Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat dan

Penggunaan Zat Psikoaktif Lainnya Dengan

Sindrom Ketergantungan (F19.20)

Oleh
Rizki Amalia Sari
I4A011020

Pembimbing
dr. Yulizar Darwis, Sp.KJ, MM

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa


Fakultas Kedokteran UNLAM/RSUD ULIN
Banjarmasin
Desember, 2015

1
LAPORAN PEMERIKSAAN PSIKIATRI

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.AF

Usia : 23tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jln. Antasan Kecil Timur RT 16

Pendidikan : SMP (tidak tamat)

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Agama : Islam

Suku : Banjar/Indonesia

Status : Belum menikah

RMK : 00 96 03

II. RIWAYAT PSIKIATRIK

Autoanamnesa pada hari Senintanggal 7 Desember 2015, jam 15.00 WITA di Jln.

Antasan Kecil Timur RT 16 (rumah os).

A. KELUHAN UTAMA

Kontrol ulang

2
KELUHAN TAMBAHAN

Gelisah, mudah marah.

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pada pertengahan tahun 2001 pasien sudah mengonsumsi obat-obatan

seperti Zenith, Leksotan, Double L, dan dektro. Sekali minum pasien dapat

meraup hingga 50 butir dalam sehari. Pasien merasa nyaman dan tenang bila

mengonsumsi obat tersebut. Pasien tidak merasakan apa-apa bila tidak

mengonsumsinya, kecuali Dextro. Bila pasien tidak mengomsumsi dextro sehari

saja maka pasien akan gelisah dan tidak dapat tidur dengan tenang. Pasien

mengenal dan mendapatkan obat tersebut pertama kali dari teman-temannya.

Selain itu pasien juga meminum-minuman keras seperti Malaga, bir, gaduk

(alkohol 95%) dicampur kuku bima, dalam sehari pasien dapat mehabiskan 1-3

botol. Pasien juga merokok 2-4 bungkus dalam sehari. Pasien melakukannya

setiap hari. Pasien mengaku mulai mengkonsumsi obat-obat terlarang dan alkohol

awalnya karena diajak teman-temannya.

Pada pertengahan tahun 2003, pasien sering bicara sendiri. Ketika ditanya

bicara dengan siapa, dikatakan pasien mendengar bisikan dari seorang laki-laki

yang mengajaknya bicara. Pasien juga tampak sering melamun dan jika malam

tampak sulit tidur. Pasien gelisah jika tidak tidur, tapi tidak sampai menimbulkan

keributan.

Pada awal tahun 2007 pasien sudah mulai mengamuk. Pasien mengamuk

seperti menghempaskan kursi dan memecahkan kaca, pasien juga suka memukuli

3
ibu dan orang sekitarnya. Pasien mengeluarkan kata-kata kasar bila mengamuk

dan sering mengancam membunuh pada warga sekitar. Pasien mulai merasa

curiga dengan orang sekitar karena pasien merasa orang tersebut membicarakan

hal-hal jelek mengenai dirinya.

Pada pertengahan 2008 pasien masuk RS Anshari Shaleh dan dirawat inap

karena mengamuk. Pasien hanya dirawat selama 10 hari, kemudian rawat jalan

dan pasien mengaku tidak pernah putus pengobatan.

Pada 30 November 2011 pasien kembali dirawat inap di RSJ Sambang

lihum karena mengamuk, mengancam, memukuli orang sekitar dan percobaan

bunuh diri dengan mengiris tangannya dengan pisau. Pasien dirawat selama 3

bulan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak ada riwayat trauma kepala, demam dengan penurunan

kesadaran, kejang atau sakit berat lainnya.

C. RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI

1. Riwayat Antenatal dan Prenatal

Selama pasien dalam kandungan, ibu pasien tidak pernah mengalami masalah

kehamilan yang serius. Lahir cukup bulan, dilahirkan spontan, langsung

menangis, dan tidak ada cacat bawaan.

4
2. Basic Trust vs Mistrust

Pasien tidak pernah kejang saat bayi, pasien mengonsumsi ASI saja hingga

umur 3 bulan. Setelah itu pasien diberikan juga air tajin dan bubur sebagai

tambahan.

3. Riwayat Masa Kanak-Kanak (1,5-3 tahun ) = Autonomy vs Shame, Doubt

Pasien sering bermain dengan anak seusianya tanpa ada pengawasan.

4. Riwayat Masa Prasekolah ( 3 – 6 tahun ) = Initiative vs Guilt

Pasien bersekolah di taman kanak-kanak dekat rumah, diantar dan dijemput

ibu pasien.

5. Riwayat Masa Sekolah (6 – 12 tahun) = Industry vs Inferiority

Pasien melanjutkan ke jenjang pendidikan SD. Pasien dengan lancar membaca,

menulis dan mengikuti pelajaran sekolah. Namun pasien selalu berangkat dan

pulang sekolah sendiri bersama teman tanpa pengawasan orang tua. Usia 9

tahun pasien dikenalkan obat-obatan serta alkohol oleh teman-temannya dan

pasien mulai mengonsumsi. Jenis obat-obatannya berupa Zenith, Double L, dan

dextro. Sekali minum pasien meraup hingga 50 butir dalam sehari. Konsumsi

alkohol berupa malaga, bir, gaduk (alkohol 95%) dicampur dengan kuku bima,

dalam sehari pasien mehabiskan 2 botol minuman keras. Pasien juga merokok

2-4 bungkus tiap harinya. Setelah mengonsumsi obat dan alkohol, pasien

merasa bahwa ia sering merasa kesal pada orang sekitar. Usia 11 tahun, pasien

mulai mendengar bisikan.

6. Riwayat Masa Remaja (12-20 tahun) = Identity vs Identity Confusion

5
Setelah lulus SD, pasien melajutkan ke jenjang SMP namun hanya sampai

tahun pertama dan pasien tidak melanjutkan lagi karena malas. Pasien tidak

pernah dimarahi oleh kedua orang tua, hanya mendapat teguran saja saat pasien

mabuk. Kecurigaan pasien terhadap orang sekitar semakin bertambah. Pasien

sering merasa kesal dan mudah marah. Pasien menganggap dirinya orang

dayak dan orang sekitarnya orang Madura, sehingga pasien ingin membunuh.

Tahun 2011 saat usia pasien 19 tahun, pasien sering melukai orang lain dan

dirinya sendiri. Pasien sering berkata ingin mati dan mengiris pisau

ketangannya. Kemudian November 2011 pasien dirawat di RSJ Sambang lihum

selama 3 bulan. Setelah keluar, pasien masih mengonsumsi obat-obatan dan

alkohol, tahun pertengahan 2012 saat usia pasien 20 tahun, pasien kejang-

kejang karena overdosis namun dapat diselamatkan. Pasien merasa ia laki-laki

sepenuhnya.

7. Riwayat Masa Dewasa (21-40 tahun)= intimacy vs isolation

Setelah keluar RSJ sambang lihum pasien rajin kontrol untuk melanjutkan

pengobatan, kontrol terkahir pada 2 Desember 2015. Pasien mengaku masih

mengonsumsi obat Zenith namun hanya sebulan sekali, terkahir pasien

mengonsumsi awal bulan Desember 2015 sebanyak 10 biji. Pasien sudah tidak

meminum-minuman keras, namun masih merokok. Sekarang pasien tinggal

serumah dengan kedua orang tua, namun bila pagi-sore hari pasien lebih sering

di rumah keluarga untuk berteman. Pekerjaan pasien membantu ayah atau

keluarga menjadi buruh bangunan hanya bila diajak, bila tidak pasien hanya

diam di rumah dan membantu warga sekitar.

6
D. RIWAYAT KELUARGA

Genogram :

Keterangan :

: Penderita

: Laki-laki

: Perempuan

Pasien adalah anak pertama dari empat orang bersaudara.Tidak terdapat

riwayat gangguan jiwa dalam keluarga pasien.

E. RIWAYAT SITUASI SEKARANG

Saat ini pasien tinggal dengan kedua orangtua diperkampungan di

Antasan Timur Kecil. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan bila diajak

ayah atau keluarga. Hubungan pasien dengan ibu sering diselingi dengan

pertengkaran kecil mengenai permasalahan uang.

7
F. PERSEPSI PASIEN TENTANG DIRI DAN LINGKUNGANNYA

Pasien sadar bahwa apa yang dilakukannya selama ini salah, dan

sangat ingin untuk berhenti serta menjadikan diri lebih baik. Namun

terkadang pasien masih belum bias melepas seutuhnya terhadap obat-obatan

dan merokok.

III. STATUS MENTAL

A. DESKRIPSI UMUM

1. Penampilan

Pasien seorang laki-laki berperawakan tinggi, berbadan agak berisi, berkulit

cokelat. Pasien mengenakan baju kaos abu-abu dan celana panjang. Pasien

tampak terawat dan berpenampilan sesuai usia. Pasien tampak tenang dan

banyak bicara jika ditanya. Mimik wajahnya datar. Mata pasien dapat

menatap pemeriksa dan dapat dipertahankan. Pembicaraan sesuai dengan

pertanyaan.

2. Kesadaran

Jernih

3. Perilaku dan aktivitas motorik

Normoaktif

4. Pembicaraan

Koheren, spontan lancar, relevan.

