Anda di halaman 1dari 33

INTERAKSI OBAT

HIPERTENSI

Disusun oleh :
Kelompok V
Kelas C APT XXVII

Aris Ably Lumban Toruan 3351181485


Pitalokasari Br Ginting 3351181572
Tisna Priyati 3351181453
Yulia Nurbaeti 3351181537
Yuliana Safitri 3351181423

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Afifah B. Sutjiatmo, M.S., Apt.

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 1

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 2

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 2

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Tujuan ........................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 4

2.1 Definisi Hipertensi ........................................................................................ 4

2.2 Prevalensi ...................................................................................................... 5

2.3 Klasifikasi Hipertensi ................................................................................... 5

2.4 Faktor Resiko dan Diagnosis ....................................................................... 7

2.5 Patofisiologi ................................................................................................... 9

2.6 Terapi Hipertensi ....................................................................................... 12

2.6.1 Terapi Non-Farmakologi .................................................................... 13

2.6.2 Terapi Farmakologi ............................................................................ 16

2.7 Interaksi Obat ............................................................................................. 23

2.8 Studi Kasus ................................................................................................. 26

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 32

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2020
penyakit tidak menular akan menyebabkan 73,0% kematian dan 60,0% seluruh
kesakitan di dunia. Negara yang diperkirakan paling besar merasakan
dampaknya adalah negara berkembang termasuk Indonesia.
Salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan
yang sangat serius saat ini adalah hipertensi. Menurut American Heart
Association {AHA}, penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun
menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun
hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi
merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada masing-masing
individu, dan si penderita tidak mengetahui penyakit yang telah dideritanya.
World Health Organization (2011) mencatat ada satu miliar orang yang terkena
hipertensi, dan akan terus meningkat seiring jumlah penduduk yang membesar.
Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara
berkembang. Di Indonesia prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi
Kalimantan Selatan 39,6% sedangkan terendah di Papua Barat 20,1%.
Prevalensi hipertensi nasional berdasarkan pengukuran adalah 28,3%. Provinsi
dengan prevalensi tertinggi tetap Kalimantan Selatan 35,0%, yang terendah
juga tetap Papua Barat (17,6%).
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2013), prevalensi hipertensi di
Indonesia ditentukan berdasarkan pengukuran tekanan darah pada penduduk
dengan umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8%.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari penyakit Hipertensi ?
2. Bagaimana prevalensi Penyakit Hipertensi ?

2
3. Bagaimana Klasifikasi Hipertensi?
4. Bagaimana patofisiologi Penyakit Hipertensi ?
5. Bagaimana faktor resiko dari Penyakit Hipertensi ?
6. Bagaimana terapi non-farmakologi dan farmakologi penyakit Hipertensi ?
7. Bagaimana interaksi obat pada penyakit Hipertensi ?
8. Bagaimana contoh studi kasus penyakit Hipertensi ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi dari penyakit Hipertensi
2. Mengetahui prevalensi dari penyakit Hipertensi
3. Mengetahui klasifikasi hipertensi
4. Mengetahui patofisiologi dari penyakit Hipertensi
5. Mengetahui faktor risiko dari penyakit Hipertensi
6. Mengetahui terapi non-farmakologi dan farmakologi penyakit Hipertensi
7. Mengetahui interaksi obat pada penyakit Hipertensi
8. Mengetahui dan memecahkan masalah studi kasus terkait penyakit
Hipertensi

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri
yang persisten. Penderita dengan tekanan darah diastolik (TDD) kurang dari 90
mmHg dengan tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar sama dengan 140
mmHg mengalami hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi merupakan suatu
kelainan, suatu gejala dari gangguan pada mekanisme regulasi tekanan darah.
Hipertensi sering disebut pembunuh diam-diam (sillent killer) karena
hanya menimbulkan beberapa gejala atau tidak ada sama sekali. Seseorang
dapat menderita hipertensi selama bertahun-tahun tanpa mengetahuinya. Sekitar
65 juta penduduk di Amerika yang menderita hipertensi dan hampir
sepertiganya tidak mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi. Pada
umumnya resiko terpenting adalah serangan otak (stroke, dengan kelumpuhan
separuh tubuh) akibat pecahnya suatu kapiler dan mungkin juga infark jantung.
Begitu pula kerusakan pada ginjal dan pembuluh mata, yang dapat
mengakibatkan kemunduran penglihatan. Komplikasi otak dan jantung tersebut
sering bersifat fatal.

