertentu, kemudian terjadi sekresi intrasellular yang menyebabkan
mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa
9

menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2


terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang
selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin
intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor
insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat
mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan
menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes melitus tipe 2
mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes
melitus tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa (David
E.Schteingart,2006).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi


metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa darah plasma puasa yang normal, atau toleransi
glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi
ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria)
dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka
pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa
lapar yang semkain besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (David
E.Schteingart,2006).

Pasien dengan diabetes melitus tipe 2 mungkin sama sekali tidak


memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
10

hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia,


poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis
karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.
Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat
ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi
diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin
untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan
kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri
mungkin berkurang normal atau malahan tinggi, tetap tidak memadai untuk
mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap
insulin eksogen (David E.Schteingart, 2006).

2.2.6 Diagnosa

Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Dalam


menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan
cara pemeriksaan yang dipakai (Sidartawan Soegondo, 2004). Untuk diagnosis,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil
pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl, glukosa darah puasa > 126
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan
gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi
diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang
abnormal. Konfirmasi tidak perlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, bert badan yang menurun
cepat.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM.
11

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan


Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dengan faktor risiko lain sebagai
berikut:

a. Aktivitas fisik kurang


b. Riwayat keluarga menderita diabetes melitus pada turunan pertama
c. Masuk kelompok etnis risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pacific Islander)
d. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat diabetes mellitus gestational
e. Tekanan darah > 140/90 mm/Hg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi
f. Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat Toleransi Glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT)
i. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas,
akantosis nigrikans)
j. Riwayat penyakit kardiovaskuler

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa


darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):

a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-


hari dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula
c. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram?kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
12

e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2


jam setelah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

Table 2.2 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar glukosa darah sewaktu
(mg/dl)
-Plasma vena < 110 110 – 199 > 200

-Darah kapiler < 90 90 – 199 > 200

Kadar glukosa darah puasa


(mg/dl)
-Plasma vena < 110 110 – 125 > 126

-Darah kapiler < 90 90 – 109 > 110


Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi Glukosa :

1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena ) > 200 mg/dl


2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dl
3. Konsentrasi glukosa darah > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO
13

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar


penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan
intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat,
misalnya: ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau
adanya ketouria, insulin dapat segera diberikan.

a. Edukasi

Penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan


keluarga. Untuk mencapai keberhasialn perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi
yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan


diabetes melitus tipe 2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang mendapat
diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai
sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan kepentingan keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurunan glukosa darah atau terapi insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan
14

terdiri dari; karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energy,
asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, protein dibutuhkan
sebesar 10-20% total asupan energy, anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000
mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh garam dapur), dianjurakn
mengkonsumsi cukup serat lebih kurang 25 gram per hari, dan pemanis aman
digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI).

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous Rythmiccal Intensity Progressive
Endurance). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal dilakukan
selama 3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat digunakan untuk
melakukan olah raga kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan
merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa ke dalam sel. Latihan
jasmani yang teratur akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara
meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya
glukosa ke dalam sel.

d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan


latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan.
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan, antara lain; pemicu
sekresi insulin (Insulin Secretagogue), seperti sulfonilurea dan glinid; peningkat
sensitivitas terhadap insulin, seperti metformin dan tiazolidindon; penghambat
absorpsi glukosa seperti penghambatan alfa glukosidas dan DPP-IV (dipeptidyl
peptidase-4) inhibitor.

2.2.8 Komplikasi

Pengelolaan Penyakit DM yang tidak baik dapat menimbulkan komplikasi


baik akut maupun kronik. Menurut PERKENI (2015), komplikasi DM meliputi :
15

2.2.8.1 Komplikasi akut: Ketoasidosis diabetic (KAD), sindrom hiperglikemia


hiperosmolar nonketotik, hipoglikemia.

