Anda di halaman 1dari 17

HUKUM ACARA PIDANA

PENUNTUTAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Nama : Nur Fadillah

NIP : 04020130487

Kelas : C6

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

TAHUN 2015
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang karena
rahmat dan hidayanya saya dapat menyelesaikan Makalah yang Berjudul Penuntutan Dalam
Hukum Pidana.
Makalah ini disusun melalui berbagai sumber dari beberapa media serta perturan
perundang undangan yang tentunya menjadi subjek dalam penyusunan makalah ini.
Tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberikan pengertian kepada kita tentang
tinjauan kondisi serta mengenal lebih dalam tentang aturan yang secara jelas mengatur tentang
mekanisme proses Hukum Acara Pidana khususnyadalam hal Penuntutan. Karena dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka segala masukan, kritik dan saran yang
bertujuan membangun makalah ini sangat diharapkan dan diterima secara terbuka. Akhir kata
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam
penyusunan makalah ini. kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Acara Pidana. atas
masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
I. PENDAHULUAN

Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu
akibat. Di masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul dengan sendirinya selama
proses sosialisasi itu berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan
ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.Hukum merupakan kumpulan kaidah-
kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat, yang keberadaannya sengaja dibuat oleh masyarakat
dan diakui oleh masyarakat sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupannya. Tujuannya untuk
menciptakan ketenteraman di masyarakat. Hukum sebagai instrumen dasar yang sangat penting dalam
pembentukan suatu negara, berpengaruh dalam segala segi kehidupan masyarakat, karena hukum
merupakan alat pengendalian sosial, agar tercipta suasana yang aman, tenteram dan damai. Indonesia
sebagai negara yang berdasarkan hukum, berarti harus mampu menjunjung tinggi hukum sebagai
kekuasaan tertinggi di negeri ini, sebagaimana dimaksud konstitusi kita, Undang-Undang Dasar RI
1945.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 dari Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
membedakan antara Jaksa dengan Penuntut Umum. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
II. Rumusan Masalah

1. Pengertian Penuntutan
2. Sejarah Lembaga Penuntut Umum
3. Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum
4. Surat Dakwaan
5. Voeging dan Splitsing
6. Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara
7. Cara Melakukan Penuntutan
III. PEMBAHASAN

1. Pengertian
Dalam KUHAP dikenal istilah penuntutan yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat 7 bahwa,
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dalam
pengertian ini dapat diambil satu kriteria yang berkaitan dengan subjek dalam penuntutan
yaitu penuntut umum.
Definisi ini mirip dengan definisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaannya ialah dalam
definisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas ”terdakwa” sedangkan dalam KUHAP
tidak disebutkan terdakwa. Penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro adalah menuntut
seorang terdakwa di muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa
dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan
kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.1[1]
Dalam KUHAP juga dijelaskan tentang pengertian penuntut umum, dalam pasal 13
KUHAP diterangkan bahwa, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Sebelum melakukan penuntutan, jaksa melakukan suatu tindakan yang disebut pra penuntutan.
Dalam hal pra penuntutan, KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci apa pengertian pra
penuntutan, hanya menerangkan wewenang jaksa dalam pasal 14 KUHAP butir b, yang
berbunyi: mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam
rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Mekipun tidak dijelaskan dengan terperinci
dalam KUHAP, namun dalam pasal 14 KUHAP butir b dapat diambil sebuah pengertian pra
penuntutan yaitu, tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk kepada penyidik dalam
rangka penyempurnaan penyidikan.
2. Sejarah Lembaga Penuntut Umum

Prancis adalah asal dari lembaga yang kita kenal sekarang dengan Lembaga penuntut umum, dan
oleh Belanda dimasukkan dalam Wetboek van Stravordering (kitab Undang-Undang huklum
Acara Pidana) pada tahun 1838.
Sebelumnya, tidaklah banyak perbedaan antara pelaksanaan proses perdata dan proses pidana. Lalu
system ini lama-kelamaan menunjukkan kekurangan-kekurangan, sifat perdata dari penuntutan
menyebabkan bahwa kerapkali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugikan,
disebabkan ia takut pembalasan dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran
dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan.
Berujuk dari alasan tersebut, tuntutan pidana yang mulanya dari perseorangan kemudian
diserahkan kepada suatu badan Negara yang khusus diadakan untuk itu, yang kita kenal sebagai
Penuntut Umum.

3. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Undang-
undang No. 16 tahun 2004 tentang kejaksaan Replubik Indonesia, pasal 2 menyatakan
sebagai berikut :
i. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang
ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara
dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
ii. Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan
secara merdeka.
iii. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah satu dan tidak
terpisahkan.2[2]
Dalam melakukan tugas, penuntut umum mempunyai wewenang dan tugas yang sudah
dijelaskan dalam KUHAP, diantaranya :
1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat 1) dan
pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksudkan oleh Pasal 6
ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum.
2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara pemeriksaan singkat
menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan
materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2).
4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat 20), melakukan penahanan dan
penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat 2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan
penahanan rumah (Pasal 22 ayat 2, penahanan kota (Pasal 22 ayat 3), serta mengalihkan
jenis penahanan.
5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta
dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat yang ditentukan (Pasal 31).
6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan
karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan pada perkara tersebut untuk
memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau mengamankannya dengan disaksikan
tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat 1).
7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan
tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat 4), mengawasi hubungan antara
penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan antara mereka
(Pasal 71 ayat 1), dan dalam kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut
mendengarkan isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2).
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tersebut
dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri untuk
disidangkan (Pasal 74).
8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk memeriksa
sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud Pasal
80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana
pengawasan secara horizontal.
9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara
dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut
kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat 1).
10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau
tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).
11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku
Penuntut Umum (Pasal 14 huruf i)
12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat 1).
13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a),
dikarenakan :
· Tidak terdapat cukup bukti
· Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
· Perkara ditutup demi kepentingan umum.
14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan
adanya alasan baru (Pasal 140 ayat 2 huruf d).
15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan
(Pasal 141).
16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 142).
17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal
143)
18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat 2)
19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut
Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144).3[3

4. Surat Dakwaan
Surat dakwaan sangatlah penting dalam pemeriksaan perkara pidana, yang dimaksud surat
dakwaan disini adalah suatu surat atau akte yang memuat perumusan dari tindak pidana yang
didakwakan yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan yang merupakan dasar bagi
hakim untuk melakukan pemeriksaan di siding pengadilan.
Tujuan dari surat dakwaan adalah bahwa Undang-Undang ingin melihat ditetapkannya alasan-
alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana, untuk itu sifat-sifat khusus dari suatu
tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya.
Syarat-syarat dakwaan menurut pasal 143 (2) KUHAP berbunyi :
a. Dalam surat dakwaan harus disebut : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka,
b. Surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Mengenai pembatalan surat dakwaan menurut Nederburgh ada dua macam :
1. Pembatalan yang formil, yaitu pembatalan yang disebabkan karena tidak memenuhi syarat-
syarat mutlak yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.
2. Pembatalan yang hakiki, yaitu pembatalan menurut penilaian hakim sendiri, yang disebabkan
karena tidak dipenuhinya suatu syarat yang dianggap esensial.
Kemudian tentang cara merumuskan dakwaan itu ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi,
b. Dalam lukisan itu harus ternyata pula unsure yuridis dari tindak pidana yang didakwakan.
Penyusunan dakwaan secara teknis dapat dilakukan sebagai berikut:
(a) Dakwaan tunggal, yaitu terdakwa didakwa satu perbuatan saja.
(b) Dakwaaan alternatif, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada
hakekatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja.
(c) Dakwaan subsidier, yaitu terdakwa didakwakan lebih dari satu dakwaan, tetapi pada prinsipnya
ia hanya dipermasalahkan satu tindak pidana saja. Maka apabila salah satu dakwaan telah terbukti,
dakwaan selebihnya tak perlu dibuktikan.
(d) Dakwaan kumulatif, yaitu terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus, sedang
tindak pidana itu harus dibuktikan keseluruhannya, sebab tindak pidana itu berdiri sendiri.
(e) Dakwaan campuran, yaitu bentuk gabungan antara dakwaan keumulatif dengan dakwaan
alternafif ataupun subsidier.

5. Voeging Dan Splitsing


A. Penggabungan Perkara (Voeging)
Dalam hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan
penggabungan perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang
pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum
menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dlam satu surat dakwaan.4[4]
Menurut pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan
penggabungan perkara pidana :
“Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu
surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima
beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan
tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Dalam suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut (hubungan) dengan yang
lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
i. Oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat
bersamaan
ii. Oleh lebih dilakukan dari seorang pada saat dan tempat yang
berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan dari kesepakatan tindak pidana
yang dibuat oleh mereka.
iii. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang
digunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena
tindak pidana lain.5[5]

B. Pemisahan Perkara (Splitsing)


Pada dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana. Sesuai
dengan bunyi Pasal 1426[6] :
“Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-
masing terdakwa secara terpisah.”
Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas
perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga :
i. Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik,
dipecah menjadi dua atau beberapa perkas perkara.
ii. Pemisahan dilakukan apabila dalam kasus pidana tersebut
terdirir beberapa orang pelaku. Dengan pemisahan berkas tersebut, masing-masing
tersangka didakwa dengan satu surat dakwaan.
iii. Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan dalam satu
persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda.
iv. Pada umumnya, pemisahan berkas perkara sangat penting,
apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan saksi.7[7]
Maka dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri
antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai
saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan
pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi.
Sebagai ilustrasi, contoh kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut
Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap kasus pembunuhan Marsinah (MA Reg.
No. 1174/Pid./1974) menyatakan bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan
saksi. Alasannya : “... para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang
sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara
pidana yang menjujung tingga hak asasi manusia...”.8[8]
Bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota (kroongetuide). Saksi mahkota
berarti salah seorang terdakwa (paling ringan kesalahannya) dijadikan menjadi saksi, jadi
seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa. Hal ini dibolehkan
berdasarkan adigium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa.9[9]

6. Penghentian Penuntutan Dan Penyampingan Perkara

Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan
untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
Di Bidang Penuntutan ini hukum acara pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas
dan asas Oportunitas. Adapun yang dimaksud asas Legalitas adalah bahwa apabila terjadi
suatu tindakan pidana maka sudah menjadi kewajiban penutu umum untuk melakukan
penuntutan ke pengadilan bagi peaku tindak pidana tersebut. Sebagai lawanya adalah asas
oportunitas, yang menghendaki meskipun bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk
menjerat tersangka ke pengadilan namun penuntut umum berpendapat bahwa akan lebih
banyak kerugian daripada keuntungan untuk kepentingan umum dengan menuntut
tersangka daripada meuntutnya, maka penuntut umum wajib untuk
mengenyampingkannya (seponeren).10[10]
Asas oportunitas tersebut sekarag dicantumkan dalam pasal 35 huruf c Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Jkasa
Agung mempunyai tugas dan wewenang mengeyampingkan perkara demi kepentingan
umum. Didalam pasal itu dijelaskan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas.11[11]
Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut
umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan
tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum. Adapun yang dimaksud
perkara ditutup demi hukum ialah mislanya karena adanya pencabuta pengaduan dlam
delik aduan (pasal 75 KUHP), ne bis in idem (paal 76 KUHP), terdakwa meninggal dunia
(pasal 77 KUHP), perkara sudah kadaluwarsa (pasal 78 KUHP).12[12]
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik perbedaan antara pengeyampingan perkara
(seponeren) dan enghentian perkara sebagai berikut:
a. Dalam penyampingan perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti
untuk diajukan dan diperiksa ke muka sidang pengadilan. Akan tetapi perkara yang cukup
fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan
oleh penutut umum atas alasan demi “kepentingan umum” slanjutnya `dikatakan
mengeyampingan perkara ini merupakn pelaksanaan asas oportunitas dan hanya dapat
dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat badan negara
yang bersangkutan dnegan masalah tersebut. Selain itu dalam penyampingan perkara
apabila sudah dilakuakn penyampingan perkara maka tidak ada alasan untuk mnegajukan
perkara kembali ke muka sidang pengadilan. 13[13]
b. Sedang pada penghentian penuuntutan alasanya bukan didasrakan pada kepentingan
umum akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu
sendiri.
i. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai
pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke sidang pengadilan maka
diduga kuat bhwa terdakwa kan dibebaskan oleh hakim.
ii. Apa yang dituduhkan pada tersangka bukan merupakan
suatu tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
iii. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas
dasar perkara ditutup demi hukum.
iv. Perkara yang dihentiakan penuntutunya, masih
memungkinkan perkaranya dilimpahkan ke muka sidang pengadilan.
v. Umpamanya ditemukan buti baru sehingga denga bukti
baru tersebuat dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa.14[14]

7. Cara melakukan Penuntutan


Di pengadilan, terdapat 3 jenis perkara, yang sebutannya disesuaikan dengan car
melakukan penuntutannya atau cara pemeriksaannya, yaitu:
1) Perkara cepat, yang terdiri atas:
a) Perkara cepat tindak pidana ringan, yaitu perkara yang diancam dengan pidana penjara
atau kurungan paling lama tiga bulan atau denga sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima
ratus rupiah dan penghinaan ringan sebagaimana dalam pasal 315 KUHP.
b) Perkara cepat lalu lintas, yaitu perkara pelanggaran lalu lintas tertentu.
2) Perkara singkat, yaitu perkara pidana yang menurut penuntut umum pembuktiannya
mudah, penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
3) Perkara biasa, yaitu perkara yang sulit pembuktiannaya, demikian pula penerapan
hukumnya dan merupakan perkara besar diajukan oleh penuntut umum dengan surat
pelimpahan perkara.

IV. Kesimpulan

Dalam makalah saya ini saya dapat menarik kesimpulan bahwa Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun
apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas
perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dlam satu
surat dakwaan.
Pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang
terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal
balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang
pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi.
Dalam pasal 140 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa dalam hal penuntut umum
memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut
umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. Di Bidang Penuntutan ini hukum acara
pidana mengenala dua asas, yaitu asas Legalitas dan asas Oportunitas.
Dalam pada itu suatu perkara pidana dapat pula dihetikan penututannya oleh penuntut
umum karena berpendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu bukan merupakan
tindakan pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum.

V. PENUTUP

Demikianlah pembahasan singkat mengenai penuntutan, yang merupakan tahap kedua dari
proses perkara pidana. Sadar masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam pembahasan ini,
maka saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Dan semoga bermanfaat bagi kita
semua, amin

VI. DAFTAR PUSAKA


- http://asa-2009.blogspot.com/2011/06/penuntutan.html
- http://mustain-billah.blogspot.com/2012/11/makalah-hukum-acara-pidana-tentang.html
- http://agustinmahardika.blogspot.com/2012/11/penuntutan-dalam-hukum-acara-
pidana.html
- https://hbsuinmaliki2012.wordpress.com/2013/12/28/hukum-acara-pidana/
- http://www.academia.edu/7893881/Mkalah_hukum_acara_pidana_dede_pdf
-

Anda mungkin juga menyukai