Makalah KWN
Makalah KWN
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya. Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Warga negara memiliki peran yang vital bagi keberlangsungan sebuah negara.
Oleh karena itu, hubungan antara warga negara dan negara sebagai institusi yang
menaunginya memiliki aturan atau hubungan yang diatur dengan peraturan yang berlaku
di negara tersebut. Agar dapat memiliki status yang jelas sebagai warga negara,
pemahaman akan pengertian, sistem kewarganegaraan serta hal-hal lain yang
menyangkut warga negara hendaknya menjadi penting untuk diketahui. Dengan memiliki
status sebagai warga negara, orang memiliki hubungan dengan negara.
Masalah Warga negara dan Negara perlu dikaji lebih jauh, mengingat Demokrasi
yang ingin ditegakkan adalah Demokrasi berdasarkan Pancasila. Aspek yang terkandung
dalam Demokrasi Pancasila antara lain adalah adanya kaidah yang mengikat Negara dan
Warga negara dalam bertindak dan menyelenggarakan hak dan kewajiban serta
wewenangnya. Secara material adalah mengakui harkat dan martabat Manusia sebagai
makhluk Tuhan, yang menghendaki Pemerintahan untuk membahagiakannya, dan
memanusiakan Warga negara dalam Masyarakat Negara dan masyarakat bangsa-bangsa.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu peta normatif hubungan negara dan warga negara ?
2. Bagaimana tindakan (refleksi) hubungan negara dan warga negara pada masa orde
baru dan pemerintahan reformasi ?
3. Bagaimana perbandingan paradigma hubungan negara dan warga negara pada masa
orde baru dan pemerintahan reformasi ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu peta normatif hubungan negara dan warga negara.
2. Untuk merefleksikan hubungan negara dan warga negara pada masa orde baru dan
pemerintahan reformasi.
3. Untuk membandingkan paradigma hubungan negara dan warga negara pada masa
orde baru dan pemerintahan reformasi.
D. MANFAAT
Mahasiswa mampu : menjelaskan pengertian hubungan warga negara dengan negara.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Merefleksikan hubungan negara dan warga negara pada masa orde baru dan
pemerintahan reformasi
Selama 32 tahun Orde Baru pemerintah bangsa Indonesia memang cukup
menjanjikan bagi kehidupan bangsa dalam menuju taraf kehidupan yang lebih baik.
Sebuah orde pemerintahan yang di rancang dan menempatkan dirinya sebagai korektor
total terhadap segala penyelewengan Pancasila dan UUD 1945 dari posisi
proporsionalnya,yakni sebagai landasan pembangunan di segala bidang. Lebih menarik
lagi,terpetanya idialisasi pembangunan yang di peruntukkan bagi kesejahteraan
masyarakat secara nyata dan bukan pembangunan yang bersifat semu.. Dengan slogan
‘pembangunan yes’ dan ‘politik no’,Orde Baru bertekat akan mengantarkan potensi
rakyat sebagai modal dalam pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi di
tempatkannya sebagai ‘spektrum sentral’,dan sementara itu konsep ‘politik sebagai
panglima’ tampak di abaikan. Selain itu,Orde Baru telah mampu memotret dirinya
sebagai ‘orde pembangunan’ yang memiliki komitmen dalam menegakkan pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk menciptakan persatuan nasional hanya
mungkin di lakukan di bawah kepemimpinan nasional. Dalam kaitan itu, paradigma
kenegaraan pada masa Orde Baru dipeta semedikian rupa, dimana Negara (pemerintah)
bertanggung jawab sebagai ‘paltron’ (bapak) dan warga Negara (rakyat) di pandang
sebagai ‘client’ (anak). Realita ini pada dasarnya merupakan indikator adanya praktik
perspektif kultural jawa (terutama konsep momong dan momongan) yang di formatkan
dalam politik Orde Baru. Dengan konsep momong berarti Negara (pemerintah) akan
melakukan tugas sucinya untuk menjaga dengan penuh kasih sayang ; sedangkan konsep
momongan mengungkapkan tugas dan tangung jawab yang lebih berat pada subyek yang
diemong (di asuh). Gagasan pemerintah dan kepemimpinan nasional Orde Baru tersebut,
ternyata dalam praktiknya justru banyak mengecewakan rakyat. Hal ini di sebabkan oleh
karena solusi pemerintahan dan pembangunan bukan lagi di arahkan demi kesejahteraan
rakyat banyak,akan tetapi Nampak sebaliknya yang mengarah pada kepentingan partai
pemerintah,golongan,rezim,keluarga serta pemerintah itu sendiri. Sebagai contoh
rekayasa politik penetapan pancasila sebagai azas tunggal yang di terapkan dalam
kehidupan politik dan kemasyarakatan. Semua organisasi social poliik di wajibkan
karena telah di tetapkan dalam undang-undang mencantumkan pancasila sebagai asas
dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara (UU No.3 dan UU No.8 Tahun
1985). Namun demikian,munculnya ketetapan MPR tentang P-4,justru lebih memaknai
sebagai permainan kelompok berkuasa (Orde Baru dan Golkarnya), yang memakai
ideologi pancasila sebagai ‘justifikasi’ dan upaya memperoleh ‘legitimasi’ kepentingan
dari masyarakat. Cara-cara koersif (mungkin juga ‘dominasi’),di kemas demikian rapi,
agar terkesan sebagai ‘konsensus’. Harapan kepada masyarakat agar tumbuh kesadaran
pengakuan dan kepatuhan kepada penguasa resistensi rakyat dapat direndam ,atau
bahkan masyarakat enggan sama sekali untuk melawannya. Upaya itu lebih Nampak
lagi,ketika pemerintah Orde Baru banyak melakukan klaim nasional bahwa semuanya itu
di pandangnya dan serba muncul dari buah konsensus nasional. Lebih parah lagi orde
baru membangun sebuah strategi kepemimpinan moral dan intelektual yang sangat
canggih lewat pemerintahan hegemoni yang di padu dengan kekuatan militer. Itulah
sebabnya,tidak jarang jika ada warga Negara yang melancarkan kritik terhadap kebijakan
pemerintah, di anggap memggamhu stabilitas politik dan keamanan nasional. Selain itu
dalam tataran birokrasi,Orde Baru lebih banyak menampakkan pemerintahan yang
sentralistis. Hal ini Nampak dalam pola pengambilan keputusan elite politik di tingkat
atas,yang menempatkan pemegang posisi puncak kekuatan yang sangat dominan.
Misalnya, dalam upaya pengorbitan ‘konsensus nasional’ mengenai azas tungal pancasila,
tidak menampung aspirasi arus bawah. Dampak dari aplikasi konsep kekuasaan seperti
itu,akan melahirkan budaya ‘ewuh-pakewuh’di kalangan elite dan celakanya juga bagi
seluruh warga Negara Indonesia. Kondisi demikian,nampaknya sudah tidak dapat di
pertahankan lagi. Orde Baru sudah sangat jauh menghegemoni seluruh potensi bangsa
yang tidak menguntungkan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia.Rakyat sudah tidak
sabar lagi membiarkan hal itu semakin panjang. Akhirnya,lewat Gerakan Reformasi
Total,yang banyak digulirkan oleh Mahasiswa, Akademis, Aktivis Politik dan HAM
serta LSM dan sebagainya,maka pada tanggal 21 Mei 1998, presiden Soeharto jatuh,dan
turun dari ‘Singgassana’ kepresidenannya. Kinerja pemerintahan yang di teruskan oleh
‘pemerintahan transisi’ yang di pimpin oleh Habibie, nampaknya juga tidak di terima
oleh rakyat,lantaran agenda pemerintahannya masih menggunakan gaya lama dan selalu
berada di bawah baying-bayang Orde Baru. Kesalahan yang paling vatal oleh
pemerintahan ini, lepasnya wilayahnya Timor Timur dari Negara kesatuan republik
Indonesia, yang secara politis dan finansial banyak merugikan Negara dan bangsa kita.
Dan sebagai klimaksnya, Habibie terpaksa harus menerima untuk berhenti di tengah
jalan,akibat laporan pertanggungjawabannya di tolak dalam sidang MPR hasil pemilu
1999. Presiden terpilih selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid, yang duet dengan
‘saudarannya’, yaitu Megawati Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden. Sekalipun
demikian,era Orde Baru bukanlah salah dalam segala-galanya. Secara obyektif,patut
bangsa Indonesia mengakui,bahwa Program pemerinatah orde baru, terkadang juga
masih bisa di nikmati bagi kesejah teraan rakyat. Beberapa kebijakan pembangunan
dalam kurun pelita ke pelita, juga masih memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat. Dan akhirnya,sangat di sayangkan,kalau perjalanan Orde Baru kemudian berhenti
dengan tragis lantaran segala kebijakan lebih banyak di warnai untuk pemenuhan
kepentingan negara, pemerintah, keluarga, dan sbauh rezim. Belum lagi kecanggihannya
dalam ‘membius’ rakyat sehingga mengakibatkan rakyat senantiasa loyal karenanya.
Pengemasan perjuangan kepentingan kekuasaan pemerintah dilakukan dengan sangat
rapi sehinggga seakan merupakan perjuangan demi kepentigan rakyat.