Anda di halaman 1dari 2

Teori yang dipakai di Indonesia dalam menerapkan Hukum Internasional, menurut saya ada 2

yaitu :
1. Teori Monisme

Monisme menyatakan bahwa sistem hukum nasional dan internasional membentuk satu
kesatuan. Aturan hukum nasional dan internasional yang telah diterima oleh suatu negara
sama-sama menentukan apakah suatu tindakan itu sesuai dengan hukum atau tidak. Di
kebanyakan negara "monis", masih ada perbedaan antara hukum internasional (baik
dalam bentuk perjanjian-perjanjian ataupun bentuk-bentuk yang lain, seperti kebiasaan
hukum internasional atau jus cogens) dan nasional, sehingga mereka merupakan negara
sebagian monis dan sebagian dualis. Di suatu negara yang murni menganut monisme,
hukum internasional sama sekali tidak perlu diubah menjadi hukum nasional. Hukum
tersebut secara otomatis berlaku di ranah hukum nasional, dan hukum internasional
dapat langsung diterapkan oleh hakim di tingkatan nasional, dan dapat langsung
digunakan sebagai landasan hukum dalam perkara oleh warga negara. Seorang hakim
dapat menyatakan aturan nasional tidak sah jika bertentangan dengan aturan
internasional karena di beberapa negara, hukum yang paling baru dikeluarkan memiliki
prioritas. Di negara-negara seperti Jerman, perjanjian-perjanjian memiliki kekuatan
hukum sama seperti undang-undang, dan dengan diberlakukannya asas Lex posterior
derogat legi priori ("undang-undang baru menghapus yang sebelumnya"), maka
perjanjian tersebut mengesampingkan undang-undang nasional dari masa sebelum
ratifikasi. Sistem monisme yang paling murni menyatakan bahwa hukum nasional yang
bertentangan dengan hukum internasional tidak berlaku lagi, bahkan jika hukum nasional
tersebut dikeluarkan setelah hukum internasional atau jika hukum itu
bersifat konstitusional.
Dari sudut pandang hak asasi manusia, monisme memiliki beberapa keuntungan. Sebagai
contoh, suatu negara yang menerima perjanjian hak asasi manusia – misalnya, Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, tetapi beberapa undang-undang nasionalnya
membatasi kebebasan pers, maka seorang warga negara yang dituntut oleh negara
tersebut apabila melanggar hukum nasional, dapat memohonkan perjanjian hak asasi
manusia di ruang sidang nasional dan dapat meminta hakim menerapkan perjanjian
tersebut dan memutuskan bahwa hukum nasional tidak sah. Ia tidak harus menunggu
proses pengubahan hukum internasional ke dalam hukum nasional. Bagaimanapun,
pemerintahannya dapat lalai atau bahkan tidak mau memasukkan hukum internasional.
2. Teori Dualisme
Konsep dualisme menekankan perbedaan antara hukum nasional dan internasional, dan
mewajibkan pengubahan hukum internasional menjadi hukum nasional. Tanpa
pengubahan, hukum internasional tidak diakui sebagai hukum. Hukum internasional
harus menjadi hukum nasional, atau bukan hukum sama sekali. Jika suatu negara
menerima sebuah perjanjian, tetapi tidak menyesuaikan hukum nasionalnya supaya
sesuai dengan perjanjian tersebut; atau tidak menciptakan undang-undang nasional yang
secara eksplisit memasukkan perjanjian tersebut, maka hal tersebut melanggar hukum
internasional. Namun, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa perjanjian tersebut telah
menjadi bagian dari hukum nasional. Warga negara tidak dapat bergantung padanya dan
hakim tidak dapat menerapkannya. Hukum nasional yang bertentangan dengan hukum
internasional tetap berlaku. Menurut konsep dualisme, hakim nasional tidak pernah
menerapkan hukum internasional, dan baru dapat melakukannya jika hukum
internasional tersebut telah diubah menjadi hukum nasional.
"Hukum internasional tidak memberikan hak yang diakui oleh pengadilan nasional.
Hukum ini hanya berlaku, sejauh aturan-aturan hukum internasional diakui termasuk ke
dalam aturan hukum nasional; dan sejauh aturan-aturan tersebut diizinkan di pengadilan
nasional untuk memberikan hak dan kewajiban".
Supremasi hukum internasional merupakan suatu aturan dalam sistem dualisme, seperti
halnya pada sistem monis. Sir Hersch Lauterpacht menunjukkan itikad pengadilan untuk
mencegah penghindaran kewajiban-kewajiban internasional, dengan penegasan
berulang-ulang tentang:
Asas hukum internasional yang sudah jelas bahwa negara tidak dapat menggunakan
hukum nasional sebagai alasan untuk tidak memenuhi kewajiban internasionalnya.
Jika hukum internasional tidak dapat diterapkan langsung, seperti halnya dalam sistem
dualisme, maka hukum tersebut harus diubah menjadi hukum nasional, dan hukum
nasional yang ada – yang bertentangan dengan hukum internasional – harus "diubah
terlebih dahulu"; baik dengan penyesuaian atau dihapuskan supaya sesuai dengan hukum
internasional. Dari sudut pandang hak asasi manusia, jika perjanjian hak asasi manusia
diterima hanya karena alasan politik, dan negara-negara tidak berniat mengubahnya
menjadi hukum nasional atau mengambil pandangan monisme atas hukum internasional,
maka perjanjian tersebut tidak akan diberlakukan oleh negara yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai