Anda di halaman 1dari 71

i

CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI


INPUT BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.) DI LAHAN GAMBUT

GANI CAHYO HANDOYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Cadangan Karbon dan
Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan Gambut adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Gani Cahyo Handoyo


NIM A252110141

_________________________
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
RINGKASAN

GANI CAHYO HANDOYO. Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari
Input Budidaya pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan
Gambut. Dibimbing oleh HERDHATA AGUSTA dan ARMANSYAH H.
TAMBUNAN.

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia.


perluasan lahan yang masif di Indonesia terjadi dari tahun 1986 dari 119 ribu ha
menjadi 11 juta ha pada tahun 2015, dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan
gambut. Ekosistem gambut merupakan sumber cadangan karbon tertinggi. Lahan
gambut di Indonesia sekitar 21 juta hektar dan menyimpan cadangan karbon 37 giga
ton, sehingga dalam melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian
yang lebih serius agar kehilangan karbon dapat ditekan. Alih guna lahan menjadi
perkebunan kelapa sawit menyebabkan adanya perubahan nilai cadangan karbon,
sedangkan input dalam budidaya menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Pengukuran cadangan karbon dan emisi GRK dari input budidaya di sebuah
perkebunan kelapa sawit menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan
karbon dan emisi yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik
budidaya guna mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang sudah
ada serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi cadangan karbon di lahan gambut perkebunan
kelapa sawit milik perusahaan swasta dan perusahaan, serta emisi karbon yang
dihasilkan dari input budidaya yang dilakukan. Penelitian ini dilaksanakan di Desa
Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan
dari Bulan September 2013 sampai dengan Maret 2014 Pengukuran cadangan karbon
menggunakan rancangan tersarang empat ulangan dengan metode transek yang
mengacu pada SNI 7024:2011 tentang metode penghitungan cadangan karbon.
Penghitungan emisi dilakukan menggunakan MILCA-JEMAI. Analisis statistik
menggunakan uji-T.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan cadangan karbon
perkebunan kelapa sawit lahan gambut hingga kedalaman gambut 150 cm milik
-1
perusahaan yaitu 1 276 ± 187 ton C ha dibandingkan milik masyarakat yaitu 1 216
-1
± 28 ton C ha . Nilai cadangan karbon atas permukaan kebun perusahaan adalah
-1
37.7 ± 11.8 ton C ha , sedangkan pada kebun masyarakat adalah 61.1 ± 36.5 ton C
-1
ha . Tingginya nilai cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut
masyarakat disebabkan oleh tingginya sumber cadangan karbon dari kayu mati yaitu
-1
41.1 ± 39.2 ton C ha . Cadangan karbon atas permukaan tanpa kayu mati pada kebun
-1
perusahaan adalah 23.2 ± 2.1 ton C ha , sedangkan pada perkebunan kelapa sawit
-1
rakyat adalah 20.1 ± 4.2 ton C ha . Deviasi yang lebih tinggi pada cadangan karbon
permukaan kebun kelapa sawit masyarakat menandakan rentang data yang luas, hal
ini disebabkan oleh perbedaan pemeliharaan kebun antar kebun kelapa sawit
masyarakat. Nilai cadangan karbon biomasa bawah permukaan dan gambut
-1 -1
perkebunan kelapa sawit perusahaan 8.9 ± 1.7 ton C ha dan 1 229 ± 187 ton C ha ,
-1
sedangkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat 6.8 ± 1.1 ton C ha dan 1 148
-1
± 29 ton C ha . Sekuestrasi karbon tanaman kelapa sawit lahan gambut perusahaan
-1 -1
umur 12 tahun adalah 7.28 ± 0.12 ton C ha tahun , dimana tajuk dan akar kelapa
-1 -1
sawit menyumbang 1.52 ± 0.1 ton C ha tahun , TBS menyumbang 3.14 ton C
-1 -1 -
ha tahun dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.61 ton C ha
1 -1
tahun . Sekuestrasi karbon tanaman kelapa sawit lahan gambut masyarakat umur
-1 -1
12 tahun adalah 7.15 ± 0.09 ton C ha tahun , dimana tajuk dan akar kelapa sawit
-1 -1 -1 -
menyumbang 1.45 ± 0.1 ton C ha tahun , TBS menyumbang 3.17 ton C ha tahun
1 -1
dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.53 ± 0.07 ton C ha
-1
tahun . Estimasi cadangan karbon total kebun perusahaan hingga kedalaman gambut
-1
437.5 ± 75 cm adalah 4 113 ± 697 ton C ha , sedangkan pada
kebun masyarakat dengan kedalaman gambut 425.0 ± 29 cm adalah 3 416 ± 227
-1
ton C ha .
Emisi CO2-eq dari input budidaya perkebunan kelapa sawit perusahaan
-1 -1
berdasarkan data tahun 2012 (922 kg CO 2-eq ha tahun ) lebih tinggi 52.4%
dibandingkan pada perkebunan kelapa sawit masyarakat (604.8 ± 238.5 kg CO 2-eq
-1 -1
ha tahun ). Emisi dari penambahan pupuk merupakan emisi tertinggi baik pada
-1 -1
perkebunan kelapa sawit perusahaan yaitu 584 kg CO 2-eq ha tahun dan
-1 -1
perkebunan kelapa sawit masyarakat yaitu 584 ± 245.27 kg CO 2-eq ha tahun .
Emisi dari penggunaan pestisida pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah
-1 -1
19.50 kg CO2-eq ha tahun dan perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 13.78
-1 -1
± 13.72 kg CO2-eq ha tahun . Emisi dari penggunaan bahan bakar pada
-1 -1
perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 319 kg CO 2-eq ha tahun dan
-1 -1
perkebunan kelapa sawit masyarakat adalah 6.92 ± 2.56 kg CO2-eq ha tahun .
Kata kunci: kelapa sawit, gambut, cadangan karbon, emisi karbon, MILCA, LCA
SUMMARY
GANI CAHYO HANDOYO. Carbon Stock and Greenhouse Gas Emission from
Cultivation Input on Peatland Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Plantation.
Supervised by HERDHATA AGUSTA and ARMANSYAH H. TAMBUNAN.

Oil palm contributes largest edible oil producer in the world. the massive
expansion of oil palm plantation in Indonesia from year 1986 was 119 thousand
hectares to 11 million ha in 2015, where 1.71 million hectares planted in peatland.
Peat ecosystem is a source of carbon reserves. From 21 million hectares of peat
land in Indonesia store carbon reserves 37 giga ton, so that cultivation in peatland
requires serious attention to prevent carbon losses. Oil palm plantation on peatland
by smallholders or company influences ecological issues, two of them are carbon
stock and emissions status. Measurement of carbon stocks and emissions in oil
palm plantation became very important to know the value of carbon stocks and
emissions generated, so that improvement of cultivation techniques in order to
maintain and improve the existing carbon stocks and reduce greenhouse gas
emissions generated can be done.
The objective of this study were to determine the carbon stocks in company
and smallholders peatland oil palm plantations, as well as carbon emissions
resulting from the cultivation input. This research was conducted in Bilah Village,
Labuhanbatu District, North Sumatra Province. The first observation was the
identification of carbon stocks in company and smallholders peatland oil palm
plantations. The second research stage was CO2-eq emission calculation on the
input process in the cultivation of company and smallholders oil palm plantations.
Carbon stocks calculation were prepared using transect method referring to ISO
7024: 2011 concerning the method of calculating carbon stocks, nested design
with four replications. Calculation of emissions is done using MILCA-JEMAI.
Statistical analysis using t-test.
Results of the study showed that no difference on carbon stocks value in the
peatland oil palm plantation until 150 cm peat depth owned by company was 1 276
-1 -1
± 187 ton C ha compared to smallholders plantation was 1 216 ± 28 ton C ha . The
value of aboveground carbon stocks on the company oil palm plantation was 37.7 ±
-1
11.8 ton C ha , while at the smallholders oil palm plantation was 61.1 ± 36.5 ton C
-1
ha . High value in aboveground carbon stock in smallholders plantation because high
-1
contribution of dead wood (41.1 ± 39.2 ton C ha ). Aboveground carbon stock
-1
without dead wood in company palm oil plantation was 23.2 ± 2.1 ton C ha , while
-1
in smallholders plantation was 20.1 ± 4.2 ton C ha . However higher aboveground
carbon stock in smallholders plantation followed by high deviation values that means
high data range in aboveground carbon stock, because of different maintenance in
smallholders plantation. Belowground carbon stock value from biomass and peat in
-1 -1
company plantation was 8.9 ± 1.7 ton C ha and 1 229 ± 187 ton C ha , while
-1 -1
smallholders plantation was 6.8 ± 1.1 ton C ha and 1 148 ± 29 ton C ha . Peatland
oil palm 12-years-old carbon sequestration owned by company was 7.28 ± 0.12 ton C
-1 -1
ha year , where shoot and root oil palm was contribute 1.52
-1 -1 -1 -1
± 0.1 ton C ha year , FFB was contribute 3.14 ton C ha year , and frond from
-1 -1
pruning was contribute 2.61 ton C ha year . While, peatland oil palm 12-years-old
-1 -1
carbon sequestration owned by smallholders was 7.15 ± 0.09 ton C ha year ,
-1 -1
where shoot and root oil palm was contribute 1.45 ± 0.1 ton C ha year , FFB was
-1 -1
contribute 3.17 ton C ha year , and frond from pruning was contribute 2.53 ± 0.07
-1 -1
ton C ha year . Estimated total carbon stock value of company oil palm pantation
-1
until 437.5 ± 75 cm peat depth was 4 113 ± 697 ton C ha and smallholders oil palm
-1
plantation until 425.0 ± 29 cm peat depth was 3 418 ± 227 ton C ha .
CO2 emissions equivalent from cultivation input of company peatland oil
-1 -1
palm plantation based on data in 2012 (922 kg CO2-eq ha year ) was 52.4%
higher than smallholders peatland oil palm plantations (604.8 ± 238.5 kg CO 2-eq
-1 -1
ha year ). Emissions from anorganic fertilizer addition was highest emissions in
-1 -1
company oil palm plantation (584 kg CO2-eq ha year ) and smallholders oil
-1 -1
palm plantation (584 ± 245.27 kg CO2-eq ha year ). Emissions from the use of
-1 -1
pesticides in company oil palm plantation was 19.50 kg CO2-eq ha year and
-1 -1
smallholders oil palm plantation was 13.78 ± 13.72 kg CO 2 -eq ha year .
Emissions from fuel use in the company oil palm plantation was 319 kg CO2-eq
-1 -1 -1
ha year and smallholders oil palm plantations was 6.92 ± 2.56 kg CO 2-eq ha
-1
year .
Keywords: carbon stock, carbon emission, oil palm, MILCA, LCA
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ii

CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA


DARI INPUT BUDIDAYA PADA PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DI LAHAN GAMBUT

GANI CAHYO HANDOYO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
vi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Suwarto, MSi


vii

Judul Tesis : Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya
pada Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan
Gambut
Nama : Gani Cahyo Handoyo
NIM : A252110141

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Herdhata Agusta Prof Dr Ir Armansyah H. Tambunan, M. Agr


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 5 Februari 2016 Tanggal Lulus:


ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2013-Maret 2014 ini
adalah Cadangan Karbon dan Emisi Gas Rumah Kaca dari Input Budidaya pada
Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Lahan Gambut. Bagian tesis ini
diajukan untuk diterbitkan di Jurnal Agronomi Indonesia dengan judul Estimasi
Cadangan Karbon Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut: Studi Kasus Di Desa
Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr Ir Herdhata Agusta dan Prof Dr Ir Armansyah H. Tambunan, MAgr, selaku
komisi pembimbing atas segala kesabarannya memberikan bimbingan, dan
saran selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.
2. Direktorat Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Republik Indonesia, yang telah mendanai kuliah penulis melalui program
Beasiswa Unggulan Dikti-Diktendik.
3. Dr Ir Suwarto MSi selaku dosen penguji luar komisi.
4. Dr Ir Maya Melati, MS, MSc selaku Ketua Program Studi AGH.
5. Bapak, ibu, kakak, adik, keluarga besar Upoyo serta Riana Murti H atas segala
doa, dukungan dan kasih sayangnya yang tulus.
6. SBRC IPB atas bantuan perijinan dan materiil sehingga penelitian dapat
berjalan dengan lancar.
7. PT Daya Labuhan Indah (Wilmar Group) atas segala kemudahan dan fasilitas
yang diberikan selama penelitian.
8. Petani kelapa sawit desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu.
9. Dr Ir Dwi Guntoro, Ir Megayani Sri Rahayu MS atas segala dukungan moril
dan materiil selama studi.
10. Bapak, Ibu dosen pengajar IPB yang telah memberikan banyak ilmu selama
penulis menempuh pendidikan di program S2.
11. Sahabat-sahabatku, rekan-rekan pascasarjana AGH 2011, rekan-rekan
seperjuangan Lab Pindah Panas dan Massa, rekan-rekan Lab Mikologi dan
semua pihak yang selalu memberikan semangat dan doa serta bantuannya,
sehingga penelitian dan tulisan ini terselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

Gani Cahyo H
xi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii


DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Hipotesis 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Ekologi Kelapa Sawit 5
2.2 Emisi Gas Rumah Kaca 5
2.3 Karbon Dioksida 5
2.4 Metana 6
2.5 Dinitrogen Oksida 8
2.6 Serapan Karbon Kelapa Sawit 8
3 METODE 9
3.1 Waktu dan Tempat 9
3.2 Bahan dan Alat 9
3.3 Prosedur Analisis Data 10
3.4 Pelaksanaan Percobaan 10
4 HASIL 15
4.1 Kondisi umum 15
4.2 Kondisi Pemeliharaan Kebun 16
4.3 Kandungan Karbon dan Bobot Isi Gambut 19
4.4 Kandungan Karbon Biomasa 20
4.5 Biomasa Permukaan 21
4.6 Biomasa Bawah Permukaan 22
4.7 Cadangan Karbon Permukaan 23
4.8 Cadangan Karbon Bawah Permukaan 24
4.9 Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit 26
4.10 Cadangan Karbon Total 27
4.11 Emisi Input Budidaya 27
5 PEMBAHASAN 30
5.1 Biomasa dan Cadangan Karbon Permukaan 30
5.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Biomasa Bawah Permukaan 32
5.3 Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit 33
xii
5.4 Cadangan Karbon Gambut 34

5.5 Cadangan Karbon Total 34


5.6 Emisi dari Input Budidaya 35
5.7 Batasan 36
6 SIMPULAN DAN SARAN 36
6.1 Simpulan 36
6.2 Saran 37
DAFTAR PUSTAKA 38
LAMPIRAN 45
RIWAYAT HIDUP 51
xiii
DAFTAR TABEL

1 Koordinat pengambilan contoh 9


2 Kondisi umum perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten
Labuhanbatu 15
3 Bobot isi dan kandungan karbon organik gambut pada kedalaman 0-150
cm 20
4 Kandungan karbon organik pada sumber karbon biomasa 21
5 Biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu 21
6 Biomasa bawah permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa
Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 22
7 Cadangan karbon gambut di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 25
8 Sekuestrasi C pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu 26
9 Emisi CO2-eq hasil input proses budidaya per hektar berdasarkan potensi
pemanasan global 100 tahun (IPCC 1995) 28
10 Emisi gas rumah kaca berdasarkan jenis gas dari penambahan input dalam
proses budidaya 29
11 Emisi berdasarkan jenis input budidaya 30
12 Diameter batang dan tinggi tanaman kelapa sawit di perkebunan kelapa
sawit lahan gambut Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 31

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir kegiatan penelitian 4
2 Sumber cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit 10
3 Diagram dasar yang digunakan pada penghitungan emisi dari input
budidaya di perkebunan kelapa sawit 14
4 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat di area penelitian 18
5 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut perusahaan di area penelitian 18
6 Tanda panah pada pelepah kelapa sawit yang patah akibat serangan
Oryctes rhinoceros 19
7 Cadangan karbon biomasa permukaan pada berbagai sumber karbon
perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 23
8 Cadangan karbon biomasa bawah permukaan pada perkebunan kelapa
sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu 24
9 Cadangan karbon bawah permukaan gambut hingga kedalaman 150 cm dan
cadangan karbon bawah permukaan hingga kedalaman 437.5 ± 75 cm
pada perkebunan kelapa sawit perusahaan, kedalaman 425.0 ± 29 cm
pada perkebunan kelapa sawit masyarakat di desa Bilah, Kabupaten
Labuhanbatu 25
10 Cadangan karbon total hingga kedalaman 150 cm dan estimasi cadangan
karbon total pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut di Desa Bilah,
Labuhan Batu 27
xiv

DAFTAR LAMPIRAN
1 Karakteristik kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu 47
2 Input dalam budidaya tanaman kelapa sawit 48
3 Konversi dan kandungan C-organik dalam beberapa sumber sekuestrasi
hasil panen tandan buah segar (TBS) tanaman kelapa sawit 49
4 Daftar istilah 50
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanasan global dan perubahan iklim menjadi masalah utama lingkungan,


sosial dan ekonomi dunia hingga saat ini. Suhu global telah meningkat sebesar 0.3-
0.6 °C selama 100 tahun terakhir dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut 1-
3.5 °C hingga 2100, disertai dengan perubahan curah hujan, pola badai, dan
frekuensi kekeringan yang semakin sering (Santer et al. 1996; Kattenberg et al.
1996). Pemanasan global telah dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca (GRK) antara lain CO 2, N2O, CH4, CFC, SF6, HFC, PFC di atmosfer, dapat
menyebabkan dampak negatif terhadap ekosistem, peningkatan intensitas dan
frekuensi gelombang panas, serta kegagalan panen dan kelangkaan air. Pertanian
menyumbang 14% emisi GRK dunia, berdasarkan jenis GRK dunia pertanian
menyumbang 10-12% CO2, 60% N2O dan 50% CH4 pada tahun 2005 (Smith et al.
2007). Hingga tahun 2013, konsentrasi CO2 di atmosfir mencapai 400 ppm,
peningkatan ini terjadi dari tahun 1950, setelah sebelumnya selama 400 000 tahun
tidak pernah melebihi 300 ppm (NASA 2015)
Ekspansi perkebunan kelapa sawit mendorong adanya peningkatan
pembukaan hutan dan konversi lahan, khususnya di Indonesia. Limabelas juta
hektar ditanami sawit diseluruh dunia dan terus bertambah (Koh dan Ghazoul 2008;
Koh dan Wilcove 2008; FAO 2009). Lahan yang ditanami kelapa sawit di Indonesia
hingga tahun 2015 mencapai 11 juta hektar dengan kecepatan ekspansi mencapai
-1
400 000 ha tahun (Ditjenbun 2012; Ditjenbun 2014), dimana 1.71 juta hektar
ditanam di lahan gambut (Gunarso et al. 2013). Ekosistem gambut merupakan
sumber cadangan karbon dan penyerap karbon tertinggi, dari 21 juta hektar lahan
gambut di Indonesia menyimpan cadangan karbon 37 giga ton, sehingga dalam
melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian yang lebih serius
agar kehilangan karbon dapat ditekan. Konversi lahan dan penggunaan lahan untuk
budidaya kelapa sawit tentu saja merubah cadangan karbon dan menghasilkan emisi
dalam budidaya akibat penggunaan pupuk, pestisida maupun peralatan budidaya
dan transportasi. Menurut van Noordwijk et al. (2010) emisi yang dihasilkan oleh
-1 -1
kebun milik swasta di tanah mineral mencapai 25.31 ton CO2 ha tahun ,
-1 -1
sedangkan emisi kebun milik masyarakat 18.81 ton CO2 ha tahun atau 25% lebih
rendah dibandingkan kebun milik perusahaan swasta.
Cadangan karbon merupakan jumlah karbon (C) yang terkandung dalam
sumber karbon (carbon pool). Cadangan karbon dari perkebunan sawit merupakan
jumlah keseluruhan karbon dari C yang terkandung dari biomassa tanaman sawit,
tumbuhan yang hidup dibawah tegakan sawit, nekromassa (bagian batang/pelepah daun
kelapa sawit dan batang pohon lain yang mati), serasah (bahan organik yang ada di
permukaan tanah selain nekromassa), dan bahan organik yang terkandung di dalam
tanah. Alih guna lahan dari hutan menjadi kebun sawit menyebabkan perubahan
-1
cadangan karbon. Cadangan karbon pada hutan primer 230-264 t C ha (Samsoedin et
al. 2009), sedangkan estimasi rata-rata cadangan karbon diatas permukaan pertahun di
perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut selama 25 tahun berdasarkan penelitian
-1
van Noordwijk et al. (2010) di Sumatera adalah 36.9-40.5 ton C ha , dengan
-1
sekuestrasi tahunan pada perkebunan inti mencapai 1.64 ton C ha
2

-1
tahun sedangkan pada perkebunan plasma milik masyarakat mencapai 2.54 ton C
-1 -1
ha tahun . Lebih lanjut dalam penelitian Khasanah et al. (2015), estimasi
cadangan karbon rata-rata selama 25 tahun pada perkebunan kelapa sawit
-1
perusahaan swasta di lahan mineral adalah 42.07 ton C ha , pada perkebunan
-1
kelapa sawit perusahaan di lahan gambut 40.03 ton C ha , pada perkebunan kelapa
-1
sawit masyarakat (plasma) di lahan mineral 37.76 ton C ha . Cadangan karbon ini
tidak merepresentasikan secara umum gambaran cadangan karbon yang ada pada
perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia, karena tergantung pada jenis tanah
dan manajemen perkebunan ( Perkebunan inti/perusahaan swasta, plasma, dan
swadaya). Meskipun secara umum terjadi penurunan cadangan karbon diatas
permukaan, namun net fotosintesis masih tinggi dibandingkan hutan tropis.
Menurut Henson (1999) dalam Malaysian Palm Oil Board, net fotosintesis
-1 -1
perkebunan kelapa sawit mencapai 64.5 t CO2 ha tahun sedangkan pada hutan
-1 -1
hujan tropis 42.4 t CO2 ha tahun . Lebih lanjut dalam penelitian Hadiwijaya dan
Caliman (2012) yang dilakukan di sebuah perkebunan kelapa sawit di propinsi Riau
menggunakan NEE (Net Ecosystem Exchange), asimilasi bersih mencapai 10 g C
-2 -1 -1 -1
m hari atau setara 142.94 ton CO2 ha tahun .
Pengelolaan kebun kelapa sawit pada tahun 2010 oleh pihak perusahaan swasta
sebesar 52.1%, masyarakat 40.4% dalam bentuk plasma dan swadaya, dan 7.5% oleh
perusahaan Negara (Ditjenbun 2012). Hingga tahun 2015, peningkatan perluasan lahan
kebun kelapa sawit terbesar oleh pihak perusahaan swasta dan masyarakat yaitu
masing-masing mengalami peningkatan 1 juta hektar, sedangkan perusahaan negara
hanya mengalami peningkatan 100 000 hektar. Hal ini mendorong perlunya informasi
cadangan karbon dan emisi akibat budidaya kelapa sawit pada perusahaan swasta dan
masyarakat. Perkebunan perusahaan swasta mengacu pada perkebunan yang dikelola
oleh perusahaan besar dimana pengelolaannya dilakukan secara profesional, memiliki
modal besar, memiliki manajemen budidaya yang baik. Perkebunan plasma merupakan
merupakan perkebunan di sekeliling kebun inti milik perusahaan yang dikelola oleh
perusahaan pada saat awal penanamannya, biasanya 4-5 tahun hingga tanaman
menghasilkan (TM1), kemudian petani plasma wajib memberikan 25% dari hasil panen
kepada perusahaan untuk membayar cicilan pinjaman modal selama pembukaan lahan
hingga tanaman menghasilkan. Perkebunan rakyat swadaya mengacu pada perkebunan
yang dimiliki dan dikelola sendiri oleh masyarakat dengan modal sendiri (Khasanah et
al. 2015).
Pengukuran cadangan karbon dan emisi di sebuah perkebunan kelapa sawit
menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan karbon dan emisi yang
dihasilkan dari input budidayanya, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik
budidaya guna mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang
sudah ada serta menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, sehingga
paradigma perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dapat diwujudkan di masa
depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian pengukuran cadangan karbon
agroekosistem kelapa sawit di lahan gambut dan penghitungan emisi dari input
budidaya hingga menghasilkan tandan buah segar (TBS). Data tersebut dapat
menjadi acuan emisi yang dihasilkan dari proses budidaya di perkebunan jika TBS
yang dihasilkan digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
3

1.2 Perumusan Masalah

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak terbesar di dunia,


perluasan lahan yang masif dari tahun 1986 dari 119 ribu ha menjadi 11 juta ha
pada tahun 2015, dimana 1.71 juta hektar ditanam di lahan gambut. Ekosistem
gambut merupakan sumber cadangan karbon dan penyerap karbon tertinggi dimana
dari 21 juta hektar di Indonesia menyimpan cadangan karbon 37 juta ton, sehingga
dalam melakukan budidaya di lahan gambut ini memerlukan perhatian yang lebih
serius agar kehilangan karbon dapat ditekan. Alih guna lahan ini menyebabkan
adanya perubahan nilai cadangan karbon dan emisi yang disebabkan oleh proses
budidaya. Pengukuran cadangan karbon dan emisi di sebuah perkebunan kelapa
sawit menjadi sangat penting untuk mengetahui nilai cadangan karbon dan emisi
yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya guna
mempertahankan maupun meningkatkan cadangan karbon yang sudah ada serta
menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, sehingga paradigma
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dapat diwujudkan di masa depan. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan kajian pengukuran cadangan karbon agroekosistem
kelapa sawit di lahan gambut dan penghitungan emisi dari input budidaya hingga
menghasilkan tandan buah segar (TBS).

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan


cadangan karbon dan emisi gas rumah kaca dari input budidaya pada perkebunan
kelapa sawit lahan gambut sebagai salah satu bahan baku bioenergi.

1.4 Hipotesis

Terdapat perbedaan cadangan karbon dan emisi dari input budidaya antara
perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan dibandingkan pada perkebunan
rakyat. Cadangan karbon pada perkebunan kelapa sawit perusahaan lebih tinggi
dibandingkan perkebunan kelapa sawit rakyat, sedangkan emisi input budidaya
pada perkebunan kelapa sawit perusahaan 25% lebih tinggi dibandingkan
perkebunan rakyat.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan informasi


mengenai berapa cadangan karbon lahan gambut yang telah dikonversi menjadi
agroekosistem kelapa sawit dan emisi dari input budidaya. Selain itu data yang
diperoleh dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan dan pengembangan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang berwawasan lingkungan di masa
depan.
4

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama yang dilaksanakan mulai
bulan September sampai November 2013. Bagian ke dua dilaksanakan pada bulan
Januari 2014 sampai Maret 2014. Lingkup percobaan terdapat pada Gambar 1.1

Penghitungan cadangan karbon di Penghitungan emisi CO2-eq dari


perkebunan kelapa sawit lahan input budidaya di perkebunan
gambut perusahaan dan masyarakat. kelapa sawit lahan gambut
perusahaan dan masyarakat

Emisi pada proses budidaya


1. Cadangan karbon di atas permukaan termasuk pupuk, pestisida,
yang berasal dari tumbuhan bawah, herbisida dan bahan bakar untuk
tajuk kelapa sawit, serasah, kayu mati, transportasi. Input dat pada
nekromasa. software MILCA versi 1.1.6
dengan database IDEA 1.2.6
2. Cadangan karbon di bawah permukaan
yang berasal dari akar tumbuhan bawah,
akar dan pangkal batang kelapa sawit,
serta gambut hingga kedalaman 150 cm .

Kondisi cadangan karbon dan emisi karbon di


perkebunan kelapa sawit lahan gambut
perusahaan dan masyarakat

Gambar 1. 1 Bagan alir kegiatan penelitian


5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekologi Kelapa Sawit

Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh
o o
di daerah antara 12 Lintang Utara 12 Lintang Selatan. Curah hujan optimal yang
dikehendaki antara 2 000-2 500 mm per tahun dengan pembagian yang merata
sepanjang tahun. Penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam per hari dan
o
suhu optimum berkisar 24-38 C. Elevasi yang optimum berkisar 0-500 m diatas
permukaan laut (Lubis 1992).
Evapotranspirasi pada tanaman kelapa sawit lahan mineral di Jambi dengan
menggunakan pengukuran berdasarkan eddy covariance pada tanaman kelapa sawit
-1
umur 2 tahun adalah 2.8 mm hari , sedangkan pada umur kelapa sawit 12 tahun di
-1
PTPN adalah 4.7 mm hari . Pengukuran penggunaan air oleh tanaman kelapa sawit
menggunakan metode sap flux didapatkan bahwa tingkat penggunaan air per daun
dan per tanaman meningkat lima kali lipat dari umur 2 tahun hingga 10 tahun,
kemudian konstan. Tren yang sama ditunjukkan pada transpirasi tanaman kelapa
-1 -1
sawit, dari 0.2 mm hari tanaman pada tanaman kelapa sawit umur 2 tahun,
-1 -1
kemudian konstan 1.6 ± 0.4 mm hari tanaman mulai umur 6 tahun hingga 25
tahun. Transpirasi pada tanaman kelapa sawit umur 2 tahun menyumbang 8%
evapotranspirasi, sedangkan pada umur 6 hingga 25 tahun menyumbang 53% dari
total evapotranspirasi (Röll et al. 2015).

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca

Penggunaan bahan bakar secara tidak disadari memiliki dampak negatif yaitu
dapat menimbulkan polusi yang mengarah ke pemanasan global. Pemanasan global
diakibatkan oleh terganggunya komposisi gas udara terutama karbondioksida
(CO2), metan (CH4), dinitro-oksida (N2O), sulfur heksaflorida (SF6),
perflorokarbon (PFCS) dan hidroflorokarbon (HFCs).
Selain dari transportasi dan penerangan, bidang pertanian juga penyumbang
emisi GRK. Irmansyah (2004) menyatakan bahwa sektor pertanian merupakan
penyumbang emisi gas metan (CH4) terbesar yang dihasilkan dari lahan padi,
peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana. Selain CH4, bidang
pertanian juga menyumbang emisi CO2. Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O)
juga merupakan emisi gas yang dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat
aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih.

2.3 Karbon Dioksida

Peningkatan konsentrasi CO2 atmosfer dianggap sebagai penyebab utama


adanya pemanasan global. Karbon dioksida adalah suatu senyawa tak berwarna, tak
berbau dan tak mudah terbakar. Karbon dioksida diemisikan ke udara melalui nafas
manusia, pembakaran bahan bakar fosil sebagai energi dan kegiatan pembukaan
lahan melalui pembakaran.
6

Pada skala global, pengeluaran CO2 dari tanah lebih besar dibandingkan
pengeluaran CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Emisi
CO2 dari tanah biasa dikenal sebagai respirasi tanah. Respirasi tanah adalah total
CO2 yang diproduksi dari proses metabolisme tanah terutama dekomposisi oleh
mikroba tanah terhadap bahan organik tanah dan respirasi akar. Tingkat respirasi
tanah sangat sensitif terhadap temperatur dan perubahan iklim (Schlesinger 1991;
Jenkinson et al. 1991; Townsend et al. 1992; Gates 1993).
Sektor pertanian berperan dalam menghasilkan gas CO2. Emisi yang
disebabkan oleh oksidasi gambut pada perkebunan kelapa sawit adalah sekitar 0.37-
-1 -1
0.51 ton CO2 ha tahun setiap penurunan tinggi muka air 1 cm (Nurzakia 2014,
Mazwar 2011), Hooijer (2010) melaporkan angka yang lebih tinggi yaitu 0.91 t
-1 -1
CO2 ha tahun . Emisi CO2 hasil respirasi akar dan mikroorganisme pada
perkebunan kelapa sawit menyumbang ± 29%-30% dari total emisi atau rata-rata
-1 -1
12.6 ton CO2 ha tahun di perkebunan kelapa sawit umur 10 tahun di lahan
gambut (Melling et al. 2005; Handayani 2009; Yuniastuti 2011).
Emisi CO2-eq dari input budidaya pada perkebunan kelapa sawit yang
-1 -1
digunakan oleh RSPO berkisar antara 1000-1500 kg CO 2-eq ha tahun yang
-1
merupakan data dari Ninkander (2008), sedangkan di Brazil 1494.8 kg CO2-eq ha
-1 -1 -1
tahun (de Souza et al. 2010), di Malaysia 2159.8 kg CO 2-eq ha tahun (Youseff
-1 -1
dan Hansen 2007), di Indonesia 1298 kg CO 2-eq ha tahun (Siregar 2013) pada
lahan mineral. Emisi CO2 dapat dikurangi dengan cara meningkatkan daya serap
tanaman (carbon stock) dengan meningkatkan efisiensi fotosintesis dan menanami
lahan gundul serta meningkatkan hasil produksi (IPCC 2001).

2.4 Metana

Kadar metana (CH4) global saat ini telah mencapai konsentrasi 1780 ppbv,
lebih tinggi dua kali dibandingkan kadarnya pada masa sebelum industri sebesar
800 ppbv. Laju peningkatan kandungan CH4 relatif lambat dari sekitar 15 ppbv per
tahun pada tahun 1980-an hingga mendekati nol pada 1999 (Dlugokencky 2001).
Semenjak 1990, rataan tahunan CH4 di atmosfer bervariasi antara kurang dari nol
(turun) dan meningkat hingga 15 ppbv (Rudolph 1994).
Proses pembentukan metana melibatkan organisme metanogen. Metanogen
adalah organisme uniseluler anaerobik yang awalnya digolongkan sebagai bakteri
namun saat ini digolongkan sebagai archea (Garcia 1990; Woese et al. 1990).
+
Metanogen menggunakan NH4 sebagai sumber nitrogen, meskipun kemampuan
untuk menangkap molekul nitrogen dan gen nif terdapat pada ketiga ordo
metanogen (Methanobacteriales, Methanococcales and Methano-microbiales).
Dengan semakin tingginya amonium, penghambatan dalam proses oksidasi CH 4
semakin tinggi sehingga emisi CH4 makin tinggi. Kemampuan bakteri nitrifikasi
untuk mengoksidasi CH4 berkurang pada konsentrasi amonium ≥15 ppm. Aplikasi
pupuk urea mampu meningkatkan flux CH4 yang kemungkinan disebabkan oleh
peningkatan pH yang mengikuti hidrolisis urea dan penurunan potensial redoks,
yang menstimulasi aktivitas metanogenik. Nilai potensial redoks pada kisaran -100
mV hingga +200 mV seharusnya dapat mengurangi tingkat emisi CH 4 dikarenakan
kisaran ini terlalu tinggi bagi produksi CH4.
7

+ -
CO2 + 8 H + 8 e → CH4 + 2 H2O

Proses ini melibatkan enzim methyl-coenzyme M reductase (Jones dan Morita,


1983; Wang et al. 1993; Palmer dan Reeve 1993; Scheutz dan Kjeldsen 2004).
Tanah adalah salah satu faktor kunci yang berperan penting dalam produksi
dan emisi CH4. Tanah memiliki kapasitas baik sebagai produsen maupun penyerap
CH4. Jenis mikroorganisme tanah khusus, metanogen bertanggung jawab dalam
produksi metana. Sedangkan jenis yang lain yaitu methanotrop berperan dalam
mengkonsumsi CH4. Saat ini diperkirakan emisi CH4 dari tanah di seluruh dunia
-1
berkisar antara 150 hingga 250 Tg CH4 tahun (IPCC 2001). Sebanyak 1/3 dan 1/4
-1
(kira-kira 65 Tg CH4 tahun ) diemisikan dari lahan basah pada lintang tinggi
(Walter et al. 2001). Diperkirakan konsumsi CH 4 oleh mikroba tanah berkisar
-1
antara 10 hingga 30 Tg CH4 tahun (IPCC 2001).
Emisi CH4 memiliki nilai yang rendah pada lahan kering karena CH 4 dapat
dikonsumsi oleh metanotrop tanah. Tingkat flux CH 4 pada lahan kering lebih
dominan dipengaruhi oleh suhu, sedangkan peningkatan kelembaban tanah pada
lahan kering menyebabkan terjadinya peningkatan flux CH 4 (McLain dan Martens
2006; Wu et al. 2010; Silva et al. 2011).
Emisi CH4 dari lahan pertanian tropis menyumbangkan porsi yang signifikan
terhadap emisi global tahunan CH4. Lahan sawah, pembakaran biomassa, dan
fermentasi dipandang sebagai kontributor utama (Mosier et al. 2004). Sektor pertanian
merupakan penyumbang emisi gas metan terbesar yang dihasilkan dari lahan padi,
peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana (Irmansyah 2004).
Kontribusi seekor sapi dewasa dalam mengemisikan metan yaitu sebesar 80-110 kg
-1
tahun (Thalib 2008). Hasil penelitian Puah (2009), emisi CH 4 tertinggi berasal dari
limbah sludge dari produksi Crude Palm Oil (CPO), emisi yang dihasilkan dari kolam
pengolahan limbah sludge mencapai 50% lebih dari total emisi yang dihasilkan untuk
memproduksi 1 ton biodiesel di Malaysia yaitu dari 1 711 kg CO 2-eq menjadi 835 kg
CO2-eq per ton biodiesel, berkurang 876 kg CO 2-eq setara 41.71 kg CH4. Lebih lanjut
berdasarkan penelitian Reijnders dan Huijbregts (2006), emisi CH 4 dari kolam limbah
akibat kondisi anaerobik yang membuat bakteri metanogen memproduksi gas metan
adalah 0.16-0.24 ton CO2-eq per ton CPO atau setara 7.62-11.43 kg CH 4. Emisi CH4
rata-rata pada 3 tempat yaitu dibawah naungan kelapa sawit, diantara tanaman kelapa
sawit dan di ujung kanopi kelapa sawit yang diambil pada jam 06.00-07.00 dan 12.00-
13.00 pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut di Labuhanbatu, Sumatera Utara
berdasarkan penelitian Yuniastuti (2011) tertinggi pada umur kelapa sawit 16 tahun
-1 -1 -1 -1
sebesar 7.70 ton ha tahun , kemudian pada TBM 5.72 ton ha tahun , kelapa sawit
-1 -1 -1 -1
umur 10 tahun 5.59 ton ha tahun , dan terendah sebesar 5.50 ton ha tahun pada
umur kelapa sawit 22 tahun. Emisi CH4 menurun dengan semakin dalam muka air
tanah. Metan dapat diturunkan dengan pemberian sulfur, karena mampu
mempertahankan potensial redoks relatif lebih tinggi sehingga menghambat CO 2
tereduksi menjadi CH4, sehingga mengganti penggunaan urea dengan ZA mampu
menurunkan emisi CH4.
8

2.5 Dinitrogen Oksida

Saat ini, konsentrasi N2O diatmosfer berkisar pada 317 ppbv, yang meningkat
dari 200 ppbv pada tahun 2001. Kebanyakan dari peningkatan ini terjadi selama 50
tahun terakhir dengan pola peningkatan yang linier sebesar 0.7 ppbv per tahun
(CMDL 2001). Peningkatan antara 0.2-0.3 % pada konsentasi atmosfer akan
berkontribusi sebesar 5% terhadap pemanasan akibat gas rumah kaca (Cicerone dan
Oremland 1988). Satu molekul N2O memiliki kemampuan menyerap panas 310 kali
dibandingkan CO2 (IPPC 2001)
Sumber utama N2O adalah mikroba denitrifikasi tanah yang memproduksi N2
dan N2O dalam jumlah yang sangat besar. Berbagai faktor lingkungan dapat
mempengaruhi faksi mol N2O, diantaranya kelembaban tanah, konsentrasi nitrat
-
dan nitrit, pH, aerasi, temperatur, ketersediaan karbon, aktivitas relatif NO 2 dan
N2O reduktase (Colourn dan Dowdell 1984; Sahrawat dan Keeney 1986; Tiedje
1988; Aulakh et al. 1992; Robertson 1999).
+ -
Kadar NH4 dan NO3 yang tinggi mampu meningkatkan emisi gas N2O.
-
Kadar NO3 berperan penting dalam meningkatkan emisi dikarenakan mampu
-
mendukung proses denitrifikasi. Ketersediaan NO3 menjadi sangat penting dalam
proses denitrifikasi yang berperan dalam menghasilkan emisi gas N2O. Proses
-
denitrifikasi melibatkan bakteri fakultatif anaerob yang mampu menggunakan NO 3
sebagai aksepor elektron proses respirasi pada kondisi oksigen yang rendah atau
kondisi anaerob. (Bing et al. 2006; Woodward et al. 2009)
Pada konsentrasi O2 yang lebih tinggi, metabolisme aerobik dari denitrifier
akan terpacu dan terjadi penghambatan nitrogen oksida reduktase sehingga proses
-
reduksi NO3 tidak dapat terjadi. Banyaknya N2O yang diemisikan akan lebih tinggi
bila pH rendah. Hal ini dikarenakan N2O reduktase akan terhambat pada pH rendah.
Produksi N2O secara signifikan terjadi pada potensial redoks diatas +250 mV,
sedangkan dibawah +200 mV tidak signifikan. (Wrage et al. 2001)
Lahan pertanian dianggap sebagai sumber utama gas N 2O atmosfer (IPCC 1995).
Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N 2O) merupakan emisi gas yang dihasilkan dari
lahan pertanian khususnya saat aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih. Seperti yang
dilaporkan oleh Wahyuni dan Wihardjaka (2007) bahwa sekitar 94% emisi gas dinitro-
oksida (N2O) berasal dari bidang pertanian yang bersumber dari pembakaran sisa- sisa
tanaman (41%) dan pupuk nitrogen anorganik (18%). Emisi N 2O pada perkebunan
kelapa sawit akibat penggunaan pupuk nitrogen berdasarkan penelitian Ninkander
-1 -1
(2008) adalah 616 kg CO2-eq ha tahun (40-60% dari total emisi penggunaan pupuk
anorganik). de Souza et al. (2010) menggunakan angka 18.6 kg CO 2-eq per kg N
pupuk dari Ecoinvent Inventory Database sebagai emisi N2O yang dihasilkan dari
penggunaan pupuk N di tanah.

2.6 Serapan Karbon Kelapa Sawit

Berdasarkan hasil penelitian Hassan et al. (2011), dalam setiap ton biodiesel
yang dihasilkan, tanaman menyerap CO2 sebesar 5 462 ton. Sedangkan cadangan
karbon bervariasi tergantung dari umur tanaman. Menurut Syahrinudin (2005)
-1
perkebunan sawit di Jambi memiliki cadangan karbon 16.6 ton ha pada umur 3
-1 -1
tahun, 49.3 ton C ha pada umur 10 tahun, 65.3 ton C ha pada umur tanam 20 tahun
9

dan mencapai 84.6 Mg C/ha pada umur 30 tahun. Lamade dan Setiyo (2012)
menambahkan bahwa kelapa sawit umur 9 tahun fase vegetatif memiliki cadangan
-1
karbon 25.4 ton C ha , sedangkan fase generatif mampu menghasilkan 6.2 ton C
-1
ha . Lebih lanjut pada penelitian van Noordwijk et al. (2010) sawit memiliki
-1 -1
serapan karbon rata-rata 2.09 ton C ha tahun , sedangkan berdasarkan data
penelitian Yulianti (2009), sekuestrasi tajuk tanaman dari kelapa sawit umur 17
-1 -1
tahun di lahan gambut adalah 0.97 ton C ha tahun .

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai dengan Maret


2014. Penelitian dilaksanakan di kebun milik perusahaan swasta dan masyarakat
yang ada di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Pengujian kandungan C organik tanaman dilakukan di Laboratorium Pascapanen,
Departemen Agronomi dan Hortikultura-IPB. Penghitungan emisi dilakukan di
Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Mesin dan Biosistem-
IPB.

Tabel 3. 1 Koordinat pengambilan contoh

Kebun Ulangan Latitude Longitude


Perusahaan 1 2.163945 100.166306
Perusahaan 2 2.164056 100.163002
Perusahaan 3 2.161833 100.162949
Perusahaan 4 2.162111 100.166443

Masyarakat 1 2.169417 100.133308


Masyarakat 2 2.168445 100.143890
Masyarakat 3 2.167833 100.142334
Masyarakat 4 2.169250 100.148636

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit dan tumbuhan bawah
(tumbuhan yang hidup di bawah tegakan kelapa sawit), serasah (bahan organik
dari tumbuhan bawah), nekromassa ( bagian tanaman kelapa sawit yang mati),
kayu mati dan tanah. Alat yang digunakan adalah bor gambut, phi-band, laser
distance meter, spektrofotometer UV-VIS, software MILCA-JEMAI.
10

3.3 Prosedur Analisis Data

Percobaan menggunakan Rancangan Tersarang, dimana faktornya adalah


kepemilikan kebun yaitu milik perusahaan (swasta) dan milik masyarakat. Setiap
perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 16 satuan percobaan. Setiap satuan
percobaan terdiri dari 100 tanaman kelapa sawit. Percobaan identifikasi cadangan
karbon kebun kelapa sawit menggunakan metode destruktif dan non destruktif.
Emisi secara tidak langsung dihitung menggunakan software Multiple Interface
Life Cycle Assessment (MILCA) dari Japan Environmental Management
Association for Industry (JEMAI) versi 1.1.6 dengan database IDEA 1.2.6. Data
dianalisis menggunakan Uji-T.

3.4 Pelaksanaan

Percobaan Penghitungan cadangan karbon

Plot yang digunakan untuk pengambilan contoh biomassa, plot 2 m x 2 m


untuk pengambilan contoh nekromassa dan tumbuhan lain diameter < 5 cm, plot 20
m x 20 m digunakan untuk pengambilan contoh tumbuhan diameter > 50 cm (SNI
7722:2011). Setiap ulangan dibuat 5 plot.
Penghitungan cadangan karbon di lahan perkebunan milik perusahaan swasta
adalah dilakukan pada 4 blok dengan tanaman kelapa sawit berumur 12 tahun.
Sedangkan lahan perkebunan milik masyarakat, pengamatan dilakukan pada 4
kebun yang berbeda dengan umur tanaman kelapa sawit 10-12 tahun.
Biomassa tajuk dan akar tanaman kelapa sawit dihitung dengan metode non
destruktif menggunakan persamaan alometrik. Pengambilan data contoh tanah,
biomassa tumbuhan bawah, serasah, kayu mati dan nekromassa menggunakan data
primer. Perhitungan cadangan karbon mengacu pada SNI 7722:2011.

Gambar 3. 1 Sumber cadangan karbon pada agroekosistem kelapa sawit


11

Pengamatan cadangan karbon dibagi menjadi 4 bagian yaitu:


1. Kandungan C tanaman kelapa sawit.
a. Biomassa tajuk tanaman kelapa sawit lahan gambut dihitung dengan metode
non destruktif menggunakan persamaan alometrik yang dikembangkan oleh
Yulianti (2009) dari persamaan Chave et al. (2005) :
(1)
−4 2.31 0.6
y = 2.45 × 10 ×D ×H

Keterangan:
-1
y = biomassa diatas tanah (kg tanaman )
D = diameter batang pada ketinggian 1.3 m (cm)
H = tinggi tanaman bebas daun (cm)
b. Biomassa akar kelapa sawit menggunakan rasio biomasa tajuk:akar dalam
penelitian sebelumnya. Rasio tajuk:akar kelapa sawit umur 12 tahun yang
ditanam pada tanah gambut yaitu 0.49 (Kiyono et al. 2015).
c. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black
(1934) dalam ISRIC (2002) yang dimodifikasi yaitu:
Contoh yang telah lolos saringan 0.5 mm ditimbang sebanyak 0.5
gram, kemudian ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1N dan ditambahkan 20 ml
H2SO4 pekat, dikocok perlahan, lalu dibiarkan hingga dingin. Larutan diencerkan sampai
250 ml dengan air bebas ion/aquades, kemudian larutan dimasukkan ke dalam
spektrofotometer dengan panjang gelombang 561 nm. Konsentrasi yang didapatkan
dimasukkan ke dalam persamaan berikut:
ml ekstrak 100 mg
(2)
%C − org = ppm kurva × × × fk
1000 ml mg contoh

Keterangan:
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar
deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko
100 = konversi ke %
fk = faktor koreksi: 100/(100- % kadar air contoh)
d. Kandungan C kelapa sawit pada tajuk atau akar dapat diperoleh dengan
persamaan matematika :
(3)
Cts = %C − orgts × B × Densitas

Cas = Cts × 0.49


(4)
Keterangan:
Cts = cadangan C tajuk kelapa sawit
Cas = cadangan C akar kelapa sawit
B = biomassa tajuk atau akar sawit Densitas
= jumlah tanaman kelapa sawit per hektar
%C-orgts = nilai konversi kandungan C dari biomasa kelapa sawit
hasil analisis laboratorium.
0.49= rasio tajuk:akar kelapa sawit lahan gambut
12

2. Kandungan C pada tumbuhan bawah, serasah, nekromassa dan kayu mati


a. Lima contoh diambil dengan ukuran plot 2 m x 2 m, contoh ditimbang bobot
o
basah, diambil 200 g dioven suhu 80 C selama 48 jam atau hingga
bobotnya stabil, kemudian ditimbang.
b. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black
c. Kandungan C total tanaman bawah diperoleh dengan persamaan matematika :
(5)
1 ha
Cttb = % C − orgttb × KAttb x BBttb plot × × 0.001 ton
luas plot

1 ha
(6)
Catb = % C − orgatb × KAatb x BBatb plot × × 0.001 ton
luas plot

1 ha
(7)
Cs = % C − orgs × KAs x BBs plot × × 0.001 ton
luas plot

1 ha
(8)
Cn = % C − orgn × KAn × BBn plot × × 0.001 ton
luas plot

(9)
1 ha
Ckm = % C − orgkm × KAs × BBs plot × × 0.001 ton
luas plot

Keterangan:
-1
Cttb = cadangan C tajuk tumbuhan bawah (ton ha )
-1
Catb = cadangan C akat tumbuhan bawah (ton ha )
-1
Cs = cadangan C serasah (ton ha )
-1
Cn = cadangan C nekromasa (ton ha )
-1
Ckm = cadangan C kayu mati (ton ha )
% C-orgttb = persentase C hasil analisis tajuk tumbuhan bawah (%)
% C-orgatb = persentase C hasil analisis akar tumbuhan bawah (%)
% C-orgs = persentase C hasil analisis serasah (%)
% C-orgn = persentase C hasil analisis nekromasa (%)
% C-orgkm = persentase C hasil analisis kayu mati (%)
KAtb = kadar air tajuk tumbuhan bawah basis basah
KAatb = kadar air akar tumbuhan bawah basis basah
KAs = kadar air serasah basis basah
KAn = kadar air nekromasa basis basah
KAkm = kadar air kayu mati basis basah
BBs plot = bobot basah serasah (kg)
BBn plot = bobot basah nekromasa (kg)
BBkm plot = bobot basah kayu mati (kg)
1 ha = luasan lahan 1 hektar
0.001 ton = konversi 1 kg ke 1 ton

3. Kandungan C tanah
a. Contoh tanah diambil menggunakan bor dengan kedalaman 0-15 cm, 15-
30 cm, 30-45 cm, 45-60 cm, 60-75 cm, 75-90 cm, 90-120 cm, 120-150 cm
dalam satu plot besar masing-masing 200 g.
b. Kandungan karbon dihitung menggunakan metode Walkley dan Black
c. Bobot isi, pengambilan contoh menggunakan bor dengan diameter 3.5 cm.
13

Perhitungan total kandungan C tanah :


Ct = ∑(C − org ke i × BI ke i × Kt ke i) × 100
(10)
Keterangan:
-1
Ct = cadangan C tanah (ton ha )
C-org ke i = kandungan C tanah kedalaman contoh-i (%)
-3
BIt ke i = bobot isi tanah kedalaman contoh-i (g cm )
Kt ke i = kedalaman tanah pada kedalaman contoh-i (cm)
-3 -1
100 = konversi g cm menjadi ton ha

4. Cadangan karbon total


Perhitungan cadangan karbon menggunakan rumus:
C total= (Cbap + Cbbp + Cs + Cn + Ct+ Ckm) (11)
Keterangan:
-1
Ctotal = total cadangan C per hektar (ton ha )
Cbap = total cadangan C biomassa atas permukaan per hektar
-1
(Cts + Cttb) (ton ha )
Cbbp = total cadangan C biomassa bawah permukaan per hektar
-1
(Cas + Catb) (ton ha )
-1
Cs = total cadangan C biomassa serasah per hektar (ton ha )
-1
Cn = total cadangan C nekromassa per hektar (ton ha )
-1
Ct = total cadangan C tanah per hektar (ton ha )
Ckm -1
= total cadangan C kayu mati per hektar (ton ha )

Penghitungan sekuestrasi

Penghitungan sekuestrasi tanaman kelapa sawit hingga tanaman umur 12


tahun menggunakan asumsi sebagai berikut:
1. Akar mati tanaman kelapa sawit tidak dihitung
2. Tandan buah segar (TBS) hasil panen dimasukkan dalam penghitungan
sekuestrasi, dimana hasil panen tanaman kelapa sawit umur 5-12 tahun
dianggap sama dan menggunakan hasil panen TBS tahun 2012.
3. Biomasa dan kandungan C-organik TBS dipilah berdasarkan Department of
Environtment (1999), Mahlia et al. (2001), Yaser et al. (2007), Pereira et al.
(2012) dan Sahad et al. (2004), dengan asumsi kadar air sama yaitu 44.8%
(Lampiran 3).
4. Pelepah yang dipangkas masuk dalam perhitungan sekuestrasi, dengan asumsi
bahwa tanaman kelapa sawit dipangkas saat mulai panen yaitu umur 5 tahun,
sedangkan pelepah yang dipangkas hingga umur tanaman 4 tahun tidak
diperhitungkan. Tanaman kelapa sawit dalam setahun menghasilkan 30
pelepah, biomasa C dari 30 pelepah berdasarkan data yang diolah dari Yulianti
(2009) dengan perhitungan nilai tengah antara umur 5 hingga 12 tahun adalah
senilai 27.4 kg C.

Sekuestrasi dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :


(12)
A+(t ×B)+t×(C+D+E+F+G+H+I)
Sekuestrasi =
Umur tanaman
14

Keterangan :
-1
A = Cadangan karbon tajuk dan akar tanaman kelapa sawit (ton C ha )
-1
B = Cadangan karbon pelepah yang dipangkas (ton C ha )
-1
C = Cadangan karbon CPO (ton C ha )
-1
D = Cadangan karbon PKO (ton C ha )
-1
E = Cadangan karbon TBS (ton C ha )
F = Cadangan karbon POME (ton C ha-1)
-1
G = Cadangan karbon serat/fibre (ton C ha )
-1
H = Cadangan karbon cangkang (ton C ha )
-1
I = Cadangan karbon palm kernel cake (PKC) (ton C ha )
t = Jumlah tahun dari tanaman mulai menghasilkan hingga penghitungan
sekuestrasi dilakukan.

Penghitungan emisi menggunakan software MILCA.

a. Pembuatan model dengan membuat diagram alir dan menentukan input


proses yang digunakan dalam perkebunan seperti jenis dan dosis pupuk,
jenis dan dosis pestisida, jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan.
b. Mengumpulkan data yang diperlukan.
c. Penyesuaian model dengan data yang ada.
d. Input data ke dalam model.
e. Analisis

Asumsi yang digunakan dalam penggunaan MILCA JEMAI adalah sebagai berikut:
1. Seluruh pupuk maupun amelioran yang tidak tersedia dalam basis data
MILCA-JEMAI, maka dilakukan konversi ke unsur pupuk tersebut.
2. Seluruh fungisida, insektisida maupun herbisida yang bahan aktifnya tidak
terdapat pada basis data, maka akan disatukan dan dimasukkan dalam input
pestisida.
3. Bahan bakar yang dipakai dalam perkebunan termasuk generator, pompa
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan proses budidaya di dalam kebun
akan dihitung. Bahan bakar solar dianggap emisi dari mesin diesel.
4. Emisi yang dihasilkan dari manusia dalam proses budidaya kelapa sawit
tidak dihitung.

Gambar 3. 2 Diagram dasar yang digunakan pada penghitungan emisi dari input
budidaya di perkebunan kelapa sawit
15

4 HASIL

4.1 Kondisi umum

Tanaman kelapa sawit yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman yang
berumur 12 tahun pada perkebunan kelapa sawit perusahaan dan tanaman kelapa sawit
berumur 10-12 tahun pada perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya. Kebun milik
masyarakat yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas 2 -10 hektar yang
berada di sekitar kebun perusahaan. Jumlah tanaman kelapa sawit per hektar pada
perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 143 tanaman per hektar, sedangkan pada
perkebunan rakyat swadaya di Desa Bilah adalah 135-143 tanaman per hektar.

Tabel 4. 1 Kondisi umum perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten


Labuhanbatu
Indikator Kebun perusahaan Kebun masyarakat
Curah hujan tahunan (mm) 2 009
o
Suhu rata-rata harian ( C) 26.3
Kelembaban rata-rata harian (%) 90
pH (H2O) 3.7-4.8 3.3-3.9
Kemiringan lahan (%) <3
Ketinggian tempat (mdpl) ± 12
Tinggi muka air parit tersier (cm) 30-45 10-40
Kedalaman gambut (cm) 437.5 ± 75.0 425.0 ± 29.0
Umur tanaman (tahun) 12 10-12
Kadar abu 0-20 cm (%) 8.92 ± 3.08 11.72 ± 4.21
Kandungan air gambut (%) 238.4-905.1 343.2-920.4

Kondisi mikro di lokasi penanaman seperti suhu udara, sinar matahari,


kelembaban udara dan angin berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman.
Tabel 4.1 mengindikasikan bahwa kondisi iklim di perkebunan kelapa sawit
perusahaan maupun masyarakat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman kelapa sawit.
Lahan di kebun milik perusahaan dan masyarakat memiliki pH yang rendah dari
persyaratan tumbuh tanaman kelapa sawit yaitu pH 5 -5.5 (Lubis 1999). pH yang
sangat masam diduga akibat dari dekomposisi bahan organik yang menghasilkan
asam-asam organik.
Lahan gambut merupakan gambut dataran rendah dan kemiringan lahan masuk
kategori datar yaitu kurang dari 5% dan merupakan gambut dalam (> 3 m) dengan
tingkat kematangan saprik. Kadar abu yang cukup tinggi dalam penelitian ini yaitu
8.9% pada lahan gambut perusahaan dan 11.7% pada lahan gambut masyarakat
mengindikasikan mineral yang cukup tinggi dibandingkan kadar abu pada penelitian
Polak (1949) dalam Najiyati et al. 2005) yaitu < 5% di pusat (dome ) gambut, maupun
kadar abu hasil penelitian Yulianti (2005) di Labuhanbatu yaitu 2-5%. Kadar abu yang
tinggi pada kedalaman 0-20 cm diduga karena bahan organik dari nekromasa dan
serasah yang memiliki kandungan mineral yang tinggi, serta pupuk yang berada
16

pada lapisan atas. Penelitian Khalid et al. (1999) menunjukkan kandungan mineral
yang cukup tinggi dari daun dan akar tanaman kelapa sawit.
Kadar air gambut kedalaman 0-150 cm berkisar antara 238.4-905.1% pada
lahan gambut perusahaan dan lahan gambut masyarakat 343.2-920.4% basis kering.
Tinggi muka air (TMA) pada lahan penelitian terlalu tinggi, dimana tinggi muka air
yang optimal berdasarkan metode budidaya lahan gambut dalam ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil) adalah 60-70 cm. Kehilangan hara akibat pencucian oleh air
tanah akan semakin tinggi dengan semakin tingginya TMA pada parit.

