Anda di halaman 1dari 46

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai

dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.

Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax
(GST).

PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen
akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau
produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP.

Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan.

Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak
masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen.

Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-
Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009.

Karakteristik
 Pajak tidak langsung (indirect tax), maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung
jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
 Multitahap (multi stage), maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai jalur produksi
dan jalur distribusi dari pabrikan.
 Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak tanpa melihat
kondisi subjek pajak.
 bersifat netral. yaitu PPN tidak hanya dikenakan pada barang tetapi juga jasa.
 Menghindari pengenaan pajak berganda (double tax). karena PPN hanya dikenakan pada
pertambahan nilainya saja.
 dipungut menggunakan faktur.
 PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic consumptions).
 Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan
memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

Perkecualian
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak,
sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

Barang tidak kena PPN

 barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:

1. minyak mentah (crude oil).


2. Gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
3. Panas bumi.
4. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit,
magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit,
fosfat(phospat), talk, tanah serap (fullers earth),tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan.
6. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

 Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:

1. beras
2. gabah
3. jagung
4. sagu
5. kedelai
6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti,
dipotong, didinginkan,dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,digarami, dikapur, diasamkan,
diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
8. telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang dibersihkan,diasinkan, atau dikemas
9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,
disortasi, dikupas,dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu
rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah

 makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya,meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.

 Uang, emas batangan, dan surat berharga


Jasa tidak kena PPN

 jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:

1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.


2. Jasa dokter hewan.
3. Jasa ahli kesehatan, seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi.
4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5. Jasa paramedis dan perawat.
6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
7. Jasa psikolog dan psikiater.((konsultan kesehatan))
8. Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

 jasa pelayanan sosial, meliputi:

1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.


2. Jasa pemadam kebakaran.
3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4. Jasa lembaga rehabilitasi.
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.

 jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan
perangko tempel danmenggunakan cara lain pengganti perangko tempel.

 jasa keuangan, meliputi:

1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan
menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana
lainnya.
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:

a) sewa guna usaha dengan hak opsi;


b) anjak piutang;

c) usaha kartu kredit; dan/atau

d) pembiayaan konsumen;.

1. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia
2. jasa penjaminan

 jasa asuransi

 jasa keagamaan, meliputi:


1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan
4. Jasa lainnya di bidang keagamaan.

 jasa pendidikan, meliputi:

1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum,


pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan,
pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

 jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang
kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselenggarakan secara cuma-cuma.

 jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan

 jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.

 jasa tenaga kerja, meliputi:

1. jasa tenaga kerja.


2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

 jasa perhotelan, meliputi:

1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, dan hostel.

 jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
 jasa penyediaan tempat parkir
 jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
 jasa pengiriman uang dengan wesel pos
 jasa boga atau katering
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai dan Dasar Hukumnya

Tahukah Anda apa itu Pajak Pertambahan Nilai atau PPN? Dari sekian banyak jenis pajak, Pajak
PPN ini mungkin termasuk jenis pajak yang lebih sering Anda lihat karena tertulis di tagihan
pembayaran saat Anda berbelanja.

Tetapi apa sih sebenarnya PPN itu?

Kepanjangan PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai. Pada dasarnya, PPN adalah pajak yang
dikenakan atas transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang pribadi atau pun badan. Nah PPN
sendiri ada yang jenisnya dikenakan untuk orang pribadi atau badan yang memiliki usaha, tetapi
ada pula PPN yang dikenakan atas transaksi jual beli properti. Untuk lebih jelasnya, mari kita
simak jenis-jenis PPN beserta penjabarannya berikut ini:

PPN yang Dikenakan dalam Bidang Usaha


Nah untuk PPN yang dikenakan dalam bidang usaha, ini adalah PPN yang sering Anda temui di
tagihan pembayaran ketika Anda berbelanja. Pada dasarnya, PPN ini dikenakan pada setiap
proses produksi dan distribusi namun jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen
yang memakai produk tersebut. Dasar hukum pengenaan Pajak PPN ini adalah Undang-Undang
Dasar No. 42 tahun 2009. Dalam Undang-Undang tersebut tercantum hal-hal yang berkaitan
dengan apa saja yang termasuk objek yang dikenai PPN, tarif PPN, bagaimana tata cara
penyetoran dan pelaporan, dan lain sebagainya. Mari kita simak-simak satu persatu:

a. Objek Pertambahan Nilai (PPN)

Adapun objek-objek yang dikenai PPN adalah sebagai berikut:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
5. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atau Tidak Berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP)

b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Nah tarif PPN ini penting untuk diketahui supaya Anda sebagai pengusaha dapat mengenakan
PPN kepada konsumen dengan jumlah yang tepat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar No. 42
tahun 2009, berikut adalah tarif PPN:
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
- Ekspos Jasa Kena Pajak
3. Tarif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima
persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan
Pemerintah

c. Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN

Nah Wajib Pajak dalam hal ini yang melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN
disebut dengan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau
badan usaha yang memiliki jumlah penjualan barang atau jasa lebih dari Rp4,8 M sesuai dengan
ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013. Jadi bagi pengusaha yang jumlah penjualan barang atau
jasanya belum mencapai Rp4,8 M maka belum bisa dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Tetapi jika akhirnya jumlah penjualan barang atau jasanya sudah melebihi Rp4,8 M maka
pengusaha tersebut wajib melaporkannya sehingga dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak. Pelaporannya paling lambat adalah akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya jumlah
penjualan barang atau jasa melebihi Rp4,8 M.

Baca Juga: Pajak Bumi dan Bangunan dan Cara Menghitungnya

PPN yang Dikenakan pada Transaksi Jual Beli Properti


ika Anda membeli sebuah properti secara mandiri, maka Anda akan dibebankan PPN atas
transaksi jual beli tersebut. Namun lain cerita jika Anda membeli properti dari developer,
biasanya pajak sudah termasuk di dalam harga penjualan properti, jadi pajak telah dibayarkan
oleh developer dari properti tersebut.

Tarif PPN dikenakan pada satu kali transaksi, yaitu sebesar 10% dari nilai transaksi.Pungutan
pajak dilakukan jika nilai transaksi di atas Rp36 juta sehingga jika nilai transaksi di bawah Rp36
juta, maka tidak ada pungutan PPN. Nilai transaksi yang dimaksud termasuk di dalamnya jenis,
nilai, luas, dan lokasi properti.

Pembayaran pajak dapat dilakukan secara perorangan maupun langsung dari developernya. Jadi
ketika Anda membayar pajak secara perorangan maka tanggung jawab atas pajak tersebut
ditanggung oleh Anda sendiri, seperti penyetoran dan pelaporannya. Penyetoran PPN selambat-
lambatnya 15 bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi, dan pelaporannya selambat-
lambatnya 20 bulan berikutnya setelah transaksi di kantor pajak setempat. Hal tersebut juga
berlaku bagi developer properti saat menunaikan kewajiban pajaknya.

PPN Bangunan yang Tergolong Mewah


Lalu bagaimanakah pengenaan PPN jika Anda membangun sendiri? Bagaimanakah pengenaan
PPN atas transaksi rumah mewah, apartemen, kondominium, dan town house sebagai bangunan
yang tergolong mewah?

Pertama, jika Anda melakukan kegiatan membangun sendiri maka sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002 akan dikenakan PPN apabila:

1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain;
2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha.
Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau konstruksi yang semata-mata
diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain).
Bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau konstruksi yang
diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada;
3. Luas bangunan 200m2 atau lebih dan bersifat permanen yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.

Lalu berapakah tarif PPN untuk kegiatan membangun sendiri? Tarifnya adalah 10% dari Dasar
Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak sendiri diambil 40% dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan atau dibayarkan. Nah lalu kapan saat yang tepat untuk memulai perhitungan
PPN terutang? PPN terutang terhitung sejak pembangunan secara fisik kegiatan itu dimulai.
Namun jika kegiatan membangun sendiri tersebut dilakukan secara bertahap, maka masih
dianggap sebagai satuan kegiatan dengan masa tenggang 2 tahun.

Pembayaran pajak selambat-lambatnya adalah 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya


pengeluaran biaya untuk bangunan tersebut. Penyetorannya dapat dilakukan di Kantor Pos atau
Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Kemudian penyetoran
pembayaran pajak dilakukan pada tanggal 20 pada bulan dilakukannya penyetoran dengan
membawa bukti penyetoran PPN di lembar ketiga SSP.

Kedua, bagaimanakah PPN yang dikenakan untuk bangunan yang tergolong mewa, seperti
rumah mewah, apartemen, kondominium, dan town house? Sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor No. 103/PMK.03/2009 tarif yang dikenakan adalah sebesar 20% untuk:

1. Rumah dan town house dari jenis non strata title, termasuk rumah kantor atau rumah toko,
yang luas bangunannya 350m2 atau lebih;
2. Apartemen, kondominimum, town house, dan sejenisnya dari jenis strata title dengan luas
bangunan 150m2.

Nah lalu kapan terhitungnya pajak terutang untuk bangunan yang tergolong mewah tersebut?
Pajak terutang terhitung jika bangunan tersebut sudah resmi dialihkan atau dijual kepada pihak
lain.

Baca Juga: Pajak Jual Beli Tanah: Ketahui Cara Perhitungannya


Ketahui Pajak Anda
Itulah tadi sedikit ulasan mengenai Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Bagaimana sudah lebih
mengenal PPN? Di atas telah dijelaskan dari mulai PPN yang dikenakan untuk bidang usaha
sampai dengan PPN yang dikenakan pada bidang properti. Pada dasarnya, tarif pengenaan
pajaknya hampir sama di antara keduanya, tetapi hanya saja berbeda dalam hal pengkategorian
barang-barang yang kena pajak karena memang objek pajaknya yang berbeda walaupun sama-
sama disebut dengan Pajak Pertambahan Nilai.

Diharapkan melalui artikel ini, Anda jadi lebih mengenal apa itu PPN. Tidak hanya
membayarnya pajaknya saja karena ada di tagihan pembayaran belanja Anda, tetapi Anda jadi
mengeti pajak apakah yang dibayarkan tersebut.

Begitu pula dengan PPN yang dikenakan pada transaksi properti baik bagi Anda sebagai pembeli
properti yang langsung membeli ke pemiliknya atau membeli melalui developer properti.
Sebaiknya Anda mengetahui PPN supaya perhitungan akan harga rumah juga menjadi lebih
tepat. Setelah Anda mengetahui PPN, maka Anda bisa juga mengecek hitung-hitungan developer
saat menjualkan propertinya, sehingga Anda bisa memprotes jika ada kesalahan dan tentu saja
Anda bisa terhindar dari penipuan.
Nilai atau Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan.

1. Pendahuluan

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memafaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan
usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.

2. Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha ynag melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak berwujud, ekspor
Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud diwajibkan:

 Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;


 Memungut pajak terutang;
 Meyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikteditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang; dan
 Melaporkan penghitungan pajak.

Kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.

Contoh Pengusaha Kena Pajak (PKP):

 Pabrik atau Produsen


 Importir
 Pengusaha mempunyai hubungan istimewa dengan Pabrikan atau Importir.
 Agen utama dan penyalur utama Pabrikan atau Importir.
 Pemegang hak paten atau merek dagang Barang Kena Pajak (BKP).
 Pedagang besar.
 Pedagang eceran.
 Pengusaha jasa yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP).

Subjek Pajak Pertambahan Nilai tidak harus Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi bukan
Pengusaha Kena Pajak pun dapat menjadi subjek Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur
dalam pasal 4 huruf b, dan huruf e serta Pasal 16C UU Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan
pasal-pasal ini dapat diketahui bahwa dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN):

 Siapa pun yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP) (Pasal 4 huruf b).
 Siapa pun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan.
 Siapa pun yang memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau Jasa
Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

3. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha yang
melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak atau mengekspor Barang Kena Pajak (BKP), wajib:

 Menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran
lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan PPnBM yang
terutang.
 Melaporkan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) yang terutang.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.

4. Pengusaha Kecil

 Pengertian Pengusaha Kecil

Pada dasarnya pengusaha Kecil bukan Pengusaha Kena Pajak, tetapi apabila Pengusaha Kecil
mengajukan permohonan untuk dikukuhkan Pengusaha Kena Pajak maka setelah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha Kecil tersebut menjadi pengusaha Kena Pajak
sepenuhnya, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.