2.2.8.2 Komplikasi kronik, terdiri dari makrovaskular dan mikrovaskular.

1) Makrovaskular: penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler,


hipertansi, penyakit pembuluh darah tepi, dan nfeksi.

2) Mikrovaskular: retinopati diabetik, nefropati diabetik, ulkus kaki


diabetic. Neuropati diabetik terdiri dari 2 tipe, yaitu sensorimotor dan
autonomi. Neuropatimautonomi berdampak pada fungsi pupil,
kardiovaskular, gastrointestinal dan genitourinari.

2.3 Infeksi Saluran Kemih

2.3.1 Definisi

ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme


(MO) dalam urin. Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan
mikroorganisme (MO) murni lebih dari 105 colony forming units (cfu/ml) pada
biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK
dinamakan bakteriuiria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria
bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengann presentasi klinis
ISK tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang menyebabkan negatif palsu
pada pasien dengan presentasi klinis ISK. (Enday Sukandar, 2007).

a. Pasien telah mendapat terapi antimikroba


b. Terapi diuretika
c. Minum banyak
d. Waktu pengambilan sample tidak tepat
e. Peranan bakteriofag
16

2.3.2 Epidemiologi

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
sering ditemukan di praktik umum, walaupun pelbagai antibiotika sudah tersedia
luas di pasaran. Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan hampir 25-35%
semua perempuan dewasa pernah mengalami ISK seumur hidupnya. (Enday
Sukandar, 2007)

2.3.3 Etiologi

Penyebab ISK terbanyak adalah Escherichia coli yang ditemukan lebih


dari 80% kasus. Staphylococcus saprophytius ditemukan pada 10%-15% kasus.
Enterococcus, Enterobacter sp, dan Proteus sp. relatif jarang ditemukan.
Klebsiella sp. dan Streptococcus grup B lebih banyak ditemukan pada Ppasien
DM (Ronald, 2002).

2.3.4 Klasifikasi

Menurut lokasi infeksi:

- ISK Bawah : infeksi pada uretra dan kandung kemih

- ISK Atas : infeksi pada ginjal

Menurut gejala:

- Bakteriuria asimptomatis ( tanpa disertai gejala )

- Bakteriuria simptomatis ( disertai gejala )

Menurut komplikasi:

- ISK sederhana ( tanpa faktor predisposisi )

- ISK berkomplikasi ( disertai faktor perdisposisi ).

(Enday Sukandar, 2007)


17

2.3.5 Patogenesis dan Patofisiologi ISK

Patogenesis bakteriuria asimtomatik menjadi simtomatik dengan


presentasi klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri
(host) (Enday Sukandar, 2007).

Peranan Patogenisitas Bakteri

Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli diduga berkait


dengan etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe O (antigen)
E.coli yang pathogen. Patogenisitas E.coli terkait dengan bagian permukaan sel
polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari 170 serotipe
O/E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli
ini mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil menentukan
faktor virulensi E.coli dikenal sebagai virulence determinalis, Bakteri patogen dari
urin (urinary pathogens) dapat menyebabkan presentasi klinis ISK tergantung
juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi,
dan variasi fase faktor virulensi (Enday Sukandar, 2007).

Peranan bakterial attachment of mucosa

Penelitian membuktikan bahwa fimbriae (proteinaceous hair-like


projection from the bacterial surface), merupakan salah satu pelengkap
patogenesitas yang mempunyai kemampuan untuk meletak pada permukaan
mukosa saluran kemih. Pada umumnya P.fimbriae terikat pada P blood group
antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah Fimbriae dari
strain E.coli ini dapat diisolasi hanya dari urin segar ( Enday Sukandar, 2007).

