1. Bagaimana interpretasi ttv pada skenario dan apa hubungannya yang terjadi dengan pasien ?
Tekanan darah : 90/60 hipotensi
Nadi : 110 takikardi (n: 60-100x/menit)
Luka mengeluarkan darah penurunan volume darah.
Kecil volume darah kecil pulsasi terasa kecil
Pengeluaran hormon katekolamin hormon NE meningkat vasokontriksi PD
perifer takikardi
RR : 24 x/menit lebih dari nilai normal (n: 14-20x /menit)
Spo2 : 97% normal
Somnolen penurunan kesadaran
Tampak pucat sianosis
Kenapa terjadi somnolen pada skenario ?
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penurunan oksigenisasi atau/dan
penurunan perfusi otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak. Alcohol dan
obat-obatan juga dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun demikian
bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksi atau hipovolemia sebagai sebab
penurunan kesadaran maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab penurunan
kesadaran.
Sistem sirkulasi
Hipotensi terjadi sebagai akibat dari banyak darah yang keluar(terjadi
hipovolume).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis.
Karena ada cedera respon terhadap berkurangnya volume darah yang akut adalah
peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga output jantung tetap normal.
Hal ini disebabkan karena cardiac output ditentukan oleh detak jantung (HR) dan
stroke volume.
Pelepasan ketolamin-ketokolamin endogen meningkatkan tahanan pembuluh darah
perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi tekanan
nadi (pulse pressure), akan tetapi sedikit membantu perfusi organ.
Pada keadaan syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi hanya
sedikit mengatur pengembalian darah (venous return) dengan cara kontraksi volume
darah di dalam system vena, hal mana tidak mampu memperbaiki tekanan vena
sistemik.
RR meningkat
Sesak nafas disebabkan karena gangguan pada breathing akibat udara terperangkap
didalam rongga pleura.
1.Hipoksia :
Terjadi krn syok hipovolemik akibat perdarahan transport O2 oleh
haemoglobin
Kolaps paru pd pneumotoraks, kontusio paru gangguan pertukaran gas
pada alveoli paru -> kompensasinya adalah meningkatkan pernafasan untuk
mengambil 02 agar kebutuhan 02 di organ dan darah trcukupi.
Kriteria perdarahan ?
Sumber: Ernita Dewi dan Sri Rahayu. 2010. Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik.
Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol. 2. No. 2. Juni 2010, 93-96
4. Mengapa didapatkan edem regio nasal, nyeri regio maxxila, mulut tidak dapat menutup, nafas
cuping hidung, dan dipatkan floating jaw ?
Kemungkinan terjadi trauma di regio maxillofacial fraktur rahang tergantung
pola.
Salah satu efek tidak dapat menutup mulut karen atidak seimbang.
Salah satu tanda fraktur + edema
Cuping hidung pasien mash dapat bernafas
Suatu pola fraktur horizontal yang terjadi dalam arah transmaksila pada tingkat margin
piliformis. Bilateral, dan menghasilkan suatu “floating palate” yang memutuskan hubungan
alveolaris maksilaris atas dari basis kranial (1). Fraktur Le Fort I merupakan hasil benturan
yang terjadi diatas level gigi. Fraktur yang terjadi mulai dari batas lateral sinus pirimormis,
berjalan sepanjang dinding antral lateral, belakang tuberositas maksilaris, dan melewati
pteriogoid junction. Septum
nasal dapat terjadi fraktur, dan kartilago nasal mungkin terkena. Karena tarikan baik dari otot
pterigoid eksternal dan internal, maksila dapat berada pada posisi posteriordan inferior. Pada
fraktur ini, biasanya tampak open bite klasik
Fraktur transversal pada Le Fort membuat muskulus pterygoid medial yang kuat
menciptakan tarikan posteroinferior pada segmen yang bergerak menciptakan maloklusi klas
III, kontak prematur pada molar dan anterior open bite
2. Fraktur Le Fort II (piramidal)
Merupakan 35-55% dari fraktur maksilofasial, arah dapat juga dari horizontal. Bila komplit
garis fraktur pada tulang nasal, prosesus frontalis maksila, tulang lakrimal, daerah infra
orbita (mendekati garis sutura zygomatiko maksilaris) dan lateral inferior dinding sinus
maksilaris.
