Anda di halaman 1dari 22

SARI KEPUSTAKAAN ACC Supervisor Telah dibacakan

Divisi Alergi Imunologi


dr. Zuhrial Zubir SpPD KAI

Diagnostic Challenge dan Protokol Desensitisasi untuk Reaksi NSAID

Filsi Elsa Novenda, Zuhrial Zubir

Divisi Alergi dan Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-USU

RSUP. Haji Adam Malik

I. PENDAHULUAN
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) adalah merupakan salah satu
golongan obat yang paling sering diresepkan di dunia ini. Meskipun NSAIDs pada umumnya
bertoleransi baik, namun dapat juga menyebabkan reaksi yang merugikan, beberapa bahkan
berakibat fatal.1 Reaksi merugikan yang paling sering terjadi adalah akibat kerja NSAID
dalam menghambat cyclooxygenase 1 enzyme (COX-1), yaitu berupa gastritis dan ulkus
peptikum.1 Reaksi merugikan yang lainnya adalah reaksi alergi dan pseudoalergi.1 Reaksi ini
dapat timbul dalam waktu menit hingga jam,2 dan dikelompokkan berdasarkan dugaan
mekanisme yang mendasarinya serta jumlah NSAID yang terlibat (multipel atau satu).3
Salah satu reaksi yang paling sering terjadi timbul akibat NSAIDs adalah
urtikaria/angioedema, reaksi ini juga diperkirakan merupakan kelainan kulit yang paling
sering terjadi akibat obat-obatan dan dilaporkan prevalensinya sekitar 0,1-0,3% dari individu
yang terpapar NSAIDs.1 Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan dalam benak pasien yang
pernah mengalami hal tersebut, yaitu “obat apa yang dapat saya konsumsi jika saya sakit
kepala, nyeri ataupun demam?” Untuk itu terdapat beberapa challenge procedurs dalam
mendiagnosis beberapa reaksi NSAID, serta protokol desensitisasi yang digunakan dalam
tatalaksana pasien yang membutuhkan terapi NSAID yang mempunyai riwayat akan reaksi
NSAIDs.3

1
II. EPIDEMIOLOGI
NSAIDs adalah obat yang paling sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas, yaitu
sekitar 0,5-1,9% pada populasi umum.4 Prevalensi hipersensitivitas NSAID pada pasien asma
masih belum diketahui pasti, walaupun ada yang melaporkan sekitar 4-21%.4
Reaksi kulit merupakan yang paling sering terjadi (0,07-0,3%).4 Pada pasien yang
mempunyai riwayat urtikaria kronik, maka prevalensi hipersensitivitas NSAIDs menjadi
meningkat hingga 30%.4
Prevalensi reaksi alergi terhadap NSAIDs adalah 0,1-3,6%.4 NSAIDs telah dilaporkan
sebagai penyebab paling sering timbulnya anafilaksis.4 Prevalensi reaksi pseudoalergi masih
belum diketahui,2,4 pada reaksi ini jarang menimbulkan reaksi yang berat.4

III. KLASIFIKASI NSAIDs


NSAIDs bekerja menghambat enzim COX. Terdapat dua buah isoenzim COX, yaitu
COX-1 dan COX-2.2
 COX-1 diekspresikan pada semua tipe sel manusia dan terlibat dalam fungsi proteksi
fisiologis, seperti proteksi mukosa gaster. Dengan menghambat COX-1 maka akan
mengganggu fungsi protektif, sebagai contoh inhibisi COX-1 oleh NSAIDs akan
menyebabkan hilangnya produksi senyawa protektif prostaglandin E2 pada mukosa
gaster, sehingga pasien rentan mengalami gastritis.2
 COX-2 adalah enzim yang diekspresikan oleh berbagai sel inflamasi karena adanya suatu
stimulus. COX-2 memediasi pembentukan prostaglandin seperti COX-1, namun hanya
ditempat inflamasi, oleh karenanya inhibisi COX-2 adalah efek antiinflamasi yang
diharapkan dari suatu NSAIDs.2
Berbagai NSAIDs menghambat COX-1 dan COX-2 dengan berbagai tingkat
kekuatan. Aspirin (ASA) adalah penghambat kuat COX-1. NSAIDs yang menghambat COX-
1 dan COX-2 disebut non selektif, sementara yang dominan menghambat COX-2 disebut
sebagai selektif COX-2.2

