Anda di halaman 1dari 21

MASUKNYA ISLAM KE TANAH JAWA

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah : Islam dan Budaya Lokal

Dosen Pengampu : Anisa Listiana, M. Ag

Disusun Oleh :

1. M. Zulfa Ainun Niam (1810610013)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

JURUSAN TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

2018

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin,

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmah, hidayah
serta inayah-Nya sehingga kita masih tetap dalam keadaan sehat wal afiat dan dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Masuknya Islam ke tanah Jawa” dengan
lancar dan tanpa kendala yang berarti. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Lokal yang diampu oleh Ibu Anisa
Listiana, M. Ag

Dalam penyusunannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu


mata kuliah Islam dan Budaya Lokal dan juga teman teman satu kelompok yang ikut
andil dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
baik. Dan tak luput pula, terima kasih kepada orang tua penulis atas segala doa, harapan
dan dukungannya.

Diluar itu semua, penulis memohon maaf yang sebesar besarnya atas segala
kekurangan dan kekeliruan di dalam penulisan makalah ini. Jika masih ada kesalahan
dalam tanda baca, tata bahasa maupun isinya, maka harapan besar penulis semoga
pembaca berkenan memakluminya dan memberikan kritik dan saran positif kepada
penulis.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca

Kudus, Januari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i


KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Proses masuknya Islam ke tanah Jawa ....................................... 3


B. Cara masuknya Islam ke tanah Jawa. ......................................... 4
C. Tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa ........................................ 9
D. Bentuk-bentuk Akulturasi Budaya di Jawa ................................ 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................. 17
B. Saran ........................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama rahmatal lil alamin yang di turunkan Allah SWT lewat
perantara Nabi Muhammad SAW untuk disebarkan ke seluruh umat manusia di
muka bumi. Agama Islam pertama kali masuk dan menyebar di kawasan Jazirah
Arab oleh Nabi Muhammad SAW. Islam disebarkan dengan lemah lembut dan
penuh kasih sayang, tidak melalui jalur kekerasan. Oleh karenanya agama Islam
mudah diterima dan masuk ke berbagai wilayah dan dapat mengislamkan
penduduknya.

Karena ajaran Islam yang mudah diterima, maka tak heran bila ajaran Islam
berkembang dengan pesat hingga sampai ke berbagai benua seperti, benua Asia,
benua Eropa, benua Afrika, dan lain-lain. Dalam proses yang panjang akhirnya
Islam dapat masuk ke wilayah Nusantara, dimana dulunya sebelum kedatangan
Islam, wilayah Nusantara banyak yang beragama Hindu dan Buddha. Dalam hal ini
peran tokoh-tokoh agama, ulama’, dan para kyai sangatlah berjasa dalam
penyebaran agama Islam di Nusantara. Hingga akhirnya Islam dapat tersebar ke
seluruh pelosok wilayah Nusantara, termasuk di tanah Jawa.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, adapun rumusan


masalahnya yaitu:

1. Bagaimana proses masuknya Islam ke tanah Jawa?


2. Bagaimana cara masuknya Islam ke tanah Jawa?
3. Siapa saja tokoh penyebar Islam di Jawa?

1
4. Apa saja bentuk-bentuk akulturasi budaya di Jawa?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuannya yaitu:

1. Untuk mengetahui proses masuknya Islam ke tanah Jawa.


2. Untuk mengetahui cara masuknya Islam ke tanah Jawa.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa.
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk akulturasi budaya di Jawa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PROSES MASUKNYA ISLAM KE TANAH JAWA

Menurut sumber Tiongkok pada abad ke-7 M (sekitar tahun 674-675 M),
telah datang utusan dari raja Arab ke tanah Jawa untuk menziarahi kerajaan
Kalingga di Jawa Timur. Namun setelah diketahui bahwa di Jawa orang-orang telah
sebegitu rupa teguhnya memeluk agama Hindu, maka usaha untuk menyiarkan
agama Islam itu tidak diteruskan (Umar Hasyim, 1979 : 12).

Permulaan datangnya Islam ke tanah Jawa diperkirakan baru terjadi pada


sekitar abad ke-11 M, yaitu dengan bukti ditemukannya batu peringatan makam
Fatimah binti Maemun (lebih dikenal sebagai putri Suwari) di Leran (sebelah utara
Gresik yang berasal dari tahun 1082 M) dan makam Maulana Malik Ibrahim di
Gresik dari tahun 1419 (Sudjatmoko dkk, 1995 : 35).1

Selain itu, sebuah sumber dari Cina dari tokoh bernama Ma Huan, seorang
muslim Cina yang mengunjungi daerah pesisir Jawa pada 1413-1415 menjelaskan
bahwa di Jawa telah terdapat komunitas muslim yang berasal dari barat dan muslim
dari Cina. Batu-batu tersebut memuat kutipan-kutipan dari Al Quran (Ricklefs,
2005: 30).

Keunikan dari batu-batu nisan yang ditemukan di kawasan itu adalah semua
angka tahunnya menggunakan tahun çaka India, bukannya tahun hijriyah, serta
menggunakan angka-angka Jawa kuno, bukannya angka-angka Arab. Tarikh çaka
dipakai oleh istana-istana Jawa dari zaman kuno sampai 1633 M. Digunakannya
angka tahun ini dan angka-angka tahun Jawa kuno pada batu nisan tersebut

1
Qomari, “Wali dalam Pandangan Jawa”. Gelar. Vol. 05 No. 1 (2007): 116.

3
menunjukkan bahwa makam-makam itu merupakan tempat dimakamkannya
orang-orang muslim Jawa, bukan muslim non Jawa (Ricklefs, 2005: 30).2

Pada mulanya da'wah Islam dilakukan dalam lingkungan keluarga masing-


masing dan dalarn lingkungan yang sangat terbatas. Oleh karena itu boleh
dikatakan belum terjadi proses Islamisasi secara Intensif dan sistematis.

Proses Islamisasi baru terjadi sekitar abad ke-13 M, dengan bukti


banyaknya makam orang Islam di sekitar kota kerajaan Majapahit. Makam tersebut
bukan hanya makam orang Islam pendatang, tetapi juga keturunan Jawa bahkan
ada diantaranya makam pejabat atau kaum bangsawan.

Menurut versi babad tanah Jawa proses Islamisasi sudah dimulai pada masa
kekuasaan Prabu Btawijaya dengan patihnya Gajah Mada. Pada masa itu penganut
Islam sudah banyak dan sudah ada pengaruhnya terhadap pemerintahan Majapahit.

Menurut Babad Demak I, Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim


Asmaralah yang mula-mula berniat meng-Islamkan tanah Jawa sebagaimana
terlihat pada Pupuh II Mijil, bait ke-l0, 11 dan 13. Beliau mengutus dua orang
putranya yaitu R. Rahmad (Sunan Ampel) dan R. Santri untuk menghadap bibinya
(Putri Dwarawati) yang dikenal dengan putri Cempa (permaisuri Prabu Brawijaya).

Kehadiran mereka berdua di Majapahit mendapat sambutan baik, sebab


disamping mereka masih dekat hubungan kekeluargaan dengan ratu Dwarawati,
disana mereka juga menyebarkan agama Islam (Depdibud, 1981 : 15). 3

B. CARA MASUKNYA ISLAM KE TANAH JAWA


1. Perdagangan

2
Tsabit Azinar Ahmad, “Peran Wanita dalam Islamisasi Jawa pada Abad XV”. Paramita. Vol.
21 No. 1 (2011): 02-03.
3
Qomari, “Wali dalam Pandangan Jawa”, 117.

4
Hancurnya jaringan perdagangan Malaka juga membuat wilayah-
wilayah pesisir Jawa semakin terlibat dalam perdagangan jarak jauh pada abad
ke-16. Para pedagang Muslim yang menjadi elite sosial terkemuka,
berkontribusi dalam proses transformasi pusat perdagangan di wilayah-wilayah
itu menjadi kerajaan Islam.4

Islamisasi yang terjadi di Jawa merupakan Islamisasi yang berjalan


relatif damai. Adaya suasana yang damai pada Islamisasi di Jawa disebabkan
jalur Islamisasi tersebut melalui hubungan diplomatis antara dua negara melalui
perdagangan, dan hubungan informal melalui perkawinan. Pada taraf
permulaan, di antara saluran Islamisasi yang pernah berkembang di Indonesia
adalah perdagangan. Hal itu sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan
abad VII hingga abad XVI (Poesponegoro dan Notosusanto [ed], 1984:188).5

Penyebaran Islam ke Nusantara, terutama Jawa menempuh jalur


perdagangan yang menghubungkan antara daerah semenanjung Arabia, Persia,
India, Cina, dan Nusantara (Tim Peneliti dan Penyusun Sejarah Sunan Drajat,
1998: 31).

2. Pendidikan

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun


pondok yang diselenggarakan oleh-oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan
ulamaulama. Di pesantren atau pondok itu calon ulama, guru agama dan kyai
mendapat pendidikan agama. Setelah keluar dari pesantren, mereka pulang ke
kampung masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan
Islam. Misalnya, pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta

4
Jajat Burhanudin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), 26.
5
Tsabit Azinar Ahmad, “Peran Wanita dalam Islamisasi Jawa pada Abad XV”, 04.

5
di Surabaya, dan Sunan Giri di Giri. Keluaran pesantren Giri ini banyak yang
diundang ke Maluku untuk mengajarkan agama Islam.6

Di pulau Jawa, ada Kerajaan Islam Mataram yang juga menaruh


perhatian besar terhadap Pendidikan Islam. Pada masa Sultan Agung telah
didirikan masjid besar (agung) di setiap kabupaten, masjid kawedanan di
distrik, dan masjid desa di Desa. Dipimpin oleh penghulu (masjid agung), naib
(masjid kawedanan), dan modin (masjid desa). Sistem non-klasikal dengan
menggunakan metode pengajaran berupa sorogan, dan bandongan/ wetonan.7

3. Perkawinan

Perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para walisongo.


Misalnya, perkawinan putri Campa yang beragama Islam dengan putra
mahkota raja Majapahit melahirkan putra yang dikemudian hari menjadi
pendiri kerajaan Islam Demak, yaitu Raden Fatah (berkuasa 1478-1518 M).
Maulana Ishak mengawini putri Blambangan dan melahirkan Sunan Giri
(Gresik). Perkawinan menjadi salah satu modus dakwah para walisongo untuk
memperkokoh legitimasi sosial dan politik Islam di lingkungan penguasa
Majapahit, serta memberikan gensi darah para bangsawan Jawa dan aura
keilahian kepada keturunan mereka.8

Perkawinan merupakan salah satu saluran Islamisasi yang paling mudah


karena ikatan itu sendiri sudah merupakan ikatan lahir batin, tempat mencari
kedamaian diantara individu yang terlihat, individu-individu yang terlibat yaitu
suami dan istri membentuk keluarga yang menjadi inti masyarakat, berarti
membentuk inti masyarakat muslim. Kemudian dari perkawinan itu

6
Latifa Annum Dalimunthe, “Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka)”. Studi
Agama dan Masyarakat.Vol. 12 No. 01, Juni (2016): 122.
7
Edi Kurniawan Farid, “Wacana Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia: Pendekatan
Historis dan Sosiologis” . Dirosat. Vol. 2 No. 2 (2017): 190.
8
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”. Fikrah. Vol. I No. 2 (2013): 264.

6
terbentuklah pertalian kekerabatan yang lebih besar antara keluarga pihak
lakilaki dan perempuan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1984:189).Terjadinya
perkawinan antara orang Islam dari pihak pria dan penduduk pribumi
memberikan konsekuensi bahwa sebagai seorang wanita, maka penduduk
pribumi itu telah masuk dalam agama Islam, karena proses perkawinan harus
dilakukan secara Islam.9

4. Tasawuf

Dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa, walisongo menggunakan


pendekatan tasawuf (mistik Islam). Dengan cara perlahan dan bertahap, dengan
tanpa menolak dengan keras terhadap budaya masyarakat Jawa, Islam
memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Dalam masyarakat
HinduJawa yang menekankan perbedaan derajat, ajaran Islam tentang
persamaan derajat menarik bagi masyarakat Jawa. Ditambah lagi kalangan
pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam kemudian
menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan
penguasa Hindu-Jawa (Majapahit).10

5. Dakwah

Dakwah para wali dengan memasukkan unsur-unsur pendidikan dan


pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan hasilnya sangat
memuaskan, sehingga agama Islam tersebar keseluruh pelosok wilayah Jawa.
Pada era Mataram Islam, Sultan Agung juga mengeluarkan kebijakan dakwah
Islam dengan basis kebudayaan, yaitu dengan mengakulturasikan berbagai
kebudayaan lama Jawa (era Hindu-Budha) dengan ajaran-ajaran Islam. Bentuk
dakwah yang dilakukan oleh para wali (pada era Demak), dan era Mataram
Islam dengan pendekatan budaya pada akhirnya mampu menanamkan nilai-

9
Tsabit Azinar Ahmad, “Peran Wanita dalam Islamisasi Jawa pada Abad XV”, 06.
10
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, 263.

7
nilai Islam ke dalam masyarakat Jawa tanpa mereka harus tercerabut dari basis
kebudayaannya.11

Dalam melaksanakan misi da'wah, para wali sering menggunakan


kebudayaan dan kesenian sebagai sarana da'wah, bahkan lebih dari itu para wali
juga berusaha meng-lslamkan tradisi budaya. Menurut istilah Sunan Giri II
tugas wali “angislamke kabzıdayan angradinaken agama”.12

Walisongo memang sangat peka dalam beradaptasi, metode dakwahnya


dalam menanamkan syariat dan akidah sangat memperhatikan kondisi
masyarakat lokal. Misalnya, kebiasaan dalam berkumpul atau kenduri pada
harihari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi
pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan, Sunan Ampel yang dikenal sangat
hati-hati pun menyebut shalat dengan istilah “sembahyang” (asalnya: sembah
dan hyang ) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar.
Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genting
bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura
bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon dai, Walisongo mendirikan
pesantrenpesantren yang menurut sebagian sejarawan mirip padepokan-
padepokan orang Hindu dan Buddha untuk mendidik cantrik dan calon
pemimpin agama.13

6. Kesenian

Saluran islamisasi melalui kesenian yang paling terkenal adalah


pertunjukan wayang. Dikatakan, Sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling
mahir dalam mementaskan wayang. Dia tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton untuk mengikutinya

11
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, 266.
12
Qomari, “Wali dalam Pandangan Jawa”, 124.
13
Muchammad Ismail, “Strategi Kebudayaan: Penyebaran Islam di Jawa”. Ibda’. Vol. 11 No. 1
(2013): 55.

8
mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian besar cerita wayang masih dipetik
dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan
ajaran dan nama-nama pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan
alat islamisasi, seperti sastra (hikayat, babad, dan sebagainya) seni bangunan,
dan seni ukir. Beberapa ukiran pada mesjid kuno seperti di Mantingan, Sendang
Duwur, menunjukkan pola yang diambil dari dunia tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang diberi corak tertentu dan mengingatkan kepada pola-pola ukiran
yang telah dikenal pada candi Prambanan dan beberapa candi lainya.14

C. TOKOH-TOKOH PENYEBAR ISLAM DI JAWA


1. Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Mayoritas sarjana bersepakat bahwa di antara para penyebar pertama


Islam di Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Ia dikabarkan
mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa
kali membujuk raja Majapahit, Vikramavardhana (berkuasa 788-833 H/ 1386-
1429 M), agar masuk Islam.15

2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Penyebar Islam lain dalam Walisongo adalah Sunan Ampel yang


bernama asli Raden Rahmat yang memiliki pesantren di daerah Ampel Denta
(Surabaya) yang sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam-nya. Di
tempat inilah kemudian muncul Raden Paku (Sunan Giri), Raden Patah (sultan
pertama Kerajaan Demak), Raden Makdum Ibrahim (putranya, yang kelak
disebut dengan Sunan Bonang), dan Syarifuddin (Sunan Drajat). Adapun Raden
Rahmat sendiri adalah putra raja Campa, sebuah kerajaan di wilayah Kamboja
dan sekitarnya. Dalam hal ini, menurut Babad Tanah Jawi , dituliskan bahwa
Raden Rahmat merupakan keturunan dari Maulana Malik Ibrahim (terdapat

14
Latifa Annum Dalimunthe, “Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka)”, 122.
15
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, 263.

9
beberapa versi mengenai garis keturunan ini) (Sofwan, 2004). Raden Rahmat
menikah dengan Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila), putri dari Arya Teja,
seorang adipati di Tuban; pernikahan ini melahirkan beberapa keturunan yang
kelak dua di antaranya menjadi Sunan Bonang dan Sunan Drajad.16

3. Raden Paku (Sunan Giri)

Tokoh Walisongo yang ketiga adalah Sunan Giri. Kebesaran Sunan Giri
terlihat antara lain sebagai anggota dewan walisongo dan namanya tersebut
dalam versi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setiap versi berbeda
nama Wali yang termasuk dalam kelompok Walisongo. Ada seorang Wali yang
termasuk dalam versi tertentu dalam versi yang lain. Hanya Wali yang besar
saja yang disebut dalam ketiga versi, dan Sunan Giri termasuk dalam kelompok
ini. Namun Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses kerajaan Islam pertama
di Jawa, Demak. Ia adalah Wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya
negara tersebut, serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai
penasehat militer. Nama lain/gelar Sunan Giri yang sering disebut adalah Joko
Samudro, yaitu nama yang diberikan ibu angkatnya, Nyai Gede pinatih. Nama
lainya adalah Raden Paku, nama yang diberikan Sunan Ampel atas permintaan
ayah Sunan Giri yaitu Maulana Ishak sewaktu meninggalkan Jawa. Sedangkan
Sunan Kalijaga menamainya Prabu Satmata.17

4. Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)

Dakwah Sunan Bonang menjadi salah satu yang khas dari gaya
penyebaran agama yang ditiru para kiai hingga saat ini, yaitu dengan hiburan.
Dalam sisi keturunan, Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel, cucu dari
Maulana Malik Ibrahim. Seperti sebutannya, Raden Makdum Ibrahim

16
Sayfa Aulia Achidsti, “Strategi Penyebaran Tradisi Islam pada Masyarakat Jawa”. Ibda’. Vol.
10 No. 2 (2012): 201.
17
Dewi Evi Anita, “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa”. Wahana Akademika. Vol. 1 No.
02 (2014): 256.

10
menggunakan media kesenian musik untuk mengumpulkan orang-orang
mendekati pondokannya, mendengarkan pagelaran musik (bonang) yang
sedikit-sedikit diberikan dakwah Islam di situ, pemberian nilai-nilai, dan
pemahaman ulang tentang makna kehidupan sesuai dengan konsep yang
dibawa Raden Makdum. Sunan Bonang menyebarkan Islam di daerah Tuban,
Pati, Madura, dan Bawean, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa
daerah yang terislamkan selain itu juga oleh sebab peranan Sunan Bonang. Para
penyebar Islam pada saat itu tidak jarang untuk selama beberapa saat
mengembara sekaligus menyebarkan Islam di setiap daerah yang dilaluinya.18

5. Raden Said (Sunan Kalijaga)

Selanjutnya Sunan Kalijaga, beliau sangat dekat sekali dengan kaum


Muslim di tanah Jawa. Nama lain Sunan Kalijaga adalah Muhammad Said atau
Joko Said. Salah satu kelebihan Sunan Kalijaga adalah kemampuannya
memasukkan pengaruh Islam kepada kebiasaan orang Jawa. Kecintaan orang
Jawa yang tidak bisa dilepas terhadap wayang, menyebabkan beliau
memasukan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang.

6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati adalah salah satu Wali yang terkenal menyebarkan
Islam di pulau Jawa. Nama lain dari Sunan Gunung Jati adalah Syarif
Hidayatullah. Beliau menjalankan agama dan dakwah Islamiah di daerah
Cirebon. Ilmu agama yang dipelajarinya adalah ilmu syariat, ilmu hakekat, ilmu
tarekat dan ilmu makrifat. Sunan Gunung Jati diangkat oleh Sultan Demak
menjadi penguasa Cirebon. Disanalah beliau menyebarkan agama Islam.19

7. Raden Qosim (Sunan Drajat)

18
Sayfa Aulia Achidsti, “Strategi Penyebaran Tradisi Islam pada Masyarakat Jawa”, 201-202.
19
Dewi Evi Anita, “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa”, 258-259.

11
Anggota Walisembilan lainnya adalah Sunan Drajat. Sunan Drajat
adalah Syarifuddin Hasyim, putra Sunan Ampel. Sunan Drajat adalah seorang
Waliyullah yang memiliki sifat sosial. Di dalam menjalankan agama dan
dakwah Islamiah, beliau tidak segan-segan membantu rakyat yang sengsara,
anak-anak yatim piatu, orang sakit dan membantu fakir dan miskin.

8. Raden Jaffar Shadiq (Sunan Kudus)

Demikian halnya dengan Sunan Kudus, nama lain / gelar Sunan Kudus
yang disebut adalah Ja’afar Shadiq, Raden Undung atau Raden Untung dan
Raden Amor Haji. Sunan Kudus terkenal sebagai ulama besar yang mengusai
ilmu ushul hadist, ilmu tasfir al-Qur’an, ilmu sastra, matiq dan yang terutama
sekali adalah ilmu fiqih. Karena itu di antara para Walisongo, beliau diberikan
julukan Waliyul Ilmi, yang artinya Wali yang menjadi segudang ilmu.20

9. Raden Umar Said (Sunan Muria)

Begitu halnya dengan Sunan Muria. Sunan Muria dikenal dengan Raden
Prawoto. Nama lainnya adalah Raden Said bin Raden Syahid. Sunan Muria
adalah seorang sufi/ahli tasawuf. Beliau mengajarkan santrinya untuk
menyelami tasawuf. Sunan Muria memiliki cermin pribadi yang menempatkan
rasa cinta kepada Allah. Sepanjang hidupnya diperuntukkan memuji
kesebasaran Allah.

Sunan Muria, dalam mentebarkan Islam di Jawa menggunakan


pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Tradisi yang ada bukan
dimusnahkan, tetapi diberi warna Islam. Seperti upacara selamatan yang
dilakukan orang Jawa pada waktu itu tetap dipelihara. Para Wali telah
mengubah beberapa lakon pewayangan yang isinya membawa pesan Islam.21

20
Dewi Evi Anita, “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa”, 258.
21
Dewi Evi Anita, “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa”, 260.

12
D. BENTUK-BENTUK AKULTURASI BUDAYA DI JAWA
1. Batu Nisan

Bentuk makam dari periode awal masuknya Islam menjadi model bagi
model makam pada era berikutnya. Hal ini disebabkan karena pada tradisi
Hindu tidak ada tradisi memakamkan jenazah. Dalam tradisi Hindu jenazah
dibakar dan abunya dibuang kelaut, jika jenazah orang kaya maka akan
disimpan diguci atau bila jenazah raja maka akan disimpan di candi. Akulturasi
budaya dapat dilihat pada bentuk nisan. Pengaruh budaya Jawa dapat dilihat
dari bentuk nisan yang tidak lagi hanya berbentuk lunas (bentuk kapal terbalik)
yang merupakan pengaruh Persia, tetapi sudah memiliki beragam bentuk
teratai, bentuk keris, dan bentuk gunungan pewayangan. Bentuk-bentuk nisan
tersebut merupakan pengaruh dari budaya Jawa.22

2. Gamelan

Ada banyak seni budaya lokal yang mendapatkan banyak pengaruh dari
Islam. Salah satu buktinya adalah gamelan di Jawa yang bunyinya berbeda
dengan gamelan di Bali. Gamelan Jawa terdengar lebih pelan dan lembut. Hal
ini disebabkan oleh pengaruh Islam. Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa
mengakomodasi budaya lokal dengan sentuhan-sentuhan Islam. Gamelan di
Bali dipergunakan sebagai iringan untuk persembahan kepada dewa sehingga
irama dan alunannya terdengar lebih cepat. Gamelan Jawa terdengar lebih
lembut dan pelan sehingga pendengarnya dapat bertafakur, berzikir, dan
merenungi kekuasaan Allah Swt.23

3. Bangunan Masjid

22
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, 266-267.
23
Husni Thoyar, Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas IX, (Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional, 2011), 172.

13
Masjid Agung Demak –yang disebut sebagai masjid tertua di Jawa, dan
masjid-masjid keraton di Kota Gede (Mataram) memiliki bentuk atap bersusun
seperti kuil-kuil Hindu Asia Selatan. Pola arsitektur ini tidak dikenal di
kawasan dunia Muslim lainnya. Jika merujuk pada gaya arsitektur yang
berkembang di dunia Islam, maka ada beberapa corak yang akan kita temukan,
yaitu: corak Ottoman style (Byzantium), India style, dan Syiro-Egypto style.
Arsitektur bangunan masjid banyak dipengaruhi oleh seni bangunan era
kerajaan Hindu-Budha. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada hal-hal sebagai
berikut:

a) Bentuk atap masjid. Bentuk atap masjid tidak berbentuk kubah


seperti Ottoman style, India style atau Syiro-Egyptian style, namun
berbentuk atap bersusun yang semakin ke atas semakin kecil dan
yang paling atas biasanya semacam mahkota. Bilangan atapnya
selalu ganjil, kebanyakan berjumlah tiga atau lima.
b) Tidak adanya menara. Tidak adanya menara pada arsitektur masjid
di Jawa berkaitan dengan digunakannya pemukulan bedug sebagai
tanda masuk waktu sholat. Dari masjidmasjid tua di Jawa, hanya
masjid di Kudus dan Banten yang ada menaranya, dan menara kedua
masjid tersebut memiliki bentuk yang berbeda. Menara masjid
Kudus berbentuk candi Jawa Timur (Majapahit) yang telah diubah,
disesuaikan penggunaannya dan diberi atap tumpang. Menara
masjid Banten adalah bangunan tambahan pada zaman kemudian,
menara tersebut dibangun oleh Cordell, seoranng pelarian Belanda
yang masuk Islam. Bentuk menara masjid Banten adalah seperti
mercusuar.
c) Letak masjid. Masjid selalu terletak di dekat istana raja (atau
adipati/bupati). Di belakang masjid sering terdapat makammakam.
Sedangkan di depan istana selalu ada lapangan besar (alun-alun)

14
dengan pohon beringin kembar. Letak masjid selalu ada di tepi barat
istana. Rangkaian makam dan masjid ini pada dasarnya adalah
kelanjutan dari fungsi candi pada zaman kerajaan Hindu-Nusantara.

Berbagai “variasi” arsitektur masjid dengan pengaruh budaya Jawa


yang kental, merupakan wujud akulturasi Islam dan budaya Jawa.24

4. Upacara Adat

Di antara upacara adat yang mendapat pengaruh Islam adalah


upacaraupacara yang dilaksanakan untuk memperingati hari besar Islam.
Upacara memperingati maulid Nabi Muhammad dilaksanakan secara berbeda-
beda di berbagai daerah. Di Yogyakarta dan Surakarta upacara menyambut
peringatan maulid Nabi Muhammad saw. disebut sekaten. Sekaten berasal dari
kata syahadatain (dua kalimat syahadat). Upacara Sekaten pada masa para wali
dijadikan sebagai sarana menyebarkan ajaran Islam. Puncak upacara Sekaten
adalah Grebeg Maulud. Upacara Sekaten masih berlangsung hingga sekarang.25

5. Seni

Adanya doktrin Islam yang melarang untuk menggambarkan makhluk


hidup dan memperlihatkan kemewahan, maka pada zaman awal Islam di
Nusantara ada berbagai cabang kesenian yang kehilangan daya hidupnya,
dibatasi, atau disamarkan. Misalnya, seni arca, seni tuang logam mulia, dan seni
lukis, sehingga jenis seni tersebut kurang berkembang. Namun demikian, ada
juga seni yang berasal dari zaman Hindu-Budha yang terus berlangsung
walaupun mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai Islam, misalnya seni
wayang. Seni wayang dilakukan dengan dibuatkan cerita-cerita yang
mengambil tema-tema Islam seperti Pandawa Lima, dan Kalimasada, dengan

24
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”, 267-268.
25
Husni Thoyar, Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas IX, 174.

15
gambar manusianya disamarkan, tidak seperti manusia utuh supaya tidak
menyalahi peraturan Islam. Cerita Amir Hamzah –bahkan- dipertunjukan
melalui wayang golek dengan tokoh-tokohnya diambilkan dari
pahlawanpahlawan Islam. Wayang menjadi sarana yang efektif untuk
menyebarkan nilai-nilai Islam pada saat itu. Di samping itu, muncul juga
wayang yang dimainkan oleh orang-orang, sehingga drama dan seni tari masih
tetap berkembang dengan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.26

26
Donny Khoirul Aziz, ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa” , 271-272.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Permulaan datangnya Islam ke tanah Jawa diperkirakan baru terjadi pada


sekitar abad ke-11 M, yaitu dengan bukti ditemukannya batu peringatan makam
Fatimah binti Maemun (lebih dikenal sebagai putri Suwari) di Leran (sebelah utara
Gresik yang berasal dari tahun 1082 M) dan makam Maulana Malik Ibrahim di
Gresik dari tahun 1419

Masuknya Islam di tanah Jawa melalui beberapa cara yaitu: perdagangan,


pendidikan, perkawinan, tasawuf, dakwah, dan kesenian.

Tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa yaitu para walisongo yang


meliputi; 1. Sunan Gresik, 2. Sunan Ampel, 3. Sunan Giri, 4. Sunan Bonang, 5.
Sunan Kalijaga, 6. Sunan Gunung Jati, 7. Sunan Drajat, 8. Sunan Kudus, 9. Sunan
Muria.

Bukti-bukti akulturasi budaya di Jawa yaitu: batu nisan, bangunan masjid,


gamelan, seni, dan upacara adat.

B. Saran

Demikianlah makalah ini saya buat. Jikalau ada suatu kesalahan baik dalam
penulisan maupun penyusunan makalah ini, saya sebagai penulis meminta maaf
yang sebesar-besarnya. Dan juga saya sebagai penulis meminta saran dan koreksi
dari pembaca jikalau ada suatu kejanggalan dalam makalah ini. Semoga dengan
hadirnya makalah ini, wawasan keilmuan pembaca akan bertambah dan
pemahaman pembaca tentang masuknya Islam ke tanah Jawa. Amiin.

17
DAFTAR PUSTAKA

Thoyar, Husni. Pendidikan Agama Islam untuk SMP kelas IX. Jakarta: Pusat
Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional. 2011.

Burhanudin, Jajat. Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Kencana. 2017.

Annum Dalimunthe, Latifa. “Kajian Proses Islamisasi Di Indonesia (Studi Pustaka)”.


Studi Agama dan Masyarakat.Vol. 12 No. 01, Juni (2016): 115-125.

Aulia Achidsti, Sayfa. “Strategi Penyebaran Tradisi Islam pada Masyarakat Jawa”.
Ibda’. Vol. 10 No. 2 (2012): 199-217.

Azinar Ahmad, Tsabit. “Peran Wanita dalam Islamisasi Jawa pada Abad XV”.
Paramita. Vol. 21 No. 1 (2011): 01-13.

Evi Anita, Dewi. “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa”. Wahana Akademika. Vol.
1 No. 02 (2014): 243-266.

Ismail, Muchammad. “Strategi Kebudayaan: Penyebaran Islam di Jawa”. Ibda’. Vol.


11 No. 1 (2013): 46-60.

Khoirul Aziz, Donny. ”Akulturasi Islam dan Budaya Jawa”. Fikrah. Vol. I No. 2
(2013): 253-286.

Kurniawan Farid, Edi. “Wacana Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia:


Pendekatan Historis dan Sosiologis”. Dirosat. Vol. 2 No. 2 (2017): 183-208.

Qomari. “Wali dalam Pandangan Jawa”. Gelar. Vol. 05 No. 1 (2007): 110-129.

18

Anda mungkin juga menyukai