39 NO 1 2018
Aryo Danusiri
Department of Anthropology, Universitas Indonesia
Department of Anthropology, Harvard University
danusiri@g.harvard.edu
Abstract
This article is about the use of observational camera style in articulating intersubjectivity. The case
is my experience in making Lukas' Moment (2005), an ethnographic film shot in Merauke, Papua. The
film is about Papuans’ intersubjectivity toward indigeneity in the post-2000 riot Papua. I observed
the experiences of three Papuan entrepreneurs in processes of building their enterprises which in
different ways involve politics of indigeneity. Following the existential-phenomenological
anthropology approach, I explicate intersubjectivity as instable formation of subjects engaging in
their process of being-in-the-world. In the filming process, I experienced two modalities of
observational camera, which I called hunting and fishing modes of visuality. The hunting mode
focuses on searching for preconceived images of targeted social scenes to satisfy a research goal,
while the fishing mode is about building correspondence with the rhythm of the subject’s social
processes in everyday life in order to capture the unexpected social scenes. As it is characterized by
establishing cinematic correspondence with the subject’s path of life, I argue that the fishing mode is
more suitable as an ethnographic endeavor which aims to broaden the horizon of humanity instead
of predicting it.
1
Terima kasih kepada program Master dalam bidang Antropologi Visual di Tromsø University, Norway yang
memungkin hal itu terjadi dan adalah sebuah kemewahan tersendiri pada saat itu bagi seorang pembuat film dokumenter
Indonesia untuk bisa melakukannya.
59
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
60
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
61
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
penting dalam praktik sinema observasi. dan kehidupan keseharian lewat proses
Keduanya adalah kunci dalam drama sirkulasi kata kunci baru yang dihasilkan dari
kehidupan manusia: apa yang bisa lebih peristiwa kerusuhan tersebut: putra daerah.
dramatis daripada perubahan? Maka dalam Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, istilah
pengalaman saya bekerja dengan sinema politik ini telah dibisukan oleh kediktatoran
observasi dalam film Lukas’ Moment atau Suharto. Hipotesis awal saya, istilah putra
film-film setelahnya, daya gerak atau mobilitas daerah tersebut telah menarasikan dan
adalah karakter yang senantiasa menjiwai saya memperkuat posisi orang Papua dalam
dalam mengembangkan pengetahuan di lapangan sosial dan politik. Dengan demikian,
lapangan. Sinema observasi adalah sinema peristiwa kerusuhan yang melatarbelakangi
perjalanan; film merupakan jejak dari berbagai kemunculannya dapat dipahami sebagai
lintasan proses para subjek dalam menjadi. sebuah kebangkitan indigeneity.
Dalam antropologi secara umum, khususnya Pada fase pertama kerja lapangan saya,
dalam film etnografi, observasi partisipatif saya mencari adegan-adegan dari subjek
menjadi metodologi yang mengarakterisasi. pertama saya yang dapat melukiskan
Demikian pula pada gaya sinema observasi. agensinya sebagai sebuah akibat dari
Tantangannya ialah mengubah paradigm, perubahan politik di Papua. Saya
sehingga observasi bukan dipahami sebagai memfokuskan pada tindakan-tindakan subjek
pengamatan yang objektif-berjarak, dan dalam memanipulasi identitasnya sebagai
partisipan bukanlah pengikut pasif dalam “putra daerah” dalam rangka mendapatkan
berkegiatan. Kembali ke ide Ingold (2014: uang modal untuk memulai usahanya sendiri.
389), observasi partisipan adalah “praktik Dana ini berasal dari dana khusus untuk putra
korespondensi” yang menyesuaikan, daerah yang telah diprogramkan oleh
menghubungkan, dan membagi gerak kita pemerintah pusat guna menjawab tuntutan
sebagai peneliti dengan gerakan para subjek yang menyeruak dari Kerusuhan Bintang
dalam proyek bersama belajar menjadi di Kejora. Program ini juga bagian dari usaha
dunia. untuk mengurangi disparitas ekonomi antara
orang Papua dan pendatang. Dalam kerja
Pengalaman Kerja Lapangan: lapangan saya, saya tidak sanggup mendapat
Fase Pertama “kisah sukses” dari wirausaha baru Papua
sebagaimana yang saya imajinasikan. Kerja
Proyek film ini berangkat dari kerusuhan yang saya justru berujung pada penolakan dari sang
terjadi di tahun 2000, yang secara luas dikenal subjek setelah dia merasa lelah dengan
sebagai “Kerusuhan Bintang Kejora”. kehadiran saya dan kamera video.
Kerusuhan tersebut pecah di berbagai kota di Subjek pertama saya adalah Elias Yos
Papua. Dalam narasi yang dominan Moiwend. Saat itu ia tengah berjuang untuk
tersirkulasi, kerusuhan ini dikaitkan dengan mendapat disposisi dari Bupati Merauke, John
kemarahan orang Papua terhadap kaum Gebze, dalam rangka mendorong bank lokal
pendatang. Adalah keinginan saya untuk agar menyetujui proposal peminjaman dana
memahami relasi antara peristiwa politik besar untuk usaha peternakan kura-kura. John Gebze
62
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
sendiri menjadi Bupati Merauke atas bahwa adegan yang saya nanti-nantikan tidak
penunjukan pemerintah pusat sebagai bentuk akan terjadi dalam waktu dekat.
komitmen pemerintah pusat melaksanakan Akhirnya saya memutuskan untuk
janji “Papuanisasi”, yaitu kebijakan yang berpindah ke subjek berikutnya: Ahmad Gebze
memberikan kesempatan kepada orang Papua dan Kanda Gebze. Keduanya adalah aktivis
untuk menduduki berbagai posisi di sektor politik dan orang Marind yang memiliki nama
politik dan pemerintahan. John Gebze marga yang sama dengan Bupati John Gebze.
memberikan kesempatan kepada orang-orang Hal utama yang menarik perhatian saya kepada
Papua untuk mengajukan proposal wirausaha dua tokoh ini adalah kepemimpinan mereka
mereka sendiri. Keduanya, John Gebze dan Eli dalam “Tim 7”, sebuah tim yang menjadi
Moiwend, berasal dari suku Marind yang representasi bagi masyarakat dari lima desa
merupakan salah satu suku dominan daerah yang lahannya telah diokupasi oleh Bandar
Merauke. Dalam usahanya, Eli bermaksud Udara Mopah yang telah didirikan sejak
mengeksploitasi koneksi kesukuan tersebut. pemerintahan Hindia Belanda di Papua Barat.
Eli juga menerangkan bahwa di tahun 1980-an, Ketika itu saya sangat mengharapkan akan
ketika John Gebze masih asisten bupati, ia adanya kesempatan untuk merekam sebuah
berjanji pada Eli bahwa jika suatu saat nanti ia adegan di mana Ahmad dan Kanda
menjadi Bupati Merauke ia akan memberi Eli menegosiasikan dengan pemerintah klaim
uang yang cukup untuk memulai wirausahanya mereka atas tanah adat yang sudah menjadi
sendiri. bandar udara. Dalam negosiasi tersebut, saya
Awalnya saya membayangkan akan mengharapkan pula akan adanya sebuah
mendapati kisah yang akan membenarkan artikulasi indigeneity.
hipotesis kerja saya mengenai indigeneity, Mulailah saya mengikuti kelompok ini
kewirausahaan, dan modal sosial dari melakukan upaya-upaya yang dibutuhkan
mengobservasi pertemuan antara Eli dan sebagai persiapan proses negosiasi, termasuk
Bupati Gebze. Tak disangka, upaya menemui mengukur luas tanah yang akan diklaim
Bupati bukanlah hal yang mudah. Setiap hari sebagai tanah adat yang telah dicaplok
terdapat sekitar tiga puluhan orang, laki-laki pemerintah. Proses pengukuran tersebut
dan perempuan dari berbagai suku, mengantre ternyata bukan pula upaya yang mudah. Dalam
di depan ruang kantor Bupati. Selama dua prosesnya, terjadi banyak ketidaksinkronan
minggu saya dan Eli berdiri mengantre tanpa antara Tim 7 dengan Tim Bandara. Secara
hasil yang berarti. Selain karena Bupati jarang prinsip, pertengkaran mereka terjadi menyoal
menerima tamu dari kalangan orang biasa, hal-hal teknis, seperti cara mendefinisikan
antrean di depan ruangannya juga terlalu secara spesifik batas-batas plot bandara sesuai
panjang. Bupati lebih sering sibuk beraktivitas dengan peta yang menjadi acuan masing-
di luar kantor atau melakukan pertemuan masing tim. Akhirnya mereka memutuskan
dengan orang-orang penting ketika berada di untuk melakukan proses negosiasi di Jakarta
kantor. Saat itu saya mulai bertanya-tanya, dengan melibatkan Kementerian Perhubungan
apakah harus tetap bertahan dengan Eli atau dan PT Penerbangan Sipil, perusahaan yang
mencari tokoh baru? Saat itu saya tengarai menguasai bandar-bandar udara yang tersebar
63
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Mopah, mereka menangani kasus lain, yaitu
Bandara Mopah di Merauke. Saya kemudian perampasan tanah adat milik suku Marind oleh
bertanya kepada Ahmad Gebze, “Kapan Bapak perusahaan logging di daerah Muting,
akan melakukan renegosiasi ini di Jakarta?” Merauke. Saya mengekspresikan minat yang
Dengan air muka yang penuh keraguan, besar terhadap aktivitas mereka sebagai broker
Ahmad Gebze menjawab, “Saya sendiri juga politik. Saya kemudian menyampaikan
tak pasti. Kami masih menunggu kabar keheranan saya bahwa mereka tidak
selanjutnya. Yang pasti, negosiasi tersebut mengontak saya mengenai kegiatan baru
tidak terjadi dalam waktu sebulan ke depan.” mereka tersebut. Dengan nada perkawanan,
Saya terkejut dan cemas. Saya tidak punya Ahmad menyatakan bahwa ia tidak melihat
waktu untuk menunggu proses negosiasi minat saya untuk memfilmkan mereka sebagai
tersebut mengingat waktu produksi broker, melainkan hanya sebagai salah satu
dokumenter ini yang saat itu hanya tinggal aktor dalam kasus Bandara Mopah. Saya
sebulan (hingga Agustus 2004). jelaskan kepada mereka bahwa saya tentu saja
Saya kemudian kembali menemui Eli. berminat dengan berbagai bentuk proses
Ternyata Eli telah memperlihatkan progres perantaraan politik, termasuk proses
yang baik. Atas bantuan sekretaris bupati, dia renegosiasi atau reokupasi tanah adat yang
akhirnya memperoleh kesempatan untuk telah dirampas oleh negara atau perusahaan
bertemu dengan Bupati. Namun, Eli mulai pada masa Orde Baru. Saya menyesalkan hal
melihat bahwa kehadiran saya dengan kamera itu karena kehilangan kesempatan untuk
memiliki efek terhadap aktivitasnya di kantor mengamati proses artikulasi indigeneity dalam
bupati dan mengganggu upayanya dalam kasus tanah adat—sebuah isu yang penting
mencapai tujuannya. Eli kemudian pada masa pasca-Suharto.
memutuskan bahwa saya tidak bisa lagi
bergabung dengannya dalam mengupayakan Pengalaman Kerja Lapangan: Fase Kedua
berbagai urusan di kantor bupati. Sejak saat itu,
meski kecewa, saya pun memutuskan untuk Etnografi mobilitas, sebagaimana yang pernah
berhenti memfilmkan Eli. Di satu sisi, saya saya sampaikan di tempat lain, adalah
menyadari ada hal-hal yang tidak bisa etnografi tentang undangan dan tampikan
divisualisasikan dalam proses birokrasi. Di sisi (Danusiri, 2014). Setelah ditampik oleh
lain, saya belajar bahwa strategi tersendiri subjek-subjek saya sebelumnya, saya
diperlukan untuk menangkap aktivitas- beruntung mendapatkan undangan untuk
aktivitas di seputar birokrasi dengan kamera. mengunjungi Kampung Payum di pinggiran
Kekecewaan saya bertumpuk, ketika Kota Merauke. Saya berkenalan dengan subjek
pada awal Agustus 2004, saya secara tidak saya di fase kedua, Lukas Gebze, seorang
sengaja berpapasan dengan Ahmad Gebze dan nelayan muda dan juga pelajar yang menerima
Kanda Gebze di sebuah supermarket di pusat dana kecil dari sebuah LSM internasional dari
Kota Merauke. Ternyata, di saat menunggu Belanda untuk memulai wirausaha. Undangan
proses pengambilan keputusan atas renegosiasi untuk mengunjungi proyek pemberdayaan ini
pencaplokan tanah adat untuk Bandar Udara datang dari Theresia Esi Samkakai (biasa
64
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
dipanggil Mama Esi), seorang aktivis lokal pasar antarkota. Tidak seperti yang saya
dari salah satu lembaga terkemuka di Merauke, lakukan pada fase pertama, saya mengikuti
Yayasan San Antonius (Yasanto). Mama Esi proses ini tanpa menentukan “peristiwa utama”
mendapatkan dana proyek dari Happin yang hendak saya observasi dengan kamera.
Foundation yang berkedudukan di Belanda. Pada awalnya ada anggapan meremehkan
Proyek pemberdayaan ini bertujuan untuk dalam benak saya mengenai ambisi Lukas,
memutus tali eksploitasi yang telah terjadi karena secara sekilas menjual udang ke
selama beberapa generasi di kalangan nelayan Jayapura terlihat mudah. Apalagi saat itu
Marind. Selama ini mereka bekerja sebagai Lukas mendapatkan dukungan dari pamannya
buruh murah menangkap ikan dan udang untuk yang mengaku berpengalaman dalam
majikan mereka yang merupakan pendatang perdagangan antarkota. Namun proses yang
dari Makassar. terjadi ternyata lebih rumit melebihi perkiraan
Pada momen inilah saya tertarik untuk saya.
memfilmkan Lukas. Kali ini saya tidak Bila pada fase pertama saya berburu
seambisius sebelumnya dalam menangkap adegan tertentu sebagai “peristiwa untuk
perubahan keseharian orang Papua sebagai pembenaran” (event-to-justify), maka pada
akibat dari peristiwa kerusuhan. Tidak ada fase kedua ini sikap saya terhadap adegan-
harapan yang rumit akan adegan macam apa adegan yang terjadi di depan kamera bergeser
yang ingin saya buru dalam keseharian Lukas. ke “peristiwa untuk penemuan” (event-to-
Saya memfokuskan diri pada gerak Lukas discover). Kisah yang saya bangun dalam film
dalam menavigasi ruang-ruang dan aktor-aktor memiliki struktur tiga babak sederhana. Pada
yang sekiranya bisa membantunya babak pertama, diperlihatkan bagaimana
menumbuhkan perdagangan udang antarkota Lukas berkegiatan di Kampung Payum, juga di
yang tengah ia bangun. Saat memulai rumah Paman Selvi yang menjadi mentor bagi
keterlibatan saya dengan Lukas, saya Lukas dalam mempersiapkan dan
memutuskan untuk tidak membuat film berhubungan dengan perantara di Jayapura.
mengenai agensi seorang anak muda Marind Babak kedua menggambarkan kegembiraan
dalam memanipulasi identitas dan kekecewaan Lukas dalam berbagai momen
kepribumiannya. Melainkan, saya memulai ketika mengirimkan udang ke Jayapura. Babak
dengan intensi untuk membuat film sederhana ketiga mengangkat pergulatan Lukas dengan
mengenai semangat seorang Papua pelajar dan kerugian material yang dia derita dalam
usahawan. perdagangan antarkota ini. Struktur ini cukup
Perlahan-lahan saya pun mulai sederhana karena film berfokus pada detail
memperhatikan peristiwa-peristiwa kecil tiap-tiap situasi yang terjadi sebagai
dalam hidup keseharian Lukas, terutama dalam konsekuensi dari komitmen untuk tidak
kerja kerasnya membangun usaha sekadar memahami Lukas, tetapi mengalami
perdagangan udang. Tujuan saya sederhana: bersama Lukas.
mengikuti proses kewirausahaan Lukas dalam Adegan puncak dalam film adalah
mengembangkan usahanya dari yang “adegan bandara” yang memiliki durasi
berorientasi pada pasar dalam kota menjadi terpanjang dalam film, mencapai 17 menit.
65
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
Pagi itu, Kamis, 15 Juli 2004, kami tiba di terdiri atas anak-anak Marind, dan hari ini
Bandara Mopah. Pada mulanya saya tidak adalah hari pertama pengiriman udang mereka
merasakan kegelisahan Lukas, Paman Selvi, ke Jayapura. Pak Pejabat kemudian mendekati
maupun Boni, teman Lukas. Saya berpikir meja petugas pengiriman barang, bertanya soal
situasi itu hanyalah adegan pendek saja—apa harga pengiriman ke Jayapura. Lukas mencoba
yang istimewa dengan pengiriman barang mencegahnya, tapi Pak Pejabat sudah
lewat udara? Namun, ketika saya bercakap- disambut oleh petugas.
cakap dengan Lukas dan Paman Selvi, saya
mulai merasakan ketegangan dalam nada suara “Rp 8.500 per kilo,” jelas petugas.
mereka. Mereka menunggu Pak Harun,
seorang petugas bandara yang menjanjikan Pak Penjabat menjelaskan, bukan dia
biaya pengiriman “harga sayur” (tarif murah). yang berangkat dengan barang ini, tetapi
Saya terus merekam dengan kamera saat “adik-adik” pemilik barang yang tak sengaja
mereka masuk ke ruang keberangkatan. ditemuinya di sini. Paman Selvi datang
Mereka resah karena menunda pengiriman menghampiri Pak Pejabat. Pak Harun tidak
berisiko membusuknya udang. Kebisingan bersamanya. Petugas menyarankan agar
ruangan menambah ketegangan itu. “Sabar, barang kiriman dibawa oleh seseorang yang
kita tunggu sebentar…,” kata Paman Selvi terbang ke Jayapura. “Oh begitu,” kata Paman
menenangkan Lukas, sembari matanya Selvi seraya menyapukan pandangan ke ruang
menyapu ruang tunggu yang ramai. Matanya tunggu, seakan mencari orang yang dapat
berhenti pada satu sosok. Saya mematikan membantunya untuk mengirimkan udang. Pak
kamera, namun sekejap menyalakannya Pejabat kembali berbincang dengan Lukas.
kembali karena Paman Selvi dan Lukas yang
mengekor di belakangnya bercakap-cakap “Ada 28 anak,” papar Lukas.
dengan seorang pria. Dilihat dari penampilan
dan pakaiannya, orang itu tampak seperti “Semua anak asli?” tanya Pak Pejabat.
pejabat. Paman Selvi kemudian pergi mencari
“Iya. Anak-anak asli situ. Anak
sesuatu, sementara bapak pejabat menyapa Marind.”
Lukas. Sebelumnya, ia sempat melirik ke arah
saya yang sedang merekam dengan kamera. “Sudah banyak keluar to. Kalau dari
Pak Pejabat bertanya, ”Ini udang?” dulu dorang bagus,” Pak Pejabat kemudian
menunjuk ke paket milik Lukas, melanjutkan,
“Iya. Dari Payum,” jawab Lukas. Pak “Karena kalau barang begini sampai di
Pejabat pun bertanya lebih jauh mengenai Makassar… Surabaya… wah, nilainya besar
kegiatan Lukas dengan udangnya. Lukas sekali. Saya pernah coba, di sana bisa sampai
menjelaskan bahwa kelompoknya, yang 160.000 rupiah per kilo. Padahal di sini dong
bernama Mitra Mandiri, baru berdiri tiga bulan bisa dapat cuma 3.000 rupiah per kilo. Karena
dengan mentor Mama Esi. Pak Pejabat kita tahu cara kerja mereka. Kalau dengan
mengenal Mama Esi. Kepada Pak Pejabat, kelompok begini kan bagus. Kalau di luar,
Lukas juga menjelaskan bahwa kelompoknya
66
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, ini kan persyaratan. Dorang harus belajar. Dorang
makanan bagus.” kirim dari sini sampai di sana tetap bagus. Nilai
jual bagus. Harus banyak belajar. Terus dari
“Di sana ada udang kah?” situ hasil yang dorang dapat uangnya dorang
pakai bagaimana. Mereka punya cara-caranya.
“Ada, tapi tidak sama. Mereka budi Jangan jalan satu kali terus stop. Jalan sedikit,
daya, to. Juga kadang kebutuhan besar. Kalau hasilnya, bagaimana atur uang itu baik supaya
kita di sini kan tidak perlu piara. Barang sudah uang dong dapat ini bisa dipakai yang berikut,
ada. Tinggal bagaimana kita…” berikut, berikut… Kita harus belajar dari
saudara-saudara yang datang dari luar. Dari
“Dari alam…”
Bugis.”
“Iya, bagaimana kita bisa tangkap,
kemas dia dengan baik…” “Ya, kita harus banyak belajar.”
67
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
68
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
beroperasi dalam menjadikan dunia keseharian agar jaring dapat terbentang dengan baik.
(lifeworld) Lukas. Sebelum memulai penarikan, biasanya kedua
Perwujudan pengetahuan antropologis nelayan mendiskusikan titik terbaik untuk
pada film etnografi diproduksi dalam memulai penarikan jaring. Jalur terbaik untuk
keterkaitannya dengan metodologi dalam penarikan ialah jalur yang memiliki sedikit
penggunaan kamera, sebagaimana yang simpul lumpur, namun punya banyak simpul
disampaikan oleh MacDougall (1998: 202), udang berkumpul.
“Implicit in a camera style is a theory of Dalam penafsiran saya, sikap saya
knowledge.” Dalam mengelaborasi isu ini, terhadap Lukas sebagai subjek berkorelasi
saya akan menggunakan praktik menjaring di dengan praktik jaring udang. Kamera adalah
Kampung Payum. Praktik ini dapat dijadikan jaringnya dan kami berkorespondensi dalam
pijakan inspirasi untuk membangun sebuah sebuah pengalaman intersubjektif
kerangka kerja yang dapat membantu mengerti memproduksi pengetahuan. Dengan kamera,
pengalaman saya dalam membangun saya beraksi dengan Lukas di dalam berbagai
hubungan dengan subjek saya. situasi sosial. Lukas dan saya berbagi ritme
Orang Marind di Payum biasa dalam pengalaman kami “mengada-di-dunia”
menangkap udang dengan kegiatan yang (being-in-the-world). Saya percaya pada
mereka sebut jaring tarik. Musim terbaik Lukas—yang juga percaya pada saya—untuk
untuk menangkap udang adalah musim kering, membagi pengalaman eksploratif kami dalam
di mana air laut surut hingga jarak yang jauh satu momen perjalanan hidupnya ini. Sebagai
dari bibir pantai. Untuk melakukannya, dua “kepala jaring”, dia adalah sosok yang
orang nelayan menarik jaring sepanjang mengarahkan saya untuk terlibat di dalam
kurang lebih 15 meter dan bergerak searah kehidupan dan pengalamannya melewati jalur-
garis pantai. Mereka menarik jaring di laut jalur sosial yang dia tempuh dalam
dengan kedalaman setengah dada laki-laki mengembangkan usahanya. Untuk itu, saya
dewasa. Nelayan yang berada di arah laut tidak menggunakan pendekatan romantik
disebut poro jaring. Ia bertugas menarik jaring “going native” di sini, yang mengandaikan
tersebut. Adapun nelayan yang berada di arah proses dialektik antara identitas peneliti dan
pantai memainkan peran sebagai kepala yang diteliti sebagai sesuatu yang stabil
jaring. Ia bertugas mengarahkan penarikan ketimbang hubungan yang lentur antarkawan
jaring. Saat mereka berjalan menarik jaring seperjalanan—di satu waktu saya adalah
yang terbentang, kepala jaring menavigasi peneliti, di saat lain saya menjadi kawan,
arah di titik-titik mana udang-udang wartawan, teman dari sang pembimbing,
berkumpul. Udang-udang tersebut kemudian Mama Esi, atau yang lain.
ditangkap dengan cara membuka atau menutup Antitesis dari moda menjaring adalah
jaring. Kepala jaring juga harus terampil moda berburu sebagai kiasan umum di dalam
mengarahkan agar jaring terhindar dari
lumpur-lumpur yang dapat memberatkan
jaring dalam bergerak. Ketika berjalan, poro
jaring harus percaya pada arahan kepala jaring
69
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
2
Michael Rechmann, “Fishing VS Hunting” https://luminous-landscape.com/fishing-vs-hunting/ diakses 26
Oktober 2018.
70
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
tentang bagaimana orang secara langsung yang berbeda karena kisah film bukan dibuat,
mengalami ruang, waktu dan dunia di mana melainkan ditemukan.
mereka hidup” (Jackson, 1996:12). Dalam Kekayaan dari peristiwa tidak dapat
moda menjaring, kamera saya perlakukan direduksi menjadi interpretasi tunggal
sebagai “medium korespondensi”. Dengan (Jackson 2005:14). Hal ini terlihat, misalnya
kamera di tangan, saya melangkah bersama dalam adegan bandara, di mana makna-makna
subjek menempuh jalur-jalur keseharian untuk dari identitas Papua diproduksi dari
menemukan kejutan-kejutan sosial. Inilah intersubjektivitas antara Lukas, Bapak Aloy
“korespondensi sinematis”—saya menjadi Yopeng, Paman Selvi, and saya sebagai “orang
partisipan aktif dengan menyelaraskan ritme yang pegang kamera”. Di awal percakapan
bersama subjek dalam melangkah melalui Lukas dan Aloy, mereka menggunakan istilah
lintasan gerak yang dipilihnya dengan kamera “asli” untuk menandai identitas indigenous
video sebagai materi-perantaranya. Seperti mereka, tapi kemudian pada tahap percakapan
yang sudah saya kutip di atas dari Ingold, selanjutnya, Aloy menggunakan penanda
melangkah adalah proses menjadi dalam ruang “putra daerah”. Bisa saja diperdebatkan,
dan waktu yang berkorespondensi. apakah kehadiran kamera yang sesungguhnya
Moda visulitas menjaring melecut Aloy Yopeng untuk membantu Lukas.
memungkinkan saya untuk menemukan apa Kalaupun benar demikian, apa yang mereka
yang menjadi masalah bagi Lukas. Juga pertunjukkan karena kehadiran kamera adalah
memungkinkan saya menemukan hal yang berharga untuk kita perhatikan.
kompleksitas kepribadian (personhood) Lukas Ketika Aloy mengartikulasikan posisinya
dalam berbagai peristiwa; di rumah, di bandar sebagai “putra daerah”, dia berbicara tidak saja
udara, atau di jalan. Sikap saya juga berubah; kepada Lukas, tetapi juga kepada aktor yang
saya jadi terbiasa untuk mengharapkan tak kasatmata di dalam adegan: publik yang
momen-momen yang tak diharapkan. Adegan berada di “belakang” kamera. Hal ini
di bandar udara ketika Lukas bertemu dengan terungkap dari pembicaraan saya dengan Aloy
Aloy Yopeng adalah momen tak dinyana sehari setelah adegan bandara terjadi. Ia
(serendipity) yang justru, dalam penyuntingan berpikir bahwa saya adalah “wartawan TV”
(editing) kemudian, menjadi leitmotif yang sedang meliput kegiatan Lukas. Aloy
bagaimana film Lukas’ Moment dikonstruksi. menggunakan istilah “putra daerah” karena
Saya tidak berburu adegan bandara, namun menurut subjektivitasnya, istilah “putra
saya “menemukannya” bersama Lukas. Tentu daerah” lebih dapat diterima publik TV atau
saja bisa dikatakan saya beruntung karena bisa penonton nasional ketimbang “orang asli”.
mendapatkan momen bandara tersebut. Aloy Yopeng, sebagai pejabat pemerintahan
Namun demikian, saya berargumen, saya tidak lokal, sadar benar bahwa “putra daerah”
mungkin mendapatkan adegan tersebut bila merupakan kata kunci baru yang memiliki
saya masih dalam moda kamera sebagai kekuatan baru untuk mengartikulasikan
medium investigasi. Menurut Crawford indigeneity dalam lanskap politik Indonesia era
(1992), moda visualitas yang berpijak pada reformasi.
pengalaman subjek membutuhkan konsentrasi
71
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
72
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
Referensi
Arendt, Hannah
1958 Human Condition. (2nd Edition). London and Chicago: Chicago
University Press.
Danusiri, Aryo
2014 “Performing Crowds: The Circulative Forms of The Tariqa Alawiya Youth Movement
in Contemporary Indonesia” in Beckers (eds.)Global Prayers: Contemporary
Manifestation of the Religious in the City. Metrozone. Berlin.
Das, Veena
2007 Life and Words. Violence and The Descent into the Ordinary. California:
University of California Press.
Dewey, John
1934 Art as Experience. USA: First Perigree Printing.
[1980]
Geertz, Clifford
1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Ingold, Tim
2011 Being Alive. Essays on Movement, Knowledge and Description. USA and
Canada: Routledge
2014 “That’s Enough about Ethnography!” HAU Journal of Ethnographic
Theory 4 (1): 383 – 395.
https://www.haujournal.org/index.php/hau/article/view/hau4.1.021
Jackson, Michael
1996 Things as They Are. New Direction in Phenomenological Anthropology.
Bloomington: Indiana University Press.
2005 Existential Anthropology. Events, Exigencies and Effects. New York-
Oxford:Berghan Books.
2013 Lifeworlds. Essays in Existential Anthropology. Chicago and London:
The University of Chicago Press.
Kittler, Friedrich A.
1999 Gramaphone, Film, Typwriter. Stanford: Stanford University Press
73
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 39 NO 1 2018
Levi-Strauss, Claude
1961 Tristes Tropiques. Criterion Book: New York
MacDougall, David
1998 Transcultural Cinema. New Jersey: Princeton University Press.
Nichols, Bill
1991 Representing Reality. Indiana University Press: Bloomington
Ortner, Sherry
2006 Anthropology and Social Theory: Culture, Power and The Acting Subject.
Duke University Press: Durham
74