2
IV. TIPE REAKSI
Dalam menentukan apakah diagnostic challenge dan/atau desensitisasi tepat
dilakukan pada pasien yang mempunyai riwayat reaksi NSAIDs, maka sebelumnya para
klinisi harus dapat mengklasifikasikan reaksi pasien di masa lalu.3 Hal ini dapat dilakukan
dengan cara anamnesis secara teliti. Hal yang paling penting untuk dicari tahu adalah3 :
 Tanda dan gejala reaksi.
 Apakah reaksi yang ditimbulkan disebabkan oleh satu NSAID atau multipel
NSAID?
Hal ini penting untuk dibedakan untuk pasien yang mengkonsumsi NSAIDs
penghambat COX-1 lainnya setelah reaksi pertama. Kemudian dilihat, apakah
obat tersebut juga menimbulkan reaksi, jika NSAIDs lain juga menimbulkan
gejala, maka pasien tersebut mengalami reaksi pseudoalergi.2
 Adakah kelainan medis yang mendasari (asma, rinosinusitis kronik, polip nasal,
dan urtikaria kronik)?
Setiap gejala asma yang berulang/masalah sinus/episode urtikaria sebelumnya
harus dieksplorasi untuk dibedakan jika salah satu dari kondisi tersebut mungkin
ada tapi tidak terdiagnosis. Kondisi kronik tersebut biasanya muncul sebelum
reaksi NSAIDs.2
Reaksi NSAIDs dapat dikelompokkan menjadi reaksi pseudoalergi dan reaksi
alergi.2,3 Reaksi Pseudoalergi ditimbulkan oleh berbagai macam NSAIDs, sementara reaksi
alergi biasanya ditimbulkan oleh satu macam NSAID atau yang memiliki kemiripan
struktur2 (tabel 1) :
 Reaksi pseudoalergi NSAID
Reaksi pseudoalergi adalah reaksi non imunologi yang timbul pada individu yang
rentan dan berhubungan dengan obat penghambat COX-1.2,3 Diduga, hal ini
terjadi karena adanya perubahan jalur biokimia akibat penghambat COX-1.2 Tipe
ini timbul pada pasien yang mempunyai penyakit asma dan penyakit sinus kronik
(sering bersamaan dengan polip nasal) atau urtikaria kronik.3 Reaksi pseudoalergi
dapat dibagi menjadi empat tipe :

3
1. Tipe 1- Reaksi respiratori akibat multipel NSAIDs pada pasien asma dan
rinosunisitis kronik dengan polip nasal. (disebut juga dengan aspirin-
exacerbated respiratory disease [AERD]).3
Konsumsi NSAID dapat mencetuskan kumpulan dari gejala naso-okular
dan/atau respiratorius bawah pada beberapa pasien dengan asma dan
rinosinusitis kronik (sering bersama polip nasal). Terdapat satu atau lebih
dari gejala berikut; rhinorrhea, kongesti nasal, edema periorbita dan/atau
injeksi konjungtiva, spasme bronkus, dan/atau spasme laring. Beberapa
pasien dapat mengeluhkan gatal dan/atau angioedema sebagai tambahan
gejala dari traktus respiratorius. Pada beberapa pasien dengan reaksi
respiratorius yang berat sering timbul bersama dengan gejala diluar traktus
respiratorius, seperti nyeri abdomen, diare dan hipotensi. Reaksi ini
disebut reaksi pseudoalergi tipe 1. Reaksi tipe 1 biasanya muncul satu
hingga tiga jam setelah meminum obat.2
2. Tipe 2- Urtikaria/angioedema akibat multipel NSAIDs pada pasien dengan
dasar urtikaria kronik.3
Pasien dengan riwayat urtikaria kronik dapat timbul eksaserbasi gatal,
kadang bersamaan dengan angioedema, dimulai 30 hingga 90 menit
sesudah meminum ASA atau NSAIDs penghambat COX-1. Efek
eksaserbasi dari NSAIDs/ASA dapat terlihat jelas pada lebih dari 30%
pasien dengan kronik urtikaria stabil, dan dapat lebih banyak lagi pada
pasien dengan urikaria aktif. Reaksi ini biasanya tergantung dosis/dose
dependent. Dengan menghindari NSAIDs penghambat COX-1 dapat
membantu meminimalisasi kekambuhan akut pada urtikaria kronik.2
3. Tipe 3- Urtikaria/angioedema akibat multipel NSAIDs pada individu
asimtomatik.3
Pada tipe pseudoalergi ini, anak maupun dewasa tanpa dasar urtikaria
kronik timbul urtikaria akut dan/atau angioedema 30 hingga 90 menit
sesudah meminum NSAIDs penghambat COX-1/ASA. Angioedema yang
timbul setelah meminum NSAID biasanya melibatkan area wajah,
terutama periorbita, bibir dan mulut. Pasien ini timbul urtikaria dan/atau

4
angioedema hanya sesudah minum NSAIDs atau mungkin juga bisa
mempunyai episode intermiten dari urtikaria yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya (yang tidak berhubungan dengan NSAID), tapi tidak
mempunyai dasar kronik urtikaria (episode berulang dari
urtikaria/angioedema selama 6 minggu atau lebih). Tidak diketahui apakah
pasien seperti ini selanjutnya akan berkembang menjadi urtikaria kronik
atau tidak. Mekanisme yang terjadi mungkin berhubungan dengan
penghambat COX-1, karena pasien dengan pseudoalergi tipe 3 dapat
bereaksi dengan dosis pertama penghambat COX-1 dan NSAID
penghambat COX-1 yang berbeda struktur. Sebagai tambahan, pasien
tersebut biasanya bertoleransi dengan NSAID penghambat COX-2
selektif.2
4. Tipe 4- Reaksi campuran (melibatkan traktus respiratorius dan kulit)
akibat multipel NSAIDs pada individu asimtomatik.3
Kadang reaksi NSAIDs/ASA tidak termasuk dalam ketiga tipe diatas.
Beberapa pasien dengan dasar AERD timbul gejala kulit dan juga
respiratorius sebagai respon dari NSAIDs, masuk dalam tipe ini. Pasien
tanpa adanya penyakit yang mendasarinya dapat timbul gejala kombinasi
yang dapat mempengaruhi traktus respiratorius dan kulit, seperti spasme
bronkus, rhinitis, urtikaria dan/atau angioedema setelah meminum
NSAIDs penghambat COX-1 yang berbeda. Reaksi ini biasanya
dicetuskan oleh multipel NSAIDs penghambat COX-1 dan mungkin bisa
muncul mekanisme kombinasi. Waktu timbulnya reaksi tipe 4 bervariasi.
Reaksi yang timbul murni hanya di kulit biasanya muncul dalam waktu 30
menit, sementara pasien dengan AERD dengan gejala kulit (sebagai
bagian dari reaksi respiratorius) menunjukkan gejala yang timbul telat
yaitu sekitar 90 menit. Pasien dengan reaksi respiratorius dan kulit, tanpa
AERD yang mendasarinya, biasanya reaksi muncul dalam waktu 60
menit.

5
 Reaksi alergi NSAID
Reaksi alergi NSAIDs bisa timbul mulai dari urtikaria/angioedema hingga
anafilaksis yang mengancam nyawa. Berbeda dengan reaksi pseudoalergi, reaksi
ini ditimbulkan oleh satu NSAID atau jarang sekali ditimbulkan oleh lebih dari
satu obat dengan struktur molekular yang mirip. Pasien dengan reaksi alergi
karena NSAID paling tidak pernah satu kali terpapar dengan obat yang membuat
masalah/the culprit drug, yang diduga terjadi sensitisasi sehingga kemudian akan
menghasilkan suatu gejala setelah terpapar berulang dengan obat yang sama.
Reaksi ini dipercaya dimediasi oleh IgE, dan allergennya diduga adalah metabolit
obat yang berikatan dengan protein karier. Di Amerika, reaksi ini paling sering
terjadi disebabkan oleh ibuprofen, walaupun bisa terjadi dengan NSAID yang
lain. Hingga saat ini belum terdapat pemeriksaan untuk mendeteksi IgE terhadap
NSAIDs.2
Reaksi alergi dibagi menjadi dua tipe, dibagi berdasarkan keparahan gejala.
Mekanisme yang mendasarinya dipercaya sama diantara kedua tipe. Terdapat
kemungkinan pada pasien dengan reaksi tipe 5 bisa progresi menjadi anafilaksis
(tipe 6), jika dia mengkonsumsi NSAID yang sama secara berulang, oleh
karenanya para ahli menyatakan bahwa tipe 5 dan 6 hanya berbeda pada derajat
keparahannya saja, reaksi yang terjadi sama.2
5. Tipe 5- Reaksi alergi (biasanya urtikaria, pruritus atau angioedema) karena
satu NSAID.3
Pasien dengan reaksi tipe 5 biasanya timbul urtikaria dan/atau angioedema
dalam waktu menit hingga satu jam setelah konsumsi NSAID tertentu atau
ASA. Pasien yang terkena reaksi ini, tidak mempunyai dasar urtikaria
kronik.2
6. Tipe 6- Anafilaksis (reaksi alergi yang berat melibatkan multipel sistem
organ) karena satu NSAID.3
Reaksi tipe 6 dibedakan dari reaksi tipe 5 berdasarkan keparahannya.
Pasien dengan anafilaksis biasanya mempunyai riwayat reaksi urtikaria
dengan obat NSAID di masa lalu, namun tidak menyadari bahwa terdapat
hubungan antara obat dan reaksi, sehingga meminum kembali obat

6
tersebut. Gejala tipikal dari anafilaksis adalah nafas pendek/wheezing
yang disebabkan adanya spasme bronkus atau edema laring dan hipotensi
karena kolaps pembuluh darah.
Anafilaksis telah dilaporkan disebabkan oleh berbagai NSAID, yang
paling sering adalah penghambat COX-1, namun bisa juga penghambat
COX-2 selektif.
Reaksi NSAID masih merupakan suatu tantangan dalam diagnosis dan tatalaksana,
karena beberapa alasan :
 Beberapa reaksi NSAID dapat menjadi berat dan mengancam nyawa.3
 Masih merupakan suatu tantangan dalam mengklasifikasi reaksi NSAID jika
hanya berdasarkan anamnesis saja, karena tanda dan gejala dari berbagai tipe
reaksi mungkin timbul tumpang tindih.3
 Pasien pada umumnya menghindari semua NSAID, sejak timbulnya reaksi
pertama, sehingga sulit menentukan apakah gejala timbul karena satu obat atau
multipel obat.3
 Banyak pasien sensitif terhadap NSAID pada titik tertentu setelah sebelumnya
bertoleransi baik dengan obat tersebut sehingga jika pasien mempunyai riwayat
toleransi yang baik dengan NSAID yang berbeda sebelumnya, bukan berarti
pasien dapat toleransi obat tersebut dikemudian hari.3

Prosedur Desensitisasi Aspirin


Persoalan alergi NSAID menjadi berkembang, ketika pasien dengan gejala akut
kardiak atau pasien yang baru saja menyelesaikan prosedur darurat kardiak, seperti
penempatan stent, memerlukan terapi aspirin namun ternyata pasien tersebut mempunyai
riwayat sensitif terhadap aspirin. Maka pada kondisi seperti ini, akan dipilih untuk
menjalani intervesi jantung terlebih dahulu, kemudian desensitisasi aspirin setelah pasien
stabil. Jika aspirin dibutuhkan secara absolut pada keadaan akut, maka strategi
pemberiannya adalah dengan memberikan dosis rendah aspirin (81 mg) kepada pasien
yang mempunyai riwayat reaksi NSAID.3

7
Tabel 1. Reaksi pseudoalergi dan reaksi alergi NSAID3

8
V. PATOGENESIS

NSAID Exacerbated Respiratory Disease (NERD)


NERD berhubungan dengan metabolisme dari asam arachidonic, produksi berlebihan
dari cysteinyl leukotrienes (CysLT) oleh eosinofil atau sel mast pada mukosa target organ,
peningkatan ekspresi reseptor CysLT pada mukosa sel inflamasi dan perubahan metabolisme
prostaglandin (PG).4
Asam arachidonic dimetabolisme melalui 2 jalur, yaitu jalur COX, yang menginduksi
sintesis PGs dan jalur lipoxygenase, yang menginduksi sintesis CysLT. Pada pasien yang
rentan, hambatan COX-1 yang menginduksi penurunan PGE2 dan peningkatan sintesis
CysLT, menimbulkan terjadinya inflamasi di traktus respiratorius.4

Gambar 1. Mekanisme membrane phospholipid. NSAID (obat non-steroid inflmasi)

NSAID-Exacerbated Cutaneous Disease (NECD)


Sama seperti NERD, mekanisme yang melibatkan NECD berhubungan dengan
penghambatan COX-1 dan produksi berlebihan dari CysLT.4

NSAID-Induced Urticaria/Angioedema (NIUA)


Mekanisme yang mendasari NIUA masih belum diketahui. Namun dipikirkan sama
seperti NERD dan NECD, dimana hambatan COX-1 yang berperan dalam pathogenesis.4

9
Single NSAID-Induced Urticaria/Angioedema or Anaphylaxis
Pola klinis dari reaksi ini, interval waktu antara minum obat hingga timbul gejala
serta reaksi yang timbul mendukung bahwa IgE yang memediasi mekanisme tersebut.4

VI. MASALAH UMUM DALAM NSAID CHALLENGE DAN DESENSITISASI


Indikasi untuk Challenge
Sampai saat ini belum tersedia tes secara in vitro ataupun test kulit yang dapat
mendiagnosis reaksi NSAID. Oleh karenanya maka provocative challenge adalah satu-
satunya cara untuk dapat diagnosis secara definitif pada pasien yang membutuhkan terapi
NSAID dikemudian hari. Protokol challenge adalah dengan cara menaikan dosis NSAID
secara bertahap dengan sangat berhati-hati, biasanya dilakukan pada aspirin, dengan
pemantauan kondisi medis secara ketat. Prosedur ini juga digunakan untuk desensitisasi
NSAID pada beberapa situasi.3
Drug challenges adalah bukannya tanpa resiko.3 Oleh karenanya harus
dipertimbangkan antara manfaat challenge dengan resikonya pada setiap pasien. Berikut
adalah panduan umumnya :
 Tidak dianjurkan untuk melakukan NSAID challenge pada pasien yang
mempunyai riwayat dugaan sensitif terhadap NSAID.3
 Sebaliknya, dianjurkan untuk melakukan NSAID challenge pada pasien yang
memiliki indikasi medis untuk mendapat terapi NSAID (faktor resiko
kardiovaskular, penyakit jantung koroner atau inflamasi kronik seperti arthritis)
guna menentukan tipe reaksi. Informasi yang didapat akan dapat digunakan untuk
menentukan NSAID mana yang aman untuk digunakan.3
Maka sebagai kesimpulannya, challenge procedur dilakukan hanya jika dibutuhkan
diagnosis definitif pada pasien yang membutuhkan terapi NSAID dikemudian hari, prosedur
ini juga penting untuk menentukan apakah pasien dapat bertoleransi dengan NSAIDs lain
selain NSAID yang menimbulkan reaksi. Melakukan challenges dengan obat yang
bermasalah/culprit drug, jarang dilakukan jika hanya untuk memastikan apakah reaksi
tersebut reaksi tipe 5 atau 6, karena dapat mencetuskan anafilaksis.2

10
Indikasi untuk Desensitisasi
Desensitisasi adalah suatu tehnik dimana pasien diberikan secara bertahap kenaikan
dosis dari sebuah obat namun dibawah pengawasan medik yang ketat, tehnik ini dilakukan
hingga mencapai suatu keadaan toleransi. Setelah pasien berhasil dilakukan desensitisasi
NSAID, maka obat tersebut atau NSAID lain yang equivalen harus diminum setiap harinya
untuk menjaga toleransi. Olehkarenanya desensitisasi tepat dilakukan pada pasien yang
membutuhkan NSAIDs setiap harinya seperti pada penyakit inflamasi atau ASA sebagai
terapi anti platelet.2
Kontraindikasi
Adanya kondisi kardiopulmonar yang berulang harus dikontrol secara optimal
sebelum pasien tersebut dilakukan challenge atau desensitisasi. Pada pasien dengan asma,
maka, prosedur ini dapat dilakukan jika volume ekspirasi paksa satu detik (FEV1) pre
bronkodilator adalah ≥ 70%.3
Pasien dengan reaksi NSAID di masa lalu dengan anafilaksis, tidak boleh mendapat
medikasi lain yang dapat meningkatkan kemungkinan anafilaksis atau dapat menghambat
tatalaksana anafilaksis.3
NSAID dapat menyebabkan reaksi tipe lain seperti reaksi kulit yang berat, contohnya
erythema multiforme, Stevens Johnson syndrome dan toxic epidermal necrolysis. Pasien
yang mengalami hal tersebut maka tidak dapat diberikan obat yang membuat masalah/the
culprit drug kembali. Setiap bentuk paparan ulang, seperti challenge dan desensitisasi adalah
kontraindikasi untuk dilakukan.3
Masalah Keamanan
 NSAID challenge harus dilakukan oleh klinisi yang berpengalaman supaya dapat
mengatasi setiap gejala yang timbul dan perlengkapan harus mendukung.3
 Pada beberapa pasien, dibutuhkan akses intravena sebelum dilakukan challenge untuk
digunakan pada kasus darurat atau pemberian cairan bila diperlukan. Hal ini
dibutuhkan pada pasien yang mempunyai resiko timbul gejala sedang hingga berat
selama challenge procedure dilakukan, yaitu pada pasien yang mempunyai riwayat
anafilaksis serta pasien dengan dasar penyakit kardiopulmonal.3
 Informed consent harus dilakukan pada semua pasien.3

