Anda di halaman 1dari 3

Nama : Andi Astrid Alfiana

NIM : PO714201161008

Kelas : III / A

Jawaban Tugas :

1. Dalam kajian risiko bencana ada faktor kerentanan (vulnerability) rendahnya daya tangkal
masyarakat dalam menerima ancaman, yang mempengaruhi tingkat risiko bencana, kerentanan
dapat dilihat dari faktor lingkungan, sosial budaya, kondisi sosial seperti kemiskinan, tekanan
sosial dan lingkungan yang tidak strategis, yang menurunkan daya tangkal masyarakat dalam
menerima ancaman. Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya kemampuan (capacity) adalah
kondisi masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan menilai
ancaman serta bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan sumberdaya yang ada,
dimana dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima manfaat dan penerima risiko bencana
menjadi bagian penting dan sebagai aktor kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk
mengurangi risiko bencana dan ini menjadi suatu kajian dalam melakukan manajemen bencana
berbasis masyarakat (Comunity Base Disaster Risk Management). Pengelolaan lingkungan harus
bersumber pada 3 aspek penting yaitu Biotik (makluk hidup dalam suatu ruang), Abiotik
(sumberdaya alam) dan Culture (Kebudayaan). Penilaian risiko bencana dapat dilakukan dengan
pendekatan ekologi (ekological approach) dan pendekatan keruangan (spatial approach)
berdasarkan atas analisa ancaman (hazard), kerentanan (vulnerabiliti) dan kapasitas (capacity)
sehingga dapat dibuat hubungannya untuk menilai risiko bencana dengan rumus :

RB = HxV/C
RB = Risiko Bencana
H = Hazard (bahaya)
V = Vulnerability (kerentanan)
C = Capacity (kemampuan)

Daya tahan/berdaya tahan (resilience/resilient) adalah kapasitas sebuah sistem, komunitas atau
masyarakat yang memiliki potensi terpapar pada bencana untuk beradaptasi, dengan cara
bertahan atau berubah sedemikian rupa sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat
fungsi dan struktur tyang dapat diterima. Hal ini ditentukan oleh tingkat kemampuan sistem
sosial dalam mengorganisasi diri dalam meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dari bencana di
masa lalu, perlindungan yang lebih baik di masa mendatang, dan meningkatkan upaya-upaya
pengurangan risiko bencana (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007).

2. Upaya-upaya Penanggulangan Bencana Alam

 Mitigasi
Mitigasi dapat juga diartikan sebagai penjinak bencana alam, dan pada prinsipnya mitigasi
adalah usaha-usaha baik bersifat persiapan fisik, maupun non-fisik dalam menghadapi bencana
alam. Persiapan fisik dapat berupa penataan ruang kawasan bencana dan kode bangunan,
sedangkan persiapan non-fisik dapat berupa pendidikan tentang bencana alam.
 Menempatkan Korban di Suatu Tempat yang Aman
Menempatkan korban di suatu tempat yang aman adalah hal yang mutlak diperlukan. Sesuai
dengan deklarasi Hyogo yang ditetapkan pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan
Bencana, di Kobe, Jepang, pertengahan Januari 2005 yang lalu. Berbunyi : “Negara-negara
mempunyai tanggung jawab utama untuk melindungi orang-orang dan harta benda yang berada
dalam wilayah kewenangan dan dari ancaman dengan memberikan prioritas yang tinggi kepada
pengurangan resiko bencana dalam kebijakan nasional, sesuai dengan kemampuan mereka dan
sumber daya yang tersedia kepada mereka”.
 Membentuk Tim Penanggulangan Bencana
 Memberikan Penyuluhan-penyuluhan
 Merelokasi Korban Secara Bertahap
Akibat kompleknya permasalahan pascabencana, maka dibuatlah panduan internasional
mengenai prinsip-prinsip perlindungan pengungsi. Sebagai contoh, misalnya pasal 18 ayat (2) ,
Pasal 23 dinyatakan setiap manusia memiliki hak atas pendidikan ayat (1) dan pada ayat (2) dan
masih banyak lagi pasal lain yang menekankan perlunya ditindaklanjuti pemberian perlindungan
terhadap para pengungsi, baik yang disebabkan oleh bencana alam atau ulah manusia, termasuk
konflik bersenjata atau perang.

Anda mungkin juga menyukai