Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir
Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Psikiatri Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura
Disusun oleh:
0100840098
Pembimbing :
SMF PSIKIATRI
JAYAPURA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Telah disetujui dan diterima oleh Penguji Laporan Kasus dengan judul :
Sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Madya pada SMF Psikiatri RSJD
Hari/Tanggal :
Tempat :
Mengesahkan
BAB I
DATA EPIDEMIOLOGI
Nama : Tn. B
Usia : 57 tahun
Agama : Islam
Pendidikan :-
Status Pekerjaan :-
Medik
Kejang (-)
Benturan kepala hingga terjadi penurunan kesadaran (-)
d. Riwayat Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang mengalami kondisi seperti pasien.
Genogram :
Keterangan :
Pasien :
Perempuan :
Laki-laki :
Meninggal :
f. Riwayat Pribadi
Riwayat prenatal dan perinatal
Pasien dilahirkan dengan usia kandungan yang cukup bulan dan dilahirkan
secara spontan, tanpa kecacatan maupun trauma lahir. Semasa bayi, pasien
orang tua tidak mampu membeli peralatan sekolah akhirnya pasien berhenti
tindak kejahatan.
a. Pemeriksaan Fisik
KU : Gelisah
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign:
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 101 x/mnt
Suhu : 36,60 C
Respirasi : 24 x/mnt
Sp02 : 98 %
Kulit : Warna kulit coklat, Anemis (-), Ikterus (-),
Mata : Congjungtiva anemis (-), Sklera iketik (-), sekret mata (-)
Hidung : Tidak Ada Kelainan
Mulut dan tenggorokan : Tidak Ada Kelainan
Leher
Thorakrs
Paru - Paru : Simetris, retraksi (-), ikut gerak nafas, Rhonki (-|-),
wheezing (-|-)
Jantung : Tidak Ada Kelainan
b. Pemeriksaan Laboratorium:
Dilakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 30 April 2019
Hematologi
Hb 11.2gr%
Leukosit 6.900
Granulosit 72%
Limfosit 21%
Monosit 7%
Trombosit 129.000/mm3
Kimia Darah
GDS 403mg/dL
Kreatinin 1,5mg/dL
Ureum 30mg/dL
Asam urat 6.0mg/dL
SGOT 55
SGPT 31
Cholesterol 136
Imuno-Serologi
HbsAg Negatif
HbsAb Positif
Parasitologi
DDR Negatif
AKSIS I
AKSIS II
Tidak ada gangguan kepribadian karena tidak terdapat ciri patologik dari kepribadian.
AKSIS III
Tidak ada kelainan fisik dan cacat bawaan yang ditemukan.
AKSIS IV
Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
AKSIS V
2.8. Prognosis
Prognosis ad vitam : dubia ad bonam
Prognosis ad sanationam : dubia ad bonam
Prognosis ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
Konsep gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk ke DSM-IV adalah
sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna,
dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia.
Pada pasien ini ditemukan adanya gangguan presepsi dan isi pikir yang bermakna
serta menimbulkan suatu distress (penderitaan) dan disability (hendaya) dalam pekerjaan
dan kehidupan sosial pasien sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengidap gangguan
jiwa. Pada heteroanamnesis tidak didapatkan riwayat penggunaan zat-zat psikoaktif
(NAPZA) atau pun alkohol. Temuan ini membuat diagnosis gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-F19) dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan status mental, didapatkan adanya halusinasi auditorik dan
visual yang menetap namun belum terjadi lebih dari satu bulan dan tidak khas memenuhi
kriteria skizofrenia. Waham yang ditemukan adalah waham curiga. Tidak ditemukan
adanya gejala utama dan gejala tambahan skizofrenia yang khas baik waham yang
mengambang, ataupun ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, ataupun
gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, dan respons emosional yang
menumpul atau tidak wajar yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial. Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan
diagnosis penderita sebagai skizofrenia (F20).
Penulis mendiagnosa penyakit pasien ini dengan (F23) gangguan psikotik akut dan
sementara. Dalam PPDGJ-III, gangguan psikotik akut dan sementara ditegakkan dengan
urutan: (a) onset yang akut (dalam masa 2 minggu atau kurang = jangka waktu gejala-gejala
psikotik menjadi nyata dan mengganggu sedikitnya beberapa aspek kehidupan dan pekerjaan
sehari-hari, tidak termasuk periode prodromal yang gejalanya sering tidak jelas) sebagai ciri
khas yang menentukan seluruh kelompok; (b) adanya sindrom yang khas (berupa
“polimorfiks”= beraneka ragam dan berubah cepat, atau “schizophrenia-like”= gejala
skizofrenik yang khas); (c) adanya stress akut yang berkaitan; (d) tanpa diketahui berapa
lama gangguan akan berlangsung.
Diketahui bahwa keluhan yang dialami oleh pasien ini berlangsung ±sejak 10 hari
yang lalu. Adanya waham curiga, halusinasi auditorik dan visual memenuhi gejala
skizofrenia yang khas, kemudian kekecewaan pasien akibat janji dari bos pasien yang tidak
membelikan tiket pesawat untuk pasien mencetuskan terjadinya suatu reaksi stress akut.
Maka berdasarkan keadaan tersebut, maka pasien didiagnosis dengan F23 Gangguan Psikotik
Akut dan Sementara.
Menurut sebuah studi epidemiologi internasional, berbeda dengan skizofrenia, kejadian
nonaffective timbul psikosis akut 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang daripada di
negara-negara industri. Beberapa dokter percaya bahwa gangguan yang mungkin paling
sering terjadi pada pasien dengan sosioekonomi yang rendah, pasien dengan gangguan
kepribadian yang sudah ada sebelumnya ( paling sering adalah gangguan kepribadian
histrionik, narsistik, paranoid, skizotipal, dan ambang ), dan orang yang pernah mengalami
perubahan kultural yang besar ( misalnya imigran ).
Didalam DSM III faktor psikososial bermakna dianggap menyebabkan psikosis
reaktif singkat, tetapi kriteria tersebut telah dihilangkan dari DSM IV. Perubahan dalam DSM
IV menempatkan diagnosis gangguan psikotik singkat didalam kategori yang sama dengan
banyak diagnosis psikiatrik utama lainnya yang penyebabnya tidak diketahui dan diagnosis
kemungkinan termasuk gangguan yang heterogen.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tapi sebagian besar di jumpai pada pasien
dengan gangguan kepribadian mungkin memiliki kerentanan biologis atau psikologis
terhadap perkembangan gejala psikotik. Satu atau lebih faktor stres berat, seperti peristiwa
traumatis, konflik keluarga, masalah pekerjaan, kecelakaan, sakit parah, kematian orang yang
dicintai, dan status imigrasi tidak pasti, dapat memicu psikosis reaktif singkat. Beberapa studi
mendukung kerentanan genetik untuk gangguan psikotik singkat.
Gambaran utama perilaku:
1. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
2. Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
3. Kebingungan atau disorientasi
Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri, kecurigaan
berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara dan tertawa serta
marah-marah atau memukul tanpa alasan. Hal ini juga bersesuaian dengan keadaan pasien,
dimana pasien berteriak-berteriak dan marah-marah serta bicara sendiri, pasien gelisah dan
selalu mengucapkan kata” aku akan membunuhmu Giono yang adalah bos pasien”, pasien
juga jalan mondar mandir dan kelihatan kebingungan serta membawa alat tajam untuk
membunuh bos pasien dan mengganggu aktivitas warga.
Seperti pada pasien psikiatrik akut, riwayat yang diperlukan untuk membuat diagnosis
mungkin tidak dapat diperoleh hanya dari pasien. Walaupun adanya gejala psikotik mungkin
jelas, informasi mengenai gejala prodromal, episode suatu gangguan mood sebelumnya, dan
riwayat ingesti zat psikotomimetik yang belum lama mungkin tidak dapat diperoleh dari
wawancara klinis saja. Disamping itu, klinis mungkin tidak mampu memperoleh informasi
yang akurat tentang ada atau tidaknya stressor pencetus.
Contoh yang paling jelas dari stresos pencetus adalah peristiwa kehidupan yang besar
yang dapat menyebabkan kemarahan emosional yang bermakna pada tiap orang. Peristiwa
tersebut adalah kematian anggota keluarga dekat dan kecelakaan kendaraan yang berat.
Beberapa klinis berpendapat bahwa keparahan peristiwa harus dipertimbangkan didalam
hubungan dengan kehidupan pasien. Walaupun pandangan tersebut memiliki alasan, tetapi
mungkin memperluas definisi stressor pencetus dengan memasukkan peristiwa yang tidak
berhubungan dengan episode psikotik. Klinisi lain berpendapat bahwa stressor mungkin
merupakan urutan peristiwa yang menimbulkan stress sedang, bukannya peristiwa tunggal
yang menimbulakan stress dengan jelas. Tetapi penjumlahan derajat stress yang disebabkan
oleh urutan peristiwa memerlukan suatu derajat pertimbangan klinis yang hampir tidak
mungkin.
Aksis II tidak dapat diagnosis dikarenakan tidak didapatkan data yang menunjang.
Pada pasien didapatkan tumbuh kembang saat masa kanak-kanak baik, pasien mampu
menyelesaikan pendidikan sampai tamat SMA. Hal ini menyingkirkan diagnosis retardasi
mental (F.70). Pada pasien ini tidak ditemukan, ada penyakit yang menyertai pada aksis III.
Pada akis IV adalah masalah berkaitan dengan lingkungan sosial. Stresor psikososial
diketahui dengan baik memainkan peranan penting dalam hal etiologi, pemeliharaan,
dan penatalaksanaan sejumlah gangguan jiwa. Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk
berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala GAF (Global Assesment of
Function). Pada saat ke polik RSJ, skor GAF 20 - 11 : bahaya mencederai diri/orang lain,
disabilitas sangat berat dalam komunikasi dan mengurus diri.
Dalam penanganan gangguan psikotik akut dan sementara indikasi rawat inap di
RSJ dilakukan ketika pasien sudah dapat membahayakan orang lain disekitarnya atau pun
dirinya sendiri. Pada pasien diakui oleh tetangga pasien bahwa pasien membahayakan dan
mengancam orang-orang warga sekitar dengan membawa alat tajam, oleh karena itu,
tatalaksana pada pasien adalah sebagai berikut:
Rawat Inap
Perawatan singkat di rumah sakit diperlukan untuk tujuan pemeriksaan
lebih lanjut, menstabilkan keadaan pasien dan perlindungan terhadap pasien.
Pemeriksaan pasien membutuhkan monitoring ketat terhadap gejala dan
pemeriksaan tingkat bahaya pasien terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Di
samping itu, lingkungan rumah sakit yang nyaman, tenang dan terstruktur dapat
membantu pasien memperoleh kembali rasa realitasnya sambil menunggu
lingkungan dan obat menunjukkan efeknya. Lamanya perawatan di rumah sakit
tergantung pada tingkat keparahan penyakit pasien.
Psikofarmaka
1. Haloperidol
– Sediaan:
Tersedia dalam bentuk tablet 2 – 5 mg, dalam bentuk ampul 5 mg/cc
– Indikasi:
Agitasi psikomotor pada kelainan tingkah laku.
– Kontraindikasi:
Depresi endogen tanpa agitasi, gangguan neurologis dengan gejala
piramidal atau ekstrapiramidal, koma, depresi, susunan saraf pusat,
hipersensitif, anak kurang lebih 3 tahun.
– Efek Samping:
Hipertonia otot dan gemetar, tidak bisa istirahat, gerakan mata tak
terkoordinasi, hipotesi ortostatik, galaktore.
– Pembahasan:
Dalam penggunaan obat anti-psikosis yang ingin dicapai adalah
“optimal response with minimal side effects”. Pemilihan jenis obat anti-
psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek
samping obat. Karena gejala dominan yang ada pada pasien ini adalah
gejala positif terapi pilihan yang diberikan berupa anti-psikosis tipikal
potensi tinggi yaitu Haloperidol. Dosis haloperidol yang diberikan
yakni 2 x 5 mg per hari. Haloperidol memiliki efek sedatif yang lemah
dan digunakan pada sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis,
menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif,
hipoaktif, waham, dan halusinasi.
2. Diazepam
- Sediaan : Tablet 2 – 5 mg; Ampul 10 mg/2 cc
- Mekanisme Kerja :
Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi
hambatan neuron GABA
- Indikasi :
Gejala sasaran (target syndrome) : sindrom ansietas
- Kontraindikasi :
Pasien dengan hipersensitifitas terhadap benzodiazepine, glaukoma,
myasthenia gravis, chronic pulmonary insufficiency, chronic renal or
hepatic disease.
- Efek Samping :
□ Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotormenurun, kemampuan kognitif melemah)
□ Relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah, dll).
– Pembahasan:
Pasein mendapat terapi diazepam bertujuan sebagai anti ansietas.
Selain itu pasien juga mengalami keadaan sulit tidur, dimana efek
samping dari obat ini pasien akan merasa mengantuk, oleh karena itu
dosis dari obat ini diberikan pada siang dan malam hari agar pasien
bisa tidur dengan baik.
Psikoterapi
1. Mendengar dengan baik keluhan pasien
2. Psikoterapi untuk memperkuat fungsi ego dengan psikoterapi suportif
dan agar pasien dapat bersosialisasi.
3. Konseling untuk membantu pasien mengerti dirinya lebih baik agar
dapat mengatasi masalahnya menyesuaikan diri.
Sosioterapi
1. Memberi penjelasan tentang penyakit pasien kepada keluarga, agar
keluarga dapat memahami dan menerima keadaan pasien
2. Edukasi keluarga untuk mendengar curahan hati pasien dan membantu
pasien menyelesaikan masalahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan POM RI. Informatorium Obat Nasional Indonesia. 2008. Jakarta : Segung Seto.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. Sinopsis Psikiatri Klinis Edisi 7 Jilid Satu. 2010. Jakarta : EGC.
Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. 2003.
Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ketiga.2007. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya