Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 37 tahun
Alamat : Mundu Pesisir
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
1
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kejang seperti ini
pasien
19 13 6
tahun tahun Tahun
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
2
skleraikterik (-/-).
Telinga : Bentuk normal, sekret (-/-)
Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), Lidah kotor (-)
Tenggorokan : Radang (-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Bentuk simetris normal, benjolan (-), retraksi (-)
Pulmo:
Inspeksi : Bentuk dada simetris normal, pergerakan paru simetris
Palpasi : Pergerakan paru simetris, tidak ada gerakan yang
tertinggal, vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara dasar paru kanan kiri vesikular normal, wheezing (-)
ronki (-)
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Nyeri tekan (-). ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kanan jantung di SIC IV linea parasternal dekstra
Batas kiri jantung di SIC V linea midclavicula sinistra
Batas pinggang jantung di SIC II linea parasternal sinistra
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : cembung, hernia umbilikalis (-), asites (-), strie (-), lesi (-)
Auskultasi : bisung usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak tera
Status Neurologis
1. Kesadaran kompos mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
2. Tanda Rangsangan selaput otak
Kaku kuduk :- Kernig :-
3
Brudzunsky I :- Brudzunsky II:-
Laseque :-
3. Tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Muntah proyektil :-
Sakit kepala progresif :-
4. Nervus Kranialis :
Nervus I : penciuman baik
Nervus II : visus 6/6 ODS,pupil isokhor, diameter 3mm/3 mm,
reflek cahaya +/+
Nervus III,IV,VI : bola mata dalam posisi ortho, ptosis (-),gerakan bola
mata bebas ke segala arah,
Nervus V :buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+),
menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan (+),
refleks kornea(+)
Nervus VII : raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata +/+,
mengerutkan dahi (+),plica nasolabialis ki=ka
Nervus VIII : fungsi pendengaran baik, Nistagmus (-)
Nervus IX&X :Refleks muntah (+), arkus faring simetris,
uvula ditengah
Nervus XI : dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kanan
Nervus XII :deviasi lidah (-), tremor (-),atrofi papil lidah (-),
fasikulasi (-)
5. Koordinasi :
Cara berjalan : dalam batas normal
Romberg test :-
Rebound phenomen :-
Tes tumit lutut :-
Tes supinasi pronasi :-
4
Dekstra Sinistra
Pergerakan : aktif aktif
Kekuatan : 555 555
555 555
Tonus : eutonus eutonus
Pemeriksaan :
- EEG
Diagnosis : epilepsy grand mal
Terapi
Carbamazepine 1x 200 mg
Vitamin B com 2x1
5
PENGKAJIAN MASALAH KESEHATAN PASIEN
DIAGNOSIS HOLISTIK
Aspek Personal:
Pasien datang dengan tujuan agar penyakit epilepsi terkontrol atau tidak kejang lagi
Aspek Klinis:
Epilepsi
Hasil yang
No Kegiatan Sasaran Waktu Keterangan
diharapakan
1 Aspek Pasien 4 hari - Bebas kejang Obat anti Epilepsi
personal dan - Pasien kembali ke Carbamazepin
Epilepsi keluarga puskesmas atau ke 2x 200 mg
(tinggal rumah sakit jika obat
serumah) habis
2 Aspek Pasien 4 hari Keluhan berkurang dan
Klinis terbebas dari kejang
3 Aspek risiko Pasien 4 hari Menghindari faktor Mengkonsumsi obat
intenal dan pencetus OAE secara teratur
Faktor keluarga Seperti stress, kelelahan
pencetus (tinggal
serumah)
6
4 Aspek Keluarga 4 hari Mendukung untuk tetap
psikososial, pasien patuh terhadap
keluarga pengobatan
dan
lingkungan
Sosio-
ekonomi
pasien
rendah
Pengetahuan, Meningkatkan Edukasi mengenai
sikap dan pengetahuan pasien pengobatan epilepsi
perilaku mengenai epilepsi secara teratur,
pasien yang menghindari faktor
cukup pencetus, kontrol ulang
secara teratur
7
Rencana penatalaksanaan pasien selanjutnya:
Edukasi mengenai ketaatan mengkonsumsi obat epilepsi
FARMAKOTERAPI
8
Sebagai dokter pelayanan Primer, bila pasien terdiagnosis sebagai epilepsi, untuk
penanganan awal pasien harus dirujuk ke dokter spesialis saraf. Obat anti epilepsi diberikan
bila diagnosis epilepsi sudah dipasatikan, pastikan faktor pencetus dapat dihindari (alkohol,
stress, kurang tidur, dan lain-lain), terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun, penyandang
dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan terhadap tujuan pengobatan, penyandang
dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari
obat anti epilepsi.
Terapi di mulai dengan monoterapi menggunakan obat anti epilepsi pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan jenis epilepsi.
Obat Anti Epilepsi (OAE) pilihan sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi
Bangkitan
OAE Fokal Umum Tonik Lene Mioklonik
Sekunder Klonik
Phenytoin + + + - -
Carbamazepine + + + - -
Valproic Acid + + + + +
Phenobarbital + + + + 0
Gabapentin + + + ?+ 0
Lamotrigine + + + + +
Topiramate + + + ? ?
Zonisamide + + ?+ ?+ ?+
Levetiracetam + + ?+ ?+ ?+
Oxcarbazepine + + + - -
9
Clonazepam 1 mg 4 mg 1 atau 2 20-60 jam
Keterangan :
Titrasi Carbamazepine : Mulai 100/200 mg/hr ditingkatkan sampai target dalam 1-4
minggu
Titrasi Phenytoin : Mulai 100 mg/hr ditingkatkan sampai target dalam 3-7 hari
Titrasi Phenobarbital : Mulai 30-50 mg malam hari ditingkatkan bila perlu setelah 10-
15 hari
Titrasi Clobazam :Mulai 10 mg/hr bila perlu ditingkatkan sampai 20 mg/hr setelah 1-2
minggu
Titrasi Oxcarbazepine: Mulai 300 mg/hr ditingkatkan sampai target dalam 1-3 minggu
Titrasi Levetiracetam: Mulai 500/1000 mg/hari bila perlu setelah 2 minggu
Titrasi Topiramate: mulai 25 mg/hari ditingkatkan 25-50 mg/hari bila perlu setiap 2
minggu
10
Titrasi Gabapentin: Mulai 300-900 mg/hari ditingkatkan sampai target dalam 5-10
hari
Titrasi Lamotrigine: Mulai 25 mg/hari selama 2 minggu ditingkatkan sampai 50
mg/hari selama 2 minggu
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam darah ditentukan bila bangkitan tidak
terkontrol dengan dosis efektif. Bila diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan,
penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE), diduga penyandang epilepsi tidak
patuh pada pengobatan. Setelah pengobatan dosis regimen OAE pertama diturunkan bertahap
(tapering off) perlahan-lahan.
1) Carbamezepin
Carbamezepin (Tegretol) adalah suatu obat iminodiabenzyl, yang secara struktural
mirip dengan imipramine (Tofranil) dan disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat
untuk terapi epilepsi lobus temporalis dan neuralgia trigeminalis. Sejumlah besar data
mendukung pemakaian carbamazepine untuk terapi mania akut dan untuk terapi
profilaksis gangguan bipolar I.
Kerja Farmakologis
1. Farmakokinetik
11
2. Farmakodinamik
12
efek merugikan yang potensial mematikan berupa agranulositosis, pansitopenia, dan
anemia aplastik.
Seperti yang dicerminkan oleh penggunaanya untuk mengobati diabetes
insipidus, carbamazepine tampaknya memiliki efek mirip vasopresin pada reseptor
vasopresin, kadang-kadang menyebabkan perkembangan intoksikasi air atau
hiponatremia, khususnya pada pasien lanjut usia. Efek samping tersebut dapat diobati
dengan demeclomycin atau lithium. Efek endokrin lain yang berhubungan dengan
carbamazepine adalah peningkatan kortisol bebas dalam urin.
Efek carbamazepine pada sistem kardiovaskular adalah minimal. Obat ini
menurunkan konduksi atrioventrikular (A-V), jadi pemakaian carbamazepine adalah
dikontraindikasikan pada pasien dengan blok jantung A-V.
Indikasi Terapeutik
1. Gangguan Bipolar I
2. Skizoafektif
3. Gangguan depresif
Ada data yang menyatakan bahwa carbamazepine adalah terapi yang efektif
untuk depresi pada beberapa pasien. Kira-kira 25-33% pasien yang depresi berespon
13
terhadap carbamazepine. Persentase tersebut lebih kecil dibandingkan angka respon 60-
70% untuk antidepresan standar. Carbamazepine adalah obat alternatif untuk pasien
depresi yang tidak berespon terhadap terapi konvensional.
2. Hepatitis
3. Dermatitis eksfoliatif
Ruam pruritik yang ringan terjadi pada 10-15 % pasien, biasanya terjadi dalam
beberapa minggu pertama terapi. Sejumlah kecil pasien dapat mengalami sindrom steven
johnson sindrom dan nekrolisis epidermal toksik yang dapat membayahayakan nyawa.
4. Efek gastrointestinal
Efek merugikan yang paling sering adalah mual, muntah, gangguan lambung,
konstipasi, diare, dan anoreksia. Keparahan terjadi bila dosis ditingkatkan perlahan dan
dipertahankan pada konsentrasi plasma efektif minimal.
14
5. Efek sistem saraf pusat
6. Overdosis
Interaksi Obat
Pemberian bersama lithium, obat antipsikotik, verapamil, atau nifedidine dapat
mencetuskan efek merugikan SSP akibat carbamazepin. Carbamazepin dapat
menurunkan konsentrasi kontrasepsi oral dalam darah, yang menyebabkan perdarahan
banyak dan ketidak pastian mengenai pencegahan kehamilan. Carbamazepin tidak boleh
digunakan bersama dengan inhibitor monoamin oksidase (MAOI), yang harus dihentikan
sekurang kurangnya dua minggu sebelum memulai terapi dengan carbamazepin.
2) Phenytoin
Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan
lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk efek
15
pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian dengan efek
sedasi, sifat yang terdapat pada mefenition dan barbiturat, tetapi tidak pada fenitoin.
Adanya gugus metil pada atom N3 akan mengubah spektrum aktivitas misalnya
mefenitoin, dan hasil N demetilasi oleh enzim mikrosom hati menghasilkan metabolit
tidak aktif.
Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi umum susunan saraf
pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menimbulkan rigiditas
deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran
rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh fenitoin
juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya
sel sistem konduksi di jantung. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi
membran sel; dalam hal ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron.
Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna.
Gejala aura sensorik dan gejala prodromal lainnya tidak dapat dihilangkan secara
sempurna oleh fenitoin.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, sesekali tidak
lengkap; 10% dari dosis oral diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh. Kadar
puncak dalam plasma dicapai dalam 3 – 12 jam. Bila dosis muatan (loading dose) perlu
diberikan, 600 – 800 mg, dalam dosis terbagi 8 – 12 jam, kadar efektif plasma akan
tercapai dalam waktu 24 jam. Pemberian fenitoin secara IM, menyebabkan fenitoin
mengendap di tempat suntikan kira-kira 5 hari, dan absorpsi berlangsung lambat.
Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam kadar yang berbeda-beda. Setelah
suntikan IV, kadar yang terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah
daripada kadar di dalam hati, ginjal dan kelenjar ludah.
Pengikatan fenitoin oleh protein, terutama oleh albumin plasma kira-kira 90%.
Pada orang sehat, termasuk wanita hamil dan wanita pemakai obat kontrasepsi oral,
fraksi bebas kira-kira 10% sedangkan pada pasien dengan penyakit ginjal, penyakit hati
atau penyakit hepatorenal dan neonatus fraksi bebas rata-rata di atas 5,8 – 12,6 %.
Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama; tetapi
mula kerja lebih lambat daripada fenobarbital. Biotramsformasi terutama berlangsung
dengan cara hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanaya ialah derivat
parahidroksifenil. Biotransformasi oleh enzim mikrosom hati sudah mengalami
16
kejenuhan pada kadar terapi, sehingga peninggian dosis akan sangat meningkatkan kadar
fenitoin dalam serum secara tidak proporsional. Oksidasi pada satu gugus fenil sudah
menghilangkan efek antikonvulsinya. Sebagian besar metabolit fenitoin diekskresikan
bersama empedu, kemudian mengalami reabsorpsi dan biotransformasi lanjutan dan
diekskresi melalui ginjal. Di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubuli,
sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorpsi.
INDIKASI
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik, tonik
atonik dan parsial (kompleks dan sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik.
Obat ini merupakan kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang
bermanfaat untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini dapat digunakan untuk
mengobati epilepsi oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur, tetapi barangkali
sebaiknya dihindarkan sebagai obat pilihan pertama pada wanita muda karena alasan
efek samping kosmetik dan teratogenisitas. Ada sejumlah bukti yang menarik bahwa obat
ini terutama bermanfaat untuk epilepsi simthomatik. Fenitoin merupakan obat yang sulit
digunakan karena kadar dosis serum yang non linier dan indeks terapinya yang sempit;
pengukuran kadar serum obat perlu dilakukan pada banyak pasien.
Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital
karena fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit; efek samping dan efek toksik,
sekalipun ringan, sifatnya cukup mengganggu terutama pada anak. Fenitoin juga
bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks.
Indikasi lain fenitoin ialah untuk neuralgia trigeminal, dan aritmia jantung.
Fenitoin juga digunakan pada terapi renjatan listrik (ECT), untuk menringankan
konvulsinya, dan bermanfaat pula terhadap kelainan ekstrapiramidal iatrogenik.
DOSIS RUMAT
17
Dosis rumat biasanya berkisar antara 200 – 400 mg sehari untuk pasien dewasa
dan antara 5 – 8 mg/kgBB untuk anak, walaupun dosis yang lebih tinggi dan lebih rendah
diperlukan bagi beberapa pasien. Pengukuran kadar fenitoin serum penting untuk
memantau dosis, karena adanya variasi intra-individual yang cukup besar, terlebih karena
penambahan dosis kecil kadang-kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat
dalam serum yang tak terduga.
INTERAKSI OBAT
Kadar fenitoin dalam plasma akan meninggi bila diberikan bersama
kloramfenikol, disulfiram, INH, simetidin, dikumarol, dan beberapa sulfonamide
tertentu, karena obat-obat tersebut menghambat biotransformasi fenitoin. Sedangkan
sulfisoksazol, fenilbutazon, salisilat dan asam valproat akan mempengaruhi ikatan
protein plasma fenitoin sehingga meninggikan juga kadarnya dalam plasma. Teofilin
menurunkan kadar fenitoin bila diberikan bersamaan, diduga karena teofilin
meningkatkan biotransformasi fenitoin juga mengurangi absorpsinya. Fenitoin juga dapt
merangsang katabolisme warfarin dan kontrasepsi oral estrogen dosis rendah yang
menyebabkan gagalnya kontrasepsi.
EFEK SAMPING
Fenitoin sebagai obat epilepsi dapat menimbulkan keracunan, sekalipun relatif
paling aman dari kelompoknya. Gejala keracunan ringan biasanya mempengaruhi
susunan saraf pusat, saluran cerna, gusi dan kulit; sedangkan yang lebih berat
mempengaruhi kulit, hati dan sumsum tulang. Hirsutisme jarang terjadi, tetapi bagi
wanita mida hal ini dapat sangat mengganggu.
18
Nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali.
Pemberian sesudah makan atau dalam dosis terbag, dapat mencegah atau mengurangi
gangguan saluran cerna. Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat terjadi pada
penggunaan kronik, dan menyebabkan hiperplsia pada 20 % pasien. Edema gusi mudah
terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan mulut tidak terjaga. Pengobatan tidak perlu
dihentikan pada gangguan gusi; dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara.
Kulit
Efek samping pada kulit terjadi pada 2 – 5 % pasien, lebih sering pada anak dan
remaja yaitu berupa ruam morbiliform. Beberapa kasus diantaranya biasanya disertai
hiperpireksia, eosinofilia, dan limfadenopati. Eritema multiform hemoragik sifatnya
lebih berat dan dapat fatal, karena itu bila terjadi ruam pada kulit sebaiknya pemberian
obat dihentikan, dan diteruskan kembali dengan berhati-hati bila kelainan kulit telah
hilang. Pada wanita muda, pengobatan fenitoin secara kronik menyebabkan keratosis dan
hirsutisme, karena meningkatkan aktivitas korteks suprarenalis.
3) Valproic Acid
efektif untuk terapi epilepsi umum, dan kurang efektif terhadap epilepsi fokal.
peningkatan daya konduksi membran untuk kalium. Efek antikonvulsi valproic acid
Pemberian valproic acid per oral cepat diabsorpsi dan kadar maksimum serum
tercapai setelah 1 – 3 jam. Dengan masa paruh 8 – 10 jam, kadar darah stabil setelah 48
jam terapi. Jika diberikan dalam bentuk amida, depamida, kadar valproic acid dalam
serum sepadan dengan pemberian dalam bentuk valproic acid, tetapi masa paruhnya
vivo, tetapi jika dicampur dengan plasma in vitro perubahan tidak terjadi. Kira-kira 70%
19
INDIKASI
Valproic acid adalah obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi umu seperti
serangan umum lena (petit mal), untuk serangan mioklonik, serangan tonik-klonik
umum, dan juga epilepsi parsial misalnya bangkitan parsial kompleks, terutama bila
serangan ini merupakan bagian dari sindrom epilepsi umum primer. Sedangkan terhadap
epilepsi fokal lain efektivitasnya kurang memuaskan. Obat ini juga dapat digunakan
untuk semua jenis serangan lainnya. Penggunaan untuk anak kecil harus dibatasi karena
Valproic acid telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena, tetapi
bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati. Valproic acid juga
Obat ini dapat diberikan sekali, 2 kali atau 3 kali sehari. Dosis awal yang biasa
diberikan 400 – 500 mg sehari dan dapat dinaikkan sebanyak 200 – 250 mg setiap
minggu.
DOSIS RUMAT
Dosis rumat biasanya untuk pasien dewasa berkisar antara 600 – 1500 mg sehari
INTERAKSI OBAT
Interaksi obat dengan valproic acid biasa didapatkan. Valproic acid akan
fenobarbital, suatu efek yang penting adalah meningkatnya kadar fenobarbital bila
digunakan bersamaan dengan valproic acid dan kombinasi kedua obat ini dapat
meningkatkan kadar kedua obat ini. interaksinya dengan fenitoin terjadi melalui
20
mekanisme yang lebih kompleks. Fenitoin total dalam plasma akan turun, karena
biotransformasi yang meningkat dan pergeseran fenitoin dari ikatan protein plasma,
sedangkan fenitoin bebas dalam darah mungkin tidak dipengaruhi. Kombinasi valproic
lena. Sedangkan kombinasi dengan aspirin dapat menaikkan kadar valproic acid.
EFEK SAMPING
Toksisitas valproic acid berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam
kulit, dan alopesia. Gangguan saluran cerna berupa anoreksia, mual dan muntah terjadi
pada 16% kasus. Efek terhadap susunan saraf pusat berupa kantuk, ataksia, dan tremor,
menghilang dengan penurunan dosis. Gangguan pada hati berupa peninggian aktivitas
enzim-enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira
60 kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini. Dari suatu uji klinik
terkendali, dosis valproic acid 1200 mg sehari, hanya menyebabkan kantuk, ataksia, dan
mual selintas. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa obat ini aman dipakai karena
Efek samping yang kronik dapat berupa mengantuk, perubahan tingkah laku,
4) Phenobarbital
Antikonvulsan turunan barbiturat yang efektif dalam mengatasi epilepsi pada
dosis subhipnotis.
Indikasi
Sebagai antikonvulsi, fenobarbital digunakan dalam penanganan seizure tonik-
klonik (grand mal) dan seizure parsial. Fenobarbital dapat digunakan dalam pengobatan
awal, baik untuk bayi maupun anak-anak.
Kontraindikasi
21
Hipersensitif terhadap barbiturat atau komponen sediaan, gangguan hati yang
jelas, dispnea, obstruksi saluran nafas, porfiria, hamil.
Mekanisme kerja
Sifat Farmakokinetik
Fenobarbital diabsorbsi secara lengkap tetapi agak lambat; kosentrasi puncak
dalam plasma terjadi beberapa jam setelah pemberian suatu dosis tunggal. Sebanyak 40%
sampai 60% fenobarbital terikat pada protein plasma dan terikat dalam jumlah yang sama
diberbagai jaringan, termasuk otak. Sampai 25 % dari suatu dosis dieliminasi melalui
eksresi ginjal yang tergantung PH dalam bentuk tidak berubah; sisanya diinaktivasi oleh
enzim mikrososm hati. Sitokrom P450 yang paling bertanggung jawab adalah CYP2C9,
dengan sedikit metabolism oleh CYP2C19 dan 2El. Fenobarbital menginduksi enzim
uridin difosfa glukuronosil transferase(UGT) dan sitokrom P450 subfamili CYP2C dan 3
A. obat-obat yang dimetabolisme oleh enzim-enzim ini dapat terurai lebih cepat jika
diberikan bersama fenobarbital; yang penting, kontrasepsi oral dimetabolisme oleh
CYP3A4.
Toksisitas
Sedasi merupakan efek yang tidak diharapkan dari fenobarbital yang paling
sering terjadi yang tampak pada semua pasien pada awal terapi. Tingkat sedasi yang
terjadi berbeda-beda tetapi selama pengobatan kronis berkembang toleransi terhadap
efek ini. Nistagmus dan ataksia terjadi pada dosis belebih. Fenobarbital kadang-kadang
22
menyebabkan kondisi mudah marah dan hiperaktivitas pada anak-anak, serta agitasi dan
kebingungan pada lanjut usia.
Ruam yang mirip scarlet atau morbili, mungkin disertai dengan manifestasi
alergi obat lainnya, terjadi pada 1% sampai 2% pasien. Dermatitis eksfoliatif jarang
terjadi. Hipoprotrombinemia yang disertai hemoragia teramati pada bayi baru lahir yang
ibunya menggunakan fenobarbital selama kehamilan; vitamin K efektif untuk
penanganan atau profilaksis. Anemia megaloblastik yang berespons terhadap folat dan
osteomalasia yang berespons terhadap vitamin D dosis tinggi terjadi selama terapi
epilepsy dengan fenobarbital jangka panjang, seperti yang terjadi selama pengobatan
dengan fenitoin.
Konsentrasi obat dalam plasma, selama terapi jangka panjang pada orang
dewasa, konsentrasi fenobarbital dalam plasma rata-rata 10µg/ml dengan dosis sehari 1
mg/kg; pada anak-anak besarnya 5 sampai 7µg/ml dengan dosis 1 mg/kg. meskipun tidak
ada hubungan yang pasti antara hasil terapeutik dan konsentrasi obat dalam plasma,
biasanya disarankan konsentrasi plasma 10 sampai 35µg/ml untuk mengendalikan
kejang; kadar minimal untuk pencegahan konvulsi demam adalah 15µg/ml.
Hubungan antara konsentrasi fenobarbital dalam plasma dan efek merugikan
beragam sesuai dengan perkembangan toleransi. Sedasi, nistagmus dan ataksia biasanya
tidak terjadi pada konsentrasi dibawah 30 µg/ml selama terapi jangka panjang, tetapi
efek-efek merugikan mungkin tampak selama beberapa hari pada konsentrasi yang lebih
rendah saat dimulai terapi atau setiap dilakukan peningkatan dosis. Konsentrasi yang
lebih besar dari 60µl/mg mungkin menyebabkan intoksikasi nyata pada individu yang
tidak toleran.
Karena dapat terjadi toksisitas yang signifikan terhadap perilaku walaupun tidak
ada tanda-tanda toksisitas terlihat, maka kecenderungan untuk terus memberikan
fenobarbital dosis tinggi yang berlebihan pada pasien harus dihindari, terutama pada
anak-anak. Konsentrasi fenobarbital dalam plasma boleh ditingkatkan diatas 30 sampai
40µg/ml hanya jika peningkatan tersebut dapat diterima dengan memadai dan hanya jika
hal itu membantu pengendalian kejang secara bermakna.
Interaksi obat
Interaksi antara fenobarbital dan obat lain biasanya melibatkan induksi sistem
enzim mikrosom hati oleh fenobarbital. Konsentrasi fenobarbital dalam plasma dapat
ditingkatkan sebanyak 40 % selama penggunaanya yang bersaman dengan asam
23
valproat. Fenobarbital mengurangi kadar carbamazepin, lamotrigin, tiagabin, dan
zonisamide dalam darah; phenobarnital mungkin megurangi konsentrasi ethosuximide
dalam darah; konsentrasi Fenobarbital dalam darah meningkat oleh oxcarbazepin, juga
kadar metabolit aktif oxcarbazepin dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam
darah seringkali meningkat oleh fenitoin, kadar fenitoin dalam darah seringkali
berkurang tetapi dapat meningkat; efek sedasi meningkat saat barbiturate diberikan
dengan primidone; kadar Fenobarbital dalam darah meningkat oleh valproat, kadar
valproat dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam darah mungkin berkurang oleh
vigabatrin.
Pengunaan terapeutik
Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang tonik-klonik
menyeluruh dan kejang parsial. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah
menjadikan fenobarbital obat yang penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek
sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak
telah mengurangi pengunaanya sebagai obat utama.
Golongan barbiturat, sangat efektif sebagai anti konvulsi, paling sering
digunakan karena paling murah terutama digunakan pada serangan grand mal. Biasanya
untuk pemakaian lama dikombinasi dengan kofein atau efedrin guna melawan efek
hipnotiknya. Tetapi tidak dapat digunakan pada jenis petit mal karena dapat
memperburuk kondisi penderita. Contoh fenobarbital dan piramidon.
Efek samping
Penggunaan fenobarbital dapat menimbulkan efek hipnotik-sedatif. Hipnotika
atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan
keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur, pusing, ataksia
dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan
penambahan obat-obat lain dan pada umumnya, diberikan pada malam hari.
5) Clonazepam
Clonazepam adalah derifat dari obat benzodiazepin, obat yang digunakan untuk
mengobati kecemasan (obat penenang) tetapi juga efektif dalam mengobati kondisi yang
lain.
24
Indikasi
Clonazepam digunakan sebagai obat tunggal atau sebagai obat tambahan pada
pengobatan sindrom “Lennox Gastaut” atau (typical dan atypical absence) dan pada
serangan mioklonik dan akinetik. Clozepam juga dapat digunakan pada pasien dengan
absence seizures (petit mal) yang tidak memberikan respon terhadap pemberian
suksinimida.
Kontra Indikasi
1. Clonazepam tidak boleh diberikan pada pasien yang diketahui hipersensitif terhadap
Clonazepam atau zat tambahan lain didalamnya, pada pasien ketergantungan obat atau
alkohol, penderita glaukoma sudut sempit yang akut dan penyakit hati.
2. Gangguan paru-paru akut, gangguan saluran pernafasan, kelemahan otot.
Dosis
Dosis awal :
1. Bayi dan anak <10 tahun (BB sampai 30 kg) : 0,01-0,03 mg/kg tiap hari
2. Anak >10 tahun (BB lebih dari 30 kg) dan orang dewasa : 1 – 2 mg per hari.
Dosis pemeliharaan :
1. Bayi dan anak < 10 tahun (BB sampai 30 kg) : 0,05 – 0,1 mg/kg per hari
2. Anak umur 10-16 tahun (BB lebih dari 30 kg) : 1,5 – 3 mg per hari
3. Dewasa : 2- 4 mg per hari
Bila dosis pemeliharaan harus tercapai, dosis paling besar diberikan pada sore
hari. Dosis pemeliharaan sebaiknya dicapai setelah pengobatan selama 1-3 minggu. Pada
bayi sebaiknya diberikan sediaan tetes/drops untuk mendapatkan dosis optimal.Dosis
terapi maksimal dalam sehari yaitu 20 mg.
Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja dengan cara mempengaruhi neurotransmiter di otak , bahan
kimia yang dikeluarkan oleh saraf untuk berkomunikasi dengan saraf lain . salah satu
neurotransmiter dalah asam gama aminobutyrice (GABA).
Efek samping
1. Kelelahan, mengantuk, letih, pusing, kepala terasa ringan dan ataksia.
2. Depresi pernafasan, terutama bila clonazepam diberikan secara intravena.
3. Menyebabkan peningkatan produksi air liur dan sekresi bronkus.
4. Gejala “withdrawal” dpt terjadi setelah penggunaan jangka panjang, terutama jika
dosis terutama jika dosis perhari digunakan dengan cepat
5. Gangguan memori
6. Kegembiraan yang berlebihan atau tidak wajar
7. Lekas marah atau agresif
8. Efek lain kejang, tremor, kram otot, muntah dan berkeringat.
25
1. Farmakologi
Klonazepam mempunyain efek yang bermanfaat pada pusat epilepsi dan
pencetusnya serangan epilepsi primer, klonazepam meningkatkan aksi
penghambatan presinaptik dan post sinaptik asam aminon butirat pada susunana
saraf pusat. Memberikan rangsangan yang bererbihan dengan caraa mengurangi
arus balik negatif, tanpa adanya perusakan secara fisiologis yang berarti pada
neuron.
2. Farmakokinetik
Klonazepam diabsorbsi dengan cepat dan sempurna setelah pemberian
secara oral. Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1-4 jam setelah
pemberian secara oral. Bioavailabilitas rata-rata 95% , klonazepam menembus
plasenta dan diperkirakan akan terdapat di air susu ibu, waktu paruh eliminasinya
20-60 jam.
6) Clobazam
Salah satu obat dari golongan benzodiasepin yang manfaatnya terutama sebagai
antiansietas. Penggunaan clobazam dosis tinggi dan jangka panjang dapat menimbulkan
ketergantungan fisik dan psikis.
Farmakodinamik
Clobazam merupakan derivat benzodiazepin yang telah lama beredar sebagai
anxiolitik; potensinya sebagai antikonvulsan mulai diketahui dari percobaan binatang.
Dibandingkan dengan benzodiazepin lain, clobazam rnempunyai efek antikonvulsan
yang lebih spesifik dengan efek sedasi yang minimal.
Hampir semua efek benzodiazepin merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP
dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap rangsangan emosi/ansietas,
relaksasi otot dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan kerja golongan ini
pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner setelah pemberian dosis terapi benzodiazepin
tertentu secara IV dan blokade neuromuskular yang hanya terjadi pada pemberian dosis
tinggi.
Walaupun benzodiazepin mempengaruhi semua tingkatan aktivitas saraf, namun
beberapa derivat benzodiazepin pengaruhnya lebih besar terhadap SSP dari derivat yang
lain. Benzodiazepin tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan
barbiturat atau anestesi umum. Semua benzodiazepin memiliki profil farmakologi yang
hampir sama, namun efek utamanya sangat bervariasi, sehingga indikasi kliniknya
26
berbeda. Peningkatan dosis benzodiazepin menyebabkan depresi SSP yang meningkat
dari sedasi ke hipnosis dan dari hipnosis ke stupor; keadaan ini sering dinyatakan sebagai
efek anesthesia, tapi obat golongan ini tidak benar-benar memperlihatkan efek anestesi
umum yang spesifik, karena kesadaran pasien tetap bertahan dan relaksasi otot yang
diperlukan untuk pembedahan tidak tercapai.
Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor
penghambat neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA).
Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membran dan dibedakan dalam 2
bagian besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. Reseptor ionotropik
GABAA terdiri dari 5 atau lebih subunit (bentuk majemuk dari α, β, dan γ subunit) yang
membentuk suatu reseptor kanal ion klorida kompleks. Reseptor GABA A berperan pada
sebagian besar neurotransmitter di SSP. Sebaliknya, reseptor GABAB, yang terdiri dari
peptida tunggal dengan 7 daerah trans membran, digabungkan terhadap mekanisme
signal transduksinya oleh protein-G. Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA A, tidak
pada reseptor pada GABAB .
27
Berbeda dengan barbiturat, benzodiazepin tidak secara langsung mengaktifkan
reseptor GABAA tapi membutuhkan GABA untuk mengekspresikan efeknya. Ikatan
benzodiazepin-reseptor tersebut dapat bekerja secara agonis, antagonis atau inverse
agonis pada daerah reseptor benzodiazepin, bergantung kepada senyawa yang terikat.
Senyawa agonis menaikkan, sedangkan inverse agonis menurunkan jumlah jumlah aliran
klorida yang terjadi oleh aktivasi reseptor GABA A. Efek agonis maupun inverse agonis
dapat diblokir oleh antagonis pada reseptor benzodiazepin. Namun reseptor
benzodiazepin antagonis tidak berpengaruh pada fungsi GABAA. Salah satu antagonis
benzodiazepin, flumazenil, digunakan secara klinik untuk melawan efek benzodiazepin
dosis tinggi.
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, penyerapan clobazam cepat dengan jumlah minimal 87%
dan 85% sampai 91% dari clobazam terikat pada protein plasma. Bioavailabilitas relatif
clobazam (40 mg) dalam bentuk kapsul, tablet atau solusio (dalam propilen glikol) tidak
berbeda secara signifikan. Setelah pemberian clobazam dosis tunggal 20 mg, variabilitas
antarindividu ditandai dengan konsentrasi plasma maksimum (222-709 ng/ml) yang
dapat dicapai setelah 15 menit – 4 jam. Seiring asupan alkohol dapat meningkatkan
bioavailabilitas clobazam sebesar 50%. Waktu paruh eliminasi plasma sekitar 10-30 jam
dan dieliminasi sekitar 81-97% melalui urin.
Clobazam terutama dimetabolisme di hati. Metabolit utama yang ditemukan
dalam plasma yaitu N-desmethyl clobazam dan 4-hydroxyclobazam. N-desmethyl
clobazam merupakan metabolit aktif. Dalarn darah, bentuk N-desmetil konsentrasinya
10-20 kali lebih tinggi daripada bentuk aslinya. Setelah dosis tunggal 30 mg, N-
desmethyl clobazam mencapai konsentrasi plasma maksimum setelah 24 sampai 72 jam.
Waktu paruh eliminasi sekitar 50 jam.
Clobazam dapat menembus barrier plasenta dan muncul dalam ASI. Pada orang
tua, ada kecenderungan untuk mengurangi pemberian oral karena waktu paruhnya
menjadi lama dan volume distribusinya meningkat. Hal ini dapat menyebabkan
akumulasi obat yang lebih luas bila diberikan dengan dosis yang besar jika dibandingkan
dengan orang yang lebih muda. Efek usia pada pembersihan dan profil akumulasi
clobazam juga berlaku untuk metabolit aktif. Pada pasien dengan penyakit hati yang
berat, volume distribusi clobazam meningkat dan waktu paruhnya memanjang. Pada
28
pasien dengan gangguan ginjal, konsentrasi plasma clobazam berkurang, mungkin
karena gangguan penyerapan obat.
Indikasi
Mengatasi keadaan ansietas dan psikoneurotik yang disertai ansietas serta sebagai
antikonvulsan (3,8). Clobazam telah lama beredar sebagai anxiolitik; potensinya sebagai
antikonvulsan mulai diketahui dari percobaan binatang. Dibandingkan dengan
benzodiazepin lain, clobazam rnempunyai efek antikonvulsan yang lebih spesifik dengan
efek sedasi yang minimal. Penggunaannya sebagai antikonvulsan dimulai oleh Gastaut
pada tahun 1978, dan sampai sekarang telah digunakan oleh lebih dari 2000 pasien,
diantaranya melalui 8 uji klinis buta-ganda.
Kontraindikasi
Clobazam dikontraindikasikan pada:
Pasien dengan hipersensitivitas terhadap clobazam.
Pasien dengan riwayat ketergantungan obat atau alkohol (peningkatan risiko
perkembangan ketergantungan). Pasien yang mengkonsumsi alkohol selama
pengobatan dengan clobazam karena dapat terjadi peningkatan risiko sedasi dan
efek samping lainnya.
Pasien dengan myasthenia gravis (risiko gangguan kelemahan otot). Oleh karena
itu, pada pasien myasthenia gravis (sejauh mereka mentolerir clobazam) atau
tulang belakang atau ataksia cerebellar, pengamatan khusus diperlukan dan
pengurangan dosis mungkin diperlukan.
Pasien dengan insufisiensi pernapasan yang parah dan pasien dengan sleep apnea
syndrome (risiko pemburukan). Clobazam dapat menyebabkan depresi pernapasan,
terutama jika diberikan dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, pada pasien dengan
insufisiensi pernapasan kronis atau akut (sejauh mereka mentolerir clobazam)
fungsi pernapasan harus dipantau dan pengurangan dosis mungkin diperlukan.
Pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat (risiko pencetus
ensefalopati).
29
Selama trimester pertama kehamilan. Pemberian clobazam dosis tinggi sebelum
atau selama melahirkan dapat memancing terjadinya hipotermia, hypotonia,
depresi pernafasan, dan kesulitan minum (tanda-tanda dan gejala "floppy infant
syndrome”). Umumnya, clobazam tidak boleh digunakan pada trimester pertama
kehamilan. Pada tahap akhir kehamilan, itu hanya harus digunakan jika ada
indikasi yang memaksa karena dapat menyebabkan withdrawal floppy infant
syndrome pada periode postnatal.
Perempuan menyusui karena clobazam dapat menembus barrier plasenta dan
masuk ke dalam ASI.
Clobazam tidak boleh digunakan pada anak-anak antara usia 6 bulan dan 3 tahun.
Efek Samping
Efek samping yang dapat dijumpai kurang lebih sama dengan sediaan
benzodiazepin lain, berupa sedasi, pusing (diz-ziness), rasa kering di mulut, konstipasi,
mual dan kadang- kadang menyebabkan tremor halus. Umumnya muncul pada awal
pengobatan dan berangsur-angsur hilang bila terapi dilanjutkan. Pada kasus-kasus
tertentu dapat timbul rasa gelisah dan kelemahan otot. Obat ini tidak menyebabkan reaksi
idiosinkratik ataupun alergi, juga tidak mempengaruhi fungsi kognitif.
Clobazam juga dapat menyebabkan gangguan artikulasi, gangguan visual
(penglihatan nystagmus, ganda), penurunan berat badan dan penurunan libido, penurunan
kesadaran disertai gangguan pernafasan namun jarang terjadi, Reaksi kulit, seperti
eksantema atau urtikaria, dapat berkembang pada kasus yang sangat jarang. Reaksi-
reaksi tersebut terjadi khususnya dengan dosis tinggi atau jangka panjang pengobatan,
dan reversibel. Amnesia anterograde dapat terjadi bahkan jika clobazam digunakan
dalam kisaran dosis normal, namun terutama pada tingkat dosis yang lebih tinggi.
Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan untuk clobazam yaitu :
Tablet : 10 mg
30
Dosis, Cara dan Waktu Pemberian
Dosis dan durasi pengobatan harus disesuaikan dengan indikasi, tingkat
keparahan, kondisi dan respon klinis individu. Prinsip yang mendasar adalah untuk
menjaga dosis serendah mungkin. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati: respon
yang meningkat dan kerentanan terhadap efek samping lebih tinggi dan memerlukan
dosis awal yang rendah dan penambahan dosis secara bertahap di bawah pengawasan.
1. Sebagai anxiolitik diberikan tiap 8-12 jam secara oral.
- Dewasa dan pada remaja lebih dari 15 tahun: Dosis awal 20 mg/hari. Jika perlu,
dosis harian dapat ditingkatkan. Umumnya disarankan, total dosis harian 30 mg
tidak terlampaui.
- Lansia: Peningkatan respon dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek
samping dapat hadir pada pasien lansia dan membutuhkan dosis awal yang
rendah dan penambahan dosis secara bertahap di bawah pengawasan. Dosis
pemeliharaan 10-15mg/hari umumnya cukup.
- Anak-anak dari usia 3 sampai 15 tahun: Peningkatan respon dan kerentanan
yang lebih tinggi terhadap efek samping mungkin hadir pada anak-anak dan
membutuhkan dosis awal yang rendah dan peningkatan dosis bertahap di bawah
pengawasan. Dosis harian 5-10mg/hari. Pada referensi lain diberikan
0,1mg/kgbb/hari dan bisa dinaikkan maksimum 0,4mg/kgbb/hari.
- Lama pengobatan: Lamanya pengobatan harus sesingkat mungkin. Pasien harus
dinilai kembali setelah jangka waktu yang tidak melebihi 4 minggu dan secara
teratur setelahnya dalam rangka untuk mengevaluasi kebutuhan untuk
perawatan lanjutan, terutama pasien yang telah bebas dari gejala. Secara umum,
durasi keseluruhan pengobatan (yaitu termasuk proses tappering-off) harus tidak
melebihi 8 sampai 12 minggu. Sangat direkomendasikan untuk menghindari
penggunaan jangka panjang karena dapat menyebabkan ketergantungan.
- Penghentian pengobatan: Sangat dianjurkan, setelah pengobatan jangka panjang
clobazam tidak dihentikan tiba-tiba melainkan mengurangi dosis secara
bertahap dibawah pengawasan medis, jika pengobatan tiba-tiba dihentikan,
kegelisahan, kecemasan dan insomnia mungkin dapat muncul kembali.
31
Dosis tunggal 10mg/hari clobazam efektif untuk jenis serangan umum,
sedangkan serangan fokal lebih efektif diatasi dengan dosis tunggal 20 mg/hari. Suatu
studi yang melibatkan 1300 kasus di Canada menunjukkan bahwa clobazam dapat
menurunkan frekuensi serangan lebih dari 50% pada sedikitnya 40% pasien selama 4
tahun.
Studi lain pada epilepsi katamenial menunjukkan bahwa clobazam yang diberikan
selama 10 hari di sekitar saat menstruasi dapat menurunkan frekuensi serangan
sampai 63%, bahkan 12 dari 16 pasien menjadi bebas serangan. Masalah yang
mungkin timbul pada penggunaan jangka lama ialah adanya toleransi, seperti yang
umum dijumpai pada penggunaan derivat benzodiazepin pada umumnya.
Besarnya kemungkinan toleransi bervariasi pada beberapa uji klinik, angkanya
berkisar antara 0-86%; studi di Canada mendapatkan 9% pasiennya menjadi toleran
sehingga pengobatan dihentikan, sedangkan pada studi di Australia, angka toleransi
tersebut mencapai 19,6%. Toleransi timbul terutama pada 3 bulan pertama
pengobatan, mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi dapat
dicegah/diperlambat dengan pemberian dosis kecil, dosis tunggal atau secara
intermiten. Masalah toleransi timbul pada 18,8% pasien setelah pengobatan selama 8
bulan; masalah ini dapat dikurangi kemungkinannya bila menggunakan dosis kecil
10-20 mg./hari. Bila timbul toleransi, sebaiknya berangsur-angsur diganti dengan obat
lain.
Clobazam digunakan sebagai obat tambahan, terutama pada epilepsi parsial
kompleks dengan/tanpa serangan umum sekunder, dengan dosis antara 5-30 mg/hari
.
Interaksi Obat
Konsumsi alkohol bersamaan dengan clobazam dapat meningkatkan
bioavailabilitas clobazam sebesar 50% dan karena itu menyebabkan efek
clobazam meningkat sehingga menambah terjadinya depresi sistem saraf pusat.
Jika clobazam digunakan bersamaan dengan analgesik narkotik, euforia mungkin
dapat ditingkatkan; ini dapat mengakibatkan ketergantungan psikologis
meningkat.
Karbamazepin dan fenitoin dapat menyebabkan peningkatan dalam konversi
metabolisme clobazam ke clobazam metabolit aktif N-desmethyl.
Efek relaksan otot dan nitrous oxide dapat ditingkatkan oleh clobazam.
32
Obat yang menghambat sistem enzim sitokrom P-450 (mono-oxygenase)
(misalnya simetidin, eritromisin) dapat mengurangi klirens plasma klobazam,
meningkatkan waktu paruh dan konsentrasi clobazam.
DAFTAR PUSTAKA
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Difasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Hal: 288-296
Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. 2016. Hal : 122-126
Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. 2007. Edisi 5
33