Pembagian bentuk fraktur dapat juga disebut sebagai komplit, inkomplit, hemi Le Fort atau
hanya berdasar lokasi spesifik seperti fraktur maksila secara khusus disebut fraktur maksila
medial, sagital atau para sagital fraktur palatum durum.2 Trauma wajah jarang muncul hanya
dalam satu klasifikasi saja namun dapat berupa kombinasi tipe fraktur, tapi penggolongan
menurut Le Fort ini masih dapat digunakan sebagai pertimbangan dan komunikasi.Diagnosis
fraktur maksilofasial ditegakkan secara klinis ditunjang oleh pemeriksaan lainnya. Fraktur
maksila sulit terlihat secara jelas dengan pemeriksaan radiologi biasa tapi mudah terlihat
melalui CT scan kraniofasial potongan koronal dan aksial. CT scan sangat dibutuhkan
khususnya untuk daerah orbita. Pemeriksaan radiologi biasa yang
masih dapat digunakan adalah Waters, skull lateral.
Penggunaan mini plat pada pembedahan fraktur maksilofasial sudah banyak dilakukan di
negara maju karena dapat memberikan fiksasi stabil, namun terdapat kendala karena saat ini
harga plat yang relatif mahal sehingga penggunaannya masih selektif bagi yang mampu.Plat
difiksasi pada tulang menggunakan screw yang masing-masing ditempatkan pada poin fiksasi
tulang. Tujuan pemasangan plat adalah untuk fiksasi stabil setelah mengembalikan ke posisi
anatomi sesungguhnya.Pada kedua kasus ini digunakan miniplat dan screw untuk fiksasi pada
fraktur tulang zygoma dan dinding anterior sinus maksilaris kiri. Pada fraktur tulang hidung
sering terjadi deviasi piramid hidung disertai deviasi septum. Keadaan ini membutuhkan
penanganan septorinoplasti. Deviasi diatasi dengan septoplasti dan deviasi piramid dengan
dengan osteotomi.
Tindakan ini dilakukan bila sudah terjadi kalsifikasi atau sudah lebih dari 2 minggu.Hal ini
disebabkan sudah terjadi kalsifikasi (bone healing),dimulai pada minggu 2-3 setelah trauma
berlangsung.Agar dapat dilakukan reposisi tulang piramid hidung, tulang hidung harus
dilepaskan dari tulang frontal dan tulang maksila dengan oteotom. Prosedur ini dilakukan
melalui insisi interkartilago atau hemitranfiksi, setelah undermining dilakukan osteotomi
medial dan lateral melalui irisan tersebut dengan menggunakan osteotom.
Sumber: Stack CB, Ruggiero PF . Maxillary and periorbiatal fractures. In: Bailey JB, Johnson
TJ, eds. Head and Neck Surgery -Otolaryngology. 4th
ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2006 : 975-993
6. Apa yang terjadi apabila terdapat luka tusuk pada dinding dada kanan ics 10 ?
Dada + thorax close atau open pneumothorax
Close pneumothorax tidak terpapar dengan luar
Open pneumothorax terpapar dengan luar (sucking chest wound)
Kondisi parah tekanan dari luar
Ics 10 komplikasi di usus
b. Tehnik archbar : indikasi pemasangan arch bar adalah gigi kurang atau tidak cukup
untuk pemasangan dengan cara lain, disertai fraktur maksila dan didapatkan fraktur fragmen
dentoalveolar pada salah satu ujung rahang yang perlu di reduksi sesuai dengan lengkung rahang
sebelum dipasang fiksasi intermaksila.
-
Sumber : David B. Kamadjaja and Coen Pramono. 2015. Management of zygomatic-
maxillary fracture (The principles of diagnosis and surgical treatment). Department of Oral
Maxillofacial Surgery Faculty of Dentistry Airlangga University Surabaya – Indonesia
Sumber : Booth PW, Schendel SA, Hausamen JE. 2017. Maxillofacial surgery. 2nd ed. St.
Louis, Missouri: Churchill Livingstone.
Laboratorium:
a. Hematokrit dari cairan pleura
Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada pasien dengan
hematothorax traumatis.
Diperlakukan untuk analisis berdarah nontraumatik efusi dari penyebabnya. Dalam
khusus tersebut, sebuah efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang
hematokrit beredar deanggap sebagai hematothorax.
Imaging:
a. Chest radiography
Dada yang tegak sinar rongent adalah ideal studi diagnostik utama dalam evaluasi
hematothorax.
Dalam unscarred normal rongga pleura yang hemothtorax dicatat sebagai meniskus
cairan menumpulkan costophiremic diafragmatik sudut atau permukaan dan
pelacakan atas margin pleura dinding dada ketika dilihat pada dada tegak film
sinar-X. Hal ini pada dasarnya sama penampilan radiography dada yang ditemukan
dengan efusi pleura.
Dalam kasus-kasus dimana jaringan atau sisfisis pleura hadir, koleksi tidak dapat
bebas untuk menempati posisi yang paling tergantung didalam dada tapi
menempati posisi yang paling tergantung didalam dada, tapi akan mengisi ruang
pleura bebas apapun tersedia. Situasi ini mungkin membuat penampilan klasik
lapisan pluida pada dada X-ray film.
Sebanyak 400-500 ml darah diperlukan untuk melenyapkan costapherenic sudut
seperti terlihat pada dada tegak sinar rongent.
Dalam pengaturan trauma akut, telentang portabel dada sinar rongent mungkin
menjadi yang pertama dan satu-satunya pandangan tersedia dari yang untuk
membuat keputusan mengenai terapi definitif, kehadiran dn ukuran hematothorax
jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film terlentang. sebanyak 1000 ml darah
mungkin akan terjawab saat melihat dada terlentang portabel X-ray film. Hanya
kekaburan umum yang terkena bencana hematothorax dapat dicatat.
Dalam kasus trauma hematothorax sering dikaitkan dengan dada lainnya, luka-luka
terlihat di dada sinar rongent, seperti patah tulang iga, pneumotorax , atau pelebaran
mediatinum superior.
Studi-studi tambahan seperti USG atau CT scan mungkin kadang-kadang
diperlukan untuk identitas dan kualifikasi dari hematothorax dicatat disebuah
dataran sinar rongent.
b. Ultrasonography
Ultrasonography USG digunakan dibeberapa pusat trauma dalam evaluasi awal
pasien untuk hematothorax.
Salah satu kekurangan dari USG untuk identifikasi traumatis terkait hematothorax
adalah bahwa luka segera terlihat pada radiography dada pada pasien trauma,
seperti cedera tulang, melebar mediastinum dan pneumothorax, tidak mudah
diidentifikasi di dada Ultrasonograp gambar.
Ultrasonography lebih mungkin memainkan peran yang saling melengkapi dalam
kasus-kasus tertentu dimana X-ray dada temuan hematothorax yang samar-samar.
c. CT-scan
CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura / darah.
Dalam pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik
hematothorax tetapi melengkapi dada radiography. Karena banyak korban trauma
tumpul melakukan rongrnt dada dan / CT scan perut evaluasi, tidak dianggap
hematothorax didasarkan pada radiography dada awal dapat diidentifikasi dan
diobati.
Saat ini CT scan adalah nilai terbesar kemudian dalam perjalanan trauma dada
pasien untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap koleksi mempertahankan
gumpalan dalam rongga pleura.
Sumber: Pusponegoro, A.D (1995). ilmu bedah . FK UI: Jakarta.
c) Hematothorax
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu
Minimal / ringan 350 ml
Sedang 350 ml-1500 ml
Masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Tingkat perdarahan setelah evakuasi hemothorax secara klinis lebih penting. Jika
kondisi ini terjadi, maka disebut sebagai hemopneutoraks.
Hemotoraks dapat terjadi pada cedera thorax yang jelas. Mungkin akan terjadi
penurunan suara saat bernafas dan harus segera dilakukan ronsen dada. Di tangan
dokter yang berpengalaman, ultrasound dapat mendiagnosa pneumotoraks dan
hemotoraks, namun teknik ini jarang dilakukan sekarang ini. Tuba torakstomi harus
dipasang secara hati-hati untuk semua jenis hemathorax dan pnemuothorak. Dalam
85%, tube toraktomi adalah satu-satunya metode yang dapat dilakukan. Jika
pendarahan terus terjadi maka lebih baik dari sistemik daripada arteri pulmonary.
Biasanya hematothorax ini terjadi pada luka tusuk dengan sobeknya pembuluh darah
hilus atau sistemik.
a. Pada umumnya pembuluh darah intercostal dan mamaria interna terluka.
b. Setiap hemithorax dapat menampung hingga 3 liter darah.
c. Vena pada leher dapat menjadi datar karena hipovolemia atau menjadi tegang
karena efek mekanis dari darah di dalam thorax.
d. Robeknya pembuluh darah hilus atau pembuluh darah besar dapat mengakibatkan
shock.
Diagnosa
a. Shock hemorrhagic.
b. Tidak adanya atau melemahnya suara paru unilateral.
c. Pekak unilateral pada perkusi.
d. Vena leher menjadi datar.
e. Foto thorax menunjukan gambaran radioopaque unilateral.
Pengobatan
a. Pasang intubasi pada pasien dengan shok atau dengan kesulitan bernafas.
b. Pasang infus ukuran besar dan sediakan darah untuk transfusi sebelum terjadi
dekompresi.
c. Jika tersedia, pasangkan autotransfusi pada system pengumpul chest tube.
d. Lakukan thoracostomy tube dengan kateter ukuran besar (36F atau 40F) pada
celah intercostal keempat.
Chest tube kedua sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengeringkan hemothorax
dengan lebih adekwat.
Indikasi thoracotomy:
a. Dekompensasi hemodinamika atau iritabilitas yang masih berlangsung akibat
perdarahan dada.
b. Perdarahan yang ≥ 1500 mL sejak permulaan.
c. Perdarahan > 200ml/ jam yang masih berlangsung selama ≥ 4jam.
d. Hemothorax yang tidak berhasil di drainase secara tuntas, meskipun telah
menggunakan 2 chest tube yang berfungsi dan diposisikan secara benar.
e. Pertimbangkan Video Assisted Thoracoscopy (VATS) sejak dini untuk
hemothorax yang tidak tuntas di drainase atau hemothorax yang menggumpal.
Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓
Penatalaksanaan: WSD
Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama
semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil
(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous
return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP ↑, asimetris statis & dinamis
Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro
Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD
Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar
dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan
udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound . Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
Sumber: Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal
93-95.
10. Bagaimana komplikasi pada kasus di skenario?
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur maksila dan penyembuhannya, biasanya
tidak tampak hingga beberapa minggu hingga bulan setelah terjadinya trauma, tetapi potensi
kemunculannya dapat diperkirakan selama evaluasi dan perawatan.
Komplikasi yang mungkin terjadi sehubungan dengan fraktur maksila antara lain:
1. Parestesi n. infraorbital
2. Enopthalmus
3. Infeksi
4. Alat terekspos
5. Deviasi septum
6. Obstruksi nasal
7. Perubahan penglihatan
8. Nonunion
9. Malunion atau maloklusi
10. Epiphora
11. Reaksi benda asing
12. Jaringan parut
13. Sinusitis
Hemoragi post operatif dapat terjadi jika arteri dan vena tidak diligasi ketika memperbaiki laserasi,
jika reduksi tulang inadekuat dapat menyebabkan perdarahan berlanjut, jika terjadi aneurisma, atau
jika arteri sebagian terpotong. Laserasi sebaiknya diperiksa ulang sehingga hemoragi dapat
dikontrol. Hematom yang ada, sebaiknya didrainase. Pada perdarahan tulang sebaiknya dilakukan
reduksi ulang atau menggunakan bone wax. Hemoragi dari arteri utama harus segera ditangani,
apabila sumbernya tidak dapat diidentifikasi, maka perlu dilakukan arteriografi dan embolisasi.
