Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah yang membahas tinjauan
pustaka secara ringkas, perumusan masalah peneliti, tujuan penelitan yang
meliputi tujuan umum dan khusus, serta manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit jantung koroner masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia.
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa lima belas juta kematian
diseluruh dunia pada tahun 2015 disebabkan oleh penyakit jantung iskemik
dan stroke (WHO, 2017). Center of Disease Control and Prevention (CDC)
tahun 2015 menyatakan bahwa di Amerika penyakit jantung menjadi
penyebab kematian ketiga pada kelompok usia 35-44 tahun dan menjadi
penyebab kematian kedua pada kelompok usia 45-64 tahun (Murphy, Xu,
Kochanek, Curtin, & Arias, 2017). Riset Kesehatan Dasar (Rikesda)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013 menyampaikan
bahwa 63% kematian di Indonesia,disebabkan oleh penyakit tidak menular
(PTM) yang didominasi oleh penyakit kardiovaskular yaitu penyakit jantung
koroner (Kemenkes RI,2014).

Penyakit jantung koroner memiliki kaskade berdasarkan kondisi oklusi


koroner, mulai
darioklusikoroneryangstabilsampaidengantidakstabilyangmerupakankondisiga
wat darurat kardiovaskuler. Infark miokard adalah kasus kegawatdaruratan
dalam kaskade
penyakitjantungkoroner.Diagnosisinfarkmiokardditegakkanolehadanyapening
katan enzim spesifik jantung troponin, baik dengan adanya perubahan segmen
ST elevasi pada perekaman elektrocardiografi (EKG) yang dikenal dengan ST-
segment elevation miocardal infarction (STEMI) atau tanpa perubahan
segmen ST elevasi (NSTEMI). Kejadian infark miokard merupakan kejadian
ruptur plak aterosklerotik, faktor resiko terbentuknya plak aterosklerotik
adalah merokok, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat keluarga dengan
jantung koroner, dislipidemia dan status menopause. Kejadian infark miokard

1
2

memiliki resiko kematian dan kesakitan yang tinggi, terutama pada kejadian
infark miokard yang diabaikan. Angka mortalitas lebih tinggi didapat pada
infark miokard yang diabaikan dibandingkan dengan yang mendapat terapi
reperfusi baik dengan PCI atau pun dengan terapi fibrinolitik (Dharma et al.,
2015; Lilly,2016).

Sindrom Koroner Akut adalah sebagian besar dari manifestasi klinis akut plak
atheroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah yang terdiri dari:
infark miocard dengan ST elevasi, infark miocard dengan non elevasi segmen
ST, dan Angina Pectoris Tidak Stabil. Sindrom koroner akut berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi
jalur koagulasi. Terbentuklah thrombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial atau menjadi microemboli yang menyumbat
pembuluh darah koroner yang lebih distal. Terjadi pelepasan zat vasoaktif
yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner.Berkurangnya aliran darah koroner akan menyebabkan iskemia
myocardium atau berkurangnya asupan oksygen ke otot jantung (PERKI,
2018).

Berkurangnya suplay oksygen ke miocarad menyebabkan nyeri dada. Nyeri


dada merupakan gejala kardinal pasien infark miokard akut. Nyeri dada ini
harus dapat dibedakan dengan nyeri dada yang berasal dari luar jantung. Sifat
nyeri dada angina sebagai berikut: lokasi substernal, retrosternal, prekordial,
sifat nyeri seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas,
dipelintir, penjalaran biasanya ke lengan kiri, ke leher, rahang bawah,
punggung, nyeri membaik atau hilang dengan istirahat. faktor pencetus seperti
latihan fisik, stress, udara dingin, setelah makan gejala yang menyertai ialah
mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, dan lemas. Sebagian
besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat. Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan
3

banyak keringat dicurigai kuat adanya infark miokard dengan ST elevasi


(STEMI)(Stivano R. V. Torry, A. Lucia Panda, Jeffrey Ongkowijaya, 2013).

STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya
fibrin di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan
berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard. Tujuan pengobatan
pasien miokardinfark akut dengan STEMI (termasuk mereka yang diduga
mengalami onset baru blok berkas cabang kiri (LBBB) adalah untuk
memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi trombotik
persisten di arteri koroner. Sumbatan ini dapat mengurangi kelangsungan
hidup dan performa ventrikel kiri. 3 Gambaran rekaman
elektrokardiogram(EKG) secara akurat akan memberikan ramalan lokasi
sumbatan dan prognosis jangka panjang sehingga memandu seorang
Kardiolog (Sp.JP) dalam melakukan pengobatan yang cepat dan tepat
(Firdaus, I. 2011).

STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu


kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. European
Society of Cardiology (ESC) 2016 dan American Heart Association (AHA)
2013 membuat rekomendasi untuk pasien Infark Miokrad Akut dengan ST
Elevasi dengan onset serangan kurang dari 12 jam yaitu dilakukannya
reperfusi dengan Primary Percutaneus Intervention (PPCI) atau dikenal
dengan intervensikoroner perkutan primer (IKKP)(Amsterdametal., 2014;
Ibanezetal., 2017., O’Gara et al.,2013).Reperfusi merupakan pilihan strategi
utama dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien
pertamakali ke unit pelayanan medis terdekat.Hingga saat ini laporan-laporan
uji coba klinik reperfusi awal jam-jam pertama serangan STEMI menunjukkan
bahwa reperfusi koroner secara intervensi koroner perkutan (selanjutnya
disingkat IKP) mampu mengurangi angka kejadian re-infark, stroke dan
mortalitas lebih baik dibandingkan reperfusi koroner dengan menggunakan
fibrinolitik (Firdaus, I. 2011).
4

Beberapa strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi
farmakologik (dengan obat-obatan fibrinolitik), intervensi koroner perkutan
primer (selanjutnya disingkat IKPP), intervensi koroner perkutan fasilitasi
(fascilitated PCI), intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue PCI), dan
stretegi reperfusi yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter
adalah strategi farmako-invasif (Firdaus, I., 2011).

IKPP didefinisikan sebagai tindakan reperfusi berupa tindakan intervensi


perkutan (IKP) tanpa didahului pemberian fibrinolitik sebelumnya (Firdaus, I.,
2011).IKPP adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk
pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali
bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien
datang dengan awitan gejala yang telah lama (PERKI, 2017). Di Indonesia,
khususnya DKI Jakarta, telah diterapkan rekomendasi AHA dan ESC untuk
intervensi pada pasien STEMI. Jakarta Acute Coronary Syndrome Registry
(JAC) tahun 2018 mencatat bahwa sejak bulan Januari 2015 sampai dengan 30
September 2018, 3696 pasien dengan STEMI, sebanyak 86% pasien yang
datang ke PCI center dilakukan IKPP (Dharma et al., 2016).

Setelah prosedur pasien perlu dipantau mengenai keluhan yang dirasakan


pasien, mengidentifikasi adanya nyeri dada, memonitor tanda-tanda vital,
adanya perdarahan, hematoma disekitar area penusukan, monitor adanya
tanda-tanda dari efek samping zat kontras, monitor tanda-tanda gangguan
sirkulasi ke perifer, monitor adanya tanda-tanda infeksi (Darliana, D., 2013).
Penanganan PJK pasca serangan akut adalah dengan melakukan pencegahan
sekunder berupa perubahan gaya hidup dan rehabilitasi pasca serangan
jantung. Penanganan PJK pasca serangan akut bertujuan menurunkan kejadian
serangan berulang (Kemenkes RI, 2011 dalam Indrawati, 2012). Tujuan
pencegahan sekunder merupakan salah suatu upaya yang dapat dilakukan
klien untuk mencegah perburukan kondisi jantungnya (Rilantono, 2012).
5

Salah satu faktor berulangnya klien terkena serangan jantung adalah akibat
ketidakmampuan klien PJK dalam melakukan pencegahan sekunder
(Indrawati, 2012). Pengetahuan pasien mengenai obat merupakan salah satu
kebutuhan yang harus dimiliki pasien, sehingga klien mampu melakukan
tindakan pencegahan sekunder terkait obat, namun dalam kenyataan klien PJK
belum mampu melakukan tindakan pencegahan sekunder terkait konsumsi
obat yang tidak digunakan sesuai aturan. Hal tersebut merupakan salah satu
penyebab kekambuhan pada klien PJK (Handayani, 2013).

Pengetahuan dalam melakukan tindakan pencegahan sekunder tidak hanya


terkait obat dan perubahan gaya hidup, namun didalamnya juga terdapat
pengendalian stres. Komalasari (2013) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa persepsi negatif terhadap penyakit masih menggangu pikiran klien.
Klien lebih takut dan cemas jikalau secara tiba-tiba mereka mengalami
serangan jantung dan nyeri hebat yang pernah dirasakan datang kembali.
Selain itu, dalam hasil penelitian Haryati (2009) yang dilakukan di ruang
intensif di salah satu Rumah Sakit di Jawa Barat bahwa klien dengan infark
miokard akut 100% mengalami stres emosional. Klien yang mengalami stres
emosional dapat memengaruhi kesehatannya dan memicu serangan berulang
yang dapat menjadi salah satu potensial penyebab kekambuhan. Sehingga
klien harus mengetahui kebutuhan belajar tentang informasi faktor psikologis.