4.2 Kondisi Pemeliharaan Kebun

Pemupukan

Pupuk yang diberikan pada tanaman pada kebun kelapa sawit milik
perusahaan adalah berdasarkan hasil analisis hara pada daun pada tiap blok dan
pengamatan visual di lapangan pada tahun sebelumnya, sehingga pupuk yang
diberikan sesuai dosis dengan kebutuhan tanaman pada setiap blok. Pemberiannya
sesuai waktu yang telah dijadwalkan, pupuk untuk kebutuhan selama satu tahun
telah berada di gudang penyimpanan pupuk, sehingga tidak akan ada keterlambatan
aplikasi pupuk. Dosis pupuk pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun adalah NPK
-1 -1
super (13-8-27) 2.5 kg tanaman pada rotasi pertama dan 2.75-3 kg tanaman pada
-1 -1
rotasi kedua, CuSO4 0.15 kg tanaman , urea 0.75 kg tanaman , borat 0.12 kg
-1 -1 -1
tanaman , MOP 1.25-1.5 kg tanaman , bunch ash sebanyak 2 kg tanaman (setara
0.75 kg MOP).
Pupuk yang diberikan pada tanaman kelapa sawit lahan gambut milik rakyat,
tidak berdasarkan hasil analisis hara daun, karena petani swadaya rata -rata tidak
memiliki dana yang besar. Pemberian pupuk terkadang berlebihan, yang terpenting
adalah daun terlihat hijau dan hasil panen tinggi. Secara umum petani menggunakan
-1 -
dosis pupuk sebagai berikut: untuk urea 1-3 kg tanaman , rock phospate 2 kg tanaman
1 -1 -1
, MOP 0.05-2 kg tanaman , NPK (16-16-16) 2 kg tanaman , NPK (15-15-
-1 -1 -1
15) 1-3 kg tanaman , dolomit 1.8-2 kg tanaman , pupuk organik cair 0.4 kg ha ,
-1 -1
CuSO4 0.05-0.1 kg tanaman , borat 0.1 kg tanaman . Masing-masing petani tidak
menggunakan seluruh jenis pupuk tersebut, namun hanya sebagian, tergantung pada
kemampuan petani, dosis pupuk berdasarkan unsur hara secara lengkap pada
masing-masing petani disajikan pada lampiran 2. Pemberian pupuk pada
perkebunan rakyat dilakukan jika petani memiliki uang untuk membeli pupuk, dari
hasil wawancara hanya dua petani (masyarakat 1-2) memupuk secara rutin setiap
tahun, namun tiga petani (masyarakat 3-5) memupuk saat ada dana untuk
pembelian pupuk, masyarakat 3 memupuk setelah 2 tahun tidak dipupuk,
masyarakat 4 memupuk setelah 5 tahun tidak dipupuk, sedangkan masyarakat 5
melakukan pemupukan setelah 3 tahun tidak dipupuk.
Hasil analisis kimia tanah, lahan kelapa sawit perusahan diperlukan pemberian
dolomit untuk meningkatkan pH, pemberian kalium, dan CuSO 4. Peningkatan pH
diperlukan sehingga hara yang dapat dipertukarkan dapat meningkat. KTK yang tinggi
akibat asam-asam organik karboksilat dan fenolik pada kompleks jerapan menyebabkan
unsur hara sulit diserap oleh tanaman. Sedangkan pada lahan kelapa sawit masyarakat,
unsur hara dalam tanah cenderung cukup, namun masih
17

perlu ditambahkan dolomit untuk meningkatkan pH tanah di sekitar piringan, agar


serapan hara meningkat. Menurut Abat et al. (2012) pemberian kapur pertanian di
sekitar piringan mampu meningkatkan serapan hara Cu dan Zn, Marwanto et al.
(2012) menambahkan pemberian pupuk dan amelioran seperti dolomit dengan
ditebar di piringan meningkatkan serapan hara pada kedalaman 0-15 cm. Hal ini
berhubungan dengan sebaran akar tersier dan kuarter yang berada pada lapisan
tanah 0-15 cm di sekitar piringan lebih tinggi dibandingkan di luar piringan, dimana
pupuk lebih sering diaplikasikan.

Penyiangan

Pengendalian gulma dilakukan penyiangan baik secara manual pada


pembibitan maupun kimia pada TBM (tanaman belum menghasilkan) dan TM
(tanaman menghasilkan). Herbisida yang digunakan merupakan herbisida yang
memiliki kandungan bahan aktif yang tidak dilarang penggunaannya oleh peraturan
menteri pertanian No 01/Permentan/OT.140/1/2007 tentang daftar bahan aktif
pestisida yang dilarang dan pestisida terbatas. Paraquat sudah tidak lagi digunakan
di perkebunan kelapa sawit milik perusahaan, karena paraquat termasuk dalam
daftar pestisida terbatas. Herbisida yang digunakan dalam dosis sesuai dengan dosis
yang dianjurkan, pada perkebunan milik perusahaan ini digunakan herbisida
-1
sistemik seperti glifosat (spektrum luas) dosis 0.7 L ha tahun, metil metsulfuron
-1 -1
(spektrum luas dan selektif) 0.052 kg ha tahun , triclopyr butoxy ethyl ester
-1 -1
(spektrum luas dan selektif) 0.03 L ha tahun . Herbisida kontak seperti
-1 -1
glufosinate ammonium (spektrum luas non selektif) 0.22-0.32 L ha tahun .
Penyemprotan hanya pada piringan dan jalan panen saja dengan volume semprot 36
-1
L ha . Pemilihan herbisida disesuaikan dengan jenis gulma yang mendominasi
lahan perkebunan. Kebun kelapa sawit milik perusahaan didominasi gulma
Nephrolepis yang tumbuh di sekeliling gawangan hidup dan gawangan mati dengan
ketinggian hampir 1 meter. Untuk mengendalikan Nephrolepis digunakan pestisida
berbahan aktif glufosinate amonium dicampur dengan metil metsulfuron.
Sedangkan gulma lain menggunakan glifosat dan triclopyr butoxy ethyl ester.
Pemeliharaan tanaman kelapa sawit pada kebun milik masyarakat di Desa
Bilah memiliki pemikiran bahwa kebun kelapa sawit yang bagus adalah kebun yang
-1
bersih dari gulma. Herbisida sistemik seperti glifosat dengan dosis 1.6-5 liter ha
-1
tahun , maupun paraquat (herbisida kontak spektrum luas) dengan dosis 0.9-4 liter
-1 -1 -1 -1
ha tahun dan metil metsulfuron 0.03 kg ha tahun . Volume semprot yang
-1
digunakan adalah 200-250 L ha . Aplikasi blanket dilakukan 2 kali setahun dengan
-1
dosis 2-2.5 L ha . Hal ini menyebabkan kebun milik masyarakat lebih bersih
dibandingkan kebun perusahaan, hanya gawangan mati yang ditumbuhi gulma
Nephrolepis, gawangan hidup ditumbuhi Spaghnum dan Fimbristylis sehingga
terlihat bersih, piringan pada kebun milik masyarakat lebih bersih dibandingkan
milik perusahaan.
18

Gawangan hidup Gawangan mati

Gambar 4. 1 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat di area


penelitian

Jalan Panen

Gawangan mati

Gawangan hidup

Gambar 4. 2 Kondisi kebun kelapa sawit lahan gambut perusahaan di


area penelitian

Pengendalian hama dan penyakit

Hama kumbang badak (Oryctes rhinoceros) merupakan hama primer di


perkebunan lahan gambut, sedangkan hama babi sudah tidak lagi menjadi masalah
di daerah tersebut. Pengendalian hama secara manual pada perkebunan milik
perusahaan salah satunya adalah dengan adanya penerapan pherotrap untuk
mengendalikan hama kumbang tanduk. Pherotrap adalah perangkap yang terdiri
dari sex pheromone untuk menarik kumbang tanduk, seng, ember sebagai wadah
perangkap dan kayu sebagai penyangga. Setelah kumbang terperangkap dalam
wadah, maka selanjutnya dapat dilakukan pengutipan kumbang yang dilakukan
secara manual. Kumbang dikumpulkan dan kemudian dimusnahkan dengan cara
dibakar pada tempat yang sudah disediakan. Penggunaan insektisida berbahan aktif
sipermetrin ataupun deltametrin digunakan untuk mengendalikan hama ulat pada
pembibitan. Pengendalian hama kumbang badak pada kebun masyarakat dilakukan
dengan pemberian garam dapur 2 kg per tanaman, belum jelas pengaruh garam
pada kumbang badak secara ilmiah, namun beberapa petani mengaku dengan
pemberian garam pada pucuk tanaman, serangan kumbang badak berkurang.
19

Gambar 4. 3 Tanda panah pada pelepah kelapa sawit yang patah akibat serangan
Oryctes rhinoceros

Pemangkasan daun

Pemangkasan pemeliharaan biasanya dilakukan sekaligus saat pemanenan


baik pada perkebunan rakyat maupun pada perkebunan perusahaan (pemangkasan
progresif). Pemangkasan ini dilakukan untuk membuang daun-daun songgo satu
atau songgo dua, total daun yang dipertahankan antara 40-46 helai.

4.3 Kandungan Karbon dan Bobot Isi Gambut


Bobot isi dari lahan gambut perkebunan kelapa sawit perusahaan kedalaman 0-
-3 -3
150 cm berkisar antara 0.092-0.256 g cm , rata-rata 0.162 g cm dengan standar
-3
deviasi (SD) 0.048 g cm (Tabel 4.2). Lahan gambut perkebunan rakyat memiliki
-3 -3
bobot isi antara 0.092-0.175 g cm , dengan rata-rata ± SD adalah 0.143 ± 0.031 g cm
(Tabel 4.2). Rata -rata bobot isi tidak berbeda antara lahan gambut perusahaan
dibandingkan dengan lahan gambut masyarakat, akan tetapi bobot isi pada lahan
-3
gambut perusahaan 0.056 g cm lebih tinggi pada kedalaman 10-20 cm dan 0.035 g
-3
cm lebih tinggi pada kedalaman 75-90 cm dibandingkan lahan gambut rakyat. Bobot
isi pada penelitian ini masih dalam kisaran bobot isi penelitian gambut di Indonesia
-3
yaitu di Sumatera 0.100 g cm (Solichin 2011) (rawa gambut Merang, Sumatera
-3
Utara), Lahan gambut perkebunan kelapa sawit di Sumatera 0.12-0.25 g cm
-3
(Wahyunto et al. 2010), Kalimantan Tengah 0.13 g cm (Page et al. 2004), Sumatera
-3 -3
0.08-0.13 g cm dan Kalimantan Barat 0.09-0.13 g cm (Neuzil 1997).
Lahan gambut memiliki bobot isi yang cenderung lebih tinggi pada
permukaan gambut yaitu pada kedalaman 0-10 cm, hal ini disebabkan oleh adanya
pemadatan gambut karena alat berat yang masuk di lahan saat pembukaan lahan dan
penanaman pada kebun milik perusahaan. Selain itu, Marwanto (2012) melaporkan
-3 -3
bahwa kerapatan akar tersier 0.06-1.49 g dm dan kuarter 0.19-1.87 g dm yang
terkonsentrasi pada kedalaman 0-15 cm, dimana kerapatan akar berkorelasi positif
dengan area piringan tempat pemberian pupuk.
20

Tabel 4. 2 Bobot isi dan kandungan karbon organik gambut pada kedalaman 0-150
cm

Kedalaman Kebun perusahaan Kebun masyarakat


-3
gambut (cm) Bobot isi (g cm ) C-org (%) Bobot isi (g cm-3) C-org (%)
Rataan ± SD
0-10 0.256 ± 0.047 54.0 ± 4.0 0.169± 0.058 56.3 ± 0.3
10-20 0.178 ± 0.032* 53.5 ± 2.9 0.122± 0.031* 58.3 ± 5.7
20-30 0.134 ± 0.045 55.2 ± 1.6 0.175± 0.025 55.3 ± 4.9
30-45 0.137 ± 0.034 54.9 ± 2.5 0.160± 0.017 57.8 ± 3.9
45-60 0.183 ± 0.027 56.5 ± 3.7 0.146± 0.036 55.8 ± 5.0
60-75 0.167 ± 0.012 52.7 ± 2.5 0.167± 0.013 56.2 ± 4.1
75-90 0.193 ± 0.009* 55.1 ± 2.2 0.158± 0.025* 58.0 ± 4.5
90-120 0.092 ± 0.012 55.4 ± 5.1 0.092± 0.012 57.7 ± 3.6
120-150 0.121 ± 0.074 57.8 ± 3.6 0.103± 0.013 60.9 ± 0.7
Rataan 0.162 ± 0.048 55.0 ± 3.1 0.143± 0.031 57.4 ± 3.6
Keterangan: Analisis dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB
*Berbeda nyata pada Uji-T taraf 5%

Kandungan karbon organik (C-org) gambut di perkebunan perusahaan


berkisar antara 52.7-57.8%, dengan rata-rata 55.1 ± 1.1%, sedangkan kandungan C-
org gambut di perkebunan rakyat antara 55.3-60.9%, dengan rata-rata 57.4 ± 1.7%
(Tabel 4.2). Kandungan C-org pada penelitian ini sama dengan penelitian Wahyunto
et al. (2010) di Sumatera (kematangan Saprik) 52.5%, Neuzil (1997) di Sumatera
dan Kalimantan Barat yaitu 57 ± 3% dan Page et al. (2004) yaitu 56 ± 3% di
Kalimantan Tengah.

4.4 Kandungan Karbon Biomasa

Kandungan karbon organik pada tajuk tumbuhan bawah, akar tumbuhan


bawah, serasah, kayu mati, nekromasa kelapa sawit dan biomasa kelapa sawit pada
kebun perusahaan dan kebun masyarakat memiliki rentang nilai yang seragam
(Tabel 4.3). Kandungan karbon pada nekromasa kelapa sawit lebih tinggi
dibandingkan penelitian Syahrinudin (2005) yaitu 41.7 ± 1.0%, namun sama
dengan penelitian Yulianti (2009) yaitu 54.9%.
21

Tabel 4. 3 Kandungan karbon organik pada sumber karbon biomasa

Sumber karbon Kebun perusahaan Kebun masyarakat


Rataan ± SD (%)
Tajuk tumbuhan bawah 47.6 ± 1.4 48.6 ± 3.0
Akar tumbuhan bawah 50.6 ± 3.9 51.4 ± 4.1
Serasah 53.0 ± 5.6 52.2 ± 3.5
Kayu mati 56.8 ± 4.4 57.4 ± 4.0
Nekromasa kelapa sawit dan 53.7 ± 4.4 53.6 ± 3.5
biomassa kelapa sawit
Keterangan: Analisis dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB

4.5 Biomasa Permukaan

Biomasa merupakan bahan organik hasil fotosintesis tumbuhan. Hasil


pengukuran biomasa agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten
Labuhanbatu menunjukkan bahwa secara umum biomasa permukaan (Bap) tidak
berbeda. Total biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit perusahaan
-1
adalah 69.5 ± 21.2 ton ha , sedangkan pada agroekosistem kelapa sawit rakyat
-1
adalah 117.9 ± 54.7 ton ha (Tabel 4.4)

Tabel 4. 4 Biomasa permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa Bilah,


Kabupaten Labuhanbatu

Sumber karbon Agroekosistem kelapa sawit


Perusahaan Kontribusi Masyarakat Kontribusi
ton ha-1 % ton ha-1 %
Tajuk tumbuhan bawah 4.5 ± 4.0 6.4 4.2 ± 0.8 3.9
Tajuk kelapa sawit 22.8 ± 1.7 32.8 21.8 ± 1.7 19.9
Serasah 14.7 ± 18.0 18.6 7.0 ± 8.7 6.4
Nekromasa 3.7 ± 2.0 5.3 5.1 ± 2.4 4.6
Kayu mati 25.6 ± 17.1 36.8 71.6 ± 77.4 65.3
Total 69.5 ± 21.2 109.7 ± 54.7
Keterangan: *Berbeda pada Uji T taraf 5%

Kontribusi biomasa masing-masing sumber karbon permukaan


agroekosistem kelapa sawit perusahaan adalah biomasa tumbuhan bawah 6.4% (4.5
-1 -1
± 4.0 ton ha ), biomasa serasah 18.6% (14.7 ± 18.0 ton ha ), nekromasa 5.3% (3.7
± 2.0 ton ha-1), biomasa kayu mati 36.8% (25.6 ± 17.1 ton ha -1), biomasa tajuk kelapa
-1
sawit 32.8% (22.8 ± 1.7 ton ha ). Kontribusi biomasa masing-masing sumber karbon
permukaan agroekosistem kelapa sawit masyarakat adalah biomasa tumbuhan bawah
-1 -1
3.9% (4.2 ± 0.8 ton ha ), biomasa serasah 6.4% (7.0 ± 8.7 ton ha ), biomasa
-1 -1
nekromasa 4.6% (5.1 ± 2.4 ton ha ), biomasa kayu mati 65.3% (71.6 ± 77.4 ton ha ),
-1
biomasa tajuk kelapa sawit 19.9% (21.8 ± 1.7 ton ha ). Terdapat sebaran kontribusi
yang hampir sama pada kedua perkebunan yaitu kayu mati sebagai kontributor biomasa
tertinggi diikuti tajuk kelapa sawit dan serasah. Meskipun
22

biomasa tumbuhan bawah dan nekromasa memiliki kontribusi yang rendah, namun
sangat berperan penting dalam mengurangi erosi dan aliran permukaan pada
permukaan gambut, serta mampu meningkatkan kandungan C dalam tanah, maupun
aktivitas biologis dalam tanah lainnya.

4.6 Biomasa Bawah Permukaan

Biomasa bawah permukaan (Bbp) merupakan gabungan dari biomasa akar


tumbuhan bawah dan biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit. Biomasa akar
tumbuhan bawah dan biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit tidak berbeda
antara agroekosistem kelapa sawit lahan gambut perusahaan dengan agroekosistem
kelapa sawit lahan gambut masyarakat. Pada agroekosistem kelapa sawit
perusahaan, akar dan pangkal batang kelapa sawit menyumbang 65.9% dari
-1
biomasa bawah permukaan yaitu 11.2 ± 1.7 ton ha , sedangkan tumbuhan bawah
-1
menyumbang 34.1% atau 5.8 ± 3.4 ton ha . Pada agroekosistem kelapa sawit
-1
masyarakat, akar dan pangkal batang kelapa sawit menyumbang 10.7 ± 0.8 ton ha ,
-1
sedangkan tumbuhan bawah menyumbang 2.2 ± 2.7 ton ha . Total biomasa bawah
-1
permukaan agroekosistem kelapa sawit perusahaan (17.0 ± 3.9 ton ha ) lebih
tinggi 33% dibandingkan agroekosistem kelapa sawit masyarakat (12.8 ± 2.1 ton
-1
ha ) (Tabel 4.5).
Kontribusi biomasa akar tumbuhan bawah agroekosistem kelapa sawit
perusahaan adalah 34.1%, sedangkan pada agroekosistem kelapa sawit masyarakat
adalah 16.9%. Kontribusi akar dan pangkal batang kelapa sawit baik pada kebun
perusahaan 65.9%, sedangkan pada kebun masyarakat 83.1%. Meskipun memiliki
kontribusi yang lebih rendah dibandingkan akar dan pangkal batang kelapa sawit,
namun akar tumbuhan bawah berperan penting dalam mencegah erosi pada
permukaan gambut, sehingga mampu mengurangi subsiden. Berdasarkan penelitian
Sudaryanto (2015), gawangan mati yang ditumbuhi gulma mampu menurunkan
aliran permukaan 3 kali lebih baik dibandingkan lahan tanpa gulma.

Tabel 4. 5 Biomasa bawah permukaan pada agroekosistem kelapa sawit di Desa


Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Sumber karbon Agroekosistem kelapa sawit
Perusahaan Kontribusi Masyarakat Kontribusi
-1 -1
ton ha % ton ha %
Akar tumbuhan bawah 5.8± 3.4 34.1 2.2 ± 2.7 16.9
Akar dan pangkal 11.2± 1.7 65.9 10.7 ± 0.8 83.1
batang kelapa sawit
Total 17.0± 3.9* 12.8 ± 2.1*
Keterangan: *Berbeda pada Uji T taraf 5%

Biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit pada penelitian ini sama
dengan penelitian yang dilakukan Yulianti (2009) pada umur kelapa sawit 13 tahun
-1
yaitu 11.3 ton ha berdasarkan rasio akar:tajuk dari penelitian Kiyono et al. (2015),
akan tetapi lebih rendah dari penelitian Kiyono (2015) pada umur kelapa sawit 12
23

-1
tahun di Sarawak, Malaysia yaitu 28.3 ton ha , diduga lahan tempat pengambilan
contoh berada pada lahan gambut dangkal dengan tingkat kematangan saprik.

4.7 Cadangan Karbon Permukaan

Cadangan karbon permukaan (Cap) merupakan cadangan karbon dari


sumber karbon yang berada pada permukaan tanah. Gambar 4.4 menunjukkan
bahwa Cap pada lahan gambut tidak berbeda nyata pada seluruh parameter baik
tajuk tumbuhan bawah, tajuk kelapa sawit, serasah, nekromasa, kayu mati dan total
Cap. Pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan, tajuk tumbuhan
-1
bawah menyumbang 2.1 ± 1.2 ton C ha (5.6%), serasah menyumbang 6.8 ± 2.2
-1 -1
ton C ha (18.1%), nekromasa menyumbang 2.0 ± 1.1 ton C ha (5.3%), kayu mati
-1
menyumbang 14.5 ± 9.7 ton C ha (38.5%), tajuk kelapa sawit menyumbang 12.3 ±
-1 -1
0.9 ton C ha (32.5%), dengan Cap 37.7 ± 11.8 ton C ha . Pada perkebunan kelapa
-
sawit lahan gambut rakyat, tajuk tumbuhan bawah menyumbang 2.1 ± 0.9 ton C ha
1 -1
(3.4%), serasah menyumbang 3.6 ± 4.5 ton C ha (5.9%), nekromasa
-1
menyumbang 2.7 ± 1.3 ton C ha (4.4%), kayu mati menyumbang 41.1 ± 39.2 ton
-1 -1
C ha (67.2%), tajuk kelapa sawit menyumbang 11.7 ± 0.9 ton C ha (19.1%),
-1
dengan Cap kebun rakyat 61.1 ± 36.5 ton C ha . Cadangan karbon permukaan
penelitian ini relatif sama dengan penelitian van Noordwijk et al. (2005), yaitu
-1
berkisar antara 36.9-40.5 ton C ha . Cadangan karbon permukaan tanpa kayu mati
-1
pada kebun kelapa sawit perusahaan adalah 23.2 ± 2.1 ton C ha , sedangkan pada
-1
perkebunan kelapa sawit rakyat adalah 20.1 ± 4.2 ton C ha .

100 61.1 Tajuk tumbuhan bawah


90 41.1
Cadangan 80 Serasah
karbon (t C
ha-1) 70 Nekromasa
60 37.7
50
Kayu mati
40
30 14.5 Tajuk kelapa sawit
20 6.8 12.3 2.7 11.7
2.1 3.6
Cadangan karbon biomasa
10
2.1 2.0

0
Perusahaan Masyarakat permukaan

Perkebunan
Gambar 4. 4 Cadangan karbon biomasa permukaan pada berbagai sumber karbon
perkebunan kelapa sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
24

4.8 Cadangan Karbon Bawah

Permukaan Cadangan Karbon Biomasa Bawah Permukaan

Cadangan karbon bawah permukaan (Cbbp) merupakan gabungan antara


cadangan karbon biomasa bawah permukaan berupa akar tumbuhan bawah dan akar
kelapa sawit dengan cadangan karbon tanah. Akar tumbuhan bawah perkebunan kelapa
-1
sawit lahan gambut perusahaan menyumbang 2.9 ± 1.8 ton C ha dan cadangan karbon
akar dan pangkal batang kelapa sawit perusahaan menyumbang 6.0
-1
± 0.5 ton C ha . Akar tumbuhan bawah perkebunan kelapa sawit lahan gambut
-1
masyarakat menyumbang 1.1 ± 1.4 ton C ha . dan cadangan karbon akar dan pangkal
-1
batang kelapa sawit masyarakat menyumbang 5.7 ± 0.4 ton C ha . Nilai cadangan
karbon akar dan pangkal batang kelapa sawit pada penelitian ini sama dengan
penelitian Yulianti (2009), hal ini diduga karena iklim dan karakteristik gambut yang
mirip dengan dengan tempat penelitian ini dilakukan. Cadangan karbon biomasa bawah
-1
permukaan perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 8.9 ± 1.7 ton C ha dan
-1
perkebunan kelapa sawit rakyat adalah 6.8 ± 1.1 ton C ha (Gambar 4.5).

12 8.9 6.8 Akar tumbuhan bawah


Cadang
an 10 Akar dan pangkal batang kelapa
karbon
(t C/ha) 8
6.0 5.7 sawit
6 2.9 Cadangan karbon biomasa
1.1 bawah permukaan
4
2
0
Perusahaan Rakyat
Perkebunan

Gambar 4. 5 Cadangan karbon biomasa bawah permukaan pada perkebunan kelapa


sawit di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Cadangan Karbon Gambut

Cadangan karbon gambut pada kebun perusahaan hingga kedalaman 150 cm


-1
adalah 1 229 ± 187 ton C ha , sedangkan cadangan karbon gambut pada kebun
-1
masyarakat 1 148 ± 28 ton C ha . Berdasarkan kedalaman gambutnya, kebun
perusahaan dengan kedalaman 437.5 ± 75 cm, memiliki cadangan karbon gambut 4
-1
066 ± 697 ton C ha . Kebun masyarakat dengan kedalaman gambut 425.0 ± 29.0 cm,
-1
memiliki cadangan karbon 3 348 ± 227 ton C ha (Tabel 4.6). Cadangan karbon
gambut pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan
-1
sebelumnya yaitu kedalaman gambut 146 cm = 2 050 ton C ha di Dumai (Safitri
-1
2010), kedalaman gambut 362 cm = 6 394 ton C ha di Rokan Ilir, Riau (Yuono
2009). Nilai cadangan karbon gambut dalam penelitian ini relatif sama dengan
25

-1
penelitian Yulianti (2009) yaitu kedalaman gambut 127.42 cm = 799 ton C ha di
Ajamu, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Menurut Yulianti (2009), cadangan karbon
gambut dipengaruhi oleh ketebalan gambut, bobot isi dan kandungan C-org. Semakin
tebal gambut, semakin besar bobot isi dan semakin tinggi kandungan C-org dengan
semakin matangnya gambut maka semakin tinggi pula cadangan karbon gambut.

Tabel 4. 6 Cadangan karbon gambut di Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu

Kedalaman gambut (cm) -1


Cadangan karbon (ton C ha )
Kebun perusahaan Kebun masyarakat
Rataan ± SD
0-150 1 229 ± 187 1 148 ± 29
437.5 ± 75 vs 425.0 ± 29 4 066 ± 697 3 348 ± 227
Keterangan: *Berbeda nyata pada Uji T 5%

Cadangan karbon bawah permukaan

Nilai cadangan karbon bawah permukaan (Cbp) hasil penelitian menunjukkan


bahwa Cbp perkebunan kelapa sawit perusahaan tidak berbeda dengan Cbp
perkebunan kelapa sawit rakyat. Cbp pada kedalaman 150 cm di perkebunan kelapa
-1
sawit perusahaan adalah 1238 ± 187 ton C ha , sedangkan pada perkebunan kelapa
-1
sawit masyarakat adalah 1155 ± 28 ton C ha . Cbp hingga kedalaman 437.5 ± 75
-1
cm pada perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 4075 ± 697 ton C ha ,
sedangkan perkebunan kelapa sawit masyarakat pada kedalaman 425.0 ± 29 cm
-1
adalah 3355 ± 227 ton C ha (Gambar 4.6).

3355 Cadangan karbon


Rakyat bawah permukaan
1155
Perkebunan

Cadangan karbon
4075 bawah permukaan
Perusahaan kedalaman gambut 150
1238 cm

0 2000 4000 6000 Cadangan karbon (ton C


ha-1)
Gambar 4. 6 Cadangan karbon bawah permukaan gambut hingga kedalaman 150
cm dan cadangan karbon bawah permukaan hingga kedalaman 437.5
± 75 cm pada perkebunan kelapa sawit perusahaan, kedalaman 425.0
± 29 cm pada perkebunan kelapa sawit masyarakat di desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu
26

4.9 Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit

Sekuestrasi karbon merupakan proses penimbunan C dalam tubuh tanaman


hidup (biomasa). Pengukuran sekuestrasi C biomasa tanaman pada suatu lahan akan
menggambarkan jumlah CO2 yang diserap tanaman dari atmosfer dalam suatu
satuan waktu. Pada penelitian ini, penghitungan sekuestrasi tidak termasuk akar
tanaman kelapa sawit yang mati, serasah, tumbuhan bawah, dan nekromasa. Akan
tetapi memasukkan TBS, pelepah yang dipangkas saat pemangkasan pemeliharaan,
akar dan tajuk kelapa sawit. Persentase biomasa pada TBS dan kandungan
karbonnya berdasarkan Lampiran 3.

Tabel 4. 7 Sekuestrasi C pada tanaman kelapa sawit umur 12 tahun di Desa Bilah,
Kabupaten Labuhanbatu
Sumber sekuestrasi Perkebunan
Perusahaan Masyarakat
-1
ton C ha
Tajuk dan akar kelapa sawit 18.26 ± 1.39 17.37 ± 1.35
Pelepah hasil pemangkasan** 31.35 30.30 ± 0.87
Panen (TBS) yang terdiri atas:*** 37.73 38.09
CPO (Crude Palm Oil) 20.06 20.25
PKO (Palm Kernel Oil) 2.95 2.98
TKS (Tandan Kosong Sawit) 4.47 4.51
Serat (Fibre) 5.11 5.16
Cangkang (Shell) 3.33 3.36
POME (Palm Oil Mill Effluent) /Sludge 0.88 0.89
PKC (Palm Kernel Cake) 0.93 0.94
Total 87.34 ± 1.39 85.76 ± 1.11
-1 -1
Sekuestrasi C (ton C ha tahun ) 7.28 ± 0.12 7.15 ± 0.09
Keterangan: *Berbeda nyata pada Uji T 5%
**Data yang diolah dari Yulianti (2009)
***Konversi biomasa dan kandungan karbon berdasarkan Department of Environtment
(1999) , Mahlia et al. (2001), Yaser et al. (2007), Pereira et al. (2012), Sahad et al.
(2004)

Tabel 4.7 mengindikasikan bahwa sekuestrasi pada kebun kelapa sawit lahan
-1 -1
gambut perusahaan umur 12 tahun adalah 7.28 ± 0.12 ton C ha tahun , sedangkan
-1
pada lahan kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat adalah 7.15 ± 0.09 ton C ha
-1
tahun . Sekuestrasi tajuk dan akar tanaman kelapa sawit tanpa pelepah yang dipangkas
-1 -1
dalam penelitian ini adalah 1.52 ton C ha tahun pada kebun kelapa sawit lahan
-1 -1
gambut perusahaan dan 1.45 C ha tahun pada kebun kelapa sawit lahan gambut
masyarakat. Sekuestrasi tajuk dan akar tanaman kelapa sawit yang cukup rendah ini
juga terjadi pada berdasarkan penelitian Yulianti (2009) di lahan gambut pada
-1 -1
perusahaan milik negara di Kabupaten Labuhanbatu yaitu 1.43 ton C ha tahun pada
-1
umur 13 tahun dan menurun menjadi 0.97 ton C ha kelapa sawit umur 17 tahun.
Penurunan ini disebabkan oleh miringnya tanaman kelapa sawit, sehingga tinggi
tanaman bebas daun hanya mengalami sedikit penambahan. Nilai sekuestrasi tajuk dan
akar tanaman kelapa sawit tanpa pelepah yang dipangkas pada penelitian
27

ini lebih kecil dibandingkan penelitian Syahrinudin (2005) di lahan mineral pada
-1 -1
umur 10 tahun (hanya tajuk dan akar saja) 4.9 ton C ha tahun , maupun pada
-1 -1
penelitian van Noordwijk et al. (2010) yaitu 2.09 ton C ha tahun . Hal ini
disebabkan cadangan karbon biomasa tanaman kelapa sawit yang lebih rendah pada
lahan gambut dibandingkan pada lahan mineral.

4.10 Cadangan Karbon Total

Cadangan karbon total antara kebun perusahaan dan kebun rakyat tidak berbeda
nyata pada Uji-T taraf 5% baik pada kedalaman gambut hingga 150 cm, maupun pada
kedalaman riil gambut. Nilai cadangan karbon total kebun kelapa sawit perusahaan
-1
dengan kedalaman gambut hingga 150 cm adalah 1 276 ± 187 ton C ha dan kebun
-1
kelapa sawit rakyat adalah 1 216 ± 28 ton C ha . Estimasi cadangan karbon total
perkebunan kelapa sawit perusahaan dengan kedalaman gambut 437.5
-1
± 75 cm adalah 4 113 ± 697 ton C ha , sedangkan cadangan karbon total
perkebunan kelapa sawit perusahaan dengan kedalaman gambut 425.0 ± 29 cm
-1
adalah 3 416 ± 227 ton C ha (Gambar 4.7).

Bawah permukaan Atas permukaan

3416
Perkebunan rakyat

1216

4113

Perkebunan perusahaan

1276

4.500 3.500 2.500 1.500 500 500


Cadangan karbon total (t C/ha)

Gambar 4. 7 Cadangan karbon total hingga kedalaman 150 cm dan estimasi


cadangan karbon total pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut di
Desa Bilah, Labuhan Batu

4.11 Emisi Input Budidaya

Faktor konversi dalam penghitungan emisi hasil budidaya yang dilakukan


menggunakan perangkat lunak MILCA-JEMAI berdasarkan basis data IDEA yang
terhubung dengan server pusat MILCA-JEMAI. Emisi yang dihitung tidak termasuk
emisi yang dikeluarkan dari manusia (pekerja) dan proses biologis mikroorganisme
28

di dalam tanah. Tabel 4.8 merupakan hasil analisis emisi karbon hasil input proses
budidaya pada Lampiran 2.
Nilai emisi per hektar hasil penambahan input dalam proses budidaya pada
-1 -1
perkebunan kelapa sawit perusahaan adalah 922 kg CO2-eq ha tahun atau 0.066
kg CO2-eq per kg TBS, sedangkan emisi per hektar pada perkebunan kelapa sawit
-1 -1
masyarakat 604.8 ± 238.5 kg CO2 -eq ha tahun (lebih rendah 53% dibandingkan
emisi per hektar lahan perusahaan) atau 0.042 ± 0.011 kg CO2-eq per kg TBS.
Emisi yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit masyarakat cenderung lebih
rendah dibandingkan pada perkebunan kelapa sawit perusahaan, hal ini disebabkan
oleh penggunaan pupuk, pestisida dan bahan bakar yang lebih sedikit, selain itu
waktu pemupukan yang tidak pasti satu tahun sekali menyebabkan emisi per hektar
dari input proses budidaya menjadi semakin kecil.

Tabel 4. 8 Emisi CO2-eq hasil input proses budidaya per hektar berdasarkan potensi
pemanasan global 100 tahun (IPCC 1995)
Perkebunan Emisi per hektar Emisi per kg Keterangan
-1 -1
(ha tahun ) TBS
............kg CO2-eq...........
Perusahaan 922* 0.066* Januari-Desember 2012
Masyarakat 5 675 0.043 Januari-Desember 2012
Masyarakat 5 979 0.058 Januari-Desember 2012
Masyarakat 5 545 0.043 Januari-Desember 2010
Masyarakat 5 463 0.038 Januari-Desember 2012
Masyarakat 5 362 0.028 Januari-Desember 2012
Masyarakat 604.8 ± 238.5* 0.042 ± 0.011*
(rata-rata)
Keterangan: Hasil analisis MILCA-JEMAI
*Berbeda nyata pada Uji T 5%

Emisi akibat penambahan pupuk, pestisida dan penggunaan bahan bakar pada
penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada perkebunan kelapa sawit lahan
mineral umur 1-5 tahun dari penelitian Siregar (2013) di lahan mineral yaitu 1 328
-1 -1
kg CO2-eq ha tahun . Lebih lanjut RSPO (2009) menggunakan nilai 1 000-1 500
-1 -1
kg CO2-eq ha tahun sebagai emisi dari input budidaya berdasarkan penelitian
-1 -1
Nikander (2008) dan emisi dari N2O menyumbang 616 kg CO2-eq ha tahun atau
40-60% dari total emisi, namun pada penelitian ini, N2O hanya menyumbang 20-62
-1 -1
kg CO2-eq ha tahun . Hal ini disebabkan karena MILCA-JEMAI hanya
menghitung emisi dari produksi pupuk N (nitrogen production), sedangkan emisi
N2O akibat penggunaan pupuk N di tanah (nitrogen use) tidak dapat dihitung
menggunakan MILCA-JEMAI, de Souza et al. (2010) menggunakan faktor emisi
18.6 kg CO2-eq untuk penggunaan 1 kg pupuk nitrogen (nitrogen use). Souza et al.
(2010) melaporkan bahwa emisi yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit di
-1
Brazil tanpa emisi dari nitrogen use adalah 728.5 kg CO2-eq ha , di Malaysia
-1
adalah 1 713.0 kg CO2 -eq ha , sedangkan menurut Siregar (2013) di Indonesia
-1
adalah 1 298.0 kg CO2-eq ha untuk tanah mineral.
29

Tabel 4.9 mengindikasikan terdapat lima jenis gas yang dihasilkan dari
penambahan input budidaya yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro
oksida (N2O), perfluorocarbon-14 (PFC-14) dan sulfur heksafluorida.
Karbondioksida merupakan jenis gas penyumbang hasil emisi yang tertinggi pada
-1
kebun milik perusahaan yaitu 882.17 kg CO2-eq ha maupun kebun milik
-1
masyarakat yaitu 546.5 ± 250.1 kg CO 2-eq ha , selanjutnya N2O yaitu
-1
menyumbang 31.34 kg CO2-eq ha pada kebun milik perusahaan dan 32.22 ± 20.07
-1
kg CO2-eq ha pada kebun milik masyarakat, kemudian CH4 yaitu menyumbang
-1
8.90 kg ha CO2-eq) pada kebun milik perusahaan dan 8.58 ± 2.67 1.1-1.6% (4.58-
-1
11.07 kg ha CO2-eq pada kebun milik masyarakat. PFC-14 dan sulfur
-1
heksafluorida menyumbang emisi terkecil yaitu 0.015 kg ha CO2-eq dan 0.0011
-1 -1
kg ha CO2-eq pada kebun milik perusahaan, 0.012 ± 0.004 kg ha CO2-eq dan
-1
0.0004 ± 0.0001 kg ha CO2-eq pada kebun milik masyarakat.

Tabel 4. 9 Emisi gas rumah kaca berdasarkan jenis gas dari penambahan input
dalam proses budidaya
Sulfur
CO2 CH4 N2O PFC-14 heksafluorida
..........................kg CO2-eq ha-1.....................................
Perusahaan 623.62 9.12 42.49 0.015 0.0011
Masyarakat 1 905.16 11.83 62.31 0.009 0.0011
Masyarakat 2 513.21 8.96 22.73 0.012 0.0005
Masyarakat 3 433.60 8.21 21.14 0.014 0.0004
Masyarakat 4 334.09 5.33 22.71 0.007 0.0004
Masyarakat 5 623.62 9.12 42.49 0.016 0.0002
Masyarakat 546.5 ± 250.1 8.58 ± 2.67 32.22 ± 20.07 0.012 ± 0.004 0.0004 ± 0.0001
(rata-rata)
Keterangan: Hasil analisis MILCA-JEMAI (GWP 100 Berdasarkan IPCC 1995)

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut
perusahaan, emisi dari pupuk merupakan penyumbang emisi terbesar 584 kg CO2-eq
(63.3%) diikuti oleh penggunaan bahan bakar 319 kg CO2-eq (34.6%) dan terakhir
adalah pestisida 19.5 kg CO2-eq (2.1%), sedangkan pada perkebunan kelapa sawit
lahan gambut rakyat penyumbang emisi terbesar adalah pemupukan 584 ± 245.27 kg
CO2-eq (88.6-98.7%) diikuti oleh penggunaan pestisida 13.78 ± 13.72 kg CO 2-eq
(0.2-9.8%) dan terakhir adalah bahan bakar 6.92 ± 2.56 kg CO 2-eq (0.6-1.7%).
Sejalan dengan penelitian Siregar (2013) dan de Souza et al. (2010) bahwa pupuk
merupakan penyumbang emisi terbesar dimana 61% (1044.50 kg CO2-eq) di
Malaysia, di 54.7% (398.76 kg CO2-eq) Brazil dan 69.5% (902.90 kg CO2 -eq) di
Indonesia. Bahan bakar menyumbang 37.7% (645.17 kg CO2 -eq) di Malaysia, 37.7%
(274.54 kg CO2-eq) di Brazil dan 30.3% (1.73 kg CO2-eq) di Indonesia. Pestisida
menyumbang 1.3% (23.71 kg CO2-eq) di Malaysia, 7.6% (55.19 kg CO2-eq) di Brazil
dan 0.2% (393.38 kg CO2-eq) di Indonesia.
Input bahan bakar fosil pada perkebunan kelapa sawit lebih tinggi
dibandingkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Penyebab tingginya konsumsi
30

bahan bakar adalah mobilisasi pupuk, pemanenan dan transportasi untuk


mengangkut TBS ke pabrik. Pada kebun masyarakat, petani tinggal di dekat kebun
dan pihak pengepul yang mendatangi petani untuk mengangkut hasil panen,
kendaraan roda dua hanya digunakan pada saat pengangkutan hasil panen. Input
bahan bakar pada penelitian ini termasuk penggunaan bahan bakar untuk kendaraan
yang ada di kebun (mobilisasi pekerja, pupuk dan pemanenan), penggunaan untuk
pompa air pada pembibitan serta penggunaan bahan bakar untuk generator listrik.
Penelitian sebelumnya tidak memasukkan bahan bakar untuk generator dan pompa
air seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2013) dan de Souza et al.
(2010). Penggunaan bahan bakar untuk generator, pompa dan keperluan lain pada
penelitian ini menyumbang 51% dari total bahan bakar yang digunakan.

Tabel 4. 10 Emisi berdasarkan jenis input budidaya

Perkebunan Input
Pupuk Pestisida Bahan bakar
.......................... kg CO2-eq.......................
Perusahaan 584.00 19.50 319.00
Masyarakat 1 656.00 7.48 11.50
Masyarakat 2 966.00 7.13 5.77
Masyarakat 3 521.00 17.90 5.77
Masyarakat 4 456.00 0.70 5.77
Masyarakat 5 321.00 35.70 5.77
Masyarakat (rata-rata) 584 ± 245.27 13.78 ± 13.72 6.92 ± 2.56
Keterangan: Hasil analisis MILCA-JEMAI

5 PEMBAHASAN

5.1 Biomasa dan Cadangan Karbon Permukaan

Perbedaan dalam manajemen pemeliharaan kebun pada perkebunan


perusahaan yang memiliki standar operasional produksi yang jelas dibandingkan
perkebunan rakyat berdampak pada perbedaan cadangan karbon pada permukaan
dan cadangan karbon biomasa bawah permukaan. Pemeliharaan kebun seperti
pemupukan, pengendalian gulma dan pemangkasan merupakan aspek penting yang
berpengaruh terhadap biomasa yang terbentuk dalam agroekosistem kelapa sawit
tidak hanya pada lahan gambut, namun perkebunan kelapa sawit secara umum.
Jenis tumbuhan bawah antara agroekosistem kelapa sawit perusahaan dengan
masyarakat terdapat perbedaan yang mencolok akibat aplikasi herbisida yang
berbeda. Aplikasi herbisida hanya pada jalan panen dan piringan pada blok tanaman
TM menyebabkan tumbuhan bawah kebun perusahaan didominasi oleh
Nephrolepis sp pada gawangan mati dan gawangan hidup. Kebun milik masyarakat
dengan aplikasi herbisida blanket spray selama 6 bulan sekali menyebabkan
gawangan hidup didominasi oleh Fimbristylis sp dan Spaghnum sp, sedangkan
gawangan mati didominasi Nephrolepis dan rumput. Meskipun demikian,
perbedaan tersebut tidak
31

berpengaruh pada bobot biomasa dan cadangan karbon dari tumbuhan bawah pada
-1 -1
kebun milik perusahaan (4.5 ± 4.0 ton ha atau setara 2.1 ± 1.2 ton C ha ) maupun
-1 -1
kebun milik masyarakat (4.2 ± 0.8 ton ha atau setara 2.1 ± 0.9 ton C ha ).
Biomasa tumbuhan bawah pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Syahrinudin
-1
(2005) yaitu antara 1.2-3.2 ton ha , lebih lanjut dijelaskan oleh Chen et al. (1991)
dalam Syahrinudin (2005) bahwa biomasa tumbuhan bawah pada perkebunan
-1 -1
kelapa sawit umur 5 tahun mampu mencapai 2-3 ton ha hingga 7-8 ton ha .
Aplikasi herbisida yang berbeda juga menyebabkan biomasa dan cadangan
-1 -1
karbon serasah yang tinggi yaitu 14.7 ton ha atau setara 6.8 ± 2.2 ton C ha pada
agroekosistem kelapa sawit perusahaan berasal dari Nephrolepis sp mati yang
menumpuk dibawah tumbuhan bawah yang masih hidup. Biomasa serasah pada
-1 -
agroekosistem kelapa sawit rakyat 3.1 ± 3.4 ton ha atau setara 3.6 ± 4.5 ton C ha
1
, disebabkan oleh lahan yang bersih dari serasah akibat aplikasi herbisida secara
blanket spray 6 bulan sekali, serasah hanya berasal dari tumbuhan bawah yang mati
karena aplikasi herbisida. Berdasarkan penelitian Sabiham et al. (2012)
-1
menyebutkan bahwa Nephrolepis sp mampu menyerap CO2 sekitar 9.75 ton ha
-1
tahun , sedangkan Spaghnum sp menurut Belyea dan Malmer (2004) mampu
-1 -1
menyerap hingga 2.64 ton CO2 ha tahun .
Biomasa maupun cadangan karbon dari biomasa tajuk kelapa sawit lebih
rendah pada agroekosistem kelapa sawit masyarakat dibandingkan agroekosistem
kelapa sawit perusahaan, hal ini disebabkan oleh ketinggian tanaman kelapa sawit
di kebun perusahaan (314.4 ± 14.5 cm) lebih tinggi 23% dibandingkan di kebun
masyarakat (255.1 ± 16.3 cm) . Diameter batang antara tanaman kelapa sawit kebun
perusahaan (74.4 ± 1.6 cm) tidak berbeda dibandingkan tanaman kelapa sawit
masyarakat (78.3 ± 2.4 cm) (Tabel 4.9). Selain itu yang mempengaruhi biomasa
maupun cadangan karbon tajuk kelapa sawit adalah populasi kelapa sawit per
hektar, semakin tinggi populasi akan meningkatkan cadangan karbon dari tajuk
sawit, populasi per hektar pada kebun perusahaan adalah 143 tanaman, sedangkan
pada perkebunan kelapa sawit rakyat adalah 135, 135, 140 dan 143 tanaman per
hektar. Pada penelitian ini, satu tanaman pada kebun perusahaan menyumbang
biomasa sebesar 159.7 ± 12.1 kg atau setara 85.6 ± 6.5 kg C, sedangkan pada kebun
masyarakat menyumbang biomasa sebesar 157.6 ± 15.1 kg atau setara 84.6 ± 8.1 kg
C. Meskipun demikian, secara statistik, biomasa tajuk dan cadangan karbon tajuk
tidak berbeda nyata.

Tabel 4. 11 Diameter batang dan tinggi tanaman kelapa sawit di perkebunan kelapa
sawit lahan gambut Desa Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Perkebunan Diameter batang Tinggi tanaman
dengan pelepah bebas daun
............................cm..............................
Perusahaan 74.4 ± 1.6 314.4 ± 14.5*
Masyarakat 78.3 ± 2.4 255.1 ± 16.3*
Keterangan: *Berbeda pada Uji T taraf 5%

-1
Nekromasa pada perkebunan kelapa sawit perusahaan (2 ± 1.1 ton C ha )
memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan pada perkebunan rakyat (2.7 ± 1.3
32

-1
ton C ha ) diduga disebabkan oleh pembusukan yang lebih cepat terjadi pada
nekromasa di kebun perusahaan, karena tertutup oleh tumbuhan bawah yang hidup
di gawangan mati, selain itu pemangkasan pemeliharaan yang belum dilakukan
pada saat pengambilan contoh nekromasa menyebabkan jumlah nekromasa yang
lebih sedikit. Nekromasa yang masih segar didapati pada pengambilan contoh di
salah satu kebun kelapa sawit masyarakat, hal ini disebabkan karena baru dua hari
sebelumnya dilakukan panen dan pemangkasan pemeliharaan.
-1
Nilai biomasa kayu mati yang tinggi (71.6 ± 77.4 ton ha atau setara 41.1 ± 39.2
-1
ton C ha ) pada kebun masyarakat dibandingkan pada kebun perusahaan (25.6
-1 -1
± 17.1 ton ha atau setara 14.5 ± 9.7 ton C ha ) disebabkan oleh kecenderungan
membiarkan kayu mati pada lahan selama tidak menghalangi proses pemanenan.
Pada kebun masyarakat banyak dijumpai kayu mati yang hanya dipotong pada
bagian yang menghalangi jalan panen saja. Kebun perusahaan dengan alat berat
yang lebih memadai akan memotong dan membenamkan kayu saat pembukaan
lahan maupun saat replanting, sehingga sedikit dijumpai kayu mati di lahan.
Cadangan karbon permukaan pada agroekosistem kelapa sawit lahan gambut
-1
yang lebih rendah (37.7 ± 11.8 ton C ha ) dibandingkan pada agroekosistem kelapa
-1
sawit lahan gambut masyarakat (61.1 ± 36.5 ton C ha ).. Meskipun nilai cadangan
karbon permukaan pada perkebunan rakyat sedikit lebih tinggi, namun memiliki nilai
deviasi cadangan karbon yang lebih tinggi dibandingkan pada kebun perusahaan. Hal
ini disebabkan variasi dari pemeliharaan kebun masyarakat yang tidak memiliki standar
pemeliharaan kebun yang sama dibandingkan kebun kelapa sawit masyarakat serta
kontribusi kayu mati yang sangat tinggi pada agroekosistem kelapa sawit masyarakat
-1
yaitu 41.1 ± 39.2 ton C ha dibandingkan pada agroekosistem kelapa sawit perusahaan
-1
25.6 ± 17.1 ton ha . Perbedaan dalam pemeliharaan kebun menjadi faktor utama yang
menyebabkan perbedaan cadangan karbon permukaan. Cadangan karbon permukaan
tanpa kayu mati pada kebun kelapa sawit perusahaan adalah 23.2
-1
± 2.1 ton C ha , sedangkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat adalah 20.1 ± 4.2
-1
ton C ha .

5.2 Biomasa dan Cadangan Karbon Biomasa Bawah Permukaan

Biomasa dan cadangan karbon biomasa bawah permukaan erat kaitannya dengan
biomasa atas permukaan. Biomasa akar tumbuhan bawah yang didominasi Nephrolepis
pada kebun kelapa sawit perusahaan menjadi penentu tingginya biomasa dan cadangan
-1 -1
karbon dari akar tumbuhan bawah (5.8 ± 3.4 ton ha atau setara 2.9 ± 1.8 ton C ha )
-1
dibandingkan pada kebun kelapa sawit masyarakat (2.2 ± 2.7 ton ha atau setara 1.1 ±
-1
1.4 ton C ha ) yang didominasi Spaghnum dan Fimbristylis pada gawangan hidup dan
Nephrolepis di gawangan mati. Pada penelitian ini, akar tumbuhan bawah pada kebun
kelapa sawit perusahaan menyumbang 32.8% cadangan karbon biomasa bawah
permukaan atau 6.3% dari total cadangan karbon biomasa di agroekosistem kelapa
-1
sawit lahan gambut perusahaan (46.69 ± 11.24 ton C ha ), sedangkan pada kebun
kelapa sawit masyarakat, akar tumbuhan bawah menyumbang 16.3% cadangan karbon
biomasa bawah permukaan atau 1.6% total cadangan karbon
biomasa di agroekosistem kelapa sawit lahan gambut masyarakat (67.95 ± 35.7 ton
-1
C ha ).
33

Biomasa dan cadangan karbon pada akar dan pangkal batang kelapa sawit
dipengaruhi oleh besarnya nilai tajuk kelapa sawit. Semakin tinggi biomasa tajuk
kelapa sawit maka semakin tinggi biomasa maupun cadangan karbon akar dan
pangkal batang kelapa sawit. Pada penelitian ini, satu tanaman kelapa sawit akan
menambah biomasa akar dan pangkal batang kelapa sawit perusahaan sebesar 78.2
± 5.9 kg atau setara 41.9 ± 3.2 kg C, sedangkan pada kebun masyarakat satu
tanaman kelapa sawit akan menambah biomasa akar dan pangkal batang kelapa
sawit sebesar 77.2 ± 7.4 kg atau setara 41.5 ± 4.5 kg C. Akar dan pangkal batang
kelapa sawit kebun perusahaan menyumbang 67.18% cadangan karbon biomasa
bawah permukaan atau 12.9% dari total cadangan karbon biomasa di agroekosistem
-1
kelapa sawit lahan gambut perusahaan (46.69 ± 11.24 ton C ha ), sedangkan pada
kebun masyarakat menyumbang 83.7% cadangan karbon biomasa bawah
permukaan atau 8.4% total cadangan karbon biomasa di agroekosistem kelapa sawit
-1
lahan gambut rakyat (67.95 ± 35.7 ton C ha ).
Cadangan karbon biomasa dibawah permukaan pada kebun kelapa sawit
-1
perusahaan pada penelitian ini menyumbang 19% (8.9 ± 1.7 ton C ha ) dari total
cadangan karbon biomasa, sedangkan pada kebun kelapa sawit lahan gambut rakyat
-1
menyumbang 10.1% (6.8 ± 1.1 ton C ha ) dari total cadangan karbon biomasa.
Kontribusi cadangan karbon biomasa bawah permukaan terhadap total cadangan
biomasa tanpa kayu mati pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan
adalah 38.5%, sedangkan pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut rakyat 34%.
Kontribusi cadangan karbon biomasa bawah permukaan penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan penelitian Syahrinudin (2005) yaitu antara 21.2-32.5%

5.3 Sekuestrasi Tanaman Kelapa Sawit

Sekuestrasi pada tajuk dan akar tanaman kelapa sawit perusahaan adalah 1.52
-1 -1
± 0.1 ton C ha tahun (20.9% dari total sekuestrasi), sedangkan pada perkebunan
-1 -1
kelapa sawit masyarakat adalah 1.45 ± 0.1 ton C ha tahun (20.3% dari total
sekuestrasi). Penambahan TBS dan pelepah dari pemangkasan pemeliharaan
-1 -1
menambahkan 5.76 ton C ha tahun (79.1%) pada sekuestrasi tanaman kelapa
-1 -1
sawit lahan gambut kebun perusahaan menjadi 7.28 ± 0.12 ton C ha tahun ,
-1 -1
dimana TBS menyumbang 3.14 ton C ha tahun (43.2%) dan pelepah dari
-1 -1
pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.61 ton C ha tahun (35.9%). Pada
kebun kelapa sawit lahan gambut masyarakat, penambahan TBS dan pelepah dari
-1
pemangkasan pemeliharaan menambahkan sekuestrasi sebesar 4.65 ton C ha
-1 -1 -1
tahun (79.7%) menjadi 7.15 ± 0.09 ton C ha tahun , dimana TBS menyumbang
-1 -1
hingga 3.17 ± 0.47 ton C ha tahun (44.4%) dan pelepah dari pemangkasan
-1 -1
pemeliharaan menyumbang 2.53 ± 0.07 ton C ha tahun (35.3%).
TBS dan pelepah dari pangkasan pemeliharaan merupakan bagian dari biomasa
yang seharusnya ditambahkan dalam sekuestrasi, karena merupakan bagian dari
biomasa tanaman kelapa sawit. Informasi yang minim mengenai biomasa dan
kandungan C pada setiap bagian dari TBS yang diolah di pabrik pengolahan menjadi
kendala mengapa TBS tidak dimasukkan dalam perhitungan pada penelitian
-1 -1
sebelumnya. Sumbangan C dari biomasa TBS sebesar 3.14-3.17 ton C ha tahun
(43.2-44.4%) pada penelitian ini menjadi bukti bahwa TBS juga merupakan bagian
penting dalam perhitungan sekuestrasi pada perkebunan kelapa sawit. Setiap
34

peningkatan 1 ton TBS per hektar per tahun menyumbangkan C sebanyak 0.34 ton
-1
tahun . Kelemahan dalam perhitungan kandungan karbon TBS dalam penelitian ini
adalah tidak mampu menghitung perubahan cadangan C jika TBS memiliki kadar
air yang berbeda, karena kadar air dianggap sama yaitu 44.8%, sedangkan pada
TBS milik perusahaan memiliki kadar air 33%.
Pelepah dari pemangkasan pemeliharaan merupakan biomasa tanaman kelapa
sawit dan merupakan nekromasa pada cadangan karbon perkebunan kelapa sawit.
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa kandungan karbon dari pelepah dari pemangkasan
tanaman kelapa sawit lahan gambut milik perusahaan selama delapan tahun (31.35
-1
ton C ha ) lebih tinggi 71% dibandingkan kandungan karbon tajuk dan akar kelapa
-1
sawit umur 12 tahun (18.26 ± 1.39 ton C ha ), sedangkan kandungan karbon dari
pelepah dari pemangkasan tanaman kelapa sawit lahan gambut milik masyarakat
-1
selama delapan tahun (30.30 ± 0.87 ton C ha ) lebih tinggi 74% dibandingkan
kandungan karbon tajuk dan akar kelapa sawit umur 12 tahun (17.37 ± 1.35 ton C
-1
ha ). Kontribusi pelepah dari pemangkasan pemeliharaan terhadap sekuestrasi
-1 -1
tanaman kelapa sawit di lahan gambut adalah 2.53-2.61 ton C ha tahun (35.3-
-1
35.9%). Nekromasa yang tersisa 2-2.7 ton C ha pada umur tanaman kelapa sawit
12 tahun menandakan bahwa pelepah cepat terdekomposisi.

5.4 Cadangan Karbon Gambut

Cadangan karbon gambut bergantung pada kematangan karbon, bobot isi,


kandungan karbon, serta kedalaman gambut. Sedangkan perbedaan cadangan
karbon gambut pada kedalaman yang sama dipengaruhi oleh rata-rata densitas C.
Pada penelitian ini, rata-rata densitas C gambut pada lahan gambut perusahaan
-3
adalah 0.0891 g C cm , sedangkan pada gambut lahan gambut masyarakat adalah
-3
0.082 g C cm . Perbedaan densitas C menyebabkan perbedaan cadangan karbon
gambut dengan kedalaman yang sama.

5.5 Cadangan Karbon Total

Cadangan karbon total merupakan jumlah dari seluruh sumber karbon. Pada
penelitian ini, nilai cadangan karbon total kebun kelapa sawit lahan gambut
-
perusahaan dengan kedalaman gambut hingga 150 cm adalah 1 343 ± 187 ton C ha
1 -1
dan kebun kelapa sawit lahan gambut rakyat adalah 1 216 ± 28 ton C ha .
Estimasi cadangan karbon total perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan
-1
dengan kedalaman gambut 437.5 ± 75 cm adalah 4 113 ± 697 ton C ha , sedangkan
cadangan karbon total perkebunan kelapa sawit rakyat dengan kedalaman gambut
-1
425.0 ± 29 cm adalah 3 416 ± 227 ton C ha .
Cadangan karbon biomasa pada agroekosistem kelapa sawit lahan gambut
perusahaan umur 12 tahun hingga kedalaman 150 cm menyumbang 3.66% (46.69 ±
-1 -1
11.24 ton C ha ) dari total cadangan karbon (1 276 ± 187 ton C ha ), sedangkan pada
agroekosistem kelapa sawit lahan gambut rakyat umur 10-12 tahun hingga kedalaman
-1
150 cm menyumbang 5.59% (67.95 ± 35.7 ton C ha ) dari total cadangan karbon (1
-1
216 ± 28 ton C ha ). Sedangkan tanpa kayu mati, cadangan karbon biomasa pada
agroekosistem kelapa sawit lahan gambut perusahaan umur 12 tahun
35

-1
hingga kedalaman 150 cm menyumbang 2.55% (32.49 ± 1.79 ton C ha ) dari total
-1
cadangan karbon (1 261 ± 187 ton C ha ) dan agroekosistem kelapa sawit lahan
gambut rakyat umur 10-12 tahun hingga kedalaman 150 cm menyumbang 2.29%
-1 -1
(26.90 ± 5.13 ton C ha ) dari total cadangan karbon (1 175 ± 28 ton C ha )

5.6 Emisi dari Input Budidaya

Input budidaya sebagai proses dalam produksi TBS pada perkebunan kelapa
sawit merupakan bagian dari pemeliharaan kebun. Emisi input budidaya pada
-1 -1
perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan 922 kg CO 2 ha tahun lebih
tinggi 52.4% dibandingkan emisi pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut
-1 -1
rakyat 604.8 ± 238.5 kg CO2 ha tahun . Sedangkan pada emisi yang dihasilkan
per kg TBS yang diproduksi, pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut
perusahaan adalah 0.066 kg CO2 per kg TBS lebih tinggi 36.4% dibandingkan pada
perkebunan kelapa sawit lahan gambut rakyat yaitu 0.042 ± 0.011 kg CO 2 per kg
TBS. Emisi per kg TBS dipengaruhi oleh faktor input budidaya dan produktivitas
tanaman, sedangkan emisi input budidaya per hektar tidak dipengaruhi oleh
produktivitas tanaman. Sehingga untuk menurunkan emisi per kg TBS, maka
produktivitas harus ditingkatkan, baik dengan penambahan input pupuk,
penyiangan gulma di piringan sebelum aplikasi pupuk, pemangkasan pemeliharaan,
serta pengaturan tinggi muka air dipertahankan pada 60-70 cm.
Emisi Emisi dari pupuk merupakan penyumbang emisi terbesar 584 kg CO 2-eq
(63.3%) diikuti oleh penggunaan bahan bakar 319 kg CO 2-eq (34.6%) dan terakhir
adalah pestisida 19.5 kg CO2-eq (2.1%), sedangkan pada perkebunan kelapa sawit
lahan gambut masyarakat penyumbang emisi terbesar adalah pemupukan 584
± 245.27 kg CO2-eq (88.6-98.7%) diikuti oleh penggunaan pestisida 13.78 ± 13.72 kg
CO2-eq (0.2-9.8%) dan terakhir adalah bahan bakar 6.92 ± 2.56 kg CO 2-eq (0.6-1.7%).
Pengurangan emisi per hektar baik pada perkebunan kelapa sawit lahan gambut
perusahaan dan perkebunan kelapa sawit lahan gambut rakyat dapat dilihat dari tiga
faktor input yaitu penambahan pupuk, penggunaan pestisida, dan penggunaan bahan
bakar fosil. Emisi dari penggunaan pupuk dapat dikurangi dengan penggunaan pupuk
organik, baik menggunakan abu janjang, maupun dengan mengembalikan tandan
kosong sawit (TKS) ke kebun. Penggunaan abu janjang 2 kg per tanaman mampu
mengurangi penggunaan 0.75 kg MOP, sedangkan penelitian Prayitno et al. (2008),
-1
pada tanaman kelapa sawit umur 23 tahun (2007) yang hanya diberi TKS 20 ton ha
dari tahun 1998, mampu meningkatkan jumlah tandan 18.6%, berat tandan 4.3% dan
produktivitas 25.03% dibandingkan menggunakan pupuk anorganik saja dengan dosis
2.75 kg urea per tanaman, 2.25 kg TSP per tanaman, 2.25 kg MOP per tanaman dan
3.75 kg dolomit per tanaman per tahun. Disamping itu penggunaan TKS mampu
meningkatkan cadangan karbon. Emisi dari penggunaan herbisida pada perkebunan
rakyat dapat dikurangi dengan hanya menyemprot herbisida pada piringan dan jalan
panen menggunakan herbisida sistemik dan selektif, tergantung pada jenis gulma, hal
ini juga akan mampu meningkatkan cadangan karbon dari tumbuhan bawah.
Penanaman legume cover crop (LCC) seperti Mucuna sp juga dapat menekan
pertumbuhan gulma, selain itu mampu meningkatkan biomasa serasah dari daun LCC
yang membusuk. Emisi dari insektisida dapat dikurangi dengan penggunaan musuh
alami seperti burung hantu untuk pengendalian
36

hama tikus, parasitoid untuk pengendalian ulat api, penggunaan cendawan


Metarrrhizium anisopliae pada tumpukan batang kelapa sawit maupun di sekitar
gawangan mati yang mampu menginfeksi lundi dari kumbang badak dengan dosis 1
2
kg per batang atau 20 g m , serta penyebaran kumbang badak jantan yang telah
diinfeksi dengan baculovirus. Pengurangan emisi dari input bahan bakar dapat
dilakukan dengan efisiensi bahan bakar. Penggunaan kendaraan yang hemat bahan
bakar dapat menjadi alternatif guna meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar
kendaraan dan mesin genset, untuk area yang dekat dengan pabrik pengolahan
kelapa sawit dapat menggunakan listrik yang dihasilkan dari generator pabrik.
Penggunaan gas metana melalui methane trap kolam limbah POME (Palm Oil Mill
Effluent) sebagai sumber bahan bakar generator listrik dapat menjadi alternatif
untuk mengurangi penggunaan bahan bakar solar untuk generator listrik maupun
pompa air, dimana pada penelitian ini, penggunaan bahan bakar untuk generator,
pompa dan keperluan lain menyumbang 51% dari total bahan bakar yang
digunakan. Hal tersebut diatas selain mampu mengurangi emisi dari input budidaya
juga mampu mengurangi input kimia dan bahan bakar pada perkebunan kelapa
sawit, sehingga akan lebih ramah lingkungan.

5.7 Batasan

Emisi yang dihitung menggunakan MILCA-JEMAI merupakan emisi yang


dihasilkan dari proses produksi terutama pada pupuk dan pestisida, sedangkan untuk
dolomit hanya digunakan input emisi dolomit dari penggunaan. Emisi dari penggunaan
nitrogen di tanah tidak dapat dihitung dalam MILCA-JEMAI, sehingga tidak dapat
diketahui besarnya emisi pupuk N dari penggunaan nitrogen di tanah, emisi ini sangat
penting karena memiliki kontribusi 40-60% dari total emisi dari input budidaya. Input
bahan bakar pada penghitungan emisi terutama solar dianggap sebagai emisi dari
penggunaan bahan bakar solar pada mesin kendaraan. Batasan lain yang ada pada
MILCA-JEMAI adalah keterbatasan basis data pada emisi bahan aktif untuk fungisida,
herbisida dan insektisida. Perbaikan model dengan memisahkan antara input bahan
bakar dari kendaraaan pengangkut TBS, mobilisasi pupuk dan pekerja, pompa air, serta
penggunaan bahan bakar untuk keperluan antar jemput sekolah maupun untuk
keperluan lain dapat memberikan data emisi yang lebih rinci, sehingga pengambilan
keputusan dalam efisiensi penggunaan bahan bakar untuk mengurangi emisi dari input
bahan bakar dapat lebih baik.

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Cadangan karbon hingga kedalaman gambut 150 cm pada perkebunan kelapa


-1
sawit lahan gambut perusahaan adalah 1 276 ± 187 ton C ha tidak berbeda dengan
-1
perkebunan kelapa sawit lahan gambut rakyat yaitu 1 216 ± 28 ton C ha . Cadangan
karbon tersebut berasal dari cadangan karbon permukaan tanah yang terdiri dari tajuk
tumbuhan bawah, tajuk kelapa sawit, nekromasa, serasah dan kayu mati,
37

dengan nilai cadangan karbon permukaan pada perkebunan kelapa sawit perusahaan
-1
37.7 ± 11.8 ton C ha , tidak berbeda dengan perkebunan kelapa sawit rakyat yaitu
-1
61.1 ± 36.5 ton C ha . Cadangan karbon bawah permukaan yang terdiri dari cadangan
karbon biomasa dan cadangan karbon gambut, dengan nilai cadangan karbon biomasa
-
bawah permukaan dan gambut perkebunan kelapa sawit perusahaan 8.9 ± 1.7 ton C ha
1 -1
dan 1 229 ± 187 ton C ha , sedangkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat 6.8 ± 1.1
-1 -1
ton C ha dan 1 148 ± 29 ton C ha . Cadangan karbon biomasa pada perkebunan
kelapa sawit rakyat memiliki deviasi yang tinggi akibat perbedaan pemeliharaan kebun
antar petani. Sumber karbon dari kayu mati menjadi kontributor utama cadangan
karbon biomasa pada perkebunan kelapa sawit perusahaan maupun rakyat. Cadangan
karbon biomasa permukaan tanpa kayu mati pada perkebunan kelapa sawit lahan
-1
gambut perusahaan adalah 23.2 ± 2.1 ton C ha , sedangkan pada perkebunan kelapa
-1
sawit lahan gambut rakyat adalah 20.1 ± 4.2 ton C ha . Nilai sekuestrasi tanaman
-1
kelapa sawit lahan gambut perusahaan umur 12 tahun adalah 7.28 ± 0.12 ton C ha
-1
tahun , dimana tajuk dan akar kelapa sawit menyumbang 1.52
-1 -1 -1 -1
± 0.1 ton C ha tahun , TBS menyumbang 3.14 ton C ha tahun dan pelepah dari
-1 -1
pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.61 ton C ha tahun . Nilai sekuestrasi
tanaman kelapa sawit lahan gambut masyarakat umur 12 tahun adalah 7.15 ± 0.09
-1 -1
ton C ha tahun , dimana tajuk dan akar kelapa sawit menyumbang 1.45 ± 0.1 ton
-1 -1 -1 -1
C ha tahun , TBS menyumbang 3.17 ± 0.47 ton C ha tahun dan pelepah dari
-1 -1
pemangkasan pemeliharaan menyumbang 2.53 ± 0.07 ton C ha tahun . Estimasi
cadangan karbon total perkebunan kelapa sawit lahan gambut perusahaan dengan
-1
kedalaman gambut 437.5 ± 75 cm adalah 4 113 ± 697 ton C ha , sedangkan
cadangan karbon total perkebunan kelapa sawit rakyat dengan kedalaman gambut
-1
425.0 ± 29 cm adalah 3 416 ± 227 ton C ha .
Emisi gas rumah kaca per hektar pada perkebunan kelapa sawit lahan
-1 -1
gambut perusahaan (922 kg CO2-eq ha tahun ) lebih tinggi 52.4% dibandingkan
-1
perkebunan kelapa sawit lahan gambut rakyat (604.8 ± 238.5922 kg CO 2-eq ha
-1
tahun ). Emisi dari pupuk merupakan penyumbang emisi terbesar 584 kg CO 2-eq
(63.3%) diikuti oleh penggunaan bahan bakar 319 kg CO 2-eq (34.6%) dan terakhir
adalah pestisida 19.5 kg CO2-eq (2.1%), sedangkan pada perkebunan kelapa sawit
lahan gambut masyarakat penyumbang emisi terbesar adalah pemupukan 584 ±
245.27 kg CO2-eq (88.6-98.7%) diikuti oleh penggunaan pestisida 13.78 ± 13.72 kg
CO2-eq (0.2-9.8%) dan terakhir adalah bahan bakar 6.92 ± 2.56 kg CO 2-eq (0.6-
1.7%). Pemeliharaan kebun yang berbeda pada perkebunan kelapa sawit lahan
gambut rakyat akibat perbedaan kemampuan finansial petani menghasilkan emisi
yang beragam baik pada input pupuk, pestisida, maupun bahan bakar.

6.2 Saran

Penanaman legume cover crop atau membiarkan gulma tumbuh pada


gawangan hidup mampu meningkatkan cadangan karbon pada perkebunan kelapa
sawit masyarakat, sehingga dapat menurunkan emisi dari pengurangan penggunaan
herbisida. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cadangan karbon dan
emisi yang dihasilkan pada berbagai umur tanaman kelapa sawit hingga 25 tahun,
sehingga perubahan nilai cadangan karbon dan emisi agroekosistem kelapa sawit di
berbagai umur kelapa sawit dapat diketahui.
38

DAFTAR PUSTAKA

Abat M, McLaughlin MJ, Kirby JK, Stacey SP. 2012. Adsorption and desorption of
copper and zinc in tropical peat soils of Sarawak, Malaysia. Geoderma 175-
176:58-63.
Aulakh MS, Doran JW, Mosier AR. 1992. Soil denitrification-significance,
measurement and effect of management. Adv. Soil Sci.18:1-57.
Beylea LR, Malmer N. 2004. Carbon sequestration in peatland: patterns and
mechanism of response to climate change. Global Change Biology 10:1043-1052.
Bing CAO, Yun HF, Ming XQ, Bin Y, Xin CAIG. 2006. Denitrification losses and
N2O emissions from nitrogen fertilizer applied to a vegetable field. Pedosphere
16(3):390-397.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 7722:2011: Pengukuran dan
penghitungan cadangan karbon-Pengukuran lapangan untuk penaksiran
cadangan karbon hutan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Indonesia.
Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Fölster H,
Fromard F, Higuchi N, Kira T. 2005. Tree allometry and improved estimation of
carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145:87–99.

Chen, C.P.H.K., Wong and Dahlan, I. 1991. In: Y.W. Ho et al. (eds.), Recent
Advances on the Nutrient of Herbivores. Malaysian Society and Animal
Production. 233-246. Dalam: Syahrinudin. 2005. The potential of oil palm and
forest plantations for carbon sequestration on degraded land in Indonesia
[Disertasi]. Vlek PLG, Denich M, Martius C, Rodgers C, van de Giesen N,
editor. Göttingen (DE): Cuvillier Verlaag Göttingen.
Cicerone RJ, Oremland RS. 1988. Biogeochemical aspects of atmospheric methane.
Global Biogeochemical Cycles 2: 299-327.
CMDL. 2001. Climate Monitoring and Diagnostic Laboratory (CMDL) of the
National Oceanographic and Atmospheric Administration. Boulder, CO, USA.
Colourn P, Dowdell RJ. 1984. Denitrification in field soils. Plant Soil 76:213-226.
Couwenberg J, Dommain R, Joosten H. 2010. Greenhouse gas fluxes from tropical
peatlands in Southeast Asia. Global Change Biology 16:1715-1732.
Department of Environment. 1999. Industrial Processes & The Environment
(Handbook No.3) Crude Palm Oil Industry. Ministry of Science, Technology and
Environtment. Malaysia.
de Souza SP, Pacca S, de Ávila MT, Borges JLB. 2010. Greenhouse gas emissions
and energy balance of palmoil biofuel. Renewable Energy (25)11: 2552–2561.
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Perkembangan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia. Workshop Sustainability Indicators Assessment for
Palm Oil Biodiesel; 12 April 2012; Bogor, Indonesia. Bogor (ID).
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia
2013-2015 Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan
Dlugokencky E. 2001. NOAA CMDL Carbon Cycle Greenhouse Gases, Global
average atmospheric methane mixing ratios, NOAA CMDL cooperative air
sampling network. Http://www.cmdl.noaa.gov/ccg/figures/ch4trend-global.gif.
[12 Maret 2012]
FAO 2009. FAOSTAT online statistical service. Food and Agriculture Organization of
the United Nations, Rome, Italy. http://faostat.fao.org [2 juli 2012]
39

Garcia IL. 1990. Taxonomy and Ecology of Metanogens. FEMS Microbial Review
87:297-308.
Gates DM. 1993. Climate Change and Its Biological Consequences. Sinauer,
Sunderland, MA.
Gunarso P, Hartoyo ME, Agus F, Killeen TJ. 2013. Oil palm and land use change in
Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Rountable on Sustainable Palm
Oil, Kuala Lumpur, Malaysia. http://www.tropenbos.org/ 2015 [4 januari 2016]
Hadiwijaya B, Caliman JP. 2012. Measuring ecological flux using open path eddy
covariance method for assessing CO2 exchange in oil palm plantation. 3rd
International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE), 2012
February 22-24, Bali, Indonesia. http://www.icope-series.com [2 Januari 2013]
Handayani, E.P. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) Pada
Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman Dalam
Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Henson IE. 1999. Comparative ecophysiology of oil palm and tropical rainforest.
In: Gurmit Singh et al., editor. Oil Palm & The Environment: A Malaysian
Perspective Malaysian Oil Palm Growers Council, Kuala Lumpur. hlm 9-39.
Dalam: Malaysian Palm Oil Council. 2008. Fact Sheet Malaysian Palm Oil.
http://www.americanpalmoil.com [2 Januari 2013]
Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, Wösten H, Jauhiainen J. 2010.
Current and future CO2 emission from drained peat lands in Southest Asia.
Biogeosci 7:1505-1514.
Hooijer, A., S. Page, J. Jauhiainen, W.A. Lee, X.X. Lu, A. Idris, G. Anshari. 2012.
Subsidence and carbon loss in drained tropical peatlands. Biogeosciences
9:1053-1071.
IPCC. 1995. Climate change 1995: The Science of Climate Change. Cambridge
University Press, Cambridge.
IPCC. 2001. Climate change 2001, Third Assessment Report of the IPCC,
Cambridge University Press, UK.
Irmansyah. 2004. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. Makalah Pengantar
Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
[ISRIC] International Soil Rreference and Information Centre. 2002. Procedure for
th
soil analysis 6 Edition. Reeuwijk LPV, editor. Wageningen (ND): ISRIC in
collaboration with FAO.
Jauhiainen J, Silvennoinen S. 2012. Diffusion GHG fluxes at tropical peatland
drainage canal water surfaces. Finnish Peatland Society. Suo 63(3-4): 93-105
Jenkinson DS, Adams DE, Wild A. 1991. Model estimates of CO2 emissions from
soil in response to global warming. Nature (London) 351: 304-306.
Jones RD, Morita RY. 1983. Methane oxidation by Nitrosococcus oceanus and
Nitrosomonas europaea. Applied and Environmental Microbiology 45:401-410.
Kattenberg A, Giorgi F, Grassl H, Meehl GA, Mitchell JFB, Stouffer RJ, Tokioka T,
Weaver AJ. Wigley TML. 1996. Climate models projections of future climate. Di
dalam: J.T. Houghton et al ., editor. Climate Change 1995: The Science of Climate
Change. NewYork (USA) .Cambridge University Press. hlm 285-357.
Khalid H, Zin ZZ, Anderson JM. 1999. Quantification of oil palm biomass and
nutrient value in a mature plantation. I, above-ground biomass. Journal of Oil
Palm Research (2)1:23-32.
40

Khasanah N, van Noordwijk M, Ningsih H. 2015. Aboveground carbon stocks in


oil palm plantations and the threshold for carbon-neutral vegetation conversion
on mineral soils. Cogent Environmental Science 1:1119964.
Kiyono Y, Monda Y, Toriyama J, Chaddy A, Goh KJ, Melling L. 2015. Destructive
sampling method for estimating the biomasses of African oil palm (Elais
guineensis) plantations on tropical peatland. Bulletin of FFPRI (14)3:147-158
Koh LP, Ghazoul J. 2008. Biofuels, biodiversity and people: understanding the
conflicts and finding opportunities. Biololgy Conservation 141:2450-2460.
Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is oil palm agriculture really destroying tropical
biodiversity?. Conservation Letters 1:60-64.
Lamade E, Setiyo IE. 2012. Variations of Carbon Content among Oil Palm Organs
in North Sumatra Conditions: Implication for Carbon Stock Estimation at
Plantation Scale. Conserving Forests, Expanding Sustainable Palm Oil
Production Conference, ICOPE 22-24 February 2012, Grand Hyatt Hotel, Nusa
Dua Bali, Indonesia
Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit (Elais guineensis Jacq. L.) di Indonesia. Pusat
Penelitian Kebun Marihat. Bandar Kuala, Pematang Siantar. 435 hal.
Mahlia TMI, Abdulmuin MZ, Alamsyah TMI, Mukhlishien D. 2001. An alternative
energy source from palm wastes industry for Malaysia and Indonesia. Energy
Conversion and Management 42:2109-2118.
Marwanto S, Sabiham S, Sudadi U, Agus F. 2012. Distribusi Unsur Hara dan
Perakaran pada Pola Pemupukan Kelapa Sawit di Dalam Piringan di Kabupaten
Muaro Jambi, Provinsi Jambi. www.bbsdlp.litbang.pertanian.go.id [2 juli 2012]
Mazwar. 2011. Kajian Cadangan Karbon pada Gambut Tropika yang di Drainase
untuk Tanaman Tahunan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
McLain JET, Martens DA. 2006. Moisture control on trace gas fluxes in semiarid
riparian soil. Soil Science Society of American Journal 70:367-377.
Melling L, Hatano R, Goh KJ. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystem in tropical
peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus 57B:1-11.
Mosier A, WassmannnR, Verchot L, King J, Palm C. 2004. Methane and nitrogen
oxide fluxes in tropical agricultural soils: sources, sinks and mechanisms.
Environment, Development and Sustainability 6:11-49.
Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Pengelolaan Lahan Gambut untuk
Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor.
NASA. 2015. Graphic: The relentless rise of carbondioxide. http://climate.nasa.gov
[2 Januari 2015]
Neuzil SG. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed
ombrogenous peat deposits, Indonesia. In: Biodiversity and Sustainable
Management of Tropical Peatlands. Rieley JO, Page SE, editor. Samara,
Cardigan, UK. pp. 55-72.
Nikander S. 2008. Greenhouse gas and energy intensity of product chain: case
transport biofuel. MSc Thesis, Helsinki University of Technology. Helsinki
(Finland) Dalam [RSPO] Roundtable Sustainable Palm Oil. 2009. Green house
gas from palm oil production: Literature review and proposals from the RSPO
working group on greenhouse gases final report. Hoeverlaken (Netherlands).
Nurzakiah S. 2014. Prediksi Potensi Emisi Karbon pada Lapisan Gambut
Akrotelmik dan Katotelmik [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
41

Official Journal of The European Union. 2010. Commision Decission


2010/335/EU: Commission Decision of 10 June 2010 on Guidelines for the
Calculation of Land Carbon Stocks for the Purpose of Annex III to Directive
2009/28/EC (Notified Under Document C(2010) 3751)
Page SE, Wüst RAJ, Weiss D, Rieley JO, Shotyk W, Limin SH. 2004. A record of
Late Pleistocene and Holocene carbon accumulation and climate change from an
equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): implications for past, present and
future carbon dynamics. Journal of Quaternary Science, 19, 625-635.
Palmer RR, Reeve IN. 1993. Metanogene genes and the molecular biology of
metham biosynthesis. In Sebald, M (Ed.), Genetics and Molecular Biology of
Anaerobic Bacteria. Springer-Verlag, Berlin. pp. 13-35.
Pereira RS, Nogueira MFM, de Lima Tostes ME. 2012. Evaluating indirect injection
th
diesel engine performance fueled with palm oil. 14 Brazilian Congress of Thermal
Sciences and Engineering. Rio de Janeiro, 2012 November 18-22. Brazil.
Prayitno S, Indradewa D, Sunarminto BH. 2008. Produktivitas kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) yang dipupuk dengan tandan kosong dan limbah cair pabrik
kelapa sawit. Ilmu Pertanian (15)1:37-38.
Puah, CW. 2009. Life cycle assessment of non-food product:Biodiesel, Prosiding
2009 International Conference on Oil Palm and the Environment,14-15 Agustus
2009, Serdang, Malaysia.
Reijnders L, Huijbregts MAJ. 2006. Palm oil and emission of carbon-based
greenhouse gases. Journal of cleaner Production 16:477-482.
Roberston GP, Paul EA, Harwood RR. 2000. Greenhouse gases in intensive
agriculture: Contribution of individual gases to the radioactive forcing of the
atmosphere. Science 289: 1922-1925.
Robertson GP. 1999. Denitrification, p.181-190. Dalam Summer et al. (Eds.),
Handbook of Soil science. CRC Press, Boca Raton, FL.
Röll A, Niu F, Meijide A, Hardanto A, Hendrayanto, Knohl A, Hölscher D. 2015.
Transpiration in an oil palm landscape: effects of palm age. Biogeosciences
12:5619-5633.
[RSPO] Roundtable Sustainable Palm Oil. 2009. Green house gas from palm oil
production: Literature review and proposals from the RSPO working group on
greenhouse gases final report. Hoeverlaken (Netherlands).
Rudolph J. 1994. Anomalous methane. Nature 368: 19-20.
Sabiham, S., S.D. Tarigan, Hariyadi, I. Las, F. Agus, Sukarman, P. Setyanto, Wahyunto.
2012. Organic Carbon Storage and Management Strategies for Reducing Carbon
Emission from Peatlands: A Case Study in Oil Palm Plantations in West and Central
Kalimantan, Indonesia. Pedologist (56)3:426-434.
Safitri I. 2010. Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik dan
Fibrik (Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lubuk Gaung,
Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sahad N, Som AM, Baharuddin AS, Mokhtar M, Busu Z, Sulaiman A. 2014.
Physicochemical characterization of oil palm decanter cake (OPDC) for residual
oil recovery. Bio Resources (4)9:6361-6372.
Sahrawat KL, Keeney DR. 1986. Nitrous oxide emission from soils. Adv. Soil Sci. 4:
103-146.
42

Samsoedin I, Heriyanto NM dan Siregar CA. 2009. Biomasa Karbon pada Daerah
Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Sumatera Utara. Info Hutan Volume VI (2): 111-
124. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Santer BD, Wigley TML, Barnett TP, Anyamba E. 1996. Detection of climate
change and attribution of clauses. Di dalam: J.T. Houghton et al., editor. Climate
Change 1995: The Science of Climate Change. NewYork (USA): Cambridge
University Press. hlm 406-443.
Scheutz C, Kjeldsen P. 2004. Environmental factors influencing attenuation of
methane and hydrochoroflourocarbons in landfill cover soil. Journal of
Environmental Quality 33:72-79.
Schlesinger WH. 1991. Biogeochemistry: An Analysis of Global Change. Academic
Press, San Diego, CA.
Silva NS, Guido M.L., Loqueno F.F., Marsch R., Bendooven L. 2011. Emission of
greenhouse gases from an agricultural soil amenden with urea: aloboratory
study. Applied Soil Ecology 47:92-97.
Siregar K. 2013. Perbandingan Emisi dan Energi Produksi Biodiesel dari Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis) dan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Berdasarkan
Kajian Siklus Hidup (Lca) di Indonesia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Smith P, Martino D, Cai Z, Gwary D, Janzen H, Kumar P, McCarl B, Ogle S,
O’Mara F, Rice C, Scholes B, Sirotenko O. 2007. Agriculture. In Climate
Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Metz B,
Davidson OR, Bosch PR, Dave R, Meyer LA, editor. Cambridge (UK) dan New
York (USA): Cambridge University Press.
Solichin, Lingenfelder M, Steinmann KH. 2011. Tier 3 Biomass Assessment for
Baseline Emission in Merang Peat Swamp Forest. Paper Presented at Workshop
on Tropical Wetland Ecosystem of Indonesia. CIFOR 11-14 April 2011. Merang
REDD Pilot Project. Palembang.
Sudaryanto MT. 2015. Infiltrasi pada tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) di Beberapa Kemiringan Lahan pada Musim Hujan di Kawasan Hutan
Harapan Jambi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Syahrinudin. 2005. The potential of oil palm and forest plantations for carbon
sequestration on degraded land in Indonesia [Disertasi]. Vlek PLG, Denich M,
Martius C, Rodgers C, van de Giesen N, editor. Göttingen (DE): Cuvillier
Verlaag Göttingen.
Thalib. 2008. Buah Lerak Mengurangi Emisi Gas Metana pada Hewan Ruminansia.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30(2).
Tiedje JM. 1988. Ecology of denitrification and dissimilatory nitrate reduction to
ammonium. In Zehnder A.J.B. (Ed.), Biology of Anaerobic Microorganism.
Wiley, New York. 179-244.
Townsend AR, Vitousek PM, Holland EA. 1992. Tropical soils could dominate the
shorth-term carbon cycle feedbacks to increase global termeratures. Clim.
Change 22:293-303.
van Noordwijk M, Dewi S, Khasanah N, Ekadinata A, Rahayu S, Caliman JP, Sharma
M, Suharto R. 2010. Estimating the Carbon Footprint of Biofuel Production from
Oil Palm: Methodology and Results from Two Sites in Indonesia. Di dalam:
Caliman JP, Yuan YY, Buana L, editor. 2nd International Conference
43

on Oil Palm and the Environment; 2010 February 23-25; Bali, Indonesia. Jakarta
(ID): ICOPE. hlm 48-81.
Wahyunto, Dariah A and Agus F. 2010. Distribution, Properties, and Carbon Stock
of Indonesian Peatland. Proc.of Int. Workshop on Evaluation and Sustainable
Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries .Bogor, Indonesia
Sept. 28-29, 2010.
Walkley A, Black IA. 1934. An examination of the Degtjareff method for
determining organic carbon in soils: Effect of variations in digestion conditions
and of inorganic soil constituents. Soil Sci. 63:251-263. Dalam [ISRIC]
International Soil Rreference and Information Centre. 2002. Procedure for soil
th
analysis 6 Edition. Reeuwijk LPV, editor. Wageningen (ND): ISRIC in
collaboration with FAO.
Walter B, Heimann M, Matthews E. 2001. Modelling modern methane emissions
from natural wetlands. I. Model description and result. J Geography Res 106:
34189-34260.
Wang ZP, Delaune RD, Masscheleyn PB, Patrick WHJr. 1993. Soil redox and pH
effects on methane production in a flooded rice soils. Soil Science Society of
American Journal 57: 382-385.
Wayhuni, Wihardjaka. 2007. Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan Alam
Menekan Emisi Gas Nitro-Oksida (N2O). Sumber Daya Lahan 1(3).
Woese CR, Kandler O, Wheelis ML. 1990. Toward a natural system of organism:
Proposal for the domain archaea, bacteria and eucarya. Proc. Natl. Academic
Science 87: 4576-4579.
Woodward KJ, Fellows CS, Conway CI, Hunter HM. 2009. Nitrate removal,
denitrification and nitrous oxide production in the riparian zone of an ephemeral
stream. Soil Biology and Biochemistry 41:671-680.
Wrage N, Velthof GL, van Betsichem ML, Oenema O. 2001. Role of nitrifier
denitrification of nitrous oxide. Soil Biology and Biochemistry 33: 1723-1732.
Wu X, Yao Z, Bruggemann N, Shen ZY, Wolf, Dannenmann M, Zheng X,
Butterbach-Bahl K. 2010. Effects of soil moisture and temperature on CO 2 and
CH4 soil-atmosphere exchange of various land use/cover types in a semi-arid
grassland in Inner Mongolia, China. Soil Biology and Biochemistry 42:773-787.
Yaser AZ, Rahman RA, Kalil MS. 2007. Co-composting of palm oil mill sludge-
sawdust. Pakistan Journal of Biological Sciences (24)10:4473-4478.
Yulianti N. 2009. Cadangan Karbon Lahan Gambut dari Agroekosistem Kelapa
Sawit PTPN IV Ajamu, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara [Tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Yuniastuti P. 2011. Pengaruh waktu dan titik pengukuran terhadap emisi
karbondioksida dan metan di lahan gambut kebun kelapa sawit PT Perkebunan
Nusantara IV, Labuhanbatu, Sumatera Utara [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Yuono E. 2009. Pendugaan Kandungan Karbon dalam Tanah Hutan Rawa Gambut
(Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber Kecamatan Parit Sicin,
Kabupaten Rokan Hilir Riau) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yusoff S, Hansen SB. 2007. Feasibility study of performing a life cycle assessment
on crude palm oil production in Malaysia. Int J LCA (12) 1:50-58.
44
45

LAMPIRAN
46
47

Lampiran 1 Karakteristik kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di Desa


Bilah, Kabupaten Labuhanbatu
Indikator Perusahaan Masyarakat
Kadar Kriteria *) Kadar Kriteria *)
pH (H2O) 4.35 Sangat masam 3.58 Sangat masam
C Organik (%) 52.83 Sangat tinggi 51.19 Sangat tinggi
N Total (%) 1.49 Sangat tinggi 1.40 Sangat tinggi
P Bray I tersedia (ppm) 141.08 Sangat tinggi 94.08 Sangat tinggi
Susunan kation
-1
Ca (cmol kg ) 15.74 Tinggi 9.32 Sedang
-1
Mg (cmol kg ) 3.98 Tinggi 3.65 Tinggi
-1
K (cmol kg ) 0.36 Rendah 0.64 Tinggi
-1
Na (cmol kg ) 0.62 Sedang 0.64 Sedang
-1
KTK (cmol kg ) 91.37 Sangat tinggi 93.99 Sangat tinggi
Kejenuhan basa (%) 22.80 Sedang 15.13 Rendah
-1
Al-dd (cmol kg ) 0.54 Sangat rendah 2.97 Sangat rendah
Unsur mikro
Zn (ppm) 2.70 Cukup 4.37 Cukup
Fe (ppm) 2.16 Defisiensi 2.44 Defisiensi
Mn (ppm) 12.92 Cukup 16.88 Cukup
Cu (ppm) 0.04 Defisiensi 1.23 Cukup
Sumber: Hasil analisis laboratorium kimia tanah, Departemen Ekologi dan Sumberdaya Lahan (2014)
*Kriteria Pusat Penelitian Tanah Bogor (2005)
48

Lampiran 2 Input dalam budidaya tanaman kelapa sawit


Perusahaan Petani Petani Petani Petani Petani
Input Satuan lahan gambut
1 2 3 4 5
(2012)
Panen -1 13 949 15 600 17 000 12 800 12 200 12 800
kg ha
Jml tanaman -1 143 143 135 150 145 140
ha
Umur tanaman tahun 12 12 12 8 9 10
Pupuk
Nitrogen
Urea -1 48.63 131.56 186.30 - - 64.40
kg ha
NPK -1 45.60 - 60.75 48.00 45.76 21.00
kg ha
Total -1 94.22 131.56 247.05 48.00 45.76 85.40
kg ha
P2O5
NPK -1 28.06 - 60.75 48.00 45.76 21.00
kg ha
Rock Phospate -1 - 91.52 - - - -
kg ha
Total -1 28.06 91.52 60.75 48.00 45.76 21.00
kg ha
K2O
MOP -1 103.84 174.46 4.12 - - -
kg ha
NPK+Kieserit -1 94.70 60.75 48.00 45.76 21.00
kg ha
e
-1
Total kg ha 198.55 174.46 64.87 48.00 45.76 21.00
Borat -1 7.18 14.30 - - - -
kg ha
MgO -1 - - - - - -
kg ha
CuSO4 -1 1.62 14.30 6.75 - - -
kg ha
Dolomit (Ca) -1 - - 72.90 90.00 - -
kg ha
Pupuk organik -1 3.07 - 54.00 - - -
kg ha
-1
Herbisida kg ha 0.26 0.43 0.41 1.03 0.04 2.05
Fungisida -1 - - - - - -
kg ha
Insektisida -1 0.86 - - - - -
kg ha
Pestisida total -1 1.12 0.43 0.41 1.03 0.04 2.05
kg ha
Bahan bakar -
Bensin L 24.00 12.00 12.00 12.00 12.00
Solar* MJ** 4179.76 - - - - -
Keterangan: *Termasuk didalamya penggunaan untuk kendaraan, generator, pompa air dan lain
sebagainya
**Konversi berdasarkan Annex III Energy Content of Transport Fuels
Directive 2009/28/EC yaitu 36 MJ/L
49

Lampiran 3 Konversi dan kandungan C-organik dalam beberapa sumber sekuestrasi


hasil panen tandan buah segar (TBS) tanaman kelapa sawit
a
TBS Biomasa C-org
................ % ...............
d
CPO (Crude Palm Oil) 0.238 75.54
d
PKO (Palm Kernel Oil) 0.035 75.54
b
Tandan kosong sawit (TKS) 0.082 48.8
c
POME /Sludge 0.024 33
b
Serat (Fibre) 0.097 47.2
b
Cangkang /Shell 0.057 52.4
e
PKC (Palm Kernel Cake) 0.019 43.73
a) b) c)
Keterangan: Department of Environtment (1999), Mahlia et al. (2001), Yaser et al. (2007),
d) e)
Pereira et al. (2012), Sahad et al. (2004), asumsi C-org PKO ekivalen dengan C-org
CPO
50

Lampiran 4 Daftar istilah

Alometrik = Evolusi morfologis dari spesies, berdasarkan hubungan


antara ukuran organisme dan ukuran dari setiap bagian
organisme, yaitu perubahan perbandingan antara ukuran
dan bentuk sebagai akibat dari pertumbuhan.
Biomasa atas = Biomassa atas permukaan, total berat kering oven vegetasi
permukaan (Bap) di atas permukaan tanah yang meliputi seluruh bagian
pohon dan tumbuhan bawah, nekromasa, kayu mati dan
serasah.
Biomasa = Total berat kering oven vegetasi
Biomassa bawah = Total berat kering oven di bawah permukaan tanah yang
permukaan (Bbp) meliputi akar tanaman dan karbon organik tanah
Diameter setinggi = Diameter setinggi dada (diameter at breast height/dbh),
dada (DSD) diameter pohon yang diukur pada ketinggian 1.3 m di atas
permukaan tanah atau sesuai kaidah pengukuran yang
ditentukan
Karbon = Unsur kimia yang memiliki nomor atom 6, dengan bobot
atom 12
Persamaan = Persamaan regresi yang menyatakan hubungan antara
alometrik dimensi pohon dengan biomassa dan digunakan untuk
menduga biomassa pohon
Pohon = Tingkat pertumbuhan vegetasi berkayu berdiameter ≥ 20
cm
Serasah = Kumpulan bahan organik yang berasal dari tumbuhan
bawah di permukaan tanah yang belum terdekomposisi
secara sempurna, ditandai dengan masih utuhnya bentuk
jaringan
Nekromasa = Kumpulan bahan organik yang berasal tanaman kelapa
sawit di permukaan tanah yang belum terdekomposisi
secara sempurna, ditandai dengan masih utuhnya bentuk
jaringan
Cadangan karbon = Cadangan karbon tersimpan
Tumbuhan = Vegetasi yang tumbuh di permukaan tanah, dapat berupa
bawah herba, semak atau liana
GWP 100 = Global Warming Potential /Potensi pemanasan global
dalam jangka waktu 100 tahun setara CO2, CO2 memiliki
potensi pemanasan global 1, CH4 memiliki potensi
pemanasan global 21, N2O memiliki potensi pemanasan
global 310, PFC-14 memiliki potensi pemanasan global
6500, dan sulfur hexafluorida memiliki potensi
pemanasan 23900 (IPCC 1995)
51

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap, 3 Juni 1984. Penulis merupakan putra ke tiga


dari pasangan Soeparno dan Sri Rejeki. Penulis menempuh pendidikan sarjana di
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor lulus tahun 2010.
Pada tahun 2011 penulis melanjutkan sekolah pascasarjana (S2) di program studi
yang sama melalui program Beasiswa Unggulan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti (2011-2013).

Anda mungkin juga menyukai