Secara umum pelaksanaan upacara Ngaben, sebagai salah satu upacara keagamaan,
memerlukan biaya yang besar pada Dadia Pasek Gelgel Seraya di Desa Seraya Tengah.
Berdasarkan pengamatan penulis,terutama besarnya dana Ngaben yang diperlukan berkisar
antara seratus dua puluh juta rupiah. Dengan besarnya biaya upacara seperti itu,
pada sebagian besar masyarakat terdapat
anggapan bahwa untuk bisa Ngaben harus mempunyai dana ngabehin
(melebihi). Dengan pemahaman seperti itu, Ngaben menjadi “label” atau
“cap” bagi masyarakat kaya secara harta.
Dengan cap atau label seperti itu, tentunya masyarakat yang secara ekonomi
kurang mampu, tidak akan pernah bisa melakukan kewajiban Ngaben untuk para leluhurnya,
karena biaya upacara Ngaben yang dilakukan secara pribadi sangat besar. Kalaupun misaalnya,
masyarakat
bisa melakukannya tetapi harus mengorbankan dengan cara menjual harta benda yang dimiliki
nya seperti tanah warisan. Cara melakukan yadnya dengan cara seperti
itu terutama bagi masyarakat yang belum berkecukupan secara ekonomi,
dengan menjual tanah warisan hanya untuk kepentingan yadnya
(ngaben), apa lagi sampai memiskinkan masyarakat yang melakukannya sebenarnya tidak sesu
ai menurut ajaran sastra Agama Hindu yang mengajarkan ambeg parama arta dan Ahara
legawa yaitu menggunakan keuangan sesuai dengan skala prioritas dan prinsip keseedrhanaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat dipahami adanya beberapa re-
interfretasi makna dari pelaksanaan Upacara Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji,
seperti pada uraian berikut.
Dari hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan, dapat dijelaskan bahwa
masyarakat Desa Pakraman Sudaji, melalui Ngaben Massal, telah melakukan re-interfretasi
secara filosofis, menyangkut keyakinan sorga dan neraka. beberapa responden
mengatakan “kalaupun dengan upacara
besar, upacara kecil tidak akan menentukan rokh itu mencapai sorga.
Konon yang menentukan kedudukannya di akhirat nantinya adalah baik buruknya
perbuatan yang dilakukan semasih hidupnya
Pandangan seperti itu adalah sesuai pendapatnya Hadiwijono dalam Atmadja
(2001:142) dengan mengemukakan bahwa Agama Hindu tidak mengenal ritual penebusan
dosa, sebagaimana yang berlaku pada keyakinan agama tertentu. Dosa
seseorang hanya dapat ditebus dengan berbuat kebajikan, semasa hidupnya. Kalau orang s
udah mati, maka yang bersangkutan akan membawa karma pada perbuatannya di dunia
(Surya Kanta, 1925 dalam Atmadja, 2001 : 143).
Ketika doktrin
“pembebasan” atau pelepasan kepemilikan” berkembang menjadi tradisi upacara, maka keb
esaran upacara, kemudian mendapatkan “nilai” di
mata masyarakat. Semakin besar upacara maka semakin besar rasa kepemilikan yang diko
rbankan. Semakin besar rasa kepemilikan yang dikorbankan, semakin tinggi status orang
yang melakukan pengorbanan tersebut dimata masyarakat, demikianlah penilaian masyarak
at pada awalnya. Di sinilah letak mis-interpretasi masyarakat tentang konsep
“pembebasan” tersebut, sehingga diterjemahkan ke dalam ungkapan lokal yang masih hidup
di tengah masyarakat yaitu “ yen ngelah gae sing dadi demit” seperti disebutkan di atas.
Dalam konteks pemikiran seperti itu menurut Wiana (2002 :171) diperlukan
adanya suatu reformasi pemikiran dan tindakan. Di sini,
konsep reformasi Hindu dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan upacara yajña
pada umumnya termasuk Upacara Ngaben.
