Anda di halaman 1dari 27

REFARAT

Otitis Media Akut

Penyaji:

Arni Lasari Hutagalung 140100041

Dina Try Junita Gultom 140100086

Muhammad Nuh bin Mohd Rashid 140100255

Pembimbing :
Dr. dr. Devira Zahara, M.ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
– BEDAH KEPALA LEHER (THT-KL)
RSUP HAJI ADAM MALIK/RS USU
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

PIMPINAN SIDANG

Dr. dr. Devira Zahara, M.ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K)

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Otitis Media Akut”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya.Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata
penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, 27 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................... 2
1.3 Manfaat ............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
2.1 Anatomi Telinga Tengah................................................................... 3
2.2 Fisiologi Pendengaran ....................................................................... 6
2.3 Otitis Media Akut (OMA)................................................................. 7
2.3.1 Definisi ................................................................................... 7
2.3.2 Etiologi ................................................................................... 7
2.3.3 Faktor Risiko .......................................................................... 8
2.3.4 Patogenesis dan Patofisiologi ................................................. 9
2.3.5 Gejala Klinis ........................................................................ 11
2.3.6 Stadium................................................................................. 12
2.3.7 Diagnosis .............................................................................. 13
2.3.8 Diagnosis
Banding 14 ................................................................................... 2.3.9 Terapi 15
2.3.10 Komplikasi .......................................................................... 19
2.3.11 Pencegahan .......................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Telinga .............................................................................. 5


Gambar 2.2 Anatomi Membran Timpani ............................................................ 5
Gambar 2.3 Proses Pendengaran ......................................................................... 6
Gambar 2.4 Patofisiologi Otitis Media Akut ....................................................... 10
Gambar 2.5 Otitis Media Akut ............................................................................ 11

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis media akut (OMA) ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. OMA terjadi
karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba Eustachius merupakan
faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu,
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu sehingga kuman
masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.1
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik seperti
Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain it kaang-
kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Escherichia colli, Streptokokus
anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan Pseuomonas aeruginosa. Hemofilus influenza
sering ditemukan pada anak yang berusia ibawah 5 tahun. Sementara virus yang
sering dijumpai pada otitis media meliputi respiratory syncytial virus, virus
parainfluenza, rinovirus, influenza, enterovirus, dan adenovirus.1
Tujuh puluh persen anak-anak mengalami setidaknya sekali otitis media.
Meskipun otitis media terutama menyerang bayi dan anak-anak, juga dapat
mengenai orang dewasa.Faktor risiko kejadian OMA meliputi jenis kelamin, usia,
lahir premature, perokok pasif, alergi, asma, menyusui dari botol, kelianan
kongenital seperti sumbing langit-langit, hipertrofi adenoid, dan status soasial
eknomi.2,3
Otitis media tidak hanya menyebabkan nyeri yang berat tetapi juga dapat
menyebabkan komplikasi serius apabila tidak ditangani. Infeksi yang tidak
tertangani dapat menyebar dari telinga tengah sampai ke bagian terdekat dari kepala
termasuk otak. Meskipun kehilangan pendengaran karena otitis media bersifat
sementara, otitis media yang tidak tertangani dapat menyebabkan gangguan
pendengaran permanen.2

1
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan paper yang berjudul “Otitis Media Akut” ini antara lain:
1. Membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis otitis media akut.
2. Menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di Departemen Telinga
Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3 Manfaat
Refarat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah wawasan, baik bagi
penulis maupun pembaca terkait dengan otitis media akut, serta dapat menjadi
sumber referensi untuk makalah selanjutnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga Tengah


Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, prosesus
mastoideus, tuba eustachius.
a. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan
liang telinga luar dari kavum timpani. Membrana ini panjang vertikal rata-rata 9-10
mm dan diameter antero-posterior kira -kira 8-9 mm, ketebalannya rata-rata 0,1 mm
. Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi
miring yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut 450 dari
dataran sagital dan horizontal.4
Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak dari kerucut
menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari umbo kemuka
bawah tampak refleks cahaya (cone of light). Membran timpani mempunyai tiga
lapisan yaitu : stratum kutaneum ( lapisan epitel) berasal dari liang telinga, stratum
mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani., stratum fibrosum ( lamina
propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan mukosum.4
Secara anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :
1. Pars tensa
Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang tegang
dan bergetar sekeliling menebal dan melekat pada anulus fibrosus pada sulkus
timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
2. Pars flasida atau membran Shrapnell,
Letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa dan pars flasida
dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : 1. Plika maleolaris anterior ( lipatan muka). Plika
maleolaris posterior ( lipatan belakang). Membran timpani terletak dalam saluran
yang dibentuk oleh tulang dinamakan sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas
muka tidak terdapat sulkus ini dan bagian ini disebut insisura timpanika ( Rivini).
Permukaan luar dari membrana timpani disarafi oleh cabang n. aurikulo temporalis
dari nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh nervus

3
timpani cabang dari nervus glosofaringeal. Aliran darah membrana timpani berasal
dari permukaan luar dan dalam. Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari
aurikula yang dalam cabang dari arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa
telinga tengah didarahi oleh timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna
dan oleh stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.4
b. Kavum Timpani
Terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf, atau
seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan
diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu : 4
- bagian luar: membran timpani
- batas depan : tuba eustachius
- batas bawah : vena jugularis
- batas belakang : aditus ad antrum
- batas atas : tegmen timpani
- batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisrikularis, oval
window, round window, promontorium.
c. Prosesus Mastoid
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah
ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus antrum mastoid
adalah suatu pintu yang besar iregular berasal dari epitisssmpanum posterior
menuju rongga antrum yang berisi udara, sering disebut sebagai aditus ad antrum.
Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulang
temporal. Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel-
sel udara mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya. 4
d. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani.
bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm
berjalan ke bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah
9 bulan adalah 17,5 mm. Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu : 1. Bagian tulang terdapat

4
pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian). 2. Bagian tulang rawan terdapat
pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).4
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar,
drenase sekret dari kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret
dari nasofaring ke kavum timpani. 4

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Tengah5

Gambar 2.1 Anatomi Membran Timpani5

5
2.2 Fisiologi Pendengaran

Mekanisme pendengaran adalah sebagai berikut:5

1. Bunyi masuk ke meatus akustik eksternal dan berjalan menuju


membrane timpani
2. Membran timpani memiliki permukaan yang mengumpulkan bunyi dan
bergetar dalam resonansi gelombang suara dengan frekuensi antara 20
dan 20000 Hz. Ketika membrane timpani bergetar, maleus, incus dan
stapes ikut bergetar. Bunyi di sini mengalami amplifikasi.
3. Pergerakan dari stapes pada oval window menciptakan tekanan pada
perilimfe di skala vestibula. Karena bagian lain dari koklea terdiri dari
tulanf, tekanan yang diberikan oval window dapat dilepaskan hanya
pada round window. Pada dasarnya ketika stapes bergerak kea rah
dalam, roud window menonjol keluar, ke kavum telinga tengah.
4. Tekanan gelombang mengubah bentuk membrane basilar ketika
gelombang menuju round window dari skala timpani.
5. Getaran dari membrane basilar menyebabkan getaran sel-sel rambut
melawan membran tectorial.
6. Informasi mengenai lokasi dan instensitas stimulasi dihantarkan ke
system saraf pusat melalui cabang koklear dari nervus kranial VIII

Gambar 2.3 Proses pendengaran5

6
2.3 Otitis Media Akut (OMA)
2.3.1 Definisi
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Euatachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Banyak ahli membuat
pembagian dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis media terbagi atas
otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (= otitis media serosa, otitis
media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME). Telinga tengah
biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. secara
fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.1
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah.
Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, terdapat cairan di belakang
membran timpani, dan otore.6

2.3.2 Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,
65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi
bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong
sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga
jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae
(40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis
(10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan
organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif
banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah
sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis

7
mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak.6
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai
pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau
adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,
rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi
tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay
(ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang
menderita OMA pada 75% kasus.6

