Anda di halaman 1dari 14

Parameter retikulosit untuk talasemia delta beta, talasemia beta,

dan anemia defisiensi besi


Velasco-Rodríguez D, Alonso-Domínguez JM, González-Fernández FA, Villarrubia J, Sopeña M, Abalo L, Ropero
P, Martínez-Nieto J, de la Fuente Gonzalo F, Cava F.

ABSTRAK

TUJUAN:

Untuk menganalisis perbedaan indeks retikulosit antara sifat talasemia delta beta (δβ-TT), sifat
talasemia beta (β-TT) dan anemia defisiensi besi (ADB), dan untuk mengkorelasikan perbedaan
tersebut dengan fisiopatologis dari ketiga jenis mikrositosis ini.

METODE:

Penulis melakukan penelitian deskriptif terhadap 428 sampel (43 δβ-TT, 179 β-TT dan 206
ADB) yang dijalankan pada Advia 2120 analyzer (Siemens). Indeks retikulosit berikut dinilai:
jumlah retikulosit absolut (absolute reticulocyte count / ARC), persentase retikulosit, volume sel-
sel retikulosit rata-rata (mean corpuscular volume of reticulocytes / MCVr), kadar hemoglobin
retikulosit (haemoglobin content of reticulocytes / CHr), rerata konsentrasi hemoglobin
retikulosit, distribusi sel darah merah dari sel darah putih (red blood cell distribution width of
reticulocytes / RDWr), distribusi hemoglobin dari retikulosit (haemoglobin distribution width of
reticulocytes / HDWr) dan subpopulasi retikulosit berdasarkan pada fluoresensi menurut mRNA
(rendah (L-R), sedang (M-R) dan tinggi (H-R), rasio MCV dan rasio MCHC. Korelasi antara
hemoglobin janin (HbF) dan RDWr pada pasien dengan talasemia dievaluasi.

HASIL:

RDWr secara signifikan lebih tinggi pada δβ-TT dibandingkan dengan β-TT (15,03% vs 13,82%,
p <0,001), dan juga HDWr (3,65% vs 3,27%, p <0,001), CHr (23,68 vs 22,66 pg, p < 0,001) dan
MCVr (88,3 vs 85,5 fL, p <0,001). Korelasi yang baik diamati antara HbF dan RDWr (r = 0,551,
p <0,001). Subjek ADB memiliki retikulosit yang lebih imatur, tetapi ARC lebih sedikit daripada
β-TT, menunjukkan tingkat tertentu dari erythropoiesis yang tidak efisien pada ADB
dibandingkan dengan β-TT.

KESIMPULAN:

Perbedaan yang telah diketahui antara δβ-TT, β-TT dan IDA dalam indeks sel darah merah
dewasa juga dapat diamati pada retikulosit. Tingkat anisositosis pada retikulosit dari pasien
dengan talasemia berkorelasi dengan HbF.
PENDAHULUAN

Penelitian tentang retikulosit telah mendapatkan perhatian besar dan menjadi semakin
penting setelah muncul metode analisis yang menggunakan pewarna spesifik untuk RNA, karena
penghitungan yang tepat dan akurat dapat dilakukan bahkan pada konsentrasi rendah.1
Retikulosit adalah eritrosit yang paling awal dilepaskan ke dalam aliran darah, dan bersirkulasi
hanya selama 1 atau 2 hari.2 Karena rentang hidup retikulosit yang lebih pendek dalam sirkulasi
dibandingkan dengan sel darah merah dewasa (sel darah merah; 120 hari), parameter retikulosit
adalah alat yang lebih andal untuk mengevaluasi aktivitas eritroid sumsum tulang secara real
time, mengingat bahwa perubahan eritropoiesis dapat terdeteksi lebih awal.1
Beberapa parameter retikulosit telah terbukti berperan penting dalam beberapa penelitian
mengenai gangguan sel darah merah. Sebagai contoh, kandungan hemoglobin retikulosit (CHr)
telah digunakan untuk mendiagnosis dan menindaklanjuti anemia defisiensi besi (ADB),3 untuk
memprediksi defisiensi besi fungsional awal pada subyek sehat,4 untuk membedakan antara ADB
dengan anemia penyakit kronis5 dan untuk membedakan carrier talasemia dari subyek yang
sehat6-9 dan pada subjek dengan defisiensi besi.1,10–19 Informasi kuantitatif tentang retikulosit
imatur berdasarkan jumlah RNA juga dapat diperoleh, dan parameter maturasi dapat membantu
dalam diagnosis diferensial anemia.17
Defisiensi zat besi dan thalassemia adalah penyebab paling umum dari anemia mikrositik,
dan manajemen klinis mereka sangat berbeda; jadi, pembedaan antara mikrositosis thalasemia
dan non-thalasemia memiliki implikasi penting.20
Trait delta beta thalassemia (δβ-TT) dihasilkan dari delesi gen beta dan delta, dan
ditandai oleh peningkatan hemoglobin janin (fetal hemoglobin / HbF) dengan nilai HbA2
normal. Pasien dengan kondisi heterozigot biasanya asimptomatik atau mengalami anemia
ringan, sedangkan pasien homozigot biasanya memiliki talasemia intermedia. Kebanyakan
mekanisme molekuler beta thalassemia adalah mutasi titik (substitusi basa tunggal) atau
penyisipan atau delesi yang melibatkan beberapa nukleotida, sedangkan delesi gen lebih jarang
terjadi.21 Meskipun lebih jarang daripada trait thalassemia beta (β-TT), δβ-TT bukan merupakan
kondisi langka di beberapa wilayah geografis, dan kadang-kadang bisa salah didiagnosis; jadi,
sangat penting untuk memiliki alat yang efisien untuk membedakan kedua patologi untuk
memberikan pasien konseling genetik yang tepat.
Peran parameter laboratorium sel matur dalam δβ-TT telah dieksplorasi oleh banyak
penulis.22-30
Karena retikulosit adalah tahap awal dalam eritropoiesis, masuk akal untuk berhipotesis
bahwa perbedaan dalam indeks eritrosit matur juga dapat ditemukan dalam retikulosit, dan
dengan demikian, berkontribusi untuk menjelaskan perbedaan dalam fisiopatologi dari kedua
penyakit yang berbeda tadi. Meskipun banyak penelitian telah mengeksplorasi peran retikulosit
pada carrier thalassaemia,1,6-19 tidak satupun dari meneliti pasien dengan δβ-TT. Tujuan dari
penelitian kami adalah: (1) untuk menganalisis perbedaan indeks retikulosit antara δβ-TT, β-TT
dan ADB serta (2) untuk mengkorelasikan perbedaan tersebut dengan fitur fisiopatologis dari
ketiga jenis mikrositosis.

MATERIAL DAN METODE

Sampel penelitian

Selama periode 13 bulan (Maret 2012 – April 2013), sebanyak 552 kasus mikrositosis (MCV
<80 fL) yang diperiksa di Laboratorium Sentral Madrid awalnya dimasukkan dalam penelitian:
74 δβ-TT, 272 β-TT dan 206 ADB. Semua sampel dikumpulkan dalam tabung dengan
antikoagulan K3-EDTA (Vacuette; Greiner Bio-One, Alphen aan de Rijn, Belanda) dan
penghitungan darah lengkap dilakukan pada semua sampel. Pemeriksaan panel besi (serum besi,
ferritin, transferrin dan transferrin saturation index (TSI)) dilakukan pada seluruh sampel.
Subjek ADB dengan kadar Hb di bawah 90 g / L tidak dimasukkan karena jarang didiagnosis
banding dengan thalasemia dalam praktik sehari-hari. Untuk menghindari kemungkinan
interferensi dalam parameter yang dianalisis pada pasien dengan thalassemia akibat adanya ADB
yang menyertai, pasien dengan thalasemia dan defisiensi besi secara bersamaan (ferritin <20 ng /
mL dan / atau TSI <20%) tidak dimasukkan dalam analisis. Tidak ada kriteria pengecualian lain
yang diterapkan.

Analisis hematologis

Analisis retikulosit semuanya dilakukan dengan mesin penganalisa Advia 2120i (Siemens
Medical Solutions Diagnostics, Tarrytown, New York, AS) dalam waktu 6 jam setelah
pengumpulan. Reagen retikulosit menyebabkan sphering isovolumetrik sel darah merah (RBC)
untuk menghilangkan variabilitas bentuk sel, dan retikulosit diwarnai dengan pewarna pengikat
asam nukleat yang disebut oksazin 750. Low-angle scatter (2°–3°), high-angle scatter (5°–15°)
dan absorbansi diukur secara simultan oleh tiga detektor ketika sel melewati aliran. Dengan
demikian, tiga sitogram berbeda dihasilkan oleh teknologi ini: (1) high-angle scatter versus
absorpsi, (2) low-angle scatter vs high-angle scatter (sitogram Mie atau peta RBC) dan (3)
volume versus konsentrasi Hb. Kuantisasi dan pemisahan retikulosit dilakukan oleh sitogram
absorpsi, dan jumlah pewarnaan oksazin memberikan subdivisi tambahan menjadi sel-sel yang
low-absorbing, medium-absorbing dan high-absorbing.

Penentuan serum ferritin dan transferrin

Ferritin, transferrin dan TSI diukur dengan chemiluminescence immunoassay di Advia Centaur
(Siemens Medical Solutions Diagnostics, Tarrytown, New York, AS).

Analisis molekuler

Kadar HbA2 dan HbF ditentukan oleh kromatografi cair kinerja tinggi dalam mesin penganalisa
HA-8160 (Menarini Diagnostics, Florence, Italia). Pasien dengan peningkatan kadar HbA2 (>
3,4%) dianggap memiliki β-TT, sedangkan diagnosis δβ-TT ditentukan jika HbF> 3% dan HbA2
≤3,4%. Dalam kasus yang meragukan, penelitian multiplex ligation-dependent probe
amplification (MLPA) dilakukan untuk skrining adanya delesi dalam cluster gen globin beta
manusia. MLPA adalah metode komparatif yang didasarkan pada amplifikasi kuantitatif dan
analisis fragmen selanjutnya dari beberapa probe yang digabungkan ke seluruh regio yang
dipilih.31 Karena amplifikasi probe hanya dapat dicapai ketika DNA target ada dalam sampel,
metode ini memungkinkan profil genetik menunjukkan variasi nomor salinan dari target-target
itu dalam genom pasien. Di sini, peneliti menggunakan kit komersial (kit MLPA P102-B2 HBB;
MRC-Holland, Amsterdam, Belanda) yang berisi 28 probe yang dirancang untuk mendeteksi
perubahan jumlah salinan (kopi) dalam lokus hemoglobin beta, dari 1 Mb upstream regio kontrol
lokus ke 10 Kb downstream gen beta globin. Reaksi MLPA dilakukan sesuai dengan instruksi
pabrik dan seperti yang dijelaskan sebelumnya.31 Produk amplifikasi dipisahkan oleh
elektroforesis kapiler pada ABI PRISM 3100 sequencer (Applied Biosystems, Foster City,
California, USA). GeneMapper V.3.7 (Applied Biosystems) digunakan untuk pengukuran, dan
data yang diperoleh dianalisis dengan perangkat lunak Coffalyser (MRC-Holland). Lima sampel
DNA normal, dengan indeks RBC normal, digunakan sebagai kontrol sehat untuk reaksi MLPA.

Parameter retikulosit

Parameter retikulosit berikut yang diperoleh dari penganalisa Advia 2120i dinilai dalam tiga
kelompok pasien: jumlah retikulosit absolut (ARC), persentase retikulosit (%R), mean
corpuscular volume retikulosit (MCVr), CHr, mean corpuscular haemoglobin concentration
retikulosit (MCHCr), distribusi sel darah merah dari sel darah putih (red blood cell distribution
width of reticulocytes / RDWr), distribusi hemoglobin dari retikulosit (haemoglobin distribution
width of reticulocytes / HDWr) dan subpopulasi retikulosit berdasarkan pada fluoresensi menurut
mRNA (rendah (L-R), sedang (M-R) dan tinggi (H-R). Jumlah retikulosit imatur (IR)
didefinisikan sebagai penambahan M-R dan H-R. Rasio MCVr ke MCV (rasio MCV) dan rasio
MCHCr ke MCHC (rasio MCHC) dihitung untuk mengukur perbedaan antara retikulosit dan
RBC matur dalam ukuran dan konsentrasi hemoglobin. Untuk menganalisis pengaruh HbF dalam
RDWr, tiga kelompok pasien dibentuk: β-TT dengan HbF <2%, β-TT dengan HbF> 2% dan δβ-
TT.

Analisis statistik

Nilai rata-rata dan standar devisi (SD) adalah statistik deskriptif yang digunakan. Uji Shapiro-
Wilk digunakan untuk menilai normalitas variabel. Uji t-independen digunakan untuk
membandingkan indeks retikulosit antara β-TT, ADB dan δβ-TT. Koreksi Bonferroni digunakan
untuk mengatasi masalah beberapa perbandingan, dan nilai p <0,05 dianggap signifikan secara
statistik. Koefisien Pearson digunakan untuk menilai korelasi antara HbF dan RDWr, dan
analisis varian satu arah dilakukan untuk membandingkan RDWr antara β-TT dengan HbF <2%,
β-TT dengan HbF ≥2% dan δβ-TT. Sebuah analisis tambahan satu arah berupa uji varians
dilakukan untuk membandingkan CHr antara tiga kelompok pasien (β-TT, ADB dan δβ-TT).
Perangkat lunak statistik SPSS V.19.0 untuk Windows digunakan untuk analisis statistik hasil
(SPSS, Chicago, Illinois, USA).
HASIL

Sebanyak total 43 pasien dengan δβ-TT, 179 β-TT dan 206 ADB masuk dalam penelitian
ini. Nilai rata-rata dan SD parameter retikulosit dari tiga kelompok pasien dirangkum dalam tabel
1.

Tabel 1. Parameter retikulosit (rerata±SD) pada δβ-TT, β-TT, dan ADB (iron deficiency anemia
/ IDA)

% H-R, persentase retikulosit berfluoresensi tinggi; % IR, persentase retikulosit imatur; % L-R, persentase
retikulosit berfluoresensi rendah; % M-R, persentase retikulosit fluoresensi sedang; % R, persentase retikulosit; β-
TT, beta thalassaemia trait; δβ-TT, delta beta thalassaemia trait; ARC, absolute reticulocyte count; CHr,
haemoglobin content of reticulocytes; HDWr, haemoglobin distribution width of reticulocytes; H-R, absolute value
of high fluorescence reticulocytes; IDA, iron deficiency anaemia; IR, nilai absolut retikulosit imatur; L-R, absolute
value of low fluorescence reticulocytes; MCHCr, mean corpuscular haemoglobin concentration of reticulocytes;
MCVr, mean corpuscular volume of reticulocytes; M-R, absolute value of medium fluorescence reticulocytes; NS,
non-significant differences; RDWr, red cell distribution width of reticulocytes.

Tidak ada perbedaan signifikan pada ARC dan %R antara δβ-TT dan β-TT. Retikulosit
pada subjek δβ-TT menunjukkan MCVr yang lebih tinggi secara signifikan (88,30 vs 85,50 fL, p
<0,001), CHr lebih tinggi (23,68 vs 22,66 pg, p <0,001), RDWr lebih tinggi (15,03% vs 13,82%,
p <0,001) dan HDWr lebih tinggi (3,65% vs 3,27%, p <0,001). Perbedaan nilai RDWr dalam β-
TT dengan HbF <2% (13,52%), β-TT dengan HbF ≥2% (14,79%) dan δβ-TT (15,03%) secara
statistik signifikan (p <0,001) (gambar 1) . Koefisien Pearson menunjukkan korelasi yang baik
antara persentase HbF dan RDWr (r = 0,551, p <0,001) (gambar 2).
Gambar 1. Plot box-and-whisker yang menunjukkan red blood cell distribution
width of reticulocytes (RDWr) dalam beta thalassaemia trait (β-TT) dengan hemoglobin
janin (HbF) <2%, β-TT dengan HbF> 2% dan delta beta thalassemia trait. Perbedaan secara
statistik signifikan (p <0,001).

Tidak ada subpopulasi retikulosit berdasarkan konten RNA yang menunjukkan perbedaan
signifikan antara β-TT dan β-TT. Dalam β-TT, ARC lebih tinggi (96,49 × 109 / L) dibandingkan
pada subjek ADB (87,07 × 109 / L, p <0,001), juga untuk parameter % R (1,91% vs 1,71%, p =
0,005), MCHCr (26,70) vs 25,39 g / dL, p <0,001) dan RDWr (13,82% vs 12,80%, p <0,001).
Ukuran retikulosit (85,50 vs 94,95 fL, p <0,001) dan kadar hemoglobin (22,66 vs 24,05 pg, p
<0,001) lebih rendah pada carrier β-TT. Perbedaan signifikan dalam beberapa subpopulasi
retikulosit juga ditemukan: %L-R (81,96% vs 78,05%, p <0,001), L-R (718,25 × 109 / L vs
552,36 × 109 / L, p <0,001),% M-R (14,67% vs 16,31%, p <0,001),% H-R (3,36% vs 6,02%, p
<0,001) dan% IR (18,03% vs 22,33%, p <0,001).
Gambar 2. Hubungan antara persentase hemoglobin janin (HbF) dan red blood cell
distribution width of reticulocytes (RDWr). Koefisien korelasi dihitung dengan metode Pearson
(r = 0,551, p <0,001).

MCVr lebih tinggi pada ADB (94,95 vs 88,30 fL, p <0,001) dibandingkan pada δβ-TT,
sedangkan MCHCr (25,39 vs 26,93 g / dL, p <0,001), RDWr (12,80% vs 15,03%, p <0,001) dan
HDWr (3,15% vs 3,65%, p <0,001) lebih tinggi pada δβ-TT. H-R adalah satu-satunya parameter
maturasi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara kedua kondisi ini, yang lebih tinggi
pada ADB (41,29 × 109 / L vs 26,05 × 109 / L, p <0,001). Perbedaan nilai CHr dalam β-TT
(22,66 pg), δβ-TT (23,68 pg) dan IDA (24,05 pg) secara statistik signifikan (p <0,001) (gambar
3). Rasio MCV> 1, dan rasio MCHC <1 dalam tiga kelompok, tanpa perbedaan yang signifikan
di antara mereka.
Gambar 3. Plot box-and-whisker menunjukkan nilai reticulocyte haemoglobin content
(CHr) pada thalassemia delta beta trait, thalassemia beta trait dan anemia defisiensi besi.
Perbedaan secara statistik signifikan (p <0,001).

PEMBAHASAN

Penentuan jumlah retikulosit dan beberapa sifat selulernya dapat memberikan informasi penting
mengenai aktivitas sumsum tulang.32 Penghitung sel otomatis yang modern menunjukkan hasil
lebih akurat daripada metode manual dan memberikan informasi tentang imaturitas retikulosit,
karena penggunaan pewarnaan fluoresen yang mengikat RNA ribosom.17 Terdapat variabilitas
besar pada berbagai platform analitik dalam parameter tambahan yang dihasilkan oleh analisis
otomatis; dengan demikian, sulit untuk memvalidasinya sebagai alat diagnostik. Namun, indeks
retikulosit memberikan informasi yang penting untuk memahami fisiopatologi beberapa
gangguan sel darah merah.

δβ-TT versus β-TT

Temuan laboratorium pada pasien δβ-TT dan β-TT sangat mirip. Namun, perbedaan
dalam beberapa parameter eritrosit matur antara kedua kondisi ini telah dilaporkan oleh banyak
penulis.22-30 RDW adalah satu-satunya parameter yang menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara kedua jenis talasemia, dengan hasil lebih tinggi pada δβ-TT. MCV26,29,30 dan MCHC26,30
pada eritrosit matur lebih tinggi pada pasien dengan δβ-TT. Dalam sebuah penelitian baru-baru
ini, RDW terbukti sangat dipengaruhi oleh persentase dan nilai absolut HbF pada pasien dengan
β-TT dan δβ-TT.30 Selain itu, ambang batas 17,35% untuk RDW diidentifikasi pada 90,2% dari
δβ-TT dan 84,9% dari β-TT.30 Namun, tidak ada studi yang meneliti indeks retikulosit.
Peneliti memutuskan untuk mengevaluasi parameter retikulosit dalam dua kondisi ini
untuk melihat apakah perbedaan dalam indeks eritrosit matur juga dapat ditemukan dalam
retikulosit, karena retikulosit adalah tahap awal dalam eritropoiesis.
Retikulosit δβ-TT memiliki lebih banyak anisositosis daripada β-TT, mungkin karena
distribusi heterogen HbF dalam prekursor eritroid, yang dapat ditunjukkan dengan tes Kleihauer-
Betke, meskipun alasan pastinya tetap tidak diketahui.33 Perbedaan dalam RDWr ditemukan
bahkan di antara pasien dengan β-TT dengan dan tanpa peningkatan HbF (gambar 1). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa RDWr dipengaruhi oleh persentase HbF pada pasien dengan
β-TT dan δβ-TT. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang baru-baru ini dipublikasikan di mana
korelasi yang sama diamati antara HbF dan RDW eritrosit matur. Namun, korelasi retikulosit
tampaknya lebih lemah. Peningkatan HbF pada subjek δβ-TT adalah karena ekspresi berlebih
dari gen gamma globin oleh mekanisme hilangnya kompetensi faktor transkripsi yang mengatur
ekspresi gen beta globin.34 Sebagai konsekuensi dari delesi gen delta dan gen beta, beberapa
faktor transkripsi berinteraksi dengan zona promotor lokus gamma. Ekspresi fenotipik HbF
tergantung pada ukuran dan lokasi urutan yang dihapus. Hilangnya regio regulasi ekspresi gen
gamma globin juga dapat memengaruhi sintesis HbF.35
Mikrositosis pada pasien dengan thalasemia dapat dijelaskan dengan jumlah divisi atau
pembelahan yang lebih tinggi pada prekursor eritroid akibat gangguan sintesis rantai globin dan
penurunan hemoglobinisasi berikutnya. Pada subjek δβ-TT, terdapat peningkatan sintesis rantai
gamma yang sebagian dapat mengimbangi kekurangan tersebut. sintesis rantai globin beta.30
Oleh karena itu, hemoglobinisasi prekursor eritroid δβ-TT dapat lebih ditingkatkan daripada β-
TT, yang akan menjelaskan CHr yang lebih tinggi pada δβ-TT (23,68 vs 22,66 pg, p <0,001),
dan akibatnya mereka dapat mengalami lebih sedikit divisi dan memiliki MCVr lebih tinggi
(88,30 vs 85,50 fL, p <0,001) dibandingkan subyek β-TT.
CHr adalah produk dari konsentrasi hemoglobin dan volume sel. Ketika retikulosit
matang menjadi eritrosit, konsentrasi hemoglobin meningkat dan volume sel menurun; dengan
demikian, CHr dapat menjadi parameter yang lebih stabil daripada MCHCr.3 Meskipun
perbedaan MCHCr tidak signifikan, mungkin karena ukuran sampel δβ-TT yang tidak
mencukupi, subjek dengan δβ-TT menunjukkan MCHCr lebih tinggi daripada subyek β-TT
(26,93 vs 26,70 g / dL). Meskipun CHr telah terbukti mampu membedakan carrier thalasemia
dari subyek sehat6-9 dan subjek dengan defisiensi zat besi,1,10-19 namun belum dievaluasi pada
pasien δβ-TT hingga saat ini. Skarmoutsou et al6 menunjukkan bahwa perbedaan signifikan
dalam CHr ditemukan juga pada silent β-TT, β+-TT dan β0-TT. CHr berkorelasi dengan derajat
ketidakseimbangan rantai globin, dengan kelompok β0-TT memiliki nilai terendah. Analisis
dalam berbagai jenis β-TT tidak dilakukan dalam penelitian ini.
Retikulosit imatur dilepaskan dari sumsum tulang ketika aktivitas eritropoietik
ditingkatkan.36 Dalam penelitian ini, tidak ada subpopulasi retikulosit imatur menurut konten
RNA mereka yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara δβ-TT dan β-TT.

β-TT versus ADB

Pasien dengan β-TT biasanya memiliki MCHC lebih tinggi dan MCV dan RDW lebih rendah
pada eritrosit matur dibandingkan dengan pasien ADB.28,37-40 Sesuai dugaan, rata-rata MCVr
lebih sedikit pada β-TT (85,50 fL) dibandingkan pada ADB (94,95 fL, p <0,001), dan MCHCr
menunjukkan arah yang berlawanan (26,70 vs 25,39 g / dL, p <0,001). Sintesis rantai yang tidak
seimbang dan kelebihan rantai alfa bebas menyebabkan kerusakan oksidan membran, kehilangan
kalium dan dehidrasi relatif pada subjek β-TT. Besi memainkan peran penting dalam sintesis
DNA, menjadi bagian dari reduktase ribonukleotida, yang mengkatalisis pembentukan
deoksiribonukleotida. Oleh karena itu, kekurangan zat besi menyebabkan lebih sedikit divisi
prekursor eritroid dan menyebabkan tingkat makrositosis tertentu dibandingkan dengan β-TT.
Meskipun MCHCr lebih rendah pada ADB, CHr lebih tinggi pada ADB dibandingkan dengan
subyek β-TT (24,05 vs 22,66 pg, p <0,001). Dengan demikian, CHr tampaknya dipengaruhi oleh
hemoglobinisasi dan terutama oleh ukuran sel darah merah. Hasil ini mirip dengan yang
dilaporkan sebelumnya oleh Vicinanza et al,7 Chouliaras et al,13 Urrechaga et al18 dan Ceylan et
al19 dengan menggunakan platform analitis yang sama. Namun, beberapa dari mereka
melaporkan bahwa sensitivitas dan / atau spesifisitas CHr tidak mencukupi untuk membedakan
kedua kondisi ini.13,19 Nilai CHr harus diinterpretasikan dalam konteks keseluruhan fisiologi
eritrosit pasien karena keterbatasan diagnostik pada pasien dengan transfusi darah, terapi zat
besi, atau defisiensi vitamin B12 atau folat yang menyertai.3 Vicinanza et al7 mengusulkan ΔCHr
sebagai parameter yang lebih tepat daripada CHr, karena CHr tampaknya kurang efisien untuk
membedakan pasien dengan makrositosis atau mikrositosis.4 ΔCHr dapat dihitung sebagai
perbedaan antara CHr yang diukur dan CHr diharapkan untuk MCVr yang sesuai (ΔCHr = CHr
− CHr-e). Penganalisis Sysmex (Sysmex, Kobe, Jepang) memberikan parameter yang disebut
ekuivalen hemoglobin retikulosit (reticulocyte haemoglobin equivalent / Ret He, juga dikenal
sebagai RET-Y), serupa tetapi tidak identik dengan CHr, yang juga telah diteliti pada pasien β-
TT dan ADB.1,11,12,14,16 Sementara Noronha dan Grotto11 serta Bartels et al12 tidak menemukan
perbedaan yang signifikan antara kedua kondisi ini, penulis lain melaporkan perbedaan antara β-
TT dan semua jenis ADB,1 dan Sudmann et al16 telah mengevaluasi algoritma yang efisien dan
mudah dihitung, termasuk Ret He, RBC, dan ferritin untuk membedakan antara β-TT dan ADB.
Mungkin mengejutkan bahwa RDWr ditemukan lebih tinggi pada β-TT (13,82% vs
12,80%, p <0,001) dibandingkan pada ADB, bertentangan dengan apa yang terjadi pada eritrosit
matur, yang menunjukkan tingkat anisositosis yang lebih tinggi pada subjek ADB.39-42 RDWr
adalah koefisien variasi MCVr, didefinisikan sebagai rasio SD-nya terhadap rata-rata (mean).
Karena MCVr rata-rata (penyebut) pasien dengan ADB lebih tinggi, RDWr menjadi lebih
rendah. Selain itu, ukuran sel retikulosit lebih besar daripada sel darah merah matur; jadi, RDWr
sedikit lebih rendah dari RDW pada kedua patologi. Dalam penelitian ini, SD tampaknya
menjadi ukuran dispersi yang lebih tepat, lebih tinggi pada pasien dengan ADB (1,45 vs 1,37).
Subjek ADB memiliki retikulosit imatur yang lebih banyak daripada β-TT, menunjukkan
aktivitas eritropoietik yang lebih meningkat, mirip dengan hasil yang dilaporkan oleh Noronha
dan Grotto11 serta Urrechaga et al.14,18 Namun, konsisten dengan laporan sebelumnya,11,12,14
jumlah absolut retikulosit lebih rendah pada pasien dengan ADB. Oleh karena itu, mereka
memiliki retikulosit imatur yang lebih banyak, tetapi banyak dari mereka tidak mencapai aliran
darah, menunjukkan tingkat tertentu dari eritropoiesis yang tidak efisien pada pasien ADB
dibandingkan dengan β-TT. Proporsi retikulosit imatur yang lebih tinggi pada ADB
dibandingkan dengan subjek thalasamia dapat secara hipotetis merupakan konsekuensi dari
ekspresi yang lebih tinggi dari reseptor transferin terlarut (soluble transferrin receptor / sTfR)
mRNA.42 Sebagai respon terhadap suplai besi transferrin yang tidak memadai, sintesis sTfR
meningkat secara proporsional sesuai kebutuhan terhadap besi.43 Oleh karena itu, peningkatan
kadar plasma sTfR dapat mencerminkan peningkatan prekursor eritroid.6 sTfR juga terbukti
berkorelasi dengan HbA2 (yang mencerminkan tingkat ketidakseimbangan rantai globin) pada
pasien dengan β-TT.6 Namun, De Lima dan Grotto36 tidak menemukan perbedaan yang
signifikan pada sTfR dan retikulosit imatur antara β-TT dan ADB. Sayangnya, penulis tidak
dapat mengevaluasi sTfR dalam penelitian ini, karena penentuannya tidak tersedia di
laboratorium kami.

δβ-TT versus ADB

Indeks korpuskular keseluruhan berbeda secara signifikan antara ADB dan δβ-TT, kecuali CHr.
Retikulosit pada subjek δβ-TT lebih kecil (MCVr 88,30 fL) dan lebih padat (MCHCr 26,93 d /
dL) dibandingkan retikulosit pada subjek ADB (MCVr 94,95 fL dan MCHCr 25,39 g / dL, p
<0,001). Distribusi HbF yang heterogen dalam prekursor eritroid menjelaskan derajat
anisositosis (RDWr 15,03% vs 12,80%, p <0,001) dan anisochromia (HDWr 3,65% vs 3,15%, p
<0,001) yang semakin tinggi ditemukan pada retikulosit subjek δβ-TT. Peningkatan
hemoglobinisasi prekursor eritroid pada δβ-TT membuat mereka mengalami lebih sedikit divisi,
sehingga perbedaan MCVr dapat dijelaskan. Tidak ada parameter maturasi yang menunjukkan
perbedaan signifikan antara kedua kondisi ini, kecuali H-R. Retikulosit dengan kadar mRNA
yang tinggi (H-R) jauh lebih banyak pada pasien dengan ADB (41,29 × 109 / L vs 26,05 × 109 /
L, p <0,001), menunjukkan bahwa perluasan eritron lebih meningkat pada subjek dengan
defisiensi zat besi. Seperti yang terjadi dengan β TT, ARC pada ADB lebih rendah dibandingkan
pada pasien δβ TT meskipun memiliki retikulosit iamtur yang lebih banyak, menunjukkan
eritropoiesis yang lebih tidak efektif. Perbedaan yang tidak signifikan dalam parameter maturitas
lain mungkin dapat dikaitkan dengan ukuran sampel δβ-TT yang relatif kecil.

Rasio maturasi

MCVr secara konsisten lebih tinggi daripada MCV pada ketiga kelompok yang telah diteliti,
sedangkan MCHCr dan MCHC menunjukkan kondisi yang berlawanan. Hasil penelitian ini
sesuai dengan d'ofofrio et al10 dan Ceylan et al,19 dan mengkonfirmasi konsep klasik bahwa
pematangan retikulosit berhubungan dengan peningkatan kepadatan dan berkurangnya ukuran.
KESIMPULAN

Perbedaan yang dijelaskan sebelumnya antara δβ-TT dan β-TT terkait indeks korpuskular
eritrosit matur juga dapat diamati dalam retikulosit. Ukuran retikulosit δβ-TT sedikit lebih besar
dan kandungan hemoglobinnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan β-TT, dan tingkat
anisositosis yang lebih tinggi juga ditemukan karena distribusi HbF yang heterogen dalam
prekursor eritroid δβ-TT. Retikulosit yang paling imatur (dengan konten RNA tertinggi)
ditemukan lebih tinggi pada subjek ADB dibandingkan dengan pasien thalasemia,
mencerminkan peningkatan eritropoiesis yang lebih tidak efisien daripada aktivitas eritropoietik
thalasemia, dan juga ekspresi mRNA sTfR yang lebih tinggi. Sejauh yang diketahui oleh peneliti,
ini adalah studi pertama yang mengevaluasi parameter retikulosit pada subjek δβ-TT. Kelemahan
dalam penelitian kami adalah fakta bahwa analisis molekuler tidak dilakukan pada semua
sampel. Sekuensing gen globin beta hanya dilakukan pada sampel dengan persentase HbA2 dan
HbF yang tidak konklusif.
Aplikasi klinis dari sebagian besar parameter ini masih harus ditentukan, karena sebagian
besar tidak divalidasi, dan tidak ada bahan kontrol kualitas (quality control / QC) komersial yang
tersedia. Dengan demikian, hasil penelitian ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
Kesimpulannya, meskipun analisis indeks korpuskular dan parameter maturasi retikulosit
tidak dapat menggantikan diagnosis molekuler pada hemoglobinopati, analisis ini mampu
memberikan informasi kualitatif tentang sifat-sifat selulernya, dan dapat berkontribusi pada
pemahaman fisiopatologi mengenai beberapa kondisi ini.

PESAN UNTUK DIBAWA PULANG


 Retikulosit delta beta talasemia trait (δβ-TT) memiliki mean corpuscular volume
retikulosit dan konten hemoglobin retikulosit yang sedikit lebih tinggi dari dari beta
thalassemia trait (β-TT).
 Tingkat anisositosis yang lebih tinggi (red blood cell distribution width of reticulocytes)
juga ditemukan pada retikulosit δβ-TT dibandingkan dengan retikulosit β-TT karena
distribusi heterogen dari hemoglobin janin (HbF) dalam eritroid prekursor.
 Subjek anemia defisiensi besi memiliki persentase retikulosit imatur yang lebih tinggi,
tetapi jumlah absolut retikulosit yang lebih rendah dibandingkan dengan individu
thalasemia, menunjukkan aktivitas eritropoietik yang lebih tidak efisien.

Anda mungkin juga menyukai