Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya. Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi.

Malang, Agustus 2016

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Warga negara memiliki peran yang vital bagi keberlangsungan sebuah negara.
Oleh karena itu, hubungan antara warga negara dan negara sebagai institusi yang
menaunginya memiliki aturan atau hubungan yang diatur dengan peraturan yang berlaku
di negara tersebut. Agar dapat memiliki status yang jelas sebagai warga negara,
pemahaman akan pengertian, sistem kewarganegaraan serta hal-hal lain yang
menyangkut warga negara hendaknya menjadi penting untuk diketahui. Dengan memiliki
status sebagai warga negara, orang memiliki hubungan dengan negara.
Masalah Warga negara dan Negara perlu dikaji lebih jauh, mengingat Demokrasi
yang ingin ditegakkan adalah Demokrasi berdasarkan Pancasila. Aspek yang terkandung
dalam Demokrasi Pancasila antara lain adalah adanya kaidah yang mengikat Negara dan
Warga negara dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta
wewenangnya. Secara material adalah mengakui harkat dan martabat Manusia sebagai
makhluk Tuhan, yang menghendaki Pemerintahan untuk membahagiakannya, dan
memanusiakan Warga negara dalam Masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu peta normatif hubungan negara dan warga negara ?
2. Bagaimana tindakan (refleksi) hubungan negara dan warga negara pada masa orde
baru dan pemerintahan reformasi ?
3. Bagaimana perbandingan paradigma hubungan negara dan warga negara pada masa
orde baru dan pemerintahan reformasi ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu peta normatif hubungan negara dan warga negara.
2. Untuk merefleksikan hubungan negara dan warga negara pada masa orde baru dan
pemerintahan reformasi.
3. Untuk membandingkan paradigma hubungan negara dan warga negara pada masa
orde baru dan pemerintahan reformasi.
D. MANFAAT
Mahasiswa mampu : menjelaskan pengertian hubungan warga negara dengan negara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peta Normatif Hubungan Negara dan Warga Negara


Tugas utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah memberikan pencerahan
informasi tentang hubungan antar warga negara dengan negara. Hal itu senada dengan
konsepnya, yakni senantiasa komitmen dalam mengajarkan pengetahuan hubungan
antara warga negara dengan negara yang menggunakan embrio materi tentang “hak dan
kewajiban”.
Kendatipun demikian, konsep hubungan antara warga negara dengan negara
masih sering menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis. Hubungan antara warga
negara dan negara, juga kerapkali dipersepsikan dalam bahasa yang “latah”. Apakah
dalam proses hubungan itu negara harus berada di atas warga negara ataukah justru
menempatkan keduanya dalam hubungan kesejajaran. Apakah negara harus mencampuri
urusan asasi warga negara ataukah sebuah perlakuan yang ‘ditabukan’.
Dalam wacana Pendidikan Kewarganegaraan, negara harus diposisikan sejajar
dengan warga negaranya. Masyarakat (warga negara) tidak dilawankan dengan negara,
akan tetapi justru dipersepsikan sebagai ‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selama
negara masih berada diatas warga negara atau masyarakat, hubungan antara keduanya
tidak akan bisa berlangsung secara harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata
kunci yang menentukan segala-galanya.
Dalam kaitan itu, Gouldner (1998) menegaskan bahwa hubungan antara
masyarakat dan negara tidak selalu selamanya berkonotasi normatif, tetapi juga bersifat
empirik. Secara normatif, hubungan hubungan negara dan warga negara harus selalu
berpegang pada hak dan kewajiban yang melakat pada keduanya sehingga proses
dialogisnya berlangsung secara demokratis, adil, dan harmonis dengan bersandar pada
norma yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Etika hubungan yang hendak dikembangkan
dalam proses komunikasi antara negara dengan warga negara (masyarakat) harus
berlangsung secara resiprosiret (timbal balik). Sebaliknya, secara empiric bisa bisa jadi
hubungan antara negara dan warga negara justru melanggar norma bangsa dan negara
yang telah disepakati bersama. Jika hal itu terjadi, pola hubungan negara dan warga
negara harus dikembalikan pada hubungan yang bersifat konstitusional dan bukan
inkonstitusional.
Ketika salah satu di antaranya mengingkari komitmen konstitusi sebagai dasar
dan standar normative, hubungan inti mulai terkoyak dan biasanya warga negara
(masyarakat) selalu berada pada posisi yang lemah (memang sengaja dilemahkan).
Melalui instrumen kekuasaan, negara bisa melakukan cara-cara yang kasar (represif) atau
bisa juga dengan cara yang paling ‘halus’ (hegemonik) untuk mengelabuhi warga negara
atau masyarakat agar legitimasi masyarakat selalu masyarakat selalu mengalir kepada
negara. Akibatnya keberadaan masyarakat (warga negara) menjadi ‘tak berimbang’
dengan negara.
Untuk membangun hubungan antara negara dengan warga negara secara adil dan
berimbang, normatif, dan etik, dapat ditempuh melalui langkah-langkah berikut:
1. Inventarisasi variabel yang melekat pada diri warga negara.
2. Inventarisasi variabel yang melekat pada organisasi negara.
3. Menghubungkan variabel yang melekat pada diri warga negara dengan variabel yang
melekat pada organisasi negara.
4. Mempersepsikan hubungan kedua variabel (warga negara dan negara) identik
dengan hubungan hak dan kewajiban antara keduanya.
5. Mencari dasar norma sebagai ‘pembenar’ hubungan antara warga negara dengan
negara, yang bersumber dari jiwa dan nilai-nilai konstitusi.

B. Merefleksikan hubungan negara dan warga negara pada masa orde baru dan
pemerintahan reformasi
Selama 32 tahun Orde Baru pemerintah bangsa Indonesia memang cukup
menjanjikan bagi kehidupan bangsa dalam menuju taraf kehidupan yang lebih baik.
Sebuah orde pemerintahan yang di rancang dan menempatkan dirinya sebagai korektor
total terhadap segala penyelewengan Pancasila dan UUD 1945 dari posisi
proporsionalnya,yakni sebagai landasan pembangunan di segala bidang. Lebih menarik
lagi,terpetanya idialisasi pembangunan yang di peruntukkan bagi kesejahteraan
masyarakat secara nyata dan bukan pembangunan yang bersifat semu.. Dengan slogan
‘pembangunan yes’ dan ‘politik no’,Orde Baru bertekat akan mengantarkan potensi
rakyat sebagai modal dalam pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi di
tempatkannya sebagai ‘spektrum sentral’,dan sementara itu konsep ‘politik sebagai
panglima’ tampak di abaikan. Selain itu,Orde Baru telah mampu memotret dirinya
sebagai ‘orde pembangunan’ yang memiliki komitmen dalam menegakkan pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk menciptakan persatuan nasional hanya
mungkin di lakukan di bawah kepemimpinan nasional. Dalam kaitan itu, paradigma
kenegaraan pada masa Orde Baru dipeta semedikian rupa, dimana Negara (pemerintah)
bertanggung jawab sebagai ‘paltron’ (bapak) dan warga Negara (rakyat) di pandang
sebagai ‘client’ (anak). Realita ini pada dasarnya merupakan indikator adanya praktik
perspektif kultural jawa (terutama konsep momong dan momongan) yang di formatkan
dalam politik Orde Baru. Dengan konsep momong berarti Negara (pemerintah) akan
melakukan tugas sucinya untuk menjaga dengan penuh kasih sayang ; sedangkan konsep
momongan mengungkapkan tugas dan tangung jawab yang lebih berat pada subyek yang
diemong (di asuh). Gagasan pemerintah dan kepemimpinan nasional Orde Baru tersebut,
ternyata dalam praktiknya justru banyak mengecewakan rakyat. Hal ini di sebabkan oleh
karena solusi pemerintahan dan pembangunan bukan lagi di arahkan demi kesejahteraan
rakyat banyak,akan tetapi Nampak sebaliknya yang mengarah pada kepentingan partai
pemerintah,golongan,rezim,keluarga serta pemerintah itu sendiri. Sebagai contoh
rekayasa politik penetapan pancasila sebagai azas tunggal yang di terapkan dalam
kehidupan politik dan kemasyarakatan. Semua organisasi social poliik di wajibkan
karena telah di tetapkan dalam undang-undang mencantumkan pancasila sebagai asas
dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara (UU No.3 dan UU No.8 Tahun
1985). Namun demikian,munculnya ketetapan MPR tentang P-4,justru lebih memaknai
sebagai permainan kelompok berkuasa (Orde Baru dan Golkarnya), yang memakai
ideologi pancasila sebagai ‘justifikasi’ dan upaya memperoleh ‘legitimasi’ kepentingan
dari masyarakat. Cara-cara koersif (mungkin juga ‘dominasi’),di kemas demikian rapi,
agar terkesan sebagai ‘konsensus’. Harapan kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran
pengakuan dan kepatuhan kepada penguasa resistensi rakyat dapat direndam ,atau
bahkan masyarakat enggan sama sekali untuk melawannya. Upaya itu lebih Nampak
lagi,ketika pemerintah Orde Baru banyak melakukan klaim nasional bahwa semuanya itu
di pandangnya dan serba muncul dari buah konsensus nasional. Lebih parah lagi orde
baru membangun sebuah strategi kepemimpinan moral dan intelektual yang sangat
canggih lewat pemerintahan hegemoni yang di padu dengan kekuatan militer. Itulah
sebabnya,tidak jarang jika ada warga Negara yang melancarkan kritik terhadap kebijakan
pemerintah, di anggap memggamhu stabilitas politik dan keamanan nasional. Selain itu
dalam tataran birokrasi,Orde Baru lebih banyak menampakkan pemerintahan yang
sentralistis. Hal ini Nampak dalam pola pengambilan keputusan elite politik di tingkat
atas,yang menempatkan pemegang posisi puncak kekuatan yang sangat dominan.
Misalnya, dalam upaya pengorbitan ‘konsensus nasional’ mengenai azas tungal pancasila,
tidak menampung aspirasi arus bawah. Dampak dari aplikasi konsep kekuasaan seperti
itu,akan melahirkan budaya ‘ewuh-pakewuh’di kalangan elite dan celakanya juga bagi
seluruh warga Negara Indonesia. Kondisi demikian,nampaknya sudah tidak dapat di
pertahankan lagi. Orde Baru sudah sangat jauh menghegemoni seluruh potensi bangsa
yang tidak menguntungkan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia.Rakyat sudah tidak
sabar lagi membiarkan hal itu semakin panjang. Akhirnya,lewat Gerakan Reformasi
Total,yang banyak digulirkan oleh Mahasiswa, Akademis, Aktivis Politik dan HAM
serta LSM dan sebagainya,maka pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto jatuh,dan
turun dari ‘Singgassana’ kepresidenannya. Kinerja pemerintahan yang di teruskan oleh
‘pemerintahan transisi’ yang di pimpin oleh Habibie, nampaknya juga tidak di terima
oleh rakyat,lantaran agenda pemerintahannya masih menggunakan gaya lama dan selalu
berada di bawah baying-bayang Orde Baru. Kesalahan yang paling vatal oleh
pemerintahan ini, lepasnya wilayahnya Timor Timur dari Negara kesatuan republik
Indonesia, yang secara politis dan finansial banyak merugikan Negara dan bangsa kita.
Dan sebagai klimaksnya, Habibie terpaksa harus menerima untuk berhenti di tengah
jalan,akibat laporan pertanggungjawabannya di tolak dalam sidang MPR hasil pemilu
1999. Presiden terpilih selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid, yang duet dengan
‘saudarannya’, yaitu Megawati Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden. Sekalipun
demikian,era Orde Baru bukanlah salah dalam segala-galanya. Secara obyektif,patut
bangsa Indonesia mengakui,bahwa Program pemerinatah orde baru, terkadang juga
masih bisa di nikmati bagi kesejah teraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan
dalam kurun pelita ke pelita, juga masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat. Dan akhirnya,sangat di sayangkan,kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti
dengan tragis lantaran segala kebijakan lebih banyak di warnai untuk pemenuhan
kepentingan negara, pemerintah, keluarga, dan sbauh rezim. Belum lagi kecanggihannya
dalam ‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa loyal karenanya.
Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah dilakukan dengan sangat
rapi sehinggga seakan merupakan perjuangan demi kepentigan rakyat.

C. Memberikan paradikma hubungan antarnegara dan warga negara dalam


pemerintahan orde baru dan pemerintahan reformasi
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang
dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini
dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun
1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam
dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi
militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer,
khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat
sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari
PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan
jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Sejak tahun 1967, warga keturunan Tionghoa dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak
langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka,
perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian
hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada
resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka
pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu
memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun
kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih
untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai
tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi”. Era Reformasi
di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis
finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia
Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia,
yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberantasan
KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab.
Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya
pemberantasan korupsi juga dikeluarkan, antara lain, Keppres Nomor 44 Tahun 2000
tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155
Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah; PP Nomor 56 Tahun 2000 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah; dan PP Nomor 274 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh
politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-
menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5
Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik.
Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan
suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah
sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan
di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Negara harus diposisikan sejajar dengan warga negaranya. Masyarakat (warga
negara) tidak dilawankan dengan negara, akan tetapi justru dipersepsikan sebagai
‘mitra’ hubungan antara keduanya. Selama negara masih berada diatas warga negara
atau masyarakat, hubungan antara keduanya tidak akan bisa berlangsung secara
harmonis. Padahal, keharmonisan ini menjadi kata kunci yang menentukan segala-
galanya.
2. Program pemerinatah orde baru, terkadang juga masih bisa di nikmati bagi kesejah
teraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan dalam kurun pelita ke pelita, juga
masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan akhirnya,sangat
di sayangkan,kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti dengan tragis lantaran
segala kebijakan lebih banyak di warnai untuk pemenuhan kepentingan negara,
pemerintah, keluarga, dan sbauh rezim. Belum lagi kecanggihannya dalam
‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa loyal karenanya.
Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah dilakukan dengan
sangat rapi sehinggga seakan merupakan perjuangan demi kepentigan rakyat.
3. Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang
dilakukan Orde Lama Soekarno. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara
ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar. Pada era reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi
Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang
pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab.
B. Saran
1. A
2. A
Sebutkan kebiajakan poltik orde lama yang mrnyababkan ketidak adilan bagi warga tionghoa
di indonesia?
Jawab: Sejak tahun 1967, warga keturunan Tionghoa dianggap sebagai warga negara asing di
Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung
juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari
raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang

Anda mungkin juga menyukai