Kehawatiran akan kehidupan selanjutnya yang akan dijalani menimbulkan


perasaan tidak berdaya dan tidak mampu, hal ini turut memberi asumsi bahwa
hilangnya produktivitas kerja makin meningkat yang akan berdampak pada
menurunnya semangat dan kualitas hidup pasien (Widiastuti, A., 2012).
Lamanya waktu pasca intervensi koroner perkutan dapat memengaruhi
kualitas hidup. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Hutagalung, (2014). Kehawatiran akan kehidupan selanjutnya yang akan
dijalani menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak mampu, hal ini turut
memberi asumsi bahwa hilangnya produktivitas kerja makin meningkat yang
6

akan berdampak pada menurunnya semangat dan kualitas hidup pasien


(Widiastuti, A., 2012

Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang keberadaannya dalam


kehidupan pada konteks budaya dan system nilai yang berlaku dimasyarakat.
Kualitas hidup berhubungan dengan tujuan hidup, harapan, standar serta fokus
hidup yang merupakan konsep multidimens ikompleks yang dipengaruhi oleh
kesehatan fisikin dividu, status psikologis, hubungan sosial, keyakinan
individu dan hubungan individu dengan lingkungannya (WHO,2016).
Beberapa penelitian terkait faktor yang memengaruhi kualitas hidup,
ditemukan melalui studi literatur.

Meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit jantung koroner merupakan


salah satu peran dan tanggung jawab perawat. Selain melakukan intervensi
keperawatan, monitoring secara intensif terhadap perkembangan penyakit
pasien dan mencegah komplikasi, perawat juga bertanggung jawab
mempersiapkan kemampuan pasien dalam perawatan diri di
rumah.Kemampuan menjalankan program terapi, mempertahankan diet,
menjalankan aktifitas dan mengambil keputusan serta mengontrol
hidupnya pasca menjalani perawatan. Perawat memberikan asuhan
keperawatan secara komprehensif baik bio, psiko, sosio maupun spiritual.
Untuk meningkatkan pemberdayaan dan kualitas hidup, pasien
membutuhkan dukungan dan informasi melalui pendidikan yang jelas dan
terstruktur sehingga pasien memiliki semangat dan harapan hidup yang
tinggi. Salah satu tujuan pendidikan adalah memperdayakan pasien,
membantu pasien mengambil keputusan terhadap perawatan kesehatan dan
mengatur hidupnya. Pasien memiliki pemberdayaan ketika pasien
mempunyai pengetahuan, skill dan kesadaran diri yang baik.
(Anderson,1991; Johansson. 2004 dalam Widiastuti, A., 2012).
7

Pencegahan agar tidak terulangnya kembali serangan jantung, pasien dengan


PJK perlu melakukan perubahan gaya hidup yang cukup masif. Seperti
perubahan dalam pola diet, kebiasaan merokok, pembatasan aktivitas, serta
pengendalian stres dan kecemasan. Kondisi ini justru dapat memicu timbulnya
distres baru, ditambah lagi perubahan dalam kondisi fisik dan perubahan peran
yang terjadi akibat sakit yang berkepanjangan. Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa stress, depresi, rendahnya dukungan sosial dan
spiritual dapat meningkatkan perburukan kondisi penyakit pada pasien dengan
PJK (Davidson et al., 2013).

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara


status sosiodemografi dan psikososial pasien PJK dengan kualitas hidup.
Terjadi peningkatan kualitas hidup pada pasien yang masih tetap bekerja,
menikah, aktif secara fisik dan menjalani rehabilitasi dan tidak depresi pada
populasi pasien PJK di Amerika (Christian et al., 2007 dalam Nuraeni, A. et
al., 2016). Penelitian lain yang dilakukan di Singapura menunjukkan hasil
bahwa tingkat pengetahuan atau pendidikan dan depresi secara signifikan
dapat memprediksi kondisi fisik pasien sedangkan umur, kecemasan dan
depresi dapat memprediksi kesehatan mental pasien dengan penyakit jantung
(Muhammad et al., 2014)

Penelitian Nuraeni, A., et. Al., 2016 mengungkapkan bahwa yang menjadi
faktor yang memengaruhi kualitas hidup pada pasien PJK dalam penelitian ini
adalah cemas, depresi, dan revaskularisasi jantung dengan depresi menjadi
faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien PJK dibanding
kedua faktor yang lain. Lebih jauh hasil penelitian menjelaskan bahwa pasien
PJK yang tidak mengalami kecemasan kualitas hidupnya 4,7 kali lebih baik
dibanding pasien cemas, sedangkan pasien yang tidak mengalami depresi
memiliki kualitas hidup 5,4 kali lebih baik dibanding dengan pasien depresi
dan pasien yang menjalani revaskularisasi memiliki kualitas hidup 3,23 kali
lebih baik dibanding pasien yang tidak menjalani revaskularisasi.
8

Studi pendahuluan penelitian ini di lakukan di RS Jantung dan pembuluh


darah harapan kita. Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
sepanjang tahun 2016-2017 sebanyak 1.144 pasien infark miokard dilakukan
RS Jantung dan Pembuluh Darah merupakan salah satu rumah sakit yang
memiliki fasilitas intervensi koroner 24 jam. Pasien dengan PJK sebelum
menjalani IKPP diberikan penjelasan mengenai kondisi penyakitnya,
komplikasi dan tindakan yang akan di lakukan serta perawatan setelah
intervensi, begitu juga setelah dilakukan intervensi IKPP pasien mendapatkan
pengetahuan mengenai obat-obatan, factor-faktor penyebab PJK dan
pencegahan terjadinya PJK. Walaupun demikian 6 dari 10 pasien (60%) yang
peneliti jumpai di Intermediat Medikal setelah menjalani IKPP mengatakan
masih belum percaya menderita serangan jantung dan telah dilakukan
tindakan kateterisasi, mereka terlihat masih dalam fase belum menerima
terhadap penyakitnya walaupun pengetahuan mengenai PJK sudah didapakan
oleh pasien. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti terdorong untuk
melakukan study tentang“Hubungan tingkat pengetahuan terhadap kualitas
hidup pasien yang menjalani Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) di
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta”

B. Perumusan Masalah
Penyakit jantung koroner masih menjadi penyebab utama penyebab utama
kematian didunia dan infark miokard adalah kondisi gawat darurat
kardiovaskuler yang disebabkan oleh terjadinya rupture plak ateroklerosis.
Infark miokard dibedakan dengan adanya perubahan ST segmen pada EKG
yaitu STEMI dan NSTEMI. STEMI sering menyebabkan kematian mendadak,
sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan
medis secepatnya. Reperfusi merupakan pilihan strategi utama dalam
tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien pertamakali ke unit
pelayanan medis terdekat. IKPP adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
9

Setelah prosedur pasien perlu dipantau mengenai keluhan yang dirasakan


pasien, mengidentifikasi adanya nyeri dada, memonitor tanda-tanda vital,
adanya perdarahan, hematoma disekitar area penusukan, monitor adanya
tanda-tanda dari efek samping zat kontras, monitor tanda-tanda gangguan
sirkulasi ke perifer, monitor adanya tanda-tanda infeksi (Darliana, D., 2013).
Kehawatiran akan kehidupan selanjutnya yang akan dijalani menimbulkan
perasaan tidak berdaya dan tidak mampu, hal ini turut memberi asumsi bahwa
hilangnya produktivitas kerja makin meningkat yang akan berdampak pada
menurunnya semangat dan kualitas hidup pasien (Widiastuti, A., 2012).
Penelitian Kafadar et al.,(2017) menemukan bahwa pada tahun pertama pasca
infark miokard pasien mengalami penurunan kualitas hidup, setelah melewati
masa satu tahun kualitas hidup pasien meningkat.

Pasien infark miokard harus kontrol teratur dan mengkonsumsi obat-obat


untuk meningakatkan perfusi koroner dan mencegah oklusi koroner.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa kepatuhan pada pengobatan
penyakit yang bersifat kronik, pada umumnya rendah, Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan merupakan dasar utama untuk
pengobatan dan pencegahan diabetes yang sempurna. Dari permasalahan
diatas maka penulis merasa perlu melakukan penelitianuntuk mengetahui
“Hubungan tingakat pengetahuan dengan kualitas hidup pasien yang
menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) di RS Jantung Harapan
Kita Jakarta”
.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan terhadap kualiatas hidup
pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) di RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta.
10

2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik pasien yang menjalani IKPP di
RSJPDHK
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien yang menjalani
IKKP di RSJPDHK
c. Mengidentifikasi kualitas hidup pasien yang menjalani IKPP di
RSJPDHK

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi STIKES PERTAMEDIKA Jakarta
Sebagai bahan informasi dan referensi bagi Mahasiswa keperawatan
STIKES PERTAMEDIKA Jakarta tentang tingkat pengetahuan
terhadapkualiatas hidup Pasien yang menjalani intervensi koroner
perkutan primer (IKPP)
2. Perkembangan ilmukeperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
rujukan yang bermanfaat bagi ilmu keperawatan medikal bedah
khususnya keperawatan kardiovaskuler tentang tingakat pengeya
sehingga implementasi edukasi lebih efektif dan efisien
3. Bagi pelayanan keperawatan.
Sebagai acuan dan bahan informasi bagi pelaku pelayanan kesehatan
dalam melakukan penelitian keperawatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data untuk
penelitian selanjutnya, memperkaya riset keperawatan di Indonesia,
sehingga dapat mengembangkan ilmu keperawatan dengan berbagai
inovasi intervensi sesuai kebutuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai