Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pencelupan zat warna disperse-reaktif pada kain campuran polyester-kapas cara
kontinyu sering diaplikasikan oleh industry tekstil karena memiliki kelebihan yaitu ketuaan
warna, kerataan dan ketahanan luntur warna yang baik, serta kain jenis t/c sendiri sangat
banyak digunakan karena tidak mudah kusut dan tidak terlalu panas. Tetapi, dalam proses
pencelupannya sendiri memiliki beberapa kendala yaitu sifat zat warna reaktif yang
mudah terhidrolisis dan waktu celup yang cukup lama sehingga dibutuhkan metode yang
dapat meminimalisir hidrolisis dan menghemat waktu tetapi tetap memiliki kualitas yang
baik. Oleh karena itu, dibuat makalah ini sebagai perbandingan beberapa metode
pencelupan zat warna disperse-reaktif pada kain campuran polyester-kapas cara
kontinyu.

1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan dan membandingkan
beberapa metode pencelupan zat warna disperse-reaktif pada kain campuran polyester-
kapas cara kontinyu agar diperoleh biaya yang hemat serta kualitas yang baik.
BAB II

TEORI DASAR

2.1 Serat poliester

2.1.1 Pembuatan serat poliester

Serat poliester pertama kali ditemukan oleh DR. W.H. Carothers, seorang ahli
kimia pada lembaga penelitian Du Pount Company di amerika serikat. Kemudian
penemuan ini dikembang lebih lanjut oleh J.R. Whinfield dan J.T Dickson dari perusahaan
Calico Printers Assocation Ltd.

Serat poliester adalah suatu serat sintetik yang terdiri dari polimer-polimer linier.
Serat tersebut pada umumnya dikenal dengan nama dagang dacron, teteron, terylene.
Poliester dibuat dari asam tereftalat dan etilena glikol. Dacron dibuat dari asamnya dan
reaksinya dapat ditulis pada Gambar-1 sebagai berikut :

n HOOC COOH + n HO(CH2)2OH HO [OC COO(CH2)2O ]nH + (2n –1 ) H2O

Asam tereftalat Etilena glikol Dacron Air

Gambar-1 Reaksi Pembuatan Poliester

Asam tereftalat dan etilena glikol dipolimerisasikan dalam ruang hampa udara dan
suhu tinggi. Polimer yang terbentuk disemprotkan dalam bentuk fita, kemudian dipotong-
potong menjadi serpih-serpih dan dikeringkan. Pemintalannya dilakukan dengan cara
pemintalan leleh. Filament yang terjadi ditarik dalam keadaan panas sampai lima kali
panjang semula, kecuali filament yang kasar ditarik dalam keadaan dingin. Jika akan
dibuat stafel, filamennya dibuat keriting kemudian dipotong-potong dengan panjang
tertentu.
2.1.2 Sifat-sifat serat poliester

2.1.2.1 Sifat Fisika

a. Kekuatan dan mulur

Kekuatan serat poliester adalah 4,5-7,5 g/denier dan mulurnya 25%-7,5% dalam
keadaan basah dan kering sama bergantung pada jenisnya

b. Moisture Regain

Moisture Regain 0,4% dalam keadaan standar (270C dan RH 65%), sedangkan
dalam keadaan dengan RH 100% menjadi 0,6-0,8%

c. Elastisitas

Elastisitas serat poliester cukup baik sehingga kain poliester tahan kusut. Jika
benang poliester ditarik dan kemudian dilepaskan pemulihan yang terjadi dalam
satu menit adalah sebagai berikut:

Penarikan 2%: pulih 97%

Penarikan 4%: pulih 90%

Penarikan 8%: pulih 80%

d. Berat jenis

Berat jenis serat poliester 1,38

2.1.2.2 Sifat kimia

a. Poliester tahan terhadap asam lemah mendidih dan tahan asam kuat dingin, tahan
asam basa lemah tetapi kurang tahan basa kuat, tahan zat oksidasi, alkohol,
keton, sabun dan zat-zat pencucian kering. serat larut dalam metakrosol panas,
asam trifluoroasetat-orto-klorofenol.

b. Poliester akan menggembung dalam larutan 2% asam benzoat, asam salisilat,


fenol dan metakresol dalam air

2.1.2.3 Morfologi

Penampang melintang serat poliester berbentuk bulat dan di dalamnya terdapat bintik-
bintik, sedangkan penampang membujurnya berbentuk silinder dinding kulit yang
tebal. Gambar-2 berikut ini memperlihatkan penampang melintang dan membujur
serat poliester
Gambar-2 Morfologi Serat Poliester

2.2 Serat Kapas


Serat kapas merupakan serat alam yang berasal dari serat tumbuh-tumbuhan
yang tergolong kedalam serat selulosa alam yang diambil dari buahnya.

Sifat-sifat serat kapas secara fisik yaitu warnanya agak krem, mulur serat kapas
antara 4 -13 % dan mouisture regainnya adalah 7 - 8,5 %. Sedangkan sifat kimianya serat
kapas akan terhidrolisa oleh asam kuat dan oksidator akan menurunkan kekuatan serat.
Alkali pekat akan menggelembungkan serat kapas.

Serat kapas mempunyai bentuk panampang melintang yang sangat bervariasi dari
elips sampai bulat dan dibagi menjadi empat bagian yaitu kutikula, dinding primer, dinding
sekunder dan lumen. Tetapi pada umumnya berbentuk seperti ginjal. Bentuk pandangan
membujurnya adalah pipih seperti pita yang terpuntir.

Analisa serat kapas menunjukkan bahwa struktur kimia penyusun serat kapas
yang terbesar adalah selulosa sekitar 90 %, sedangkan sisanya berupa lemak, lilin,
minyak, asam-asam organik, mineral dan pigmen alam. Selulosa merupakan suatu rantai
polimer linier yang tersusun dari kondesat molekul-molekul glukosa (C6H10O5) yang
dihubungkan oleh jembatan oksigen pada posisi atom karbon nomor satu dan empat.
Struktur kimia selulosa dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
H OH CH2OH H OH CH2OH
OH O O OH
OH H H O H H
H H OH H H
H O OH H H O OH H
H O H H H
O
CH2OH H OH CH2OH H OH
n
Struktur Rantai Molekul Selulosa

Setiap satuan glukosa mengandung tiga gugus hidroksil (-OH). Gugus hidroksil
pada atom karbon nomor lima merupakan alkohol primer (-CH2OH), sedangkan pada
posisi 2 dan 3 merupakan alkohol sekunder (HCOH). Kedua jenis alkohol tersebut
mempunyai tingkat kereaktifan yang berbeda. Gugus hidroksil primer lebih reaktif
daripada gugus hidroksil sekunder. Gugus hidroksil merupakan gugus fungsional yang
sangat menentukan sifat kimia serat kapas, sehingga dalam penulisan mekanisme reaksi,
serat selulosa dinotasikan sebagai sel-OH.

Struktur selulosa merupakan rantai dari anhidro glukosa yang panjang dan
membentuk cincin yang dihubungkan oleh atom-atom oksigen. Pada ujung rantai yang
mengandung aldehida yang mempunyai gugus pereduksi, sedangkan pada rantai bagian
tengah mempunyai hidroksil. Bila rantai tersebut dipecah menjadi dua atau lebih dengan
suatu proses kimia maka ujung-ujung rantai akan terhapus membentuk gugusan aldehida
atau karboksilat.

2.3 Kain Campuran Poliester-Kapas (T/C)


Setiap serat mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan pencampuran maka

kekurangan dari salah satu fungsi jenis serat dapat diimbangi dengan kebaikan serat yang

lain. Serat poliester mempunyai sifat-sifat baik yaitu kekuatan yang tinggi, ketahanan

gosokan, sifat-sifat cuci dan pakai, ketahanan kusut sedangkan salah satu kekurangan

serat tersebut yaitu mempunyai daya serap rendah. Sebaliknya serat kapas mempunyai

sifat daya serap tinggi tetapi tahan kusutnya rendah.