2.3.3 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,
lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis
kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas,
dan disfungsi tuba Eustachius.6

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens


OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak
laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native
American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih
tinggi dibanding dengan ras lain.6
Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh,
seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status
nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya

8
OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena
itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA.6
Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang
sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA
juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital
mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering
terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus.6

2.3.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Gangguan di telinga tengah merupakan gangguan yang paling banyak
mengganggu transmisi suara ke koklea. Akumulasi cairan dan tekanan udara dalam
kavum telinga tengah yang berbeda dari tekanan ligkungan merupakan penyebab
paling banyak terjadinya gangguan hantaran suara. Tekanan negatif dalam kavum
telinga tengah yang disebabkan malfungsi tuba Eustachius (TE) dan sering
berhubungan dengan infeksi menyebabkan gangguan pendengaran.7
Perkembangan OMA adalah proses yang kompleks yang dimulai di
nasofaring, yang dihubungkan oleh TE ke telinga tengah. OMA sering diikuti
dengan infeksi saluran napas atas, jika tejadi kongesti pada membran nasal dan TE.
Cairan yang keluar di telinga tengah terjebak dan menghasilkan lingkungan yang
ideal untuk terjadinya infeksi. Patogenesis dari OMA ialah kombinasi dari beberapa
faktor, seperti: disfungsi TE, kolonisasi nasofaring dengan bakteri dan virus
patogen, meluasnya infeksi ke sepanjang TE, imunologi, faktor lingkungan dan
predisposisi genetik. Dua faktor yang paling penting pada anak-anak adalah
disfungsi TE dan anak cenderung rentan terhadap infeksi saluran napas atas
berulang.8
Pada anak, TE lebih pendek, sehingga jarak untuk penyebaran organisme
lebih pendek, letaknya horizontal, sehingga menyebabkan drainase telinga tengah
tidak adekuat dan terdapat adenoid dekat muara tuba, yang dapat menyumbat tuba
dan juga berfungsi sebagai reservoir terhadap infeksi. Gangguan fungsi TE
merupakan faktor yang paling penting. Adanya obstruksi tuba, baik secara mekanik

9
maupun fungsional dapat menyebabkan absorpsi udara, tekanan negatif dan
terbentuknya cairan di dalam telinga tengah.8
Cairan yang terlalu banyak dalam kavum telinga tengah dapat merobek
genang telinga karena tekananya. OMA dapat berkembang menjadi otitis media
supuratif kronis apabila gejala berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini berkaitan
dengan beberapa faktor antara lain higienis, terapi yang terlambat, pengobatan
yang tidak adekuat, dan daya tahan tubuh yang kurang baik.9

Gambar 2.4 Patofisiologi otitis media akut10

10
Gambar 2.5 Otitis media akut11

2.3.5 Gejala Klinis


Anak-anak dengan OMA memiliki gejala seperti keluarnya cairan dari
telinga tengah dan gejala onset awal meliputi nyeri telinga berat yang persisten,
demam, mual, muntah, dan tuli konduktif. Gejala umum tersebut mirip dengan
infeksi saluran napas atas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar
24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan
gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri.9,12
Pada pemeriksaan otoskopi dijumpai peradangan telinga tengah, membrane
timpani yang tampak menonjol yang opak dengan eritema. Center for Disease
Control and Prevention (CDC) merekomendasikan kriteria diagnostik untuk
mengidentifikasi OMA, yaitu : dijumpai nyeri telinga yang berasal dari telinga
tengah atau dijumpai efusi telinga tengah dan tanda inflamasi lokal telinga.12`

11
2.3.6 Stadium
Terdapat 5 stadium OMA berdasarkan gambaran membrane timpani yang
diamati melalui lubang telinga luar.1
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membrane timpani akibat terjadinya tekanan
negative di dala telinga, akibat absorbs udara. Kadang-kadang membrane
timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat.
2. Stadium hiperemis
Terdapat gambaran pemuluh darah yang melebar di membrane timpani atau
keseluruhan membrane timpani sehingga tamoak hiperemis serta edem.
Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga masih sulit terlihat.
3. Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
menyebabkan membrane timpani menonjol kea rah telinga luar. Pada
keadaan ini, pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemia, akibat tekanan kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada
vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada
membrane timpani terlihat sebagai daerah lembek dan berwarna
kekuningan. Di tempat ini akan terjadi rupture.
4. Stadium perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membrane timpani
dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang
tadinya gelisah kini menjadi tenang, suhu badan turun, dan anak dapat
tertidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
Bila membrane timoani tetap utuh, maka keadaan membrane timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka

12
secret akan berkurang an akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau
virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan. OMA berubah menjadi Otitis media supuratif kronik (OSMK)
bila perforasi menetap dengan secret yang keluar terus menerus atau hilang
timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila
secret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

2.3.7 Diagnosis
OMA secara umum digambarkan dengan onset cepat dari tanda dan
gejala inflamasi telinga tengah yang disertai efusi telinga tengah (middle ear
effusion (MEE). Tanda-tanda inflamasi meliputi penonjolan atau rasa penuh
dari membran timpani, eritema membran timpani dan perforasi akut dari
membran timpani dengan otorea. Gejala meliputi otalgia, iritabilitas dan
demam.13
i. Anamnesa
Pada neonatus, iritabilitas atau kesulitan untuk diberi makan mungkin
menjadi satu-satunya indikasi dari adanya fokus septik. Anak yang lebih besar
mulai menunjukkan adanya demam (dengan atau tanpa ISPA di waktu yang
bersamaan) dan otalgia. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, gangguan
pendengaran menjadi gejala yang konstan pada OMA dan OME. Mereka akan
mengeluhkan adanya rasa penuh di telinga bahkan sebelum efusi telinga tengah
terdeteksi. Otalgia tanpa gangguan pendengaran atau demam dapat dilihat pada
orang dewasa dengan otitis eksterna, abses gigi atau rasa sakit di daerah sendi
temporomandibular.14
ii. Otoskopi pneumatik
Otoskopi pneumatik adalah alat diagnostik primer untuk mengevaluasi
status telinga tengah yang mana ia dapat memeriksa membran timpani dan
mobilitasnya. Membran timpani normal berbentuk konkav, translusen dan
bergerak cepat apabila diberi tekanan positif atau negatif. Pemeriksaan
membran timpani harus meliputi posisi, warna, derajat translusensi dan
mobilitas. Untuk memastikan mobilitas membran timpani, liang telinga harus

13
tertutup rapat dengan menggunakan spekulum. Gunakanlah spekulum dengan
ukuran terbesar yang masih terasa nyaman oleh pasien.13
Tidak adanya atau berkurangnya mobilitas dari membran timpani
mengindikasi hilangnya komplians dari membran timpani baik itu karena
adanya efusi telinga tengah atau bertambahnya kekakuan karena parut atau
bertambahnya ketebalan dari membran timpani. Hilangnya mobilitas membran
timpani secara total juga bisa terjadi karena adanya bukaan di membran timpani
karena perforasi atau saluran timpanostomi yang paten. Tanda-tanda yang lain,
seperti fluid level atau gelembung, dapat dibedakan dengan adanya pergerakan
dari membran timpani. Posisi dari membran timpani berkisar dari teretraksi
secara parah atau menonjol. Retraksi ringan atau sedang mengindikasi tekanan
negatif, efusi telinga tengah atau keduanya, sedangkan retraksi yang parah
biasanya dikaitkan dengan adanya efusi. Membran timpani yang penuh dan
menonjol disebabkan oleh peningkatan tekanan, cairan, atau keduanya di telinga
tengah.13
Opasifikasi membran timpani dapat disebabkan oleh penebalan, parut atau
efusi telinga tengah. Membran timpani yang merah tetapi translusen biasanya
disebabkan oleh menangis atau bersin karena kongesti pembuluh darah di
membran timpani. Sedangkan, membran timpani yang merah opak dan
menonjol seringkali merupakan tanda dari OMA. Membran timpani yang
retraksi dengan warna pink, abu-abu, kuning atau biru dan berkurangnya atau
tidak adanya mobilitas biasanya dapat dilihat pada OME. Miringitis adalah
inflamasi dari membran timpani tanpa cairan di telinga tengah.13

2.3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari OMA dapat berupa:14
 Otitis eksterna
 Nyeri gigi
 Nyeri sendi temporomandibular
 Faringitis viral akut
 Trauma telinga

14
2.3.9 Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium
oklusi, pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius,
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes
hidung. HCL efedrin 0.5% dalam larutan fisiologik (anak<12 tahun) atau HCL
efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada
orang dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila
peyebab penyakit adalah bakteri, bukan oleh virus atau alergi.15
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau
ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap
penisilin, maka berikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis
50-100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.15
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi,
gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.15
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah
obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.15
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi
resolusi, akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di
membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema
mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap banyak,
kemungkinan telah terjadi matoiditis.15

15
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3
minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi
menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka
keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK). Pada pengobatan OMA
terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Resiko
tersebut digolongkan menjadi resiko tinggi kegagalan terapi dan resiko rendah.15
 Observasi
Dalam usaha untuk mengurangi penggunaan antibiotik dan meningkatnya
resistensi antibiotik, observasi tanpa penggunaan antibiotik menjadi pilihan pada
beberapa anak dengan OMA. Observasi dilakukan pada anak-anak tergantung pada
tingkat keyakinan terhadap diagnosis, usia anak, keparahan penyakit dan akses ke
layanan kesehatan. Penyakit yang parah didefinisikan sebagai otalgia sedang
hingga parah, demam lebih dari 39oC melalui oral atau 39.5oC melalui rektal atau
anak dengan keadaan umum yang buruk. Anak-anak di bawah 6 bulan harus
ditatalaksana dengan antibiotik; anak sehat usia 6-23 bulan tanpa penyakit yang
berat dan tanpa diagnosis yang pasti dapat diobservasi, tetapi jika diagnosis OMA
jelas atau parah, anak tersebut harus ditatalaksana dengan antibiotik; dan anak-anak
usia 24 bulan ke atas dapat diobservasi jika penyakitnya tidak parah atau jika
diagnosisnya tidak pasti namun harus ditatalaksana jika OMA bersifat parah.
Rekomendasi untuk kontraindikasi absolut dan relatif untuk observasi tanpa terapi
antimikrobial dapat dilihat di tabel berikut.15
Tabel 2.1 Kontraindikasi observasi OMA
Kontraindikasi absolut
 Usia <6 bulan
 Defisiensi atau gangguan imun
 Penyakit parah atau gagalnya pengobatan
 Ketidakmampuan untuk memastikan follow-up
Kontraindikasi relatif
 Relaps dalam 30 hari
 Otorea
 OMA bilateral jika usia <2 tahun
 Sindrom, malformasi kraniofasial

