BAB I PENDAHULUAN
Instalasi farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan rumah sakit, merupakan suatu unit atau bagian yang
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yang mencakup perencanaan;
pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan kesehatan/sediaan farmasi;
dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan;
pengendalian mutu; pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan
kesehatan di rumah sakit serta pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis.
Pelayanan farmasi mencakup pelayanan langsung pada penderita dan pelayanan
klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan (Siregar &
Amalia, 2003).
Pelayanan farmasi mempunyai arti yang sangat penting di rumah sakit
karena merupakan pelayanan penunjang yang menjadi cost centre dan diharapkan
dapat menjadi revenue centre bagi rumah sakit. Penyediaan obat-obatan yang
merupakan bagian dari pelayanan farmasi rumah sakit membutuhkan perhatian
khusus agar dapat dikelola dengan baik karena obat-obatan adalah salah satu hasil
dari tekhnologi kesehatan yang paling sering digunakan baik untuk pencegahan
maupun pengobatan penyakit (WHO, 2011; Stephens, 2011). Obat bisa dikatakan
merupakan pusat dari segala intervensi pelayanan kesehatan, khususnya di rumah
sakit karena sekitar 97% pasien yang ke rumah sakit menggunakan obat-obatan
(Stephens, 2011; Tetteh, 2007).
Obat merupakan salah satu komponen yang menyerap biaya terbesar dari
anggaran kesehatan, yaitu lebih dari 15,2% dari total anggaran kesehatan dunia
pada tahun 2000 (WHO, 2011). Menurut Khurana, et al., (2011) dan Mahatme, et
al., (2012) sekitar 35% dari anggaran belanja rutin rumah sakit dihabiskan untuk
pembelian perbekalan farmasi termasuk di dalamnya adalah obat-obatan. Data
penelitian di Thailand yang dilakukan oleh Laeiddee (2010), didapatkan bahwa
biaya instalasi farmasi adalah sebesar 25% sampai 27% dari total biaya
1
2
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pengelolaan obat
di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten Rote Ndao tahun 2019, 2020 dan 2021
dengan analisis ABC dan VEN .
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan ketersediaan obat di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten
Rote Ndao yang dianalisis dengan metode ABC tahun 2019, 2020 dan
2021.
b. Mendeskripsikan ketersediaan obat di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten
Rote Ndao yang dianalisis dengan metode VEN tahun 2019, 2020 dan
2021.
c. Mengidentifikasi perbandingan harga obat 10 besar kategori A tahun 2019,
2020 dan 2021
d. Mendeskripsikan analisa VEN dan tingkat ketersediaan terhadap 10 besar
kategori A, B dan C tahun 2019, 2020 dan 2021
e. Mengidentifikasi jumlah generik dan branded tahun 2019, 2020 dan 2021
f. Mengidentifikasi kesesuaian item obat dengan formularium RS dan DOEN
tahun 2011
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi RSUD Kabupaten Rote Ndao untuk
pertimbangan melakukan perencanaan obat periode berikutnya berdasarkan
hasil analisis ABC dan VEN terhadap ketersediaan obat periode sebelumnya.
Selain itu, penelitian ini juga menjadi masukan bagi pihak manajemen untuk
melakukan supervisi dan pemantauan terhadap pola peresepan staf medik
dalam hal ini dokter sehingga dalam pelayanannya berupa pemberian obat
bagi pasien adalah yang rasional bukan saja hanya menguntungkan secara
ekonomis, namun yang juga benar-benar bermanfaat bagi pasien.
7
E. Keaslian Penelitian
Tabel 2. Keaslian Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
10
10
2. Pengelolaan Obat
Obat sebagai salah satu barang atau jasa dalam pelayanan kesehatan
karena obat dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan, meningkatkan
kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan, obat adalah biaya dan bukanlah
komoditi dagang biasa yang dituntut untuk dapat dikelola dengan baik dalam
penyediaan dan penggunaannya. Obat yang dimaksud adalah obat yang secara
medis memang diperlukan yang sesuai dengan keadaan pola penyakit setempat,
dan telah terbukti secara ilmiah bermanfaat dan aman untuk dipakai di rumah
sakit (Quick, 2012).
Sistem pengelolaan obat berdasarkan Standar Pelayanan Farmasi tahun
2003 adalah suatu siklus kegiatan yang dimulai dari pemilihan, perencanaan,
pengadaaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
11
SELECTION
Management
support :
Organisation
USE source PROCUREMENT
SIM
Finance
DISTRIBUTION
a. Perencanaan
Perencanaan merupakan kegiatan pemilihan jenis, jumlah dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk
menghindari kekosongan obat. Tujuan perencanaan obat adalah untuk
menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan
pelayanan kesehatan (Depkes RI & JICA, 2008).
Proses pemilihan obat dalam perencanaan mengikuti pedoman seleksi
yaitu: memilih obat yang telah terbukti efektif dan merupakan drug of choice,
mencegah duplikasi obat, memilih obat yang minimal untuk suatu jenis
penyakit, melaksanakan evaluasi kontraindikasi dan efek samping secara
cermat. Biaya merupakan faktor pertimbangan utama pada pemilihan obat,
untuk obat-obat yang secara klinis memberikan efek penyembuhan yang sama
maka sebaiknya di ambil yang lebih murah, misalnya dengan menggunakan
obat generik (Halloway & Green, 2003). Kriteria dalam melakukan pemilihan
obat adalah sebagai berikut:
1) Relevan dengan pola penyakit yang ada
2) Teruji manfaat dan keamanannya
3) Terjamin kualitas obat/barang farmasi (bioavailability dan stability)
4) Menguntungkan dalam rasio cost-benefit dilihat dari total biaya obat
5) Dasar pemilihan adalah pada pengetahuan tentang faramakokinetik dan
farmakodinamik obat, ketersediaan di pasar, serta kemudahan
mendapatkan obat. (Quick, 2012).
Dengan perencanaan yang baik diharapkan akan mencegah terjadinya
kelebihan atau kekurangan stok. Nilai persediaan yang tinggi karena kelebihan
stok akan memerlukan biaya penyimpanan yang berlebih. Metode yang
digunakan dalam perencanaan obat meliputi metode konsumsi, morbiditas
atau metode kombinasi (Quick, 2012). Demikian juga menurut Depkes RI
(2006), tahap perencanaan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan
epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
13
rumah sakit harus menjadi arahan bagi pemakai obat (klinis) untuk
menggunakan obat-obat terpilih dengan efektif, aman dan rasional (Quick,
2012).
