Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, kata berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata yang
artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan
pengertian bahasa ini, maka tidak tepat jika ijtihad digunakan untuk ungkapan "orang itu
berijtihad dalam mengangkat tongkat. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan
ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Secara terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, ijtihad yaitu:

‫بذ الفقيه وسعة في استنباط األحكام العملية من أوليتها التفصيلية‬

Artinya: "Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum
yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu per satu)."

Menurut definisi sebagian ulama ushul Fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa
ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan semaksimal mungkin itu
adakalanya dalam istinbat (penetapan) hukum syariat adakalanya dalam penerapan hukum.”

Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama di atas maka ijtihad
itu terbagi menjadi dua:

1. Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk
menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama, pada suatu masa dimungkinkan terjadi
kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu masih dianggap cukup untuk menjawab
masalah hukum di kalangan umat Islam. Namun menurut ulama Hambali, ijtihad bentuk pertama
ini tidak boleh vakum sepanjang masa karena mujtahid semacam ini selalu dibutuhkan karena
banyak masalah yang harus dijawab hukumnya.

2. Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada di setiap masa. Tugas
utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil Ijtihad para ulama
terdahulu. Ijtihad bentuk kedua ini disebut tahqiq al-mand.
Menurut pendapat mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Abu Zahra bahwa setiap
masa tidak boleh ada kekosongan dari seorang mujtahid dan pintu iitihad untuk semua tingkatan
harus terbuka terus meski diakui tingkat kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda. Dalam
kaitan ini. Ibnu al-Oayyim berkata para mujtahid dimaksud adalah termasuk orang-orang yang di
SAW di bawah ini yaitu mujaddid (pembaru).
‫إن هللا يبعث لهذه األمة على رأس كل مائة سنة من يجد لها دينها‬

Artinya: "sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini untuk setiap seratus tahun orang yang
memperbarui agamanya." (HR. Abu Daud)1

B. Syarat-syarat Mujtahid

Para ulama telah merumuskan perumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam
pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah
Zuhaili sebagai berikut:

a. Mengetahui makna ayat ahkam yang terdapat dalam Al-Quran baik secara bahasa maupun
secara istilah syara. Tidak hafal cukup mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah
untuk mencarinya ketika dibutuhkan. Menurut al-Ghazali, al-Razi dan Ibn Arabi jumlah ayat-
ayat ahkam yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud ungkapan "secara bahasa” di atas
artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu lafaz dan maknanya dalam susunan kalimat.
Adapun makna syara' adalah mengetahui berbagai segi penunjukan lafaz terhadap hukum seperti
mantuq, mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah, lafaz umum, dan khas.

b. Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal
sebagaimana juga al-Qur'an. Menurut Ibn Arabi (w. 543 H) hadis ahkam berjumlah 3.000 hadis,
sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi Wahbah Zuhaili tidak
sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang
terdapat dalam kitabkitab besar seperti sahih Bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.

c. Mengetahui al-Qur'an dan hadis yang telah dinasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang
menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur'an dan hadis)
yang sudah tidak berlaku lagi.

d. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan
hukum yang bertentangan dengan ijma.

e. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat,
illat hukum dan cara istinbatnya dari nas, maslahah manusia, dan sumber syariat secara
keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.

1
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014), hlm. 253-254
f. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, saraf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Qur’an
dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum
yang berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya. Di antaranya mengetahui lafaz
umum dan khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua ini tidak
disyaratkan untuk dihafal tetapi cukup memiliki kemampuan untuk memahami secara benar
ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab dan kebiasaan orang Arab menggunakannya.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena shul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalildalail secara
terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas.
Istinbat diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu shul fiqh.
Tentang urgensi ushul fiqh dalam ijtihad dijelaskan oleh al-Razi dalam kitabnya al-mahsul:
“Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh.”
h. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan
penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah. Penunjukan suatu lafaz
kepada makna mengandung beberapa kemungkinan. Pengetahuan tentang maqasid memberi
keterangan untuk memilih mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang terpenting lagi dari
pengetahuan tentang maqasid adalah perinsip hukum dalam al-Qur’an dan sunah dapat
dikembangakan seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.2
C. Macam- Macam Ijtihad
Dengan memperhatikan contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan
para sahabat dari segi apakah mendapat persetujuan dari para mujtahidin atau tidak, ijtihad itu
terbagi kepada dua macam. Yaitu Ijtihad fardi dan ijtihad jamā'i.

a. Setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh persetujuan dari para mujtahid terhadap
suatu masalah disebut ijtihad fardi.

Adanya ijtihad fardi itu dapat dikaji dari hadits Rasulullah saw. dan atsar dari para sahabat.
Rasulullah saw. membenarkan dan dapat menerima jadan Mu'adz bin Jabal ajtahidu ra'yi wala
alu (Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalya), ketika
ditanyakan tentang dasar yang dipergunakan mengambil keputusan ketika tidak menemukannya
di dalam Al Qur'an dan Al-Hadits.

2
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014), hlm. 257-258
Dari atsar-atsar para sahabat dapat kita lihat antara lain:

1. Instruksi Umar bin Khaththab r.a. kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang
memerintahkan agar menggunakan ijtihad melalui qiyas Bunyi instruksi itu:

‫ وقس األمور بعد ذلك‬،‫و الفهم فما تلجلج في صدرك مالت بنت أعرف األشباه واألمثال‬

Gunakan pemahaman yang mendalam dalam masalah yang menggagapkan hatimu yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits ! Cari kemiripannya dan keserupaannya kemudian
qiyaskan perkara-perkara itu sewaktu menemukannya.

2. Demikian juga pesan beliau kepada Qadhi Suraih:

‫وماله يتبين لك في الشنة فاجتهد فيه رأيك‬

Apa yang tidak jelas bagimu terdapat di dalam As-Sunnah curahkan pikiranmu.

3. Dalam masalah Umariyatain – suatu kasus dalam pembagian harta pusaka yang ahli
warisnya terdiri atas kedua orang tua dan salah seorang dari suami atau isteri si mati —

Zaid bin Tsabit menetapkan bahwa bagian ibu sepertiga sisa harta peninggalan setelah salah
seorang suami atau isteri mengambil bagiannya. Ibnu Abbas menegur Zaid, katanya, “dalam
Kitab Allah ayat berapa saudara menemukan sepertiga sisa itu?" Jawab Zaid: ”Aku mengatakan
demikian menurut pendapatku dan anda boleh berkata menurut pendapat anda sendiri.”

4. Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhum di dalam pembagian pusaka yang
ahli warisnya terdapat kakek bersama dengan saudara, menepatkan bahwa saudara
mendapat bagian harta pusaka lantaran terhijab oleh kakek, Sedang menurut Zaid dan
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhuma kakek membagi sama (muqasamah) harta peninggalan
bersa dengan saudara. Jika dalam muqasamah ini.

Menerima lebih menguntungkan daripada menerima sepertiga peninggalan. Jadi kakek tidak
menghijab saudara.

b. Ijtihad jamā'i ialah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari pada mujtahid terhadap
suatu masalah.

Hadits yang menjadi sumber adanya Ijtihad jamā'i ini ialah jawaban rasulullah saw.
kepada Ali bin Abu Thalib r.a. yang akan bagaimana caranya dan apa yang dijadikan dasar untuk
memberi keputusan peristiwa yang tidak ditunjuk oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits yang
memerintahkan agar dimusyawarahkan dengan para ahli.

Atsar-atsar yang menunjukkan adanya Ijtihad jamā'i ini antara lain:

1. Periwayatan Maimun bin Mahram perihal tindakan Abu bakar dan Umar radhiyallahu
'anhum dalam menghadapi masalah yang tidak ada nashnya, mengatakan:

Masing-masing dari kedua beliau itu bila hendak mengeluarkan suatu hukum peristiwa yang
tidak didapat ketentuannya di dalam Kitabullah dan Sunnatur-Rasul tidak segera
memutuskannya. Beliau kumpulkan pemimpin masyarakat lalu bermusyawarah dengan mereka.
Apabila telah menyatu pendapatnya atas masalah itu barulah beliau memutuskannya."

2. Kesepakatan para sahabat atas tindakan Abu Bakar r.a. memerangi pembangkang
membayar zakat, setelah terjadi pertukaran pendapat di antara mereka.
3. Kesepakatan mereka atas saran Umar r.a. untuk menulis Mushhaf yang sebelumnya Abu
Bakar merasa keberatan hal itu dilakukan.
4. Kesepakatan mereka atas keimaman Abu Bakar r.a. dan persetujuan mereka, sewaktu
beliau masih menjabat khalifah, dan akan digantikan jabatan kekhilafahan kepada Umar
r.a.

Masih banyak lagi bukti adanya kebulatan pendapat di antara para sahabat dalam beberapa
masalah setelah melalui musyawarah.3

D. Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan-
tingkatan sebagai berikut:
a. Mujtahid fi al-syar’i, disebut juga mujtahid mustaqil, ialah orang yang membangun suatu
mazhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan
Ahmad bin Hambal
b. Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi
mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Muitahid fi al-mazhab terkadang menyalahi
ijtihad imamnya pada beberapa masalah. Ia berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang

3
Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1993),
hlm. 379-381
termasuk ke dalam mujtahid fi al-mazhab ini seperti: Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi
dan al-Muzany dalam mazhab Syafi'i.
c. Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan
bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan
al-Ghazaly dalam mazhab Syafi'i serta al-Khirady dalam mazhab Hambali.
d. Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama salaf dan
mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami
dalalahnya dan inilah disebut dengan takhrij. Mereka mempunyai kesanggupan
menentukan mana yang lebih utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam mazhab
disamping dapat membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.4

4
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014), hlm. 258-259

Anda mungkin juga menyukai