Tabel 2.1: Klasifikasi Menurut JNC 8


(Joint National Committe on Prevention, Detection, Evaluatin, and Treatment
of High Blood Pressure)

Kategori Tekanan Tekanan Darah Sistol Tekanan Darah Distol


Darah menurut JNC 8 (mmHg) (mmHg)

Normal < 120 < 80

Pra- Hipertensi 120- 139 80 -89

Hipertensi:
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 ≥ 160 ≥ 100

4
2.2 Prevalensi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013
menyatakan bahwa prevalensi hipertensi tertinggi terjadi di Afrika (46%) dan
terendah di Amerika (35%). WHO juga menyebutkan bahwa negara-negara
berpenghasilan tinggi memiliki prevalensi yang lebih rendah dibandingkan
dengan negara yang pendapatannya rendah.
G
a
m
b
a
r

2
.
1
.

P
revalensi Hipertensi Berdasarkan Hasil Pengukuran Tekanan Darah di Indonesia

Gambar 2.1 menunjukkan prevalensi hipertensi berdasarkan


pengukuran yang memperlihatkan penurunan yang sangat berarti dari 31,7
persen tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Prevalensi tertinggi di
provinsi Bangka Belitung 30,9% dan Papua yang terendah 16,8% .

2.3 Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :


a. Hipertensi primer (essensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan
arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik
normal. Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari

5
kasus hipertensi (Wibowo, 1999). Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi
merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan,
hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa
mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah
diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis
hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu
keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang
peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila
ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan
poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan
natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang
merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron,
steroid adrenal, dan angiotensinogen.
b. Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua
selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini
menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi. (Sheps, 2005). Kurang dari
10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau
obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel 1).
Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-
obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan
hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah.
Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat
diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau
mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder.

6
Berdasarkan bentuk hipertensi :

a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan


diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada
anak-anak dan dewasa muda.
b. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan
sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan
pada usia lanjut.
c. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan
tekanan darah pada sistol dan diastol.

2.4 Faktor Resiko dan Diagnosis


Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor risiko tambahan (lihat tabel 2), tetapi kebanyakan asimptomatik.
Faktor risiko mayor
Hipertensi
Merokok
Obesitas (BMI ≥30)
Immobilitas
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55
tahun atau perempuan < 65 tahun)

Kerusakan organ target


Jantung : Left ventricular hypertrophy
Angina atau sudah pernah infark miokard
Sudah pernah revaskularisasi koroner
Gagal jantung
Otak : Stroke atau TIA

7
Penyakit ginjal kronis
Penyakit arteri perifer
Retinopathy
BMI = Body Mass Index; GFR= Glomerular Filtration Rate; TIA = Transient
Ischemic Attack

Tabel 2.2. Faktor-faktor resiko kardiovaskular

Diagnosis pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:


1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.
2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler,
beratnya penyakit, serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit
penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan.
Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi, lama
menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti
penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya, riwayat
penyakit dalam keluarga, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok,
konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan keluarga,
pekerjaan, dan lain-lain). Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk
tubuh, termasuk berat dan tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah
diukur pada kedua lengan, dan dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan
berdiri sehingga dapat mengevaluasi hipotensi postural. Palpasi leher dilakukan
untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian terhadap tanda hipo- atau

8
hipertiroid serta memeriksa adanya distensi vena. Pemeriksaan pada jantung
dapat menunjukkan abnormalitas dari laju dan ritme jantung, peningkatan
ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi jantung ketiga dan keempat.

2.5 Patofisiologi
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri
dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur,
tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS
diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi
sewaktu bilik jantung diisi.
Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang
mempengaruhi rumus dasar (Yogiantoro, 2006) :
tekanan darah =curah jantung ×tahanan perifer
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi
esensial antara lain:
1. Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat
berpengaruh terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar
kasus hipertensi esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan
perifernya meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot
halus yang terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot
halus akan berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible.
2. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume
cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin
merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan

9
darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai
respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, atau pun
respon dari sistem saraf simpatik. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah
melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-
converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting
dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan
diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE
yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II
(oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar
meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor
melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon anti diuretik (ADH) dan rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan keluar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya.Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler.
Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan
darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.

10
3. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang
penting dalam mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi
karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon.
4. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktiflokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptide endotelium.
Disfungsi endothelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara
klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari oksida nitrit.
5. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari
dinding pembuluh darah (disfungsi endothelium atau kerusakan sel
endotelium), ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis.
Diduga hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi
yang semakin lama akan semakin parah dan merusak organ target.
Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi.
6. Disfungsi Diastolik
Hipertropiventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat
beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal dan penurunan tekanan
ventrikel.
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi
secara potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut
adalah:

11
 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial dan sebagainya.
 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan
vasokonstriktor
 Asupan natrium (garam) berlebihan
 Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosteron
 Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan
peptidenatriuretik
 Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi
tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal
 Diabetes mellitus
 Resistensi insulin
 Obesitas
 Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
 Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
 Berubahnya transpor ion dalam sel

2.6 Terapi Hipertensi


Tujuan Terapi
a) Mengurangi morbiditas dan mortilitas.
b) Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari 140/90 untuk hipertensi
tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk penderita diabetes mellitus
serta ginjal kronik.

12
c) TDS merupakan indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular daripada
TDD dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol
hipertensi.

2.6.1 Terapi Non-Farmakologi


Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting
untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting
dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan
hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah
terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel sesuai dengan
rekomendasi dari JNC VIII. Disamping menurunkan tekanan darah pada
pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat
mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien
dengan tekanan darah prehipertensi (He et al., 2000).
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan
tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obesitas
atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; mengurangi asupan
natrium; melakukan aktifitas fisik seperti aerobik; mengurangi konsumsi
alkohol; dan menghentikan kebiasaan merokok (Muhadi, 2016). Penderita
yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan pada terapi
modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan (Sukandar et al.,
2008).

13
Tabel 2.2 Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi*
Modifikasi Rekomendasi Perkiraan
Penurunan Tekanan
Darah (Range)
Penurunan berat badan Rekomendasi penurunan berat 5-20
(BB) badan dilakukan dengan cara mmHg/penurunan 10
mengurangi asupan kalori dan kg BB
meningkatkan aktivitas fisik,
pelihara berat badan normal (BMI
18,5 – 24,9).
Adopsi pola makan Diet kaya dengan buah, 8-14 mmHg

DASH sayur, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan


lemak jenuh dan total lebih sedikit, kaya potassium dan
kalsium
Diet rendah sodium Mengurangi asupan sodium, tidak 2-8 mmHg
lebih dari 100 mmol/hari (2,4 g
sodium atau 6 g sodium klorida)
Aktifitas fisik Melakukan aktifitas fisik aerobik 4-9 mmHg
seperti jalan kaki 30 menit/hari,
beberapa hari/minggu
Minum alkohol sedikit Batasi minum alkohol tidak lebih 2-4 mmHg
saja dari 2 minuman/hari untuk laki-
laki dan 1 minuman/hari untuk
perempuan
Singkatan: BMI, body mass index, BB, berat badan, DASH, Dietary Approach to Stop
Hypertension
* Berhenti merokok, untuk mengurangi risiko kardiovaskuler secara keseluruhan

JNC VIII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya
dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak
dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2,4 g (100
mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga
aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu
ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan jika olah raga aerobik,
seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan sepeda, dapat
menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa
disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk
mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan

14
kerusakan organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama independen
untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus
dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan oleh
merokok.
Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien
mengerti rasionalitas intervensi diet (Dosh, 2001):
a. hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang
dengan berat badan ideal;
b. lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight);
c. penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4,5 kg) dapat
menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk;
d. obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga
prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat
berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit
kardiovaskular (Sacks et al., 2001);
e. diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat
menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi (Vollmer et
al. 2001);
f. walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,
kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik
dengan pembatasan natrium (Whelton et al., 2002).

15
2.6.2 Terapi Farmakologi

16
Berdasarkan JNC 8, target terapi dan pilihan regimen dalam
penatalaksanaan hipertensi adalah sebagai berikut :

Kondisi Pilihan Obat

Normal - Tunggal: ACEi ARB, CCB, atau diuretik


- ACEi atau ARB + diuretik; serta ACEi atau ARB
+ CCB
CKD - ACEi atau ARB
Diabetes Melitus - First line ; ACEi atau ARB
- Second line ; CCB
- Third line ; diuretik atau BB
Heart Failure - ACEi atau ARB + BB + diuretik + spironolakton
Post MI - BB + ACEi atau ARB
CAD - ACEi, BB, ACEi, diuretik, CCB
Pencegahan - ACEi, diuretik
Kekambuhan
Stroke
Kehamilan - Labetolol (First line), nifedipin, metildopa

Penggolongan Obat Antihipertensi


1 Diuretik
Mekanisme diuretik adalah bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air
dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme
tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang
interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya
menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti
golongan tiazid yang mulai menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil
sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung
akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada.
Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer. Penggunaan diuretik
sampai sekarang golongan tiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi

17
karena terbukti paling efektif dalam menurunkan risiko kardiovaskular. Efek
samping pada diuretik golongan tiazid dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang menderita digitalis. Tiazid
juga dapat menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesemia serta hiperkalsemia.
Selain itu, tiazid juga dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal, dan pada
pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan diuretik adalah Golongan
Tiazid (hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon), Diuretik kuat
(Furosemid, Bumetanid, dan Torsemide), Diuretik hemat kalium (Amilorid,
Spironolakton, dan Triamteren).

2 Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)


Mekanisme ACE-inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I
menjadi Angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-
inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium
dan retensi kalium. Penggunaan ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan,
sedang, maupun berat. Efek samping yang timbul diantaranya hipotensi, batuk
kering, hiperkalemia, ras, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria,
efek teratogenik. Obat-obat yang termasuk kedalam golongan ACE-
inhibitoradalah Captropil, Benazepril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril,
Perindopril, Quinapril, Ramipril, Trandolapril.

3 Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)


Mekanisme ARB menahan langsung reseptor angiotensin tipe 1 (AT1),
reseptor yang memperantarai efek angiontensin 2 menimbulkan efek
vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon

18
antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferin glomerulus. ARB menimbukan efek
yang sama dengan ACE-inhibitor, tetapi karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin, maka obat ini tidak memiliki efek samping batuk kering
dan angioedema. Bradikinin cukup penting untuk regresi hipertropiniasit dan
fibrosis, serta meningkatnya level aktivator jaringan plasminogen. Semua obat
pada tipe ini memiliki kesamaan efikasi dan memiliki hubungan antara dosis –
respon yang linier. Kontraindikasi dari ACE-inhibitor, ARB dikontraindikasikan
pada kehamilan trimester 2 dan 3, dan harus segera dihentikan bila pengguna
dalam keadaan hamil. Tidak dianjurkan pada wanita menyusui, stenosis arteri
renalis bilateral atau stenosis pada ginjal yang masih berfungsi. Obat-obat yang
termasuk kedalam golongan antagonis reseptor angiotensin II adalah Losartan,
Valsartan, Irbesartan, Telmisartan, dan Candesartan.

4 β-Bloker
Mekanisme β-Blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1,
antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel-sel
jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II; (3)
efek sentral yang mempengaruhi aktivitas baroreseptor, perubahan aktivitas
neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin. Penggunaan
β-Blocker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai
sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner, aritmia. Efek
samping β-Blocker dapat menyebabkan bradikardi, blokade AV, hambatan nodus
SA dan menurunkan kekuatan kontraindikasi miokard. Kontra indikasi dari β-
Blocker dikontraindikasikan pada keadaan bradikardia, blokade AV derajat 2 dan
3, sick sinus syndrome dan gagal jantung. Obat-obat yang termasuk kedalam
golongan β-Blocker adalah Kardioselektif (Asebutolol, Atenolol, Bisoprolol,
Metoprolol), Nonselektif (Nadolol, Propanolol, Timolol).

19
5 Penghambat Reseptor α1
Prazosin, terazosin, dan doxazosin merupakan penghambat reseptor α1
yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vaskular perifer yang
memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor
α2 sehingga tidak menimbulkan efek takikardia.
Efek samping berat yang mungkin terjadi merupakan gejala dosis awal
yang ditandai dengan hipotensi ortostatik yang disertai dengan pusing atau
pingsan sesaat, palpitasi, dan juga sinkope dalam satu hingga tiga jam setelah
dosis pertama atau terjadi lebih lambat setelah dosis yang lebih tinggi. Hal ini
dapat dihindari dengan cara pemberian dosis awal dan diikuti dengan
peningkatan dosis awal pada saat akan tidur. Terkadang, pusing ortostatik
berlanjut dengan pemberian konik. Obat-obat yang termasuk kedalam golongan
penghambat reseptor α adalah Prazosin, terazosin, dan doksazosin.

6 Agonis α2 adrenergik pusat


Klonidin, guanabenz, guanfasin, dan metildopa menurunkan tekanan
darah pada umumnya dengan cara menstimulasi reseptor α2 adrenergik di otak,
yang mengurangialiran simpatetik dari pusat vasomotor dan meningkatkan tonus
vagal. Stimulasi reseptor α2 persinaptik secara perifer menyebabkan penurunan
tonus simpatetik. Oleh karena itu, dapat terjadi penurunan denyut jantung, curah
jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor.
Penggunaan kronik menyebabkan retensi air dan natrium, hal ini terlihat
pada penggunaan metildopa. Dosis rendah klonidin, guanafasin, atau guanabens
dapat digunakan untuk menangani hipertensi ringan tanpa penambahan diuretik.
Sedasi dan mulut kering merupakan efek samping umum yang dapat
dihilangkan dengan pemberian dosis rendah kronik. Sebagaimana pemberian
antihipertensi yang bekerja secara sentral, obat ini juga dapat menyebabkan
depresi.

20
7 Reserpin
Reserpin mengosongkan norefineprin dari saraf akhir simpatik dan
memblok transport norefineprin kedalam granul penyimpanan. Pada saat saraf
terstimulasi, sejumlah norefineprin dilepaskan kedalam sinaps. Pengurangan
tonus simpatik menurunkan resistensi perifer dan tekanan darah.
Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan dengan
signifikan sehingga perlu diberikan bersama dengan diuretik tiazid. Efek
samping yang paling serius adalah berhubungan dengan dosis yaitu depresi.
Depresi ini disebabkan oleh kosongnya katekolamin dan serotonin disistem saraf
pusat. Hal ini dapat diminimalkan dengan cara pemberian tidak lebih dari 0,25
mg/hari.

8 Vasodilator
Mekanisme kerja hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos
arteriol dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan. Sedangkan otot polos
vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek
kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut
jantung, peningkatan renin dan norepinefrin plasma. Hidralazin menurunkan
tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif bekerja pada arteriol,
maka hidralazin jarang menimbulkan hipotensi ortostatik. Penggunaannya
digunakan sebagai obat kedua atau ketiga setelah diuretik dan β-Blocker.
Efek samping dapat menimbulkan sakit kepala, mual, hipotensi,
takikardia, palpitasi, angina pektoris, iskemia miokard pada pasien PJK,
hepatoksisitas. Obat-obat yang termasuk kedalam golongan vasodilator adalah
Hidralazin, Minoksidil, Diazoksid, dan Natrium Nitroprusid.

9 Inhibitor simpatetik post ganglion


Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepineprin dari terminal
saraf simpatik post ganglion dan inhibisi pelepasan norepineprin terhadap respon

21
stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah jantung dan retensi vaskular
perifer.
Hipotensi ortostatik umumnya terjadi karena blokade refleks mediasi
vasokontriksi. Efek samping lainnya adalah disfungsi ereksi, diare, dan
kegemukan. Karena efek samping tersebut, inhibitor simpatetik post ganglion
memiliki peranan yang kecil terhadap pengobatan hipertensi.

10 Penghambat Saluran Kalsium


Penghambat saluran kalsium menyebabkan relaksasi jantung dan otot
polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan
(voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke
dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan
berhubungan dengan reduksi tekanan darah.
Antagonis kanal kalsium dihidropiridini dapat menyebabkan aktifasi
refleks simpatetik dan semua golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek
inotoprik negatif. Pengunaan untuk hipertensi dengan kadar renin rendah.
Obat-obat yang termasuk kedalam golongan penghambat saluran kalsium
adalah Nifedipin, Amlodipin, Felodipin, Isradipin, Nicardipin, Nisoldipin, dan
ditiazem.

22
2.7 Interaksi Obat
Efek yg
Obat A Obat B Mekanisme Interaksi Penanganan
Ditimbulkan
ACEi Antasid Efek Antasida (Al, Mg) Interval waktu
antihipertensi menghambat absorpsi pemberian, antasida
menurun ACEi. diminum 2 jam
sebelum ACEi
ACEi Rifampicin Efek Rifampicin Meningkatkan dosis
antihipertensi meningkatkan ACEi
menurun metabolism ACEi di
hati.
ACEi Probenbesid Efek Probenesid Menurunkan dosis
antihipertensi menurunkan klirens ACEi
meningkat atau ekskresi ACEi
B-bloker Bupropion Efek Bupropion Menurunkan dosis b-
antihipertensi menghambat bloker
meningkat, metabolisme
hipotensi, metorpolol
B-bloker Simetidin Efek Simetidin menghambat Menurunkan dosis b-
antihipertensi metabolism b-bloker, bloker atau
meningkat, meningkatkan kadarnya menggunakan H2-
hipotensi dalam darah. bloker lain seperti
famotidine dan
ranitidine.
B-bloker Terbinafin Efek Terbinafin Menurunkan dosis b-
antihipertensi menghambat bloker.
menigkat metabolimse b-bloker,
meningkatkan kadarnya
dalam darah.

