Anda di halaman 1dari 24

STEP 7

1. Bagaimana interpretasi ttv pada skenario dan apa hubungannya yang terjadi dengan pasien ?
 Tekanan darah : 90/60  hipotensi
 Nadi : 110  takikardi (n: 60-100x/menit)
Luka mengeluarkan darah  penurunan volume darah.
Kecil  volume darah kecil  pulsasi terasa kecil
Pengeluaran hormon katekolamin  hormon NE meningkat  vasokontriksi PD
perifer  takikardi
 RR : 24 x/menit  lebih dari nilai normal (n: 14-20x /menit)
 Spo2 : 97%  normal
 Somnolen  penurunan kesadaran
 Tampak pucat  sianosis
Kenapa terjadi somnolen pada skenario ?
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenisasi atau/dan
penurunan perfusi otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Alcohol dan
obat-obatan juga dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun demikian
bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksi atau hipovolemia sebagai sebab
penurunan kesadaran maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab penurunan
kesadaran.

Sistem sirkulasi
 Hipotensi terjadi sebagai akibat dari banyak darah yang keluar(terjadi
hipovolume).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis.
 Karena ada cedera respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung tetap normal.
Hal ini disebabkan karena cardiac output ditentukan oleh detak jantung (HR) dan
stroke volume.
 Pelepasan ketolamin-ketokolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh darah
perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi tekanan
nadi (pulse pressure), akan tetapi sedikit membantu perfusi organ.
 Pada keadaan syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi hanya
sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume
darah di dalam system vena, hal mana tidak mampu memperbaiki tekanan vena
sistemik.

RR meningkat
Sesak nafas disebabkan karena gangguan pada breathing akibat udara terperangkap
didalam rongga pleura.
1.Hipoksia :
 Terjadi krn syok hipovolemik akibat perdarahan  transport O2 oleh
haemoglobin
 Kolaps paru pd pneumotoraks, kontusio paru  gangguan pertukaran gas
pada alveoli paru -> kompensasinya adalah meningkatkan pernafasan untuk
mengambil 02 agar kebutuhan 02 di organ dan darah trcukupi.

Sumber: ATLS untuk Dokter, Student Course Manual 7th


Kesan apa yang didapatkan dari kondisi pasien ?
-presyok : akral dingin dan takikardi,sistolik 90-100 mmhg
-Syok ringan : plasma / darah yang hilang1000-1200 ml (gelisah, keringat dingin,
diuresis) sistol 80-90 mmhg
-Syok sedang : plasma / darah yang hilang1500-1750 ml (gelisah, keringat dingin,
oliguria) sistol : 70-80 mmhg
-Syok berat : plasma / darah yang hilang 1700-2250 ml (takipneu, taikardi tidak
teraba, anuria)
Kriteria syok dan presyok ?
Syok presyok
MAP : <65 MAP : > 65

Kriteria perdarahan ?

Sumber: Ernita Dewi dan Sri Rahayu. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik.
Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2. No. 2. Juni 2010, 93-96

2. Kenapa spo2 normal sedangkan terdapat akral dingin (+) ?


 Trauma  kehilangan darah.
 Presyok masih dalam fase kompensasi : mempertahankan MAP diatas 65  dengan
takikardi dan vasokontriksi pd perifer ( akral dingin ).
Kehilangan darah  hb dan 02 terbuang  kompensasi detak jantung meningkat
(HR) dan RR meningkat.
3. Mengapa didapatkan nyeri tekan sebelah kanan dan disertai nyeri tekan lepas, bising usus
melemah pada perut kanan, colok dubur didapati ampula tidak koleps tetapi waktu sarung
tangan dikeluarkan terdapat feses dan darah ?
 Nyeri tekan :
Syok hemoragik  nyeri abdomen (nyeri tekan dan nyeri tekan lepas )
Kehilangan darah  iskemi dan fungsiolesa  ileus paralitik  gerakan peristaltik
menghilang.
 Bising usus melemah
 Colok dubur tidak kolaps  koleps ileus obstruksi
 Sarung tangan di keluarkan terdapat feses dan darah nilai warna darah kehitaman
(SPA) merah segar (SPB).
Mengenai organ-organ berlumen  peritonitis(nyeri sekujur abdomen).