 Batasan Pengusaha Kecil

Dalam Peraturan Menteri Nomor: 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret 2010, ditetapakan batasan
Pengusaha untuk dapat dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil sebagai berikut:

1. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau peneriaan bruto
lebih dari Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
2. Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah jumlah keseluruhan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.
3. Pengusaha Kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang dilakukannya.
4. Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-undang ini berlaku
sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
5. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha kena Pajak,
apabila sampai dengan suatu bulan dalam taahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Kewajiban
melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran
bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
6. Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak
dapat mengukuhkan pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Direktur Jenderal
Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak
sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak
saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600.000.000 (enam
ratus juta rupiah).
7. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib memungut, meyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pejualan atas
Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukannya.

5. Pencabutan Pengukuhan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

PKP dapat permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jumlah peredaran brutonya
dalam suatu tahun buku penuh ternyata tidak melebihi nilai batas penyerahan yang ditetapkan
sebagai Kengusaha Kecil. Apabila PKP tidak mengajukan pemohonan pencabutan pengukuhan
sebagai PKP, maka pengusaha tersebut dianggap telah memilih menjadi PKP. Proses pencabutan
pengukuhan sebagai PKP baru dapat dlaksanakan setelah ada permohonan dari PKP yang
bersangkutan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sejak beakhirnya tahun buku.

Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu (2) bulan sejak
permohonan pencabutan pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak(PKP). Apabila dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud di atas, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan,
maka pencabutan pengukuhan dianggap diterima.

6. Hubungan Istimewa Antara Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Hubungan istimewa dianggap ada apabila:


 Pengusaha pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih pada pengusaha lain, atau hubungan antara pengusaha dengan
penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pengusaha atau lebih yang
terakhir.
 Pengusaha menguasai pengusaha lainnya atau dua atau lebih pengusaha berada di bawah
penguasaan pengusaha yang sama, baik langsung maupun tidak langsung.
 Terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dala garis keturunan lurus satu
derajat.

Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang meneriam penyerahan
Barang Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan satu dengan yang lain
yang disebabkan karena:

 Faktor kepemilikan atau penyertaan.


 Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula
terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.

 Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan sebesar 25% (dua
puluh lima persen) atau lebih, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Contoh:

Kalau PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B, pemilikan saham oleh PT A
merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh
persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung
mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dala hal demikian,
antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa.

Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C,
dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas
juga dapat terjadi antara orang pribadi dan badan.

 Hubungan antara pengusaha digambarakan pada huruf a dapat juga terjadi karena penguasaan
teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan di bawah penguasaan
pengusaha yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam
penguasaan pengusaha yang sama tersbut.

 Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat
adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah kakak dan adik.
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat
adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah ipar.

Apabila antara suami istri mempunyai perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka
hubungan antara suami istri tersebut termasuk dalam pengertian hubungan istimewa menurut
undang-undang ini.

Sumber: Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Penulis:
Assoc. Prof. DR. Gustian Djuanda Irwansyah Lubis, S.E., M.Si. Hal: 29-35.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara ditetapkan sebagai
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Contoh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai
berikut:

1. Pendahuluan

Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara ditetapkan sebagai
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Contoh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagai
berikut:

 Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.


 Bendaharawan Pemerintahan Pusat dan Daerah baik provinsi, kabupaten, atau kota.

Pengusaha Kena Pajak rekanan pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah atau
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

PPN dan PPnBM yang terutang dipungut, disetor, dan dolaporkan oleh Pemungut PPN atas nama
Pengusaha Kena Pajak rekanan.

2. Kewajiban Pemungut Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah


(PPN/PPnBM)

 Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan Keputusan Menteri


Keuangan RI Nomor 563/KMK.03/2003 dengan demikian tidak perlu ada surat
keputusan khusus penunjukan sebagai Pemungut Pajak, namun tetap wajib mendaftarka
diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
 Memungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP)
kepada instansi pemerintah atau badan -badan tertentu.
 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang
dipungut oleh Pemungut Pajak wajib disetorkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos da
Giro.
 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjulan atas Barang Mewah
(PPnBM) yang dilakukan oleh Pemungut Pajak harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan
Pajak.

3. Objek Pemungutan PPN/PPnBM

 Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN.


 Atas perolehan BKP/JKP oleh PPN.
4. Saat Pemungutan PPN/PPnBM

 Pemungutan dan pencatatan, penyetoran PPN atau PPnBM yang dipungut, dilakukan
pada saat pembayaran oleh KPKN kepada PKP rekanan pemerintah.
 Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat pembayaran oleh Bendaharawan
Pemerintah Kepada Pengusaha Kena Pajak rekanan pemerintah.

5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
tidak dipungut oleh Pemungut PPN, jika:

 Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000 dan tidak merupakan


pembayaran yang terpecah-pecah. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan
Barang Mewah yang terutang sehubungan dengan pembyaran yang jumlahnya paling
banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) huruf a, dipungut dan disetor oleh Pengusaha
Kena Pajak rekanan pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum.
 Pembayaran untuk pembebasan tanah.
 Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut
perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak
dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh
PT (Persero) Pertamina.
 Pembyaran atas rekening telepon.
 Pembyaran atau jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan.
 Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Istilah Perpajakan yang Berkaitan dengan PPN dan


Penjualan atas Barang Mewah
stilah-istilah Perpajakan tersebut adalah:

1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliput wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi dan Landas
Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang yang mengatur mengenai
Kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak (BKP, Taxable Goods) adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
undang-undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum
yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pemberian jasa kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena
Pajak berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-
menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yag
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis,
lembga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak (PKP, Taxable Firm) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenal pajak
berdasarkan undang-undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru,
atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak (DPP, Taxe Base) adlah jumlah harga jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima
jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut menurut undang-undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak, dan yang membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa
Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor
Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa
Kena Pajak, Ekspor Barang Kena Pajak berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak tidak
berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendahara Pemerintah, badan, atau instansi
Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyeotr, dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Bendahara Pemerintah, badan, atau instansi
Pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar
Daerah Pabean.
Saat Terutang PPN

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip
akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak.

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip
akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya
diterima pada saat impor Barang Kena Pajak.

Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk
pada ketentuan ini.

 Penyerahan Barang Kena Pajak.


 Impor Barang Kena Pajak.
 Penyerahan Jasa Kena Pajak.
 Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean.

Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan
tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut
di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar menyerahkan Barang Daerah Pabean sehingga
tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Karena itu, saat pajak terutang tidak lagi
dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.

 Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.


 Ekspor Barang Kena Pajak benwujud.
 Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud.
 Ekspor Jasa Kena Pajak.

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena. Pajak atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau
terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

Disarikan dari buku:

Pelaporan Pajak Pertambahan Dan pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Penulis: Assoc. Prof.
DR. Gustian Djuanda, Irwansyah Lubis, S.E., M.SI, Hal: 51-52.
Contoh Kasus 1:

Perusahaan X memiliki kerjasama BTO (KSO) dengan pemda (sebagai pemilik lahan) untuk

pembangunan pasar. Nah pertanyaannya adalah apakah perusahaan X (sebagai pemegang

hak pengelolaan) wajib memungut PPN kepada penyewa stand? kalau mengacu pada PPN

atas jasa persewaan ruangan maka perusahaan X harus memungut PPN. Hanya saja,

masalahnya perusahaan X disini bertindak mewakili Pemda. Siapakah yang berhak

memungut PPN?

Jawab:

Menilik Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 38/PJ.4/1995 bab II tentang

Penghasilan dan biaya bagi investor

1. Penghasilan

Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah adalah

penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan yang

didirikan antara lain:

a. SEWA*) dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta;

b. Penghasilan sehubungan dengan hak pengusahaan bangunan seperti

penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga ("Sport

center"), tempat hiburan, dan sebagainya;

c. penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak

atas tanah apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari

masa yang telah ditentukan.

2. Biaya

*)Dan yang termasuk didalam sewa dalam hal ini Jasa Persewaan Ruangan antara lain :

- Jasa persewaan ruangan untuk perkantoran.

- Jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha/ pertokoan.


- Jasa persewaan ruangan apartemen, flat, tempat tinggal, kecuali persewaan kamar di

hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel untuk tamu bermalam.

- Jasa persewaan ruang pertemuan (convention hall), kecuali persewaan ruangan untuk

kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel.

- Lain-lain sejenisnya.

Kemudian, Apa yang dimaksud dengan sewa, apa DPP-nya, berapa tarif dan

penghitungan PPN-nya ?

Sewa, yaitu balas jasa atas sewa ruangan dalam keadaan kosong yang dapat ditagih

dimuka (pada awal penghunian) atau dibelakang, sesuai dengan kontrak (perjanjian).

DPP atas Jasa Persewaan Ruangan adalah Nilai Penggantian berupa sewa, yaitu nilai

berupa uang yang diminta atau seharusnya diminta termasuk semua biaya yang dikeluarkan

dalam rangka penyerahan JKP tersebut.

Tarif dan penghitungan PPN-nya :

Tarif PPN = 10 %

PPN yang terutang = 10% x DPP

Dari kutipan dan pernyataan di atas juga berlaku untuk kasus BTO, dimana dalam hal ini

perusahaan X sebagai investor yang mendapatkan pengasilan dan melakukan kegiatan

penerahan Jasa Kena Pajak meskipun posisinya sebagai perwakilan dari Pemda tetap

memiliki kewajiban memungut PPN yang terutang sebesar 10% atas serah terima JKP yang

dilakukan, bukan bendaharawan pemda yang memungutnya.


Contoh Kasus 2:

Apakah keuntungan atau kekurangan dengan berlakunya aturan baru tentang pengenaan

PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas dengan di keluarkannya Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010?

Jawab :

MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR

BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN BARU

Mekanisme pelunasan PPN untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak mengikuti

mekanisme umum, tetapi menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak

Masukan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 7a dan 7b UU PPN 1984 dan ditindaklanjuti

dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010. Dalam peraturan

tersebut diatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha yang

semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, besarnya

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung menggunakan pedoman penghitungan

pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak

Keluaran.

Konsekuensi dari penghitungan dengan cara demikian adalah bahwa berapapun PPN yang

dibayar karena perolehan barang atau jasa terkait dengan kegiatan usaha tidak lagi

diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan Pajak

Masukan yang dapat dikreditkan tidak lagi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya

melainkan dengan menggunakan taksiran yang ditentukan sebesar 90% dari Pajak

Keluaran.

MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR

BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN LAMA

Sebelum 1 April 2010, atas penyerahan kendaraan bermotor bekas menggunakan Nilai Lain
sebagaimana ditetukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/

1994 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03 /2002. Dalam Peraturan tersebut

antara lain diatur:

- Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas adalah berupa

Nilai Lain yang ditetapkan sebesar 10% dari Harga Jual.

- Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat

dikreditkan.

Ketentuan ini mengandung konsekuensi bahwa:

- PPN yang dibayar adalah sebesar 1% dari harga Jual yang berasal dari 10% dikalikan

10% dari Harga Jual;

- Pajak yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang

berhubungan langsung dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat

diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Contoh Perhitungan:

Dalam catatan dealer kendaraan bermotor bekas pada suatu Masa Pajak diperoleh data

sbb:

 Penyerahan dan PPN yang dipungut:

Harga Jual Pajak Keluaran

Penjualan kendaraan bekas 500juta 50juta

 Pembelian barang dan jasa serta Pajak Masukan yang berhubungan dengan

penyerahan kena pajak:

Harga Jual/

Penggantian

Pajak Masukan

- Pembelian mobil bekas dari PKP


- Pembelian mobil bekas dari non PKP

- Pemanfaatan JKP

180juta

300juta

50juta

18juta

--

5juta

Perbandingan PPN yang dibayar oleh konsumen dan PPN yang disetor oleh Dealer

Kendaraan Bermotor Bekas dengan ketentuan baru dan lama:

Berdasarkan ketentuan lama :

Jumlah harga jual dalam Masa Pajak Rp500juta

Dasar Pengenaan Pajak: 10% x 500juta Rp50juta

PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp50juta Rp5juta

PPN yang disetor ke Kas Negara Rp5juta

Secara yuridis penerimaan Negara yang berasal dari PPN dalam suatu tahapan sampai

penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh Dealer adalah sbb:

- Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer

- PPN yang dipungut oleh Dealer

Rp23juta

Rp5juta

Jumlah Rp28juta

Tidak ada bias antara pajak yang dibayar oleh konsumen dengan yang disetorkan ke Kas

Negara. Yang dimaksud konsumen di sini adalah dealer karena Pajak Masukannya tidak

dapat dikreditkan (sebesar Rp23juta) dan konsumen yang membeli kendaraan bekas dari
dealer (sebesar Rp5juta). Sebesar Rp23juta dibayar ke Kas Negara melalui pemungutan

oleh penjual kendaraan, sedangkan Rp5juta dibayar ke Kas Negara oleh dealer.

Berdasarkan ketentuan baru :

Jumlah harga jual dalam Masa Pajak Rp500juta

Dasar Pengenaan Pajak Rp500juta

PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp500juta Rp50juta

PPN yang disetor ke Kas Negara dengan Pedoman Pengkreditan

- Pajak Keluaran Rp50juta

- Pajak Masukan: 90% x Rp50juta Rp45juta

Pajak kurang dibayar Rp5juta

Dengan ketentuan ini, yang diterima oleh Negara adalah sbb:

- Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer

- PPN yang disetor ke Kas Negara oleh Dealer

Rp23juta

Rp5juta

of 4
Contoh Kasus PPN

Contoh Kasus 1:

Perusahaan X memiliki kerjasama BTO (KSO) dengan pemda (sebagai pemilik lahan) untuk
pembangunan pasar. Nah pertanyaannya adalah apakah perusahaan X (sebagai pemegang hak
pengelolaan) wajib memungut PPN kepada penyewa stand? kalau mengacu pada PPN atas jasa
persewaan ruangan maka perusahaan X harus memungut PPN. Hanya saja, masalahnya perusahaan X
disini bertindak mewakili Pemda. Siapakah yang berhak memungut PPN? Jawab: Menilik Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 38/PJ.4/1995 bab II tentang Penghasilan dan biaya bagi investor 1.
Penghasilan Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah adalah penghasilan
yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan yang didirikan antara lain: a. SEWA*)
dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta; b. Penghasilan sehubungan dengan hak
pengusahaan bangunan seperti penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga ("Sport
center"), tempat hiburan, dan sebagainya; c. penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh
dari pemegang hak atas tanah apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari masa yang
telah ditentukan. 2. Biaya *)Dan yang termasuk didalam sewa dalam hal ini Jasa Persewaan Ruangan
antara lain : - Jasa persewaan ruangan untuk perkantoran. - Jasa persewaan ruangan untuk tempat
usaha/ pertokoan. - Jasa persewaan ruangan apartemen, flat, tempat tinggal, kecuali persewaan kamar
di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel untuk tamu bermalam. - Jasa persewaan ruang
pertemuan (convention hall), kecuali persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel,
rumah penginapan, motel, losmen dan hostel. - Lain-lain sejenisnya. Kemudian, Apa yang dimaksud
dengan sewa, apa DPP-nya, berapa tarif dan penghitungan PPN-nya ? Sewa, yaitu balas jasa atas sewa
ruangan dalam keadaan kosong yang dapat ditagih dimuka (pada awal penghunian) atau dibelakang,
sesuai dengan kontrak (perjanjian). DPP atas Jasa Persewaan Ruangan adalah Nilai Penggantian berupa
sewa, yaitu nilai berupa uang yang diminta atau seharusnya diminta termasuk semua biaya yang
dikeluarkan dalam rangka penyerahan JKP tersebut. Tarif dan penghitungan PPN-nya : Tarif PPN = 10 %
PPN yang terutang = 10% x DPP Dari kutipan dan pernyataan di atas juga berlaku untuk kasus BTO,
dimana dalam hal ini perusahaan X sebagai investor yang mendapatkan pengasilan dan melakukan
kegiatan penerahan Jasa Kena Pajak meskipun posisinya sebagai perwakilan dari Pemda tetap memiliki
kewajiban memungut PPN yang terutang sebesar 10% atas serah terima JKP yang dilakukan, bukan
bendaharawan pemda yang memungutnya.
Contoh Kasus 2:

Apakah keuntungan atau kekurangan dengan berlakunya aturan baru tentang pengenaan PPN atas
penyerahan kendaraan bermotor bekas dengan di keluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
79/PMK.03/2010? Jawab : MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN
BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN BARU Mekanisme pelunasan PPN untuk
penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak mengikuti mekanisme umum, tetapi menggunakan
pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 7a dan 7b UU
PPN 1984 dan ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010.
Dalam peraturan tersebut diatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha
yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, besarnya Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran. Konsekuensi dari
penghitungan dengan cara demikian adalah bahwa berapapun PPN yang dibayar karena perolehan
barang atau jasa terkait dengan kegiatan usaha tidak lagi diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan. Penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak lagi berdasarkan
kenyataan yang sebenarnya melainkan dengan menggunakan taksiran yang ditentukan sebesar 90% dari
Pajak Keluaran. MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS
OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN LAMA Sebelum 1 April 2010, atas penyerahan kendaraan
bermotor bekas menggunakan Nilai Lain sebagaimana ditetukan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 567/KMK.04/ 1994 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03 /2002. Dalam
Peraturan tersebut antara lain diatur: - Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan kendaraan bermotor
bekas adalah berupa Nilai Lain yang ditetapkan sebesar 10% dari Harga Jual. - Pajak Masukan yang
terkait dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat dikreditkan. Ketentuan ini
mengandung konsekuensi bahwa: - PPN yang dibayar adalah sebesar 1% dari harga Jual yang berasal
dari 10% dikalikan 10% dari Harga Jual; - Pajak yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Contoh Perhitungan: Dalam catatan dealer kendaraan bermotor bekas pada suatu Masa Pajak diperoleh
data sbb:  Penyerahan dan PPN yang dipungut: Harga Jual 500juta Pajak Keluaran 50juta Penjualan
kendaraan bekas  Pembelian barang dan jasa serta Pajak Masukan yang berhubungan dengan
penyerahan kena pajak: Harga Jual/ Penggantian 180juta 300juta 50juta Pajak Masukan 18juta -5juta -
Pembelian mobil bekas dari PKP - Pembelian mobil bekas dari non PKP - Pemanfaatan JKP Perbandingan
PPN yang dibayar oleh konsumen dan PPN yang disetor oleh Dealer Kendaraan Bermotor Bekas dengan
ketentuan baru dan lama: Berdasarkan ketentuan lama : Jumlah harga jual dalam Masa Pajak Dasar
Pengenaan Pajak: 10% x 500juta PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp50juta PPN yang disetor
ke Kas Negara Rp500juta Rp50juta Rp5juta Rp5juta Secara yuridis penerimaan Negara yang berasal dari
PPN dalam suatu tahapan sampai penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh Dealer adalah sbb: -
Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer - PPN yang dipungut oleh Dealer Jumlah
Rp23juta Rp5juta Rp28juta Tidak ada bias antara pajak yang dibayar oleh konsumen dengan yang
disetorkan ke Kas Negara. Yang dimaksud konsumen di sini adalah dealer karena Pajak Masukannya
tidak dapat dikreditkan (sebesar Rp23juta) dan konsumen yang membeli kendaraan bekas dari dealer
(sebesar Rp5juta). Sebesar Rp23juta dibayar ke Kas Negara melalui pemungutan oleh penjual
kendaraan, sedangkan Rp5juta dibayar ke Kas Negara oleh dealer.

Berdasarkan ketentuan baru : Jumlah harga jual dalam Masa Pajak Dasar Pengenaan Pajak PPN yang
dipungut dari konsumen = 10% x Rp500juta Rp500juta Rp500juta Rp50juta PPN yang disetor ke Kas
Negara dengan Pedoman Pengkreditan - Pajak Keluaran - Pajak Masukan: 90% x Rp50juta Pajak kurang
dibayar Rp50juta Rp45juta Rp5juta Dengan ketentuan ini, yang diterima oleh Negara adalah sbb: -
Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer - PPN yang disetor ke Kas Negara oleh
Dealer Jumlah Rp23juta Rp5juta Rp28juta Meskipun tidak terdapat perbedaan dari sisi penerimaan
Negara antara ketentuan lama dan ketentuan baru namun dengan ketentuan baru terdapat bias antara
yang sesungguhnya dibayar oleh konsumen dengan yang diterima Kas Negara. Yang sesungguhnya
dibayar oleh konsumen dan seharusnya disetor ke Kas Negara adalah sbb: - Pembayaran PPN yang tidak
dapat dikreditkan oleh PKP dealer - Selisih lebih yang seharusnya disetor ke Kas Negara:   Rp23juta
Pajak yang dipungut Hak penjual berupa pajak yang dapat dikreditkan Rp50juta Rp23juta (-) Jumlah
Rp27juta Rp50juta Selisih pajak yang dibayar konsumen dengan yang diterima oleh Negara adalah
sebesar Rp.22juta yaitu Rp.50juta - Rp28juta. Jumlah ini juga sama dengan jumlah pajak yang dipungut
oleh dealer sebesar Rp.50juta dikurangi yang menjadi hak dealer berupa Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan sebesar Rp.23juta dan dikurangi yang nyata-nyata disetor ke Kas Negara sebesar Rp5juta.
Kemana larinya uang sebesar Rp.22juta? Tentunya menjadi “milik” dealer. Secara ekonomis, ketentuan
ini bisa menguntungkan atau bisa juga merugikan bagi dealer kendaraan bermotor bekas. Keuntungan
ekonomis dimaksud adalah berupa pajak yang dipungut
tidak seluruhnya disetor ke Kas Negara yaitu apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkannya lebih
kecil dari 90% dikalikan Pajak Masukan. Ini mengandung arti tidak semua “pajak” yang dibayar oleh
konsumen atas pembelian kendaraan bermotor bekas disetor seluruhnya ke Kas Negara oleh dealer.
Dengan ketentuan baru pajak yang dibayar konsumen menjadi lebih besar tetapi yang diterima oleh
Negara tetap sama dengan ketentuan lama. Terdapat selisih antara “pajak” yang dibayar konsumen
dengan pajak yang disetor ke Kas Negara. Sesuai definisinya pajak yang dibayar oleh konsumen (dalam
konteks PPN) seharusnya menjadi penerimaan Negara yang selanjutnya digunakan demi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu ditinjau ulang ketentuan
mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan bagi dealer kendaraan bermotor bekas karena
pengenaannya tidak sesuai dengan Undang-Undang, setidaknya dengan definisi pajak.

Contoh Kasus PPN

Contoh Kasus 1: Perusahaan X memiliki kerjasama BTO (KSO) dengan pemda (sebagai pemilik
lahan) untuk pembangunan pasar. Nah pertanyaannya adalah apakah perusahaan X (sebagai…

contoh kasus PPN

Contoh Kasus Tax Planning PPN

Contoh Kasus Tax Planning PPN a. Kegiatan Membangun Sendiri PT Magetan Jaya mendirikan
bangunan untuk kegiatan usahanya di bidang property seluas 400 m persegi di daerah…
KASUS PPN

KASUS PPN
Contoh PPN

Contoh : 1. PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B" 100 pasang sepatu @
Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00 PPN terutang yang dipungut oleh…

Jawaban Studi Kasus PPN

ad

Kasus PPN B.pptx

ppn b
Contoh Akuntansi Pajak Ppn

sip
contoh equalisasi PPN

contoh equalisasi spt pph dan spt PPN

Contoh Kasus Perlakukan PPN Atas Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi

Contoh Kasus Perlakukan PPN atas Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (leasing) Posted 5
November 2011 by ngikngik in Perpajakan. Tinggalkan sebuah Komentar Leasing yang
dimaksud…
Contoh ngisi spt ppn 1111

contoh pengisian SPT Masa PPN 1111


Contoh Isian SPT PPN 1111

AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES
AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT…

Contoh Soal Membuat Jurnal PPN

Perhiyungan PPN

Contoh Soal Perhitungan Ppn Ppnbm

Contoh Soal Perhitungan Ppn Ppnbm


Laporan Kasus Revisi (Dessy Angghita, PPN 14166)

Laporan Kasus SC

Laporan Kasus (Dessy Angghita, PPN 14166)

laporan kasus ruang kemuning (obgyn)


Contoh Ilustrasi PPN a 1 13

ILUSTRASI MULTI STAGE TAX DI DALAM PENGENAAN PPN Pengusaha Produk Petani
Kapas Pabrik Benang Benang Pabrik Tekstil Tekstil Pabrik Garmen Pakaian Distributor Pakaian
Pengecer…
Contoh Jurnal Transaksi Yang Terutang Ppn

CONTOH JURNAL TRANSAKSI YANG TERUTANG PPN Pencatatan pada saat


menerima/mengimpor BKP/JKP : Tanggal 8 Maret 2006, PT. Sierad Produce Tbk. membeli
bahan baku senilai Rp 10.000,00…

Ppn
PPN

Modul PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG


MEWAH DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK II PENYUSUN : UNTUNG
SUKARDJI, S.H., M.Sc PUSDIKLAT PAJAK BADAN PENDIDIKAN…

View more
Pendahuluan

Dalam suatu perusahaan, pasti membutuhkan aktiva untuk menjalankan kegiatan operasional
perusahaan. Ketika membeli sebuah aktiva, umumnya perusahaan juga akan mendapat pajak
masukan ketika membeli aktiva tersebut. Pajak masukan tersebut dapat dikreditkan dengan pajak
keluaran di dalam SPT PPN, yang pada akhirnya akan menghasilkan jumlah pajak yang harus
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pada umumnya pajak masukan yang diterima atas peroleh barang dapat dikreditkan seluruhnya.
Namun untuk pengusaha tertentu, pajak masukan tidak dapat dikreditkan seluruhnya. PKP yang
melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang pajak dan sebagian
lainnya tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak
tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.

Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009,
Pada tanggal 30 Januari 2014, Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No
21/PMK.011/2014 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi
Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
Tidak Terutang Pajak. Kemudian pada tanggal 18 Juni 2014, PMK No. 21/PMK.011/2014
diubah menjadi PMK No. 135/PMk.011/2014. Berikut ini merupakan contoh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang
Pajak antara lain :

1. PKP yang melakukan dan/atau memanfaatkan kegiatan usaha terpadu (integrated).


Misalnya PKP yang menghasilkan jagung, dan juga mempunyai pabrik minyak jagung
(minyak jagung merupakan Barang Kena Pajak), yang sebagian jagung yang dihasilkannya
dijual kepada pihak lain dan sebagian lainnya diolah menjadi minyak jagung.
2. PKP yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang PPN.
Misalnya PKP yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di
bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
3. PKP yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang
tidak terutang PPN.
Misalnya PKP yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak
berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa
yang tidak dikenakan PPN.
4. PKP yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari
pengenaan PPN.
Misalnya pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah
mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan
PPN.

Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan
yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan pengkreditan Pajak Masukan
adalah sebagai berikut :
1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata
hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai,
dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak
a.
jagung;
Pajak Masukan untuk perolehan alat-alat perkantoran yang hanya digunakan untuk kegiatan
b.
penyerahan jasa persewaan kantor.
2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata
hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak
dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya :
a. Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan
jagung, karena jagung bukan merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai;
b. Pajak Masukan untuk pembelian truk yang digunakan untuk jasa angkutan umum, karena
jasa angkutan umum bukan merupakan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah
sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
3. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang belum dapat
dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak
terutang pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak
masukan sebagaimana diatur dalam PMK No. 78/PMK.011/2010 sttd PMK No.
135/PMK.011/2014. Misalnya :
Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung
a.
maupun untuk pabrik minyak jagung;
Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan penyerahan
b.
jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.

Waktu Penghitungan Kembali

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dari hasil penghitungan kembali, diperhitungkan dengan
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak, paling lama pada bulan ketiga
setelah berakhirnya tahun buku.

Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak perlu dilakukan dalam hal
masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak telah berakhir.
Gambar 1 Pedoman Penghitungan Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan
Sumber : Diolah penulis berdasarkan PMK Nomor 78/PMK.03/2010

Contoh Penghitungan Kembali Pajak Masukan

Contoh 1:

1. Pengusaha Kena Pajak B adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan
sepatu.
2. Pada bulan Januari 2014, Pengusaha Kena Pajak B tersebut membeli generator listrik yang
dimaksudkan untuk digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik dengan nilai perolehan
sebesar Rp100.000.000,00 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp10.000.000,00.
3. Pajak Masukan atas perolehan generator listrik sebesar Rp10.000.000,00 secara keseluruhan
dikreditkan pada Masa Pajak Januari 2014.
4. Masa manfaat generator listrik tersebut sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk
penghitungan kembali Pajak Masukan ini, masa manfaat generator listrik tersebut ditetapkan
4 (empat) tahun, sehingga alokasi pengkreditan Pajak Masukan untuk setiap tahunnya adalah
sebesar:
Rp 10.000.000,00
--------------------- = Rp2.500.000,00
4
5. Selama tahun 2014 ternyata generator listrik tersebut digunakan:
a. untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2014:
i. 10% untuk perumahan karyawan dan direksi;
ii. 90% untuk kegiatan pabrik, dan
b. untuk bulan Juli sampai dengan Desember 2014:
i. 20% untuk perumahan karyawan dan direksi;
ii. 80% untuk kegiatan pabrik.

Berdasarkan data tersebut di atas, rata-rata penggunaan generator listrik untuk kegiatan
pabrik adalah:
90% + 80%
-------------- = 85%
2
6. Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2014 dapat
dilakukan paling lambat pada Masa Pajak Maret 2015.
Pengusaha Kena Pajak B melakukan penghitungan kembali Pajak Masukan pada Masa Pajak
Februari 2015. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2014 seharusnya
sebesar:
Rp10.000.000,00
85% x --------------------- = Rp2.125.000,00
4
7. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan
untuk Masa Pajak Februari 2015 adalah sebesar:
Rp2.500.000,00 - Rp2.125.000,00 = Rp375.000,00
8. Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan sampai dengan
masa manfaat generator listrik berakhir.

Contoh 2:

1. Pengusaha Kena Pajak D adalah perusahaan yang menghasilkan jagung, dan memproses
jagung tersebut menjadi minyak jagung yang merupakan Barang Kena Pajak, dengan titip
olah menggunakan fasilitas pengolahan Pengusaha Kena Pajak E. Selanjutnya,
Pengusaha Kena Pajak D hanya menjual minyak jagung.
2. Pada bulan Maret 2014, Pengusaha Kena Pajak D membayar jasa titip olah kepada
Pengusaha Kena Pajak E sebesar Rp25.000.000,00 dengan Pajak Pertambahan Nilai
sebesar Rp2.500.000,00.
3. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak D pada
masa Maret 2014 adalah sebesar Rp2.500.000,00

Contoh 3:

1. Pengusaha Kena Pajak N adalah perusahaan integrated (terpadu) yang bergerak di bidang
perkebunan jagung dan pabrik minyak jagung. Sebagian jagung yang dihasilkannya diolah
lebih lanjut menjadi minyak jagung dan sebagian lainnya dijual kepada pihak lain.
2. Pada bulan April 2014, Pengusaha Kena Pajak N membeli truk yang digunakan baik untuk
perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung dengan harga perolehan sebesar
Rp200.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp20.000.000,00.
3. Berdasarkan data-data yang dimiliki, diperkirakan persentase rata-rata jumlah penyerahan
minyak jagung terhadap penyerahan seluruhnya adalah sebesar 70%, sedangkan 30%
merupakan penyerahan jagung kepada pihak lain.
4. Berdasarkan data tersebut maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam SPT Masa
PPN Masa Pajak April 2014 sebesar:
Rp20.000.000,00 x 70% = Rp14.000.000,00
5. Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014 adalah
Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung kepada pihak lain sebesar
Rp40.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp60.000.000.000,00.
6. Masa manfaat truk sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk tujuan penghitungan Pajak
Masukan berdasarkan Peraturan Menteri ini ditetapkan 4 (empat) tahun.
7. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015 adalah:
Rp60.000.000.000,00 Rp20.000.000,00
------------------------ X ------------------- = Rp3.000.000,00
Rp100.000.000.000,00 4
8. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk
tersebut adalah:
Rp14.000.000,00
------------------- = Rp 3.500.000,00
4
9. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan
untuk Masa Pajak Maret 2015 adalah sebesar:
Rp3.500.000,00 - Rp3.000.000,00 = Rp500.000,00
10. Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan setiap tahun
sampai dengan masa manfaat truk berakhir.

Contoh 4:
1. Kelanjutan dari contoh 3, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2015
adalah Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar
Rp10.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp90.000.000.000,00.
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2015 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2016 adalah:
Rp90.000.000.000,00 Rp20.000.000,00
------------------------ X ------------------- = Rp4.500.000,00
Rp100.000.000.000,00 4
3. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk
tersebut adalah:
Rp14.000.000,00
------------------- = Rp3.500.000,00
4
4. Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan menambah Pajak Masukan
untuk Masa Pajak Maret 2016 adalah sebesar:
Rp4.500.000,00 - Rp3.500.000,00 = Rp 1.000.000,00
Contoh 5:
1. Kelanjutan dari contoh 4, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2016
adalah Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar
Rp30.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp70.000.000.000,00.
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2016 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2017 adalah:
Rp70.000.000.000,00 Rp20.000.000,00
------------------------ X ------------------- = Rp3. 500.000.000
Rp100.000.000.000,00 4
3. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk
tersebut adalah:
Rp14.000.000,00
------------------- = Rp3.500.000,00
4
4. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali adalah sebesar:
Rp3.500.000,00- Rp3.500.000,00 = Rp0,00

Contoh 6:

1. Kelanjutan dari contoh 5, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2017
adalah Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar
Rp50.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp50.000.000.000,00.
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2017 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2018 adalah:
Rp 50.000.000.000,00 Rp20.000.000,00
------------------------- X -------------------- = Rp2.500.000.000
Rp 100.000.000.000,00 4
3. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk
tersebut adalah:
Rp14.000.000,00
------------------- = Rp3.500.000,00
4
4. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan
untuk Masa Pajak Maret 2018 adalah sebesar:
Rp3.500.000,00- Rp2.500.000,00 = Rp1.000.000,00
5. Penghitungan Pajak Masukan sebagaimana perhitungan di atas tidak perlu lagi dilakukan
pada tahun 2019.

Contoh 7:
1. Pengusaha Kena Pajak N tersebut pada contoh 3, pada bulan Mei 2014 membeli bahan bakar
solar untuk truk yang digunakan baik untuk sektor perkebunan dan distribusi jagung kepada
pihak lain maupun untuk sektor pabrikasi dan distribusi minyak jagung sebesar
Rp50.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp5.000.000,00;
2. Pengusaha Kena Pajak dimaksud mengkreditkan Pajak Masukan tersebut berdasarkan
perkiraan persentase perbandingan jumlah penyerahan yang terutang Pajak terhadap
penyerahan seluruhnya sebesar 70%, sehingga Pajak Masukan yang dikreditkan dalam SPT
Masa PPN Masa Pajak Mei 2014 adalah sebesar:
Rp5.000.000,00 x 70% = Rp3.500.000,00
3. Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014 adalah
Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp40.000.000.000,00 dan
penjualan minyak jagung sebesar Rp60.000.000.000,00
4. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang
dapat dikreditkan selama tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015
adalah:
Rp60.000.000.000,00
------------------------ X Rp5.000.000,00 = Rp3.000.000,00
Rp100.000.000.000,00
5. Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada Masa
Pajak Mei tahun 2014 adalah Rp3.500.000,00
6. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan
untuk Masa Pajak Maret 2015 adalah sebesar:
Rp3.500.000,00 - Rp3.000.000,00 = Rp500.000,00

Contoh 8:

1. Sama dengan contoh 7, namun diketahui total peredaran usaha selama tahun buku 2014
adalah Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar
Rp10.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp90.000.000.000,00
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang
dapat dikreditkan selama tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015
adalah:
Rp90.000.000.000,00
------------------------ x Rp5.000.000,00 = Rp4.500.000,00
Rp100.000.000.000,00
3. Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada Masa
Pajak Mei tahun 2014 adalah Rp3.500.000,00
4. Jadi, Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan menambah Pajak Masukan
untuk Masa Pajak Maret 2015 adalah sebesar:
Rp4.500.000,00 - Rp3.500.000,00 = Rp1.000.000,00

Penutup
Pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan tidak berlaku bagi PKP yang telah
ditetapkan untuk menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sesuai
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (7a) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai.

Referensi :

1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983.
3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 135/PMK.011/2014 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang
Pajak
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.011/2014 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang
Pajak
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang
Pajak

Anda mungkin juga menyukai