23
ß-bloker Antasida Menurunkan Antasida menurunkan Interval waktu
efek pemblok absorpsi obat pemberian
beta antihipertensi gol.
Pemblok beta
ß-bloker Simetidin Bradikardi, Simetidin Menurunkan dosis b-
(propanolol) aritmia jantung meningkatkan efek bloker atau alternative
propanolol dengan lain famotidine dan
menghambat ranitidin
metabolisme enzim di
hati
ß-bloker teofilin Asma tidak Meningkatkan efek Kontraindikasi dengan
(propanolol) sembuh teofilin dengan b-bloker nonselektif
menghambat atau alternative
metabolisme teofilin, diberikan b-bloker
meningkatkan kadam kadioselektif
serum b-bloker
ß-bloker barbiturat Efek B-bloker Barbiturat
menurun, meningkatkan
tekanan darah metabolisme dan
tetap tinggt klirens obat lain dari
tubuh
Guanetidin Metilfenid Efek guanetidin Efek kedua obat Dikontraindikasin
at dilawan, tekanan berlawanan
darah tetap
tinggi
Guanetidin Antidepres Efek guanetidin IMAO mengurangi Meningkatkan dosis
an dapat berkurang aktivitas guanetidin. guanetidin
(IMAO)

24
Guanetidin Antidepres Efek guanitidin Anti depresan siklik Meningkatkan dosis
an (Siklik) dapat berkurang menghambat efektifitas guanetidin
efek guanetidine
Guanetidin Efedrin Efek guanetidin Dokengestan hidung Dikontraindikasikan
Pseudoefe menurun melawan efek
drin antihipertensi.
Fenilpropa
nolamin
Diuretika Kortikosteroida Gejala kehilangan kalium: Farmakodinamika sinergis
lemah otot atau kejang,
pengeluaran
Pemblok Alkohol Efek antihipertensi meningkat, Propanolol dalam darah
beta tekanan darah turun terlalu meningkat dengan alkohol
rendah
ß-bloker CCB bradikardia, memperlambat nifedipine mengurangi
(nifedifin) denyut jantung kontraktilitas dari otot
jantung, efek inotropik
negatif pada jantung, yang
dapat aditif jika diberikan
bersama b-bloker
ß-bloker Efedrin Tekanan darah tidak terkendali Farmakodinamik antagonis
(propanolol)
Diuretika Obat Jantung Diuretik menyebabkan Peningkatan ekskresi kalium
Digitalis gangguan elektrolit sehingga dan magnesium yang
menyebabkan gangguan mempengaruhi tindakan otot
aritmia yang disebabkan oleh jantung sehingga
digitalis menurunkan serum kalium

25
Kaptopril Diuretika Meningkatkan efek kaptopril Farmakodinamika sinergis
dan diuretika

B-bloker Vasodilator Meningkatkan efek pemblok Meningkatkan vasodilatasi,


(hidralazin) beta efek sinergis

Diuretik NSAIDS Gangguan ginjal akut NSAID dan triamterene


(Triamteren dapat memicu gangguan
) ginjal akut.
Diuretik Salbutamol bradikardia, aritmia jantung Salbutamol dapat
Bronkodilator menyebabkan hipokalemia,
efek sinergis dengan diuretik
(kuat dan thiazide)
Guanetidin Norepinefrin Efek Antihipertensi turun Norepineftrin menstimulasi
vasokontriksi sehingga
tekanan darah tetap tinggi.

2.8 Studi Kasus


Seorang penderita pasien tukak lambung datang ke dokter dengan
keluhan tengkuk rasa kaku, berdebar, pusing kepala, batuk, demam lalu dokter
mengukur tekanan darah (150/95 mmHg), kadar glukosa puasa 150mg/dl,
kadar kolesterol total 83 mg/dl.

dr. Ario, Sp.PD


SIP. 458/MENKES/2015/2020
Jl. Samudera Maya Telp. 0967-522977

Jayapura, 02/02/2019
R/ Simetidin tab 300 mg No. XV
S.2.dd tab I dc
Kaptopril tab 25 mg No. XXX
S.2.dd tab I
Glucovance tab No. XXX
S.1.dd tab I

Pro : Tn. A 26
Umur : 35 thn (60 kg)
• Subjek : Tengkuk rasa kaku, berdebar, pusing, batuk dan demam

• Objek : tekanan darah 150/95 mmHg, kadar glukosa puasa


150mg/dl, kadar kolesterol total 83 mg/dl

• Assestment : Pasien menderita hipertensi tingkat I dengan penyakit


penyerta DM. Simetidin menghambat metabolisme kaptopril
dan glucovance (glibenklamid) menyebabkan kadar kedua
obat meningkat dalam darah (mekanisme farmakokinetik).

• Planning : Penggantian obat tukak menjadi ranitidin karena bukan


inhibitor enzim di hati sehingga tidak terjadi interaksi obat.
Penyesuaian dosis kaptopril dan glucovance. Monitoring
kadar gula darah dan tekanan darah pasien secara berkala.

KONSELING PASIEN

Apoteker : Selamat siang pak, saya apoteker di Unjani Farma. Ada yang
bisa saya bantu ?

Pasien : Saya ingin menebus resep ini bu.

Apoteker : Silahkan duduk pak, saya akan menyiapkan obat bapak.

(beberapa menit kemudian)

Apoteker : Dengan bapak siapa ? Dan alamatnya dimana ?

Pasien : Pak Adi dari Jayapura.

Apoteker : Baik sudah benar, bagaiman penjelasan dokter menganai obat bapak ?

Pasien : dokter bilang saya dikasih obat hipertensi, gula dan obat lambung.

Apoteker : Apa yang dokter jelaskan tentang cara penggunaan obat bapak ?

Pasien : Dokter hanya menjelaskan obat diminum setelah makan.

27
Apoteker : Bagaimana penjelasan dokter tentang harapan setelah meminum obat
bapak ?

Pasien : Dokter bilang saya bisa lemas dan mual.

Apoteker : Baik pak, sebelumnya saya memohon waktunya 10 menit untuk


konseling. Tujuan konseling ini agar terapi yang akan bapak jalankan
dapat optimal dan menghindari kegagalan dalam terapi. Apa bapak
bersedia?

Pasien : Iya saya bersedia bu.

Apoteker : Bapak saya akan menyiapkan obatnya terlebih dahulu.

(Apoteker pergi ke ruang obat lalu menelepon dokter untuk mendiskusikan resep
Tn. Adi yang terdapat interaksi obat antara simetidin dengan kaptopril dan
glucovance dan apoteker memberikan rekomendasi untuk mengganti simetidin
dengan famotidine atau ranitidine, dokter menyetujui saran dari apoteker)

Apoteker : Terimakasih pak telah menunggu, saya sudah berdiskusi dengan dokter
dan telah disetujui untuk obat lambung yang diresepkan dokter diganti
dengan ranitidine dikarenakan adanya interaksi obat yang dapat
menurunkan khasiat dari obat hipertensi dan gula darah. Apakah bapak
tidak keberatan ?

Pasien : Lah, bagaimana bu ko jadi diganti apa tidak berbahaya ? Apa bedanya
dengan obat yang ada di resep dengan ranitidine?

Apoteker : Begini bapak, obat yang di resep tertulis simetidin sedangkan simetidin
ini jika diberikan bersamaan dengan obat hipertensi dan gula darah akan
menyebabkan khasiat obat-obat tersebut menurun sehingga tekanan
darah bapak tetap tinggi dan gula darahnya tetap tinggi. Sedangkan obat
penggantinya tentu aman karena memiliki efek yang sama,
perbedaannya obat ranitidine ini tidak berinteraksi dengan obat
hipertensi dan gula darah bapak sehingga efek yang diinginkan akan

28
lebih efektif dan tercapai. Begitu pak, bagaimana penjelasan saya sudah
cukup jelas dan dipahami?

Pasien : Oh jadi itu alasannya, baiklah saya bersedia bu.

Apoteker : Bapak dokter meresepkan 3 obat. Obat pertama tablet kaptopril 25 mg


yang berkhasiat menurunkan tekanan darah untuk dikonsumsi selama 15
hari. Diminum sehari 2 kali 1 tablet setiap 12 jam bersama dengan
makanan. Penggunaan kaptopril dapat menyebabkan batuk, demam.
Apabila timbul batuk bapak bisa mengonsumsi ramuan herbal seperti
mengonsumsi air rebusan jahe yang diberi madu. Obat kedua yaitu
Glucovance berkhasiat menurunkan kadar gula darah bapak dan
dikonsumsi selama 30 hari. Obat ini diminum sehari 1 kali 1 tablet pada
saat sarapan beramaan dengan suapan pertama. Penggunaan obat ini
dapat menyebabkan lemas sehingga bapak disarankan untuk banyak
istirahat.

Apoteker : Obat yang terakhir ini ranitidine 300 mg untuk mengobati penyakit
lambungnya dan dikonsumsi selama 8 hari. Obat ini diminum sehari 1
kali 1 tablet setelah makan malam atau sebelum tidur.

Pasien : Bu saya kan kadang lupa waktu, kalau misalkan saya terlupa minum
obat gimana ya bu ?

Apoteker : Apabila bapak lupa meminum obat pada waktu tertentu, minum obatnya
sebisa mungkin ketika bapak ingat tapi jika lupanya pada saat sudah
dekat waktu minum selanjutnya biarkan tidak diminum obatnya dan
minum obat waktu berikutnya tidak boleh digandakan meminumnya ya
pak.

Pasien : Oh iya saya mengerti bu.

Apoteker : Apa penjelasan dari saya sudah cukup jelas pak ?

Pasien : Sudah bu.

29
Apoteker : Baiklah kalau begitu, apabila bapak sudah mengerti, bisakah bapak
mengulang kembali penjelasan saya tadi ?

Pasien : Obat pertama tablet kaptopril 25 mg yang berkhasiat menurunkan


tekanan darah untuk dikonsumsi selama 15 hari. Diminum sehari 2 kali
1 tablet setiap 12 jam bersama dengan makanan. Penggunaan kaptopril
dapat menyebabkan batuk, demam. Apabila timbul batuk bapak bisa
mengonsumsi ramuan herbal seperti mengonsumsi air rebusan jahe yang
diberi madu. Obat kedua yaitu Glucovance berkhasiat menurunkan
kadar gula darah bapak dan dikonsumsi selama 30 hari. Obat ini
diminum sehari 1 kali 1 tablet pada saat sarapan bersamaan
dengan suapan pertama. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan lemas
sehingga bapak disarankan untuk banyak istirahat. Obat yang terakhir
ini ranitidin 300 mg untuk mengobati penyakit lambungnya dan
dikonsumsi selama 8 hari. Obat ini diminum sehari 1 kali 1 tablet
setelah makan malam atau sebelum tidur.

Apoteker : Iya sudah lengkap informasinya. Apa ada pertanyaan lagi pak mengenai
obatnya ?

Pasien : Tidak bu apoteker, sudah sangat jelas.

Apoteker : Baiklah kalau begitu, jika bapak mengalami efek samping atau masalah
lain bapak bisa menghubungi saya ke nomor ini.

Pasien : Wah ibu baik sekali, kalau begitu saya pulang ya bu. Terimakasih
banyak.

Apoteker : Silahkan pak, sama-sama semoga lekas sembuh.

30
BAB III
KESIMPULAN

1. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (TDS) mencapai lebih


dari 140 mmHg atau tekanan diastolik (TDD) lebih besar dari 90 mmHg..
2. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan data dari Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 yang didapat melalui pengukuran pada usia
≥18 tahun sebesar 25,8%.
3. Terapi non-farmakologi untuk pasien hipertensi dilakukan dengan cara
mengurangi asupan natrium dan menerapkan gaya hidup sehat.
4. Terapi farmakologi untuk pasien hipertensi adalah memberikan obat golongan
diuretik, 𝛽-blocker, Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACEI),
Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker
(CCB), 𝛼2 -agonis sentral, inhibitor adrenergik dan vasodilator.
5. Interaksi obat hipertensi terjadi melalui mekanisme farmakokinetik dan
farmakodinamik dengan respon dapat meningkatkan efek ataupun
menurunkan efek obat lain.

31
DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2012. Mengenal Penyalahgunaan dekstrometorfan, Info POM,. 13(6): 4.


ISSN 1829- 9334.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Dosh SA. 2001. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults.
J.Fam Pract;50:707-712

Dipiro, J.T., Robert L.T., Gary C.Y., Gary R.M., Barbara G.W & L. Michael P.
2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th edition. The
McGraw-Hill Companies.

Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-Based Guideline. Penanganan Pasien Hipertensi


Dewasa. CDK-236 1 (43): 54-59.

Riskesdas. 2013. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).


Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Sukandar, E.Y., et al. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT. Isfi Penerbitan.

32

Anda mungkin juga menyukai