Anda di halaman 1dari 5

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/322527658

Pembuatan Etanol dari Buah Salak (Salacca zalacca) Melalui Proses Fermentasi

Article · January 2018


DOI: 10.22487/j24775185.2017.v6.i4.9455

CITATIONS READS
0 111

3 authors, including:

Paulus Hengky Abram


Universitas Tadulako
13 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Paulus Hengky Abram on 30 March 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


J. Akademika Kim. 6(4): 237-240, November 2017
ISSN 2302-6030 (p), 2477-5185 (e)

PEMBUATAN ETANOL DARI BUAH SALAK (Salacca zalacca) MELALUI PROSES


FERMENTASI
The Production of Ethanol from Salak Fruit (Salacca zalacca) through Fermentation Process

*Ni Ketut Wartini, Paulus H. Abram, dan Nurdin Rahman


Pendidikan Kimia/FKIP – Universitas Tadulako, Palu – Indonesia 94118
Received 18 September 2017, Revised 18 October 2017, Accepted 20 November 2017

Abstract
The study aimed to determine the level of ethanol that produced by the flesh of salak fruits with the
fermentation process. The method used was an experiment method. The technical is fermentation, with tape
yeast starter, determination of ethanol and purification. Ethanol level in the flesh of fresh fruits without
handling was 11.3%, the highest levels of ethanol in the fruit flesh of 4 days after the plucking was 7.6%, and
the fruit flesh of 7 days after the plucking was 3.4%.
Keywords: Ethanol, flesh salak fruits, Salacca zalacca, fermentation.

warna coklat pada daging buah salak. Salak


Pendahuluan 1 merupakan salah satu tanaman buah asli Indonesia.
Etanol atau etil alcohol (lebih dikenal dengan Nilai gizi buah ini cukup tinggi, di antaranya
alkohol, dengan rumus kimia (C2H5OH) adalah karbohidrat, protein, kalsium, fosforus dan zat besi
cairan tak berwarna dengan karakteristik antara (Anarsis, 1996). Buah salak dapat dimakan sebagai
lain mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam buah segar. Namun demikian buah salak di
air, tidak karsinogenik, dan jika terjadi pencemaran pedesaan hanya sebagian kecil yang dapat
tidak memberikan dampak lingkungan yang dikonsumsi, sehingga mengalami pembusukan.
signifikan (Jannah,2010). Penggunaan etanol Hal tersebut perlu diatasi dengan cara buah salak
sebagai bahan bakar bernilai oktan tinggi atau diolah menjadi manisan, sehingga tetap
aditif peningkat bilangan oktan pada bahan bakar memberikan nilai ekonomi.
sebenarnya dan hal tersebut dilakukan sejak abad Metode yang sering digunakan pada pembuatan
19. Mula-mula etanol digunakan untuk bahan bioetanol yaitu fermentasi.Proses fermentasi dasar
bakar lampu pada masa sebelum perang saudara di melibatkan kegiatan enzimatik lactobacilli,
Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 1860 Leuconostoc, pediococci, ragi dan jamur
Nikolous Otto menggunakan bahan bakar etanol (Kohajdova & Karovicova, 2007). Metabolisme
dalam mengembangkan mesin kendaraan dengan mereka menghasilkan produksi rantai pendek asam
siklus Otto (Jannah, 2010). Etanol diproduksi lemak seperti laktat, asetat, butirat format dan
dengan cara fermentasi menggunakan bahan baku asam propionate (Kohajdova & Karovicova, 2007).
hayati yang dihasilkan dari fermentasi gula yang Fermentasi etanol atau alkoholisasi adalah proses
mengandung bahan seperti tetes tebu(sari tebu atau perubahan gula menjadi alkohol dan karbon
sirup tebu), berbagai jenis tanaman, gula bit dioksida oleh mikroba, terutama oleh khamir
danjagung manis (Umamaheswari, dkk., 2010). Saccharomyces cerevisiae( Yonas, 2013).Jenis
Salak sebagai tanaman hortikultura, mudah mikroba yang dapat digunakan dalam pembuatan
mengalami kerusakan karena faktor mekanis, fisis, bioetanol salah satunya adalah Saccharomyces
fisiologis dan mikrobiologis. Hal ini disebabkan cerevisiae yang merupakan organisme uniseluler
karena salak mempunyai kadar air yang cukup yang bersifat makhluk mikroskopis dan disebut
tinggi yaitu sebesar 78 % dan kandungan sebagai jasad sakarolitik, yaitu menggunakan gula
karbohidrat sebesar 20,9% (Direktorat Gizi sebagai sumber karbon untuk metabolisme
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (Azizah, dkk., 2012).
1979). Perubahan lain yang cukup merugikan Tulisan ini dimaksudkan untuk menentukan
adalah terjadinya perubahan warna daging buah kadar etanol yang dihasilkan pada daging buah
secara enzimatis karena kandungan tanin (reaksi salak dengan waktu fermentasi.
browning enzimatis). Kandungan tanin ini
memberikan rasa sepat asam buah salak serta jika Metode
terkena udara maka akan menghasilkan perubahan Buah salak dikupas terlebih dahulu dari
kulitnya, dibersihkan kulit arinya dan dikeluarkan
bijinya. Selanjutnya daging buah salak dicuci
*Correspondence bersih dengan air, dipotong kecil-kecil ± 1 cm dan
Ni Ketut Wartini ditimbang sebanyak 300 gram untuk masing-
Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu masing sampel daging buah salak menggunakan
Pendidikan, Universitas Tadulako neraca digital. Tiap ukuran berat daging buah salak
e-mail: niketutwartini12@gmail.com diblendar sampai halus, disaring menggunakan
Published by Universitas Tadulako 2017