Perencanaan dilakukan dengan metode konsumsi yang didasarkan atas
analisa data konsumsi obat sebelumnya. Perencanaan kebutuhan obat menurut
pola konsumsi mempunyai langkah-langkah sebagai berikut: pengumpulan
dan pengolahan data, perhitungan perkiraan kebutuhan obat dan penyesuaian
jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana. Metode konsumsi menggunakan
perhitungan kebutuhan riil obat yang dikonsumsi tahun lalu sebagai dasar
perencanaan dengan penyesuaian dan koreksi, dengan cara menghitung dari
catatan obat yang diresepkan pada pasien (diberikan kepada pasien) atau
dengan menghitung dari catatan stok awal ditambah obat yang masuk
kemudian dikurangi stok akhir (Quick, 2012)
Metode epidemiologi didasarkan pada jumlah kunjungan, frekuensi
penyakit dan standar pengobatan. Langkah-langkah metode ini berupa :
1) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani
2) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit
3) Menyediakan standar pengobatan yang digunakan untuk perencanaan
4) Menghitung perkiraan kebutuhan obat
5) Penyesuaian kebutuhan obat dengan alokasi dana (Quick, 2012).
Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan obat, maka kemudian akan
dievaluasi dengan menggunakan beberapa cara atau metode yaitu: analisis
ABC (untuk evaluasi aspek ekonomi), kriteria VEN (untuk evaluasi aspek
medik/terapi), atau kombinasi ABC dan VEN (Depkes RI & JICA, 2008).
Metode kombinasi antara ABC dan VEN banyak direkomendasikan untuk
digunakan karena dapat membantu rumah sakit dalam membuat perencanaan
obat dengan mempertimbangkan nilai investasi, kekritisan obat dalam hal
penggolongan obat vital, esensial dan non esensial (Suciati & Adisasmito,
2006; Gupta, et al., 2007). Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan di
rumah sakit kelas III di India Tengah, analisa ABC-VEN juga
direkomendasikan untuk evaluasi dalam perencanaan kebutuhan obat
15
(Mahatme et al., 2012). Pendapat yang sejalan juga ditemui dalam artikel
penelitian yang dilakukan tahun 2003 di India tentang analisis ABC dan VEN
dalam pengendalian perbekalan medis, yang merekomendasikan ABC dan
VEN sebagai metode yang paling cocok digunakan untuk pengendalian
perbekalan farmasi (Gupta et al., 2007).
1) Analisis ABC
Analisis ABC juga dikenal dengan nama analisis Pareto yang diambil
dari nama seorang ekonom Italia Vilfredo Pareto. Hukum Pareto
menyatakan bahwa dalam sebuah kelompok selalu memiliki persentase
terkecil yang bernilai (20%) atau yang bernilai terbesar (80%), karena itu
analisis Pareto sering disebut juga 80/20 rule (Chu, et al., 2008; Ng, 2006;
Mohanta et al., 2005). Kelompok dalam analisis ABC ini terdiri dari 3
golongan, yaitu :
a) Kelompok A adalah inventory (perbekalan) dengan jumlah sekitar 10-
20% dari total item dengan nilai investasi sekitar 70% dari total nilai
investasi.
b) Kelompok B adalah inventory dengan jumlah sekitar 10-20% dari item
obat lainnya dengan nilai investasi sekitar 20% dari total nilai
investasi.
c) Kelompok C adalah inventory dengan jumlah sekitar 70% dari total
item dengan nilai investasi sekitar 10% dari total nilai investasi
(Quick, 2012; Wong, 2007).
Kelompok A adalah kelompok yang sangat kritis sehingga perlu
pengontrolan secara ketat, dibandingkan kelompok B yang kurang kritis.
Sedangkan kelompok C mempunyai dampak yang kecil terhadap aktivitas
gudang dan keuangan.
Prinsip ABC ini dapat diterapkan dalam pengelolaan pembelian,
inventory, penjualan dan sebagainya (Mohanta et al., 2005).
Pengelompokan persediaan dengan analisis ABC ini dapat digunakan
untuk:
16
terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan
tenaga serta waktu berlebihan (Depkes RI & JICA, 2008). Menurut Quick
(2012), metode pengadaan terdiri dari proses-proses sebagai berikut:
1) Tender terbuka untuk semua rekanan yang terdaftar, dan sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan. Pada penentuan harga lebih
menguntungkan
2) Tender terbatas, sering disebut dengan lelang tertutup. Hanya
dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan punya
riwayat yang baik. Harga masih bisa dikendalikan.
3) Pembelian dengan tawar menawar dilakukan bila jenis barang tidak
urgent dan tidak banyak, biasanya dilakukan pendekatan langsung
untuk jenis tertentu.
4) Pengadaan langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera tersedia.
Harga tertentu relatif agak mahal.
Obat yang mahal atau sering dipakai sebaiknya pembelian dilakukan
sebulan sekali, sedangkan untuk obat yang murah dan jarang
digunakan dapat dibeli setahun sekali atau setiap 6 bulan sekali
(Istinganah & Santoso, 2006).
Menurut WHO (1999), ada empat strategi dalam pengadaan obat yang
baik, yaitu:
1) Pengadaan obat-obat dengan harga mahal dengan jumlah yang tepat
2) Seleksi terhadap supplier yang dapat dipercaya dengan produk yang
berkualitas
3) Pastikan ketepatan waktu pengiriman obat
4) Mencapai kemungkinan termurah dari harga total.
c. Penyimpanan dan Distribusi
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat
Penyimpanan ini bertujuan untuk: memelihara mutu sediaan farmasi,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga
19
B. Kerangka teori
INPUT
Analisis ABC
OUTPUT
Analisis VEN PROSES
Kombinasi ABC dan
Ketersediaan
VEN Perencanaan
obat yang tepat
Metode konsumsi Pengadaan
dan bermutu
Penyimpanan
Metode Epidemiologi dalam jumlah
Pendistribusian
EOQ yang cukup
ROP
Just in Time
Safety Stock
OUTCOME
Penghematan biaya
C. Kerangka Konsep
- Data ketersediaan
Analisis Perencanaan
obat tahun 2016,
berdasarkan ABC Pengadaan
2017 dan 2018
Analisis Penyimpanan
- Biaya obat tahun
berdasarkan VEN Pendistribusian
2016, 2017 dan
2018
D. Pertanyaan Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
C. Subjek penelitian
1. Batasan populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data ketersediaan dan biaya
obat di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten Rote Ndao tahun 2016, 2017 dan
2018. Data yang diobservasi dan dicatat berupa data pada faktur pembelian dan
laporan penerimaan bulanan selama tahun 2016, 2017 dan 2018.