11
Lokasi
Lokasi yang tepat untuk melaksanakan prosedur ini adalah berdasarkan riwayat
sebelumnya serta pengetahuan klinisi akan tipe reaksi mana yang akan terjadi. Pada
kebanyakan kasus, prosedur ini aman dilakukan di klinik asalkan alat pendukung lengkap,
namun pada beberapa kasus lain, mungkin dibutuhkan perawatan di rumah sakit atau
intensive care unit (ICU). Oral challenges pada pasien yang sebelumnya mengalami
anafilaksis, maka harus dilakukan di ruangan ICU atau di ruangan dimana jika terjadi
sesuatu, mudah memindahkannya ke ICU, walaupun sebenarnya kebanyakan reaksi yang
berat dapat dihindari. Keputusan untuk menentukan dimana tindakan challenge dilakukan
berdasarkan keputusan para klinisi yang akan melakukan dan setiap kasus harus dipandang
perindividu.3

VII. PROTOKOL ORAL CHALLENGES


Terdapat beberapa oral challenge procedurs, yang berbeda dalam hal dosis
permulaan dan interval waktu antara dosis (tabel 2). Pilihan protokol berdasarkan reaksi
pasien yang lalu. Para klinisi harus dapat mengelompokkan reaksi pasien yang lalu
berdasarkan laporan gejala dan penyakit yang mendasarinya, untuk memilih protokol yang
paling tepat.3
Pilihan NSAID
Aspirin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk oral challenge. Aspirin
mempunyai kelebihan daripada NSAID lain, yaitu tidak pernah dilaporkan menyebabkan
anafilaksis.3
Dosis Plasebo
Jika tujuan challenge untuk pengobatan, maka pada umumnya tidak digunakan
plasebo dalam challenge, namun terdapat beberapa situasi dimana dosis plasebo itu berguna.
Dosis plasebo berguna untuk penelitian dimana challenge dilakukan untuk tujuan konfirmasi
diagnosis.3

12
Tabel 2. Oral challenges3

13
VIII. PENDEKATAN TERHADAP TIPE SPESIFIK DARI REAKSI
Reaksi Respirasi
Pasien yang mengalami rhinorrhea atau spasme bronkus (sering dengan gejala nasal
dan ocular) setelah terpapar NSAID, paling sering adalah tipe 1 pseudoalergi. Jika selama
terjadi reaksi NSAID, pasien berkembang mengalami gejala kulit (urtikaria dan/atau
angioedema atau kelainan kulit lain) maka kemungkinan tipenya adalah tipe 4 pseudoalergi.
Pasien dengan tipe 1 dan tipe 4 pseudoalergi mempunyai dasar asma dan rhinosinusitis
kronik dengan nasal polip, walaupun polip seringkali tidak terdeteksi kecuali pasien
melakukan pemeriksaan penyakit sinusnya. Kombinasi asma, rhinosinusutis kronik dengan
nasal polip, serta reaksi respiratorius NSAID, disebut sebagi aspirin-exacerbated respiratory
disease (AERD). Penting untuk mengenali pasien dengan AERD, karena mempunyai potensi
timbul reaksi NSAID berat, dan jika dilakukan aspirin challenge, maka harus dilakukan
dengan pengamanan yang baik.3
Terkadang, pasien non AERD dengan riwayat bronkospasme setelah terpapar
NSAID, memiliki IgE yang dapat memediasi anafilaksis terhadap NSAID (reaksi alergi tipe
6). Hal ini harus dicurigai ketika pasien memiliki reaksi yang berat terhadap satu obat di
masa lalu dan tidak mempunyai riwayat asma atau penyakit sinus.3

Tipe 1 (reaksi respiratorius karena multipel NSAIDs)


Alasan paling sering dalam melakukan aspirin challenge pada pasien AERD adalah
untuk menentukan apakah pasien sensitif terhadap aspirin, sehingga dapat berguna untuk
pemberian terapi harian aspirin. Pada kebanyakan kasus, pasien diberikan premedikasi
antileukotrine sebelum dilakukan aspirin challenge untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala respiratori berat yang berpontensi untuk timbul selama challenge.3,5
Pasien dengan tipe 1 pseudoalergi dapat menjalani oral aspirin challenge (tabel 2),
dengan menggunakan premedikasi leukotrine-modifying drug (LTMD). Dosis awal adalah
40,5 mg dan digandakan setiap interval tiga jam sampai pasien menunjukkan reaksi atau
dosis terapeutik telah tercapai.3
Jika pasien tidak ada reaksi, maka pasien tersebut tidak alergi atau pseudoalergi
NSAID atau pasien tersebut membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk menimbulkan
reaksi. Kebanyakan pasien dengan tipe 1 pseudoalergi akan bereaksi pada dosis 60 dan 100

14
mg aspirin, maka jika dosis akhir adalah hanya 81 mg, maka kemungkinan dosis tersebut
dibawah dosis yang dapat menimbulkan reaksi. Namun jika memang pasien hanya
membutuhkan dosis rendah untuk terapi, maka pasien tersebut aman untuk melanjutkan
dengan 81 mg setiap harinya, walaupun pasien tersebut tidak boleh memakai dosis yang lebih
tinggi atau NSAID lain selain aspirin.3
Desensitisasi NSAID adalah suatu proses untuk menginduksi toleransi NSAIDs pada
pasien dengan reaksi pseudoalergi. Desensitisasi adalah kelanjutan dari challenge procedure
hingga pasien mencapai dosis yang diinginkan tanpa bereaksi lebih jauh lagi karena obat.
Desensitisasi aspirin hampir selalu berhasil pada pasien dengan tipe 1 pseudoalergi. Setelah
desensitisasi, aspirin atau NSAID lain harus diberikan setiap hari, karena toleransi bisa hilang
jika paparan dihentikan.3

Tipe 4 (gejala respiratorius dan kulit karena multipel NSAIDs)


Pasien dengan tipe 4 pseudoalergi dapat menjalani oral aspirin challenge (tabel 2),
dengan menggunakan premedikasi LTMD. Dosis awal adalah 40,5 mg dan digandakan setiap
tiga jam, sampai pasien timbul reaksi.3
Pasien dengan reaksi tipe 4 pseudoalergi dapat dilakukan desentisasi. Namun
prosesnya mungkin akan berlangsung panjang dan pasien bereaksi pada beberapa dosis
aspirin yang berbeda. Premedikasi dengan anti histamin oral non sedatif dan LTMD, seperti
montelukast. Jika terjadi reaksi, maka diberikan tambahan anti histamin, kemudian ditunggu
hingga gejala mereda, kemudian ulangi dosis provokasi dan lanjutkan proses desensitisasi.
Proses ini dapat memakan waktu jam hingga hari. Interval waktu antara kedua dosis dapat
diperpanjang hingga beberapa jam (tidak melebihi 48 jam), [jika dibutuhkan, untuk
menunggu gejala reda sebelum melanjutkannya]. Pada kasus yang resisten dapat digunakan
glukokortikoid. Ketika dosis yang diinginkan tercapai tanpa timbul gejala, maka pasien
sudah terdesensitisasi. Sekali sudah desensitisasi, maka anti histamin dan LTMD dapat
dihentikan (penurunan dosis atau diberhentikan secara bertahap tidak diperlukan).3

15
Tipe 6 (anafilaksis karena satu NSAID)
Jika pasien mengalami reaksi yang berat dimasa lalu karena NSAID (termasuk
didalamnya gejala respiratorius) dan berhenti mengkonsumsi NSAID pada waktu tersebut,
maka akan sulit ditentukan apakah pasien mengalami anafilaksis karena satu obat atau
pseudoalergi.3
Bagi pasien yang mempunyai riwayat dugaan reaksi anafilaksis karena satu NSAID
(tipe 6), maka melakukan oral challenge dengan acetylsalicyclic acid (ASA) adalah langkah
pertama yang aman (tabel 2) karena belum pernah dilaporkan aspirin menyebabkan
anafilaksis. Dosis awal diberikan pada pasien ini adalah 162 mg, yang akan digandakan
dosisnya setiap tiga jam.3
Jika pasien tidak bereaksi terhadap aspirin, maka reaksi awal anafilaksis mungkin
karena NSAID lain. Dalam rangka untuk menentukan apakah NSAID serupa namun tidak
sama dapat dikonsumsi secara aman, maka dapat dilakukan challenge dengan NSAID
alternatif yang diinginkan.3
Jika pasien bereaksi terhadap aspirin, maka pasien tersebut memiliki tipe
pseudoalergi dan bukan reaksi tipe 6.3
Pada situasi klinis dimana challenge dilakukan dengan menggunakan NSAID lain
selain aspirin, maka dosis awal harus dimulai dengan dosis sangat rendah, yaitu 1/1000 atau
1/100 dari dosis sebenarnya, yang akan ditingkatkan 10 kali lipat setiap tiga jam, cara ini
dilakukan mengingat telah banyak laporan mengenai anafilaksis yang disebabkan oleh
NSAID lain. Keadaan seperti ini hanya dilakukan pada pasien yang pernah mengalami
anafilaksis pada NSAID tertentu, namun membutuhkan NSAID tersebut dan tidak bisa
toleransi dengan kelompok NSAID lain dengan berbagai alasan. Pada keadaan seperti ini
tetap harus dilakukan aspirin challenge terlebih dahulu, untuk menyingkirkan kemungkinan
pseudoalergi.3
Desensitasi jarang sekali dilakukan untuk pasien dengan reaksi tipe 6 (reaksi yang
dimediasi oleh IgE karena satu NSAID) karena telah tersedia NSAID lain dengan susunan
kimia berbeda yang dapat menggantikan obat yang menjadi penyebab masalah/the culprit
drug. Pasien dengan tipe ini harus menghindari agen penyebab dan NSAID lain dengan
kelompok kimia yang sama. NSAID dengan struktur yang berbeda dari obat penyebab reaksi,
aman untuk dikonsumsi. Beberapa ahli menganjurkan untuk memberikan satu tablet penuh