Konsep reformasi Hindu itu adalah Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya harus selalu
dapat mengembangkan cara-
cara berupacara yajña yang baik dan benar sesuai dengan sastra agama Hindu agar dapat
mengikuti perkembangan zaman. Stithi artinya harus selalu konsisten memelihara nilai-
nilai yang paling substantif dari upacara yajña tersebut. Hal-
hal yang masih sesuai dengan perkembangan zaman harus dipertahankan dengan baik. Se
dangkan Pralina artinya tradisi-
tradisi yang sudah usang, apalagi bertentangan dengan sastra agama Hindu haruslah denga
n besar hati ditinggalkan.
Terjadinya perubahan terhadap pola pikir masyarakat seperti itu, sangat beralasan,
karena saat ini, masyarakat mempunyai akses yang luas kepusat-
pusat pertumbuhan yang disebabkan oleh semakin lancarnya sarana
perhubungan dan komunikasi dengan lingkungan luar yang berakibat pada semakin
intensifnya kontak-kontak dengan unsur-unsur modernisasi. Perubahan pemikiran seperti itu,
didukung pula semakin
meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, dan juga semakin meluasnya institusi sosial-
keagamaan yang telah melakukan misi pencerahan agama
kepada masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Desa Pakraman.
“Cara janine, ede suba iraga lek ngae upacara ane cenik, yan
jani iraga ngae upacara ngaben, mituutin anak sugih ulihan maksaang dewek,
peragatne iraga masih lakar ngerasaang baatne. Paling melah suba jani bareng-
bareng ngemiluin ngaben massal, medasar baan keeningan keneh. .
( Jaman seperti sekarang, jangan kita merasa gengsi
untuk melakukan upacara secara sederhana. Jika sekarang,
kita mengikuti seperti orang kaya, dengan cara memaksakan diri,
toh juga akibatnya yang berat kita rasakan sendiri,sekarang lebih baik
pakai kemampuan kita sendiri berdasarkan pada ketulus ikhlasan dengan cara iku
t Ngaben massal).
Dari pandangan di atas, ada rei-nterpretasi bahwa praktik ritual Ngaben Massal
yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, dalam tatanan sebuah diskursus,
telah mendekonstruksi tradisi upacara secara besar-besaran yang terasa sangat hegemonik.
Hal ini juga dapat dimaknai adanya kebangkitan
kesadaran masyarakat untuk melakukan suatu perubahan dalam memaknai
upacara Ngaben dengan lebih mendekatkannya kepada sastra agama. Sehingga
masyarakat tidak lagi memaknai Ngaben sebagai ngabehin dari segi biaya yang diperlukan.
Ngaben Massal, yang telah diterima oleh sebagian besar kelompok masyarakat di
Desa Pakraman Sudaji, berdasarkan teori dekonstruksi sebagaimana
dikemukakan oleh Derrida, dalam Piliang (2003: 126) adalah bentuk penyangkalan akan
oposisi biner antara ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar,
moral/amoral dan penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri.
Dalam relasi oposisi biner tersebut, istilah-istilah yang pertama dianggap lebih
superior dibanding yang kedua. Demikian pula dalam cara berupacara Ngaben di
Desa Pakraman Sudaji, dengan lebih menempatkan tradisi upacara secara besar-
besaran sebagai yang lebih superior, lebih bermoral/bermartabat bagi
yang melaksanakannya. Sedangkan istilah kedua yaitu tradisi upacara yang kecil
hanya nampak sebagai sesuatu yang nista
dalam pengertian kurang bermoral atau kurang berbakti kepada para leluhur,
padahal rasa hormat dan bhakti itu tidak bisa ditetapkan dengan besar kecilnya suatu up
acara dalam Ngaben. Dalam praktek seperti itu menurut
Derrida, disebut sebagai logosentrisme
(logocentrism) yang telah menjadi tradisi dalam filsafat
Barat dan menjadi penolakan Derrida. Berdasarkan teori Dekonstruksi,
istilah logosentrisme digunakan Derrida untuk menerangkan asumsi adanya hak
istimewa yang disandang oleh istilah pertama (speech) dan pelecehan istilah kedua
(writing), yang dianggap tak lebih dari bentuk yang sudah tercemar,
yang ada diluar kawasan kebenaran (speech).
Melalui penerimaan masyarakat terhadap Ngaben Massal di
Desa Pakraman Sudaji, merupakan suatu bentuk penolakan terhadap oposisi biner seperti
dipikirkan Derrida, karena di
sini masyarakat tidak lagi melihat secara logosenrisme daripada cara upacara dengan trad
isi secara besar-besaran tersebut. Di sini ada yang lain
(the others) yaitu Upacara Ngaben yang dapat dilakukan secara kolektiv dengan biaya ya
ng lebih hemat.
Berdasarkan pernyataan informan tersebut, makna Ngaben massal dapat diberikan reinterpretasi
sebagai media untuk mewujudkan solidaritas sosial. Hal ini, dapat dipahami,
karena menurut Teori Interaksi Sosial seperti dikemukakan oleh Gillin and Gillin, (dalam
Soerjono Soekanto, 1981 : 55) pada tingkat interaksi sosial pada proses-
proses sosial yang merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis,
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan (baca:
sebagai anggota keluarga yang terlibat dalam Ngaben massal), antara kelompok-
kelompok yang melibatkan berbagai soroh
(clan), maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
Dengan mengacu pada keadaan seperti itu, Kimball Young (dalam Soerjono Soekanto,1981 :
68) menyebutnya dengan akomodasi
(accommodation) yang dipergunakannya dalam dua arti yaitu
sebagai suatu proses dan sebagai suatu keadaan.
Akomodasi sebagai suatu proses adalah menunjuk pada usaha manusia untuk meredakan s
uatu pertentangan, atau usaha untuk mencapai kestabilan, yang dalam hal ini dilakukan
dengan saling menumbuhkan saling pengertian bersama (compromise).
Menurut Gillin and Gillin (Soerjono Soekanto,
1981:65), mengemukakan bahwa kerjasama sebagai salah satu bentuk proses-
proses sosial yang asosiatif akan dapat berkembang apabila orang dapat digerakkan untuk
mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di
kemudian hari mempunyai manfaat bagi semuanya.
Adanya unsur kerekatan sosial di dalam keluarga, secara nyata nampak dari adanya
etika dalam ritual pemerasan sebagai bagian dari Upacara Ngaben. Etika pamerasan yang
secara sosial dapat bermakna untuk menjalin dan meningkatkan suatu persaudaraan di
dalam sebuah keluarga besar. Pemerasan ini disampaikan oleh
pihak keluarga yang melakukan Upacara Ngaben kepada para cucu-cucu atau
cicit pada keluarga kesamping. Penerima pamerasan akan tergelitik
hatinya, bahwa ia mempunyai tugas moril untuk memberikan salam terakhir dengan pelba
gai cara kepada mendiang, pada saat pembakaran jenazah dari mendiang yang dibuatkan
upacara. Disinilah nampak makna dari Upacara Ngaben melalui etika pemerasan
sebagai yang dapat mengukuhkan solidaritas keluarga.
Hal
penting yang dapat ditumbuhkan dalam pelaksanaan Upacara Ngaben Massal, sebagai me
dia pendidikan, adalah munculnya kesadaran masyarakat akan nilai-
nilai yang bersifat esensial dari suatu upacara yajña seperti Upacara Ngaben itu sendiri.
Sehingga nilai esensi dari suatu upacara yajña
(Ngaben) tidak lagi terkubur oleh rutinitas suatu tradisi, yang tidak lebih dari suatu kewa
jiban tradisional semata yang dapat menimbulkan kesan bahwa upacara yajña seperti haln
ya Ngaben dengan tradisi hegemonik hanyalah beban tradisi yang lepas
dari hakikat dan makna suatu yajña.
masih sedikit dengan jumlah lahan yang masih sangat luas sehingga masyarakat tidak ke
sulitan untuk melakukan upacara secara besar. Berbeda keadaannya seperti sekarang dim
ana jumlah penduduk sudah sangat padat, dan juga semakin didesak oleh kebutuhan-
kebutuhan sosial ekonomi yang lainnya. Sehingga di sini masyarakat perlu melakukan
perubahan tradisi menyangkut dari cara penyelenggaraan
upacara kearah yang lebih ekonomis tanpa ada maksud untuk mengurangi makna
upacara tersebut.
3.1 Kesimpulan.