Tabel-1 Sifat kain campuran poliester-kapas

Sifat Poliester Kapas


Sifat-sifat mekanik A B-A
Absorbsi terhadap air C B-A
Kemampuan menyerap zat C A
warna
Estetika A B
Gosokan kering B B
Gosokan basah B C-B
Daya terhadap kekusutan A C
Daya mempertahankan A C
lipatan
Bulkiness B C-B
Elektrostatik C A
Pilling C A
Softening point B A
Pelubangan karena C A
pembakaran

Sumber : Sunaryo, Proses pengerjaan kain campuran poliester kapas, ITT, Bandung,
1975, hal 9

Keterangan: A = baik sekali

B = cukup baik

C = kurang

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing serat tidak memiliki
sifat kesempurnaan suatu bahan tekstil, maka dengan pencampuran serat poliester dan
kapas ini diharapkan dapat memperbaiki kekurangan sifat-sifat yang dimiliki oleh masing-
masing serat sehingga diperoleh hasil yang memuaskan.
2.4 Zat Warna Dispersi
Zat warna dispersi adalah zat warna organik yang terbuat secara sintetik.
Kelarutannnya dalam air kecil sekali dan larutan yang terjadi merupakan dispersi atau
partikel-partikel yang hanya melayang dalam air.

Zat warna dispersi mula-mula digunakan untuk mewarnai serat selulosa.


Kemudian dikembangkan lagi, sehingga dapat digunakan untuk mewarnai serat buatan
lainnya yang lebih hidrofob dari serat selulosa asetat, seperti serat poliester, poliamida,
dan poliakrilat.

2.4.1 Struktur kimia zat warna dispersi

Zat warna dispersi berdasarkan struktur molekulnya dapat dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu senyawa dari turunan azo, turunan dari senyawa antrakuinon dan turunan
dari senyawa difenilamin. Contoh struktur molekul zat warna dispersi turunan senyawa
azo, antrakuinon dan difenilanim dapat dilihat pada gambar berikut ini:

1. Golongan Azo (-N=N-)

2. Golongan Antrakuinon
2.4.2 Sifat-sifat umum zat warna dispersi

Zat warna dispersi merupakan zat warna yang terdispersi dalam air dengan
bantuan zat pendispersi. Adapun sifat-sifat umum zat warna dispersi adalah
sebagai berikut:

1. Zat warna dispersi mempunyai berat molekul yang relatif kecil (partikel 0,5-
2).
2. Bersifat non-ionik terdapat gugus-gugus fungsional seperti –NH2, -NHR,
dan -OH. Gugus-gugus tersebut bersifat agak polar sehingga
menyebabkan zat warna sedikit larut dalam air.
3. Kelarutan zat warna dispersi sangat kecil, yaitu 0,1 mg/l pada suhu 80C.
4. Tidak mengalami perubahan kimia selama proses

2.4.3 Penggolongan zat warna dispersi

Berdasarkan ketahanan sublimasinya, zat warna dispersi sebenarnya dapat


dikelompokkan kedalam empat kategori utama. Sebut saja zat warna dispersi
golongan A, golongan B, golongan C, dan golongan D.

Zat Warna Dispersi Golongan A


Zat warna dispersi golongan A memiliki berat molekul yang terkecil dan memiliki
ketahanan sublimasi rendah. Pencelupannya harus dilakukan pada suhu didih. Zat
warna jenis ini sangat sesuai jika digunakan untuk mencelup serat selulosa asetat,
triasetat dan poliamida.
Zat warna Dispersi Golongan B
Zat warna dispersi golongan B memiliki sifat ketahanan sublimasi sedang, yaitu
tersublimasi penuh pada suhu sekitar 1800C. Zat warna ini dapat digunakan untuk
mencelup serat poliester dengan bantuan zat pengemban dan dapat digunakan
juga untuk pencelupan suhu tinggi.
Zat Warna Dispersi Golongan C
Zat warna dispersi golongan C memiliki sifat ketahanan sublimasi tinggi sampai
2000C. Zat warna ini biasa digunakan untuk pencelupan suhu tinggi.
Zat Warna Dispersi Golongan D
Zat warna dispersi golongan D memiliki sifat ketahanan sublimasi sangat tinggi
sampai 2100C. Zat warna ini biasa digunakan untuk pencelupan metode termosol
2.5 Mekanisme reaksi zat warna dispersi dengan poliester

Zat warna dispersi mengandung gugus aromatik dan alifatik yang berfungsi
mengikat gugus fungsional dan gugus pemberi hidrogen. Gugus fungsi –OH dan –NH2
berfungsi sebagai pengikat interaksi dwi kutub (gaya van der waals), pembentuk ikatan
hidrogen dari gugus amina zat warna dengan gugus karbonil C=O atau gugus asetil dari
serat.

Jenis ikatan yang terjadi antara gugus fungsional zat warna dispersi dengan serat
poliester ada 2 macam yaitu:

1.1.1. Ikatan Hidrogen

Ikatan hidrogen merupakan gaya dipol yang mellibatkan ikatan hidrogen dengan atom
lain. Kebanyakan zat warna dispersi tidak mengadakan ikatan hidrogen dengan serat
poliester karena zat warna dispersi dan serat poliester bersifat non polar. Hanya sebagian
zat warna dispersi yang mengadakan ikatan hidrogen dengan serat poliester yaitu zat
warna dispersi yang mempunyai donor proton seperti -OH atau -NH2. Reaksi yang terjadi
antara zat warna dispersi dengan serat poliester adalah sebagai berikut :

1.1.2. Ikatan Hidrofobik


Zat warna dispersi dan serat merupakan senyawa hidrofob dan bersifat non polar. Ikatan
yang terjadi pada senyawa hidrofob dan bersifat non polar. Non polar ini disebut ikatan
hidrofobik. Gaya yang berperan dalam terbentuknya ikatan hidrofobik antara serat
poliester dan zat warna dispersi adalah gaya dispersi london yang termasuk ke dalam
gaya Van Der Waals (gaya fisika). Ikatan dari gaya Van Der Waals sesungguhnya terdiri
dari dua komponen yaitu ikatan dipol dan gaya dispersi london. Akan tetapi sifat zat warna
dispersi cenderung non polar, sehingga gaya yang berperan dalam terbentuknya ikatan
antara zat warna dispersi dan serat poliester adalah gaya dispersi London.
2.6 Zat Warna Reaktif
Zat warna reaktif dikenal sebagai zat warna yang dapat bereaksi secara kimia dengan
serat selulosa dalam ikatan yang kuat (ikatan kovalen), sehingga zat warna ini merupkan
bagian dari serat. Ikatan ini terbentuk dari reaksi antara gugus reaktif pada zat warna
reaktif dengan gugus –OH, –SH, –NH2, dan –NH yang ada dalam serat. Oleh karena itu,
hasil pencelupan zat warna reaktif mempunyai ketahanan cuci yang sangat baik.

2.6.1 Struktur Kimia Zat Warna Reaktif


Pada umumnya zat warna reaktif mempunyai struktur kimia yang terdiri atas gugus-gugus
fungsional dengan fungsi tertentu, yaitu :
1. Gugus pelarut
Gugus pelarut menyebabkan zat warna reaktif dapat larut dalam air. Gugus pelarut ini
umumnya ada pada bagian kromofor, yang berupa : Gugus sulfonat (–SO3H atau –
SO3Na) atau gugus karboksilat (–COONa atau –COOH).
Adanya gugus pelarut yang terdapat pada zat warna reaktif tidak hanya berpengaruh pada
kelarutan zat warna reaktif saja, tapi juga berpengaruh terhadap sifat-sifat yang lain,
seperti substantifitas, kereaktifan dan kestabilan ikatan serat dan zat warna.
Gugus pelarut dapat berpengaruh terhadap substantifitas zat warna. Kesamaan sifat ion
antara gugus hidroksil selulosa dengan gugus pelarut zat warna menyebabkan terjadinya
reaksi tolak menolak, yang berakibat adsorbsi zat warna terhambat, sehingga
substantifitas zat warna menurun.
Kereaktifan zat warna akan meningkat dengan semakin banyaknya gugus pelarut. Hal ini
disebabkan karena gugus tersebut bersifat sebagai penarik elektron, sehingga
berpengaruh terhadap kekuatan ikatan zat warna. Pengaruh gugus pelarut karboksilat
terhadap kereaktifan relatif lebih kecil dibanding gugus pelarut sulfonat. Oleh karena itu,
zat warna reaktif dengan gugus pelarut karboksilat pada umumnya mempunyai kestabilan
terhadap hidrolisa yang lebih tinggi.
2. Kromofor
Kromofor merupakan gugus pembawa warna yang menentukan corak dan kecerahan
warna. Kromofor juga berpengaruh terhadap substantifitas dan kooefisien difusi,
kereaktifan, serta kelarutan zat warna. Jenis struktur komofor zat warna reaktif pada
umumnya adalah jenis azo, antrakuinon, dan ftalosianin.
Peningkatan suhu celup dapat menurunkan substantifitas dan menaikkan kereaktifan zat
warna reaktif. Oleh karena itu zat warna reaktif yang kereaktifannya tinggi pada umumnya
mempunyai kromofor yang kecil (substantifitasnya kecil), sebaliknya zat warna yang
kereaktifannya rendah umumnya mempunyai kromofor yang agak besar
(substantifitasnya lebih besar).
3. Gugus penghubung
Gugus penghubung adalah gugus yang menghubungkan kromofor dengan gugus reaktif,
misalnya gugus amina (–NH–), sulfoamina (–SO2NH), dan amida (–CONH–). Gugus
penghubung ini berpengaruh juga terhadap kereaktifan zat warna reaktif karena bersifat
sebagai penarik elektron (elektrofilik). Selain itu berpengaruh juga terhadap kestabilan
hasil celup karena ikatan antara serat dengan zat warna dapat diputus pada bagian ini.

4. Gugus reaktilf
Gugus reaktif adalah gugus yang dapat bereaksi dengan serat. Gugus ini sangat besar
pengaruhnya terjadap kereaktifan zat warna, karena mempunyai atom karbon bermuatan
positif yang mencari tempat negatif (elektrofilik), yang akan bereaksi dengan gugus fungsi
serat yang mempunyai sepasang elektron bebas (nukleofilik).
Gugus reaktif dapat berupa triazin, pirimidin, kinoaksalin, vinilsulfon, sulfoetilamida atau
akrilamida. Pada gugus reaktif terdapat gugus yang mudah terlepas (gugus lepas). Pada
zat warna reaktif, setelah melepaskan gugus lepasnya akan memiliki ion positif. Ion ini
dapat bereaksi secara adisi atau substitusi dengan gugus negatif yang memiliki elektron
bebas. Gugus lepas ini dapat berupa gugus flour, klor, brom, atau sulfat.

2.6.2 Penggolongan Zat Warna Reaktif


Zat warna reaktif dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu :
1. Berdasarkan reaksi
Berdasarkan reaksi yang terjadi, zat warna reaktif dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
a. Golongan I (satu)
Yaitu zat warna reaktif yang dapat mengadakan reaksi adisi nukleofilik dengan serat
selulosa dan membentuk ikatan eter dengan gugus vinil sulfon. Ikatan ini biasanya tahan
terhadap kondisi alkali, tetapi kurang tahan terhadap kondisi asam. Salah satu zat warna
reaktif yang mengadakan reaksi ini yaitu dari golongan vinil sulfon. Reaksi fiksasi yang
terjadi antara zat warna dengan serat adalah sebagai berikut:
D-SO2-CH2-CH2-O-SO3Na + NaOH → D-SO2-CH=CH2 + Na2SO4 + H2O
D-SO2-CH=CH2 + Sel-OH → D-SO2-CH2-CH2-O-Sel
b. Golongan II (dua)
Yaitu zat warna reaktif yang dapat mengadakan reaksi substitusi nukleofilik dengan
selulosa membentuk ikatan pseudo-ester. Ikatan ini biasanya tahan terhadap kondisi
asam, tetapi kurang tahan terhadap kondisi alkali. Contoh zat warna reaktif yang
mengadakan reaksi ini yaitu zat warna reaktif dengan gugus triazin.

Reaksi fiksasi diklorotriazin

Reaksi fiksasi monoklorotriazin

2. Berdasarkan cara pemakaian


Berdasarkan cara pemakaiannya, zat warna reaktif digolongkan menjadi dua macam,
yaitu:
a. Pemakaian cara dingin
Zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan tinggi, misalnya zat warna reaktif dengan
sistem diklorotriazin. Suhu pencelupannya tidak lebih dari 40OC karena pada suhu yang
lebih tinggi zat warna tersebut akan mudah terhidrolisa.
b. Pemakaian cara panas
Yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan rendah, sehingga perlu
menggunakan suhu yang tinggi pada proses pencelupannya. Contoh zat warna ini yaitu
zat warna dengan gugus reaktif monoklorotriazin. Suhu pencelupannya antara 60 – 80OC.
BAB III

METODELOGI

3.1 Resep pencelupan


3.1.1 Resep pad zat warna disperse
 Zat warna disperse : 20-30 g/l
 Asam asetat 30% : 2 ml/l
 Pendispersi : 2 ml/l

3.1.2 Resep pad zat warna reaktif

 Zat Warna Reaktif : 20-30 g/l


 Pembasah : 1-2 ml/l
 Zat anti migrasi : 5-10 g/l
 Urea : 25-50 g/l
 WPU : 65 %

3.1.3 resep pada alkali

 Na2CO3 : 20 g/l
 NaCl : 200 g/l
 WPU : 75 %

3.2 Fungsi zat


 Zat warna disperse : untuk mewarnai serat polyester
 Zat warna reaktif : untuk mewarnai serat kapas
 Pembasah : menurunkan tegangan permukaan sehingga
mempermudah proses pembasahan kain
 Asam asetat : memberikan suasana asam pada larutan disperse
 Pendispersi : mendispersikan zat warna disperse dalam larutan
 Zat anti migrasi : untuk mencegah migrasi saat drying
 Urea : menjaga kelembaban kain saat proses drying
 Na2CO3 : untuk fksasi zat warna reaktif dan sebagai pengatur pH
alkali pada larutan cuci sabun
 NaCl : untuk menjenuhkan pad alkali

3.3 Skema proses


Metoda two bath two stage
Metoda one bath two stage

Metoda one bath one stage

BAB IV

PEMBAHASAN

Pencelupan zat warna disperse-reaktif pada kain campuran polyester-kapas


dengan metode kontinyu dapat dilakukan dengan beberapa skema yang masing-masing
memiliki kekurangan dan kelebihannya. Pada pencelupan ini, hal yang perlu diperhatikan
adalah sifat zat warna reaktif yang mudah terhidrolisis yang sangat tergantung pada
kondisi prosesnya yaitu pH, suhu dan konsentrasi air. Zat warna reaktif dapat berikatan
kovalen dengan selulosa pada kondisi alkali dengan reaksi sebagai berikut :

D-Cl + H-O-Sel → D-O-Sel + HCl


Namun, secara bersamaan zat warna reaktif sangat mudah terhidrolisis pada
kondisi alkali sehingga akan merusak zat warna dan tidak bisa berikatan dengan serat.
Tetapi reaksi hidrolisis ini lebih kecil daripada reaksi fiksasi karena kenukleofilan OH- lebih
lemah dari Sel-O-. reaksi hidrolisis sebagai berikut :

D-Cl + H-O-H → D-O-H + HCl

Proses pencelupan ini membutuhkan beberapa zat pembantu yaitu zat


pendispersi untuk mendispersikan zat warna disperse agar terdispersi secara
monomolekuler. Asam asetat untuk menetralkan OH- agar serat polyester tidak rusak. zat
anti migrasi untuk mencegah migrasi zat warna pada saat proses drying sehingga tidak
terjadi degradasi warna. urea untuk menjaga kelembaban zat warna di dalam bahan,
penggunaan urea ini bergantung pada ukuran molekul zat warna dan suhu drying. NaCl
untuk mendorong penyerapan zat warna reaktif serta menjenuhkan larutan pad alkali.

Metode pertama dalam pencelupan ini adalah metode 2 Bath 2 Stage, dimana
pencelupan zat warna disperse dengan zat warna reaktif dipisah serta padding alkali
untuk fiksasi terpisah. Zat warna disperse dilakukan pada tahap awal dengan fiksasi cara
termosol pada suhu 200-2200C selama 2 menit kemudian dilakukan proses cuci reduksi
menggunakan reduktor dalam suasana alkali untuk menghilangkan sisa zat warna yang
tidak terfiksasi. Dilanjutkan dengan pencelupan zat warna reaktif yaitu dengan proses
padding larutan zat warna beserta zat pembantu kemudian drying dan skying untuk
mendinginkan kain. Selanjutnya padding alkali (Na2CO3) dalam suasana jenuh dengan
penambahan NaCl, padding alkali untuk pembentukan anion selulosa sehingga dapat
berikatan kovalen dengan zat warna reaktif. Semakin tinggi konsentrasi alkali maka
pembentukan anion selulosa semakin banyak dan reaksi semakin cepat. Berikut
konsentrasi alkali sesuai dengan ketuaan warna yang ingin diperoleh :

Na2CO3 Muda Sedang Tua


Reaktif panas 10 g/L 20 g/L 30 g/L
Reaktif dingin 5 g/L 10 g/L 15 g/L

Proses fiksasi dapat dilakukan dengan cara curing, steaming atau batching. Pada
skema ini dilakukan dengan cara steaming agar menghindari degradasi zat warna apabia
dilakukan curing sehingga ketuaan warna menjadi menurun dan menghemat waktu
dibandingkan dengan proses batching. Metode ini dimaksudkan agar hidrolisis zat warna
reaktif menjadi terminimalisir sehingga menghasilkan hasil celup yang tua namun proses
celup membutuhkan waktu yang lama.

Metode kedua adalah one bath two stage dimana penambahan alkali pada
pencelupan zat warna reaktif disatukan dalam satu bak. Hal ini dilakukan agar waktu celup
menjadi lebih pendek, tetapi kemungkinan besar dapat terjadi hidrolisis zat warna. Oleh
karena itu, dibutuhkan zat warna reaktif yang tahan terhadap alkali yaitu jenis vinil sulfon.
Vinil sulfon memiliki kelebihan yaitu tahan terhadap alkali karena memiliki bentuk awal
sulfatoetilsulfon yang tidak memiliki kereaktifan dan reaksi fiksasi dan hidrolisis bersifat
reversible (bolak-balik). Namun hasil celupnya tidak tahan terhadap alkali terutama suhu
yang terlalu panas. Proses fiksasi dapat dilakukan dengan cara

Metode ketiga adalah one bath one stage dimana seluruh zat disatukan dalam
satu bak antara lain zat warna disperse, zat warna reaktif, alkali, dan zat pembantu.
Metode ini dimaksudkan untuk menghemat waktu namun hasil celup kurang baik. Dalam
metode ini, zat warna disperse harus menggunakan jenis antrakuinon serta zat warna
reaktif jenis vinil sulfon agar tahan terhadap alkali. Dengan metode ini, tidak dilakukan
cuci reduksi karena dapat merusak zat warna reaktif sehingga hasil celup memiliki
ketahanan luntur warna yang kurang baik.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai pencelupan zat warna disperse-reaktif


pada kain campuran polyester-kapas cara kontinyu, maka metode yang paling baik adalah
meode one bath two stage karena dapat diperoleh hasil celup dengan ketuaan warna,
kerataan, dan ketahanan luntur warna yang baik serta dapat menghemat waktu celup.

Anda mungkin juga menyukai