237
Ni Ketut Wartini Pembuatan Etanol dari Buah Salak Melalui Proses……....

kain bersih hingga diperoleh filtrat dari daging Gambar 1 memberikan informasi bahwa setelah
buah salak. dilakukan pengukuran kadar etanol menggunakan
Filtrat yang diperoleh, dimasukkan ke dalam alat alkoholmeter dari hasil evaporator, terdapat
gelas kimia.Selanjutnya dipasteurisasi pada suhu perbedaan kadar etanol pada daging buah salak
120 oC selama 15 menit (Putri & Supartono, yang bagus dan sudah matang yang diambil dari
2015). Tujuan pasteurisasi pada suhu tersebut pohonnya pada hari pertama dipetik, dan pada
adalah mensterilkan bahan agar tidak ada daging buah salak setelah pemetikan hari pertama
mikroorganisme lain yang hidup sebagai didiamkan selama 4 hari, dan daging buah salak
pengganggu dan didiamkan sampai dingin. Filtrat setelah pemetikan hari pertama didiamkan selama
buah salak yang sudah dingin dimasukkan ke 7 hari daging buah salak busuk. Pada daging buah
dalam gelas ukur sebanyak 30 mL, dimasukkan salak yang bagus yang diambil dari pohonnya pada
dalam erlenmeyer yaitu sebanyak 30 mL. hari pertama dipetik dan difermentasi 4 hari
Erlenmeyer yang berisi fitrat buah salak sebanyak menghasilkan kadar etanol yang diperoleh yaitu
30 mL ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 2 dengan 3 kali pengukuran yang dihasilkan pada
gram dan urea 2 gram sebagai sumber nutrisi dan pengukuran pertama 13%, pengukuran kedua
dikocok hingga semuanya larut. Selanjutnya 2 11%, dan pengukuran ketiga yaitu 10%. Kadar
gram ragi tape ditambahkan ke dalam masing- etanol rata-rata yaitu sebanyak 11,3%. Sedangkan
masing Erlenmeyer (Purba, 2013). Selanjutnya daging buah salak setelah pemetikan hari pertama
dilakukan inkubasi dengan cara menutup rapat yang didiamkan selama 4 hari dengan fermentasi 4
erlenmeyer, dan selang disambungkan dari hari menghasilkan kadar etanol rata-rata sebanyak
erlenmeyer ke wadah yang berisi air pada suhu 7,6%. (rata-rata dengan 3 kali pengukuran)
berkisar antara 27-30 oC selama 2 hari. pengukuran pertama 8,7%, pengukuran kedua
Pada tahap fermentasi ini, sampel erlenmeyer A 7,6%, dan pengukuran ketiga yaitu 6,5%. Daging
ditambahkan dengan starter 1, sampel erlenmeyer buah salak setelah pemetikan hari pertama yang
B ditambahkan dengan starter 2, dan untuk sampel didiamkan selama 7 hari daging buah salak busuk
erlenmeyer C ditambahkan dengan starter 3. dan difermentasi 4 hari, kadar etanol yang
Selanjutnya menutup ketiga erlenmeyer hasil diperoleh yaitu dengan 3 kali pengukuran yang
campuran tersebut dengan aluminium foil dihasilkan pada pengukuran pertama 4,6%,
kemudian dilakukan pendiaman selama 4 hari pengukuran kedua 3,5%, dan pengukuran ketiga
untuk masing-masing variasi pemetikan buah yaitu 10%. Kadar etanol rata-rata yaitu sebanyak
salak. 2,3%. Dengan kadar etanol rata-rata yaitu
sebanyak 3,4%.
Tahap Pemisahan Kadar alkohol tertinggi setelah
Setelah difermentasi selama 4 hari dari masing- dievaporator dan diukur menggunakan alat
masing sampel, selanjutnya disaring menggunakan alkoholmeter terdapat pada daging buah salak yang
pompa vakum dan diambil filtratnya. Filtrat yang bagus dan sudah matang yang diambil dari
diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalamlabu pohonnya pada hari pertama dipetik dengan
alas bulat dan dipasang pada rangkaian alat penggunaan ragi tape menghasilkan kadar etanol
evaporator. Pada proses ini dilakukan pemanasan sebesar 11,3%. Hal ini dikarenakan daging buah
pada suhu 78 oC untuk memisahkan etanol dari salak yang bagus dan sudah matang masih
campurannya. Larutan hasil evaporasi selanjutnya mengandung glukosa karbohidrat yang banyak
ditentukan kadarnya dengan menggunakan yang dapat difermentasi dengan baik oleh bakteri
alkoholmeter (Moeksin & Francisca, 2010). Saccaromycess cereviceae sehingga menghasilkan
Hasil Dan Pembahasan konsentrasi alkohol yang lebih tinggi (Purnamasari,
dkk., 2013). Dapat dilihat dari reaksi dibawah
Analisis kadar etanol pada berbagai variasi hari menunjukan untuk daging buah salak yang masih
pemetikan daging buah salak bagus dan sudah matang yang baru dipetik tampa
12% 11,3% pendiaman, pada saat difermentasi menghasilkan
10%
etanol dengan gas CO2.
8% 7,6% Zimase
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2
Etanol

6% Glukosa Etanol Gas


4% 3,4%
2% Sedangkan pada daging buah salak setelah
0%
pemetikan hari pertama di diamkan selama 4 hari,
0 hari 4 hari 7 hari
dan daging buah salak setelah pemetikan hari
pertama didiamkan selama 7 hari daging buah
Lama pendiaman buah salak sebelum difermentasi salak busuk, glukosa dan karbohidrat yang
terkandung mengalami kerusakan baik itu karena
Gambar 1. Kadar etanol berdasarkan variasi hari faktor mekanis, fisis, biologis maupun
pemetikan daging buah salak dan difermentasi mikrobiologis sehingga kadar alkohol yang didapat
masing-masing selama 4 hari lebih sedikit dibandingkan dengan daging buah
salak yang bagus (Purnamasari, dkk., 2013).

238
Volume, 6, No. 4, 2017, 237-240 Jurnal Akademika Kimia

Kerusakan buah salak ternyata disebabkan pertama Penelitian ini menggunakan ragi Saccharomyces
oleh faktor mekanis seperti benturan diantara buah cerevisiae karena mikroba Saccharomyces cerevisiae
salak itu sendiri, buah dengan wadah, gesekan, memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
tekanan dan buah jatuh dari tandannya. Kedua, mikroba lain, Saccharomyces cerevisiae dapat
faktor fisiologis seperti respirasi yang secara alami menghasilkan alkohol hingga 2% dalam 72 jam
senantiasa berlangsung sejak tandan buah tersebut (O’Leary, dkk., 2004). Mikroba Saccharomyces
dipangkas dari pohonnya sampai saat cerevisiae menghasilkan enzim invertase dan enzim
penyimpanan buah salak dilakukan. Ketiga, faktor zimase dengan adanya kedua enzim tersebut
mikrobiologis seperti lingkungan kebun yang tidak mikroba Saccharomyces cerevisiae dapat
bersih menyebabkan banyak mikrobia khususnya mengkorversi gula menjadi etanol. Gula dari
jamur berpeluang untuk mengkontaminasi buah kelompok disakarida akan dihidrolisis enzim
salak terutama bagian pangkal buah setelah buah invertase menjadi monosakarida selanjutnya enzim
salak tersebut terlepas dari bagian tandannya. zimase akan mengkonversi monosakarida menjadi
Selain ketiga faktor di atas, penyebab kerusakan alkohol dan karbondioksida (Judoamidjojo, dkk.,
buah salak adalah faktor biologis seperti serangan 1992).
serangga atau hama tikus yang menyukai buah Menurut Azizah, dkk., (2012) menyatakan
salak masak. Penundaan pemanenan dalam upaya bahwa Saccharomycescerevisiae akan tumbuh
untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi justru optimal dalam kisaran suhu 30 °C-35 °C dan
menyebabkan buah salak kelewat masak dan puncak produksi alkohol dicapai pada suhu 33 °C.
sebagian kulitnya pecah baik secara melintang atau Jika suhu terlalu rendah, maka fermentasi akan
membujur, dengan demikian kualitas buah salak berlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhu
menjadi turun. Berbagai faktor tersebut di atas terlalu tinggi maka Saccharomycescerevisiae akan
terbukti sebagai pemicu timbulnya berjamur, mati sehingga proses fermentasi tidak akan
busuk dengan bau menyengat, terjadi perubahan berlangsung. Tapi ada batasan untuk proses
warna, buah menjadi layu dan kering seperti yang kehidupan mikroorganisme, suhu yang lebih tinggi
diungkapkan oleh (Purnamasari, dkk., 2013). Ada mungkin tidak mendukung pertumbuhan, sel-sel
pun penurunan kadar etanol, hal ini disebabkan akan mati, enzim dapat mengubah sifat dan laju
karena glukosa dan nutrisi dalam media fermentasi pembentukan produk mungkin terpengaruh.
jumlahnya sudah mulai berkurang sehingga Selain itu semua fermentasi bersifat eksotermik,
mikroba dalam jumlah yang cukup besar hanya tingkat panas yang dilepaskan tergantung pada
mengkonsumsi sisa nutrisi, kemungkinan lain kondisi alam disekitarnya. Oleh karena itu kontrol
karena terjadinya perubahan etanol yang suhu lengkap pada suhu optimum tentu akan
teroksidasi oleh oksigen menjadi asam asetat. meningkatkan produksi etanol (Umamaheswari,
Dapat dilihat dari reaksi dibawah ini, dkk., 2010)
menunjukan bahwa pada daging buah salak 4 hari Waktu fermentasi adalah waktu yang
setelah pemetikan dan daging buah salak 7 hari dibutuhkan oleh Saccharomyces cerevisiaemengubah
setelah pemetikan, glukosa pada saat difermentasi atau memfermentasi glukosa menjadi etanol. Pada
terbentuk atau menghasilkan etanol dengan gas proses fermentasi, waktu fermentasi
CO2, namun megalami reaksi berlanjut mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Lama
membentuk asam asetat atau asam karboksilat fermentasi pada proses produksi etanol sangat
karena mengalami oksidasi dan reaksi dengan mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Jika
alkohol sisa hasil oksidasi membentuk etil asetat etanol yang terkandung di dalam substrat tinggi
atau ester. maka hal ini justru akan berpengaruh buruk
terhadap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae.
[O] C2H5OH Oleh karena itu dibutuhkan lama fermentasi yang
C2H5OH CH3COOH CH3COOC2H5 + H2O tepat untuk proses fermentasi bioetanol agar
Etanol Asam Asetet Ester (etil asetat) didapatkan kadar etanol dalam jumlah yang tinggi
(Azizah, dkk., 2012).
Penelitian ini, menggunakan waktu fermentasi
Pengaruh lama waktu fermentasi terhadap kadar 4 hari, karena proses fermentasi pada waktu 4 hari
etanol dari berat yeast 6 gram palinsg optimum karena
Fermentasi alkohol adalah proses menghasilkan kadar etanol tertinggi. Dimana
penguraian glukosa menjadi etanol dan CO2 yang aktivitas bakteri pada lama fermentasi 4 hari paling
dihasilkan oleh aktifitas suatu jenis optimum, setelah waktu 4 hari konversi glukosa
mikroorganisme yang disebut khamir dalam akan menurun karena penurunan aktivitas bakteri
keadaan anaerob. Faktor yang dapat akibat pertumbuhan bakteri yang cepat tidak
mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan dari diimbangi dengan nutrisi yang cukup dan bakteri
fermentasi adalah mikroorganisme dan media yang akan mati karena kehabisan nutrisi (Susanti, dkk.,
digunakan. Selain itu hal yang perlu diperhatikan 2011).
selama fermentasi adalah pemilihan khamir,
konsentrasi gula, keasaman, ada tidaknya oksigen
dan suhu (Muin, dkk., 2014).

239
Ni Ketut Wartini Pembuatan Etanol dari Buah Salak Melalui Proses……....

Kesimpulan Muin, R., Lestari, D. & Sari, T. W. (2014).


Pada daging buah salak yang matang dan baru Pengaruh konsentrasi asam sulfat dan waktu
dipetik dari pohonnya tanpa pendiaman fermentasi terhadap kadar bioetanol yang
dihasilkan dari biji alpukat. Jurnal Teknik Kimia,
menghasilkan kadar etanol yang peling tinggi yaitu 20(4), 1-7.
sebesar 11,3%, sedangkan pada daging buah salak
4 hari setelah pemetikan menghasilkan kadar O’Leary, V. S., Green, R., Sullivan, B. C. &
etanol 7,6%, dan pada daging buah salak 7 hari Holsinger, V. H. (2004). Alcohol production by
setelah pemetikan menghasilkan kadar etanol selected yeast strains in lactase hydrolyzed acid
3,4%. whey. Jurnal Biotechnology and Bioengineering,
19(7), 1019-1035.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Purba, E. S. (2013). Pengaruh lama fermentasi
Husnia, Nurbaya, dan Tasrik yang telah terhadap kadar etanol dari biji alpukat (persea
memberikan bimbingan dan masukan dalam americana mill). Skripsi, Yogyakarta: Universitas
menyelesaikan penelitian ini. Negeri Yogyakarta.
Purnamasari, F., Ruli, S. F., Sari, E. & Rahma, D.
Daftar Pustaka C. (2013). Pemanfaatan limbah buah salak sebagai
Anarsis, W. (1996). Agribisnis komoditas salak. sumber bahan bakar alternatif bioetanol.
Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Undergraduate Research, 2(4), 1-10.

Azizah, N., Al-Baarri, N. & Mulyani, S. (2012). Putri, E. S. & Supartono. (2015). Pemanfaatan
Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol, limbah tandan kelapa untuk pembuatan bioetanol
ph dan produksi gas pada proses fermentasi melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Indonesian
bioetanol dari whey dengan substitusi kulit nanas. Journal of Chemical Science, 4(3), 170-183.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pagan, 1(2), 72-77.
Susanti, A. D., Prakoso, P. T. & Prabawa, H.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik (2011). Pembuatan bioetanol dari kulit nanas
Indonesia. (1979). Daftar komposisi bahan melalui hidrolisis dengan asam. Ekuilibrium, 10(2),
makanan. Jakarta:Bharata Karya Aksara. 81-86.

Jannah, A. M. (2010). Proses fermentasi hidrolisat Umamaheswari, M., Jayakumari, M., Maheswari,
jerami padi untuk menghasilkan bioetanol. Jurnal K., Subashree, M., Mala, P., Sevanthi, T. &
Teknik Kimia, 17( 1), 44-52. Manikandan, T. (2010). Bioethanol production
from cellulosic materials. International Journal of
Judoamidjojo, M., Darwis, A. A. & Sa’id, E. G. Current Research, 1, 005-011.
(1992). Teknologi fermentasi. Teknik Industri,
6(2),51-58. Yonas, M. I. (2013). Pembuatan bioetanol berbasis
sampah organik batang jagung (Suatu penelitian di
Kohajdova, Z. & Karovicova, J. (2007). laboratorium kimia UNG). Skripsi, Gorontalo:
Fermentation of cereals for specific purpose. Universitas Gorontalo.
Journal of Food and Nutrition Research, 46(2), 51-
57.
Moeksin, R. & Francisca, S. (2010). Pembuatan
etanol dari bengkuang dengan variasi berat ragi
waktu dan jenis ragi. Jurnal Teknik Kimia, 17 (2),
25-30.

240

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai