Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hematuria merupakan suatu kondisi, dimana ditemukannya darah

di dalam urine. Darah yang bisa dilihat di dalam urine tanpa bantuan

mikroskop disebut dengan gross hematuria, sedangkan darah dalam urine

yang tidak bisa dilihat secara kasat mata, melainkan harus menggunakan

bantuan mikroskop, disebut dengan mikroskopik hematuria

(NIDDK,2012). Hematuria dapat ditemui pada berbagai penyakit, salah

satunya pada Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) pada

anak (Pediatri, 2003).

Di negara berkembang, kasus Glomerulonefritis Akut Pasca

Streptokokus (GNAPS) masih sering dijumpai dan merupakan suatu

penyebab lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak (Pediatri, 2003).

Pada tahun 1995 dilaporkan sebanyak 170 pasien yang dirawat di rumah

sakit pendidikan dalam kurun waktu 1 tahun. Di Jakarta terdapat 24,7%

pasien yang dirawat, di Bandung 17,6%, di Palembang sebanyak 8,2 %

dan terbanyak di Surabaya sebanyak 26,5 %. Kasus terbanyak terjadi pada

anak dengan usia 6-8 tahun, dengan perbandingan 2:1 pada laki-laki dan

perempuan (Raditya,2013).
Pasien dengan GNAPS biasanya tidak menunjukan gejala atau

asypmtopmatic pada lebih dari 50% kasus. Hematuria dapat timbul berupa

mikroskopik maupun gross hematuria. Pada 30-50% pasien yang dirawat

terjadi gross hematuria. Gejala klinis tidak spesifik yang dapat dijumpai

pada pasien adalah demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, lesu,

ataupun sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik, hamir selalu ditemukan

adanya hipertensi baik sedang atau ringan pada pasien. Pada pemeriksaan

urine, sering ditemukan adanya hematuria. Eritrosit khas terdapat pada 60-

85% kasus. Hal ini menunjukan terjadinya pardarahan pada glomerulus.

Terjadinya proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria (

Pediatri,2003).

Pasien dengan GNAPS biasanya dapat sembuh spontan, pada 10%

kasus dapat menjadi kronis, dan 10% dapat berakibat fatal ( Raditya,2013).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hematuria ?

2. Apakah penyebab terjadinya hematuria ?

3. Penyakit apa yang berhubungan dengan hematuria ?

4. Bagaimana penatalaksanaanpada pasien dengan hematuria ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan hematuria

2. Mengetahui penyebab terjadinya hematuria

3. Mengetahui penyakit yang berhubungan dengan hematuria

4. Mengetahuipenatalaksanaan pada pasien dengan hematuria


D. Manfaat Penulisan

1. Bagi penulis

a. Memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan

terhadap kasus hematuria pada anak.

b. Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi tugas kuliah Ilmu

Kesehatan Anak.

2. Bagi masyarakat

Sebagai sarana informasi untuk mengetahui penyebab, maupun

penanganan pada kasus hematuria pada anak.

3. Bagi instansi

Sebagai bahan masukan terhadap penangan hematuria pada anak.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Hematuria

Hematuria adalah ditemukannya sel darah merah di dalam urine,

dapat dibedakan dalam 2 keadaan yaitu hematuria mikroskopik dan

makroskopik.Hematuria mikroskopik merupakan hematuriayang tidak

dapat dilihat secara langsung sebagai urine yang berwarna merah tetapi

pada pemeriksaan mikroskopik diketemukan lebih dari 2 (dua) sel darah

merah per lapangan pandang, sedangkan hematuria makroskopik adalah

hematuria yang dapat dilihat secara langsung sebagai urine yang berwarna

merah. Hematuria mikroskopis maupun makroskopis merupakan

hematuria yang pada umumnya dijumpai pada hampir semua pasien

GNAPS (Pasek,2013).

B. Penyebab Hematuria

Hematuria dapat disebabkan oleh adanya kebocoran kapiler

gromelurus yang dapat menyebabkan protein dan sel darah merah dapat

keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal (Pasek, 2013), atau

dapat disebabkan oleh adanya:

1. Infeksi/ inflamasi: pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis, sistitis,

dan uretritis 


2. Tumor: tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor pielum, tumor ureter,

tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia prostat jinak. 



3. Kelainan bawaan sistem urogenitalia: kista ginjal dan ren mobilis

4. Trauma pada sistem urogenitalia. 


5. Batu saluran kemih.

6. Kelainan pembekuan darah, SLE (Purnomo,2007)

C. Penyakit yang berhubungan dengan hematuria

Salah satu penyakit yang berhubungan dengan terjadinya hematuria

pada anak adalah Glomeluronefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS)

1. Pengertian Glomeluronefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS) pada

Anak

Glomerulonefritis Akut (GNA) merupakan suatu peradangan akut

pada glomerulus, GNA paling sering didapatkan pada anak berumur 2–

10 tahun. GNA pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara

epidemik atau sporadik. Penyebab GNA adalah bakteri, virus, dan

proses imunologis lainnya, tetapi pada anak penyebab paling sering

adalah pasca infeksi streptococcus β haemolyticus, sehingga seringkali

di dalam pembicaraan GNA pada anak yang dimaksud adalah GNA

pasca streptokokus atau GNAPS (Pasek, 2013).

2. Patogenesis dan Gambaran Histologis Glomeluronefritis Akut Pasca

Streptococcus (GNAPS) pada Anak

Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Faktor

genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan

ditemukannya HLA-D dan HLA- DR. Periode laten antara infeksi

streptokokus dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses

imunologis memegang peran penting dalam mekanisme


penyakit(Sekarwana,2001). Diduga respon yang berlebihan dari sistim

imun pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang

berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya

melintas pada membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistim

komplemen yang melepas substansi yang akan menarik neutrofil.

Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan faktor responsif untuk

merusak glo- merulus. Hipotesis lain adalah neuraminidase yang

dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi

autoantigen. Terbentuknya auto- antibodi terhadap IgG yang telah

berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek imun yang

bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal (Makker, 1992).

Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya

menunjukkan kelainan minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan

sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada kasus berat terjadi

proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai

infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen

kapiler(Sekarwana,2001). Bentuk bulan sabit dan inflamasi interstisial

dapat dijumpai mulai dari yang halus sampai kasar yang tipikal di

dalam mesangium dan di sepanjang dinding kapiler. Endapan imun-

oglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G dan sebagian

kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop

imunofluoresen. Mikroskop elektron menunjukkan deposit padat

elektron atau humps terletak di daerah subepitelial yang khas dan akan

beragregasi menjadi Ag-Ab kompleks (Noer,2002).


3. Gejala Klinis Glomeluronefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS)

pada Anak

Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik

atau tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri

tenggorok dua minggu mendahului timbulnya sembab.i Periode laten

rata- rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit.

Hematuria dapat timbul groshematuriamaupun mikroskopik. Gross

hematuria terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat. Variasi lain yang

tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu

makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada pemeriksaan fisis

dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya

ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi

selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan

dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem

pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada

sekitar 35% pasien dengan edem. Bendungan sirkulasi secara klinis

bisa nyata dengan takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut dapat

disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glo-

merulus (LFG) (Noer, 2002).

4. Pemeriksaan Penunjang Glomeluronefritis Akut Pasca Streptococcus

(GNAPS) pada Anak

Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis

nefritis akut. Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau

kecoklatan seperti air cucian daging. Hematuria makroskopis maupun


mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit khas

terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan

glomerulus. Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria

dan ekskresi protein umumnya tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan

tubuh perhari. Sekitar 2-5% anak disertai proteinuria masif seperti

gambaran nefrotik( Noer, 2002).

Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi

air dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular.

Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan

deposit kompleks imun. Sebagian besar anak yang dirawat dengan

GNA menunjukkan peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi

serum kreatinin. Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume

cairan esktraselular dan membaik bila edem menghilang. Kadar

albumin dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan

berbanding terbalik dengan jumlah deposit imunkompleks pada

mesangial glomerulus(Sekarwana,2001).

Bukti yang mendahului adanya infeksi strep- tokokus pada anak

dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan

bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi

danidentifikasi streptokokus. Bila biakan tidak mendukung, dilakukan

uji serologi respon imun terhadap antigen streptokokus. Peningkatan

titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10- 14 hari

setelah infeksi streptokokus.15,18 Kenaikan titer ASTO terdapat pada

75-80% pasien yang tidak mendapat antibiotik. Titer ASTO pasca


infeksi streptokokus pada kulit jarang meningkat dan hanya terjadi

pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti antihialuronidase (Ahase)

dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat.

Pengukuran titer antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah

terhadap antigen DNase B yang meningkat pada 90-95%

kasus.Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat

mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100%

kasus(Sekarwana,2001).

5. Diagnosis Glomeluronefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS) pada

Anak

Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala

klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan

gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus.Tanda glomerulonefritis

yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara

laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti

untuk menegakkan diagnosis (Noer, 2002). Tetapi beberapa keadaan

dapat menyerupai GNAPS seperti (Sekarwana, 2001):

a. Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut

b. Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal

c. Hematuria idiopatik

d. Nefritis herediter (sindrom Alport )

e. Lupus eritematosus sistemik

6. Penatalaksanaan
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan

dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai

berat (klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak

dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi

ensefalopati, anuria atau oliguria menetap. Pasien hipertensi dapat

diberi diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan

darah sistolik 130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya di-

observasi tanpa diberi terapi. Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik

> 140 –150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan

pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau

sublingual. Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien

hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada

hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB intravena,

dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3

mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis

hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg) diberi

diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgBB

iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6

jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat

diulang setiap 6 jam bila diperlukan (Noer, 2002).

Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium.

Asupan cairan sebanding dengan invensible water loss (400-500

ml/m2 luas permukaan tubuh/hari ) ditambah setengah atau kurang dari

urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang diberi diuretik
seperti furosemid 2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari. Pemakaian antibiotik tidak

mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan

positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme dan

mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba berupa

injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral

40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin.

Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal,

dan hipertensi (Noer, 2002).

Protein tidak perlu dibatasi bila kadar ureakurang dari 75 mg/dL

atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein dibatasi 0,5

g/kgBB/hari. Pada edem berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan

NaCl 300 mg/hari sedangkan bila edem minimal dan hipertensi ringan

diberikan 1-2 g/m2/ hari. Bila disertai oliguria, maka pemberian

kalium harus dibatasi. Anuria dan oliguria yang menetap, terjadi pada

5-10 % anak. Penanganannya sama dengan GGA dengan berbagai

penyebab dan jarang menimbulkan kematian (Noer, 2002).

7. Prognosis

Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis

GNAPS antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur

streptokukus tertentu, pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat

penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis glomerulus. Anak

kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar

atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai

lesi nekrotik glomerulus (Sekarwana, 2001).


Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal

menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal

berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar

0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan

progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal

ginjal terminal. Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7

%.Melihat GNAPS masih sering dijumpai pada anak, maka penyakit

ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkankerusakan ginjal.

Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat

tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit.26 Pencegahan

GNAPS berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal

ginjal di kemudian hari (Sekarwana, 2001).

D. Penatalaksanaan Hematuria

Jika terdapat gumpalan darah pada buli-buli yang menimbulkan

retensi urine, dicoba dilakukan kateterisasi dan pembilasan buli-buli

dengan memakai cairan garam fisiologis, tetapi jika tindakan ini tidak

berhasil, pasien secepatnya dirujuk untuk menjalani evakuasi bekuan darah

transuretra dan sekaligus menghentikan sumber perdarahan. Jika terjadi

eksanguinasi yang menyebabkan anemia, harus difikirkan pemberian

transfusi darah. Demikian juga jika terjadi infeksi harus diberikan

antibiotika. Setelah hematuria dapat ditanggulangi, tindakan selanjutnya

adalah mencari penyebabnya dan selanjutnya menyelesaikan masalah

primer penyebab hematuria (Purnomo, 2007).


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hematuria merupakan suatu kondisi, dimana ditemukannya darah di

dalam urine. Hematuria bisa menjadi indikasi adanya gangguan yang

serius pada tubuh dan biasanya terjadi tanpa adanya gejala yang

muncul sehingga sering diabaikan.

2. Penyebab hematuria dapat disebabkan oleh kelainan di dalam sistem

saluran kencing atau di luar sistem saluran kencing. Hematuria yang

disebabkan oleh adanya kebocoran kapiler gromelurus dapat

menyebabkan protein dan sel darah merah keluar ke dalam urine

yang sedang dibentuk oleh ginjal atau dapat disebabkan oleh adanya

infeksi/ inflamasi (pielonefritis, glomerulonephritis, ureteritis,

sistitis, dan urethritis), tumor (tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor

pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia

prostat jinak),kelainan bawaan sistem urogenitalia (kista ginjal dan

ren mobilis), trauma pada sistem urogenitalia, batu saluran kemih,

kelainan pembekuan darah (SLE).

3. Salah satu penyakit yang berhubungan dengan terjadinya hematuria

pada anak adalah Glomeluronefritis Akut Pasca Streptococcus

(GNAPS). GNAPS adalah kasus klasik atau tipikal diawali dengan

infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu

mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata- rata 10 atau 21


hari setelah infeksi tenggorok atau kulit.GNAPS dicurigai bila

dijumpai gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul

mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi

streptokokus.Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis,

bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya

kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan

diagnosis.

4. Penanganan pasien dengan penyakit ini adalah suportif dan

simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan

fungsi ginjal sedang sampai berat, anak dengan tanda dan gejala

uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria

menetap. Pasien hipertensi dapat diberi diuretik atau anti hipertensi.

Bila hipertensi ringan umumnya di- observasi tanpa diberi terapi.

Hipertensi sedang diobati dengan pemberian hidralazin oral atau

intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual.

Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari

daripada memberi anti hipertensi yang lama. Retensi cairan ditangani

dengan pembatasan cairan dan natrium. Bila berat badan tidak

berkurang diberi diuretik seperti furosemide, pemakaian antibiotik

tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan

biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme

dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan antimikroba

berupa injeksi benzathine penisilin.


Pembatasan bahan makanan tergantung beratnya edem, gagal ginjal,

dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi, bila terjadi azotemia

asupan protein dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edem berat dan

bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl 300 mg/hari sedangkan

bila edem minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari.

Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi. Anuria

dan oliguria yang menetap. Penanganannya sama dengan GGA

dengan berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.

B. Saran
Daftar Pustaka

NIDKK, 2012, Hematuria : Blood in the Urine, U.S Department of Health And
Human Services, NIH Publication No 12-4559.

Pediatri Sari, 2003, Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak,


Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RS HAM, Medan, 5,2, 58-63.

Raditya, I Made, 2013, Refarat Glomerulonefritis Akut (GNA), Univeristas


Kristen Indonesia, Jakarta, 2-3.

Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.

Pasek, made suadnyani. 2013. GLOMERULONEFRITIS AKUT PADA ANAK


PASCA INFEKSI STREPTOKOKUS. Seminar Nasional FMIPA
UNDIKSHA III.

Lumbanbatu, M, S., 2013. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada


Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS HAM. Medan.
Hal 60.

Sekarwana HN. Rekomendasi mutahir tatalaksana glomerulonefritis akut pasca


streptokokus. Dalam: Aditiawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi
R, penyunting. Buku naskah lengkap simposium nefrologi VIII dan
simposium kardiologi V. Ikatan Dokter Anak Indonesia
Palembang, 2001. h. 141-62.

Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede


SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2002. h. 345-53.

Anda mungkin juga menyukai