16
 Antinyeri
Terapi untuk mengurangi rasa sakit sangat disarankan untuk anak-
anak dengan OMA. Parasetamol membantu menghilangkan rasa nyeri dan
menurunkan suhu.16
 Antibiotik
Banyak antibiotik yang tersedia, tetapi berdasarkan panduan AAP-
AFP, amoksisilin masih menjadi antibiotik lini pertama untuk OMA yang
tidak parah dengan dosis rekomendasi 90 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 2
dosis ditujukan untuk membunuh S. Pneumoniae, termasuk strain yang
resisten. Untuk OMA yang parah, amoksisilin-asam klavulanat (amoksisilin
90 mg/kgBB/hari dan asam klavulanat 6.4 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 2
dosis) disarankan dan dapat mengatasi H. Influenza penghasil beta
laktamase dan M. Catarrhalis. Berdasarkan panduan ini, sepalosporin hanya
boleh dijadikan antibiotik lini pertama untuk pasien yang alergi terhadap
penisilin.13
Pengobatan dianggap gagal jika tanda dan gejala tetap ada atau
rekuren 48 hingga 72 jam setelah pemberian terapi awal. Jika hal ini terjadi,
maka diagnosis OMA harus dipastikan ulang dan memulai pemberian
antibiotik jika sebelumnya belum diberikan atau menggantinya menjadi
agen yang lebih berspektrum luas jika sebelumnya telah diberikan
(amoksisilin-asam klavulanat jika amoksisilin gagal dan seftriakson selama
3 hari jika amoksisilin-asam klavulanat gagal). Kegagalan pengobatan
menggunakan amoksisilin mungkin terjadi karena buruknya absorbsi di
saluran cerna.11 Timpanosentesis harus selalu dipertimbangkan jika anak
tidak respon terhadap terapi antibiotik untuk mengidentifikasi bakteri di
efusi telinga tengah dan untuk memilih antibiotik yang sesuai.13
Panduan oleh AAP-AFP merekomendasikan terapi standar selama
10 hari untuk anak yang lebih muda dan untuk anak dengan penyakit parah,
sedangkan untuk anak berusia 6 tahun ke atas dengan penyakit yang ringan
hingga sedang, pengobatan selama 5-7 hari dapat digunakan. Cefpodoxime
proxetil dan cefdinir dapat digunakan selama 5 hari; azitromisin dapat
diberikan selama 1, 3 atau 5 hari; dan satu dosis seftriakson melalui IM

17
dapat diberikan, meskipun hasil untuk S. Pneumoniae yang resisten
terhadap penisilin lebih baik dengan menggunakan terapi selama 3 hari.
Pemakaian lebih dari 10 hari tidak menunjukkan hasil yang lebih baik.13

 Dekongestan/Antihistamin
Sebuah penelitian metaanalisis mengenai dekongestan dan/atau
antihistamin untuk OMA menemukan manfaat secara klinis yang kecil dari
pengobatan ini untuk persistensi OMA, gejala atau sekuel jangka panjang.
Meskipun beberapa manfaat dari kombinasi ditemukan dalam beberapa orang
dengan OMA persisten di akhir 2 minggu, efek samping sebesar 5 hingga 8
kali lipat dan fakta bahwa manfaat yang ditemukan berbanding terbalik
dengan kualitas penelitian membuat penulis tidak merekomendasi pemakaian
rutin dekongestan/antihistamin untuk OMA.12 Antihistamin yang diberikan
dengan antibiotik untuk OMA tidak memberikan perbaikan klinis dan
memperlama durasi efusi.13 Dalam hal ini, dekongestan, antihistamin,
maupun kombinasi keduanya tidak direkomendasi untuk terapi OMA.13

 Steroid
Mccormick et al. tidak menemukan adanya penurunan konsentrasi
histamin maupun leukotrien B4 pada anak yang diberikan antibiotik oral dan
steroid dibandingkan dengan anak yang diberikan antibiotik saja, tapi dia
menemukan adanya kegagalan terapi yang lebih rendah dalam 2 minggu
pertama dan efusi telinga tengah yang lebih singkat pada anak yang diberikan
steroid.14 Namun pada penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar,
kortikosteroid (2 mg/kgBB selama 5 hari) diberikan bersama dengan
antibiotik tidak menghasilkan perbaikan dalam klinis.17

 Miringotomi
Miringotomi adalah menginsisi membran timpani untuk mengevakuasi nanah
dan diindikasikan ketika:
 Membran timpani menonjol dan ada nyeri akut

18
 Terdapat resolusi yang tidak komplit meskipun telah diberikan
antibiotik saat membran timpani tetap penuh dengan gangguan
pendengaran konduktif yang persisten
 Terdapat efusi yang persisten lebih dari 12 minggu
Semua kasus OMA harus diikuti secara hati-hati hingga membran timpani
kembali ke bentuknya yang normal dan gangguan pendengaran konduktif
menghilang.17
2.3.10 Komplikasi
Komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme,
yaitu melalui erosi tulang, invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi ini
dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal terdiri dari: mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi
pars tensa, atelektasis telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan
pendengaran. Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu
meningitis, encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural,
empiema subdural, dan trombosis sinus lateralis. Komplikasi tersebut
umumnya sering ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi pada era
antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi
dari otitis media supuratif kronik (OMSK). Penatalaksanaan OMA dengan
komplikasi ini yaitu dengan menggunakan antibiotik spektrum luas, dan
pembedahan seperti mastoidektomi.17
2.3.11 Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA17:

 Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak,


 menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
 menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan,
 menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-
lain.

19
BAB III
KESIMPULAN

Otitis media akut (OMA) ialah peradangan sebagian ataus eluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. OMA terjadi
karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Kuman penyebab utama pada OMA
ialah bakteri piogenik seperti Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus,
Pneumokokus, Proteus vulgaris, dan Pseuomonas aeruginosa. Sementara virus
yang sering dijumpai adalah respiratory syncytial virus, virus parainfluenza,
rinovirus, influenza, enterovirus, dan adenovirus.
OMA dapat dibagi menjadi lima stadium yaitu: (1) stadium oklusi tuba
Eustachius, (2) stadium hiperemis, (3) stadium supurasi, (4) stadium perforasi (5)
stadium resolusi. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran timpani yang
diamati melalui liang telinga luar.
Diagnosis OMA meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling penting adalah menggunakan
otoskop pneumatik, yang mana dengan alat ini dapat dilihat gambaran membran
timpani dan juga mobilitasnya.
Pengobatan OMA meliputi pengobatan kasual, yakni antibiotik, dan
pengobatan simtomatik, yakni anti nyeri dan anti piretik. Sebagai tambahan, pada
stadium supurasi dapat dilakukan miringotomi untuk mengeluarkan pus yang
terjebak di telinga tengah.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012.
2. Gates GA, Cost-effectiveness considerations in otitis media treatment,
Otolaryngol Head Neck Surg, 114 (4), April 1996, 525–530
3. Tikaram, A. Chew YK. Zulkiflee, AB, Chang, AW, Prepageran, N.
Prevalence and risk factors associated with otitis media with effusion in
children visiting tertiary care centre in Malaysia, IMJM.2012. Vol 11, No.I.
p. 37
4. Nursiah, Siti. Pola Kuman Aerob Penyebab Omsk Dan Kepekaan Terhadap
Beberapa Antibiotika Di Bagian Tht Fk Usu / Rsup.H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara.
5. Martini, FH. Nath, Jl. Bartholomew, EF. Fundamental of Anatomy &
Physiology Ed 9th. San Fransisco: Pearson Education. 2012.p.568

6. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson
Textbook of Pediatrics. 18 th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
7. Moller, A.R. Hearing: Anatomy, physiology, and disorders of the auditory
system. British : Elsevier. 2006. (2): p. 207-208
8. Bluestone CD. Eustachian tube function and dysfunction. In: Rosenfeld
RM, Bluestone CD, editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON,
Canada: BC Decker. 2003:p.163–79.
9. Ghanie, A. Penatalaksanaan otitis media akut pada anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, FK UNSRI.
Palembang. 2010.Hal.10-11
10. Qureishi, A. Lee, Y. Belfield, K. Birchall, JP, Daniel, M. Update on Otitis
Meia – prevention and treatment. Infection and drug resistance. Dovepress.
2014(7):p. 15-24)
11. (Setiawan, FA. 2017. Apa yang dimaksud dengan Otitis Media Akut ?
dalam www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-otitis-media-akut/13551.
(diakses pada 25 Mei 2019)

21
12. Leibovitz, E. Greenberg, D. Acute Otitis Media. Chang Gung Med J.
Vol.27.No 7. 2004:p. 476
13. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery - Otolaryngology.
5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.
14. Donaldson JD. Acute Otitis Media [Internet]. Medscape. 2018 [cited 2019
Feb 28]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/859316-
clinical
15. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2012.
16. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Management of Acute
Otitis Media. Diagnosis and management of acute otitis media. Pediatrics.
2004;113(5):1451–65.
17. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 7th ed. Haryana: Elsevier; 2018.

22

Anda mungkin juga menyukai