2. Subyek penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh data obat yang tersedia yang
dibeli dan biaya obat di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten Rote Ndao tahun
2016, 2017 dan 2018.
3. Cara pengambilan data
Cara pengambilan data adalah melalui observasi serta pengumpulan dan
pencatatan jumlah obat yang tersedia dan dibeli serta biaya obat yang didapat dari
faktur pembelian obat yang ada di IFRSUD kabupaten Rote Ndao tahun 2016,
2017 dan 2018.
24
24
Data ketersediaan Jumlah obat yang tersedia yang dibeli selama satu tahun (Januari-Desember)
obat yang dilihat dari laporan penerimaan obat bulanan
Biaya obat Jumlah obat dikalikan dengan harga beli per item obat
Kelompok A Kelompok obat yang jumlahnya sekitar 10-20% dari total item obat, dengan
biaya sekitar 70% dari total investasi obat.
Kelompok B Kelompok obat yang jumlahnya sekitar 10-20% dari total item obat, dengan
nilai investasi sekitar 20% dari total investasi obat.
Kelompok C Kelompok obat yang jumlahnya sekitar 70% dari total item obat dengan nilai
investasi sekitar 10%.
Kelompok V Kelompok obat yang masuk dalam Formularium Nasional, yang sangat
esensial dan tergolong life saving drugs, obat-obatan untuk pelayanan
kesehatan pokok dan obat-obatan untuk mengatasi penyakit penyebab
kematian terbanyak (masuk dalam DOEN tahun 2011)
Kelompok E Kelompok obat yang masuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional, yang
esensial yaitu obat-obatan yang bekerja kausal atau bekerja pada sumber
penyakit (masuk dalam DOEN tahun 2011)
Kelompok N Kelompok obat yang tidak termasuk dalam daftar obat esensial tahun 2011
yang merupakan obat-obat non esensial penunjang, yang kerjanya ringan dan
bisa menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan (tidak
termasuk dalam DOEN tahun 2011)
Obat Generik Obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang
ditetapkan dalam Famakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat
berkhasiat yang dikandungnya
Obat branded Obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen
obat yang bersangkutan
Formularium Himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Komite Farmasi dan Terapi
25
(KFT) untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas
waktu yang ditentukan
E. Instrumen Penelitian
1. Lembar kerja pengisian data ketersediaan dan biaya obat tahun 2016, 2017
dan 2018
2. Lembar kerja untuk analisis ABC dan melakukan pencatatan untuk
pengelompokkan dalam 3 kelompok
3. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) tahun 2011
4. Formularium RSUD kabupaten Rote Ndao tahun 2016, 2017 dan 2018
5. Lembar kerja untuk analisis VEN
e. Menyusun daftar obat yang sudah didapat dari biaya terbesar sampai
yang terkecil
f. Menghitung persentase kumulatif dari total biaya per item obat
g. Pengelompokkan cutoff points dilakukan dengan cara:
Kelompok A merupakan item obat dengan jumlah 10-20% dari
keseluruhan item obat dengan menggunakan biaya sebesar 70% dari
total biaya obat
Kelompok B merupakan item obat dengan jumlah 10-20% dari
keseluruhan item obat lainnya dengan menggunakan biaya sebesar
20% dari total biaya obat
Kelompok C merupakan item obat dengan jumlah 70% dari
keseluruhan item obat dengan menggunakan biaya sebesar 10% dari
total biaya obat
3. Analisis VEN dilakukan berdasarkan DOEN tahun 2011 dan WHO VEN
list 2008. Untuk item obat yang masuk dalam DOEN tahun 2011 dan
WHO VEN list 2008 masuk dalam kategori V dan E, sedangkan yang di
luar daftar tersebut masuk dalam kategori N.
4. Dari hasil yang ada, dibagi dalam 3 kelompok untuk kombinasi ABC dan
VEN, yaitu:
a. Kategori I: semua obat yang tergolong vital dan esensial dan mahal
(AV, BV, CV, AE, AN)
b. Kategori II: semua obat yang tersisa dari kelompok E dan B (BE, CE,
BN).
c. Kategori III: obat yang non esensial dan murah (investasi paling
rendah) (CN).
5. Dari hasil analisa yang diperoleh, dilakukan identifikasi harga per satuan
dan item obat yang masuk dalam kategori A setiap tahunnya dengan obat
yang sama namun dengan branded berbeda yang ada di kategori yang
sama atau di kategori lainnya (B dan C).
27
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di instalasi farmasi RSUD (IFRSUD) Kabupaten
Rote Ndao. Data dikumpulkan melalui observasi data obat dan dokumen yang
berkaitan dengan proses perencanaan obat selama tahun 2016, 2017 dan 2018.
Hasil penelitian dituliskan dalam laporan penelitian sebagai berikut.
1. Anggaran Obat di RSUD kabupaten Temanggung
Selama tahun 2016, 2017 dan 2018 biaya yang telah dikeluarkan untuk
pembelanjaan obat-obatan dan perbekalan kesehatan adalah berturut-turut
sebanyak Rp. 7.537.518.000, Rp. 7.416.720.000 dan Rp. 11.144.000.000.
Analisis ABC
a. Analisis ABC Terhadap Jumlah Item dan Biaya Obat
Jumlah item obat yang dibelanjakan di IFRSUD kabupaten Rote Ndao
selama tahun 2016, 2017 dan 2018 adalah sebanyak 942 (tahun 2016), 790
(tahun 2017) dan 763 (tahun 2018 item, dan menyerap biaya berturut-turut
sebesar Rp. 5.326.732.342; Rp. 6.244.458.094 dan Rp. 7.524.127.254.
