I. PENDAHULUAN
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) adalah merupakan salah satu
golongan obat yang paling sering diresepkan di dunia ini. Meskipun NSAIDs pada umumnya
bertoleransi baik, namun dapat juga menyebabkan reaksi yang merugikan, beberapa bahkan
berakibat fatal.1 Reaksi merugikan yang paling sering terjadi adalah akibat kerja NSAID
dalam menghambat cyclooxygenase 1 enzyme (COX-1), yaitu berupa gastritis dan ulkus
peptikum.1 Reaksi merugikan yang lainnya adalah reaksi alergi dan pseudoalergi.1 Reaksi ini
dapat timbul dalam waktu menit hingga jam,2 dan dikelompokkan berdasarkan dugaan
mekanisme yang mendasarinya serta jumlah NSAID yang terlibat (multipel atau satu).3
Salah satu reaksi yang paling sering terjadi timbul akibat NSAIDs adalah
urtikaria/angioedema, reaksi ini juga diperkirakan merupakan kelainan kulit yang paling
sering terjadi akibat obat-obatan dan dilaporkan prevalensinya sekitar 0,1-0,3% dari individu
yang terpapar NSAIDs.1 Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan dalam benak pasien yang
pernah mengalami hal tersebut, yaitu “obat apa yang dapat saya konsumsi jika saya sakit
kepala, nyeri ataupun demam?” Untuk itu terdapat beberapa challenge procedurs dalam
mendiagnosis beberapa reaksi NSAID, serta protokol desensitisasi yang digunakan dalam
tatalaksana pasien yang membutuhkan terapi NSAID yang mempunyai riwayat akan reaksi
NSAIDs.3
1
II. EPIDEMIOLOGI
NSAIDs adalah obat yang paling sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas, yaitu
sekitar 0,5-1,9% pada populasi umum.4 Prevalensi hipersensitivitas NSAID pada pasien asma
masih belum diketahui pasti, walaupun ada yang melaporkan sekitar 4-21%.4
Reaksi kulit merupakan yang paling sering terjadi (0,07-0,3%).4 Pada pasien yang
mempunyai riwayat urtikaria kronik, maka prevalensi hipersensitivitas NSAIDs menjadi
meningkat hingga 30%.4
Prevalensi reaksi alergi terhadap NSAIDs adalah 0,1-3,6%.4 NSAIDs telah dilaporkan
sebagai penyebab paling sering timbulnya anafilaksis.4 Prevalensi reaksi pseudoalergi masih
belum diketahui,2,4 pada reaksi ini jarang menimbulkan reaksi yang berat.4
2
IV. TIPE REAKSI
Dalam menentukan apakah diagnostic challenge dan/atau desensitisasi tepat
dilakukan pada pasien yang mempunyai riwayat reaksi NSAIDs, maka sebelumnya para
klinisi harus dapat mengklasifikasikan reaksi pasien di masa lalu.3 Hal ini dapat dilakukan
dengan cara anamnesis secara teliti. Hal yang paling penting untuk dicari tahu adalah3 :
Tanda dan gejala reaksi.
Apakah reaksi yang ditimbulkan disebabkan oleh satu NSAID atau multipel
NSAID?
Hal ini penting untuk dibedakan untuk pasien yang mengkonsumsi NSAIDs
penghambat COX-1 lainnya setelah reaksi pertama. Kemudian dilihat, apakah
obat tersebut juga menimbulkan reaksi, jika NSAIDs lain juga menimbulkan
gejala, maka pasien tersebut mengalami reaksi pseudoalergi.2
Adakah kelainan medis yang mendasari (asma, rinosinusitis kronik, polip nasal,
dan urtikaria kronik)?
Setiap gejala asma yang berulang/masalah sinus/episode urtikaria sebelumnya
harus dieksplorasi untuk dibedakan jika salah satu dari kondisi tersebut mungkin
ada tapi tidak terdiagnosis. Kondisi kronik tersebut biasanya muncul sebelum
reaksi NSAIDs.2
Reaksi NSAIDs dapat dikelompokkan menjadi reaksi pseudoalergi dan reaksi
alergi.2,3 Reaksi Pseudoalergi ditimbulkan oleh berbagai macam NSAIDs, sementara reaksi
alergi biasanya ditimbulkan oleh satu macam NSAID atau yang memiliki kemiripan
struktur2 (tabel 1) :
Reaksi pseudoalergi NSAID
Reaksi pseudoalergi adalah reaksi non imunologi yang timbul pada individu yang
rentan dan berhubungan dengan obat penghambat COX-1.2,3 Diduga, hal ini
terjadi karena adanya perubahan jalur biokimia akibat penghambat COX-1.2 Tipe
ini timbul pada pasien yang mempunyai penyakit asma dan penyakit sinus kronik
(sering bersamaan dengan polip nasal) atau urtikaria kronik.3 Reaksi pseudoalergi
dapat dibagi menjadi empat tipe :
3
1. Tipe 1- Reaksi respiratori akibat multipel NSAIDs pada pasien asma dan
rinosunisitis kronik dengan polip nasal. (disebut juga dengan aspirin-
exacerbated respiratory disease [AERD]).3
Konsumsi NSAID dapat mencetuskan kumpulan dari gejala naso-okular
dan/atau respiratorius bawah pada beberapa pasien dengan asma dan
rinosinusitis kronik (sering bersama polip nasal). Terdapat satu atau lebih
dari gejala berikut; rhinorrhea, kongesti nasal, edema periorbita dan/atau
injeksi konjungtiva, spasme bronkus, dan/atau spasme laring. Beberapa
pasien dapat mengeluhkan gatal dan/atau angioedema sebagai tambahan
gejala dari traktus respiratorius. Pada beberapa pasien dengan reaksi
respiratorius yang berat sering timbul bersama dengan gejala diluar traktus
respiratorius, seperti nyeri abdomen, diare dan hipotensi. Reaksi ini
disebut reaksi pseudoalergi tipe 1. Reaksi tipe 1 biasanya muncul satu
hingga tiga jam setelah meminum obat.2
2. Tipe 2- Urtikaria/angioedema akibat multipel NSAIDs pada pasien dengan
dasar urtikaria kronik.3
Pasien dengan riwayat urtikaria kronik dapat timbul eksaserbasi gatal,
kadang bersamaan dengan angioedema, dimulai 30 hingga 90 menit
sesudah meminum ASA atau NSAIDs penghambat COX-1. Efek
eksaserbasi dari NSAIDs/ASA dapat terlihat jelas pada lebih dari 30%
pasien dengan kronik urtikaria stabil, dan dapat lebih banyak lagi pada
pasien dengan urikaria aktif. Reaksi ini biasanya tergantung dosis/dose
dependent. Dengan menghindari NSAIDs penghambat COX-1 dapat
membantu meminimalisasi kekambuhan akut pada urtikaria kronik.2
3. Tipe 3- Urtikaria/angioedema akibat multipel NSAIDs pada individu
asimtomatik.3
Pada tipe pseudoalergi ini, anak maupun dewasa tanpa dasar urtikaria
kronik timbul urtikaria akut dan/atau angioedema 30 hingga 90 menit
sesudah meminum NSAIDs penghambat COX-1/ASA. Angioedema yang
timbul setelah meminum NSAID biasanya melibatkan area wajah,
terutama periorbita, bibir dan mulut. Pasien ini timbul urtikaria dan/atau
4
angioedema hanya sesudah minum NSAIDs atau mungkin juga bisa
mempunyai episode intermiten dari urtikaria yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya (yang tidak berhubungan dengan NSAID), tapi tidak
mempunyai dasar kronik urtikaria (episode berulang dari
urtikaria/angioedema selama 6 minggu atau lebih). Tidak diketahui apakah
pasien seperti ini selanjutnya akan berkembang menjadi urtikaria kronik
atau tidak. Mekanisme yang terjadi mungkin berhubungan dengan
penghambat COX-1, karena pasien dengan pseudoalergi tipe 3 dapat
bereaksi dengan dosis pertama penghambat COX-1 dan NSAID
penghambat COX-1 yang berbeda struktur. Sebagai tambahan, pasien
tersebut biasanya bertoleransi dengan NSAID penghambat COX-2
selektif.2
4. Tipe 4- Reaksi campuran (melibatkan traktus respiratorius dan kulit)
akibat multipel NSAIDs pada individu asimtomatik.3
Kadang reaksi NSAIDs/ASA tidak termasuk dalam ketiga tipe diatas.
Beberapa pasien dengan dasar AERD timbul gejala kulit dan juga
respiratorius sebagai respon dari NSAIDs, masuk dalam tipe ini. Pasien
tanpa adanya penyakit yang mendasarinya dapat timbul gejala kombinasi
yang dapat mempengaruhi traktus respiratorius dan kulit, seperti spasme
bronkus, rhinitis, urtikaria dan/atau angioedema setelah meminum
NSAIDs penghambat COX-1 yang berbeda. Reaksi ini biasanya
dicetuskan oleh multipel NSAIDs penghambat COX-1 dan mungkin bisa
muncul mekanisme kombinasi. Waktu timbulnya reaksi tipe 4 bervariasi.
Reaksi yang timbul murni hanya di kulit biasanya muncul dalam waktu 30
menit, sementara pasien dengan AERD dengan gejala kulit (sebagai
bagian dari reaksi respiratorius) menunjukkan gejala yang timbul telat
yaitu sekitar 90 menit. Pasien dengan reaksi respiratorius dan kulit, tanpa
AERD yang mendasarinya, biasanya reaksi muncul dalam waktu 60
menit.
5
Reaksi alergi NSAID
Reaksi alergi NSAIDs bisa timbul mulai dari urtikaria/angioedema hingga
anafilaksis yang mengancam nyawa. Berbeda dengan reaksi pseudoalergi, reaksi
ini ditimbulkan oleh satu NSAID atau jarang sekali ditimbulkan oleh lebih dari
satu obat dengan struktur molekular yang mirip. Pasien dengan reaksi alergi
karena NSAID paling tidak pernah satu kali terpapar dengan obat yang membuat
masalah/the culprit drug, yang diduga terjadi sensitisasi sehingga kemudian akan
menghasilkan suatu gejala setelah terpapar berulang dengan obat yang sama.
Reaksi ini dipercaya dimediasi oleh IgE, dan allergennya diduga adalah metabolit
obat yang berikatan dengan protein karier. Di Amerika, reaksi ini paling sering
terjadi disebabkan oleh ibuprofen, walaupun bisa terjadi dengan NSAID yang
lain. Hingga saat ini belum terdapat pemeriksaan untuk mendeteksi IgE terhadap
NSAIDs.2
Reaksi alergi dibagi menjadi dua tipe, dibagi berdasarkan keparahan gejala.
Mekanisme yang mendasarinya dipercaya sama diantara kedua tipe. Terdapat
kemungkinan pada pasien dengan reaksi tipe 5 bisa progresi menjadi anafilaksis
(tipe 6), jika dia mengkonsumsi NSAID yang sama secara berulang, oleh
karenanya para ahli menyatakan bahwa tipe 5 dan 6 hanya berbeda pada derajat
keparahannya saja, reaksi yang terjadi sama.2
5. Tipe 5- Reaksi alergi (biasanya urtikaria, pruritus atau angioedema) karena
satu NSAID.3
Pasien dengan reaksi tipe 5 biasanya timbul urtikaria dan/atau angioedema
dalam waktu menit hingga satu jam setelah konsumsi NSAID tertentu atau
ASA. Pasien yang terkena reaksi ini, tidak mempunyai dasar urtikaria
kronik.2
6. Tipe 6- Anafilaksis (reaksi alergi yang berat melibatkan multipel sistem
organ) karena satu NSAID.3
Reaksi tipe 6 dibedakan dari reaksi tipe 5 berdasarkan keparahannya.
Pasien dengan anafilaksis biasanya mempunyai riwayat reaksi urtikaria
dengan obat NSAID di masa lalu, namun tidak menyadari bahwa terdapat
hubungan antara obat dan reaksi, sehingga meminum kembali obat
6
tersebut. Gejala tipikal dari anafilaksis adalah nafas pendek/wheezing
yang disebabkan adanya spasme bronkus atau edema laring dan hipotensi
karena kolaps pembuluh darah.
Anafilaksis telah dilaporkan disebabkan oleh berbagai NSAID, yang
paling sering adalah penghambat COX-1, namun bisa juga penghambat
COX-2 selektif.
Reaksi NSAID masih merupakan suatu tantangan dalam diagnosis dan tatalaksana,
karena beberapa alasan :
Beberapa reaksi NSAID dapat menjadi berat dan mengancam nyawa.3
Masih merupakan suatu tantangan dalam mengklasifikasi reaksi NSAID jika
hanya berdasarkan anamnesis saja, karena tanda dan gejala dari berbagai tipe
reaksi mungkin timbul tumpang tindih.3
Pasien pada umumnya menghindari semua NSAID, sejak timbulnya reaksi
pertama, sehingga sulit menentukan apakah gejala timbul karena satu obat atau
multipel obat.3
Banyak pasien sensitif terhadap NSAID pada titik tertentu setelah sebelumnya
bertoleransi baik dengan obat tersebut sehingga jika pasien mempunyai riwayat
toleransi yang baik dengan NSAID yang berbeda sebelumnya, bukan berarti
pasien dapat toleransi obat tersebut dikemudian hari.3
7
Tabel 1. Reaksi pseudoalergi dan reaksi alergi NSAID3
8
V. PATOGENESIS
9
Single NSAID-Induced Urticaria/Angioedema or Anaphylaxis
Pola klinis dari reaksi ini, interval waktu antara minum obat hingga timbul gejala
serta reaksi yang timbul mendukung bahwa IgE yang memediasi mekanisme tersebut.4
10
Indikasi untuk Desensitisasi
Desensitisasi adalah suatu tehnik dimana pasien diberikan secara bertahap kenaikan
dosis dari sebuah obat namun dibawah pengawasan medik yang ketat, tehnik ini dilakukan
hingga mencapai suatu keadaan toleransi. Setelah pasien berhasil dilakukan desensitisasi
NSAID, maka obat tersebut atau NSAID lain yang equivalen harus diminum setiap harinya
untuk menjaga toleransi. Olehkarenanya desensitisasi tepat dilakukan pada pasien yang
membutuhkan NSAIDs setiap harinya seperti pada penyakit inflamasi atau ASA sebagai
terapi anti platelet.2
Kontraindikasi
Adanya kondisi kardiopulmonar yang berulang harus dikontrol secara optimal
sebelum pasien tersebut dilakukan challenge atau desensitisasi. Pada pasien dengan asma,
maka, prosedur ini dapat dilakukan jika volume ekspirasi paksa satu detik (FEV1) pre
bronkodilator adalah ≥ 70%.3
Pasien dengan reaksi NSAID di masa lalu dengan anafilaksis, tidak boleh mendapat
medikasi lain yang dapat meningkatkan kemungkinan anafilaksis atau dapat menghambat
tatalaksana anafilaksis.3
NSAID dapat menyebabkan reaksi tipe lain seperti reaksi kulit yang berat, contohnya
erythema multiforme, Stevens Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis. Pasien
yang mengalami hal tersebut maka tidak dapat diberikan obat yang membuat masalah/the
culprit drug kembali. Setiap bentuk paparan ulang, seperti challenge dan desensitisasi adalah
kontraindikasi untuk dilakukan.3
Masalah Keamanan
NSAID challenge harus dilakukan oleh klinisi yang berpengalaman supaya dapat
mengatasi setiap gejala yang timbul dan perlengkapan harus mendukung.3
Pada beberapa pasien, dibutuhkan akses intravena sebelum dilakukan challenge untuk
digunakan pada kasus darurat atau pemberian cairan bila diperlukan. Hal ini
dibutuhkan pada pasien yang mempunyai resiko timbul gejala sedang hingga berat
selama challenge procedure dilakukan, yaitu pada pasien yang mempunyai riwayat
anafilaksis serta pasien dengan dasar penyakit kardiopulmonal.3
Informed consent harus dilakukan pada semua pasien.3
11
Lokasi
Lokasi yang tepat untuk melaksanakan prosedur ini adalah berdasarkan riwayat
sebelumnya serta pengetahuan klinisi akan tipe reaksi mana yang akan terjadi. Pada
kebanyakan kasus, prosedur ini aman dilakukan di klinik asalkan alat pendukung lengkap,
namun pada beberapa kasus lain, mungkin dibutuhkan perawatan di rumah sakit atau
intensive care unit (ICU). Oral challenges pada pasien yang sebelumnya mengalami
anafilaksis, maka harus dilakukan di ruangan ICU atau di ruangan dimana jika terjadi
sesuatu, mudah memindahkannya ke ICU, walaupun sebenarnya kebanyakan reaksi yang
berat dapat dihindari. Keputusan untuk menentukan dimana tindakan challenge dilakukan
berdasarkan keputusan para klinisi yang akan melakukan dan setiap kasus harus dipandang
perindividu.3
12
Tabel 2. Oral challenges3
13
VIII. PENDEKATAN TERHADAP TIPE SPESIFIK DARI REAKSI
Reaksi Respirasi
Pasien yang mengalami rhinorrhea atau spasme bronkus (sering dengan gejala nasal
dan ocular) setelah terpapar NSAID, paling sering adalah tipe 1 pseudoalergi. Jika selama
terjadi reaksi NSAID, pasien berkembang mengalami gejala kulit (urtikaria dan/atau
angioedema atau kelainan kulit lain) maka kemungkinan tipenya adalah tipe 4 pseudoalergi.
Pasien dengan tipe 1 dan tipe 4 pseudoalergi mempunyai dasar asma dan rhinosinusitis
kronik dengan nasal polip, walaupun polip seringkali tidak terdeteksi kecuali pasien
melakukan pemeriksaan penyakit sinusnya. Kombinasi asma, rhinosinusutis kronik dengan
nasal polip, serta reaksi respiratorius NSAID, disebut sebagi aspirin-exacerbated respiratory
disease (AERD). Penting untuk mengenali pasien dengan AERD, karena mempunyai potensi
timbul reaksi NSAID berat, dan jika dilakukan aspirin challenge, maka harus dilakukan
dengan pengamanan yang baik.3
Terkadang, pasien non AERD dengan riwayat bronkospasme setelah terpapar
NSAID, memiliki IgE yang dapat memediasi anafilaksis terhadap NSAID (reaksi alergi tipe
6). Hal ini harus dicurigai ketika pasien memiliki reaksi yang berat terhadap satu obat di
masa lalu dan tidak mempunyai riwayat asma atau penyakit sinus.3
14
mg aspirin, maka jika dosis akhir adalah hanya 81 mg, maka kemungkinan dosis tersebut
dibawah dosis yang dapat menimbulkan reaksi. Namun jika memang pasien hanya
membutuhkan dosis rendah untuk terapi, maka pasien tersebut aman untuk melanjutkan
dengan 81 mg setiap harinya, walaupun pasien tersebut tidak boleh memakai dosis yang lebih
tinggi atau NSAID lain selain aspirin.3
Desensitisasi NSAID adalah suatu proses untuk menginduksi toleransi NSAIDs pada
pasien dengan reaksi pseudoalergi. Desensitisasi adalah kelanjutan dari challenge procedure
hingga pasien mencapai dosis yang diinginkan tanpa bereaksi lebih jauh lagi karena obat.
Desensitisasi aspirin hampir selalu berhasil pada pasien dengan tipe 1 pseudoalergi. Setelah
desensitisasi, aspirin atau NSAID lain harus diberikan setiap hari, karena toleransi bisa hilang
jika paparan dihentikan.3
15
Tipe 6 (anafilaksis karena satu NSAID)
Jika pasien mengalami reaksi yang berat dimasa lalu karena NSAID (termasuk
didalamnya gejala respiratorius) dan berhenti mengkonsumsi NSAID pada waktu tersebut,
maka akan sulit ditentukan apakah pasien mengalami anafilaksis karena satu obat atau
pseudoalergi.3
Bagi pasien yang mempunyai riwayat dugaan reaksi anafilaksis karena satu NSAID
(tipe 6), maka melakukan oral challenge dengan acetylsalicyclic acid (ASA) adalah langkah
pertama yang aman (tabel 2) karena belum pernah dilaporkan aspirin menyebabkan
anafilaksis. Dosis awal diberikan pada pasien ini adalah 162 mg, yang akan digandakan
dosisnya setiap tiga jam.3
Jika pasien tidak bereaksi terhadap aspirin, maka reaksi awal anafilaksis mungkin
karena NSAID lain. Dalam rangka untuk menentukan apakah NSAID serupa namun tidak
sama dapat dikonsumsi secara aman, maka dapat dilakukan challenge dengan NSAID
alternatif yang diinginkan.3
Jika pasien bereaksi terhadap aspirin, maka pasien tersebut memiliki tipe
pseudoalergi dan bukan reaksi tipe 6.3
Pada situasi klinis dimana challenge dilakukan dengan menggunakan NSAID lain
selain aspirin, maka dosis awal harus dimulai dengan dosis sangat rendah, yaitu 1/1000 atau
1/100 dari dosis sebenarnya, yang akan ditingkatkan 10 kali lipat setiap tiga jam, cara ini
dilakukan mengingat telah banyak laporan mengenai anafilaksis yang disebabkan oleh
NSAID lain. Keadaan seperti ini hanya dilakukan pada pasien yang pernah mengalami
anafilaksis pada NSAID tertentu, namun membutuhkan NSAID tersebut dan tidak bisa
toleransi dengan kelompok NSAID lain dengan berbagai alasan. Pada keadaan seperti ini
tetap harus dilakukan aspirin challenge terlebih dahulu, untuk menyingkirkan kemungkinan
pseudoalergi.3
Desensitasi jarang sekali dilakukan untuk pasien dengan reaksi tipe 6 (reaksi yang
dimediasi oleh IgE karena satu NSAID) karena telah tersedia NSAID lain dengan susunan
kimia berbeda yang dapat menggantikan obat yang menjadi penyebab masalah/the culprit
drug. Pasien dengan tipe ini harus menghindari agen penyebab dan NSAID lain dengan
kelompok kimia yang sama. NSAID dengan struktur yang berbeda dari obat penyebab reaksi,
aman untuk dikonsumsi. Beberapa ahli menganjurkan untuk memberikan satu tablet penuh
16
dari NSAID alternatif, untuk memperlihatkan bahwa pasien dapat bertoleransi dan
menghilangkan rasa ketakutan pasien dalam hal mengkonsumsinya. Dosis pertama diberikan
dengan pemantauan.3
Reaksi Urtikaria/angioedema
Urtikaria dan angioedema terisolasi dapat kita lihat pada reaksi tipe 2,3,4 dan 5.3
17
tiga jam, sampai pasien dapat toleransi. Proses ini dapat dihentikan dimalam hari dan
dilanjutkan beberapa hari kemudian, jika memang dibutuhkan. Pilihan cara kedua, jika
aspirin sangat penting bagi pasien, maka ulangi prosedur dihari berikutnya sesudah pasien
mendapatkan anti histamin H1 (jika pasien telah mendapatkan obat tersebut untuk urtikaria
kronik, maka dosis dapat ditingkatkan), montelukast dan kadang misoprostol.3
18
Tipe 5 (pasien tanpa urtikaria kronik)
Pada pasien yang bereaksi dengan satu NSAID dengan pruritus, urtikaria, dan/atau
angioedema dan tidak mempunyai riwayat penyakit dasar urtikaria kronik, maka melakukan
oral challenge dengan ASA adalah suatu hal yang teapat. (tabel 2). Dosis awalnya adalah
162 mg dan digandakan setiap tiga jam.
Pasien dengan reaksi tipe 5 tidak diharapkan bereaksi dengan aspirin, karena tidak
pernah terdapat dokumentasi tentang IgE memediasi alergi aspirin. Jika timbul reaksi, maka
diagnosisnya adalah reaksi tipe 3.
Desensitisasi sangat jarang dilakukan pada pasien dengan reaksi tipe 5, seperti yang
sebelumnya pernah disebutkan, karena NSAID dengan struktur yang berbeda dapat
digunakan untuk menggantikan obat yang menjadi penyebab masalah/the culprit drug.
Pasien dengan tipe ini harus menghindari agen penyebab dan NSAID lain yang memiliki
kesamaan kimia. NSAID yang memiliki struktural yang berbeda dengan obat penyebab maka
aman diberikan pada pasien tersebut. Pasien dapat diberikan satu tablet penuh NSAID
alternatif untuk menunjukkan bahwa pasien toleransi terhadap obat tersebut dan membantu
menghilangkan ketakutan pasien. Dosis pertama yang diberikan tetap butuh pengawasan.
IX. KESIMPULAN
Dengan tidak adanya pemeriksaan secara in vivo maupun invitro yang terpercaya
untuk menilai toleransi atau intoleransi terhadap NSAID tertentu pada pasien yang
mempunyai riwayat urtikaria yang disebabkan oleh NSAID, maka oral challenge test
menjadi satu-satunya cara yang dapat kita lakukan. Adanya perkembangan pengetahuan
mengenai reaksi alergi dan pseudoalergi yang disebabkan oleh NSAID, serta adanya
penelitian mengenai oral challenges dengan obat NSAID alternatif, maka membuat kita
menjadi lebih mudah melakukan pendekatan pada pasien dengan riwayat urtikaria yang
disebabkan oleh NSAID.1
19
X. Available at: DAFTAR PUSTAKA
20
12. Wong JT, Nagy CS, Krinzman SJ, Maclean JA, et al. Rapid oral challenge
desensitization for patients with aspirin related urticaria-angiedema. J Allergy
Clin Immunol 2000.
13. Pham DL, Kim JH, Trinh TH, Park HS. What we know about nonsteroidal anti-
inflammatory drug hypersensitivity. Korean J intern Med 2016;31:417-432.
14. Borges MS, Hullet AC,Fonseca FC. A nvel phenotype of nonsteroidal anti-
inflammatory drug hypersensitivity. WAO Journal 2009;2:17-19.
15. Karagol HI, Yilmaz O, Topal E, Ceylan A, et al. Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs exacerbated respiratory disease. International Forum of Allergy and
Rhinology. 2015
21
22