Anda di halaman 1dari 25

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kata strabismus berasal dari bahasa yunani yaitu strabismos –“ menjulingkan, atau
terlihat miring”–dan berarti ketidaksejajaran okular. Ketidaksejajaran mungkin
disebabkan abnormalitas pada penglihatan binokuler atau anomali kontrol
neuromuskuler pergerakan okuler.1
Pada kondisi penglihatan binokular normal, bayangan suatu benda jatuh secara
bersamaan di fovea masing-masing mata (fiksasi bifovea) dan posisi kedua meridian
vertikal retina tegak lurus. Salah satu mata bisa tak sejajar dengan mata yang lain
sehingga pada satu waktu hanya satu mata yang melihat objek yang dipandang. Setiap
penyimpangan dari penjajaran okular yang sempurna disebut strabismus.
Ketidaksejajaran tersebut dapat terjadi di segala arah – ke dalam, keluar, atas, bawah,
atau torsional. Besar penyimpangan adalah besar sudut mata yang menyimpang dari
penjajaran. Strabismus yang terjadi pada kondisi penglihatan binokular disebut
strabismus manifes, heterotropia, atau tropia. Suatu deviasi yang hanya muncul setelah
penglihatan binokular terganggu (mis., dengan penutupan salah satu mata) disebut
strabismus laten, heteroforia, atau foria.2
Pada tahun 1897 Duane pertama kali menjelaskan mengenai strabismus V pattern
pada pasien dengan kelumpuhan oblik superior bilateral, kemudian Urrets dan Zavalia
menyatakan pentingnya pengukuran besar deviasi pada arah lirik atas (upgaze) dan
bawah (downgaze). Dan pada tahun 1951, Urist menulis mengenai A-V pattern pada
literatur Inggris.3
Istilah A pattern dan V pattern menggambarkan adanya perbedaan signifikan pada
deviasi horizontal antara upgaze dan downgaze dari posisi midline. Pada A pattern, mata
tampak lebih divergensi pada saat downgaze dibanding pada saat upgaze minimal
sebesar 10 Prisma Dioptri (PD). Sedangkan pada V pattern, divergensi meningkat pada
upgaze dibandingkan downgaze minimal sebesar 15 PD.3,4
Bentuk strabismus A-V pattern ini relatif sering terdapat pada strabismus
kongenital, jarang pada strabismus yang didapat, dan sering berkaitandengan strabismus
paralitik yang melibatkan disfungsi otot oblik. Sekitar 25% pasien dengan strabismus

Strabismus Pola AV 1
memiliki bentuk A-V pattern. Urist (1958) menemukan bahwa hampir 80% pasien
dengan strabismus horizontal disertai strabismus vertikal.5
Beberapa teori telah mencoba menjelaskan penyebab terjadinya kelainan ini,
antara lain akibat disfungsi otot oblik, otot horizontal, otot vertikal, sagitalisasi otot
oblik, anomali struktur orbita, maupun iatrogenik.
Strabismus A-V pattern umumnya membutuhkan terapi bedah, dengan demikian
diperlukan evaluasi pra bedah yang tepat sehingga memperoleh hasil terapi yang
maksimal dan memuaskan.

Strabismus Pola AV 2
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Anatomi Otot Ekstraokuler.


Pada rongga orbita terdapat beberapa otot ekstraokuler yang berfungsi dalam
pergerakan bola mata.Otot tersebut yaitu;1,5,6,7
a. Otot Rektus Medial
Otot rektus medial berasal dari bagian medial annulus zinni dan berjalan
sepanjang dinding medial orbita dan berinsersi disklera 5.5 mm dari limbus. Panjang
lebih kurang 40 mm, arkus kontak 7 mm, panjang bagian tendon 4.5 mm, luas insersi
10.3 mm, menembus kapsula tenon pada 12 mm dari insersi. Otot ini merupakan otot
ekstra okuler terbesar. Didarahi oleh cabang a. oftalmika dan persarafan oleh divisi
inferior N III.
b. Otot rektus Inferior
Berasal dari bgn bawah annulus zinni (dibawah foramen optikum) dan
berjalan kebawah dan lateral sepanjang lantai orbita dan membentuk sudut 23 derajat
dengan aksis visual dan berinsersi pada sklera dibagian bawah depan bola mata lebih
kurang 6.5 mm dari limbus. Otot ini melekat dengan palpebra inferior melalui“fascial
conection” dari sarung otot dan bisa menyebabkan palpebra berobah pada operasi otot
ini. Sarung otot ini juga melekat dengan sarung otot oblik inferior melalui ligamen of
Lockwood. Panjang otot lebih kurang 40 mm, arkus kontak 6.5 mm.
c. Otot rektus lateral
Mempunyai 2 tempat asal dari annulus zinnia yang merentang dari bagian
medial fissure orbitalis superior dan juga dari bagian akhir tendon orbital superior dan
inferior kemudian berjalan bersamaan dengan dinding lateral orbita kedepan dan
berinsersi pada sklera 6.9 mm dari limbus. Panjang lebih kurang 40 mm , arkus
kontak 12 mm, panjang bgn tendon 7 mm. Luas insersi 9.2 mm dan menembus
kapsula tenon pada 15 mm dari insersi. Didarahi oleh cabang a. oftalmika, persarafan
dari N VI.
d. Otot Rektus Superior
Berasal dari bagian atas annulus zinni tepat dibawah asal m.levator palpebra.
Otot ini berjalan kedepan, atas dan lateral dan membentuk sudut 23 derajat dengan aksis
visual dan berinsersi pada sklera 7.7 mm dari limbus.Panjang otot 40 mm, arkus kontak

Strabismus Pola AV 3
6.5 mm, bgn tendon 6 mm, luas insersi 10.6 mm dan menembus kapsula Tenon pada
15 mm dari insersi. Persarafan dari cabang superior N III. Perdarahan dari cabang a.
oftalmika.
e. Otot Oblik superior
Berasal dari apek orbita dari periosteum yang menutupi os sphenoid tepat
medial dan atas dari foramen optikum. Ini merupakan otot yang terpanjang dan
terbagi dalam 2 bagian yaitu bagian aktif panjangnya 32 mm dan Panjang tendon 26
mm, arkus kontak 7 – 8 mm. Dari origo otot ini berjalan kedepan dan atas sepanjang
dinding medial orbita. Setelah melewati trochlea ia berjalan kebawah belakang dan
lateral dan membentuk sudut 51 derajat dengan aksis visual. Tendonnya
bersinsersi pada kuadran “postero supero lateral” dibelakang ekuator. Luas insersi 10-
12 mm, disarafi N IV dan masuk ke otot pada 14 mm dari origo. Perdaran dari cabang
lateral a.oftalmika.
f. Otot Oblik inferior
Berasal anterior nasal lantai orbita (periosteum os maxilla) beberapa
milimeter dibelakang orbital rim dan beberapa mm lateral dari lobang duktus
nasolakrimalis. Dari sini berjalan kelateral, atas dan posterior dan membuat sudut 51
derajat dengan aksis membuat sudut 51 derajat dengan aksis visual. Ia lewat dibawah
rektus inferior dan bersatu dengan perantaraan sarung otot dalam Ligamentum of
Lockwood. Ligamentum ini penting karena menopang mata dalam orbita, bila ini
terjepit pada fraktur lantai orbita akan menyebabkan gangguan pada oblik inferior. Otot
ini lewat dibawah rektus lateral dan berinsersi pada kuadran “postero infero lateral”
posterior dari ekuator.Panjang otot 37 mm, panjang tendon 1 mm, arkus kontak 15 mm.
Luas insersi 4-15 mm, saraf masuk keotot pada 15 mm dari insersi. Disarafi oleh N
III,pendarahan dari a. infra orbitalis dan cabang a.oftalmika.

2.1.2 Pergerakan Bola Mata


Otot ektraokular berfungsi untuk memungkinkan pergerakan bola mata ke segala
arah. Otot rektus medial dan lateral berada hampir paralel dengan axis optikal dari bola
mata. Dimana otot rektus superior dan inferior membentuk sudut 23° terhadap axis
optikal dan tendon dari otot obliq superior dan inferior membentuk sudut 51° pada
posisi primer.5,6

Strabismus Pola AV 4
Ada beberapa jenis pergerakkan bola mata, yaitu:3,8
A. Pergerakkan uniokular: pergerakkan satu bola mata.
1. Adduksi: pergerakkan mendekat ke sumbu tubuh (rotasi ke medial) dari axis
vertikal.
2. Abduksi: pergerakkan menjauhi sumbu tubuh (rotasi ke lateral) dari axis
vertikal.
3. Supraduksi: pergerakkan ke atas (elevasi) dari axis horizontal.
4. Infraduksi: pergerakkan ke bawah (depresi) dari axis horizontal.
5. Insikloduksi (intorsi): pergerakkan memutar sepanjang axis anteroposterior
dari arah jam 12 meridian mata mendekati sumbu tubuh.
6. Eksikloduksi (ekstorsi): pergerakkan memutar sepanjang axis anteroposterior
dari arah jam 12 meridian mata menjauhi sumbu tubuh.

Tabel 2.1. Jenis pergerakkan dari otot bola mata1,9


Otot Primer Sekunder Tersier
R.Medial Adduksi - -
R. Lateral Abduksi - -
R. Superior Elevasi Intorsi Adduksi
R. Inferior Depresi Ekstorsi Adduksi
O. Superior Intorsi Depresi Abduksi
O. Inferior Ekstorsi Elevasi Abduksi

B. Pergerakkan binokular: ada 2 jenis yakni versions dan vergences10


a. Versions: lebih dikenal dengan pergerakkan konjungasi yang simultan
pergerakkannya, dimana secara simetris kedua bola mata bergerak menuju
arah yang sama.
1. Dextroversions: pergerakkan kedua bola mata ke arah kanan. Yang
menghasilkan kontraksi simultan dari otot rektus lateral kanan dan rektus
medial kiri.
2. Lenoversions: pergerakkan kedua bola mata ke arah kiri. Yang
menghasilkan kontraksi simultan dari otot rektus medial kanan dan
rektus lateral kiri.

Strabismus Pola AV 5
3. Supraversions: pergerakkan kedua bola mata ke arah atas pada posisi
primer. Yang menghasilkan kontraksi simultan dari otot rektus superior
bilateral dan obliq inferior bilateral.
4. Infraversions: pergerakkan kedua bola mata ke arah bawah pada posisi
primer. Yang menghasilkan kontraksi simultan dari otot rektus inferior
bilateral dan obliq superior bilateral.
5. Dextrocycloversions: pergerakkan memutar sepanjang axis
anteroposterior yang memutar ke arah kanan.
6. Levocycloversions: pergerakkan memutar sepanjang axis anteroposterior
yang memutar ke arah kiri.

Gambar 2.1. Posisi bola mata; posisi primer (E), posisi sekunder (B, D, F, H), posisi
tersier (A, C, G, I)5,11

Gambar 2.2 . Keterlibatan otot mata dalam gerakan bola mata11

Strabismus Pola AV 6
b. Vergences: sering disebut pergerakkan disjugasi yang ditandai dengan
pergerakkan sinkronis dan simetris dari dua bola mata ke arah yang
berlawanan.12
1. Konvergen: pergerakkan simultan kedua bola mata ke sumbu tubuh,
dimana dihasilkan dari kontraksi otot rektus medial.
2. Divergen: pergerakkan simultan kedua bola mata menjauhi sumbu tubuh,
dimana dihasilkan dari kontraksi otot rektus lateral.

Gambar 2.3. Pergerakkan uniokular bola mata5

2.2. Strabismus AV Pattern


2.2.1. Definisi
Strabismus AV pattern merupakan bagian dari bentuk strabismus horizontal
inkomitan, dimana besar deviasi tidak sama pada setiap arah pandangan. Istilah AV
pattern digunakan pada keadaan terdapatnya perbedaan yang signifikan secara klinis
pada deviasi horizontal dari arah lirik ke arah atas (upgaze) ke arah bawah
(downgaze).10,11,12
A- pattern terjadi ketika deviasi secara horizontal menunjukkan lebih konvergen
atau kurang divergen posisi ketika melihat ke atas daripada ke bawah. V- pattern

Strabismus Pola AV 7
menunjukkan deviasi horizontal yang lebih konvergen dan kurang divergen posisi mata
ketika melihat ke arah bawah daripada ke arah atas.1,11
Strabismus AV pattern itu sendiri dapat diklasifikasikan, yakni:13,14
1. A- pattern: sekitar minimun 10 PD perbedaan antara melihat ke atas dan
ke bawah.
a. A- Esotropia: dimana deviasi konvergen meningkat ketika
melihat ke arah atas dan menurun ketika melihat ke arah bawah.
b. A- Eksotropia: dimana deviasi divergen meningkat ketika melihat
ke bawah dan menurun ketika melihat ke arah atas.
2. V- pattern: sekitar minimun 15 PD perbedaan antara melihat ke atas dan
ke bawah.
a. V- esotropia: dimana deviasi konvergen lebih besar ketika melihat
ke arah bawah daripada melihat ke arah atas.
b. V- eksotropia: dimana deviasi divergen lebih besar ketika melihat
ke arah atas daripada ke arah bawah.

Gambar 2.4. Tipe Pattern Strabismus5

2.3. ETIOLOGI
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan etiologi strabismus AV pattern, yaitu:¹'³'⁷
1. Disfungsi Otot Oblik
2. Otot Horizontal
3. Otot Rektus Vertical
4. Sagitalisasi Otot Oblik
5. Anomali Struktur Orbita

Strabismus Pola AV 8
2.3.1. Disfungsi otot oblik
Disfungsi otot oblik merupakan etiologi yang paling sering mendasari
strabismus AV pattern. Knapp pertama kali yang menjelaskan bahwa disfungsi otot
oblik merupakan penyebab utama A-V pattern.Fungsi tersier otot oblik adalah abduksi.
Overaksi otot oblik inferior di jumpai maka berhubungan dengan V patterns dan
overaksi otot oblik superior dengan A patterns.
Tenaga untuk terjadinya AV pattern juga didapatkan dari otot-otot rektus akibat
efek torsional yang terjadi pada overaksi otot oblik. Tenaga torsi yang terjadi pada
overaksi oblik inferior menyebabkan terjadinya eksiklotropia. Akibatnya, terjadi rotasi
posisi otot-otot rektus. Otot rektus superior akan berotasi ke arah temporal, rektus
lateral sedikit ke arah inferior, rektus inferior berotasi sedikit ke arah nasal, dan rektus
medial sedikit ke arah superior. Rektus superior akan meningkatkan gerak abduksi, dan
rektus inferior akan membantu gerak adduksi, sehingga vektor tenaga rektus vertikal
akan menyebabkan mata berdivergensi saat upgaze dan berkonvergensi saat downgaze,
memperjelas bentuk V pattern. Selain itu, otot rektus medial akan menambah tenaga
elevasi dan rektus lateral menambah tenaga depresi, sehingga memperjelas gambaran
elevasi pada saat adduksi yang terdapat pada overaksi oblik inferior. Maka, selain
memperjelas bentuk V pattern, tenaga torsi yang terjadi pada overaksi oblik inferior
juga memperjelas adanya deviasi vertikal. Hal yang serupa terjadi pula pada overaksi
oblik superior.

2.3.2. Otot Horizontal


Urist menyatakan bahwa overaksi dan underaksi otot rektus horizontal
bertanggung jawab terhadap terjadinya AV pattern. Menurut Urist, otot rektus medial
lebih aktif saat downgaze dan otot rektus lateral lebih aktif saat upgaze. Misalnya pada
esotropia V pattern, terdapat overaksi rektus medial, dan pada eksotropia V pattern
terdapat overaksi rektus lateral. Pada prosedur koreksi bedah recess rektus medial
bilateral pada pasien esotropia, ternyata diamati bahwa terdapat penurunan terhadap
bentuk V pattern. Teori ini dapat menjelaskan terjadinya AV pattern yang tidak
ditemukan penyebab lainnya.

2.3.3. Otot Rektus Vertikal

Strabismus Pola AV 9
Menambah atau mengurangi dalam aksi adduksi tersier sehingga otot-otot ini
dapat mengakibatkan kurang konvergen atau lebih divergen selaras pada upgaze dan
downgaze dan pola yang sesuai.
Menurut Brown, kelemahan otot rektus superior menyebabkan V pattern karena
terjadi elevasi yang tampak jelas saat adduksi pada mata kontralateral, dan sebaliknya
kelemahan rektus inferior menyebabkan A pattern. Tetapi teori Brown ini tidak diterima
secara luas karena terdapat perbedaan pendapat dari para ahli yang menyatakan bahwa
disfungsi otot oblik lebih beralasan mendasari kelainan ini dengan melihat gambaran
torsi makula yang terjadi lebih sesuai dengan gambaran disfungsi otot oblik.

2.3.4. Sagitalisasi Otot Oblik


Sagitalisasi berarti bahwa insersi otot secara abnormal lebih ke posterior
sehingga otot berjalan relatif lebih paralel dengan aksis visual, sehingga mengurangi
vektor ekstorsional dan menyebabkan pergeseran gerak torsional otot oblik inferior
yang menghasilkan insiklotropia. Untuk menghilangkan tenaga insiklotropia ini, maka
terjadi peningkatan inervasi pada otot-otot eksiklorotasi (rektus inferior dan oblik
inferior).Keadaan ini dapat menghilangkan insiklotropia, tetapi menghasilkan gambaran
klinis overaksi oblik inferior. Overaksi ini menyebabkan strabismus V pattern sama
seperti yang telah dijelaskan pada disfungsi otot oblik. Pada teori ini, sukar dimengerti
mengapa terjadi peningkatan inervasi untuk menghilangkan torsi.

2.3.5. Anomali Struktur Orbita


Terdapat hubungan yang erat antara kelainan orbita dengan strabismus A-V
pattern. Esotropia A pattern sering terjadi bersamaan dengan underaksi oblik inferior
pada pasien dengan fisura palpebra mongoloid (upslanting), demikian juga eksotropia V
pattern. Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dengan fisura palpebra antimongoloid
(downslanting). Bentuk A-V pattern ini terdapat juga pada pasien-pasien dengan
sindroma kraniofasial.
2.4. GEJALA KLINIS
A-V pattern ditentukan dengan mengukur keselarasan saat pasien fiksasi pada
jarak target akomodatif,dengan pencegahan fusi. Aspek paling penting dalam
penatalaksanaan setiap keadaan klinis dimulai dari pengambilan anamnesis yang baik.

Strabismus Pola AV 10
Anamnesis yang baik merupakan petunjuk utama untuk mendapatkan diagnosis yang
baik dan menentukan manajemen yang paling tepat sesuai standar terapi yang tersedia
saat itu.⁹
Kebanyakan A-V pattern tidak tampak sejak lahir. Hal ini mungkin akibat
sukarnya menilai perubahan besar deviasi yang relative kecil dari posisi upgaze ke
downgaze pada pasien dengan deviasi sudut besar, serta mungkin pula akibat belum
berkembangnya dengan sempurna perkembangan smooth pursuit pada posisi upgaze
dan downgaze. Usia dimana A-V pattern dapat dikenali biasanya berhubungan dengan
beratnya strabismus inkomitan vertikal. Beberapa pasien, dapat dikenali strabismusnya
pada usia kurang dari 1 tahun. Costenbader melaporkan dari 421 pasien A-V pattern,
58% memiliki onset kurang dari usia 12 bulan. Dari pasien ini, 26% nya memiliki visus
≤ 6/60 pada satu mata. Jika besar deviasinya kecil, mungkin tidak tampak jelas sampai
usia awal sekolah saat terdapat kesukaran membaca dan tampak adanya head posture
(HP).⁸ .
Untuk menentukan diagnosis A-V pattern dilakukan seluruh pemeriksaan rutin
oftalmologi dan strabismus. Tujuan pemeriksaan oftalmologi adalah untuk menentukan
diagnosis yang tepat sehingga dapat memberikan rencana terapi yang optimal, serta
untuk mendeteksi kelainan okuler dan non-okuler lain yang mungkin berkaitan.⁹
Pada strabismus A-V pattern tampilan umum strabismus tergantung dari kelainan
yang mendasarinya dan besarnya deviasi. Jika terdapat deviasi horizontal yang cukup
besar pada posisi primer, upgaze dan downgaze sehingga tidak tercapai kemampuan
fusi, maka adanya A-V pattern mungkin tidak akan mempengaruhi tampilan umum.
Tetapi jika besar deviasi relatif kecil dan masih terdapat fusi, baik pada saat upgaze
maupun downgaze, pasien dapat menunjukkan HP chin-up maupun chin down untuk
mendapatkan fusi9.

Pemeriksaan strabismus1,15,16
1. Riwayat
Dalam mendiagnosis strabismus diperlukan anamnesis yang cermat :
 Riwayat keluarga : strabismus dan ambliopia sering ditemukan dalam keluarga

Strabismus Pola AV 11
 Usia onset : ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang.
Semakin dini onset strabismus, semakin buruk prognosis untuk fungsi
penglihatan binokularnya.
 Jenis onset : ketidaksesuaian penjajaran dapat terjadi di semua arah. Hal itu
dapat lebih besar di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk
jauh atau dekat.
 Fiksasi : salah satu mata mungkin terus menerus menyimpang, atau mungkin
diamati fiksasi yang berpindah-pindah.

2. Ketajaman penglihatan
Ketajaman penglihatan harus dievaluasi sekalipun hanya dapat dilakukan
perkiraan kasar atau perbandingan dua mata. Masing-masing mata dievaluasi tersendiri,
karena pemeriksaan binokular tidak akan dapat memperlihatkan gangguan penglihatan
pada salah satu mata. Untuk pasien yang sangat muda, mungkin hanya dapat dipastikan
bahwa mata dapat mengikuti suatu sasaran yang bergerak. Sasaran harus berukuran
sekecil mungkin sesuai dengan usia, perhatian, dan tingkat kewaspadaan anak. Fiksasi
dikatakan normal apabila fiksasi tersebut bersifat sentral (foveal) dan dipertahankan
terus sementara mata mengikuti suatu target yang bergerak.

3. Penentuan kesalahan refraksi


Perlu dilakukan penentuan kesalahan refraksi sikloplegik dengan retinoskop.
Obat standar untuk menghasilkan siklopegia total pada anak berusia kurang dari 2 tahun
adalah atropin, yang dapat diberikan sebagai tetes atau salep mata 0,5 atau 1% dua kali
sehari selama 3 hari. Atropin jangan digunakan pada anak yang lebih tua, karena dapat
terjadi sikloplegik berkepanjangan sampai 2 minggu dan mengganggu penglihatan
dekat. Setelah usia 2 tahun, sikloplegik yang dianjurkan adalah siklopentolat 1% atau
2%.

4. Inspeksi
Inspeksi saja dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau
intermitte, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau konstan. Adanya ptosis dan
posisi kepala yang abnormal juga dapat diketahui. Harus diperhatikan kualitas fiksasi

Strabismus Pola AV 12
masing-masing mata dan kedua mata bersama-sama. Gerakan-gerakan nistagmoid
menandakan fiksasi yang tidak stabil dan sering menunjukkan penurunan ketajaman
penglihatan.
Lipatan epikantus yang menonjol dan menghalangi seluruh atau sebagian sklera
nasal dapat menimbulkan gambaran esotropia (pseudoesotropia). Walaupun kondisi ini
membingungkan bagi orang awam serta sebagian dokter, namun anak-anak
pengidapnya memperlihatkan uji refleksi cahaya kornea yang normal. Lipatan epikantus
yang menonjol menghilang secara bertahap pada usia 4 atau 5 tahun.

5. Penentuan sudut strabismus (sudut deviasi)


a. Uji prisma dan penutupan yang terdiri dari 4 bagian :
 Uji penutupan ( cover test)
Uji ini sering dipergunakan untuk mengetahui adanya tropia atau foria.
Uji pemeriksaan ini dilakukan untutk pemeriksaan jauh dan dekat, dan dilakukan
dengan menyuruh mata berfiksasi pada satu obyek. Bila telah terjadi fiksasi kedua mata
maka kiri ditutup dengan lempeng penutup. di dalam keadaan ini mungkin akan terjadi :
1. Mata kanan bergerak berarti mata tersebut mempunyai kejulingan yang manifes.
Bila mata kanan bergerak ke nasal berarti mata kanan juling keluar atau
eksotropia. Bila mata kanan bergerak ke temporal berarti mata kanan juling ke
dalam atau esotropia.
2. Mata kanan bergoyang yang berarti mata tersebut mungkin ambliopia atau tidak
dapat berfiksasi
3. Mata kanan tidak bergerak sama sekali, yang berarti bahwa mata kanan
berkedudukan normal, lurus atau telah berfiksasi.
 Uji membuka menutup ( cover – uncover test
Uji ini sama dengan uji tutup mata, dimana yang dilihat adalah mata yang ditutup.
Mata yang ditutup dan diganggu fusinya sehingga mata yang berbakat menjadi juling
akan menggulir. Bila mata tersebut ditutup dan dibuka akan terlihat pergerakan mata
tersebut. Pada keadaan ini berarti mata ini mengalami foria atau juling atau berubah
kedudukan bila mata ditutup.
 Uji penutupan berselang seling

Strabismus Pola AV 13
Bila satu mata ditutup dan kemudian mata yang lain maka bila kedua mata
berfiksasi normal maka mata yang dibuka tidak bergerak. Bila terjadi pergerakan bola
mata yang baru dibuka berarti terdapat foria atau tropia.
 Uji penutupan plus-prisma

b. Uji batang Maddox ( Maddox Rod Test)


Uji ini adalah suati metode akurat untuk mengukur penyimpangan apabila
korespondensi retina normal. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk mengukur
heteroforia tetapi juga dapat digunakan pada heterotropia. Batang Maddox terdiri dari
serangkaian silinder merah tipis yang diletakkan berdampingan, ditaruh diatas suatu
penahan sirkular yang dapat dipegang di depan mata. Apabila suatu cahaya sasaran
melewati batang Maddox tersebut, bayangan cahaya tersebut adalah suatu garis merah
yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu silinder. Dengan demikian, satu mata melihat
cahaya secara langsung sedangkan yang lain melihat bayangannya melalui batang
Maddox.

c. Uji obyektif
Terdapat dua metode yang sering digunakan tergantung pada pengamatan posisi
refleksi cahaya oleh kornea. Hasil-hasil dari metode tersebut harus dimodifikasi dengan
memasukkan sudut kappa :
 Metode Hirschberg
Adanya juling ditentukan dengan menggunakan sentolop dan melihat
refleks sinar pada kornea.
Pada uji ini mata disinari dengan sentolop dan akan terlihat refleks
sinar pada permukaan kornea. Refleks sinar pada mata normal terletak pada
kedua mata sama-sama ditengah pupil. Bila satu refleks sinar di tengah pupil
sedang pada mata yang lain di nasal berarti pasien juling ke luar atau eksotropia
dan sebaliknya bila refleks sinar sentolop pada kornea berada di bagian temporal
kornea berarti mata tersebut kuling ke dalam atau esotropia. Setiap pergeseran
letak refleks sinar dari sentral kornea 1 mm berarti ada deviasi bola mata 7
derajat.

Strabismus Pola AV 14
 Metode refleks prisma (uji krimsky)
Mengukur sudut deviasi pada juling dengan meletakan di tengah
cahaya refleks kornea dengan prisma. Dengan uji Krimsky prisma dengan
kekuatan yang sesuai dengan beratnya juling dipegang di depan mata berfiksasi
(dasar-keluar untuk esotropia, dasar ke dalam untuk eksotropia, dasar ke bawah
untuk hipotropia, dasar ke atas untuk hypertropia) dan refleks cahaya
diobservasi agar dipusatkan pada pupil mata yang terfiksasi. Sudut deviasi dan
arah di baca langsung dari prisma.Lampu diletakan 33 cm di depan penderita.
Diletakkan prisma pada mata yang berfiksasi yang kekuatan prismanya
ditambah perlahan-lahan sehingga refleks sinar pada mata yang juling terletak di
tengah kornea.
Kekuatan prisma yang diletakkan pada mata yang fiksasi dan
memberikan sinar ditengah pada mata yang juling merupakan beratnya deviasi
mata yang juling.

6. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan untuk A-V pattern dilakukan dengan prisma dan alternatecover
test. Hal ini dilakukan dengan target pada jarak 6 meter (20 ft) dengan koreksi kaca
mata. A pattern dipertimbangkan signifikan secara klinis jika perbedaan antara upgaze
dan downgaze masing-masing 25⁰ dari posisi primer minimal sebesar 10 PD.
Sedangkan V pattern dipertimbangkan signifikan secara klinis jika perbedaan antara
upgaze dan downgaze masing-masing 25⁰ dari posisi primer minimal sebesar 15 PD.
Pengukuran besar deviasi dapat dilakukan baik dengan cara kepala pasien stabil dengan
kita menggerakkan target fiksasi, maupun dengan cara memiringkan kepala ke atas,
bawah dan kiri dan kanan dengan target fiksasi konstan. Kepala dimiringkan ke
belakang sehingga didapatkan posisi mata downgaze 25⁰-35⁰, dan kepala dimiringkan
ke depan sehingga didapatkan posisi kepala upgaze 25⁰. Pasien juga disuruh melihat ke
kiri dan kanan untuk mencatat deviasi horizontal. Pada saat penilaian upgaze dan
downgaze dengan koreksi, kaca mata diturunkan sedikit ke batang hidung untuk
pemeriksaan posisi lirik downgaze, dan sebaliknya sedikit dinaikkan saat mengukur
upgaze. Perubahan vertex distance pada perlakuan ini tidak signifikan dan dapat

Strabismus Pola AV 15
diabaikan. Pencatatan tersebut dilakukan berulang-ulang kali pada setiap saat kunjungan
pasien sampai didapatkan nilai deviasi yang stabil.¹'⁸

7. Pemeriksaan Rotasi Okuler


Pemeriksaan versi pada posisi ekstrim dianjurkan (lirik atas, bawah, medial atas,
medial bawah, lateral atas dan lateral bawah), tetapi tidak perlu dilakukan pengukuran
deviasi pada posisi ekstrim ini. Pengukuran ini dapat menilai adanya overaksi atau
underaksi otot oblik.
Interaksi antara disfungsi oblik superior (OS) dan oblik inferior (OI) menentukan
pattern. Pada A pattern, overaksi OS bertanggung jawab terhadap divergensi (abduksi)
saat downgaze sedangkan underaksi OI bertanggung jawab terhadap penurunan abduksi
saat upgaze. Sebaliknya pada V pattern, overaksi OI memperbesar deviasi pada saat
upgaze, dan pada underaksi OS menyebabkan pelemahan tenaga abduksi saat
downgaze.⁸

2.7. PENATALAKSANAAN
Pada kasus yang ringan, tidak diperlukan terapi. Pada deviasi eksotropia
intermiten, pemberian overkoreksi dengan lensa minus dapat dicoba. Sedangkan jika
deviasinya kecil, dapat diberikan koreksi kelainan refraksi, terapi amblyopia, serta kaca
mata prisma untuk mengontrol deviasi dan meringankan keluhan asthenopia.8
Terapi bedah diperuntukkan bagi A-V pattern yang signifikan secara klinis, atau
terdapat HP chin up dan chin down yang signifikan untuk mendapatkan fusi. Hal ini
penting dilakukan terutama jika terjadi pada masa kanak-kanak, untuk mendapatkan
binokularitas, kecuali jika terdapat amblyopia. Amblyopia refraktif sebaiknya diberikan
koreksi penuh dan terapi amblyopia terlebih dahulu. Deviasi yang menimbulkan
keluhan, gangguan kosmetik atau terdapat kelainan sensoris seperti supresi maupun
amblyopia merupakan indikasi terapi bedah. 8,17
Terdapat berbagai pilihan terapi strabismus A-V pattern. Pilihan bedah harus
berdasarkan masalah yang mendasari. Misalnya, jika A-V pattern tidak berkaitan dengan
overaksi otot oblik, dilakukan transposisi vertikal rektus horizontal. Tetapi jika A-V

Strabismus Pola AV 16
pattern berkaitan dengan overaksi otot oblik dilakukan pelemahan otot oblik. Indikasi
terapi bedah:¹'¹⁰'¹¹
1. Deviasi manifest ≥ 50% dari waktu sehari-hari.
2. Mengkoreksi deviasi dan memungkinkan terjadinya fusi.
3. Mendapatkan penglihatan binokuler tunggal
4. Koreksi HP jika ada dan keluhan kosmetik.

Terdapat beberapa tindakan bedah pada otot ektraokular dalam penetalaksanaan


strabismus av pattern, yaitu :
 Reseksi otot ektraokular
Reseksi merupakan tindakan memperkuat kerja otot dengan menghilangkan
bagian dari otot dan menyambungkannya kembali ke penyisipan aslinya.Otot
dilepaskan dari mata, diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit
kembali ke mata, biasanya di tempat insersi semula dan otot yang berlebih di potong.
Reseksi otot rectus jarang dilakukan pada sindrom Duane atau untuk deviasi vertikal.19,20

Teknik
Reseksi otot rectus dapat dilakukan melalui insisi konjungtiva limbal atau
fornix, menggunakan jahitan terputus atau kontinyu1,19,20.
1. Buat sayatan konjungtiva dengan fornix base.
2. Identifikasi, kaitkan, dan bersihkan otot rektus sehingga terlihat jelas otot yang akan
.dilakukan reseksin cauter.
3. Lakukan penjahitan dengan benang 6.0 kira-kira 1 mm dari jarak tanda yang
dikauter yang berguna sebagai tanda dari otot.
4. Kemudian lakukan pemotongan pada daerah yang di kauter tersebut dengan
perlahan. Kemudian di lakukan pemotongan juga pada otot yang tersisa di daerah
insersi.
5. Lakukan penjahitan dari otot yang ada di daerah insersinya, dan pastikan simpul
jahitan tersebut kuat.
6. Koreksi ulang jahitan.
7. Tutup konjungtiva.

 Resesi otot rektus

Strabismus Pola AV 17
Resesi merupakan suatu tindakan pelemahan standar otot ekstraokular. Otot
dilepas mata, dibebaskan dari perlengketan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi.
Otot tersebut dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu dibelakang insersinya semula.

Tekniknya yaitu1,19,20
1. Buat sayatan konjungtiva berbasis limbal.
2. Identifikasi, kaitkan, dan bersihkan otot rektus yang akan diresesi.
3. Tempatkan jahitan 6/0 Vicryl kontinu melalui otot rektus 1 mm dari insersinya.
4. Ukur jarak dari limbus ke penyisipan otot rektus dengan caliper Castroviejo dan
tandai dengan cauter.
5. Lakukan penjahitan pada daerah yang ditandai dengan kauter tersebut, kemudian
lakukan pembebasan otot dari perlengketan fascia dan dibiarkan mengalami retraksi
6. Tarik otot ke penyisipan, dan ukur jumlah resesi yang diinginkan sepanjang jahitan.
Pegang jahitan pada titik ini dengan forceps Moorfields. Setelah simpul diikat di
atas tungkai Moorfields, otot dibiarkan menggantung kembali sehingga posisinya
dapat diperiksa sebelum menarik simpul busur melalui dan mengamankan simpul
dengan lemparan tunggal lainnya.
7. Tutup konjungtiva

Tabel 2.2. Ukuran Operasi pada tindakan resesi dan reseksi otot rektus

Strabismus Pola AV 18
 Bedah otot oblik

Pelemahan otot oblik dilakukan jika terdapat overaksi, dengan tujuan13:


1. Mengurangi tenaga abduksi yang berlebihan.
2. Mengurangi torsi yang menyebabkan pattern dan gangguan fusi.
3. Mengkoreksi upshoot atau downshoot yang terjadi saat adduksi.
Bedah otot oblik sebaiknya dikombinasikan dengan bedah otot horizontal untuk
koreksi deviasi pada posisi primer. Melemahkan oblik inferior akan menghasilkan
pergeseran ke arah esotropia saat upgaze sekitar 15-25 PD, dan tidak terdapat efek
terhadap deviasi horizontal pada posisi primer. Awalnya juga tidak terdapat efek
horizontal saat downgaze, kemudian dapat terjadi peningkatan divergensi saat
downgaze karena oblik superior yang tadinya underaksi kadang-kadang memperbaiki
fungsinya setelah otot antagonisnya yaitu oblik inferior dilemahkan13,14.
Efek pelemahan oblik superior tergantung teknik operasi yang digunakan.
Melemahkan oblik superior ke nasal mengkoreksi sampai 40 PD eksotropia saat
downgaze, sedangkan ke arah temporal memberikan efek lebih rendah dengan
komplikasi yang juga minimal. Tenektomi posterior menyebabkan reduksi 15-20 PD
eksotropia saat downgaze. Disinsersi komplit menyebabkan reduksi lebih besar, dan
efek yang lebih besar bisa didapatkan dengan tenektomi dekat insersi oblik superior,
atau dengan disertai recess. Tidak terdapat efek pelemahan oblik superior saat upgaze
dan pada posisi primer13,14
Pada saat melakukan pelemahan otot-otot oblik, sangat penting diperhatikan
kesimetrisannya, jika tidak dapat terjadi deviasi vertikal pada posisi primer. Dan jika

Strabismus Pola AV 19
deviasi besar, mungkin dapat dipertimbangkan kombinasi recess rektus lateral dengan
transposisi vertikal. Jika masih terdapat residu pattern, dapat dilakukan resect dan
transposisi rektus medial.
Jika otot oblik tidak overaksi, tidak perlu dilakukan prosedur pelemahan. V pattern
dengan underaksi oblik superior dilakukan prosedur tuck oblik superior. Prosedur ini
kurang dapat diprediksi, sehingga sebaiknya hanya dikerjakan oleh para ahli yang telah
berpengalaman. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada pasien dengan fusi bifoveal
kecuali jika terdapat eksiklotropia sebelumnya.¹

Tabel 1. Rekomendasi Bedah


Tipe Pattern Terapi Bedah
Disfungsi oblik (+)
V eso dengan IOOA Recess MR atau resect LR dan lemahkan IOOU
V exo dengan IOOA Recess LR atau resect MR dan lemahkan IO OU
A eso dengan SOOA Recess MR atau resect LR dan lemahkan SOOU
A exo dengan SOOA Recess LR atau resect MR dan lemahkan SOOU
Disfungsi oblik (-)
V eso recess MR dan infraplacement atau resect LR
dan supraplacement
V exo recess LR dan supraplacement atau resect MR
dan infraplacement
A eso recess MR dan supraplacement atau resect LR
dan infraplacement
A exo recess LR dan infraplacement atau resect MR
dan supraplacement
Keterangan : Eso=esotropia;
exo=exotropia;
IO=Inferior Oblique muscles;
SO=Superior Oblique muscles;
OA=Overaction;
MR=Medial Rectus;
LR=Lateral Rectus;
OU=both eyes

Strabismus Pola AV 20
Pada semua kasus lakukan bedah otot
horizontal berdasarkan pengukuran pada
posisi primer

 Operasi transposisi

 Transposisi vertikal insersi otot horizontal dikombinasi dengan recess dan resect
berdasarkan deviasi pada posisi primer merupakan cara yang efektif dalam manajemen
A-V pattern, hanya jika tidak terdapat overaksi otot oblik. Metode ini pertama kali
diperkenalkan oleh Knapp. Prinsipnya adalah jika otot horizontal ditransposisikan, aksi
primernya akan berkurang pada saat mata tersebut berotasi ke arah lirik kemana otot
tersebut dipindahkan, dan aksinya bertambah pada arah lirik yang sebaliknya. Misalnya
jika rektus medial ditransposisikan ke inferior, otot ini akan menjadi aduktor yang lebih
lemah pada saat downgaze dan menjadi aduktor yang lebih kuat saat upgaze.
Transposisi vertikal otot horizontal tidak mengubah kesejajaran horizontal pada posisi
primer.¹²,15
Untuk mempermudah mengingat prosedur transposisi ini, terdapat istilah MALE
yang merupakan singkatan dari (M)edial rectus muscles to the (A)ppex of the pattern,
(L)ateral rectus muscles to the (E)mpty space.⁶ Pada A-V pattern tanpa keterlibatan otot
oblik, transposisi vertikal simetris otot rektus horizontal sebesar ½ sampai seluruh lebar
tendon efektif mengkoreksi pattern sebesar 15-20 PD. Jika pattern ≥ 20 PD, biasanya
telah terdapat disfungsi oblik yang signifikan, sehingga dilakukan bedah pada otot
oblik.¹
Untuk deviasi vertikal, kedua otot dalam prosedur resesi-reseksi unilateral
dipindahkan ke arah yang sama. Mereka bergerak ke atas dalam kasus hipotropia, dan
ke bawah untuk hipertropia. Aturan praktis yang berguna adalah satu prisma diopter
koreksi untuk setiap milimeter transposisi.

Strabismus Pola AV 21
Gambar 8. Arah Pergeseran dari rectus medial dan rectus lateral dalam operasi untuk
mengobati A-Pattern (kiri) dan deviasi V-Pattern(kanan). .³

Pedoman Arah Transposisi Rektus Vertikal


Strabismus Transposisi
Esotropia V pattern IR OU ke temporal
Eksotropia V pattern SR OU ke nasal
Esotropia A pattern SR OU ke temporal
Eksotropia A pattern IR OU ke nasal

KOMPLIKASI OPERASI STRABISMUS A-V PATTERN


1. Strabismus vertikal dan torsional iatrogenik. Komplikasi ini biasanya terjadi jika
pada fungsi otot oblik yang normal dilakukan prosedur pelemahan.
2. Diplopia torsional atau vertikal
3. Parese oblik superior post operatif setelah dilakukan pelemahan otot tersebut
4. Overaksi otot antagonis dari otot yang dioperasi, misalnya terjadi V pattern
akibat overaksi oblik inferior setelah dilakukan operasi pelemahan oblik superior
pada A pattern.
5. Iskemia segmen anterior kedua rektus vertikal.
6. Overaksi otot oblik persisten.¹⁰,17,18

Strabismus Pola AV 22
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and Strabismus.


Basic and Clinical Science Course, 2011-2012: 13-25, 107-112,145-155.
2. Wright KW. Alphabet Patterns and Oblikue Muscle Dysfunctions. Dalam: Wright
KW, Spiegel PH, Thompson LS (eds). Handbook of Pediatric Strabismus and
Amblyopia. Springer, 2006: 284-289.
3. Garvey KA, Dobson V, Messer DH, Miller JM, Harvey EM. Prevalence of
Strabismus among Preschool, Kindergarten, and 1 st Grade Tohono O’odham
Children. NIH Public Access: American Optometric Association. Elsevier Inc,
2009: 1-9.
4. Chia A, Dirani M, Chan YH, et al., Prevalence of Amblyopia and Strabismus in
Young Singaporean Chinese Children. Clinical and Epidemiologic Research
Ophthalmology and Visual Science, 2010; 51 (7): 3411-3417.
5. Khurana AK. Strabismus and Nystagmus. Dalam: Comprehensive
Ophthalmology Fourth Edition. Chapter 13. New Age International (P) Limited.
2007: 313-336.
6. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Aldad TS. Strabismus. Dalam: Oxford
American Handbook of Ophthalmology. Chapter 17. Oxford University Press Inc.
2011: 571-597.

Strabismus Pola AV 23
7. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Strabismus. Dalam: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. Chapter 12. Mc Graw Hill-Lange. 2007.
8. BMJ Best Practice. Strabismus. BMJ Publishing Group Ltd. 2016. Available at:
bestpractice.bmj.com.
9. Rutstein RP, Cogen M, Cotter S, et al., Strabismus: Esotropia and Exotropia.
American Optometric Association. 2011: 1-47.
10. Kekunaya R, Mendonca T, Sachdeva V. Pattern Strabismus and Torsion needs
special surgical attention. Cambridge Ophthalmology Symposium. Eye. 2015; 29:
184-190.
11. Dhar SK, Ghonsikar V, Sharma P. Pattern Strabismus. DOS Times. 2013; 19: 49-
52.
12. Billson FA, Wong J, Lightman S. Concepts in Strabismus. Dalam: Strabismus.
Section 1. BMJ Books. 2003: 3-6.
13. Sharat S, Parija S. A-V Pattern Strabismus – Simplified Approach. Orissa Journal
of Ophthalmology. 2010: 40-43.
14. Chia A, Roy L, Seenyen L. Comitant Horizontal Strabismus: an Asian
perspective. Br. J. Ophtalmol. 2007. Downloaded from: bjo.bmj.com. [Diakses: 18
Februari 2017].
15. Helveston EM. Strabismus: Understanding, detecting, and managing strabismus.
Community Eye Health Journal. 2010; 23(72): 12-14.
16. Keshtcar-Jafari AR, TaherZadeh M, Anvari F, et al., Treatment of A and V Pattern
Strabismus by Slanting Muscle Insertions in Farabi Eye Hospital. Iranian Society
of Ophthalmology. 2009; 21(1): 41-46.
17. Kusher BJ. Torsion and Pattern Strabismus: Potential Conflicts in Treatment.
JAMA Ophthalmol. 2013; 131(2): 190-193.
18. Ghasia FF, Shaikh AG. Pattern Strabismus: Where Does the Brain’s Role End and
the Muscle’s Begin.. Journal of Ophthalmology. 2013: 1-6.
19. Roy Hampton F, Benjamin Larry. Strabismus Surgical Techniques. Strabismus
Surgery. Elsevier.2007;28-33,64-70
20. Chaudhuri Zia. Step by step management strabismus. Clinical Management Of
Strabismus.New Delhi.2008;86-145

Strabismus Pola AV 24
Strabismus Pola AV 25

Anda mungkin juga menyukai