Aneurisma dan pseudoaneurisma merupakan komplikasi trauma pada maksilofasial tetapi jarang
terjadi akibat fraktur maksila tersendiri. Karena kedekatan maksila dengan orbita, maka dapat
terjadi komplikasi yang berhubungan dengan penglihatan. Kebutaan jarang terjadi sehubungan
dengan fraktur midfasial dan paling sering terjadi pada pola fraktur yang melibatkan orbita,
seringkali dengan mekanisme jejas yang lebih berat. Kebutaan postoperatif imediet dapat
merupakan komplikasi reduksi pada fraktur Le Fort III (atau fraktur yang melibatkan orbita) dan
terjadi akibat peningkatan hemoragi atau tekanan intraorbital, spasme arteri retinal, hemoragi
retrobulbar, dan menekannya fragmen tulang pada nervus optikus. Fraktur pada dasar orbita yang
tidak terdiagnosa atau ditangani dengan tidak adekuat (sendiri atau kombinasi dengan komponen
zigoma) dapat menyebabkan terjadinya enopthalmus dan diplopia.
Komplikasi postoperatif lain yaitu salah penempatan segmen tulang atau alat fiksasi. Komplikasi
ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan klinis (misal, maloklusi) atau pemeriksaan radiografi
postoperatif. Perlu dilakukan prosedur pembedahan kedua untuk
memperbaiki komplikasi tersebut
Sumber : Fonseca RJ, Walker VW. Bett NJ, Barber HD. 2011. Oral and maxillofacial trauma.
Philadelphia: WB Saunders Co
PRIMARY SURVEY
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a. Mengenal patensi airway (inspeksi, auskultasi, palpasi)
b. Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a. Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi
b. Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid
c. - Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
- Pasang airway definitif sesuai indikasi
• Paralisis neuromuskuler
• Tidak sadar
• Takipnea
• Hipoksia
• Hiperkarbia
• Sianosis
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Stridor
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi
trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a. Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-
line immobilisasi
b. Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat
deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan
dan tanda-tanda cedera lainnya.
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (non rebreathing mask 11-12 liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Periksa nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
d. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b. Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada
ahli bedah.
c. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan
darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d. Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien
fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.
RESUSITASI
A. Re-evaluasi ABCDE
B. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan 20 mL/kg
pada anak dengan tetesan cepat
C. Evaluasi resusitasi cairan
1. Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
2. Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin ) serta awasi tanda-
tanda syok
D. Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal.
1. Respon cepat
Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan maintenance
Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau pemberian darah
Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif mungkin masih
diperlukan
2. Respon Sementara
Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan pemberian darah
Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan operatif
Konsultasikan pada ahli bedah.
3. Tanpa respon
Konsultasikan pada ahli bedah
Perlu tindakan operatif sangat segera
Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti tamponade jantung atau
kontusio miokard
Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya.
SECONDARY SURVEY
A. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat:
A : Alergi
M : Mekanisme dan sebab trauma
M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P : Past illness
L : Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.
B. Pemeriksaan Fisik
Hal yang Identifikasi/ Konfirmasi
Penilaian Penemuan Klinis
Dinilai tentukan dengan
• 13-15, cedera
kepala ringan
Kepala • Luka pada kulit • Inspeksi adanya • Luka kulit kepala • CT Scan
kepala luka dan fraktur
• Fraktur impresi
• Fraktur tulang • Palpasi adanya
• Fraktur basis
tengkorak fraktur
• Fraktur • Maloklusi
• Gangguan • Tembusnya
neurologis platisma
• Nyeri, nyeri
tekan C spine
• Nyeri punggung
hebat
• Inspeksi
perineum
• Pem. Rektum
/vagina
•Kompartemen
• Defisit
neurologis
RE-EVALUASI PENDERITA
A. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan setiap perubahan
pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.
B. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
C. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan
D. TERAPI:
Hemothorax akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto thorax, sebaiknya diterapi dengan
selang dada (Thorax tube) kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga
pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura (hemothorax atau
fibrothorax), dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya.
Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan
terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan
perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang kelur
dari selang dada merupakan faktor utama.
Hematothorax diklasifikasikan atas jumlah darah yang keluar, yaitu Minimal / ringan 350 ml,
Sedang 350 ml - 1500 ml dan masif terjadi bila perdarahan di atas 1.500 cc.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau
bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan
transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
Sumber: Wim De jong, Sjamsuhidajat. Buku ajar Ilmu Bedah; Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005. Hal 93-95.