16
dari NSAID alternatif, untuk memperlihatkan bahwa pasien dapat bertoleransi dan
menghilangkan rasa ketakutan pasien dalam hal mengkonsumsinya. Dosis pertama diberikan
dengan pemantauan.3

Reaksi Urtikaria/angioedema
Urtikaria dan angioedema terisolasi dapat kita lihat pada reaksi tipe 2,3,4 dan 5.3

Tipe 2 (pasien dengan kronik urtikaria)


Pasien yang bereaksi dengan multipel NSAID dengan gejala urtikaria/angioedema
dan mempunyai riwatyat urtikaria kronik dapat menjalani oral aspirin challenge (tabel 2).3
Premedikasi tidak diberikan pada tipe ini. Antihistamin tidak diberikan sebelum
NSAID challenge, karena dapat menutupi gejala awal atau ringan dari alergi. Antihistamin
H1 dan H2 harus dihentikan paling tidak 48 jam sebelum challenge.3
Dosis awal adalah dapat 81 atau 162 mg kemudian digandakan dalam waktu 90
menit, sampai pasien menimbulkan reaksi atau dosis terapeutik yang diinginkan tercapai.
Diagnosis reaksi tipe 2 dan 3 dapat dipastikan pada pasien yang timbul urtikaria dan/atau
angioedema karena dilakukan challenge.3
Jika pasien tidak timbul gejala, maka dapat kita singkirkan pseudoalergi. Jika pasien
hanya sensitif terhadap obat yang yang menimbulkan reaksi pertama, maka pasien
merupakan reaksi tipe 5 atau 6. Pasien akan aman diberikan dengan NSAID yang
mempunyai sruktur yang berbeda dari obat yang menyebabkan timbul reaksi.3
Pasien dengan reaksi tipe 2 pseudoalergi (ASA/NSAID menyebabkan
urtikaria/angioedema pada pasien dengan dasar urtikaria kronik) sangat sulit untuk dilakukan
desensitisasi. Walaupun seandainya desensitisasi telah berhasil pada awalnya, namun
toleransi sering kali hilang seiring dengan waktu. Selain itu, jika urtikaria sedang aktif, maka
pemberian aspirin seringkali membuat urtikaria menjadi sulit untuk dikontrol.3
Meskipun begitu, pasien dengan reaksi tipe 2 yang membutuhkan aspirin untuk
proteksi jantung, terkadang dapat toleransi dengan dosis 81 mg aspirin/hari tanpa timbul
gejala yang semakin memburuk. Untuk memastikan hal ini, biasanya awal diberikan
setengah tablet (40,5mg), kemudian dilihat dalam waktu tiga jam, kemudian baru kasih 81
mg. jika pasien bereaksi pada masing-masing tahap, maka diulangi langkah tersebut setiap

17
tiga jam, sampai pasien dapat toleransi. Proses ini dapat dihentikan dimalam hari dan
dilanjutkan beberapa hari kemudian, jika memang dibutuhkan. Pilihan cara kedua, jika
aspirin sangat penting bagi pasien, maka ulangi prosedur dihari berikutnya sesudah pasien
mendapatkan anti histamin H1 (jika pasien telah mendapatkan obat tersebut untuk urtikaria
kronik, maka dosis dapat ditingkatkan), montelukast dan kadang misoprostol.3

Tipe 3 (pasien tanpa urtikaria kronik)


Pada pasien yang bereaksi terhadap satu NSAID dan timbul urtikaria dan/atau
angioedema namun tidak mempunyai riwayat urtikaria kronik, maka melakukan oral
challenge dengan ASA adalah merupakan hal yang paling tepat.3 (tabel 2).
Jika pasien tidak timbul gejala, maka pseudoalergi dapat disingkirkan, maka bisa saja
riwayat sebelumnya tidak benar atau pasien hanya sensitif dengan obat penyebab reaksi awal
(reaksi tipe 5 atau 6). Pasien dapat aman mengkonsumsi NSAID dengan struktur yang
berbeda dari NSAID penyebab reaksi awal.
Jika pasien tanpa riwayat urtikaria kronik kemudian timbul urtikaria atau angioedema
sebagai respon dari aspirin challenge, maka diagnosisnya adalah pseudoalergi tipe 3.
Banyak pasien dengan reaksi pseudoalergi tipe 3 (urtikaria/angioedema pada pasien
tanpa gejala) dapat menoleransi 81 mg atau bahkan 325 mg tanpa timbul
urtikaria/angioedema atau gejala lain, dan mungkin dapat melanjutkan dengan dosis tersebut
dalam jangka panjang.
Pasien tipe 3 biasanya bisa di desensitisasi, walaupun agak sulit, karena urtikaria
dan/atau angioedema dapat timbul selama prosedur berjalan dan mungkin sulit untuk
dikontrol. Dalam memulai desensitisasi pada tipe ini, tidak menggunakan premedikasi, dan
ketika nanti pasien timbul reaksi, pasien tersebut baru diberikan anti histamin oral non sedatif
dan LTMD. Jika terjadi reaksi dan diberikan antihistamin, maka ditunggu gejala hingga
mereda, kemudian baru ulangi dosis provokasi dan lanjutkan proses desensitisasi, dilanjutkan
setiap tiga jam. Pada kasus yang resisten mungkin dibutuhkan glukokortikoid sistemik.
Ketika dosis yang diinginkan tercapai tanpa gejala, maka pasien telah terdesensitisasi. Dan
sekali sudah terdesensitisasi, maka anti histamin dan LTMD dapat dihentikan. (penurunan
dosis atau penghentian secara bertahap tidak diperlukan).

18
Tipe 5 (pasien tanpa urtikaria kronik)
Pada pasien yang bereaksi dengan satu NSAID dengan pruritus, urtikaria, dan/atau
angioedema dan tidak mempunyai riwayat penyakit dasar urtikaria kronik, maka melakukan
oral challenge dengan ASA adalah suatu hal yang teapat. (tabel 2). Dosis awalnya adalah
162 mg dan digandakan setiap tiga jam.
Pasien dengan reaksi tipe 5 tidak diharapkan bereaksi dengan aspirin, karena tidak
pernah terdapat dokumentasi tentang IgE memediasi alergi aspirin. Jika timbul reaksi, maka
diagnosisnya adalah reaksi tipe 3.
Desensitisasi sangat jarang dilakukan pada pasien dengan reaksi tipe 5, seperti yang
sebelumnya pernah disebutkan, karena NSAID dengan struktur yang berbeda dapat
digunakan untuk menggantikan obat yang menjadi penyebab masalah/the culprit drug.
Pasien dengan tipe ini harus menghindari agen penyebab dan NSAID lain yang memiliki
kesamaan kimia. NSAID yang memiliki struktural yang berbeda dengan obat penyebab maka
aman diberikan pada pasien tersebut. Pasien dapat diberikan satu tablet penuh NSAID
alternatif untuk menunjukkan bahwa pasien toleransi terhadap obat tersebut dan membantu
menghilangkan ketakutan pasien. Dosis pertama yang diberikan tetap butuh pengawasan.

IX. KESIMPULAN
Dengan tidak adanya pemeriksaan secara in vivo maupun invitro yang terpercaya
untuk menilai toleransi atau intoleransi terhadap NSAID tertentu pada pasien yang
mempunyai riwayat urtikaria yang disebabkan oleh NSAID, maka oral challenge test
menjadi satu-satunya cara yang dapat kita lakukan. Adanya perkembangan pengetahuan
mengenai reaksi alergi dan pseudoalergi yang disebabkan oleh NSAID, serta adanya
penelitian mengenai oral challenges dengan obat NSAID alternatif, maka membuat kita
menjadi lebih mudah melakukan pendekatan pada pasien dengan riwayat urtikaria yang
disebabkan oleh NSAID.1

19
X. Available at: DAFTAR PUSTAKA

1. Asero R. Clinical management of adult patients with a historu of nonsteroidal anti


inflammatory drug induced urtikaria/angioedema. Allergy, Asthma and Clinical
Immunology 2007;3(1):24-30.
2. Simon RA. NSAIDs: allergic and pseudoallergic reactions. UpToDate 2017.
Available at: https://www.uptodate.com
3. Simon RA. Diagnostic challenge and desensitization protocols for NSAID
reactions. UpToDate 2017. https://www.uptodate.com
4. Ortega N, Dona I, Moreno E, Audicana MT, et al. Practical guidelines for
diagnosing hypersensitivity reactions to nonsteroidal anti-inflammatory drugs. J
invest Allergol Clin Immunol 2014;24(5):308-323.
5. Simon RA. Aspirin-exacerbated respiratory disease: NSAID challenge and
desensitization. UpTo Date 2017. Available at: https://www.uptodate.com
6. Scott DR, White AA. Approach to desensitization in aspirin-exacerbated
respiratory disease. Ann Allergy Asthma Immunol 2014;112:13-17.
7. Kim YJ, Lim KH, Kim MY, Jo EJ, et al. Cross reactivity to acetaminophen and
celecoxib according to the type of nonsteroidal antiinffammatory drug
hypersensitivity. Allergy Asthma Immunol Res 2014;6(2):156-162.
8. Kowalski ML, Makowska JS, Blanca M, Bavbek S, et al. Hypersensitivity to
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)-classification, diagnosis and
management. Allergy 2011;66:818-829.
9. Borges MS. Clinical management of nonsteroidal anti-inflammatory drug
hypersensitivity. WAO jurnal 2008;1(2):29-33.
10. Lambrakis P, Rushworth GF, Adamson J, Leslie SJ. Aspirin hypersensitivity and
desensitization protocols: implications for cardiac patients. Ther Adv Drug Saf
2011;2(6):263-270.
11. Salomon DH. NSAIDs: mechanism of action. UpToDate 2017. Available at:
https://www.uptodate.com

20
12. Wong JT, Nagy CS, Krinzman SJ, Maclean JA, et al. Rapid oral challenge
desensitization for patients with aspirin related urticaria-angiedema. J Allergy
Clin Immunol 2000.
13. Pham DL, Kim JH, Trinh TH, Park HS. What we know about nonsteroidal anti-
inflammatory drug hypersensitivity. Korean J intern Med 2016;31:417-432.
14. Borges MS, Hullet AC,Fonseca FC. A nvel phenotype of nonsteroidal anti-
inflammatory drug hypersensitivity. WAO Journal 2009;2:17-19.
15. Karagol HI, Yilmaz O, Topal E, Ceylan A, et al. Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs exacerbated respiratory disease. International Forum of Allergy and
Rhinology. 2015

21
22

Anda mungkin juga menyukai