Peranan Faktor Virulensi Lain

Sifat patogenisitas lain dari E.coli hubungan dengan toksin. Dikenal


beberapa toksin seperti- haemolysin, cytotoxic necrotizing faktor-1 (CNF-1), dan
iron uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95%-haemolisin terikat
pada kromosom dan berhubungan dengan pathogenicity islands (PAIS) dan hanya
5% terikat pada gen plasmio (Enday Sukandar, 2007).
18

Faktor Virulensi Variasi Fase

Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mrngalami perubahan


pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukkan peranan
beberapa penentu virulensi bervariasi antara individu dan lokasi saluran kemih.
Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal
(Enday Sukandar, 2007).

Peranan faktor Tuan Rumah (host)

Faktor predisposisi pencetus ISK

Penelitian epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan status saluran


kemih merupakan faktor resiko atau pencetus ISK. Jadi faktor bakteri dan status
saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pada
saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering mengalami kambuh bila sudah terdapat
kelainan struktural anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis
ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens
normal dan sangat peka terhadap infeksi. Zat makanan dari bakteri akan
meningkat dari normal, diikuti refluks MO dari kandung kemih ke ginjal.
Endotoksin dapat menghambat peristaltic ureter. Refleks vesikoureter ini sifatnya
sementara dan hilang sendiri bila dapat terapi antibiotika (Enday Sukandar, 2007).

Status Immunologi Pasien (host)

Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status


seketor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Prevelensi ISK juga
meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe
fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis. Kepekaan terhadap
ISK rekuran dari kelompok pasien dengan saluran kemih normal (ISK tipe
sederhana) lebih besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik dibandungkan
kelompok sekretorik (Enday Sukandar, 2007).
19

Patofisiologi ISK

Pada individu normal, urin selalu karena dipertahankan jumlah dan


frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi mikroorganisme
non-pathogenic fastidious Gram-positive dan gram negatif. Hampir semua ISK
disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih.
Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal.
Proses ini dipermudah refluks vesikoureter. Proses invasi microorganisme
hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari
bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut
septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus. Kelainan ginjal yang
terkait dengan endokarditis (stafilokokus aureus) dikenal Nephritis Lohlein.
Beberapa peneliti melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut
invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif (Enday Sukandar, 2007).

2.3.6 Gejala Klinis

Presentasi klinis ISK bawah:

a. Sistitis
Adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria
bermakna. Presentasi klinis sistitis adalah seperti sakit suprapubik,
polakisuria, nokturia, disuria, dan stranguria.
b. SUA
Sindroma uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikrooraganime (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian
terkini SUA disebabkan MO anaeroibik. Presentasi kilinisnya adalah
piuria, disuria, sering kencing, leukosituria.

Presentasi klinis ISK atas:

a. PNA
Pielonefritis akut adalah proses inflamais parenkim ginjal yang disebabkan
infeksi bakteri. Presentasi klinisnya adalah seperti panas tinggi (39.5-
20

40.5), disertai menggigil dan sakit pinggang. PNA ini sering didahului
gejala ISK bawah (sistitis).
b. PNK
Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjutan dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan
vesikoureter reflex dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal. (Enday Sukandar, 2007)

2.3.7 Diagnosis ISK

Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa
gejala hingga menunjukkan gejala yang sangat berat akibat kerusakan pada organ
lain. Pada umumnya infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat,
epididimis, dan testis) memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada
organ berongga (buli-buli, ureter, dan pielum) memberikan keluhan yang lebih
ringan. (Basuki.B, 2011)

Pemeriksaan Urine

Pemeriksaan urine merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting


pada infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan
pemeriksaan kultur urine. Pada urinalisis dicari kemungkinan adanya sel lekosit,
eritrosit, ataupun bakteri. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan untuk
menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan jenis
antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu. Sel darah putih (leukosit)
dapat diperiksa dengan dipstick maupun secara mikroskopik. Urine dikatakan
mengandung leukosit atau piuria jika secara mikroskopik didapatakan > 10
leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per lapangan pandang besar.

Pada pemeriksaan kultur urine perlu diperhatikan cara pengambilan contoh


atau sampel urine. Untuk mencegah timbulnya kontaminasi sample (contoh) urine
oleh kuman yang berada di kulit vagina atau prepusium, perlu diperhatikan cara
pengambilan contoh urine Contoh urine dapat diambil dengan cara: (1) aspirasi
21

suprapubik yang sering dilakukan pada bayi, (2) kateterisasi per uretrem pada
wanita untuk menghindari kontaminasi oleh kuman-kuman di sekitar introitus
vagina, dan (3) miksi dengan pengambialn urine porsi tengah atau midstream
urine. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan lebih dari 105 cfu (colony forming
per mL pada pengamilan contoh urine porsi tengah, sedangkan pada pengambilan
contoh urine melalui aspirasi suprapubik dikatakan bakteriuria bermakna
didapatkan > 103 cfu per mL. (Basuki.B, 2011)

Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengungkapkan adanya


proses inflamasi atau infeksi. Didapatkannya leukositosis, peningkatan laju endap
dan atau didapatkannya sel muda pada sediaan hapusan darah menandakan adanya
proses inflamasi akut. Pada keadaan infeksi berat, perlu diperiksa faal ginjal, faal
hepar, faal hemostasis, elektrolit darah, analisa gas darah, serta kultur kuman
untuk penanganan ISK secra intensif. (Basuki.B, 2011)

Pencitraan

Pada ISK uncomplicated (sederhana) tidak diperlukan pemeriksaan


pencitraan, tetapi pada ISK complicated (yang rumit) perlu dilakukan
pemeriksaan pencitraan untuk mencari penyabab/ sumber terjadinya infeksi. Renal
imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi ISK (Enday Sukandar,
2007).

a. Ultrasonogram
b. Radiografi
- Foto polos perut
- Pielografi IV
- Micturating cystogram
c. Isotop Sanning
22

2.4 Infeksi Saluran Kemih Dikalangan Pasien Yang Menderita DM

Penyakit diabetes mellitus (DM) dapat mengakibatkan komplikasi kronik,


yang mencakup komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Salah satu
komplikasi makrovaskular yang sering terjadi, di antaranya adalah infeksi. Pasien
DM dengan kadar glukosa darah yag tinggi, lebih rentan mengalami berbagai
infeksi dibanding dengan pasien yang tidak menderita DM. Infeksi pada penderita
DM terlokalisasi di saluran kemih. Infeksi ini merupakan masalah infeksi kedua,
setelah infeksi saluran pernafasan.

Predisposisi infeksi saluran kemih (ISK) pada penderita DM, dapat


muncul dari berbagai faktor. Kerentanan untuk terjadinya ISK, semakin
meningkat seiring dengan lamanya dan keparahan penyakit diabetes yang diderita
pasien dan beberapa kondisi lain. Diketahui, kadar glukosa urin yang tinggi dan
melemahnya system kekebalan tubuh meningkatkan predisposisi infeksi. Kadar
gula dalam urine yang tinggi, juga membuat bakteri menjadi lebih mudah
berkembang biak. Selain itu, hiperglikemia diketahui menyebabkan terjadinya
gangguan fungsi neutrofil dengan cara meningkatkan kadar kalsium intreaselular
dan actin, yang selanjutnya mengakibatkan terganggunya diapedesis dan
fagositosis. Hiperglikemia sebagai salah satu penyebab rentannya infeksi pada
DM, dapat terlihat pada penderita dengan ketoasidosis. Pada hiperglikemia berat
sering ditemukan komplikasi infeksi. Pada umumnya wanita lebih sering
mengalami ISK daripada pria; ini disebabkan uretra wanita lebih pendek daripada
pria.
23

2.5 Kerangka Teori


Kerangka teori penelitian ini bertujuan utuk mengetahui prevalensi infeksi
saluran kemih dikalangan wanita DM tipe 2 yang dirawat jalan di Poliklinik
RSUP Haji Adam Malik. Berdasarkan tinjauan pustaka maka kerangka teori dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mekanisme kerentanan
Diabetes Melitus tipe 2 Mikrovaskular: pasien terhadap ISK:
1.Retinopati diabetik semakin meningkat
Resistensi dan gangguan seiring dengan lamanya
2.Nefropati diabetik dan keparahan penyakit
sekresi insulin diabetes, lemah system
3.Ulkus kaki kekebalan ,gangguan
Hiperglikemik kronik 4.Neuropati diabetik: fungsi neurofil dan
neuropati otonom gangguan diapedesis
berdampak pada dan fagositosis.
Komplikasi genitourinari

Kronik

Akut
Makrovaskular:
1.Penyakit jantung koroner
1. Ketoasidosis akut
2.Penyakit serebrovaskular
2. Sindrom hiperglikemi
hiperosmolar nonketotik 3.Hipertensi

3. Hipoglikemia 4.Penyakit vaskuler darah tepi


5.Infeksi
Infeksi saluran
kemih

Faktor risiko: jenis kelamin, Upaya pengendalian DM: edukasi


usia lama menderita DM, ,terapi nutrisi,latihan
Hipertensi, jasmani,pengobatan

Gambar 2.5 Kerangka teori


24

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi


infeksi saluran kemih dikalangan wanita DM tipe 2 yang dirawat jalan di
Poliklinik RSUP Haji Adam Malik. Berdasarkan latar belakang maka kerangka
konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kadar Gula Darah

Kadar HbA1C
Wanita
Infeksi Saluran Kemih Jenis Bakteri
Diabetes Melitus
(ISK)
Perkerjaan
Tipe 2
Umur

Gambar 2.6 Kerangka konsep


25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif cross sectional.
Deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau frekuensi
serta distribusi penyakit disuatu daerah berdasarkan variabel orang, tempat dan
waktu. Cross sectional adalah melakukan observasi atau pengukuran variabel
pada satu saat tertentu. Dalam hal ini, yang akan dikaji merupakan prevalensi
kejadian Infeksi Saluran Kemih pada wanita yang menderita penyakit Diabetes
Melitus tipe 2 yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi Departemen
Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi


Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes melitus tipe 2 yang
tercatat dalam rekam medik di Poliklinik Rawat Jalan Divisi Endokrinologi
Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan
Januari 2017- Juni 2017.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 yang menderita


penyakit infeksi saluran infeksi yang tercatat dalam rekam medis di Poliklinik
26

Rawat Jalan Divisi Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji


Adam Malik Medan pada tahun 2017. Metode pengambilan sampel dilakukan
dengan metode total sampling yaitu besar sampel sama dengan jumlah populasi
dengan ketentuan yang telah dibatasi berdasarkan kriteria penelitian sebagai
berikut:

3.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi
i. Pasien DM yang menderita ISK.

b. Kriteria Ekslusi
i. Pasien DM tipe 2 dengan ISK yang telah mendapatkan terapi antibiotik
ii. Pasien DM tipe 2 dengan pemasangan kateter.
iii.Pasien wanita DM tipe 2 yang hamil.
iv.Pasien DM tipe 2 dengan data rekam medik yang tidak lengkap.

3.4 Metode Pengumpulan Data.

Prosedur pengumpulan data akan dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin


pelaksanaan penelitian dari Wakil Dekan 1 dan Direktur Rumah Sakit Haji Adam
Malik. Teknik penggumpulan data dirumuskan dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
a. Meminta rekam medis pasien yang di Poliklinik Rawat Jalan Divisi
Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam di RSUP Haji Adam Malik
Medan mulai dari tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 30 Jun 2017.

b. Selanjutnya memilih data pasien , kemudian data yang diambil adalah


pasien dengan kategori DM tipe 2 dengan infeksi saluran kemih yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
c. Mencatat hasilnya kemudian menghitung presentasenya.
27

3.5 Metode Analisis Data

Analisa data ini akan dilakukan dengan tabel distribusi menggunakan program
komputer yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui prevalensi
kejadian infeksi saluran kemih dikalangan pasien wanita DM tipe 2.
3.6 Definisi Operasional
Sesuai dengan masalah, tujuan, dan model penelitian, yang menjadi variabel
dalam penelitian beserta dengan definisi operasionalnya masing-masing sesuai
dengan yang dicatat oleh petugas rumah sakit sebagai berikut:
1. Diabetes melitus tipe 2
2. Infeksi saluran kemih
3. Kadar gula darah
4. HbA1C
5. Jenis bakteri
6. Umur
7. Pekerjaan

Diabetes melitus
a. Definisi Operasional Penyakit diabetes melitus tipe 2 yang diderita subjek
penelitian. Tercatat dalam rekam medis dan didiagnosis oleh dokter.
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur -
e. Hasil ukur Ya/tidak menderita diabetes melitus tipe 2

Infeksi Saluran Kemih


a.Definisi Operasional Penyakit infeksi saluran kemih yang diderita subjek
penelitian. Tercatat dalam rekam medis dan didiagnosis oleh dokter.
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur -
e. Hasil ukur Ya/tidak menderita infeksi saluran kemih
28

Kadar Gula Darah


a.Definisi Operasional Kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus tipe
2 yang tercatat di rekam medis
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur Interval
e. Hasil ukur Data lengkap dalam rekam medis

HbA1C
a.Definisi Operasional HbA1C pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang
tercatat di rekam medis
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur Interval
e. Hasil ukur Data lengkap dalam rekam medis

Jenis Bakteri
a.Definisi Operasional Bateri yang menyebabkan pasien menderita isk di data
rekam medis
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur Nominal
e. Hasil ukur Data lengkap dalam rekam medis

Umur
a.Definisi Operasional Usia penderita diabetes mellitus tipe 2 yang tercatat di
rekam medis
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur Interval
29

e. Hasil ukur Data lengkap dalam rekam medis

Pekerjaan
a.Definisi Operasional Pekerjaan penderita diabetes melitus tipe 2 yang
mengalami infeksi saluran kemih yang tercatat di rekam medis
b. Cara ukur Observasi
c. Alat ukur Rekam medis
d. Skala ukur Ordinal
e. Hasil ukur Data lengkap dalam rekam medis
30

BAB IV
JADWAL PENELITIAN DAN BIAYA

4.1 Jadwal Penelitian


Tabel 4.1 Jadwal Penelitian

No Kegiatan Bulan
Maret April Mei Juni September– November-
2017 2017 2017 2017 Oktober Desember
2017 2017

1 Pengajian X
judul
2 Studi pustaka X X X X
3 Pengumpulan X
sampel
4 Pengolahan X X
dan analisis
data
5 Laporan X
analisa
penelitian
31

4.2 Biaya Penelitian


Tabel 4.2 Biaya Penelitian
Alat dan Bahan Biaya
Jurnal
- Print Rp500.00 x 146 = 73,000.00
Buku
- Fotokopi Rp200.00 x 400 = 80,000.00
Print dan jilid skripsi
- Print Rp500.00 x 45 x 5 = 225,000.00
- Jilid Rp4,000.00 x 1 x 5 = 20,000.00

Total Rp 398,000.00
32

DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2013. Diagnosis and classification of diabetes melitus. Diabetes Care, 36,
p.67-74.

Alvin C. Powers, 2010. Diabetes Mellitus , In Harrison Endocrinology, Eds Fauci,


Braunwald, Kasper, et al, 2nd Edition, McGraw-Hill Companies,USA.p 267-271
Ariwijaya, M. & Suwitra, K. 2007. Prevalensi, karakteristik dan faktor-faktor
yang terkait dengan infeksi saluran kemih pada penderita diabetes melitus yang
rawat inap. Jurnal Penyakit Dalam,
Basuki B. Purnomo, 2011. Infeksi Urogenitalia pada Dasar-Dasar Urologi. Edisi
III. Jakarta, Indonesia: CV Sagung Seto,hal 55-57.
Ben Greenstein & Diana Wood, 2006. Endokrinologi metabolik: Pankreas dan
traktus gastrointestinal, At a Glance Sistem Endokrin Edisi Kedua, Penerbit
Erlangga, Jakarta. hal 86-87
David E.Schteingart, 2006. Pankreas: metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus.
In: Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, ed. Patofisiologi: Konsep Klinis Dan
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1259-
1272.
Dyah Purnamasari, 2014. Diagnosis Dan Klasfikasi Diabetes Melitus. In Ari
Fahrial Syam, Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus
Simadibrata K, Siti Setiati, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta,
Indonesia: Pusat Penerbitan Department Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteraan UI, 2323-2327.
Enday Sukandar, 2014. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. In Ari Fahrial
Syam, Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata
K, Siti Setiati, ED. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta, Indonesia:
Pusat Penerbitan Department Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan UI, hal
2129-2136.
Foxman B, Barlow R, D’Arcy H, Gillespic B, Sobel JD, 2000. Urinary tract
infection: Self-reported incidence and associated costs. Anals of Epidemiology,
10(8):509-515.
IDF. 2015. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition.
Muller, L.M.A.J.,Gorter, K.J., Hak, E., Goudzwaard, W.L., Schellevis, F.G.,
Hoepelman, A.I.M., et al. 2005. Increased risk of ommon infections in patients
with type 1 and type 2 diabetes mellitus. Clinical Infectious Disease, 41: 281-288
33

Nicolle LE, Friesen D, Harding GKM, Roos L, 1996. Hospitalization for acute
pyelonephritis in Manitoba, Canada, During Periode 1989-1992: impact of
diabetes, pregnancy, and aborigin origin. Clin Infect Dis, 22:105-106.
Noor Fatimah, R. 2005. Diabetes Melitus Tipe 2 . Jurnal Majority
Pargavi, B., Mekala, T., Selvi A. T., Moorty, K., 2011. Prevalence of urinary tract
infection among diabetics patients in Vandavasi, Tamil Nadu, India. International
Journal Of Biological Technology, 2(2):42-45.
PERKENI. 2015. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabtes mellitus tipe 2
di Indoensia. Jakarta.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI.
Peter J Watkins, 2003. What is diabetes ?, In ABC of Diabetes, 5th Edition, BMJ
Publishing Group, London p 1-3
Richard A. Harvey & Denise R. Ferrier. 2011. Diabetes Mellitus, Lippincott’s
Illustrated Reviews: Biochemistry 5th Edition. p 337-341
Richard N. Mitchell, Vinay Kumar, Abul K. Abbas, Nelson Fausto, Jon C. Aster,
2012. The Endocrine Pancreas. In: Robbins & Cotran Pathologic Basis Of
Disease Edition 8, p. 570-571
Ronald, A. 2002. The etiology of urinary tract infection: traditional and emerging
pathogens. America Journal Medical.
Saryono, 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan.Jogjakarta: MITRA CENDIKA
Press.
Slamet S, 2008 Diet pada diabetes Dalma Noer dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FK-iII.
Soegondo.S, 2004. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini dalam
Soegondo, S., Soewondo, P., Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Cetakan
ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.hal 17-22
WHO. 2014. Global Status Report On Non Communicable Diseases. Geneva.
Yunir, E. 2015. Risiko isk penderita diabetes melitus. In Semijurnal Farmasi &
Kedokteran, Ethical Digest. No.133, thn XXI, Maret, hal 56-57
Yunir, E. 2015. Infeksi pada penderita diabetes melitus. In Semijurnal Farmasi &
Kedokteran, Ethical Digest. No.133, thn XXI, Maret, hal 58-59

Anda mungkin juga menyukai