4. Mengapa didapatkan edem regio nasal, nyeri regio maxxila, mulut tidak dapat menutup, nafas
cuping hidung, dan dipatkan floating jaw ?
 Kemungkinan terjadi trauma di regio maxillofacial  fraktur rahang  tergantung
pola.
 Salah satu efek tidak dapat menutup mulut  karen atidak seimbang.
 Salah satu tanda fraktur  + edema
 Cuping hidung  pasien mash dapat bernafas

5. Jelaskan macam-macam fraktur maxillo facial ?


Pada 1/3 atas

Pada 1/3 tengah


Pembagian pola trauma wajah pertama kali diungkapkan oleh Rene Le Fort pada 1901,
melaporkan penelitian pada jenazah yang mengalami trauma tumpul. Disimpulkan terdapat
pola prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma. Terdapat tiga predominan tipe
yaitu Le Fort I –III.3,4,5
1. Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin, transversal )
Garis fraktur pada maksila bagian bawah dapat memisahkan palatum dari korpus maksila.
Bila komplit garis fraktur dapat meliputi septum nasi bagian bawah, dasar hidung, bagian
lateral apertura piriformis, fosa kanina, dasar sinus maksilaris dan dinding anterolateral
maksila.
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan
terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas
mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital
kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema. Garis fraktur berjalan dari aperture
piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan ke dinding sinus maksilaris,
Krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal prosesus pterigoideus,
dinding posterior sinus maksilaris hingga kembali ke aperture piriformis.

Suatu pola fraktur horizontal yang terjadi dalam arah transmaksila pada tingkat margin
piliformis. Bilateral, dan menghasilkan suatu “floating palate” yang memutuskan hubungan
alveolaris maksilaris atas dari basis kranial (1). Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan
yang terjadi diatas level gigi. Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis,
berjalan sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris, dan melewati
pteriogoid junction. Septum
nasal dapat terjadi fraktur, dan kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot
pterigoid eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posteriordan inferior. Pada
fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial yang kuat
menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi klas
III, kontak prematur pada molar dan anterior open bite
2. Fraktur Le Fort II (piramidal)
Merupakan 35-55% dari fraktur maksilofasial, arah dapat juga dari horizontal. Bila komplit
garis fraktur pada tulang nasal, prosesus frontalis maksila, tulang lakrimal, daerah infra
orbita (mendekati garis sutura zygomatiko maksilaris) dan lateral inferior dinding sinus
maksilaris.

3. Le Fort III (craniofacial disjunction)


Merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila dengan basis kepala,
namun tipe ini jarang dijumpaisekitar 5-15%. Arah trauma dapat oblik maupun horizontal. Bila
komplit garis
fraktur terletak pada sisi atas hidung (sutura fronto nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus
frontal maksila, tulang lakrimal, lamina papirasea, sinus ethmoid dan fisura orbitalis inferior.

Pembagian bentuk fraktur dapat juga disebut sebagai komplit, inkomplit, hemi Le Fort atau
hanya berdasar lokasi spesifik seperti fraktur maksila secara khusus disebut fraktur maksila
medial, sagital atau para sagital fraktur palatum durum.2 Trauma wajah jarang muncul hanya
dalam satu klasifikasi saja namun dapat berupa kombinasi tipe fraktur, tapi penggolongan
menurut Le Fort ini masih dapat digunakan sebagai pertimbangan dan komunikasi.Diagnosis
fraktur maksilofasial ditegakkan secara klinis ditunjang oleh pemeriksaan lainnya. Fraktur
maksila sulit terlihat secara jelas dengan pemeriksaan radiologi biasa tapi mudah terlihat
melalui CT scan kraniofasial potongan koronal dan aksial. CT scan sangat dibutuhkan
khususnya untuk daerah orbita. Pemeriksaan radiologi biasa yang
masih dapat digunakan adalah Waters, skull lateral.

Penggunaan mini plat pada pembedahan fraktur maksilofasial sudah banyak dilakukan di
negara maju karena dapat memberikan fiksasi stabil, namun terdapat kendala karena saat ini
harga plat yang relatif mahal sehingga penggunaannya masih selektif bagi yang mampu.Plat
difiksasi pada tulang menggunakan screw yang masing-masing ditempatkan pada poin fiksasi
tulang. Tujuan pemasangan plat adalah untuk fiksasi stabil setelah mengembalikan ke posisi
anatomi sesungguhnya.Pada kedua kasus ini digunakan miniplat dan screw untuk fiksasi pada
fraktur tulang zygoma dan dinding anterior sinus maksilaris kiri. Pada fraktur tulang hidung
sering terjadi deviasi piramid hidung disertai deviasi septum. Keadaan ini membutuhkan
penanganan septorinoplasti. Deviasi diatasi dengan septoplasti dan deviasi piramid dengan
dengan osteotomi.
Tindakan ini dilakukan bila sudah terjadi kalsifikasi atau sudah lebih dari 2 minggu.Hal ini
disebabkan sudah terjadi kalsifikasi (bone healing),dimulai pada minggu 2-3 setelah trauma
berlangsung.Agar dapat dilakukan reposisi tulang piramid hidung, tulang hidung harus
dilepaskan dari tulang frontal dan tulang maksila dengan oteotom. Prosedur ini dilakukan
melalui insisi interkartilago atau hemitranfiksi, setelah undermining dilakukan osteotomi
medial dan lateral melalui irisan tersebut dengan menggunakan osteotom.

Sumber: Stack CB, Ruggiero PF . Maxillary and periorbiatal fractures. In: Bailey JB, Johnson
TJ, eds. Head and Neck Surgery -Otolaryngology. 4th
ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2006 : 975-993

Pada 1/3 bawah


Sumber: Jonas T. Johnson, Clark A. Rosen. Mandibular Fracture in Bailey′s Head and Neck
Surgery.Fifth Edition. 2014. P.1229-1241.

6. Apa yang terjadi apabila terdapat luka tusuk pada dinding dada kanan ics 10 ?
Dada + thorax  close atau open pneumothorax
Close pneumothorax  tidak terpapar dengan luar
Open pneumothorax  terpapar dengan luar (sucking chest wound)
Kondisi parah  tekanan dari luar
Ics 10  komplikasi di usus

7. Bagaimana penatalaksanaan awal pada penderita ? dan bagaimana keberhasilannya ?


Perawatan Pada fraktur maksilofasial
Prinsip pada dasar penatalaksanaan fraktur maksilofasial adalah :
- Reduksi & reposisi fraktur  mengembalikan segmen segmen tulang pada lokasi anatomi
semula
- Fiksasi segmen tulang
- Imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur.
Reposisi fraktur rahang secara umum dibagi menjadi 2 metode, yaitu :
a) Reposisi tertututp atau konservatif : melakukan reposisi tanpa pembedahan atau
dilakukan langsung pada garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau
external pin fixation. Tidak danya pembukaan terhadap area yang fraktur secara langsung.
Biasanya teknik IMF yang paling banyak digunakan adalah Archbar.
Ada beberapa tehnik fiksasi intermaksila, antara lain :
a.Tehnik eyelet atau ivy loop : penempatan ivy loop menggunakan kawat 24-gauge antara dua
gigi yang stabil dengan menggunakan kawat yang lebih kecil untuk memberikan fiksasi
maksilomandibular (MMF) antara ivy loop. Keuntungan : bahan mudah di dapat dan sedikit
menimbulkan kerusakan jaringan periodontal serta rahang dapat dibuka dengan hanya
mengangkat ikatan intermaksila. Kerugian : kawat mudah putus waktu digunakan untuk fiksasi
intermaksila.

b. Tehnik archbar : indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau tidak cukup
untuk pemasangan dengan cara lain, disertai fraktur maksila dan didapatkan fraktur fragmen
dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu di reduksi sesuai dengan lengkung rahang
sebelum dipasang fiksasi intermaksila.

b) Reposisi terbuka (open reduction) : tindakan pembedahan untuk melakukan koreksi


maloklusi yang terjadi pada fraktur dengan melakukan fiksasi secara langsung menggunakan
kawat, plat sekrup, miniplat atau mikroplat. Dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara
adekuat.
- IMF menggunakan arch bars and elastic rings -> untuk perbaikan oklusi
- Fiksasi menggunakan titanium miniplates di bagian kiri zygomaticomaxillary &
nasomaxillary buttresses. Evaluasi fiksasi selama 4-6 minggu dan kencangkan wire setiap 2
minggu
- Beri ceftriaxone and metronidazole IV 2 g/day and 1.5 g/day respectively for four post-
operative days, clindamycin 300 mg 3 x a day, dan obat kumur Chlorexidine. Pasien
diinstruksikan untuk diet lunak selama 1 bulan

-
Sumber : David B. Kamadjaja and Coen Pramono. 2015. Management of zygomatic-
maxillary fracture (The principles of diagnosis and surgical treatment). Department of Oral
Maxillofacial Surgery Faculty of Dentistry Airlangga University Surabaya – Indonesia

8. Apa saja pemeriksaan penunjang kasus tersebut ?


 Pemeriksaan Fraktur le fort I
Dilakukan dalam dua pemeriksaan, yaitu ekstraoral dan intraoral. Pada pemeriksaan
ekstraoral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dilihat
ada atau tidkanya edema pada bibir atas dan ekimosis, sedangkan palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intraoral, pemeriksaan dilakukan
secara visualisasi da palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya open bite anterior.

Sumber : Booth PW, Schendel SA, Hausamen JE. 2017. Maxillofacial surgery. 2nd ed. St.
Louis, Missouri: Churchill Livingstone.

 Laboratorium:
a. Hematokrit dari cairan pleura
 Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada pasien dengan
hematothorax traumatis.
 Diperlakukan untuk analisis berdarah nontraumatik efusi dari penyebabnya. Dalam
khusus tersebut, sebuah efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang
hematokrit beredar deanggap sebagai hematothorax.
 Imaging:
a. Chest radiography
 Dada yang tegak sinar rongent adalah ideal studi diagnostik utama dalam evaluasi
hematothorax.
 Dalam unscarred normal rongga pleura yang hemothtorax dicatat sebagai meniskus
cairan menumpulkan costophiremic diafragmatik sudut atau permukaan dan
pelacakan atas margin pleura dinding dada ketika dilihat pada dada tegak film
sinar-X. Hal ini pada dasarnya sama penampilan radiography dada yang ditemukan
dengan efusi pleura.
 Dalam kasus-kasus dimana jaringan atau sisfisis pleura hadir, koleksi tidak dapat
bebas untuk menempati posisi yang paling tergantung didalam dada tapi
menempati posisi yang paling tergantung didalam dada, tapi akan mengisi ruang
pleura bebas apapun tersedia. Situasi ini mungkin membuat penampilan klasik
lapisan pluida pada dada X-ray film.
 Sebanyak 400-500 ml darah diperlukan untuk melenyapkan costapherenic sudut
seperti terlihat pada dada tegak sinar rongent.
 Dalam pengaturan trauma akut, telentang portabel dada sinar rongent mungkin
menjadi yang pertama dan satu-satunya pandangan tersedia dari yang untuk
membuat keputusan mengenai terapi definitif, kehadiran dn ukuran hematothorax
jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film terlentang. sebanyak 1000 ml darah
mungkin akan terjawab saat melihat dada terlentang portabel X-ray film. Hanya
kekaburan umum yang terkena bencana hematothorax dapat dicatat.
 Dalam kasus trauma hematothorax sering dikaitkan dengan dada lainnya, luka-luka
terlihat di dada sinar rongent, seperti patah tulang iga, pneumotorax , atau pelebaran
mediatinum superior.
 Studi-studi tambahan seperti USG atau CT scan mungkin kadang-kadang
diperlukan untuk identitas dan kualifikasi dari hematothorax dicatat disebuah
dataran sinar rongent.
b. Ultrasonography
 Ultrasonography USG digunakan dibeberapa pusat trauma dalam evaluasi awal
pasien untuk hematothorax.
 Salah satu kekurangan dari USG untuk identifikasi traumatis terkait hematothorax
adalah bahwa luka segera terlihat pada radiography dada pada pasien trauma,
seperti cedera tulang, melebar mediastinum dan pneumothorax, tidak mudah
diidentifikasi di dada Ultrasonograp gambar.
 Ultrasonography lebih mungkin memainkan peran yang saling melengkapi dalam
kasus-kasus tertentu dimana X-ray dada temuan hematothorax yang samar-samar.
c. CT-scan
 CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura / darah.
 Dalam pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik
hematothorax tetapi melengkapi dada radiography. Karena banyak korban trauma
tumpul melakukan rongrnt dada dan / CT scan perut evaluasi, tidak dianggap
hematothorax didasarkan pada radiography dada awal dapat diidentifikasi dan
diobati.
 Saat ini CT scan adalah nilai terbesar kemudian dalam perjalanan trauma dada
pasien untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap koleksi mempertahankan
gumpalan dalam rongga pleura.
Sumber: Pusponegoro, A.D (1995). ilmu bedah . FK UI: Jakarta.

9. Apa diagnosis dan diagnosis banding dari skenario ?


Pembagian trauma thorax:
A. Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey:
a) Tension pneumothoraks
b) Open pneumothoraks
c) Massive hematothoraks
d) Flail chest
e) Cardiac tamponade
B. Trauma thorax yang potensial mengancam nyawa:
a) Kontusio pulmonum dengan atau tanpa flail chest
b) Rupture aorta thorakalis
c) Cedera trakea dan Bronkus
d) Perforasi esofagus
e) Robekan diafragma
f) Contusio miokard
C. Trauma thoraks yang berat:
a) Subcutaneus emphysema
b) Pneumothoraks
c) Hemothoraks
d) Fraktur costa
A. Trauma mengancam jiwa identifikasi dengan primary survey:
a) Tension Pneumothorax
 Patofisiologi
Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada
masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat
udara yang masuk kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka
tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, terjadi
displacement mediastinum dan trachea. Pada sisi yang berlawanan vena cava
superior atau vena cava inferior terjadi gangguan venus return ke jantung, terjadi
kompresi paru kontralateral, terjadi hypoxia, hypotensi.
 Etiologi
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita
dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai
komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam
dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada
pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika
salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occlusive dressings)
yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax
juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran
(displaced thoracic spine fractures).
 Gejala klinis
Tension pneumothorax di tandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres
pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi
dan distensi vena leher.
 Diagnosis
Diagnosis tension pneumothorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi
tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi.
 Pemeriksaan penunjang
Radiologis : foto polos thoraks
 Penatalaksanaan
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan
awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar (ukuran 14 atau 16
gauge) pada sela iga dua garis mid-clavicular pada hemitoraks yang mengalami
kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumotoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang
bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif
selalu dibutuhkan dengan pemasangan thorax drain dan WSD.

b) Open pneumothoraks (sucking chest wound)


 Patofisiologi
Adanya defek atau luka yang besar yang tetap terbuka pada dinding thorax dan
paru menimbulkan “Sucking chest wound around” sehingga terjadi keseimbangan
antara tekanan intra thorax dengan tekanan udara atmosfir. Jika defek pada dinding
dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir
melalul defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga
menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan bila terdapat sucking chest wound, hypoxia, dan
hipoventilasi.
 Penanganan
Penanganannya, langkah awal dengan menutup luka. Gunakan kasa steril yang
diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan
terjadi efek Flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup
luka, mencegah kebocoran udara, dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka
untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang
selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara didalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara, yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolatum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.

c) Hematothorax
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
 Minimal / ringan 350 ml
 Sedang 350 ml-1500 ml
 Masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Tingkat perdarahan setelah evakuasi hemothorax secara klinis lebih penting. Jika
kondisi ini terjadi, maka disebut sebagai hemopneutoraks.

Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan terjadi
penurunan suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen dada. Di tangan
dokter yang berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa pneumotoraks dan
hemotoraks, namun teknik ini jarang dilakukan sekarang ini. Tuba torakstomi harus
dipasang secara hati-hati untuk semua jenis hemathorax dan pnemuothorak. Dalam
85%, tube toraktomi adalah satu-satunya metode yang dapat dilakukan. Jika
pendarahan terus terjadi maka lebih baik dari sistemik daripada arteri pulmonary.
Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya pembuluh darah
hilus atau sistemik.
a. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka.
b. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah.
c. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi tegang
karena efek mekanis dari darah di dalam thorax.
d. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat mengakibatkan
shock.
 Diagnosa
a. Shock hemorrhagic.
b. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral.
c. Pekak unilateral pada perkusi.
d. Vena leher menjadi datar.
e. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral.
 Pengobatan
a. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan bernafas.
b. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi sebelum terjadi
dekompresi.
c. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest tube.
d. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau 40F) pada
celah intercostal keempat.
Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan hemothorax
dengan lebih adekwat.

 Indikasi thoracotomy:
a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung akibat
perdarahan dada.
b. Perdarahan yang ≥ 1500 mL sejak permulaan.
c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama ≥ 4jam.
d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun telah
menggunakan 2 chest tube yang berfungsi dan diposisikan secara benar.
e. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk
hemothorax yang tidak tuntas di drainase atau hemothorax yang menggumpal.

Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
 Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
 Tidak ada mediastinal shift
 PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓

Penatalaksanaan: WSD

Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama
semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil
(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
 Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous
return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
 Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP ↑, asimetris statis & dinamis
 Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro

Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD

Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar
dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan
udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound . Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

Sumber: Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal
93-95.
10. Bagaimana komplikasi pada kasus di skenario?
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan penyembuhannya, biasanya
tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma, tetapi potensi
kemunculannya dapat diperkirakan selama evaluasi dan perawatan.
Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila antara lain:
1. Parestesi n. infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis

Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika memperbaiki laserasi,
jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau
jika arteri sebagian terpotong. Laserasi sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat
dikontrol. Hematom yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan
reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus segera ditangani,
apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu dilakukan arteriografi dan embolisasi.

Aneurisma dan pseudoaneurisma merupakan komplikasi trauma pada maksilofasial tetapi jarang
terjadi akibat fraktur maksila tersendiri. Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat
terjadi komplikasi yang berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan
dengan fraktur midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita,
seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet dapat
merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III (atau fraktur yang melibatkan orbita) dan
terjadi akibat peningkatan hemoragi atau tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi
retrobulbar, dan menekannya fragmen tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang
tidak terdiagnosa atau ditangani dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen
zigoma) dapat menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia.
Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau alat fiksasi. Komplikasi
ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal, maloklusi) atau pemeriksaan radiografi
postoperatif. Perlu dilakukan prosedur pembedahan kedua untuk
memperbaiki komplikasi tersebut

Sumber : Fonseca RJ, Walker VW. Bett NJ, Barber HD. 2011. Oral and maxillofacial trauma.
Philadelphia: WB Saunders Co

11. Apa saja pemeriksaan klinis dari kasus di skenario ?


Pemeriksaan klinis dilakukan diseluruh wajah yang terlihat, meliputi mandibula, maksila,
Krista zigomatikoalveolaris, cincin orbita, sutura frontozigomatikus, prosesus zigomatikus,
atap orbita, hidung, telinga, daerah sendi rahang, dan keseluruhan daerah intraoral.
a. Pemeriksaan leher dan kepala
Merupakan pemeriksaan awal dan sering kali sangat bermanfaat. Luka-luka pada wajah
dicatat mengenai lokasi, panjang, kedalaman dan kemungkinan terlibatnya struktur
dibawahnya seperti arteri, saraf, dan glandula saliva. Edema fasial diobservasi, dan
dievaluasi karena ini bisa merupakan tempat yang terkena benturan/ trauma atau
merupakan tanda adanya kerusakan struktur dibawahnya misalnya hematom, fraktur atau
keduanya, setiap deformitas tulang yang nyata, perdarahan atau kebocoran cairan
serebrospinal hendaknya dicatat. Palpasi secara hati-hati dimulai dari bagian belakang
kepala dan cranium diselidiki akan adanya luka serta injuri tulang. Kemudian jari-jari
dirabakan pelanpelan diatas tulang zigomatik dan lengkungnya, dan disekeliling pinggiran
orbita. Tempat-tempat yang terasa lunak, deformitas step, dan mobilitas yang tidak normal
hendaknya diperhatikan.
b. Pemeriksaan syaraf-syaraf cranial
Nervus cranialis (III, IV, V, VI,VII) dites untuk mengetahui apakah terjadi palsi, dapatkah
pasien mengangkat alis dan meretraksi sudut mulut, apakah bola mata bisa bergerak bebas,
dan apakah pupil bereaksi terhadap sinar. Kelopak mata dipisahkan secara hati-hati,
pembukaan mata merupakan alat pemeriksaan yang berharga untuk menentukan tingkat
kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya jika diberi
stimulasi tertentu, termasuk stimulasi menyakitkan jika diperlukan. Apabila bila pasien
sadar, penglihatan diuji pada masing-masing mata. Kemudian pasien diminta mengikuti
jari dokter klinik dengan matanya dan diminta memberi tahu jika terjadi diplopia
(penglihatan dobel). Dan dibuat catatan kalau terjadi perubahan ukuran pada kedua pupil,
dan reflex terhadap cahaya juga harus diuji.
c. Pemeriksaan wajah bagian tengah
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya kerusakan di
daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan dilakukan pada area
tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang mungkin sulit diprediksi
ketika adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks,
jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior
lateral.
d. Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah, terjadi
pergeseran lateral atau inferior. Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan cara
memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada
penyimpangan dicatat.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral
mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya
laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi
maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan
salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk
melihat mobilisasi maksila.

e. Pemeriksaan mulut / intraoral


Oklusi adalah hal pertama dilihat secara intraoral, dataran oklusal dari maksila dan
mandibula diperiksa continuitas, dan adanya step deformitas. Bagian yang giginya
mengalami pergerakan karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi juga
dicatat

12. Bagaimana biomekanisme trauma multipel ?


a. Biomekanik pada fraktur mandibula
Konsep biomekanik pada perawatan fraktur mandibula perlu dipahami sebab keadaan statik
dan dinamik dapat mempengaruhi proses penyembuhan fraktur. Tujuan dari semua terapi
fraktur adalah mengembalikan bentuk dan fungsi seperti semula. Hal tersebut dapat dicapai
dengan melakukan imobilisasi menggunakan fiksasi internal dan eksternal. Rahang bawah
memiliki bentuk anatomis yang unik, berdasarkan arsitektur tulang, bentuk dan perlekatan
otot mandibula dapat digambarkan sebagai sebuah struktur yang mengubah tekanan yang
diterimanya menjadi suatu bentuk daya tensi dan kompresi. Kekuatan kompresi dihasilkan
sepanjang daerah basal mandibula, sedangkan kekuatan tensi terdapat pada sepanjang
daerah alveolar. Aksis tranversal imajiner yang terletak kira-kira sepanjang kanalis
mandibula memisahkan prosesus alveolaris yang merupakan daerah tegangan atau disebut
tension area dari daerah basal mandibula yang merupakan daerah kompresi atau disebut
dengan compression area. Pada waktu mandibula mengalami fraktur, prinsip perawatan
dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan-kekuatan pada sisi dari aksis imajiner
tersebut, sehingga kedua kekuatan tegangan yang berlawanan tersebut harus dinetralisir
untuk mendapatkan reduksi fungsional yang stabil

Sumber: Christina Mihailova. Classifications of Mandibular Fractures. In Journal of


IMAB-Annual proceeding (scientific papers) 2006.vol.12. Accesed 6 Agustus 2014.
Available at http://www.journal-imab-bg.org

13. Hubungan trauma maksilofacial dengan obstruksi jalan nafas ?


Terjadinya obstruksi jalan nafas perioperatif dan postoperatif jarang terjadi pada fraktur
maksila tunggal. Bagaimanapun, kondisi ini dapat terjadi sehubungan dengan ekstubasi, dengan
hematom septum atau nasal packing, dan dengan edem berat jaringan lunak yang menghalangi
pernafasan melalui jalan nafas nasal. Pasien dengan fiksasi intermaksilari dan gigi lengkap
biasanya mengalami kesulitan pernafasan pada saat ini. Reintubasi, pembukaan jalan nafas
nasofaringeal, dan pembukaan fikasi intermaksilari dapat efektif menghilangkan gangguan
jalan nafas. Faktur pada septum nasal yang tidak diperbaiki dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas postoperatif yang akan tetap ada hingga semua pembengkakan jaringan
lunak hilang. Sinusitis akut dapat terjadi akibat tindakan intubasi trakheal yang
berkepanjangan.Sinusitis akut atau kronik dapat juga terjadi pada sinus ethmoid, sphenoid,
frontal, dan maksila, karena fraktur dapat mengobstruksi duktus sinus atau ostia.

14. Bagaimana tanda kegawatdaruratan pada pasien trauma ?

15. Apa saja initial assesment yang dilakukan ?

PRIMARY SURVEY
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a. Mengenal patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
c. - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
- Pasang airway definitif sesuai indikasi

Kebutuhan untuk perlindungan Kebutuhan untuk ventilasi


airway

Tidak sadar Apnea

• Paralisis neuromuskuler
• Tidak sadar

Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat

• Takipnea

• Hipoksia

• Hiperkarbia

• Sianosis

Bahaya aspirasi Cedera kepala tertutup berat yang

• Perdarahan membutuhkan hiperventilasi singkat,

• Muntah - muntah bila terjadi penurunan keadaan neurologis

Bahaya sumbatan

• Hematoma leher

• Cedera laring, trakea

• Stridor

3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi
trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-
line immobilisasi
b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat
deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan
dan tanda-tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (non rebreathing mask 11-12 liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien
fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
RESUSITASI
A. Re-evaluasi ABCDE
B. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg
pada anak dengan tetesan cepat
C. Evaluasi resusitasi cairan
1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-
tanda syok
D. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1. Respon cepat
 Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
 Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
 Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
 Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2. Respon Sementara
 Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
 Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
 Konsultasikan pada ahli bedah.
3. Tanpa respon
 Konsultasikan pada ahli bedah
 Perlu tindakan operatif sangat segera
 Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard
 Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya.

SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat:
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik
Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan Klinis
Dinilai tentukan dengan

Tingkat • Beratnya trauma • Skor GCS •  8, cedera • CT Scan


kapitis kepala berat
Kesadaran • Ulangi tanpa
• 9 -12, cedera relaksasi Otot
kepala sedang

• 13-15, cedera
kepala ringan

Pupil • Jenis cedera • Ukuran • "mass effect" • CT Scan


kepala
• Bentuk • Diffuse axional
• Luka pada mata injury
• Reaksi
• Perlukaan mata

Kepala • Luka pada kulit • Inspeksi adanya • Luka kulit kepala • CT Scan
kepala luka dan fraktur
• Fraktur impresi
• Fraktur tulang • Palpasi adanya
• Fraktur basis
tengkorak fraktur

Maksilofasial • Luka jaringan • Inspeksi : • Fraktur tulang • Foto tulang


lunak deformitas wajah wajah

• Fraktur • Maloklusi

• Kerusakan syaraf • Palpasi : krepitus • Cedera jaringan • CT Scan tulang


lunak wajah
• Luka dalam
mulut/gigi

Leher • Cedera pada • Inspeksi • Deformitas • Foto servikal


faring faring
• Palpasi
• Fraktur servikal • Auskultasi • Emfisema • Angiografi/
subkutan Doppler
• Kerusakan
vaskular • Hematoma • Esofagoskopi

• Cedera esofagus • Murmur • Laringoskopi

• Gangguan • Tembusnya
neurologis platisma

• Nyeri, nyeri
tekan C spine

Toraks • Perlukaan • Inspeksi • Jejas, deformitas, • Foto toraks


dinding toraks gerakan
• Palpasi • CT Scan
• Emfisema • Paradoksal
• Auskultasi • Angiografi
subkutan
• Nyeri tekan
• Bronchoskopi
• Pneumo/ dada, krepitus
hematotoraks • Tube
• Bising nafas
torakostomi
• Cedera bronchus berkurang
•Perikardiosintesis
• Kontusio paru • Bunyi jantung
jauh • USG Trans-
• Kerusakan aorta
Esofagus
torakalis • Krepitasi
mediastinum

• Nyeri punggung
hebat

Hal yang Identifikasi/ Penilaian Penemuan klinis Konfirmasi


tentukan dengan
Dinilai

Abdomen/ • Perlukaan dd. • Inspeksi • Nyeri, nyeri • DPL


pinggang Abdomen tekan abd.
• Palpasi • FAST
• Cedera intra- • Iritasi peritoneal
• Auskultasi • CT Scan
peritoneal
• Cedera organ
• Tentukan arah • Laparotomi
• Cedera viseral
penetrasi
retroperitoneal • Foto dengan
• Cedera
kontras
retroperitoneal
• Angiografi

Pelvis • Cedera Genito- • Palpasi simfisis • Cedera Genito- • Foto pelvis


urinarius pubis untuk rinarius
• Urogram
pelebaran (hematuria)
• Fraktur pelvis
• Uretrogram
• Nyeri tekan • Fraktur pelvis • Sistogram
tulang pelvis
• Perlukaan • IVP
• Tentukan perineum,
• CT Scan dengan
instabilitas pelvis rektum, vagina
kontras
(hanya satu kali)

• Inspeksi
perineum

• Pem. Rektum
/vagina

Medula • Trauma kapitis • Pemeriksaan • "mass effect" • Foto polos


motorik unilateral
Spinalis • Trauma medulla • MRI
spinalis • Pemeriksaan • Tetraparesis
sensorik
• Trauma syaraf Paraparesis
perifer
• Cedera radiks
syaraf

Kolumna • Fraktur • Respon verbal • Fraktur atau • Foto polos


terhadap nyeri, dislokasi
vertebralis • lnstabilitas • CT Scan
kolumna tanda lateralisasi
Vertebralis
• Nyeri tekan
• Kerusakan syaraf
• Deformitas

Ekstremitas • Cedera jaringan • Inspeksi • Jejas, • Foto ronsen


lunak pembengkakan,
• Palpasi • Doppler
pucat
• Fraktur
• Pengukuran
• Mal-alignment
• Kerusakan sendi tekanan
• Nyeri, nyeri kompartemen
• Defisit neuro-
tekan, Krepitasi
vascular • Angiografi
• Pulsasi hilang/
berkurang

•Kompartemen

• Defisit
neurologis

RE-EVALUASI PENDERITA
A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap perubahan
pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan
D. TERAPI:
Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya diterapi dengan
selang dada (Thorax tube) kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau
fibrothorax), dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan
terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan
perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang kelur
dari selang dada merupakan faktor utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu Minimal / ringan 350 ml,
Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau
bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan
transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.

Sumber: Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal 93-95.

Anda mungkin juga menyukai