Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

RHINOSINUSITIS MAKSILARIS SINISTRA

Oleh

Bagus Ngurah Wirasena P.A (167008052)


I Wayan Agus Wini Indrayana (167008053)
Made Yulia Indrawati (167008054)

Pembimbing

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN/SMF TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
RSUD SANJIWANI GIANYAR
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar, sinus paranasal terdiri dari
empat sinus yaitu sinus frontal, sinus sphenoid, sinus etmoid, dan sinus maksilaris.
Inflamasi atau peradangan pada mukosa sinus paranasales dan terjadi obstruksi dari
drainase normal disebut sinusitis. Daerah sinus yang paling sering menjadi tempat
terjadi peradangan adalah sinusitis maksilaris.Pada sinus maksilaris letaknya dekat
dengan akar gigi jadi apabila terjadi infeksi gigi akan mudah menyebar ke sinus maxilla
sehinnga disebut sinusitis dentogen.1

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan
sinus berada dalam urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.Data dari Divisi Rinologi Departemen
THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun
waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Data dari RSUD Raden
Mattaher Jambi tahun 2011, tercatat sebanyak 301 pasien dan tahun 2012 sebanyak 374
pasien yang menderita sinusitis.FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 –
2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan perempuan
50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah maksilaris 68 kasus
(57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13 kasus (11%) etmoidalis,
rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi dektra; dan bilateral 41 kasus
(34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi nasi paling dominan
sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea sebanyak 34 kasus (28,8%).2,3,4

Menurut penyebabnya sinusitis dibagi menjadi dua yaitu sinusitis dentogen dan
rhinogen. Sinusitis tipe rhinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung,
dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis. Sinusitis tipe dentogen terjadi disebabkan kelainan gigi serta infeksi pada gigi

2
geraham atas (pre molar dan molar). Sedangkan secara klinis dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu sinusitis akut, sub akut, dan kronis.1,5

Dengan banyaknya kasus sinusitis yang terjadi maka mengharuskan seorang


dokter untuk dapat menentukan diagnosis dan terapi awal apa yang harus diberikan
terhadap pasien.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Hidung berfungsi sebagai alat penghidu, penyaring debu, pelembapan udara
pernapasan dan penampungan sekret dari sinus paranasales dan ductus nasolacrimalis.
Pada permukaan inferior terdapat dua lubang yang dipisahkan oleh septum nasi.
Septum nasi dibentuk oleh sebagian tulang dan sebagian lagi berupa tulang rawan.
Bagian hidung yang berupa tulang rawan terdiri dari os nasale, processus frontalis
maxillae dan pars nasalis ossis frontalis. Sedangkan pada bagian tulang rawan hidung
terdiri dari lima tulang rawan utama yakni dua cartilagines nasi lateralis, dua
cartilagines alares dan sebuah cartilago septi nasi. Septum nasi terdiri dari beberapa
komponen seperti Lamina prependicularis ossis ethmoidalis, Vomer dan Cartilago
septi nasi.6
Batas-batas cavitas nasi antara lain:
 Atap cavitas nasi berbentuk lengkung dan sempit, dapat dibedakan menjadi
tiga bagian yakni frontonasal, etmoidal dan sfenoidal.
 Dasar cavitas nasi lebih luas daripada atapnya yakni dibentuk oleh prossesus
palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini.
 Dinding medial dibentuk oleh septum nasi
 Dinding lateralnya terdapat tiga tonjolan yakni concha nasalis superior, media
dan inferior
Pada setiap concha membagi cavitas nasi menjadi empat lorong yaitu meatus
nasalis superior, meatus nasalis medius, meatus nasalis inferior dan hiatus semilunaris.6
 Meatus nasalis superior merupakan sebuah lorong sempit diantara concha
nasalis superior dan concha nasalis media yang merupakan tempat
bermuaranya sinus etmoidalis superior
 Meatus nasalis medius memiliki ukuran yang lebih panjang dan luas daripada
yang atas. Pada bagian anterosuperiornya berhubungan dengan infundibulum
yang merupakan jalan menuju ke sinus frontalis. Hubungan sinus frontalis ke

4
infundibulum terjadi melalui ductus frontalis. Selain itu sinus maxilla juga
bermuara ke meatus nasalis medius.
 Meatus nasalis inferior merupakan sebuah lorong lorong horisontal yang
terletak inferolateral terhadap concha nasalis inferior. Ductus nasolacrimalis
bermuara di bagian anterior meatus nasalis inferior.
 Hiatus semilunaris adalah alur yang berbentuk setengah lingkaran dan
merupakan muara dari sinus frontalis.
Vaskularisasi dinding medial dan lateral cavitas nasi melalui cabang arteri
sphenopalatina, arteri ethmoidalis anterior dan arteri ethmoidalis posterior, arteri
palatina major, arteri labialis superior, dan rami laterales arteriae facialis. Pembuluh
darah balik cavitas nasi yaitu plexus venosus yang menyalurkan ke dalam vena
sphenopalatina, vena facialis dan vena opthalmica.6
Nervus pada dua pertiga inferior membran mukosa hidung terutama terjadi melalui
nervus nasopalatinus, cabang nervus cranialis V2. Pada bagian anterior dipersarafi oleh
nervus ethmoidalis anterior, cabang nervus nasociliaris yang merupakan cabang nervus
cranialis V1. Dinding lateral cavitas nasi memperoleh persarafan melalui rami nasales
nervi maxilaris (nervus cranialis V2) nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis
anterior.6

Gambar 1. Anatomi Hidung


Sinus paranasales merupakan perluasan bagian respiratorik cavitas nasi yang berisi
udara, ke dalam ossa cranii berikut: os frontale, os ethmoidale, os sphenoidale dan
maxilla. Nama sinus ini adalah sesuai dengan nama tulang-tulang yang ditempatinya.6

5
Gambar 2. Anatomi Sinus Paranasales
Sinus maxillaris merupakan sinus yang terbesar dari semua sinus paranasales.
Rongga ini berbentuk seperti limas, menempati seluruh badan masing-masing maxilla.
Puncak sinus maxillaris yakni ke arah os zygomaticum. Atap sinus dibentuk oleh dasar
orbita dan dasarnya yang sempit dibentuk oleh bagian alveolar maxilla.6
Persarafan sinus maxillaris terjadi melalui nervus alveolaris superior posterior,
nervus alveolaris anterior, nervus alveolaris medius dan nervus alveolaris superior,
yakni merupakan cabang-cabang nervus maxillaris (nervus cranialis V2). Vaskularisasi
terutama berasal dari arteria alveolaris superior cabang arteria maxillaris dan cabang
arteria palatina major.6

Gambar 3. Persarafan Sinus Maxilla Gambar 4. Vaskularisasi Sinus Maxilla

2.2 Definisi

Sinusitis merupakan inflamasi pada mukosa sinus paranasales dan terjadi obstruksi
dari drainage normal. Sinusitis yang paling sering terkena yakni sinus etmoid dan
maxilla. Pada sinus maxilla letaknya dekat dengan akar gigi jadi apabila terjadi infeksi
gigi akan mudah menyebar ke sinus maxilla sehingga disebut sinusitis dentogen.1

6
2.3 Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, rhinitis
alergi, rhinitis hormonal, polip hidung, kelainan anatomi seperti defiasi septum,
sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi molar dan
premolar atas, dan kelainan imunologik. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
polusi lingkungan seperti debu, udara dingin, dan kebiasaan merokok. Keadaan ini
lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1

2.4 Klasifikasi

Sinusitis diklasifikasikan menjadi akut, sub akut, dan kronik. Sinusitis akut bila
gejalanya berlangsung beberapa hari sampai 4 minggu, sinusitis subakut bila
berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan, dan sinusitis kronis bila berlangsung lebih
dari 3 bulan.Berdasarkan penyebabnya, sinusitis dibagi menjadi sinusitis tipe rhinogen
dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rhinogen terjadi disebabkan kelainan atau
masalah di hidung, dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung
dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen terjadi disebabkan kelainan gigi
serta infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).1,5

2.5 Patofisiologi
Di dalam sinus maksilaris terdapat mukosa bersilia yang bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran
transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari sinus anterior yang bergabung
di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir
yang berasal dari sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba sehingga pada sinusitis didapatkan secret
post nasal drip.1,5

7
Sinusitis maksilaris yang disebabkan infeksi bakteri biasanya terjadi di kompleks
osteomeatal yang menyebabkan terjadi edema pada mukosa, sehingga menyebabkan
kongesti hingga obstruksi. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam
sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila
sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul
infeksi oleh bakteri anaerob. Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptococcus pneumonia, Hemophylus influenza, Moraxella catarrhalis. Pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus dan
anaerob.1,7

Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga mengeluarkan


fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah
membentuk sel – sel nanah dan eksudat. Bila terjadi pada selaput lendir, maka pada
saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus,
sehingga nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah tetapi mukopus. 1,7

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium – ostium sinus dan lancarnya
mucociliary clearance di dalam KOM. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat- zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama
udara pernafasan. Organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Sehingga terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus
yang menyebabkan terjadinya transudasi. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari. Bila menetap
makan sekret sebagai media baik tumbuhnya bakteri maka sekret menjadi purulen yang
disebut rinosinositis akut bakteri sehingga memerlukan antibiotik. Bila ada faktor
predisposisi yang mempengaruhi maka inflamasi berlanjut sehingga terjadi hipoksia
dan bakteri anaerob berkembang sampai menjadi kronik yaitu perubahan jaringan
menjadi hipertrofi, polip atau pembentukan polip dan kista. 1,5

8
Sinusitis maksilaris akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan
berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat
meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi
silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi
cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila.1,7

2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis pasien mengeluh hidung tersumbat atau kongesti hidung,
keluar sekret dari hidung, nyeri atau rasa tertekan pada wajah, gangguan
penghidu terkadang disertai batuk pilek. Sinusitis maksila umumnya nyeri
dirasakan pasien pada bagian bawah kelopak mata, sinusistis etmoid pada
bagian pangkal hidung dan kantus medius, sinusitis frontal terlokalisasi di dahi
atau di seluruh kepala, dan sinusitis sfenoid dirasakan di daerah vertex,
oksipital, di belakang bola mata, dan di daerah mastoid.Sinusitis umumnya
menimbulkan gejala sistemik berupa demam, lemas, pusing, mual, dan
muntah.8
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi dan palpasi, terlihat adanya edema pada
daerah maksilofasial, saat palpasi ditemukan adanya nyeri tekan dan edema
pada daerah maksilofasial. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi
anterior untuk melihat sekret purulen pada meatus media (sinusitis maksila,
etmoid anterior, dan frontal) atau pada meatus superior (sinusitis etmoid

9
posterior dan sfenoid). Pemeriksaan rhinoskopi posterior ditemukan adanya
mukopus di nasofaring (post nasal drip).4,8
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pada pemeriksaan transiluminasi, umumnya daerah sinus yang sakit
menjadi suram atau gelap. Pada sinusitis maksila tampak gambaran
bulan sabit di bawah mata kurang terang, sedangkan pada sinusitis
frontal tampak gambaran di dahi kurang terang.9
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos posisi Water’s, PA dan lateral membantu menilai kondisi
sinus paranasal. Ditemukan kelainan berupa perselubungan, batas udara
cairan (air fluid level)jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus dan
ditemukan penebalan mukosa. CT scan dengan potongan aksial dan
koronar dapat digunakan sebagai gold standardiagnosis karena dapat
menilai sinus maksila, anatomi rongga hidung dan septum nasi.4,8
c. Pemeriksaan mikrobiologi
Pada pemeriksaan mikrobiologi umumnya ditemukan flora normal
hidung atau bakteri patogen seperti pneumococcus, streptococcus,
staphylococcus, dan haemophilus influenza, sedangkan bakteri anaerob
jarang ditemukan.4,8

2.7 Penatalaksanaan Sinusitis


Penatalaksanaan sinusitis antara lain dengan terapi medikamentosa dan terapi
pembedahan. Pada terapi medikamentosa yaitu dengan memberikan antibiotik dan
dekongestan pada sinusitis bakteri untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Pilihan antibiotik yang digunakan
yakni golongan penilisin seperti amoksisilin. Apabila kuman telah resisten dapat
diberikan amokisisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Lama
pemberian antibiotik pada sinusitis yaitu 10-14 hari. Terapi lain yang dapat diberikan

10
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan
NaCl jika diperlukan.1
Terapi pembedahan pada sinusitis yang dapat dilakukan antara lain irigasi sinus,
nasal antrostomi dan Caldwell-Luc. Indikasi terapi pembedahan sinusitis antara lain:
 Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat
 Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan irreversibel
 Polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur

2.8 Komplikasi
1. Kelainan Orbita
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal (orbita) paling sering terjadi
pada sinus ethmoid. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis, dan
perkontinui tatum. Ditemukan kelainan berupa edema palpebra, sellulitis orbita,
abses subperiostal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus.1,8
2. Kelainan Intrakranial
Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural,
abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus.4,8
3. Kelainan Paru
Kelainan paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sinobrinkitis.8

2.9 Prognosis Sinusitis


Prognosis sinusitis pada umumnya baik dan jarang menyebabkan mortalitas.
Sekitar 40% kasus sinusitis akut sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian antibiotik.
Jika pemberian medikamentosa tidak memberikan respon dalam waktu 48 jam,
dilakukan evaluasi ulang untuk mencegah terjadinya komplikasi.9
BAB III
LAPORAN KASUS

11
3.1 Identitas Pasien
Inisial : WR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 10 tahun
Alamat : Br. Kebon Kaja Blahbatuh
Pekerjaan : Pelajar
Status : Bekum menikah
Agama : Hindu
No. RM : 620845
Tanggal MRS : 17 April 2018

3.2 Anamnesis
3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : pilek lama
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Sanjiwani Gianyar dengan keluhan pilek lama
sejak ± 1tahun dan keluhan dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan sangat
mengganggu keseharian pasien dalam beraktivitas hingga pasien sulit mencium bau-
bauan di sekitarnya, terkadang pasien hingga merasakan pusing dan sakit kepala. Sakit
kepala dirasakan berdenyut-denyut. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan semakin
mengganggu saat bangun di pagi hari dan malam hari dan terkadang disertai keluarnya
lendir berwarna kuning kehijauan dari hidung. Pasien juga mengeluhkan batuk
sesekali.

3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya beberapa kali pilek namun biasanya sembuh dalam beberapa hari.
Pasien tidak ada menderita penyakit kronis.

3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga


Kakak pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat tekanan darah tinggi
dan kencing manis pada keluarga dikatakan tidak ada.

12
3.2.4 Riwayat Pribadi, Lingkungan, Sosial
Pasien adalah seorang pelajar. Pasien tinggal bersama orangtua dan saudara-
saudaranya. Sanitasi di lingkungan rumah dikatakan cukup baik, namun apabila pasien
terkena debu atau asap yang berlebihan, pasien sering bersin-bersin dan pileknya
kambuh.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Present(17 April 2018)
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : tidak dievaluasi
Denyut nadi : 87 x/menit
Frekuensi napas : 22 x/menit
Suhu aksila : 36,20 C

3.3.2 Status Generalis


Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, Refleks Pupil +/+ isokor
THT : ~ Status THT
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), kelenjar tiroid : tidak
teraba JVP : PR +2 cmH2O

Thorax
Pulmo : Inspeksi: Simetris saat statis dan dinamis, deformitas (-)
Palpasi: FV N/N
Perkusi: Sonor/Sonor
Auskultasi:
+ +

13
Vesikuler + +
+ +

Ronkhi - -
- -
- -
Wheezing - -
- -
- -
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba di ICS 5 MCL Sinistra
Perkusi : Batas atas  ICS II; Batas kanan  ICS IV PSL
kanan; Batas kiri  ICS V MCL kiri
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Abdomen:
 Inspeksi : Distensi (-)
 Auskultasi : BU (+) normal
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas:
Akral Hangat Edema

+ + - -

+ + - -

3.3.3 Status Telinga, Hidung, Tenggorok


Telinga Kanan Kiri
Aurikula normal normal
Nyeri tekan tragus - -

14
Nyeri tarik aurikula - -
Meatus Akustikus Eksterna lapang lapang
Membran timpani Intak + Intak +
Sekret - -
Benda asing - -
Serumen - -
Discharge - -
Mastoid normal Normal
Tumor - -

Hidung Kanan Kiri


Hidung luar normal Normal
Kavum nasi sempit lapang
Septum nasi deviasi (-) deviasi (-)
Mukosa hiperemis hiperemis
Polyp - -
Korpus Alienum - -
Sekret Mukoid mukoid
Konka dekongesti dekongesti

Tenggorok
Dispneu -
Sianosis -
Mukosa faring merah muda
Dinding belakang Normal
Stridor -
Suara Normal
Tonsil T1/T1 kesan tenang
Post nasal drip -

15
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Rontgen Water's

 Tampak perselubungan pada sinus maksilaris sinistra.


 Tidak tampak deviasi septum
 Konka nasi tak tampak membesar
 Pada daerah nasofaring tampak penebalan jaringan lunak dengan AN ratio 0,68
(nilai normal untuk usia 6,5 tahun 0,511=0,1515) dan airway menyempit
 Tulang normal
 Kesan: sinusitis maksilaris kiri
Adenoid hipertrofi

3.5 Assessment
Rhinosinusitis Kronis sinistra
Adenoid Hipertrofi

16
3.6. Penatalaksanaan
 Cefat Forte sirup 2 x cth 1 ¼
 Tremenza 1/3 tablet + Ambroxol + Metyl Prednisolon = 3 x 1 pulv

17
BAB IV
PEMBAHASAN

Sinusitis merupakan inflamasi pada mukosa sinus paranasales dan terjadi obstruksi dari
drainage normal.Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat
virus, rhinitis alergi, rhinitis hormonal, polip hidung, kelainan anatomi seperti defiasi
septum, sumbatan kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi molar dan
premolar atas, dan kelainan imunologik. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
polusi lingkungan seperti debu, udara dingin, dan kebiasaan merokok. Keadaan ini
lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
Berdasarkan teori,pada anamnesis pasien mengeluh hidung tersumbat atau
kongesti hidung, keluar sekret dari hidung, nyeri atau rasa tertekan pada wajah,
gangguan penghidu terkadang disertai batuk pilek. Sinusitis maksila umumnya nyeri
dirasakan pasien pada bagian bawah kelopak mata. Sinusitis umumnya menimbulkan
gejala sistemik berupa demam, lemas, pusing, mual, dan muntah. Pada kasus, pasien
datang ke poliklinik THT RSUD Sanjiwani Gianyar dengan keluhan pilek lama sejak
±1tahun dan keluhan dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan sangat mengganggu
keseharian pasien dalam beraktivitas hingga pasien sulit mencium bau-bauan di
sekitarnya, terkadang pasien hingga merasakan pusing dan sakit kepala. Sakit kepala
dirasakan berdenyut-denyut. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan semakin
mengganggu saat bangun di pagi hari dan malam hari dan terkadang disertai keluarnya
lendir berwarna kuning kehijauan dari hidung. Pasien juga mengeluhkan batuk
sesekali.
Penegakkan diagnosis sinusitis maksilaris yaitu dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dimulai dari inspeksi dan palpasi, terlihat
adanya edema pada daerah maksilofasial, saat palpasi ditemukan adanya nyeri tekan
dan edema pada daerah maksilofasial. Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan
rinoskopi anterior untuk melihat sekret purulen pada meatus media (sinusitis maksila,
etmoid anterior, dan frontal) atau pada meatus superior (sinusitis etmoid posterior dan
sfenoid). Pemeriksaan rhinoskopi posterior ditemukan adanya mukopus di nasofaring

18
(post nasal drip).Pemeriksaan Penunjang yang dapat dilakukan yakni; pemeriksaan
transiluminasi, umumnya daerah sinus yang sakit menjadi suram atau gelap. Pada
sinusitis maksila tampak gambaran bulan sabit di bawah mata kurang terang,
sedangkan pada sinusitis frontal tampak gambaran di dahi kurang terang. Pada
pemeriksaan radiologi, foto polos posisi Water’s, PA dan lateral membantu menilai
kondisi sinus paranasal. Ditemukan kelainan berupa perselubungan, batas udara cairan
(air fluid level) jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus dan ditemukan penebalan
mukosa. CT scan dengan potongan aksial dan koronar dapat digunakan sebagai gold
standar diagnosis karena dapat menilai sinus maksila, anatomi rongga hidung dan
pemeriksaan mikrobiologi, umumnya ditemukan flora normal hidung atau bakteri
patogen seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus, dan haemophilus
influenza, sedangkan bakteri anaerob jarang ditemukan. Pada kasus didapatkan cavum
nasi sempit pada hidung kanan, sekret mukoid pada kedua hidung, mukosa hiperemis
kanan dan kiri, konka dekongesti kanan dan kiri. Pada foto polos Water’s, tampak
perselubungan pada sinus maksilaris sinistra, tidak tampak deviasi septum, tidak
tampak pembesaran konka, tampak penebalan jaringan lunak pada daerah nasofaring,
airway menyempit, dengan kesan: sinusitis maksilaris sinistra dan adenoid hipertrofi.
Penatalaksanaan sinusitis antara lain dengan terapi medikamentosa dan terapi
pembedahan. Pada terapi medikamentosa yaitu dengan memberikan antibiotik dan
dekongestan pada sinusitis bakteri untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan
mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Pilihan antibiotik yang digunakan
yakni golongan penilisin seperti amoksisilin. Apabila kuman telah resisten dapat
diberikan amokisisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua. Lama
pemberian antibiotik pada sinusitis yaitu 10-14 hari. Terapi lain yang dapat diberikan
seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan
NaCl jika diperlukan.Terapi pembedahan pada sinusitis yang dapat dilakukan antara
lain irigasi sinus, nasal antrostomi dan Caldwell-Luc. Pada pasien diberikan cefat forte
sirup 2 x cth 1 ¼ dan tremenza 1/3 tab + ambroxol + metyl prednisolone 3 x 1 pulv.
DAFTAR PUSTAKA

19
1. Soepardi E.A, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R.D.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi
Keenam. 2007. Balai penerbit FKUI, Jakarta.
2. PERHATI.
HTA Indonesia. Fungsional Endoscopic Sinus Surgery di indonesia.
Jakarta.2006.hal:1
3. Hsin C, Chen T, Su M, Jiang R & Liu C, 2010.
Aspiration Techniquoe Improves Reliability Of Endoscopically Directed
Middle Meatal Cultures In Pediatric Rhinosinusitis. Am. J. Rhinol Allergy, 24:
205-209.
4. Dewanti, et al, 2008
Pola Epidemiologi Rhinosinusitis Kronik di Bagian THT RS Sardjito Tahun
2006-2007. Dalam kumpulan Abstrak PIT PERHATI. Bandung
5. Ballenger. J. J.,
infeksi Sinus Paranasal, dalam : Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok
Kepala dan Leher, ed 13 (1), Binaputra Aksara, jakarta, 1994, 232 – 241.
6. Moore K.L, Agur A.M.
Anatomi Klinis Dasar. 2013. Hipokrates. Hal: 397-401.
7. Cody. R et all,
Sinusitis dalam Andrianto P, editor, Penyakit telinga Hidung dan
Tenggorokan, Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1993, 229 – 241.
8. Benninger, M.S., et al, 2003.
Adult Chronic Rhinosinusitis: Definitions, Diagnosis, Epidemiology, and
Pathophysiology.American Otolaryngology-head an Neck Surgery Foundation.
9. Setiadi M, 2009
Analisis Hubungan antara Gejala Klinik, lama sakit, Skin Prick test, Jumlah
Eosinofil dan Neutrofil Mukosa Sinus dengan Indeks Lund-Mackay CT Scan
Sinus Pranasal Penderita Rhinosinusitis Kronik.

20

Anda mungkin juga menyukai