Analisis ABC dilakukan terhadap semua item dan biaya obat, hasilnya dibagi
dalam 3 kelompok, yaitu: kelompok A merupakan kelompok item obat yang
menggunakan biaya terbesar, yaitu sekitar 10-20% itemnya menggunakan
70% dari total biaya obat. Kelompok B menunjukkan 10-20% item obat
lainnya menggunakan sebanyak 20% dari total biaya obat, dan kelompok C
merupakan 70% dari total item obat yang menggunakan 10% dari total biaya
obat
Selama tahun 2016, 2017 dan 2018 seperti, terjadi penurunan jumlah item
obat yang dibelanjakan yaitu sebanyak 942 di tahun 2010, 790 di tahun 2011
dan 763 item obat di tahun 2012, walaupun untuk total biayanya menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun yaitu berturut-turut sebesar Rp.
5.326.732.342, Rp. 6.244.458.094 dan Rp. 7.524.127.254.
29
1. Kalsium Klorida, Kalium Injeksi Na Laktat, Na Cl, Injeksi Natrium Laktat, Injeksi
Klorida, Na Laktat (Otsu Kalium Klorida Na Cl, Kalium
Rl) (Ringer Laktat) Klorida
(Ringer Laktat)
(Assering)
10. Na, Kalium, Klorida, Ca, Injeksi Natrium Klorida Injeksi Ranitidin Injeksi
Asetat, Dekstrosa (Nacl 0.5) (Rantin)
Anhidrat (Assering)
31
5. Karbazokrom Oral Pirasetam Oral Vit B1, Vit B2, Vit Oral
(Adona Ac-17) (Piracetam 400) B6, Vit B12, Vit C,
Vit E, Kalsium
Pantetenat,
Nikotinamid
(Becom C)
2. Analisis VEN
Seluruh item obat yang ada sepanjang tahun 2016, 2017 dan 2018 setelah
diubah dalam zat aktifnya, dilihat kesesuaiannya dengan Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) 2011 dan daftar obat esensial WHO. Obat-obatan yang tidak
masuk dalam kedua daftar tersebut, dimasukkan dalam kategori non esensial.
a. Analisis VEN terhadap jumlah item dan biaya obat
Sepanjang tahun 2016, 2017 dan 2018, hasil analisa VEN menunjukkan
bahwa rumah sakit membelanjakan lebih dari 50% biaya obatnya adalah untuk
obat-obat non esensial.
Tabel 11. Analisis VEN dan Tingkat Ketersediaan 10 Besar Obat Kategori C
di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2010, 2011 dan 2012
Karbazokrom 16,25 N Pirasetam 12,74 N Vit B1, Vit B2, Vit 18,92 N
(Adona Ac-17) (Piracetam 400) B6, Vit B12, Vit C,
Vit E, Kalsium
Pantetenat,
Nikotinamid
(Becom C)
setiap kategori baik A, B maupun C didapatkan hasil yang sama, yaitu biaya
terbesar dikeluarkan oleh rumah sakit untuk pembelian obat-obatan non esensial
(tabel 12).
Dari hasil matriks ABC-VEN pada tabel 12, diperoleh pengelompokkan
dalam 3 kategori untuk mempermudah pemilihan prioritas pengendalian dan
pengelolaannya. Kategori pengelompokkannya, yaitu: kategori I merupakan total
dari kategori AV, BV, CV, AE dan AN; kategori II merupakan total dari kategori
BN, BE dan CE; dan kategori III merupakan total dari kategori CN (tabel 13).
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak 287 item obat yang menggunakan
75,03% (Rp. 3.996.716.960) dari total biaya obat di tahun 2010, 231 item obat
yang menggunakan 74,52% (Rp. 4.653.415.187) dari total biaya obat tahun 2011
dan 222 item obat yang menggunakan 73,99% (Rp. 5.567.086.115) dari total
biaya obat di tahun 2012 membutuhkan perhatian khusus dan lebih ketat dalam
pengelolaannya karena tergolong obat-obat yang vital, mahal serta esensial dan
mahal.
39
Tabel 12. Matriks Analisis ABC-VEN di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2010, 2011 dan 2012
Kategori A B C
Biaya Jumlah Biaya Jumlah Biaya Jumlah
Item Item Item
Jumlah (Rp) Persen (%) Jumlah (Rp) Persen (%) Jumlah (Rp) Persen (%)
Tahun V 798.011.180 21,37 30 167.760.434 15,79 36 95.245.830 17,94 98
2010
E 354.931.207 9,51 20 273.332.079 25,73 56 111.752.442 21,05 147
N 2.580.768.309 69,12 103 621.114.611 58,47 130 323.816.250 61,00 322
Total 3.733.710.696 100 153 1.062.207.124 100 222 530.814.522 100 567
Tabel 13. Jumlah dan Biaya Obat Berdasarkan Kategori I, II dan III
di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2010, 2011 dan 2012
menyajikan daftar nama obat yang masuk dalam 10 besar kategori A, yang telah
diubah ke dalam zat aktifnya dan diperoleh nama branded berbeda namun
memiliki zat aktif yang sama yang berada di kategori yang sama atau di kategori
B dan C dengan harganya masing-masing per unit.
Seftazidime (Lacedin) yang selama 3 tahun berada pada 10 besar kategori
A ternyata mempunyai nama obat generik dengan harga yang jauh lebih murah
dibandingkan branded yang lain yaitu Seftazidime (Ceftazidime). Dengan zat
aktif yang sama terdapat berbagai macam nama branded obat yang telah
dibelanjakan oleh rumah sakit dengan harga yang variatif yang bisa menjadi
alternatif pengelola obat untuk menentukan obat yang lebih murah dalam
perencanaannya. Terlihat juga bahwa sebagian besar obat-obat generik pada daftar
tersebut mempunyai harga yang jauh lebih murah dari obat branded.
42
Tabel 14. Perbandingan Harga 10 Besar Obat Kategori A dengan Zat Aktif
yang Sama di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2010
Tabel 15. Perbandingan Harga 10 Besar Obat Kategori A dengan Zat Aktif
yang sama di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2011
Tabel 16. Perbandingan Harga 10 Besar Obat Kategori A dengan Zat Aktif
yang Sama di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2012
tahun 2012. Pada setiap kategorinya baik A, B maupun C juga didominasi oleh
obat branded (tabel 17).
Tabel 17. Perbandingan Jumlah Obat Generik dan Branded dalam Kategori
ABC di IFRSUD kabupaten Temanggung Tahun 2010, 2011 dan 2012
6. Kesesuaian Item Obat yang Dibeli dengan DOEN Tahun 2011 dan
Formularium
Di tahun 2010 dari 942 total item obat yang dibeli didapatkan hanya
sekitar 23,35% (220 item) yang sesuai dengan DOEN dan Formularium RS,
namun dari tahun 2010 ke 2011 persentase ini turun sebesar 0,19% menjadi
23,16% (183 item), dan dari 2011 ke 2012 menunjukkan perbaikan karena ada
46
peningkatan sebesar 11,44% menjadi 34,60% (264 item). Hal ini memang dapat
dimaklumi, karena acuan penentuan VEN dari penelitian ini adalah berdasarkan
DOEN tahun 2011, sehingga terlihat pada tahun 2012 persentase kesesuaian
terlihat meningkat, walaupun tetap saja persentasenya kecil yaitu hanya 34,60%.
Pengadaan obat-obatan di RSUD kabupaten Temanggung selama tahun 2010-
2012 yang sesuai formularium pada tahun 2010 dan 2011 hanya sekitar 51,06%
dan 53,54% dari total obat yang ada, sementara itu di tahun 2012 terlihat adanya
perbaikan yang cukup besar karena 84,01% obat yang dibeli di tahun tersebut
sudah berdasarkan formularium rumah sakit.
Tabel 18. Kesesuaian Item Obat yang dibeli Sepanjang Tahun 2010, 2011
dan 2012 dengan DOEN Tahun 2011 dan Formularium
RSUD kabupaten Temanggung
B. Pembahasan
Sepanjang tahun 2016, 2017 dan 2018, RSUD kabupaten Rote Ndao telah
mengeluarkan anggaran per tahunnya berturut-turut sebesar Rp. 7.537.518.000,
Rp. 7.416.720.000 dan Rp. 11.144.000.000 untuk pembelian obat-obatan dan
perbekalan kesehatan. Porsi anggaran untuk obat pertahunnya berturut-turut
adalah sebesar Rp. 5.326.732.342, Rp. 6.244.458.094 dan Rp. 7.524.127.254.
Terlihat peningkatan yang cukup mencolok terjadi pada tahun 2018 yaitu hampir
sebesar 50% dari total anggaran obat dan perbekalan kesehatan di tahun 2016.
Peningkatan yang cukup tinggi di tahun 2018 berdasarkan data tersebut lebih
tertuju pada peningkatan anggaran untuk perbekalan kesehatan.
Peningkatan jumlah anggaran terhadap obat-obatan bisa dipahami karena
salah satu faktor penyebabnya adalah sepanjang tahun 2016-2018 terlihat adanya
peningkatan dalam jumlah kunjungan. Dari data jumlah kunjungan di RSUD
kabupaten Rote Ndao sepanjang tahun 2016-2018 terlihat adanya peningkatan
dari tahun ke tahun. Kestabilan dalam hal penganggaran dibutuhkan untuk
menjamin ketersediaan obat-obatan, karena ketika terjadi permintaan yang tinggi,
maka rumah sakit diperhadapkan dengan pilihan: melakukan penghematan,
menurunkan permintaan, meningkatkan sumber dan jumlah pendanaan atau harus
mengalami penurunan mutu dalam pelayanan kesehatan (Quick, 2012).
Porsi pembiayaan terhadap obat sepanjang tahun 2016-2018 merupakan
yang terbesar dibandingkan dengan perbekalan kesehatan, yaitu sekitar >50%
setiap tahunnya Menurut Gopalakrishnan (1985) seperti yang dikutip dalam
Khurana, et al., (2013) dan Manhas, et al., (2012) obat menggunakan hampir 60%
dari total pembelanjaan logistik rumah sakit. Hal ini memang tidaklah
mengherankan, karena obat adalah hal yang paling banyak dan selalu digunakan
oleh setiap pasien yang mengunjungi rumah sakit. Kekosongan obat-obat yang
dibutuhkan pasien dapat memberikan reputasi yang buruk terhadap pelayanan di
sebuah rumah sakit bahkan menyebabkan pelayanan sulit atau tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Khurana, et al., (2011) juga menyebutkan bahwa
keseluruhan sistem dan sub sistem sebuah rumah sakit sangat bergantung pada
48
item maupun biayanya. Perbedaan persentase biaya dari tahun ke tahun tidak
memperlihatkan adanya perbedaan yang cukup besar karena perlakuan yang
dilakukan dalam analisa ABC ini yaitu batasan pengkategorian obat-obatan yang
masuk dalam kategori A, B dan C setiap tahunnya adalah sama. Persentase jumlah
item obat kategori A hanya sekitar 15-16% dari total obat yang ada namun
memakai biaya terbesar yaitu sebesar 70%. Persentase jumlah obat pada kategori
A dan B merupakan kelompok obat yang jumlahnya sekitar 40% dari total obat
yang ada, namun menyerap biaya 90% dari total biaya obat per tahunnya. Obat
yang masuk pada kategori ini adalah obat yang harga per unit cost nya mahal dan
ada juga yang walaupun murah, namun dibeli dalam jumlah yang banyak. Hal ini
jelas terlihat seperti pada perhitungan tingkat ketersediaan yang dilakukan
terhadap obat kategori A dan perbandingan harganya (tabel 9, 14, 15 dan 16).
Dalam hal ini tentu saja rumah sakit sangat membutuhkan informasi dan
data yang diperoleh dari analisis ini untuk dapat melihat item obat apa saja dan
jumlah obat yang telah dibeli yang ada dalam kategori A ini, sehingga dapat
melakukan pengontrolan dengan cara mengurangi jumlahnya atau memilih item
obat lain yang lebih murah. Stok untuk item obat kategori A dan B hendaknya
ditekan serendah mungkin, tetapi frekuensi pembelian dilakukan lebih sering.
Penelitian lain yang sejenis juga dapat menjadi perbandingan untuk analisis ini
telah dilakukan pada beberapa rumah sakit di India (Khurana, et al., 2013; Anand,
et al., 2013; Gupta, et al., 2007; Kaur, et al., 2006) dan di Indonesia (Suciati &
Adisasmito, 2006; Nofriana, 2011; Carla, 2010). Analisa dan pengendalian
terhadap obat-obat yang memakai biaya mahal atau tinggi dapat memberikan
penghematan sebesar 20% (Pillans, et al., 1992 dalam Manhas, et al., 2012).
Dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah item obat di
RSUD kabupaten Temanggung menunjukkan penurunan dari tahun 2010-2012.
Jumlah item obat yang banyak dapat disebabkan oleh beberapa hal di antaranya
adalah walaupun adanya keleluasaan pada setiap dokter untuk mengusulkan 2
nama obat yang akan masuk dalam formularium yang disetujui melalui rapat Sub
Komite Farmasi dan Terapi (SKFT), namun pada kenyataannya masih banyak
obat yang dibeli tidak masuk dalam formularium, yaitu hampir 50% pada tahun
50
2010 dan 2011, dan mengalami perbaikan menjadi hanya 15,99% di tahun 2012
(tabel 18). Hal lain yang ditemukan juga adalah banyaknya penggunaan obat
branded yang tentu saja menyebabkan banyaknya jumlah item obat yang tersedia
sekaligus mempengaruhi besarnya biaya obat di rumah sakit ini. Penggunaan
branded di RSUD kabupaten Temanggung bila dibandingkan dengan obat generik
bisa dikatakan cukup tinggi. Banyaknya jumlah item dan branded obat di rumah
sakit ini menurut pihak farmasi dibeli dan dipesan sesuai dengan permintaan dari
dokter (by request) yang melakukan pelayanan. Hal ini tentu saja tidak sesuai
dengan SPO Farmasi RSUD kabupaten Temanggung, karena menjadi terkesan
pembelian obat mengabaikan formularium yang ada.
Dalam hal obat yang digunakan dalam pelayanan, memang tidak bisa
dipungkiri bahwa dokter adalah pemegang kendali utama dalam penggunaan jenis
dan jumlah yang akan digunakan. Menurut Kelle, et al., (2012), dokter merasa
bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih obat yang menurut dia terbaik dan
sesuai dengan kebutuhan yang spesifik bagi pasiennya sehingga para dokter
biasanya membutuhkan obat dalam jenis yang beragam. Para dokter juga biasanya
dipengaruhi oleh pabrik obat untuk menambah jenis obat baru dalam formularium
atau dalam peresepannya. Pernyataan yang serupa juga oleh Konigbauer (2007)
yang mengemukakan bahwa pemasaran obat oleh pabrik obat adalah melalui para
dokter, karena dokter juga yang akan memiliki kendali untuk menentukan apakah
akan menggunakan generik atau branded dalam peresepannya. Sementara itu,
pihak farmasi dan manajemen merasa perlu untuk mengurangi jumlah item obat
dengan maksud untuk menurunkan biaya baik dalam penyimpanan dan
pengadaannya.
Menurut Anna (2012) volume penjualan obat generik di Indonesia sudah
mencapai angka 38%, namun angka ini masih berada di bawah angka penjualan
obat branded. Penyebabnya adalah salah satunya adalah ketidakpercayaan baik
masyarakat maupun dokter sendiri terhadap keefektifan obat generik. Fridman, et
al., (1987) dalam Konigbauer (2007) menemukan bahwa hanya setengah dari 245
dokter yang disurvey dalam penelitiannya yang mempercayai bahwa obat generik
adalah efektif untuk pengobatan. Pengaruh promosi pabrik obat dan
51
murah, maka rumah sakit tentu saja dapat melakukan penghematan dalam biaya
obat. Penelitian yang dilakukan oleh Azis et al (2000) menunjukkan bahwa
perbedaan harga obat generik dengan obat nama dagang (branded) sejenis di
Indonesia berkisar antara 1,37-22.34 kalinya.
Dalam hal pengendalian biaya obat, pemerintah sebenarnya telah
menerapkan kebijakan obat esensial dan obat generik, karena selain hubungannya
dengan biaya namun juga untuk meningkatkan kerasionalan penggunaan obat.
Penerapan tersebut bertujuan untuk menghemat dana pengadaan obat,
meningkatkan kerasionalan penggunaan obat, meningkatkan jangkauan cakupan
pelayanan kesehatan dan pengendalian harga obat (Suryawati & Annisa, 2001).
Kebijakan penghematan biaya ini juga telah dilakukan di Prancis, yaitu dengan
membatasi dokter dalam meresepkan obat mahal/branded dan menggantinya
dengan obat generik (Dewi S, 2013).
RSUD kabupaten Temanggung sebagai rumah sakit milik pemerintah
tentu saja diharapkan dapat menjalankan aturan seperti yang digariskan dalam
Permenkes RI No 068 tahun 2010 yaitu tentang kewajiban menggunakan obat
generik di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini tentu saja penting untuk
dilakukan untuk mengendalikan biaya obat yang tinggi di rumah sakit ini,
terutama pengendalian terhadap biaya dan jumlah item obat pada kategori A yang
70% di dominasi oleh obat-obat branded.
Selain hasil dari analisis ABC yang membutuhkan perhatian dan
pengontrolan dari pihak manajemen, maka analisis VEN juga ikut melengkapi
hasil yang ada dari ABC, karena jika hanya melihat dari hasil analisis ABC maka
rumah sakit hanya akan terfokus pada obat-obatan yang masuk pada kategori A
yang menggunakan biaya yang paling besar dan melupakan bahwa ada juga obat-
obatan vital dan esensial di kategori C yang juga membutuhkan perhatian khusus.
Rumah sakit diharapkan untuk tidak terfokus hanya ada salah satu faktor saja
apakah itu biaya/ekonomi (ABC) ataupun faktor medik (VEN). Khurana, et al.,
(2011) juga menuliskan hal yang serupa. Analisis VEN dapat membantu
mengoptimalkan pemilihan obat dan memaksimalkan pemanfaatan dana yang
tersedia.
53
Tingginya angka obat non esensial yang ada di rumah sakit ini,
menunjukkan bahwa pengelolaan dalam hal pemilihan obat di rumah sakit ini
masih membutuhkan perbaikan dan perhatian khusus dari pihak manajemen.
Rumah sakit diharapkan lebih mengutamakan ketersediaan obat-obatan yang vital
dan esensial. Obat-obat dalam kriteria vital adalah obat-obat yang sangat esensial
yang tergolong life saving, obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok dan
untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbanyak, oleh karenanya obat
dalam kriteria ini membutuhkan pengendalian yang ketat dan selalu tersedia dan
tidak boleh terjadi kekosongan (Quick, 2012; Devnani, et al., 2010). Klasifikasi
obat-obat berdasarkan VEN diharapkan dapat membantu rumah sakit dalam
mengendalikan terutama obat vital dan esensial dalam hal pemesanan harus lebih
ketat, menyediakan stok pengaman yang tinggi, mengutamakan kuantitas
pemesanan lebih banyak daripada yang non esensial dan memilih pemasok yang
terpercaya untuk menjamin kualitas dari obat vital dan esensial (Quick., 2012).
Untuk obat yang non esensial hanya diperlukan untuk mengatasi penyakit dengan
keluhan ringan, oleh karenanya kekosongan obat-obat ini dapat ditoleransi,
pemesanannya juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dana yang tersedia.
Prioritas pengadaan untuk obat-obat yang esensial tentu saja berdampak
pada kualitas pelayanan kepada pasien. Obat-obat yang masuk daftar esensial
adalah obat-obat yang sudah melalui review secara mendalam mengenai efek
terapi dan efek sampingnya yang tentu saja memberikan hasil yang optimal bagi
pasien. Daftar obat esensial yang mengacu pada formularium dan daftar obat
esensial nasional memberikan keuntungan yang penting bagi rumah sakit di
antaranya adalah membantu menjamin mutu dan ketepatan penggunaan obat,
dapat menjadi bahan pembelajaran bagi staf medis dalam hal ini dokter tentang
terapi obat yang tepat dan tentu saja memberi rasio manfaat-biaya yang tertinggi.
Dari analisa VEN yang dilakukan terhadap 10 besar obat kategori A, B
dan C, terlihat bahwa pada kategori A didominasi oleh obat non esensial (tabel 9).
Untuk 10 besar kategori C justru banyak terdapat obat yang vital dan esensial
(tabel 11). Secara umum didapatkan dari matriks ABC dan VEN dari tahun 2010-
2012, rumah sakit telah mengeluarkan biaya terbesarnya untuk setiap kategori,
55
baik A, B dan C adalah untuk obat-obatan non esensial (tabel 12). Hal-hal yang
menyebabkan fenomena dominasi item obat oleh yang non esensial memang tidak
dapat dijelaskan lebih detail dan mendalam, karena keterbatasan dalam jenis
penelitian ini.
Dalam pengelolaannya, diharapkan untuk obat-obat yang masuk dalam
kategori A adalah obat-obat yang memang dibutuhkan dan digunakan untuk
menanggulangi penyakit terbanyak yang berarti dalam analisa VEN harus masuk
dalam kriteria V dan E, dan sebaliknya untuk obat-obat yang non esensial
haruslah masuk dalam kategori C dalam analisis ABC. Pendapat yang sejalan juga
dikemukakan oleh Devnani, et al., (2010) dan dapat dilihat dalam Depkes RI &
JICA (2008).
Dari hasil perhitungan tingkat ketersediaan sepuluh besar obat kategori A,
B dan C setiap tahunnya ditemukan adanya obat-obatan yang vital dan esensial
dengan tingkat ketersediaannya sangat rendah, sementara obat-obatan yang non
esensial justru dengan tingkat ketersediaan berlebih. Faktor yang bisa
menyebabkan rendahnya tingkat ketersediaan obat-obatan tersebut adalah karena
banyaknya item obat yang sama dengan branded berbeda. Tingkat ketersediaan
branded tertentu terlihat rendah, namun tidak terjadi kekosongan pada obat yang
sama karena tersedia branded lainnya. Hal ini ikut juga menunjukkan bahwa
dengan banyaknya jumlah obat dan duplikasi membuat manajemen lebih sulit
untuk mengendalikan dan mengontrol obat yang tersedia, selain itu item obat yang
banyak malah akan semakin menyulitkan bagi para staf medik terutama dokter
dalam menguasai efek terapi dan efek samping dari setiap item obat yang pada
akhirnya dapat berpengaruh terhadap semakin sedikitnya informasi tentang obat
tersebut yang akan disampaikan kepada pasien.
Rumah sakit tentu saja diharapkan lebih memperhatikan ketersediaan dari
obat-obatan yang vital dan esensial sehingga tidak boleh terjadi kekosongan.
Sebaliknya untuk obat-obatan non esensial sebaiknya tidak mengalami overstock
karena sesungguhnya obat-obat tersebut bukanlah yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Untuk menjamin ketersediaan, penggunaan obat generik sangat
56
disarankan apalagi dengan harga obat generik yang lebih murah daripada obat
branded (Cameron, et al., 2009).
Dari hasil persilangan antara ABC dan VEN yang disajikan dalam sebuah
matriks, diperoleh pembagian dalam 3 kategori (tabel 12 & 13). Pembagian ini
dimaksudkan untuk memudahkan manajemen dalam melakukan prioritas
pengendalian dan pengontrolan. Hasil yang diperoleh pada kategori I
menunjukkan bahwa terdapat sejumlah obat pada sub kategori AV, AE dan BV
yang merupakan daftar obat yang vital dan mahal sehingga tidak dapat ditoleransi
bila terjadi kekosongan dalam obat tersebut karena akan sangat mempengaruhi
pelayanan kesehatan. Untuk mencegah terjadinya biaya simpan atau macetnya
modal pada obat-obat di sub kategori ini, maka buffer stock tidak boleh terlalu
banyak, namun manajemen perlu terus memantau dengan ketat tingkat konsumsi
dan melihat sisa stok yang ada, untuk mencegah kekosongan persediaan. Obat-
obat pada kategori I ini membutuhkan pengontrolan langsung dari top
management dalam hal ini direktur, karena menyangkut penentuan obat yang
harus masuk dalam kategori vital yang tentu saja melibatkan selain Komite
Farmasi dan Terapi (KFT), juga Komite Medik dan para dokter dan spesialis yang
melakukan pelayanan sehingga obat-obat tersebut harus dimasukkan dalam
formularium rumah sakit. Obat-obat pada kategori ini membutuhkan pengontrolan
dan pengendalian yang sangat ketat, di mana untuk obat yang sangat mahal
dipertimbangkan nilai kevitalannya dalam pelayanan kesehatan, sehingga obat
yang vital ketersediaannya harus selalu terjamin, sementara yang non esensial
menjadi prioritas terakhir bahkan bisa dihilangkan dari daftar perencanaan obat.
Untuk subkategori CV pada kategori I ini merupakan obat yang low cost,
namun vital, pemesanan bisa dilakukan setahun sekali. Pada sub kategori AN
dalam kategori I ini, harus dimonitor dan dikendalikan dengan cara melihat
kerasionalan penggunaannya. Sangat dimungkinkan juga untuk mengeluarkan
jenis obat ini dari daftar pemesanan, karena merupakan obat yang non esensial
namun memakai biaya yang besar. Tidak tersedianya obat dalam sub kategori ini
tidak akan mempengaruhi mutu pelayanan pada pasien.
57
SOLUSI
TEMUAN
(HASIL)
Pengendalian dan pengontrolan
item A MANFAAT
ABC
Kurangi jumlah item obat
A: trend menurun
Batasi duplikasi
B: trend menurun
Obat kategori A dan B: Vital dan Penghematan
C: trend meningkat
esensial biaya
A & B: 40% item; 90%
Obat kategori C: non esensial
anggaran
Mengutamakan penggunaan obat
VEN
generik
Didominasi oleh non
Pemilihan obat sesuai dengan
esensial
formularium yang mengacu pada
DOEN
Memilih jenis item obat dengan
harga lebih murah
Generik & Branded
Didominasi oleh branded
Harga generik lebih murah
Formularium dan DOEN 2011
Kesesuaian item obat masih
rendah terutama terhadap
DOEN
A. Kesimpulan
65
60
B. Saran
1. Melakukan review secara reguler setiap 3 tahun sekali untuk semua obat dan
minimal setahun sekali atau jika diperlukan untuk Formularium RSUD
kabupaten Temanggung. Review dilakukan oleh Komite Farmasi dan Terapi
(KFT), bagian Farmasi serta Komite Medik yang melibatkan para dokter
fungsional.
3. Perlu pengontrolan dan ketegasan dari pihak manajemen dalam hal ini top
management seperti membuat regulasi yang mewajibkan untuk menggunakan
dan meresepkan obat generik seperti yang dimandatkan dalam Permenkes RI
Nomor 068 tahun 2010.
4. Pihak manajemen perlu untuk memberikan pelatihan tentang pengelolaan obat
di rumah sakit bagi pengelola obat dalam hal ini staf IFRSUD kabupaten
Temanggung.
5. Manajemen perlu mempertimbangkan untuk melakukan e-prescribing untuk
memudahkan manajemen pengelolaan obat.
6. Manajemen atau peneliti lain dapat mempertimbangkan untuk melakukan
sejumlah analisa tambahan untuk pengendalian perbekalan farmasi seperti
analisis kategori berdasarkan efek terapi, analisis perbandingan harga, analisis
lead time dan payment time, analisis obat kadaluwarsa dan hidden cost
analysis untuk melengkapi analisis ABC dan VEN yang telah dilakukan.
7. Sebagai masukan bagi rumah sakit dalam hal ini bagian Farmasi, langkah-
langkah praktis di bawah ini dapat dijadikan pertimbangan bagi rumah sakit
dalam mengaplikasikan hasil dari analisis ABC dan VEN (tabel 19).
61
Tabel 19. Aplikasi ABC dan VEN dalam Siklus Manajemen Obat
Use Review terhadap item yang paling Review analisis VEN dapat
banyak dipakai/dibeli dapat memberikan hasil berupa
memberikan hasil berupa item penggunaan/pembelian yang tinggi
yang digunakan secara berlebihan untuk V dan E serta
maupun yang sangat rendah penggunaan/pembelian yang
penggunaannya. rendah untuk item N
62
DAFTAR PUSTAKA
Anand, T., Ingle, G. K., Kishore, J., Kumar, R. (2013). ABC-VED Analysis of a
Drug Store in the Department of Community Medicine of a Medical College
in Delhi. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences. 75(1). 113-7
Azis, S., Sasanti, R. H., Herman. (2000). Analisis Komponen Harga Obat. Buletin
Penelitian Kesehatan. 28(1). 399-408
Cameron, A., Ewen, M., Ross-Degnan, D., Ball, D., Laing, R. (2009). Medicine
Prices, Availability, And Affordability In 36 Developing And Middle-Income
Countries: A Secondary Analysis. Thelancet. 373. 240-9
Carla, S. (2010). Evaluasi Anggaran Dan Ketersediaan Obat Tahun 2007 dan
2008 Di RSUD Paniai, Papua. Tesis Manajemen Rumah Sakit. Universitas
Gadjah Mada
Devnani, M., Gupta, A. K., Nigah, R. (2010). ABC And VEN Analysis of The
Pharmacy Store of A Tertiary Care Teaching, Research and Referral
Healthcare Institute of India. J Young Pharm. 2 (2). 201-5.
68
63
Gupta, R., Jain, B. R., Garg, R. K. (2007). ABC and VED Analysis In Medical
Store Inventory Control. MJAFI. 63(4). 325-7.
Istinganah, Danu, S. S., Santoso, A.P. (2006). Evaluasi Sistem Pengadaan Obat
dari Dana APBD Tahun 2001-2003 Terhadap Ketersediaan dan Efisiensi
Obat. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 9. 31-41. Diambil dari:
http://www.jmpk-online.net/files/05-istinganah
Kaur, J., Bapna, J., Bhoi, N., Singh O. P. (2006). Management Of Hospital
Pharmacy In Private Sector. Journal of Health Management. 8(1). 132
Manhas, A. K., Aubid, M., Rashid, H., Mushtaq, S., Syed, A, T. (2012). Analysis
of Inventory of Drug and Pharmacy Department of A Tertiary Care Hospital.
JIMSA. 25(3). 183-5
Millstein, A. M., Yang, L., Li, H. (2013). Optimizing ABC Inventory Grouping
Decisions. Int. J, Production Economics. 148. 71-80
Nofriana, E. (2011). Analisis ABC dan VEN Terhadap Belanja Obat di RSUD Dr.
Soedarso Pontianak Tahun 2010. Tesis Manajemen Rumah Sakit. Jogjakarta:
Universitas Gadjah Mada
Siregar, C., Amalia, L. (2003). Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan.
Jakarta: EGC.
Wandalkar, P., Pandit, P. T., Zite, A. R. (2013). ABC And VED Analysis of The
Drug Store of A Tertiary Care Teaching. Indian Journal Of Basic and Applied
Medical Research. 3(1). 126-131
World Health Organization. (2008). List of Vital Essential & Necessary (VEN)
Drugs and Medical Sundries For Public Health Institutions. Jamaica: WHO
Wong, C. (2007). Using ABC Analysis for Inventory Control. APICS article.
Diambil dari: http://www.apics-redwood.org/articles/art0302BCW.htm
diakses tanggal 26 Juni 2013.
66
Lebih dari sekadar dokumen.
Temukan segala yang ditawarkan Scribd, termasuk buku dan buku audio dari penerbit-penerbit terkemuka.
Batalkan kapan saja.