5. Sikap terhadap pemeriksa

Kooperatif

6. Kontak Psikis

8
Kontak (+) wajar (+) dapat dipertahankan.

B. KEADAAN AFEKTIF, PERASAAN, EKSPRESI AFEKTIF,

KESERASIAN DAN EMPATI

1. Afek(mood) : Euthym

2. Ekspresi afektif : Datar

3. Keserasian : Appropriate

4. Empati : Dapat dirabarasakan

5. Stabilitas : Baik

6. Pengendalian :Dapat mengendalikan emosinya

7. Sungguh-sungguh/Tidak : Sungguh-sungguh

8. Dalam/Dangkal : Dalam

C. FUNGSI KOGNITIF

1. Kesadaran : komposmentis

2. Orientasi : Waktu : baik

Tempat : baik

Orang : baik

Situasi : baik

3. Konsentrasi : baik

4. Daya ingat : Jangka pendek : baik

Jangka panjang : baik

Segera : baik

9
5. Intelegensia dan Pengetahuan Umum : sesuai dengan tingkat

pendidikan

D. GANGGUAN PERSEPSI

1. Halusinasi auditorik/visual/olfaktorik/gustatorik/taktil

Auditorik (melihat bayangan - bayangan)(-/-)

2. Depersonalisasi/ Derealisasi : (-)

E. PROSES PIKIR

1. Arus pikir : a. Produktivitas : Spontan

b.Kontinuitas :Lancar,relevan

c. Hendaya berbahasa :tidak ada

2. Isi Pikir : a. Preocupasi : tidak ada

b. Waham : tidak ada

F. PENGENDALIAN IMPULS

Baik

G. DAYA NILAI

a. Daya norma sosial : baik

b. Uji daya nilai : baik

c. Penilaian realita : baik

H. TILIKAN

Tilikan 5

I. TARAF DAPAT DIPERCAYA

Dapat dipercaya

10
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LANJUT

1.STATUS INTERNUS

Keadaan Umum : Baik

Tanda vital : TD : 120/70 mmHg

N : 84 x/menit

RR : 20 x/menit

T : 36,7 C

Kepala Mata : palpebra tidak edema, konjungtiva tidak anemis,

sklera tidak ikterik, refleks cahaya +/+

Telinga : sekret -/-

Hidung : sekret -/- epistaksis (-)

Mulut : mukosa bibir kering, pucat (-), lidah tidak tremor

Leher : KGB tidak membesar, JVP tidak meningkat

Thoraks I : bentuk simetris

P : fremitus raba simetris

P : Pulmo : sonor

Cor : batas jantung normal

A : Pulmo : vesikuler, Ronki/wheezing -/-

Cor : S1S2 tunggal

Abdomen I : simetris

P : hepar/lien/massa tidak teraba

P : timpani

A : BU (+) normal

11
Ekstremitas Superior : edema -/- parese -/- tremor -/-

Inferior : edema -/- parese -/- tremor -/-

2. STATUS NEUROLOGIS

N I-XII : normal

Gejala rangsang meningeal : tidak ada

Gejala TIK meningkat : tidak ada

Refleks patologis : tidak ada

Refleks fisiologis : normal

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Autoanamnesis

 Mengonsumsi obat-obatan seperti Zenith, Leksotan, Double L, dan dektro

(Pada pertengahan tahun 2001)

 Minum-minuman keras seperti Malaga, bir, gaduk (alkohol 95%)

dicampur kuku bima, dalam sehari pasien dapat mehabiskan 1-3 botol.

Pasien merokok 2-4 bungkus dalam sehari.

 Pasien sering bicara sendiri (Pada pertengahan tahun 2003)

 Pasien mulai mengamuk (Pada awal tahun 2007, pasien mengamuk

dengan menghempaskan kursi dan memecahkan kaca, memukuli ibu dan

orang sekitarnya. Pasien mengeluarkan kata-kata kasar dan sering

mengancam membunuh pada warga sekitar)

Afek(mood) : Euthym

Ekspresi afektif : Datar

Halusinasi : Tidak ada

12
Penilaian realita : Baik

VI. EVALUASI MULTIAKSIAL

1. Aksis I : F19.5

2. Aksis II : Ciri kepribadian paranoid

3. Aksis III : None

4. Aksis IV : Psikososial dan lingkungan

5. Aksis V : GAF scale 60-51

VII. DAFTAR MASALAH

1. Organobiologik

Status internus dan kelainan neurologi tidak ada kelainan

2. Psikologik

Afek (mood) euthym, ekspresi afektif datar preocupasi baik, dan

penilaian realita baik

3. Sosial Keluarga

Adanya masalah keluarga yang menjadi stresor untuk pasien

VIII.PROGNOSIS

Diagnosis penyakit : dubia ad malam (Gangguan Mental dan Perilaku

Akibat Penggunaan Zat Multipel dan Penggunaan

Zat Psikoaktif lainnya diserai Gangguan Psikotik)

Perjalanan penyakit : dubia ad malam (kronis)

Ciri kepribadian : dubia ad malam (ciri kepribadian paranoid)

Stressor psikososial :dubia ad malam (psikososial dan lingkungan)

13
Riwayat herediter : dubia ad bonam

Usia saat menderita :dubia ad malam (usia 9 tahun)

Pendidikan : dubia ad malam (SD)

Perkawinan : dubia ad malam (belum menikah)

Ekonomi : dubia ad bonam

Lingkungan sosial : dubia ad bonam

Organobiologi : dubia ad bonam

Pengobatan psikiatrik : dubia ad bonam

Ketaatan berobat : dubia ad bonam

Kesimpulan : dubia ad malam

IX. RENCANA TERAPI

Psikofarmaka : Chlorpromazin 3 x 100 mg

Haloperidol 3 x 5 mg

Triheksilpenidil 3 x 2 mg

Clorilex 3 x 25 mg

Psikoterapi : Support terhadap penderita dan keluarga

Mencoba lebih percayadan terbuka dengan keluarga

Religius : Bimbingan /ceramah agama, shalat berjamaah, pengajian

Rehabilitasi : sesuai bakat dan minat (tes psikotes)

Laboratorium : Darah rutin dan kimia darah

14
X. DISKUSI

Berdasarkan hasil anamnesa serta pemeriksaan status mental, dan

merujuk pada kriteria diagnostik dari PPDGJ III, penderita dalam kasus ini

dapat didiagnosa sebagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan

zat dengan sindrom ketergantungan kini abstinen (F19.20).

Penyalahgunaan zat adalah suatu perilaku mengonsumsi atau

menggunakan zat-zat tertentu yang dapat mengakibatkan bahaya pada diri

sendiri maupun orang lain. Menurut DSM, penyalahgunaan zat melibatkan

pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekuensi yang merusak.

Konsekuensi yang merusak bisa termasuk kegagalan untuk memenuhi

tanggung jawab utama seseorang (misalnya: sebagai pelajar, sebagai

pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam situasi di mana

penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur minuman dan

penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang kali yang

meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau

interpersonal yang kerap muncul karena penggunaan zat (contoh: berkelahi

karena mabuk) (1).

Dalam DSM-IV-TR ketergantungan dan penyalahgunaan merupakan

manifestasi fisik dan psikologis dari penyakit akibat penggunaan obat-

obatan yang menyebabkan ketergantungan atau disalahgunakan. Kedua hal

tersebut merupakan masalah perilaku. Dengan kata lain, masalahnya bukan

terletak pada obat-obatan tersebut, tapi pada cara orang yang memakai obat-

obatan tersebut.

15
Bahan-bahan yang digunakan dapat disalahgunakan atau

menyebabkan ketergantungan, jika bahan tersebut menjadi masalah dalam

hidupnya. Seseorang dapat dikategorikan mengalami substance dependence

/ ketergantungan obat-obatan jika memenuhi 3 kriteria dari 7 kriteria berikut

ini (2):

Suatu pola penggunaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau
penderitaan yang bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 3 (tiga) atau lebih
hal-hal berikut yang terjadi pada tiap saat dalam periode 12 bulan:
1. Toleransi yang didefinisikan sebagai berikut :
a. Peningkatan nyata jumlah kebutuhan zat untuk mendapatkan efek
yang didamba atau mencapai intoksikasi.
b. Penurunan efek yang nyata dengan penggunaan kontinyu jumlah
yang sama dari zat.
2. Withdrawal, bermanifestasi sebagai salah satu dari:
a. Sindroma withdrawal khas untuk zat penyebab (criteria A dan B dari
gejala withdrawal zat).
b. Zat yang sama atau sejenis digunakan untuk menghilangkan atau
menghindari gejala-gejala withdrawal.
3. Zat yang dimaksud sering digunakan dalam jumlah yang besar atau
melewati batas pemakaiannya.
4. Adanya hasrat menetap atau ketidakberhasilan mengurangi atau
mengendalikan pemakaian zat
5. Adanya aktivitas yang menyita waktu untuk mendapatkan zat (misalnya
mendatangi berbagai dokter atau sampai melakukan perjalan jauh),
untuk menggunakan zat (merokok tiada sela) atau untuk pulih dari efek-
efeknya.
6. Kegiatan-kegiatan sosial yang tidak penting, pekerjaan atau rekreasi
dilalaikan atau dikurangi karena penggunaan zat.
7. Penggunaan zat tetap berlanjut meskipun mengetahui bahwa problem-
problem fisik dan fisiologis menetap atau berulang disebabkan oleh
penggunaan zat tersebut.
16
Santrock (1999) menyebutkan jenis ketergantungan menjadi 2 jenis,

meliputi (3):

a. Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai

dengan stimulasi kognitif dan afektif yang mendorong konatif (perilaku).

Stimulasi kognitif tampak pada individu yang selalu membayangkan,

memikirkan, dan merencanakan untuk dapat menikmati zat tertentu.

Stimulasi afektif adalah rangsangan emosi yang mengarahkankan individu

untuk merasakan kepuasan yang pernah dialami sebelumnya. Kondisi

konatif merupakan hasil kombinasi dari stimulasi kognitif dan afektif.

Dengan demikian, ketergantungan psikologis ditandai dengan

ketergantungan pada aspek-aspek kognitif dan afektif. Os termasuk dalam

tipe ketergantungan ini, saat tidak mengonsumsi dekstro Os akan merasa

depresi dan tidak bersemangat.

b. Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai

dengan kecendrungan putus zat. Kondisi ini seringkali tidak mampu

dihambat atau dihalangi pecandu mau tidak mau harus memenuhinya.

Dengan demikian orang yang mengalami ketergantungan secara fisiologis

akan sulit dihentikan atau dilarang untuk mengonsumsinya.

Penyalahgunaan zat terbagi menjadi coba-coba, rekreasional, situasional

dan ketergantungan.Pada awalnya Os masuk ke dalam kategori coba-coba saat

dirinya diajak oleh temannya.Kemudian Os masuk ke dalam tingkatan

situasional, Os hanya menggunakan dekstro pada saat-saat tertentu saja.

Penggunaannya pun tidak dilakukan setiap hari.Setelah beberapa lama

17
akhirnya Os masuk ke dalam tingkatan ketergantungan. Kriteria DSM-IV TR

dan PPDSGJ III yang terpenuhi untuk menegakkan diagnosis ketergantungan

adalah:

1. Adanya toleransi

2. Adanya gejala withdrawal/ putus zat (depresi, merasa tidak

bersemangat, tidak enak badan) yang menghilang setelah

penggunaan zat dilanjutkan.

3. Adanya keinginan kuat menggunakan zat walaupun Os sadar

dampaknya bagi kesehatan.

Dekstrometorfan adalah kandungan aktif yang biasa ditemukan pada

obat-obat batuk.Obat ini sering disalahgunakan karena efek disosiatif yang

dimilikinya.Obat ini hampir tidak memiliki efek psikoaktif pada dosis yang

direkomendasikan. Saat digunakan melewati dosis terapeutiknya zat ini akan

memiliki efek disosiatif yang kuat (4).

Pada dosis tinggi dekstrometorfan diklasifikasikan ke dalam agen

anestetik disosiatif dan halusinogen seperti ketamin dan pensiklidin (5).

Dekstrometorfan termasuk antagonis reseptor NMDA (N metil D aspartat)

pada dosis tinggi akan menyebabkan efek euphoria, peningkatan mood,

disosiasi pikiran dari tubuh dan peningkatan sensasi taktil (6,7). Umumnya

dektrometrofan tidak menimbulkan gejala putus zat, tetapi penurunan

mendadak dosis dekstrometrofan pada kasus ketergantungan akan

menimbulkan gejala fisiologis dan psikologis. Efek yang ditimbulkan serupa

18
dengan efek withdrawal SSRI yaitu depresi, iritabilitas, sakit pada otot,

perasaan tidak nyaman diperut serta kejang (8,9).

Ketika digunakan pada dosis rendah (100-200 mg) dekstrometorfan

menimbulkan efek euphoria. Jika dosis ditingkatkan (sekitar 400 mg)

euphoria akan semakin meningkat disertai halusinasi. Pada dosis tinggi (600

mg) penurunan kesadaran dapat muncul disertai gejala psikotik sementara

dan penurunan respon sensoris (10,11)

William E. White dalam “The DXM FAQ” mengelompokkan efek dosis

tinggi dekstrometorfan ke dalam 4 atau 5 plateu.Setiap plateu memiliki

kisaran dosis (mg/kgbb) tertentu. Pembagian efeknya adalah sebagai berikut

(12):

Plateu pertama : 1,5-2,5 mg/kgBB menimbulkan efek tidak mudah

capek, meningkatnya detak jantung, suhu tubuh, emosi, euphoria, dan

hilangnya keseimbangan tubuh.

Plateu kedua : 2,5-7,5 mg/kgBB menimbulkan efek yang sama dengan

plateu pertama namun disertai intoksikasi, penurunan kesadaran, perasaan

terlepas dari dunia dan halusinasi.

Pleteu ketiga : 2,5-7,5 mg/kgBB menimbulkan penurunan fungsi

sensoris kesulitan mengenali orang atau objek, kebutan sementara, kesulitan

memahami bahasa, halusinasi abstrak, penurunan waktu reaksi, kehilangan

koordinasi motorik, gangguan memori jangka pendek dan perasaan terlahir

kembali.

19
Pleteu keempat : 15,0 mg/kgBB atau lebih menimbulkan hilangnya

kontrol terhadap tubuh, delusi, peningkatan denyut jantung, kebutaan total,

dan gejala pleteu ketiga yang lebih berat.

Pleteu sigma : 2,5-7,5 mg/kgBB setiap 3 jam selama 9-12 jam. Gejala

psikotik disertai halusinasi visual dan akustik. Halusinasi biasanya bersifat

tidak menyenangkan dan memaksa pecandu mengikuti perintah halusinasi

tersebut.

Carisoprodol (carnophen zenith) biasanya digunakan untuk relaksan otot

skelet kerja sentral yang diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk

membantu beristirahat, terapi fisik, dan terapi lain untuk menghilangkan

ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kondisi gangguan

muskuloskeletal pada orang dewasa (13). Obat ini banyak digunakan pada

keadaan perawatan primer. Carisoprodol dipasarkan di Amerika Serikat

(AS) dengan merek Soma (MedPointe healtcare, Inc, Somerset, New

Jersey), di Inggris (UK) dengan merek Carisoma (Forest Laboratories UK

Limited, Kent, Inggris Raya ), dan di negara-negara lain dengan merek

Sonoma, Somadril, Somacid, Scutamil C, Relacton-C, Mio Relax, dan

Relaxibys. dahulu carisoprodol juga telah didistribusikan di AS di bawah

nama Rela dan Soridol (14).

Metabolit aktif utama carisoprodol adalah meprobamate.Struktur

meprobamate dan carisoprodol berhubungan erat, hanya dibedakan oleh

substitusi pada atom hidrogen untuk kelompok isopropil pada salah satu

nitrogen carbamyl. Meprobamate memiliki risiko menyebabkan adiksi sama

20
dengan potensi penyalahgunaan benzodiazepin (15).Oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa carisoprodol kemungkinan memiliki potensi

penyalahgunaan.

Mekanisme aksi yang jelas dari carisoprodol tidak diketahui, tetapi obat

ini diduga bekerja secara sentral dengan menyebabkan sedasi dibandingkan

dengan relaksasi otot rangka langsung; mekanisme ini mungkin bekerja

dengan menghambat transmisi interneuronal dalam susunan retikuler dan

sumsum tulang belakang (16).bagian dari efek nyata dari carisoprodol

mungkin karena metabolit meprobamate yang memiliki waktu paruh sekitar

11 jam (meskipun ini mungkin bisa diperpanjang hingga 48 jam dengan

penggunaan kronis) (17).terdapat bukti bahwa meprobamate menghasilkan

efek klinis denggan aktivitas mirip aktivasi barbiturat pada reseptor GABA

(18). Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa carisoprodol sendiri

dapat mengaktifkan reseptor GABA independen dari aksi meprobamate

(19,20). seberapa banyak efek klinis yang diamati pada pasien yang

mengkonsumsi carisoprodol karena carisoprodol itu sendiri, dan seberapa

banyak yang disebabkan oleh metabolit meprobamate saat ini tidak

diketahui.Mekanisme tersebutlah yang menyebabkan Os dapat beristirahat

dan tidur nyenyak apabila mengkonsumsi carisopridol.

Pada kasus, Os merasakan nyeri kepala, sulit tidur, leher tegang dan sulit

beraktivitas apabila tidak mengkonsumsi obat tersebut.Mekanisme yang paling

mungkin untuk gejala setelah penghentian asupan dosis besar carisoprodol adalah

akibat penghentian dari akumulasi metabolit aktif, meprobamate.Gambaran gejala

21
penghentian carisoprodol sangat mirip dengan penghentian meprobamate, gejala

tersebut meliputi kecemasan, insomnia, tremor, otot berkedut, anoreksia, muntah,

dan ataksia.Halusinasi, delirium tremens, dan kejang juga dilaporkan terjadi pada

beberapa pasien. Karena banyak gejala penghentian dari meprobamate sama

dengan yang dilaporkan pada pasien dengan sindrom penghentian carisoprodol,

penghentian dari meprobamate mungkin merupakan penjelasan paling

memungkinkan untuk gejala yang muncul selama penghentian carisoprodol.

Namun, studi baru-baru ini menggunakan pendekatan farmakologis molekuler dan

perilaku telah menunjukkan bahwa carisoprodol sendiri mampu modulasi fungsi

GABA dengan mekanisme yang mirip meprobamate dan depresan SSP lainnya

(21).

Penyalahgunaan alkohol merupakan gangguan terkait zat yang paling

umum terjadi (22).Penyalahgunaan alkohol (alkoholisme) mengakibatkan

berbagai manifestasi klinis, psikiatri, dan sosial. Manifestasi psikiatrik yang

bisa timbul adalah (23) :

 Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Sebaliknya

depresi juga dapat memicu seseorang untuk mengonsumsi alkohol untuk

mengurangi gejala-gejala depresi.

 Ansietas : ansietas merupakan gejala mengonsumsi alkohol berlebihan

sebagai usaha mengurangi gejala.

 Perubahan kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan

diri.

 Disfungsi seksual : impotensi dan masalah ejakulasi.

22
 Halusinasi : dapat berupa auditorik maupun visual, umumnya terjadi pada

keadaan putus zat.

Menurut Jellinek progresifitas alkoholisme terbagi dalam 3 fase (24) :

1. Fase dini ditandai dengan bertambahnya toleransi terhadap alkohol,

amnesia, timbulnya rasa bersalah karena mengonsumsi alcohol dan terhadap

perilaku yang diakibatkannya.

2. Fase krusial ditandai dengan hilngnya kendali terhadap kebiasaan

mengonsumsi alkohol, perubahan kepribadian, kehilangan teman dan

pekerjaan.

3. Fase kronis ditandai kebisaan mengonsumsi alkohol di pagi hari, tremor

serta halusinasi.

Berbagai kondisi yang mendasari ganggan penggunaan NAPZA akan

memengaruhi jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien,

kebijakan untuk merawat dan memulangkan pasien, hasil yang akan

memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini

akan diuraikan beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah

gangguan penggunaan NAPZA (25).

1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan

bahwa gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang

secaramenyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara

nyata dan ketat yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward

dan sangsi yang spesifik secara langsung untuk mengembangkan

kemampuan mengontrol diri dan sosial/komunitas. Pendekatan yang

23
dilakukan meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang

intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan

terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan

(privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk

tutorial, pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya

merupakan perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas

sampai delapan belas bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka

pendek.

2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau

fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter

dan memerlukanfarmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta

perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan

program rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke

fasilitas di masyarakat.

3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation

dan Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA

sebagai tujuan utama pengobatan. Model Minessota menggunakan

program spesifik yangberlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat

inap dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help

group (Alcohol Anonymous atau NarcoticsAnonymous) serta layanan lain

sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu. Fase perawatan rawat

inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk kebaikan pasien

dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan program 12

24
langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog, pekerja

sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor.

4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam

program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan

program 12 langkah merupakan pelengkap program TC yang

menggunakan pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan

variasi masalah yang ada pada setiap pasien adiksi.

5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih

komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait

termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien

6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinspirasi dari

hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program

bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali.

Komponen dasar terdiri dari : medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan

keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh : pondok pesantren,

pengobatan tradisional atau herbal.

7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan

tidakmenggunakan farmakoterapi.

Berdasarkan Kepmenkes RI No 420 tentang Pedoman Layanan Terapi dan

Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA berbasis rumah

sakit, tindakan penanganan pada pasien dengan penyalahgunaan zat meliputi

Gawat darurat NAPZA – Detoksifikasi – Rehabilitasi – Rawat jalan/rumatan (25).

25
Pada fase gawat darurat NAPZA , hal yang umumnya dilakukan adalah

penanganan intoksikasi opiod, benzodiazepin, dan amfetamin. Terkadang pasien

datang dengan gejala intoksikasi alkohol dan halusinogen.Pada fase ini diberikan

terapi suportif pada pasien hingga keadaannya stabil. Untuk intoksikasi NAPZA

lain seperti dekstrometrofan, fase gawat darurat NAPZA bertujuan untuk

menangani kondisi akut termasuk gaduh gelisah.

Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat

darurat dapat dilanjutkan dengan perawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk

kasus putus NAPZA atau berobat jalan untuk suatu kondisi yang sudah

memungkinkan untuk pulang.

Pada fase rawat jalan, terapi yang digunakan umumnya berfungsi untuk

penanganan simptomatis dilakukan di rumah sakit rawat inap.Detoksifikasi

bertujuan untuk menghilangkan gejala putus zat. Lama fase ini berkisar 1-3

minggu tergantung jenis zat dan gejala pasien. Khusus untuk detoksifikasi heroin

(opioid) selain simptomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off

dengan metadon dan buprenorpin.

Pada fase rehabilitasi dilakukan penyesuaian perilaku pasien agar tidak

kembali menggunakan NAPZA.Fase rehabilitasi diawali dengan program jangka

pendek (1-3 bulan) dengan fokus penanganan masalah medis, psokologis dan

perubahan perilaku.Apabila program ini sukses, fase rehabilitasi dilanjutkan

dengan aftercare dengan terapi berbasis komunitas (25).

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Nevid, Jeffreys, Rhatus, Sphencer dan Greene, 2002. Psikologi Abnormal,


Jakarta: penerbit Erlangga.

2. American Association, 2000. Diagnostic and statisticl manual of mental


disorder DSM-IV-TR. New York: American Psychiatric Pub.

3. John W. Santrock, 1999. Psychology: Paperback, Student Edition of


Textbook. Philadelphia: Mc Graw Hill.

4. DEA, Drugs and Chemichal of Concern: Dextromethorphan. Retrieved


Maret 27, 2014, at
http:www.deadiversion.usdoj.gov/drugs_concern/dextro_m/summary.htm

5. Anonymous. Dextromethorphan. Retrieved Maret 27, 2014. At


http://www.deadiverson.usdoj.gov/drugs_concern/dextro_m/dextro_m.htm
l

6. Wrigley, H. 2006. Former Minot Man And Internet Chemical Company


Sentenced For Selling Designer And Misbranded Drugs And Violating
Federal Custom Laws. Dakota : Us Attorney

7. Erowld. DXM Effect. Retrieved Maret 27, 2014. At


http://www.erowid.org/chemicals/dxm_effects.shtml

8. Anonymous. DXM addiction, abuse and treatment. Retrieved Maret 27,


2014. At http://www.drugsbusehelp.com/drugs/dxm/

9. Anonymous. DXM addiction, abuse and treatment. Retrieved Maret 27,


2014. At http://www.info-drug-rehab-rehab.com/dxm.html

10. Bornstein, S; Czermak, M; Postel, J., (1968). “Apropos of a case of


voluntary medicinal intoxication with dextromethorphan hydrobromide”.
Annales Medico-Psychologiques 1 (3): 447-451. PMID 5670018.

11. Dodds A, Revai E (1967). “Toxic psychosis due to dextromethorphan”


Med J Aust 2: 231. Bornstein, S; Czermak, M; Postel, J., (1968). “Apropos
of a case of voluntary medicinal intoxication with dextromethorphan
hydrobromide”. Annales Medico-Psychologicues 1 (3); 447-451. PMID
5670018

12. White E.W. DXM FAQ. Retreived Maret 27, 2014 at


http://www.erowid.org/chemicals/dxm/faq/dxm_experience.shtml

27
13. Toth PP, Urtis JU. Commonly used muscle relaxant therapies for acute
low back pain: A review of carisoprodol, cyclobenzaprine hydrochloride,
and metaxalone. Curr Ther 2004; 26: 1355-67.

14. Littrell RA, Hayes LR, Stillner V. Carisoprodol (Soma): A new and
cautious perspective on an old agent. South Med J 1993; 86: 753-6.

15. Roache JD, Griffith RR. Lorazepam and meprobamate dose effects in
humans: behavioral effects and abuse liability. J Pharmacol Exp Ther
1987; 243: 978-88.

16. Davis GG, Alexander CB. A review of carisoprodol deaths in Jefferson


County, Alabama. South Med J 1998; 91: 726-30.

17. Meyer MC, Straughn A. Meprobamate. J Am Pharm Assoc 1977; 17: 173-
5.

18. Rho JM, Donevan SD, Rogawski MA. Barbiturate like actions of the
propanediol dicarbamates felbamate and meprobamate. J Pharm Exp Ther
1997; 280: 1383-91.

19. Gonzalez LA, Gatch MB, Taylor CM, et al. Carisoprodol-mediated


modulation of GABAA receptors: in vitro and in vivo studies. J Pharmacol
Exp Ther 2009; 329: 827-37.

20. Gonzalez LA, Gatch MB, Forster MJ, Dillon GH. Abuse potential of
Soma: the GABAA receptor as a target. Mol Cell Pharmacol 2009; 1: 180-
6.

21. Roy R. Reeves and Randy S. Burke. Carisoprodol: Abuse Potential and
Withdrawal Syndrome. Current Drug Abuse Reviews 2010; 3: 33-38.

22. Sadock BJ, 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10th ed.
Phildelpia: Lippincott Williams and Wilkins

23. Daives T and Craig TKJ. 2009. ABC of Mental Health. Jakarta: EGC.

24. Joewana, Satya. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan
Zat Psikoaktif. Jakarta: EGC.

25. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik.
Indonesia Nomer 420/Menkes/Sk/Iii/2010 Tentang Pedoman Layanan
Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan
NAPZA berbasis Rumah Sakit.

28

Anda mungkin juga menyukai