Anda di halaman 1dari 3

Drama Tari Klasik Bali; Gambuh

Jendela Nusantara edisi hari ini, akan membahas tentang sebuah tari pertunjukkan yang sudah
mulai jarang dipertunjukkan. 'Panyembrama', 'Sanghyang', 'Legong', 'Janger', 'Barong', tari 'Cak'
mungkin adalah beberapa tari yang sudah akrab di telinga masyarakat Bali maupun wisatawan
yang datang berkunjung ke pulau seribu pura ini. namun, pernahkah sobat mendengar tentang
Gambuh?

Adalah sebuah kesempatan yang sangat langka, bahkan untuk masyarakat bali sendiri, untuk
menyaksikan Gambuh, sebuah drama tari klasik yang keberadaanya hanya diketahui oleh
segelintir orang saja. Drama tari warisan budaya bali ini, dahulu konon adalah sebuah
pertunjukan seni yang hanya dipertontonkan kepada para raja dan bangsawan di lingkungan
kerajaan. Perbendaharaan geraknya yang banyak, tingkat kerumitan gerak, iringan musik,
kostum serta tata artistiknya yang megah, membuat tarian ini dipercaya sebagai cikal bakal
drama tari pertunjukan bali masa kini.

Berdasarkan penelusuran sejarah, dikutip dari sebuah penelitian, disebutkan bahwa:

“Gambuh adalah sebuah drama tari warisan budaya Bali, yang memperoleh pengaruh dan drama
tari zaman Jawa-Hindu di Jawa Timur, yang dikenal dengan nama Rakêt Lalaokaran. Drama tari
klasik yang lahir di Puri pada masa lampau, masih dilestarikan diberbagai daerah di Bali, yang
dulunya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan. Rakêt telah mengalami perjalanan sejarah yang
panjang, dan baru disebutkan lagi dalam Kidung Warjban Wideya dari abad XVI. Rakêt
Lalaokaran yang juga disebut Gambuh Ariar adalah pertunjukan berlakon yang merupakan
perpaduan antara Rakêt dengan Gambuh. Gambuh abad XVI ini adalah tarian perang yang
merupakan kelanjutan dan Bhata Mapdtra Yuddha, yaitu tarian perang untuk menghibur rakyat
Majapahit yang melaksana upacara Shreiddha.” (dikutip dari blog 'gandarajiwana')

Lakon dalam seni drama tari gambuh, pada umumnya mengangkat tentang kisah 'Panji' atau
kepahlawanan. Seni ini dipresentasikan dalam bentuk teater karena di dalamnya terdapat
perpaduan seni suara, seni drama, tari, seni rupa, seni sastra, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang
biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya atau Kadean-kadean, Panji (Patih
Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam
memainkan tokoh-tokoh tersebut, semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi atau Jawa
kuno, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan
kasar.
Drama tari ini dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa
Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lainya
sebagainya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu.

Sebagai sebuah drama tari, karya seni ini juga tidak terlepas dengan unsur ritual. Ditemukannya
lontar atau naskah kuno Dharma Pagambuhan menunjukan bahwa terdapat aturan aturan yang
tidak boleh diabaikan dalam sebuah pertunjukan Gambuh. Di dalam lontar ini terdapat tuntunan
spiritual untuk dramatari Gambuh, yang berisi pertunjukan berupa mantra-mantra yang harus
diketahui oleh penari maupun Penabuh Gambuh. Lontar ini juga memuat jenis-jenis sesajen yang
harus dipersembahkan ketika melakukan pementasan Gambuh. Digunakannya jenis-jenis sesajen
yang dimuat dalam Dharma Pagambuhan oleh genre seni pertunjukan lainnya di Bali merupakan
pertunjukan pula, bahwa Gambuh adalah sumber drama tari Bali yang tercipta kemudian, Arja.

Kini masyarakat Bali terus berupaya untuk mengembalikan eksistensi Gambuh, di tengah
derasnya modernisasi yang mempersempit ruang gerak pertunjukan seni klasik ini. Gambuh yang
masih aktif hingga kini hanya dapat ditemukan di desa Batuan (Ginayar), Padang Aji dan
budakeling (Karangasem), Pedungan (Denpasar), Apit Yeh (Tabanan), Anturan dan Naga Sepeha
(Buleleng).
Classical Dance Drama Bali; Gambuh
Nusantara window today's edition, will discuss about a dance show of rare performed.
'Panyembrama', 'Trance', 'Legong', 'Janger', 'Barong' dance 'smack' probably is some dance that
are familiar to the people of Bali as well as tourists who come to visit this island of a thousand
temples. however, have you ever heard about Gambuh pal?
Is a very rare occasion, even for the people of Bali itself, to witness Gambuh, a classical dance
drama that its existence is known only to a few people. Balinese dance drama of cultural
heritage, the first supposedly is an art show that is only shown to the kings and nobles in the
kingdom. Treasury motion that much, the complexity of motion, music, costumes and
magnificent artistic layout, making this dance drama is believed to be the forerunner of today's
Balinese dance performances.
Based on the search history, quoted from a study, stated that:
"Gambuh is a dance drama Balinese cultural heritage, which is gaining influence and dance
drama Javanese-Hindu era in East Java, which is known as Lalaokaran racket. Classical dance
drama that was born in the castle in the past, is still preserved in various regions in Bali, which
was once the kingdom's territory. Racket has experienced a long history, and has mentioned
again in the Song Warjban Wideya of the XVI century. Lalaokaran racket which is also called
Gambuh Ariar is performing a play that is a blend of racket with Gambuh. Gambuh XVI century
this is a war dance which is a continuation and Bhata Mapdtra Yuddha, namely war dance to
entertain people Majapahit melaksana Shreiddha ceremony. "(Quoted from the blog
'gandarajiwana')
The play in the art of dance drama gambuh, generally raised on the story of 'Flag' or heroism. Art
is presented in the form of theater as it includes a blend of sound art, drama, dance, visual arts,
literary arts, and so on. The characters are usually displayed is Lean, Kakan-ballooning,
daughter, Arya or Kadean-kadean, Panji (Patih Sweet), Prabangsa (Patih Hard), Demat, Chief,
Turas, Panasar and King. In playing these figures, all the dancers dialogue, generally Kawi or
ancient Javanese, except figure Turas, Panasar and Lean speaking Bali, well fine, medium and
coarse.
This dance drama staged in ceremonies such Yadnya Gods temple ceremony, ceremonies like
marriage Manusa Yadnya noble family, the ceremony Pitra Yadnya (cremation) and other so on.
Accompanied by gamelan Penggambuhan that pelog Saih Pitu.
As a dance drama, this artwork can not be separated with the element of ritual. The discovery of
an ancient manuscript ejection or Dharma Pagambuhan show that there are rules that the rule
should not be overlooked in a show Gambuh. In the papyrus there are spiritual guidance to
dramatari Gambuh, which contains the show in the form of spells that must be known by the
dancer and musician Gambuh. This manuscript also contains the types of offerings that must be
presented when making Gambuh staging. The use of the types of offerings contained in Dharma
Pagambuhan by other performing arts genre in Bali is the show anyway, that is the source of
drama Gambuh dance performance created later, Arja.
Now the Balinese people keep trying to restore Gambuh existence, in the middle of the swift
modernization of the space to show this classical art. Gambuh are still active until now only be
found in the village of Batuan (Ginayar), Padang Aji and Budakeling (Karangasem), Pedungan
(Denpasar), Apit Yeh (Tabanan), Anturan and Dragon Sepeha (Buleleng).

Anda mungkin juga menyukai